Anda di halaman 1dari 55

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM KISAH ALI BIN ABI THALIB DAN


RELEVANSINYA DI ERA GENERASI Z

SKRIPSI

OLEH:

SITI BADRIYAH
NIM: 11711266

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONTIANAK

TAHUN 2021 M/1443 H

1
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI..................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Fokus Penelitian............................................................................................5

C. Rumusan Masalah.........................................................................................5

D. Tujuan Penelitian..........................................................................................5

E. Manfaat Penelitian........................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................8

A. Penelitian Yang Relevan...............................................................................8

B. Kajian Teori................................................................................................11

BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................25

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian..........................................................................25

B. Data dan Sumber Data................................................................................26

C. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................27

D. Teknik Analisis Data...................................................................................29

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA.......................................................33

A. Kisah Ali bin Abi Thalib.............................................................................33

B. Generasi Z...................................................................................................38

C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak pada Kisah Ali bin Abi Thalib dan

Relevansinya pada Generasi Z...........................................................................40

BAB V KESIMPULAN.............................................................................................45

i
A. Kesimpulan.................................................................................................45

B. Saran............................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................48

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak dalam agama Islam mempunyai posisi sentral yakni inti dari

ajaran Islam. Pembuktian statemen ini didasarkan pada firman Allah SWT

yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 21, Allah berfirman:

ۗ‫لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم يِف ْ َر ُس ْو ِل ال ٰلّ ِه اُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َم ْن َكا َن َي ْر ُجوا ال ٰلّهَ َوالَْي ْو َم ااْل ٰ ِخَر َوذَ َكَر ال ٰلّهَ َكثِْيًرا‬

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut

Allah”.

Ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad

SAW sebagai contoh dan suri tauladan bagi umatnya. Beliau selalu

mempraktikan apa yang Allah perintahkan sebelum perintah tersebut

disampaikan kepada umat, sehingga tidak ada celah bagi orang-orang yang

memusuhinya untuk mengatakan bahwa Nabi Muhammad hanya pandai

bicara dan tidak bisa mengamalkan. Bahkan “Uswah” dapat mengingatkan

pengaruh untuk melakukan segala perintah dan larangan yang diajarkan. Jadi,

misi Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia,

yang mencakup “hablumminallah wa hablumminannas”. Dua hal yang

tidak

1
2

dipisahkan, bagaimana seorang beribadah kepada Tuhannya dan bagaimana

berhubungan baik sesama manusia. Sudah semestinya kita menjadikan kisah-

kisah zaman dahulu untuk dijadikan rujukan dalam melaksanakan pendidikan

akhlak karena telah terbukti bahwa dalam kisah-kisah terdahulu terdapat

cerita yang begitu mendalam dan lebih mudah mengena pada setiap orang

yang memelajarinya. Salah satu sahabat dan yang paling dekat dengan

Rasulullah SAW sekaligus menantu Rasulullah SAW yakni Ali bin Abi

Thalib yang dapat diteladani akhlaknya.

Rasulullah juga pernah mendelegasikan untuk membacakan surah Al-

Baqarah dihadapan kaum muslimin pada musim haji tahun 9 H, Ali bin Abi

Thalib sebagai khalifah yang teladan. Menurut Ali Muhammad Ash-Shallabi

(13-14: 2012) Ali bin Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Al-

Quraisyi Al-Hasyimi, biasa dipanggil abu Hasan. Rasulullah Memanggilnya

Abu Turab. Ia lahir di Makkah pada tahun kesepuluh sebelum diutusnya Nabi

Muhammad menjadi nabi. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke-empat yang

menjabat khalifah Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang

pertama yang mengorbankan dirinya demi memperjuangkan agama Islam.

Sebagai khalifah Ali bin Abi Thalib sangat memperhatikan masalah shalat,

sehingga ketika di perjalanan ia juga berseru “dirikanlah shalat, dirikanlah

shalat!” ia juga membangunkan kaum muslim untuk mendirikan shalat

shubuh. Keistimewaan lain dari Ali bin Abi Thalib ialah ia merupakan orang

yang sederhana namun dermawan, tegas dan kaya akan ilmu sehingga

dijuluki oleh Rasulullah SAW sebagai gerbangnya ilmu “Baabul ‘Ilmi”.


3

Melihat di zaman sekarang perubahan yang terjadi menyentuh

pergeseran aspek nilai akhlak yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa contoh penyimpangan-penyimangan perilaku krisis akhlak saat ini

diantaranya maraknya tawuran antar pelajar, perampokan, pembunuhan

disertai mutilasi, korupsi dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan

remaja, seperti penggunaan narkotika, pemerkosaan, pornografi sudah sangat

merugikan dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa. Sehingga dari

kasus diatas Pendidikan akhlak akan menjadi penting untuk mengatasi krisis

akhlak saat ini.

Menurut Rianawati (29: 2017) pendidikan mengenai akhlak

mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan akhlak dan

karakter seseorang. Dalam Islam, akhlak akan menjadi petunjuk hubungan

manusia dengan manusia maupun hubungan manusia dengan Rabbnya,

demikian juga sebaliknya pendidikan mempunyai peran yang sangat penting

dalam pendidikan akhlak anak, baik pendidikan di rumah atau sekolah.

Melalui pendidikan akhlak setidaknya untuk mengajarkan kepada masyarakat

agar bisa menjadi manusia yang berakhlak dan memiliki moral tinggi.

Pernyataan diatas peneliti menyimpulkan bahwa akhlak merupakan

faktor penentu atau kunci dalam upaya membentuk, membangun atau

mengembangkan individu dan masyarakat yang beradab, sesuai dengan nilai-

nilai pendidikan akhlak.

Menurut Diah Ningrum (19: 2015) pada saat ini, pertumbuhan akhlak

remaja cukup menghawatirkan ditandai dengan terkikisnya nilai-nilai agama


4

dan nilai norma di masyarakat. Para remaja pada umumnya lebih mudah

terpengaruh dengan lingkungan yang bebas, tidak mengikat dan hedonisme.

Sehingga akibatnya para remaja mudah terpengaruh perbuatan kriminal

seperti narkoba, tawuran, bertindak kasar pada guru dan orang tua dan lain-

lain.

Melihat fakta kemerosotan akhlak yang terjadi, ternyata persoalan

akhlak bukanlah suatu hal yang mudah, memerlukan pikiran dan usaha yang

keras oleh pendidik, untuk mencari cara yang tepat dalam pendidikan akhlak.

Salah satu cara yang tepat dalam pendidikan akhlak adalah melalui kisah.

Menurut Lailatus Salamah (3-4: 2008) pendidikan akhlak akan

berhasil baik, manakala dilaksanakan melalui metode kisah. Dalam metode

ini teknik yang digunakan adalah mengungkapkan peristiwa-peristiwa

bersejarah yang mengandung pendidikan moral, rohani dan sosial, baik kisah

yang mengandung nilai kebaikan maupun keburukan. Dengan metode kisah

dapat memberikan stimulasi kepada peserta didik agar dapat meningkatkan

keimanannya dan mendorong mereka untuk berbuat kebaikan serta dapat

membentuk akhlak yang mulia.

Dari pernyataan tersebut diatas peneliti menyimpulkan bahwa salah

satu kisah yang memiliki dan dapat dijadikan ibrah atau pelajaran dalam

pendidikan akhlak adalah kisah Ali bin Abi Thalib.

Berdasarkan latar belakang yang dijabarkan di atas, penulis tertarik

untuk meneliti secara mendalam nilai-nilai pendidikan akhlak dalam sejarah

Ali Bin Abi Thalib yang dapat dijadikan sebagai figur suri tauladan.
5

Sehubungan dengan itu peneliti mengangkat judul “Nilai-Nilai Pendidikan

Akhlak pada Kisah Ali bin Abi Thalib”.

B. Fokus Penelitian
Penelitian ini menfokuskan pada nilai-nilai pendidikan akhlak pada

kisah Ali Bin Abi Thalib pada masa menjadi khalifah.

C. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang terdapat penelitian ini,

maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada kisah Ali Bin

Abi Thalib?

2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada

kisah Ali Bin Abi Thalib di generasi Z?

D. Tujuan Penelitian
Dari pokok permasalahan diatas, ada beberapa tujuan yang hendak

dicapai antara lain:

1. Untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada

kisah Ali Bin Abi Thalib.

2. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat

pada kisah Ali Bin Abi Thalib di generasi Z.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi

dua, yaitu:
6

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis akademis penelitian ini diharapkan mampu

menjadi salah satu sumbangan pengetahuan dan referensi dalam

dunia pendidikan dalam upaya pengembangan ilmu pendidikan,

khususnya pada bidang Pendidikan Akhlak. Selain itu hasil yang

diperoleh akan semakin memperkaya kajian teoritis yang

membahas hal-hal terkait dengan penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Bagi peneliti: untuk menambah wawasan peneliti mengenai

nilai-nilai Pendidikan akhlak pada kisah Ali Bin Abi Thalib yang

dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan

sehari-hari.

Bagi pendidik: sebagai bahan acuan untuk meningkatkan

kualitas pendidikan dan Pembentukan Akhlak baik terhadap Allah,

dirinya sendiri maupun orang lain dan untuk mengurangi masalah-

masalah yang terjadi di dunia pendidikan. Selain itu dapat

menambah kecintaan terhadap Ali Bin Abi Thalib serta keridhaan

Allah SWT.

Bagi lembaga IAIN Pontianak: sebagai dokumen yang dapat

dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan

kualitas calon pendidik khususnya untuk Fakultas Tarbiyah dan

Imu Keguruan di IAIN Pontianak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Yang Relevan

Berikut beberapa tulisan penelitan terdahulu yang berkaitan dengan

Nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam Ali Bin Abi Thalib

sebagai berikut:

1. Skripsi karya Lucki Nur Lailiah, 2020, yang berjudul “Nilai-Nilai

Akhlak Dalam Kisah Uwais Al-qarni”. Dalam skripsi ini dapat

disimpulkan bahwa: Nilai-Nilai Akhlak yang terkandung dalam kisah

Uwais Al-Qarni meliputi akhlak kepada Allah (syukur, zuhud), akhlak

kepada Rasul (cinta kepada Rasul), akhlak kepada orang tua (bakti

kepada orang tua), akhlak kepada diri sendiri (sabar, qana’ah, wara’,

tawadu’, dermawan). Selanjutnya yaitu Relevansi Nilai Akhlak dalam

kisah Uwais A-Qarni dengan konsep Pendidikan Karakter K.13,

keduanya saling melengkapi dalam upaya mewujudkan pendidikan

karakter bagi generasi bangsa. Nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam

kisah Uwais Al-Qarni yang sesuai dengan pendidikan karaktar K.13

adalah sebagai berikut: syukur, bakti kepada orang tua, dermawan,

sabar, tawadhu’, dan zuhud. Dari hasil penelitian terdahulu dapat

dilihat perbedaan dan persamaannya. Perbedaan skripsi Lucki Nur

Lailiah dengan penulis terletak pada subjek tokoh yang diteliti yaitu

8
Lucki Nur Lailiah memilih Uwais Al-Qarni sebagai subjek

penelitiannya,

9
9

sedangkan penulis memilih Ali Bin Abi Thalib sebagai subjek

penelitiannya. Dan persamaan penelitian terletak dalam pembahasan

nilai-nilai serta metode yang digunakan yaity library reseach.

2. Skripsi karya Yuni Tri Nurhayati, 2019, yang berjudul “Nilai-Nilai

Pendidikan Akhlak dalam buku Khadijah Cinta Sejati Rasulullah

Karya Abdul Mun’im Muhammad Umar”. Hasil penelitian dalam

skripsi ini dapat disimpulkan bahwa Nilai-nilai pendidikan akhlak

yang dimiliki Khajidah binti Khuwailid yaitu Akhlak mulia kepada

Allah (meliputi : taat kepada aturannya, selalu berdo’a kepadanya,

bertawakal kepadanya, dan menauhidkan Allah), akhlak kepada

makhluk (meliputi: akhlak kepada keluarga dan akhlak kepada

tetangga dan teman sejawat), akhlak terhadap diri sendiri (meliputi:

kasih saying, jujur dan amanah, sabar, menepati janji, memelihara

kesucian diri, dan syukur). Adapun relevansinya dengan pendidikan

Islam adalah pada prinsip pendidikan Islam (meliputi: menauhidkan

Allah, bertawakal kepada Allah, akhlak kepada tetangga dan teman

sejawat), relevansi terhadap tujuan pendidikan Islam (meliputi: sabar,

amanah, taan pada aturan Allah) dan relevansi terhadap metode

pendidikan Islam berupa menepati janji. Dari hasil penelitian

terdahulu dapat dilihat perbedaan dan persamaanya. Perbedaan skripsi

Yuni Tri Nurhayati memilih Khadijah sebagai subjek penelitiannya,

sedangkan penulis memilih Ali Bin Abi Thalib sebagai subjek

penelitiannya. Dan persamaan penelitian terletak dalam pembahasan


10

nilai-nilai pendidikan akhlak, serta metode yang digunakan yaitu

library reseach.

3. Jurnal karya Ubauidilah, Rianawati dan M. Edi Kurnanto, 2019 yang

berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Pada Kisah Uwais Al-

Qarni” Hasil dari penenlitian ini adalah pada kisah Uwais Al-Qarni

terdapat beberapa keteladanan dan nilai-nilai pendidikan akhlak

didalamnya: 1. Kisah keteladanan Uwais Al-Qarni yaitu kisah

berbakti kepada ibunya, Uwais Al-Qarni pegi ke Madinah, Uwais Al-

Qarni bertemu dengan Umar Bin Khattab dan Ali BinAbi Thalib. 2.

Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam kisah Uwais Al-

Qarni adalah berbakti kepada orang tua, tawadhu’, zuhud, sabar dan

cinta Rasul. Dari hasil penenlitian terdahulu dapat dilihat perbedaan

dan persamaanya. Perbedaan jurnal Ubaidillah, Rianawati, dan M. Edi

Kurnanto dengan penulis terletak pada subjek penelitiannya yaitu pada

jurnal Ubaidillah, Rianawati, dan M. Edi Kurnanto memilih Uwais Al-

Qarni sebagai subjek penelitiannya, sedangkan pada penulis memilih

Ali Bin Abi Thalib sebagai subjek penelitiannya. Dan kesamaannya

terletak dalam pembahasan nilai-nilai pendidikan akhlak, serta metode

yang digunakanyaitu library reseach.


11

B. Kajian Teori

1. Nilai

Menurut Encyclopedia of Real Estate Terms bahwa nilai

berasal dari bahasa latin valere atau bahasa prancis kuno. Disatu sisi,

nilai dibicarakan sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada nilai

produk, kesejahteraan, dan harga pada hal yang bersifat material

(Mulyana, 2011: 8). Sementara di lain hal, nilai digunakan untuk

mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan

jelas. Nilai yang tak jelas dan sulit diukur antara lain keadilan,

kejujuran, kebebasan, kedamaian dan persamaan.

Nilai erat hubungannya dengan manusia, baik dalam bidang

etika yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari maupun bidang

estetika yang berhubungan dengan persoalan keindahan, bahkan nilai

masuk Ketika manusia memahami agama dan keyakinan beragama.

Oleh karena itu nilai berhubungan dengan sikap sesorang sebagai

warga masyarakat, warga suatu bangsa, sebagai pemeluk suatu agama,

dan sebagai warga dunia (Setiadi, dkk., 2009: 112).

Beberapa pengertian tentang nilai dari beberapa ahli

dikemukakan oleh Mulyana (dalam Ubaidillah, 2019: 12) sebagai

berikut:

a) Nilai adalah keyakinan yang membuat sesorang bertindak atas

dasar pilihannya. Definisi ini dilandasi oleh pendekatan

psikologis, karena itu tindakan dan perbuatannya seperti


12

keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah, adalah

hasil proses psikologis. Termasuk ke dalam wilayah ini seperti

hasrat, sikap, keinginan, kebutuhan, dan motif.

b) Nilai adalah patokan normative yang mempengaruhi manusia

dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan

alternative. Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal

yang mempengaruhi perilaku manusia. Pendekatan yang

melandasi definisi ini adalah pendekatan sosiologis. Penegakan

norma sebagai tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan

sosial akan membuat sesorang menjadi tenang dan membebaskan

dirinya dari tuduhan yang tidak baik.

c) Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat yang sifatnya

membedakan individua tau ciri-ciri kelompok) dari apa yang

diinginkan yang memperngaruhi tindakan pilihan terhadap cara,

tujuan antara dan tujuan akhir.

Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahawa nilai adalah rujukan atau ukuran dan keyakinan

dalam menentukan pilihan. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta

memunculkan tindakan, terdapat pada moral seseorang muncul sebagai

ujung proses psikologis dan berkembang kea rah yang lebih kompleks.
13

2. Pendidikan Akhlak

Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata dasar didik, dan

diberi awalan, menjadi mendidik yaitu kata kerja yang artinya

memelihara dan memberi latihan (Ubaidillah, 2019: 13). Pendidikan

sebagai kata benda berarti perubahan sikap dan tingkah laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan, yaitu pendewasaan diri

melalui pengajaran dan latihan.

