Anda di halaman 1dari 44

1.

Merancang Strategi Pengendalian Risiko K3 di Tempat


Kerja
Pengendalian resiko merupakan suatu hierarki (dilakukan berurutan sampai dengan tingkat
resiko/bahaya berkurang menuju titik yang aman). Hierarki pengendalian tersebut antara lain
ialah eliminasi, substitusi, perancangan, administrasi dan alat pelindung diri (APD) yang terdapat
pada tabel di bawah :

Hierarki Pengendalian Resiko K3


Eliminasi Eliminasi Sumber Bahaya
Substitusi Substitusi Alat/Mesin/Bahan Tempat Kerja/Pekerjaan Aman
Modifikasi/Perancangan Alat/Mesin/Tempat Mengurangi Bahaya
Perancangan
Kerja yang Lebih Aman
Prosedur, Aturan, Pelatihan, Durasi Kerja, Tanda
Administrasi Tenaga Kerja Aman
Bahaya, Rambu, Poster, Label
Mengurangi Paparan
APD Alat Perlindungan Diri Tenaga Kerja

2. Merancang system Tanggap darurat.


Keadaan darurat dapat terjadi kapan saja tanpa bisa diduga. Keadaan darurat umumnya bisa
terjadi karena sebab alami seperti banjir, gempa bumi, angin puting beliung, atau akibat dari
keterlibatan manusia, misalnya kebakaran, bahan kimia, tumpahan zat beracun, atau
kegagalan struktur bangunan. ISO 45001 memastikan organisasi siap untuk menangani
semua keadaan darurat melalui perencanaan respons yang memadai.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk perencanaan tanggap darurat adalah:

Identifikasi keadaan darurat: Langkah pertama menuju perencanaan tanggap darurat


adalah mengidentifikasi semua situasi darurat yang mungkin dihadapi organisasi selama jam
kerja atau setelah jam kerja. Pertimbangkan lokasi perusahaan, sifat pekerjaan perusahaan,
mesin atau bahan kimia yang digunakan, dibuat, atau disimpan di dalam lokasi. Buat daftar
semua potensi keadaan darurat yang mungkin dihadapi perusahaan. Lakukan penilaian
risiko yang terkait dengan keadaan darurat ini.

Identifikasi persediaan / sumber daya yang diperlukan untuk menanggapi keadaan


darurat: Anda perlu menilai kemampuan tempat kerja Anda saat ini untuk merespons
keadaan darurat. Ini termasuk sumber daya internal dan eksternal, persediaan medis atau
lainnya yang diperlukan untuk menanggapi keadaan darurat. Anda mungkin dapat
mengendalikan beberapa keadaan darurat dengan kontrol proaktif, seperti mengurangi
sumber pengapian. Selain kontrol proaktif, identifikasi kontrol reaktif seperti saluran
komunikasi, bantuan medis, generator, peralatan pemadam kebakaran, dan lain-lain yang
mungkin diperlukan saat keadaan darurat terjadi.
Buat rencana tanggap darurat: Rencana Tanggap Darurat yang tepat perlu dibuat setelah
keadaan darurat dan mekanisme tanggapan mereka diidentifikasi. Ini akan mencakup
prosedur untuk menangani keadaan darurat, lokasi dan instruksi untuk fasilitas darurat,
prosedur evakuasi, alarm dan fasilitas darurat.

Komunikasikan dan Latih pekerja / pemangku kepentingan yang relevan tentang


tanggap darurat: Begitu Rencana Tanggap Darurat dibuat, penting untuk
mengkomunikasikan rencana tersebut kepada semua pekerja / pemangku kepentingan yang
relevan. Anda perlu melatih pekerja untuk menangani situasi darurat. Latihan darurat yang
sering dapat dilakukan untuk mendidik pekerja dari waktu ke waktu.

Evaluasi dan revisi prosedur tanggap darurat: Prosedur tanggap darurat harus dievaluasi
setelah latihan atau setelah keadaan darurat dihadapi. Jika perlu, prosedur darurat ini harus
diubah atau direvisi berdasarkan hasil pengujian atau latihan.