Menurut Syahidin dalam mengartikan Pendidikan sebagai

ta’lim, ta’dib dan tarbiyah bila merujik pada istilah Al-Qur’an, kata

yang tepat untuk mengartikan kata Pendidikan adalah tarbiyah

(Rianawati, 2017: 27). Kata tarbiyah diambil dari istilah Al-Qur’an

berasal dari kata “Rabbi” yang berarti Tuhan. Pendidikan dalam kajian

kata tarbiyah bermakna sebagai proses pemberian arahan terhadap

siapapun yang belum mengetahui jalannya. Bimbingan untuk manusia

awam untuk mencapai kematangan dan pengarahan bagi manusia yang

sudah berpengetahuan (Rianawati, 2017: 27).

Menurut Zahrudin dalam bahasa Yunani “Akhlak”

dipergunakan istilah ethos atau ethikos atau etika yang mengandung

arti “Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya

pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup

kalau ia mau menjadi baik”, dan etika itu adalah sebuah ilmu bukan

sebuah ajaran (Ubaidillah, 2019: 14).


14

Akhlak secara bahasa artinya tabiat, perangai, adat istiadat,

sedangkan secara istilah akhlak adalah hal-hal berkaitan dengan dikap,

prilaku, dan sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, dengan

makhluk lain dan dengan tuhannya. Dalam (A. Mustofa, 1999:11)

menjelaskan bahwa akhlak itu berasal dari bahasa arab, jamak dari

khuluk yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah

laku atau tabiat. Sedangkan menurut (Afif Hasan, 2011: 141) Akhlak

adalah tabiat, budi pekerti, adat, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan,

dan Agama Islam.

Menurut Imam Al Ghazali (dalam Ubaidillah,2019: 15)

“Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa yang

daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan

tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”. Jika sifat

yang tertanam itu terlahir perbuatan-perbuatan baik dan terpuji

menurut rasio dan syariat, maka sifat tersebut dinamakan dengan

akhlak yang baik. Sedangkan jika yang terlahir adalah perbuatan-

perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang

buruk.

Menurut mahmud dalam Ubaidillah (2019: 15) ukuran akhlak

yang baik ialah jika ia sesuai dengan syariat Allah, berhak

mendapatkan ridha-nya, dan dalam memegang akhlak yang baik ini

sambal memperhatikan pribadi, keluarga, dan masyarakat sehingga

didalamnya terdapat kebaikan untuk dunia dan akhirat.


15

Menurut Iqbal dalam Ubaidillah (2019: 15) Pendapat Al

Ghazali tentang Pendidikan akhlak pada umumnya sejalan degan

trend-trend agama dan etika. Al Ghazali tidak melupakan masalah-

masalah duniawi, dia juga memberikan ruang pada system

pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam

pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia

hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup, di alam

akhiratnya yang lebih utama dan kekal. Pendapat tersebut bercorak

agamis yang merupakan ciri spesifik Pendidikan Islam, tampak pula

cenderung kepada sisi kerohanian.

Keadaan jiwa itu terkadang bersifat natural, yang dipengaruhi

oleh sifat insani agar melakukan suatu perbuatan atau tidak

melakukannya dikarenakan rasa khawatir dan sebagainya. Selain itu

suasana jiwa, adakalanya disebabkan oleh adat istiadat seperti orang

yang mebiasakan berkta benar terus menerus, maka terjadilah suatu

bentuk akhlak yang terdapat dalam rohani atau batin. Maka pengertian

akhlak bukanlah sekedar mengetahui nilai baik atau buruknya

perbuatan yang dilandaskan terhadap keinginan batin terus menerus,

kecuali keadaan yang luar biasa. Perbuatan yang lahir adalah

merupakan tanda bukti adanya akhlak tersebut. Maka bila ada manusia

yang suka memberi dengan tetap terus menerus begitu, hal ini

menunjukan bahwa dalam batinnya ada akhlak dermawan.


16

Dari definisi Pendidikan dan akhlak diatas, maka dapat

disimpulkan pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang

dilakukan pendidik untuk membentuk karakter atau akhlak yang baik.

akhlak dapat meliputi segala perbuatan, pikiran, dan sikap manusia

dalam menjalani kehidupan yang tidak terlepas dari hubungan manusia

dengan Allah, sesama manusia, serta lingkungan sekitar. Dan akhlak

adalah kondisi dalam diri yang melahirkan tindakan-tindakan tanpa

perlu berfifkir dan pertimbanagan. Jika keadaan itu melahirkan

tindakan-tindakan yang baik menurut akal dan syariah, maka tindakan

tersebut akhlak yang baik, dan jika melahirkan tindakan-tindakan yang

buruk maka tindakan tersebut disebut akhlak yang buruk.

3. Nilai Pendidikan Akhlak Ali Bin Abi Thalib

Dia adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf)bbin Abdul

Muthalib, dipanggil juga dengan nama Syaibah Al-Hamd bin Hasyim

bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Luai bin Ghalib bin Fahr bin

Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin

Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan, dia adalah anak

paman Rasulullah, bertemu dengan beliau pada kakeknya yang

pertama yaitu Abdul Muthalib bin Hasyim, yang memiliki anak

bernama Abu Thalib saudara laki-laki kandung Abdullah bapak Nabi

Muhammad. Nama yang diberikan kepada Ali pada saat kelahirannya

adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil pemberian sang ibu sebagai
17

kenangan dari nama bapaknya yang bernama Asad bin Hasyim

(Muhammad Ash-Shallabi, 2020: 13).

Julukannya adalah Abul Hasan. Dinasabkan kepada anaknya

yang paling besar yaitu Hasan, dari keturunan istrinya yang bernama

Fathimah putri Rasulullah. Julukan Ali yang lain adalah Abu At-

Turab, yaitu julukan pemberian Rasulullah, dan Ali merasa senang jika

dia dipanggil itu. Kisah berawal dari peristiwa ketika Rasulullah

datang ke rumah Fathimah putrinya, lalu beliau tidak mendapati Ali

sedang di rumah. Lalu beliau berkata kepada putrinya, "Di mana anak

pamanmu (suamimu)? Kemudian Fathimah menjawab; "Sebelumnya

antara aku dan dia telah terjadi perselisihan, lalu dia marah padaku dan

kemudian dia keluar dan meninggalkan rumah dan tidak tidur

bersamaku." Lalu Nabi berkata kepada seseorang laki-laki yang ada di

rumah tersebut, "Carilah ada di mana dia?" Tidak lama kemudian

orang tersebut datang kembali dan berkata kepada Rasul, "Wahai

Rasulullah, aku temukan Ali sedang tidur di masjid." Lalu pergilah

Rasulullah untuk mendatanginya, dan benar beliau mendapati Ali

sedang tidur di masjid dalam keadaan sarungnya terlepas dari

badannya sehingga badannya bertaburan debu. Melihat hal itu,

Rasulullah mengusap debu yang ada di badannya itu seraya berkata,

"Bangunlah wahai Abu At-Turab (Bapak debu)!" Di antara julukan

lain yang dimiliki Ali adalah Abul Hasan wal Husain, Abul Qashim
18

Al-Hasyimi dan Abu As-Sabthaini (dua cucu Rasulullah) (Muhammad

Ash-Shallabi, 2020: 14).

Ali Bin Abi Thalib adalah manusia yang tumbuh dan

berkembang dalam didikan cahaya al-Quran. karena Ali Bin Abi

Thalib merupakan manusia yang terdidik secara langsung oleh tangan

kenabian yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan

paling paham dengan hakikat kehidupan dunia dan derajatnya. Selain

itu, Ali juga sangat memahami ayat-ayat al-Quran yang berbicara

tentang hakikat kehidupan dunia, kedudukan kenikmatannya yang

remeh dan fana. Sebagaimana ia juga memahami ayat-ayat al-Quran

yang memotivasi untuk mencintai akhirat dan menjelaskan keagungan

nikmatnya serta keabadiannya. Adapun pembahasan nilai-nilai akhlak

Ali Bin Abi Thalib yang dibahas pada skripsi ini, yakni:

1. Zuhud dan Wara’

Amirul Mukminin Ali juga merupakan manusia yang

terdidik secara langsung oleh tangan kenabian yang merupakan

makhluk Allah paling mulia dan paling paham dengan hekekat

kehidupan dunia dan derajatnya. Sebagaimana beliau telah

bersabda, "Seandainya harga kehidupan dunia di sisi Allah itu bisa

menyamai nilai satu sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak

akan memberi minum orang-orang kafir hanya dengan setetes air

(nyatanya di sisi Allah harga kehidupan dunia itu hina dan tidak

melebihi harga sebuah sayap nyamuk)."


19

Rasulullah juga bersabda, "Tidaklah nilai kehidupan dunia

di akhirat nanti itu seperti engkau menyelupkan jari-jari tanganmu

ke laut lalu engkau lihat seberapa banyak air yang terbawa oleh

jari-jari tersebut." Rasulullah juga bersabda, "Kehidupan dunia itu

seperti penjara bagi orang-orang beriman dan seperti surga bagi

orang-orang kafir." Sangat jelas, tampak Amirul Mukminin Ali bin

Abi Thalib terpengaruh dengan pendidikan Qur'ani dan Nabawi.

Dirinya benar-benar menjadi contoh paling nyata dari model

pendidikan yang diajarkan Nabi kala itu. Sebagaimana yang Allah

firmankan, "Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di

antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan

mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan

Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu

ketahui." (Al-Baqarah: 151)

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib telah membuat contoh

terbaik bagi kita tentang sikap zuhud. Dan inilah sebagai contoh

dari sikap-sikap Ali yang menunjukkan seputar masalah ini:

Dari Ali bin Rabi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika

didatangi oleh Ibnu an-Nubbah, ia berkata kepadanya, “Wahai

Amirul Mukminin Ali, Baitul Mal kaum muslimin penuh dengan

perhiasan emas dan perak.” Medengar ucapan itu Ali menjawab,

“Allahu Akbar.” Ali lalu berdiri dan mengajak Ibnu Nubbah

berjalan menuju Baitul Mal kaum muslimin. Ia berkata, “Wahai


20

Ibnu Nubbah, datangkanlah semua orang-orang Kufah yang

membutuhkan bantuan.” Lalu orang-orang pun dikumpulkan, dan

Ali membagikan kepada mereka semua apa yang ada di Baitul Mal.

Setelah itu Ali kemudian berkata, “Wahai perhiasan yang berwarna

kuning dan putih berkilau (emas dan perak), telah tertipu orang-

orang selain diriku. Ambillah ini, ambillah ini sehingga setelah itu

tak ada yang tersisa satu dinar atau dirham pun di Baitul Mal.

Kemudian Ali memerintahkan kepada Ibnu Nubbah agar

membersihkan ruangan Baitul Mal tersebut lalu ia shalat dua rakaat

di dalamnya. Dalam riwayat lain dari Abu Nuaim dikatakan, “Ali

kemudian menyapu ruangan Baitul Mal tersebut kemudian shalat

didalamnya dan ia menjadikannya sebagai masjid dengan berharap

agar kelak pada hari kiamat menjadi saksi atas kebaikan yang telah

dilakukannya.” (Ash-Shallabi, 2020: 267).

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa sebagian besar

orang mengagung-agungkan harta kekayaan dunia, maka lain

halnya dengan Ali bin Abi Thalib. Baginya hanya Allah lah yang

paling berhak memiliki segala sesuatu yang ada.

2. Tawadhu’

Diantara akhlak al-Quran yang mendarah daging dalam diri

Ali bin Abi Thalib adalah sikap tawadhu’. Interaksinya dengan

sang paman, Al-Abbas, dari Shuhaib bin mantan pelayan Al-

Abbas, ia berkata, "Suatu ketika saya pernah melihat Ali mencium


21

tangan dan kaki Al-Abbas. la berkata, "Wahai pamanku, ridhailah

aku."

Marilah kita renungkan apa yang telah diterangkan oleh

Dhirar Ath-Thai tentang pribadi Ali, ia mengatakan, "la lebih

mengagumi (menyenangi) memakai pakaian yang pendek

(sederhana) dan memakan makanan yang kasar. la ketika ada di

tengah-tangah kami tidak ada bedanya dengan kami, jika kami

bertanya sesuatu ia pasti menjawabnya, dan jika kami meminta

penjelasan ia menjelaskannya kepada kami. Demi Allah, tatkala

kami begitu dekat dengan Amirul Mukminin Ali dan ia dekat

dengan kami, maka tidaklah kami melihat sosok Ali kecuali orang

yang memiliki kewibawaan yang tinggi (Ash-Shallabi, 2020: 275)

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib

memiliki sikpa tawadhu’ atau rendah hati kepada keluarga dan

saudaranya. Sebagaimana Ali pernah mengakatakan, “sikap

tawadhu’ seseorang akan mengangkat derajat diri orang tersebut”.

3. Dermawan dan Murah Hati

Salah satu akhlak al-Qur’an yang menyatu dalam diri

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah dermawan dan murah

hati. Al-Hafizh İbnu Katsir meriwayatkan dari Al-Ashbagh bin

Nabatah, bahwa ada seseorang datang menemui Amirul Mukminin

Ali bin Abi Thalib ia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, saya

memiliki kebutuhan terhadap dirimu. Saya telah mengadukan


22

kebutuhan saya tersebut kepada Allah sebelum saya

mengadukannya kepada engkau. Jika engkau memenuhinya maka

saya akan memuji Allah dan berterimakasih kepada engkau.

Namun jika engkau tidak memenuhinya maka saya hanya akan

memuji Allah dan kepada engkau saya hanya akan meminta maaf.”

Mendengar hal itü Ali bin Abi Thalib berkata, "Tuliskanlah

apa yang menjadi kebutuhanmu di atas tanah. Saya tidak ingin

melihat tanda-tanda kehinaan sebagai peminta-minta ada dalam

wajahmu.” la lalü menuliskan: "Sesungguhnya saya adalah orang

yang sedang membutuhkan.” Setelah itu ia berkata kepadaku,

”Saya membutuhkan pakaian.” Kemudian tak lama didatangkanlah

sehelai pakaian untuknya. Lalu diambillah pakaian itu oleh orang

tersebut dan kemudian dipakainya.

Setelah itu Ali berkata,”Saya memiliki kewajiban untuk

membayar beberapa dinar. Lalu didatangkanlah sebanyak 100

Dinar. Dan dari semua jumlah tersebut dipakailah untuk membayar

hutangnya.” Al-Asbagh berkata,”Wahai Amirul Mukminin, sehelai

pakaian dan uang sebanyak seratus dinar.” Dia berkata,”lya. Saya

pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Tempatkanlah manusia

pada tempat-tempat mereka.” Dan inilah tempat untuk orang ini di

sisiku.
23

Seperti inilah sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

terhadap orang-orang yang sangat membutuhkan dan perhatian

diri.

4. Generasi Z

Negara Indonesia saat ini diisi oleh penduduk yang

terkelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok generasi, yakni yang

pertama adalah generasi Baby Boomer yaitu mereka yang lahir pasca

berakhirnya perang dunia kedua atau setelah kemerdekaan Negara

Republik Indonesia tepatnya mereka yang lahir antara tahun 1946

sampai dengan tahun1964. Kedua generasi X atau disingkat Gen X

yakni mereka yang lahir antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1980.

Ketiga generasi Millennial yakni mereka yang lahir antara tahun 1981

sampai dengan tahun 2000, sedangkan yang terakhir adalah generasi Z

atau disingkat dengan Gen Z yakni mereka yang lahir antara tahun

2001 sampai dengan sekarang (Ali dan Purwandi , 2016: 36).

Masing-masing generasi memiliki karakteristik yang berbeda-

beda karena dibentuk oleh sejarah yang berbeda-beda pula. Sedangkan

generasi Z (Gen Z) saat ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 33%.

Generasi Z, saat ini rata-rata berstatus sebagi pelajar di sekolah dasar,

sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas atau sebagain kecil

sudah menjadi mahasiswa. Generasi Z sejak lahir sudah akrab dengan

teknologi informasi, oleh karena itu mereka sangat menguasai

pemanfaatan internet melalui media gadget, dan media sosial lainnya.


24

Mereka beraktifitas, bermain dan belajar dengan android /gadget

maupun dengan komputer/laptop. Mereka sangat mahir berselancar di

dunia maya, mencari dan menggali ilmu pengetahuan, games dan lain

sebagainya dengan memanfaatkan internet. Nampaknya mereka sudah

memilki dunia tersendiri yang sangat berbeda dengan dunia yang

dilihat, dirasakan dan dialami oleh generasi-generasi sebelumnya. Oleh

karena itu mereka tidak boleh terlambat harus dipersiapkan, dibentuk

dan dibangun karakternya dari awal agar tidak salah arah (Stillman,

2018: 54).