Perencanaan tanggap darurat penting bagi setiap perusahaan karena selalu lebih baik
berhati-hati dengan cara aman daripada menyesal. Membuat rencana respons yang efektif
untuk keadaan darurat mungkin membutuhkan usaha yang lebih, tetapi tentunya akan
terbayarkan dalam jangka panjang. Ini memastikan keselamatan pekerja Anda dan
membantu membangun tempat kerja yang sehat dan aman.

3. Melakukan Komunikasi K3
Guna menjamin penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, maka
Perusahaan perlu menyusun sistem komunikasi untuk mendukung pelaksanaan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang baik di tempat kerja.

Komunikasi meliputi komunikasi internal antar bagian maupun sesama bagian dalam struktur
organisasi Perusahaan maupun komunikasi eksternal dengan pihak lain seperti kontraktor,
pemasok, pengunjung, tamu dan masyarakat luas maupun pihak ke tiga yang bekerja sama
dengan Perushaaan berkaitan dengan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

Komunikasi dapat melalui beragam media, cara dan teknologi yang secara efektif dapat
menyampaikan pesan kepada semua pihak yang perlu mendapat informasi berkaitan dengan
Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Informasi-informasi yang termasuk dalam komunikasi


internal antara lain :
1. Komitmen Perusahaan terhadap Penerapan K3 di tempat kerja.
2. Program-program yang berkaitan dengan Penerapan K3 di tempat kerja.
3. Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko K3 di tempat kerja.
4. Prosedur kerja, instruksi kerja, diagram alur proses kerja serta material/bahan/alat/mesin
yang digunakan dalam proses kerja.
5. Tujuan K3 dan aktivitas peningkatan berkelanjutan lainnya.
6. Hasil-hasil investigasi kecelakaan kerja.
7. Perkembangan aktivitas pengendalian bahaya di tempat kerja.
8. Perubahan-perubahan manajemen Perusahaan yang mempengaruhi penerapan K3 di
tempat kerja, dsb.

Informasi-informasi terkait komunikasi eksternal dengan


kontrakator antara lain :
1. Sistem Manajemen K3 kontraktor individual.
2. Peraturan dan persyaratan komunikasi kontraktor.
3. Kinerja K3 kontraktor.
4. Daftar kontraktor lain di tempat kerja.
5. Hasil pemeriksaan dan pemantauan K3.
6. Tanggap Darurat.
7. Hasil investigasi kecelakaan, ketidaksesuaian dan tindakan perbaikan dan tindakan
pencegahan.
8. Persyaratan komunikasi harian, dsb.

Informasi-informasi terkait komunikasi eksternal dengan


pengunjung/tamu antara lain :
1. Persyaratan-persyaratan K3 untuk tamu.
2. Prosedur evakuasi darurat.
3. Aturan lalu lintas di tempat kerja.
4. Aturan akses tempat kerja dan pengawalan.
5. APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan di tempat kerja.

Perusahaan juga mengatur komunikasi eksternal dengan pihak ke tiga terkait informasi yang
diterima oleh Perusahaan maupun informasi yang diberikan oleh Perusahaan untuk pihak ke tiga.
Perusahan menjamin konsistensi dan relevansi informasi yang diberikan sesuai dengan Sistem
Manajemen K3 Perusahaan termasuk informasi mengenai pengendalian operasi K3 dan tanggap
darurat Perusahaan.
4. Mengawasi pelaksanaan izin kerja.
Sebagian pekerja mungkin masih menganggap surat izin kerja dibuat hanya sebagai formalitas
sebelum memasuki lokasi berbahaya atau melaksanakan pekerjaan tertentu. Padahal dibalik itu,
pembuatan izin kerja sangat penting untuk menyatakan kondisi tempat dimana pekerjaan tersebut
dilakukan sudah aman atau belum dan memastikan pekerja melakukan pekerjaannya dengan
aman dan efisien sesuai prosedur keselamatan yang ditetapkan. Izin kerja tidak hanya membantu
mencegah terjadinya kecelakaan kerja, tetapi juga melindungi peralatan kerja dari kerusakan.