Sehingga disimpulkan bahwa Generasi Z adalah generasi yang

hidup di zaman globalisasi yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan

teknopologi yang semakin maju yang kemajuannya hampir tidak dapat

diikuti oleh generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu kepada

mereka harus ditanamkan nilai-nilai dasar kehidupan universal

terutama yang paling utama adalah nilai keimanan dan ketaqwaan

(IMTAQ) kepada Allah Subhanahu Wata’ala, karakter dan akhlak

mulia, agar mereka tidak terombang-ambing oleh gelombang

globalisasi dan menjadi korban kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Setiap kegiatan penelitian agar lebih terarah dan rasional maka

diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan objek yang dikaji,

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif dari kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati (Margono, 2005: 36).

Menurut Bogdan dan Biklen, 2007 dalam Hamzah (2019: 28)

menyatakan bahwa penelitian kualitatif dalah salah satu prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku

orang-orang yang diamati dalam suatu konteks tertentu yang dikaji dari sudut

pandang yang utuh, komprehensif dan holistic.

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis sumber data sehingga

didapatkan data deskriptif nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada

kisah Ali bin Abi Thalib oleh sebab itulah penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitianini adalah Penelitian

Kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library research)

atau dikenal juga dengan riset non reaktif. Penelitian perpustakaan berbeda

25
dengan penelitian kualitatif lapangan (filed research) (Iskandar, 2009: 64).

Walaupun

26
26

orang sering membedakan antara penelitian perpustakaan (library research)

dan penelitian lapangan (filed research) keduanya tetap memerlukn

penelusuran Pustaka. Perbedaan yang utama hanya terletak pada tujuan dan

fungsi dari masing-masing penelitian itu. (Zed, 2008 dalam Ubaidilah

2019:28).

Menurut Sutrisna Hadai (dalam Rianawati, 2017:20) penelitian

perpustakaan menfokuskan pada menganalisa sumber data atau fakta serta

beberapa teori atau literatur yang sesuai dengan judul penelitian yang ada

pada sumber kajian pustaka. Penelitian pustaka merupakan penelitian yang.

Penelitian pustaka merupakan penelitian yang dilaksanakan atas dasar teori di

lapangan, termasuk jurnal penelitian yang telah dipublikasikan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian

deskriptif. Menurut Hikmat 2011 dalam Ubadillah, (2019:29) metode

deskriptif merupakan metode yang membuat gambaran atau situasi mengenai

kejadian pada saat penelitaian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari

gejala tertentu. Dalam penelitian ini penulis menggali data mengenai nilai-

nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam kisah Ali bin Abi Thalib.

B. Data dan Sumber Data

Menurut Spradley dalam Rianawati, (2017: 22) mengartikan data

sebagai informasi yang diperoleh oleh subjek atau objek yang diteliti. Data

yang dimaksud dalam penelitian kualitatif adalah elemen pokok meliputi


27

aktifitas, tempat dan faktor. Sumber data penelitian ini dibagi menjadi dua

yaitu:

1. Sumber Data Primer merupakan sumber yang didapatkan langsung dari

data aslinya. Sehingga akan muncul kebenaran aslinya dalam bentuk

karya ilmiah karena lebih dekat dengan masalah yang akan diteliti. Data

primer pada penelitian ini adalah Buku Karangan Ali Muhammad Ash-

Shallabi. 2012. Biografi Ali Bin Abi Thalib, Terjemahan Muslichs

Taman, Akmal Burhanudin, dan Ahmad Yaman. Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar.

2. Sumber Data Sekunder merupakan sekumpulan data yang akan

mendukung data-data primer yang berkaitan dengan objek penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data sekunder

meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis atau diterbikan yang

membahas mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak pada kisah Ali Bin abi

Thalib dan generasi Z.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang cukup dan akurat perlu dirancang

Teknik pengumpulan data yang tepat. Untuk memperoleh data mengenai

“Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Pada Kisah Ali Bin Abi Thalib”, maka

peneliti melakukan Teknik pengumpulan data yang disesuaikan dengan

masalah penelitian.
28

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik dokumentasi.

Penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam

rekaman, baik gambar, suara, tulisan, atau lain-lain bentuk rekaman biasa

dikenal dengan penelitian analisis isi (content analysis) (Arikunto, 2005

dalam Ubaidillah 2019: 31).

Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis isi merupakan alat

pengumpulan data yang utama karena pembuktian hipotesisnya yang diajukan

secara logis dan rasional melalui pendapat, teori atau hukun-hukum yang

diterima, baik mendukung maupun menolong hipotesis tersebut (Zuriah,

dalam Ubaidillah, 2019:31). Dalam penelitian ini data yang diperoleh

diklarisifikasikan kembali menjadi dua jenis menurut sumber diperolehnya

data tersebut yakni data primer dan data sekunder.

Untuk memudahkan peneliti menganalisis data dalam penelitian ini,

penulis menggolongkan sumber data kedalam dua golongan data berdasarkan

jenisnya. Data yang diperoleh dari sumber buku yang membahas mengenai

pembahasan pada penelitian ini, peneliti golongkan kedalam jenis data

primer, sedangkan data yang peneliti dapatkan dari jurnal dan karya tulis

lainnya peneliti golongkan kedalam data sekunder.

Pengumpulan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

pemberian kode-kode pada materi yang diperoleh (coding). Menurut

Poerwandi (Latifah, 2012: 44) Coding dimaksud untuk dapat mengorganisasi

dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data

memunculkan gambaran tentang topik yang dibahas.


29

Menurut Silalahi, 2012 (Ubaidillah 2019: 32) Coding dalam penelitian

merupakan bagian penting dala pemrosesan dan analisis data. Pengkodean

adalah proses pengklarisifikasian jawaban atau tanggapan untuk menjadi

kategori yang lebih bermakna.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam coding data pada penelitian

ini adalah:

1. Peneliti menyusun sedemikian rupa sumber data pada kolom kosong

untuk memudahkan pemberian kode-kode pada setiap sumber data.

2. Peneliti memberikan kode yang mudah untuk diingat pada sumber data.

3. Peneliti memberikan nomor pada setiap bagian yang akan dibahas secara

urut.

4. Peneliti mendeskripsikan setiap pembahasan yang ada dari masing-

masing sumber data sehingga pada akhirnya dapat dianalisis dan ditarik

sebuah kesimpulan sebagai data yang valid untuk digunakan dalam

penelitian ini.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yaitu menyatakan kejelasan langkah-langkah

analisis data yang dilakukan oleh peneliti. Adapun metode yang digunakan

penulis dalam skripsi ini yakni anlisi isi.

Metode analisis isi adalah analisis teks yang digunakan untuk

mengumpulkan dan menganalisis muatan sebuah teks, dapat berupa kata-kata,

makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang
30

dapat dikomunikasikan (Amir Hamzah, 2019: 115). Tujuan metode analisis

isi untuk menguraikan dan menyimpulkan isi dari proses komunikasi (lisan

atau tulisan) dengan cara mengidentifikasi karakteristik tertentu pada pesan-

pesan yang jelas secara objektif, dan sistematis.

Teknik analisis isi (content analisis) sejalan dengan teknik nalisis

yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman dimana teknik analisis yang

digunakan melalui beberapa prosedur untuk menarik sebuah kesimpulan yang

valid. Menurut Miles dan Huberman (dalam silalahi, 2012:339-341) kegiatan

analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan,

yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

1. Reduksi Data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemustakaan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstraksian dan dan transformasi data kasar

yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, memilah data yang tidak diperlukan dan

mengorganisasi data sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya ditarik

dan diverifikasi.

Pada tahap reduksi data peneliti menggolongkan data yang

didapatkan menjadi dua golongan berdasarkan sumbernya yakni primer

dan sekunder. Selain itu peneliti juga memilah data data yang dianggap

tidak diperlukan dalam penelitian ini.


31

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan. Melalui data yang disajikan kita melihat dan akan memahami

apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh

menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman

yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

Pada tahap penyajian data, yang dilakukan peneliti adalah

menampilkan adata yang ada, kemudian mencoba menganalisis data yang

berasal dari salah satu sumber data dengan sumber data lainnya.

3. Penarikan Kesimpulan

Menurut (Rianawari, 2017: 25) Data kualitatif merupakan

penarikan kesimpulan dan pembuktian. Kesimpulan awal hanya bersifat

sementara dan akan berubah jika tidak mendapatkan bukti yang kuat dan

sangat mendukung pada saat pengumpulan data. Simpulan dalam

penelitian kualitatif merupakan temuan baru untuk mengembangkan

temuan yang sudah ada sebelumnya. Temuan dapat berupa kalimat atau

petunjuk suatu objek yang belum diteliti dan belum menemukan

kejelasan kemudian setelah diteliti akan menemukan kejelasan.

Setelah dilakukan reduksi dan penyajian data pada tahap

kesimpulan peneliti merangkum semua hasil analisis data kemudian


32

mencoba merumuskan sebuah kesimpulan yang dapat memperjelas hasil

dari penelitian ini.

Selain menggunakan teknik analisis diatas, peneliti juga

menggunakan teknik analisis kompratif. Teknik analisis kompratif

merupakan teknik analisis yang bersifat membandingkan (Sugiyono,

2001: 6). Dalam perbandingan tersebut bisa dilakukan antar tindakan,

antar perilaku tindakan, antar ruang, antar waktu, antar kejadian dan

sebagainya (Bungin, 2008: 73).

Pada penelitian ini perbandingan yang dilakukan adalah

perbandingan antar deskripsi dari masing-masing sumber data, dimana

peneliti membandingkan sumber data yang ada dengan cara menjabarkan

sumber untuk mencari persamaan dan perbedaan yang terdapat pada

sumber data tersebut.

Setelah dilakukan perbandingan data, peneliti menghubungkan

data yang didapatkan sehingga terbentuklah sebuah konsep pembahasan.

Setelah konsep pembahasan terbentuk barulah peneliti akan menarik

sebuah kesimpulan dari pembahasan tersebut.


BAB IV

PAPARAN DAN ANALISIS DATA

A. Kisah Ali bin Abi Thalib

Dia adalah Ali bin Abi Thalib (Abdu Manaf)bbin Abdul Muthalib,

dipanggil juga dengan nama Syaibah Al-Hamd bin Hasyim bin Abdu

Manaf bin Qushai bin Kilab bin Luai bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin

An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar

bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan, dia adalah anak paman Rasulullah,

bertemu dengan beliau pada kakeknya yang pertama yaitu Abdul Muthalib

bin Hasyim, yang memiliki anak bernama Abu Thalib saudara laki-laki

kandung Abdullah bapak Nabi Muhammad. Nama yang diberikan kepada

Ali pada saat kelahirannya adalah Asad (singa). Nama tersebut hasil

pemberian sang ibu sebagai kenangan dari nama bapaknya yang bernama

Asad bin Hasyim (Muhammad Ash-Shallabi, 2020: 13).

Julukannya adalah Abul Hasan. Dinasabkan kepada anaknya yang

paling besar yaitu Hasan, dari keturunan istrinya yang bernama Fathimah

putri Rasulullah. Julukan Ali yang lain adalah Abu At-Turab, yaitu julukan

pemberian Rasulullah, dan Ali merasa senang jika dia dipanggil itu. Kisah

berawal dari peristiwa ketika Rasulullah datang ke rumah Fathimah

putrinya, lalu beliau tidak mendapati Ali sedang di rumah. Lalu beliau

berkata kepada putrinya, "Di mana anak pamanmu (suamimu)?

Kemudian

33
34

Fathimah menjawab; "Sebelumnya antara aku dan dia telah terjadi

perselisihan, lalu dia marah padaku dan kemudian dia keluar dan

meninggalkan rumah dan tidak tidur bersamaku." Lalu Nabi berkata

kepada seseorang laki-laki yang ada di rumah tersebut, "Carilah ada di

mana dia?" Tidak lama kemudian orang tersebut datang kembali dan

berkata kepada Rasul, "Wahai Rasulullah, aku temukan Ali sedang tidur di

masjid." Lalu pergilah Rasulullah untuk mendatanginya, dan benar beliau

mendapati Ali sedang tidur di masjid dalam keadaan sarungnya terlepas

dari badannya sehingga badannya bertaburan debu. Melihat hal itu,

Rasulullah mengusap debu yang ada di badannya itu seraya berkata,

"Bangunlah wahai Abu At-Turab (Bapak debu)!" Di antara julukan lain

yang dimiliki Ali adalah Abul Hasan wal Husain, Abul Qashim Al-

Hasyimi dan Abu As-Sabthaini (dua cucu Rasulullah) (Muhammad Ash-

Shallabi, 2020: 14).

Ali Bin Abi Thalib adalah manusia yang tumbuh dan berkembang

dalam didikan cahaya al-Quran. karena Ali Bin Abi Thalib merupakan

manusia yang terdidik secara langsung oleh tangan kenabian yang

merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan paling paham dengan

hakikat kehidupan dunia dan derajatnya. Selain itu, Ali juga sangat

memahami ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang hakikat kehidupan

dunia, kedudukan kenikmatannya yang remeh dan fana. Sebagaimana ia

juga memahami ayat-ayat al-Quran yang memotivasi untuk mencintai

akhirat dan menjelaskan keagungan nikmatnya serta keabadiannya.


35

Adapun pembahasan nilai-nilai akhlak Ali Bin Abi Thalib yang dibahas

pada skripsi ini, yakni:

1. Zuhud dan Wara’

Dari Ali bin Rabi’ah bahwa Ali bin Abi Thalib suatu ketika

didatangi oleh Ibnu an-Nubbah, ia berkata kepadanya, “Wahai Amirul

Mukminin Ali, Baitul Mal kaum muslimin penuh dengan perhiasan

emas dan perak.” Medengar ucapan itu Ali menjawab, “Allahu

Akbar.” Ali lalu berdiri dan mengajak Ibnu Nubbah berjalan menuju

Baitul Mal kaum muslimin. Ia berkata, “Wahai Ibnu Nubbah,

datangkanlah semua orang-orang Kufah yang membutuhkan bantuan.”

Lalu orang-orang pun dikumpulkan, dan Ali membagikan kepada

mereka semua apa yang ada di Baitul Mal. Setelah itu Ali kemudian

berkata, “Wahai perhiasan yang berwarna kuning dan putih berkilau

(emas dan perak), telah tertipu orang-orang selain diriku. Ambillah

ini, ambillah ini sehingga setelah itu tak ada yang tersisa satu dinar

atau dirham pun di Baitul Mal. Kemudian Ali memerintahkan kepada

Ibnu Nubbah agar membersihkan ruangan Baitul Mal tersebut lalu ia

shalat dua rakaat di dalamnya. Dalam riwayat lain dari Abu Nuaim

dikatakan, “Ali kemudian menyapu ruangan Baitul Mal tersebut

kemudian shalat didalamnya dan ia menjadikannya sebagai masjid

dengan berharap agar kelak pada hari kiamat menjadi saksi atas

kebaikan yang telah dilakukannya.” (Ash-Shallabi, 2020: 267).


36

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa sebagian besar orang

mengagung-agungkan harta kekayaan dunia, maka lain halnya dengan

Ali bin Abi Thalib. Baginya hanya Allah lah yang paling berhak

memiliki segala sesuatu yang ada.

2. Tawadhu’

Diantara akhlak al-Quran yang mendarah daging dalam diri

Ali bin Abi Thalib adalah sikap tawadhu’. Interaksinya dengan sang

paman, Al-Abbas, dari Shuhaib bin mantan pelayan Al-Abbas, ia

berkata, "Suatu ketika saya pernah melihat Ali mencium tangan dan

kaki Al-Abbas. la berkata, "Wahai pamanku, ridhailah aku."

Marilah kita renungkan apa yang telah diterangkan oleh Dhirar

Ath-Thai tentang pribadi Ali, ia mengatakan, "la lebih mengagumi

(menyenangi) memakai pakaian yang pendek (sederhana) dan

memakan makanan yang kasar. la ketika ada di tengah-tangah kami

tidak ada bedanya dengan kami, jika kami bertanya sesuatu ia pasti

menjawabnya, dan jika kami meminta penjelasan ia menjelaskannya

kepada kami. Demi Allah, tatkala kami begitu dekat dengan Amirul

Mukminin Ali dan ia dekat dengan kami, maka tidaklah kami melihat

sosok Ali kecuali orang yang memiliki kewibawaan yang tinggi (Ash-

Shallabi, 2020: 275)

Dari kisah diatas dapat dipahami bahwa Ali bin Abi Thalib

memiliki sikpa tawadhu’ atau rendah hati kepada keluarga dan


37

saudaranya. Sebagaimana Ali pernah mengakatakan, “sikap tawadhu’

seseorang akan mengangkat derajat diri orang tersebut”.

3. Dermawan dan Murah Hati

Salah satu akhlak al-Qur’an yang menyatu dalam diri Amirul

Mukminin Ali bin Abi Thalib adalah dermawan dan murah hati. Al-

Hafizh İbnu Katsir meriwayatkan dari Al-Ashbagh bin Nabatah,

bahwa ada seseorang datang menemui Amirul Mukminin Ali bin Abi

Thalib ia berkata, "Wahai Amirul Mukminin, saya memiliki

kebutuhan terhadap dirimu. Saya telah mengadukan kebutuhan saya

tersebut kepada Allah sebelum saya mengadukannya kepada engkau.