Meski perannya sangat penting, izin kerja ini jarang dilaksanakan dengan baik, bahkan beberapa
bukti menunjukkan prosedur ini tidak dilaksanakan sama sekali. Hampir semua kecelakaan kerja
yang terjadi pada pekerjaan berbahaya, ditemukan tidak ada izin kerja yang dikeluarkan untuk
pekerjaan tersebut. Maka dari itu, baik supervisor maupun pekerja perlu memahami pentingnya
izin kerja sebelum memulai sebuah pekerjaan agar kecelakaan kerja dapat dihindari.   

Apa itu izin kerja (work permit) dan mengapa diperlukan?

Izin kerja (dikenal juga dengan istilah work permit, permit to work, atau surat izin kerja aman)
adalah sebuah dokumen atau izin tertulis yang digunakan untuk mengontrol jenis pekerjaan
tertentu yang berpotensi membahayakan pekerja. Izin kerja diperlukan untuk mengidentifikasi
pekerjaan yang akan dilakukan, potensi bahaya yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan
dilakukan, dan tindakan pencegahan atau pengendaliannya.

Izin kerja juga biasanya dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti job safety analysis (JSA)
dan tool box checklist. Contoh pekerjaan yang membutuhkan izin kerja adalah pekerjaan yang
mengharuskan pekerjanya masuk dan bekerja di ruang terbatas, kegiatan memperbaiki,
memelihara atau memeriksa instalasi listrik, dan pengoperasian alat berat.

Siapa yang berwenang mengeluarkan izin kerja?

Izin kerja dikeluarkan oleh pengawas/ supervisor/ pelaksana kepada subkontraktor/ mandor atau
pekerja yang akan memasuki area berbahaya atau melaksanakan pekerjaan yang dianggap
berbahaya. Sebelum memberikan izin kerja, pengawas/ supervisor/ pelaksana biasanya akan
melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal berikut ini:

 Kesehatan pekerja
 Kelengkapan sarana dan prasarana kerja (termasuk APD yang berhubungan dengan
pekerjaan yang hendak dilakukan)
 Kondisi terbaru di lokasi pekerjaan, apakah terdapat hal-hal yang membahayakan atau
tidak
 Hal-hal yang berhubungan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lokasi kerja
tersebut.

Bila hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada hal-hal yang dapat membahayakan pekerja dan
lokasi kerja dinyatakan aman, maka izin kerja harus di tanda tangani oleh orang yang berwenang
(authority person) dan pekerja yang terlibat di lapangan.

Kapan izin kerja diperlukan?

Izin kerja diperlukan jika:

 Pekerjaan dilaksanakan oleh kontraktor


 Terdapat potensi kekurangan oksigen (oxygen deficiency) atau kadar oksigen berlebih
 Terdapat potensi atmosfer mudah terbakar atau meledak
 Terdapat potensi suhu ekstrem atau tekanan tinggi
 Terdapat paparan bahan kimia berbahaya dan beracun
 Memasuki ruang terbatas
 Bekerja di ketinggian
 Melakukan kegiatan perbaikan, pemeliharaan, atau pemeriksaan instalasi listrik
 Melakukan kegiatan perbaikan atau pemeliharaan peralatan atau di lokasi yang
mengandung bahan atau kondisi berbahaya
 Melakukan kegiatan penggalian
 Mengoperasikan alat berat
 Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mesin berputar atau bergerak
 Melakukan kegiatan yang berhubungan dengan bahan radioaktif
 Melakukan kegiatan penguncian atau isolasi sumber energi berbahaya

 
Apa saja jenis-jenis izin kerja yang biasanya dibuat sebelum memulai
pekerjaan?

Jenis izin kerja ditentukan berdasarkan sifat pekerjaan yang akan dilakukan dan bahaya yang
harus dikontrol atau dihilangkan. Pasalnya satu jenis izin kerja tidak selalu berlaku untuk
berbagai kegiatan dan lokasi pekerjaan. Berikut jenis-jenis izin kerja yang paling sering
digunakan di tempat kerja:

 Izin kerja pekerjaan panas (hot work permit) – Diperlukan apabila akan melaksanakan
pekerjaan panas, contohnya: pengelasan, pemotongan dengan api, pengeboran logam, dan
sandblasting.
 Izin kerja pekerjaan dingin (cold work permit) – Diperlukan apabila akan
melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan perbaikan, pemeliharaan,
atau konstruksi yang sifatnya tidak rutin (sesuai ketentuan pekerjaan tersebut) dan tidak
menggunakan peralatan yang dapat menimbulkan api terbuka atau sumber nyala.
Contohnya pengecatan, pekerjaan bangunan, dan pekerjaan sipil.
 Izin kerja memasuki ruang terbatas (confined space entry permit) – Diperlukan
apabila akan memasuki dan melakukan pekerjaan di ruang terbatas, seperti silo, tanki,
atau saluran tertutup.
 Izin kerja pekerjaan listrik (electrical work permit) – Diperlukan apabila akan
melakukan perbaikan, pemeliharaan, atau pemeriksaan yang berhubungan dengan
kelistrikan.
 Izin kerja khusus (special permit) – Diperlukan apabila akan melaksanakan pekerjaan
melibatkan kondisi berbahaya, seperti bekerja dengan paparan bahan radioaktif, bekerja
di ketinggian, penggalian, atau melaksanakan pekerjaan dengan tingkat potensi bahaya
tinggi lainnya.
 

Informasi apa saja yang harus tercantum dalam surat izin kerja?

Surat izin kerja harus memuat beberapa informasi mencakup:

 Nama pekerja (bisa lebih dari satu pekerja)


 Detail lokasi pekerjaan
 Pekerjaan yang akan dilakukan
 Tanggal dan waktu pekerjaan (waktu memulai dan berakhirnya pekerjaan)
 Daftar potensi bahaya
 Daftar persiapan, seperti kelengkapan peralatan yang diperlukan, pengujian atmosfer,
isolasi sumber energi berbahaya, dll.
 Detail urutan prosedur kerja
 Tindakan pencegahan yang diperlukan
 Alat pelindung diri yang dibutuhkan
 Peralatan darurat yang dibutuhkan
 Nomor telepon darurat dan lokasi telepon terdekat diletakkan
 Tanda tangan orang yang berwenang/ petugas yang mengeluarkan izin kerja (bisa lebih
dari satu)
 Tanda tangan pekerja (bisa lebih dari satu) yang menunjukkan bahwa mereka sudah
memahami bahaya yang terlibat dan mengetahui tindakan pencegahan yang harus
dilakukan
 Tanggal dan waktu izin kerja dikeluarkan.

Berapa lama masa berlaku izin kerja?

Izin kerja harus dibuat secara spesifik dan hanya berlaku bila kondisi pekerjaan tidak berubah.
Izin kerja biasanya hanya berlaku singkat, selama 8 jam atau satu shift, dan berlaku tidak lebih
dari satu hari. Rentang waktu yang ditetapkan dalam izin kerja biasanya dimulai pukul 07.00
pagi hingga pukul 17.00 waktu setempat atau jam kerja yang berlaku di tempat tersebut.

Bila kondisi lingkungan pekerjaan berubah (hujan, pergantian shift, dll.), maka izin kerja harus
diperiksa kembali sesuai kondisi lingkungan kerja saat itu. Izin kerja sebelumnya harus diganti
dengan izin kerja baru atau bila ada perubahan lingkungan dianggap tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap keselamatan kerja, maka izin kerja dapat dipergunakan kembali.

Apabila pekerjaan yang sedang berlangsung memerlukan perpanjangan waktu melebihi waktu
yang telah ditetapkan pada surat izin kerja, Anda harus memperbaharuinya dan disahkan oleh
pengawas pekerjaan di lokasi tersebut.

 
Bagaimana prosedur pembuatan izin kerja?

Izin kerja biasanya dibuat rangkap dua atau rangkap tiga. Ketika dibuat rangkap dua, satu salinan
disimpan sebagai dokumentasi dan satu salinan lagi diberikan untuk pekerja. Sedangkan, untuk
izin kerja yang dibuat rangkap tiga, salinan ketiga disimpan manajemen K3 perusahaan untuk
keperluan audit, apakah persyaratan izin kerja yang selama ini diterapkan sudah terpenuhi atau
belum.