Jika engkau memenuhinya maka saya akan memuji Allah dan

berterimakasih kepada engkau. Namun jika engkau tidak

memenuhinya maka saya hanya akan memuji Allah dan kepada

engkau saya hanya akan meminta maaf.”

Mendengar hal itü Ali bin Abi Thalib berkata, "Tuliskanlah

apa yang menjadi kebutuhanmu di atas tanah. Saya tidak ingin melihat

tanda-tanda kehinaan sebagai peminta-minta ada dalam wajahmu.” la

lalü menuliskan: "Sesungguhnya saya adalah orang yang sedang

membutuhkan.” Setelah itu ia berkata kepadaku, ”Saya membutuhkan

pakaian.” Kemudian tak lama didatangkanlah sehelai pakaian

untuknya. Lalu diambillah pakaian itu oleh orang tersebut dan

kemudian dipakainya.
38

Setelah itu Ali berkata,”Saya memiliki kewajiban untuk

membayar beberapa dinar. Lalu didatangkanlah sebanyak 100 Dinar.

Dan dari semua jumlah tersebut dipakailah untuk membayar

hutangnya.” Al-Asbagh berkata,”Wahai Amirul Mukminin, sehelai

pakaian dan uang sebanyak seratus dinar.” Dia berkata,”lya. Saya

pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Tempatkanlah manusia pada

tempat-tempat mereka.” Dan inilah tempat untuk orang ini di sisiku.

Seperti inilah sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib terhadap

orang-orang yang sangat membutuhkan dan perhatian diri.

B. Generasi Z

Negara Indonesia saat ini diisi oleh penduduk yang

terkelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok generasi, yakni yang

pertama adalah generasi Baby Boomer yaitu mereka yang lahir pasca

berakhirnya perang dunia kedua atau setelah kemerdekaan Negara

Republik Indonesia tepatnya mereka yang lahir antara tahun 1946 sampai

dengan tahun 1964. Kedua generasi X atau disingkat Gen X yakni mereka

yang lahir antara tahun 1965 sampai dengan tahun 1980. Ketiga generasi

Millennial yakni mereka yang lahir antara tahun 1981 sampai dengan

tahun 1994, sedangkan yang terakhir adalah generasi Z atau disingkat

dengan Gen Z yakni mereka yang lahir antara tahun 1995 sampai dengan

serkarang (Ali dan Purwandi, 2016: 36).

Masing-masing generasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda

karena dibentuk oleh sejarah yang berbeda-beda pula. Sedangkan generasi


39

Z (Gen Z) saat ini di Indonesia berjumlah kurang lebih 33 persen.

Generasi Z, saat ini rata-rata berstatus sebagi pelajar di sekolah dasar,

sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas atau sebagain kecil

sudah menjadi mahasiswa. Generasi Z sejak lahir sudah akrab dengan

teknologi informasi, oleh karena itu mereka sangat menguasai

pemanfaatan internet melalui media gadget, dan media sosial lainnya.

Mereka beraktifitas, bermain dan belajar dengan android /gadget maupun

dengan komputer/ laptop. Mereka sangat mahir berselancar di dunia maya,

mencari dan menggali ilmu pengetahuan, games dan lain sebagainya

dengan memanfaatkan internet. Nampaknya mereka sudah memilki dunia

tersendiri yang sangat berbeda dengan dunia yang dilihat, dirasakan dan

dialami oleh generasi-generasi sebelumnya.

Generasi Z pada saat ini miris pendidikan akhlak, sebagaimana

berita yang pernah viral pada masanya yaitu berdasarkan berita dari media

sosial tiktok yang di post oleh akun QinoyLee Alina pada tanggal 2021-

11-28, bahwa terjadi pada Almarhum Vanesa Angel, dimana keluarganya

memperebutkan harta peninggalan Almarhum Vanesa Angel, keluarganya

itu adalah adeknya sendiri mayang. Selain itu berita dari youtube Tribun

Sumsel yang diupload pada 5 bulan lalu, bahwa ada pemuda yang bernama

Indra Kenz yang viral karena konten sombongnya dan memamerkan

hartanya ke publik hanya untuk kesenangan pribadi dengan sikap angkuh

dan sombongnya memiliki harta kekayaannya.


40

Oleh karena itu mereka tidak boleh terlambat harus dipersiapkan,

dibentuk dan dibangun karakternya dari awal agar tidak salah arah.

Sehingga disimpulkan bahwa Generasi Z adalah generasi yang hidup di

zaman globalisasi yang sarat dengan ilmu pengetahuan dan teknopologi

yang semakin maju yang kemajuannya hampir tidak dapat diikuti oleh

generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu kepada mereka harus

ditanamkan nilai-nilai dasar kehidupan universal terutama yang paling

utama adalah nilai keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) kepada Allah

Subhanahu Wata’ala, karakter dan akhlak mulia, agar mereka tidak

terombang-ambing oleh gelombang globalisasi dan menjadi korban

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

C. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak pada Kisah Ali bin Abi Thalib dan

Relevansinya pada Generasi Z

Pendidikan akhlak merupakan usaha yang dilakukan untuk

membantu membentuk perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun

batin yang dapat membimbing menuju arah peradaban manusia yang lebih

baik. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan Ali Bin Abi Thalib

memberikan teladan kepada kita semua umat islam terkhususnya. Ini

terbukti, bahwa Ali Bin Abi Thalib termasuk salah satu tokoh Islam

sekaligus khalifah yang memiliki akhlak yang dapat menjadi teladan bagi

kita semua. Karena didikan yang di peroleh Ali sejak ia kecil yang sudah

diasuh dan di rawat oleh Rasulullah, sehingga akhlak yang ia miliki


41

merupakan cerminan dari karakter Rasulullah manusia yang paling mulia

yang menjadi suri teladan oleh umat seluruh dunia.

Dengan melihat pendidikan di Indonesia saat ini, pemerintah

telah menetapkan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Bab II Pasal 3 sebagai berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, pendidikan di

sekolah tidak hanya mengutamakan penguasaan di bidang akademik

oleh peserta didik, namun harus diiringi dengan pendidikan Akhlak,

yaitu mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Pemerintah menyadari bahwa Gerakan Nasional Revolusi

Mental yang memperkuat pendidikan akhlak mestinya dilaksanakan

oleh semua sekolah di Indonesia, bukan saja terbatas pada sekolah-

sekolah binaan, sehingga peningkatan kualitas pendidikan yang adil

dan merata dapat segera terjadi. Penguatan pendidikan akhlak di


42

sekolah diharapkan dapat memperkuat bakat, potensi dan talenta

seluruh peserta didik.

Hal-hal yang menyimpang dari atribut akhlak menurut al-

Qur’an dan Hadits dan akhlak bangsa merupakan konsepsi yang

bertetangan dengan nilai Islam yang mengatur keseimbangan

kehidupan dunia dan akhirat.

Fenomena-fenomena tentang krisis multidimensional pada

realitas sosial, seperti Generasi Z pada saat ini miris pendidikan

akhlak, sebagaimana berita yang pernah viral pada masanya yaitu

berdasarkan berita dari media sosial tiktok yang di post oleh akun

QinoyLee Alina pada tanggal 2021-11-28, bahwa terjadi pada

Almarhum Vanesa Angel, dimana keluarganya memperebutkan harta

peninggalan Almarhum Vanesa Angel, keluarganya itu adalah

adeknya sendiri mayang. Selain itu berita dari youtube Tribun Sumsel

yang diupload pada 5 bulan lalu, bahwa ada pemuda yang bernama

Indra Kenz yang viral karena konten sombongnya dan memamerkan

hartanya ke publik hanya untuk kesenangan pribadi dengan sikap

angkuh dan sombongnya memiliki harta kekayaannya. Oleh karena itu

mereka tidak boleh terlambat harus dipersiapkan, dibentuk dan

dibangun karakternya dari awal agar tidak salah arah.

Membuktikan bahwa perlu adanya menciptakan, menanamkan,

dan mewujudkan nilai-nilai pendidikan karakter. Penciptaan,

penanaman, dan perwujudan nilai-nilai pendidikan akhlak dapat di


43

lakukan dengan mengenalkan keteladanan tokoh melalui akhlak yang

dimilikinya. Tokoh Ali Bin Abi Thalib memiliki karakter mulia yang

dapat dijadikan teladan menanamkan akhlak mulia pada anak Generasi

Z.