Izin kerja harus dibuat sebelum pekerja memulai pekerjaan yang dianggap berbahaya. Izin kerja
harus diserahkan kembali kepada orang yang berwenang (yang mengeluarkan surat tersebut) saat
pergantian shift atau saat pekerjaan selesai dilaksanakan.

Dalam membuat atau mengeluarkan izin kerja, pekerja atau supervisor juga harus cermat dan
teliti, pasalnya banyak dari mereka yang belum kompeten memahami pentingnya izin kerja
dimasukkan ke dalam program K3 di tempat kerja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
sistem izin kerja di perusahaan tidak efektif:

 Jenis atau format izin kerja tidak mencakup semua potensi bahaya
 Prosedur penerbitan izin kerja tidak memadai
 Orang yang menandatangani izin kerja tidak memeriksa kondisi operasi di lapangan,
apakah sumber energi berbahaya sudah benar-benar diisolasi atau pengujian atmosfer
sudah dilakukan
 Pekerja tidak mengikuti atau memahami persyaratan izin kerja, terutama perihal masa
berlaku izin kerja
 Manajemen K3 perusahaan tidak melakukan audit terhadap sistem izin kerja
 Izin kerja baru dibuat setelah pekerjaan dimulai atau sedang berlangsung
 Petugas yang bertanggung jawab tidak memeriksa kondisi operasi di lapangan setelah
izin dikeluarkan
 Sistem izin kerja yang terlalu rumit

Intinya, izin kerja merupakan alat yang efektif untuk membantu mengidentifikasi dan
mengendalikan bahaya, mencegah cedera, dan menghindari kecelakaan fatal di tempat kerja.
Semua pekerja harus memahami persyaratan izin kerja dan mengapa izin kerja diperlukan
sebelum memulai pekerjaan.
5. Melakukan Pengukuran Faktor Bahaya di Tempat Kerja

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Tenaga kerja merupakan modal utama dalam pengembangan usaha, sehingga mereka
harus mendapatkan perlindungan keselamatan kerja dari perusahaan. Selain itu, untuk
menunjang terciptanya suasana dan lingkungan pekerjaan yang aman dan sehat, perusahaan
harus melaksanakan beberapa program untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap tempat kerja
selalu mengandung berbagai potensi bahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan tenaga
kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Potensi bahaya adalah
segala sesuatu yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian, kerusakan, cidera, sakit,
kecelakaan atau bahkan dapat mengakibatkan kematian yang berhubungan dengan proses
dan sistem kerja.
Lingkungan kerja beserta semua faktor-faktornya dapat merugikan kesehatan pekerja
apabila tidak dikelolah dengan baik. Penyakit akibat kerja timbul karena pekerja terpapar
pada lingkungan kerja yang mengandung bermacam-macam bahaya kesehatan baik yang
bersifat kimia, fisik, biologi, fisiologi dan mental psikologi.
Bahaya tidak hanya berhenti pada satu tempat saja, bahaya akan muncul dimana dan kapan
saja. Identifikasi bahaya, pemeliharaan dan pemantauan terhadap lingkungan/kesehatan
kerja harus dilaksanakan secara terus-menerus sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
Keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja merupakan satu kesatuan yang saling
berkaitan, sehingga dalam prakteknya, ketiga komponen tersebut harus sinergi dan terpadu.
B.   Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan, seperti
bahaya kimia, fisik, biologi, fisiologi dan mental psikologi.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.   Pengertian

Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik,
kimia, biologi, ergonomi, dan psikososial yang mempengaruhi pekerjaan dalam
melaksanakan pekerjaannya.
Kesehatan lingkungan kerja adalah ilmu dan seni yang ditunjukkan untuk mengenal,
mengevaluasi dalam mengendalikan semua faktor-faktor dan stres lingkungan di tempat
kerja yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kesejahteraan, kenyamanan dan
efisiensi dikalangan pekerjaan dan masyarakat.
Tujuan utama dari kesehatan lingkungan kerja adalah melindungi pekerja dan
masyarakat sekitar suatu RS atau perusahaan dari bahaya-bahaya yang mungkin timbul.
Untuk dapat mengantisipasi dan mengetahui kemungkinan bahaya lingkungan kerja yang
diperkirakan dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, utamanya terhadap pekerja,
ditempuh tiga langkah utama yaitu: pengenalan, penilaian dan pengendalian dari berbagai
bahaya dan resiko kerja.

B.   Ruang Lingkup Keselamatan Kerja


Keselamatan kerja termasuk dalam perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap
pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan
yang dikerjakan. Keselamatan kerja tidak hanya memberikan perlindungan kepada
pekerja/buruh, tetapi juga kepada pengusaha dan pemerintah :
1)      Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan
suasana kerja yang tenteram sehingga pekerja/buruh akan dapat memusatkan perhatiannya
pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa
kecelakaan kerja.
2)      Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di perusahaannya akan dpat
mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan
jaminan social.
3)      Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan
keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk menyejahterakan
masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun
kuantitasnya.
Untuk mewujudkan perlindungan keselamatan kerja, maka pemerintah telah
melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian pembinaan
norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan dan pengawasan norma itu
sendiri.
Ditinjau dari segi keilmuan, keselamatan dan kesehatan kerja diartikan sebagai ilmu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan
dan penyakit akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan
dilaksanakan di setiap tempat kerja.
(perusahaan). Tempat kerja adalah setiap tempat yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur,

yaitu :

1)      Adanya suatu usaha, baik itu usaha yang bersifat ekonomis maupun social.
2)      Adanya sumber bahaya.
3)      Adanya tenaga kerja yang bekerja di dalamnya, baik secara terus menerus maupun
hanya sewaktu-waktu.

C.   Faktor-faktor Bahaya Lingkungan Kerja


Bahaya di lingkungan kerja dapat didefinisikan sebagai segala kondisi yang dapat
memberi pengaruh yang merugikan terhadap kesehatan atau kesejahteraan orang yang
bekerja. Faktor bahaya di lingkungan kerja meliputi faktor Kimia, Biologi, Fisika, Fisiologi
dan Psikologi.
1.      Bahaya kimia
Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh: Pernapasan (inhalation), Kulit (skin
absorption), Tertelan (ingestion). Racun dapat menyebabkan efek yang bersifat akut,kronis atau
kedua-duanya.
           Korosi : Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada permukaan
tempat dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem pencernaan adalah bagain tubuh yang
paling umum terkena. Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.\
           Iritasi : iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi kulit
bisa menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada alat-alat pernapasan
yang hebat dapat menyebabkan sesak napas, peradangan dan oedema (bengkak). Contoh :
Kulit : asam, basa,pelarut, minyak. Dan pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia,
nitrogen dioxide, phosgene, chlorine ,bromine, ozone.
           Kanker : Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah terbukti
pada manusia. Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas
sudah terbukti menyebabkan kanker pada hewan . Contoh:
- Terbukti karsinogen pada manusia : benzene ( leukaemia); vinylchloride ( liver
angiosarcoma); 2-naphthylamine, benzidine (kanker kandung kemih ); asbestos (kanker
paru-paru , mesothelioma);
- Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon tetrachloride,
dichromates, beryllium.
           Racun Sistemik : Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada
organ atau sistem tubuh. Contoh :
- Otak : pelarut, lead,mercury, manganese
- Sistem syaraf peripheral : n-hexane,lead,arsenic,carbon disulphide
- Sistem pembentukan darah : benzene,ethylene glycol ethers
- Ginjal : cadmium,lead,mercury,chlorinated hydrocarbons
- Paru-paru : silica,asbestos, debu batubara (pneumoconiosis).