Ali Bin Abi Thalib adalah salah satu seorang sahabat

Rasulullah yang memiliki jiwa Ksatria pemberani dan Khalifah ke 4

umat Islam yang terkenal sebagai Khalifah yang Zuhud terhadap

dunia. Ali Bin Abi Thalib merupakan sosok pemimpin yang sangat

sederhana, dermawan, memiliki kepedulian yang besar terhadap

rakyat, memiliki sikap toleransi yang tinggi, memiliki rasa kasih

sayang yang tinggi dan memiliki semangat kebangsaan yang kuat. Ali

Bin Abi Thalib membangun dan memimpin negara dengan

mengedepankan nilai-nilai religius yang mementingkan persoalan

akhirat dari segalanya tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang lain.

Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah Ali Bin Abi Thalib

yang peneliti teliti terdapat beberapa nilai diantaranya: Zuhud dan

Wara’, tawadhu’, dan Dermawan. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam

kisah Ali Bin Abi Thalib itu menjadi panduan untuk diterapkan dalam

dunia pendidikan di era Generasi Z, bahkan sebelum adanya nilai-nilai

akhlak bangsa dan atribut akhlak menurut Al- Quran dan Hadits itu

dirumuskan, dalam kehidupan Ali Bin Abi Thalib sudah ada, sehingga

dalam nilai-nilai akhlak tersebut dapat menjadi acuan kita untuk

menjadikan pedoman dalam dunia pendidikan di era Generasi Z dan


44

menjadikan Ali Bin Abi Thalib sebagai idola teladan di dalam dunia

pendidikan dimanapun. Sehingga dengan era globalisasi dengan

teknologi yang canggih mampu menjadi benteng dengan seiring

perubahan zaman ke zaman.


BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari uraian tentang “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kisah

Ali Bin Abi Thalib Dan Relevansinya Di Era Generasi Z” dapat ditarik

kesimpulan, sebagaiamana sesusai dengan rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang termaktub dalam buku Biografi Ali

bin Abi Thalib terdapat tiga akhlak yang ditemukan setelah menjadi

Khalifah ke 4 yaitu: Zuhud dan Wara’, Tawadhu’ dan

Dermawan/Murah hati.

2. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah Ali Bin Abi Thalib yang

peneliti teliti terdapat beberapa nilai diantaranya: Zuhud dan Wara’,

tawadhu’, dan Dermawan. Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kisah

Ali Bin Abi Thalib itu menjadi panduan untuk diterapkan dalam dunia

pendidikan di era Generasi Z, bahkan sebelum adanya nilai-nilai

akhlak bangsa dan atribut akhlak menurut Al-Quran dan Hadits itu

dirumuskan, dalam kehidupan Ali Bin Abi Thalib sudah ada, sehingga

dalam nilai-nilai akhlak tersebut dapat menjadi acuan kita untuk

menjadikan pedoman dalam dunia pendidikan di era Generasi Z dan

menjadikan Ali Bin Abi Thalib sebagai idola teladan di dalam dunia

45
pendidikan dimanapun. Sehingga dengan era globalisasi

dengan

46
46

teknologi yang canggih mampu menjadi benteng dengan seiring

perubahan zaman ke zaman.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang disampaikan

adalah sebagai berikut:

1. Bagi seluruh umat muslim

Kepada seluruh umat Muslim hendaknya melaksanakan kehidupan

senantiasa bercermin pada kehebatan akhlak Sayyidina Ali Bin Abi

Thalib, yaitu hidup dengan tuntunan dan suri teladan yang telah

dicontohkan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib kepada kita. Dengan

akhlak yang baik, InsyaAllah kita dapat menjalankan kehidupan ini

sesuai dengan yang diamanatkan Allah Swt kepada kita yaitu menjadi

khalifah di muka bumi ini seperti Khalifah Sayyidina Ali Bin Abi

Thalib.

2. Bagi Mahasiswa

Kepada mahasiswa untuk dapat memahami pentingnya berakhlak di

dalam kehidupan, karena dengan berakhlak dapat menuntun

kehidupan yang lebih baik dan mulia di sisi Allah Swt, manusia dan

lingkungan masyarakat atau alam semesta. Serta apabila mahasiswa/i

akan terjun dalam dunia pendidikan hendaklah banyak mempelajari

pemikiran-pemikiran maupun karya ulama terdahulu yang

berkecimpung dalam masalah pendidikan untuk diambil manfaatnya

dan dijadikan bahan pedoman dalam mengaplikasikannya di dunia


47

pendidikan pada masa yang akan datang terutama pada kisah-kisah

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib yang termaktub dalam karya sirah-sirah.

3. Bagi Orang Tua

Bagi orang tua, hendaknya menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak

sejak dini kepada anak dan lebih sering mengawasi putra-putri

mereka. Orang tua harus menjadikan keluarga sebagai tempat

berkembangnya akhlak anak. Anak mengenal pendidikan untuk

pertama kalinya melalui keluarga, maka dengan menanamkan nilai-

nilai akhlak yang baik anak akan terbekali dengan pondasi akhlak

yang baik.

4. Bagi Generasi Z

Seharusnya terlebih dahulu dapat memperbaiki akhlak diri sendirinya

kemudian berusaha untuk menanamkan akhlak yang baik kepada anak

dan peserta didik. Pendidik maupun guru tetap menanamkan nilai-

nilai pendidikan akhlak dengan menyandarkan kepada akhlak

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Pendidik harus senantiasa mengenalkan

keluhuran akhlak Sayyidina Ali Bin Abi Thalib sebagai pemilik

akhlak mulia. Pendidik juga dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan

akhlak dengan menekankan kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik

kepada peserta didik seperti, shalat tepat pada waktunya, bersedekah,

berbuat baik pada sesama, dan mencegah perbuatan buruk terhadap

siapapun serta menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhammad Ash-Shalabi.2012.Biografi Ali Bin Abi Thalib, Terj Muslich

Taman dkk (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).

Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah,

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), h.87.

Amir Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Library Reseach) Kajian

Filosofis, Teotitis dan Aplikatif, (Malang: Literasi Nusantara, 2019).

Afif Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Membangun Basis Filosofi, Pendidikan

Profetik, (Malang: UM Press, 2011), h.141.

Diah Ningrum.2015. Kemerosotan Moral Dikalangan Remaja. UNISA:XXXXVII

Imam Ma’ruf, Kepemimpinana Khalifah Ali Bin Abi Thalib (Dalam Buku Biografi

Ali Bin Abi Thalib Karya Ali Audah) Dan Relevansinya Dalam Nilai-Nilai

Pendidikan Agama Islam, Skripsi, (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2016),

hlm.20-21.

Jonathan Sarwono, Metode Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta : Graha Ilmu,

2006). Hlm.193.

Lailatus Salamah. Efektifitas Metode Kisah dalam Pembelajaran Akidah Akhlak

di Madrasah Al Maarif Singosari Malang, Skripsi Fakultas Tarbiyah

Universitas Agama Islam Negeri Malang (Malang : Fakultas Tarbiyah

Universitas Agama Islam Negeri Malang.2008), hlm.3-4.

48
49

Lajnah Pentasihan. Mushaf Al-Qur’an, Pendidikan, Pembangunan Karakter, Dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta: Aku Bisa, 2012), 136.

Lucki Nur Lailiah, Nilai-Nilai Akhlak Dalam Kisah Uwais Al-Qarni, (Malang:

Universitas Malik Ibrahim, 2020)

Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1999). h.11

M. Athiyah Al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A.

Gani dan Djohar Bahry.

Nasharuddin, Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), 215.

Omar Muhammad al-Toumy Al-Syaibani, Filsafat Pendidiksn Islam, terj. Hasan

Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2014).

Rianawati.2017. Kerjasama guru dan orang tua dalam pendidikan dalam

pendidikan akhlak , Pontianak : TOP Indonesia.

Stillman, David. (2018). Generasi Z: memahami Karakter Generasi Baru yang

Akan Mengubah Dunia Kerja. Jakarta: Gramedia

Sutrisna Hadi, (2000) Metodologi Reseach, Yogyakarta: Andi Offset.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung:

Alfabeta, 2018).

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016).


50

Tim Dosen Pendidikan Islam Universitas Negeri Malang, Aktualisasi Pendidikan

Islam, (Malang: Hilal Pustaka, 2010). h.160

Zubaedi, Pedoman Penulisan Skripsi. (Bengkulu: Fakultas Tarbiyah dan Tadris

IAIN Bengkulu, 2015).

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta : Prenada Media Group, 2011).

Anda mungkin juga menyukai