2.      Bahaya Biologi


Bahaya biologi dapat didefinisikan sebagai debu organik yang berasal dari sumber-
sumber biologi yang berbeda seperti virus, bakteri, jamur, protein dari binatang atau bahan-
bahan dari tumbuhan seperti produk serat alam yang terdegradasi. Bahaya biologi dapat
dibagi menjadi dua yaitu yang menyebabkan infeksi dan non-infeksi. Bahaya dari yang
bersifat non infeksi dapat dibagi lagi menjadi organisme viable, racun biogenik dan alergi
biogenik.
         Organisme viable dan racun biogenic
Organisme viable termasuk di dalamnya jamur, spora dan mycotoxins; Racun
biogenik termasuk endotoxins, aflatoxin dan bakteri. Perkembangan produk bakterial dan
jamur dipengaruhi oleh suhu, kelembapan dan media dimana mereka tumbuh. Pekerja yang
beresiko: pekerja pada silo bahan pangan, pekerja pada sewage & sludge treatment, dll.
Contoh : Byssinosis, “grain fever”, Legionnaire’s disease.
         Alergi Bionik
Termasuk didalamnya adalah: jamur, animal-derived protein, enzim. Bahan
alergen dari pertanian berasal dari protein pada kulit binatang, rambut dari bulu dan protein
dari urine dan feaces binatang. Bahan-bahan alergen pada industri berasal dari proses
fermentasi, pembuatan obat, bakery, kertas, proses pengolahan kayu , juga dijumpai di
bioteknologi ( enzim, vaksin dan kultur jaringan). Pada orang yang sensitif, pemajanan
alergen dapat menimbulkan gejala alergi seperti rinitis, conjunctivitis atau asma. Contoh :
Occupational asthma : wool, bulu, butir gandum, tepung bawang dsb.
         Bahaya Infeksi
Penyakit akibat kerja karena infeksi relatif tidak umum dijumpai. Pekerja yang
potensial mengalaminya yaitu pekerja di rumah sakit, laboratorium, jurumasak, penjaga
binatang, dokter hewan dll. Contoh : Hepatitis B, tuberculosis, anthrax, brucella, tetanus,
salmonella, chlamydia, psittaci.
3.      Bahaya Fisik
Bahaya fisik yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan gangguan-gangguan
kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya: terpapar kebisingan intensitas
tinggi, suhu ekstrim (panas & dingin), intensitas penerangan kurang memadai, getaran,
radiasi.
         Kebisingan
Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki yang
dapat memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang maupun
suatu populasi. Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara lain : jumlah energi bunyi,
distribusi frekuensi, dan lama pajanan. Kebisingan dapat menghasilkan efek akut seperti
masalah komunikasi, turunnya konsentrasi, yang pada akhirnya mengganggu job
performance tenaga kerja. Pajanan kebisingan yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka
waktu tertentu dapat menyebabkan tuli yang bersifat sementara maupun kronis. Tuli
permanen adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak di klaim . Contoh : Pengolahan
kayu, tekstil, metal, dll.
         Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti:
frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus atau intermitten.
Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam memberikan efek yang
berbahaya. Pekerjaan manual menggunakan “powered tool” berasosiasi dengan gejala
gangguan peredaran darah yang dikenal sebagai ”Raynaud’s phenomenon” atau ”vibration-
induced white fingers” (VWF). Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi
efek negatif pada sistem saraf dan sistem musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan
cengkram dan sakit tulang belakang. Contoh : Loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain
saws.
         Pencahayaan
a)      Tujuan pencahayaan : Memberi kenyamanan dan efisiensi dalam melaksanakan
pekerjaan dan memberi lingkungan kerja yang aman.
b)      Efek pencahayaan yang buruk: mata tidak nyaman, mata lelah, sakit kepala,
berkurangnya kemampuan melihat, dan menyebabkan kecelakaan.
c)      Keuntungan pencahayaan yang baik : meningkatkan semangat kerja, produktivitas,
mengurangi kesalahan, meningkatkan housekeeping, kenyamanan lingkungan kerja,
mengurangi kecelakaan kerja.
4.      Bahaya Psikologi
Bahaya yang berasal atau ditimbulkan oleh kondisi aspek-aspek psikologis
ketenagakerjaan yang kurang baik atau kurang mendapatkan perhatian seperti :
penempatan tenaga kerja yang tidak sesuai dengan bakat, minat, kepribadian, motivasi,
temperamen atau pendidikannya, sistem seleksi dan klasifikasi tenaga kerja yang tidak
sesuai, kurangnya keterampilan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya sebagai
akibat kurangnya latihan kerja yang diperoleh, serta hubungan antara individu yang tidak
harmoni dan tidak serasi dalam organisasi kerja. Kesemuanya tersebut akan
menyebabkan terjadinya stress akibat kerja.
         Stress adalah tanggapan tubuh (respon) yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap
tuntutan atasnya. Manakala tuntutan terhadap tubuh itu berlebihan, maka hal ini dinamakan
stress.
         Gangguan emosional yang di timbulkan : cemas, gelisah, gangguan kepribadian,
penyimpangan seksual, ketagihan alkohol dan psikotropika.
         Penyakit-penyakit psikosomatis antara lain : jantung koroner, tekanan darah tinggi,
gangguan pencernaan, luka usus besar, gangguan pernapasan, asma bronkial, penyakit kulit
seperti eksim,dll.
5.      Bahaya Fisiologi
Potensi bahaya yang berasal atau yang disebabkan oleh penerapan ergonomi yang
tidak baik atau tidak sesuai dengan norma-norma ergonomi yang berlaku, dalam
melakukan pekerjaan serta peralatan kerja, termasuk : sikap dan cara kerja yang tidak
sesuai, pengaturan kerja yang tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan
kemampuan pekerja ataupun ketidakserasian antara manusia dan mesin.
Pembebanan Kerja Fisik
         Beban kerja fisik bagi pekerja kasar perlu memperhatikan kondisi iklim, sosial
ekonomi dan derajat kesehatan.
         Pembebanan tidak melebihi 30 – 40% dari kemampuan kerja maksimum tenaga kerja
dalam jangka waktu 8 jam sehari.
         Berdasarkan hasil beberapa observasi, beban untuk tenaga Indonesia adalah 40 kg.
Bila mengangkat dan mengangkut dikerjakan lebih dari sekali maka beban maksimum
tersebut harus disesuaikan.
         Oleh karena penetapan kemampuan kerja maksimum sangat sulit, parameter praktis
yang digunakan adalah pengukuran denyut nadi yang diusahakan tidak melebihi 30-40
permenit di atas denyut nadi sebelum bekerja.
BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Faktor bahaya lingkungan kerja terhadap kesehatan, seperti :


         Bahaya Kimia, seperti : korosi, kanker, iritasi, dan racun sistemik
         Bahaya Biologi, seperti : bahaya infeksi, alergi bionik, dan Organisme viable dan
racun biogenic.
         Bahaya fisik, seperti : pencahayaan, getaran, dan kebisingan.
         Bahaya Psikologi, seperti : stress, gangguan emosional, dan Penyakit-penyakit
psikosomatis.
         Bahaya Fisiologi, seperti : jangka waktu, beban kerja fisik, dll.

B.   Saran
Untuk menghindari hazard kesehatan kerja atau bahaya terhadap keselamatan kerja
sebaiknya setiap jenis tempat kerja memperhatikan alat pelindung diri dari para tenaga
kerja agar terhindar dari bahaya terhadap keselamatan kerja.
6. Mengelola Pertolongan Pertama pada Kecelakaan Kerja
(P3K) di Tempat Kerja
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) adalah pertolongan dan perawatan sementara yang
dilakukan kepada korban kecelakaan di tempat kerja menggunakan peralatan sederhana sebelum
korban mendapatkan pertolongan yang sempurna. Meski hanya menggunakan peralatan
sederhana, P3K bisa menjadi salah satu solusi untuk memberi pertolongan secara cepat dan tepat.

Meski pertolongan pertama bukanlah penanganan yang sempurna, tapi dengan adanya P3K di
tempat kerja akan memiliki banyak manfaat dalam mencegah keparahan cidera, mengurangi
penderitaan dan bahkan menyelamatkan nyawa korban. Jika tindakan P3K tidak dilakukan saat
terjadi kecelakaan di tempat kerja, akibatnya dapat memperburuk keadaan korban bahkan
menimbulkan kematian.

Kecelakaan dalam pekerjaan memang bukan sesuatu yang diinginkan oleh siapapun, termasuk
pekerja. Meski demikian, perusahaan wajib menyediakan berbagai sarana prasarana untuk
mengantisipasi terjadinya kecelakaan di tempat kerja.

Bagi perusahaan yang peduli dengan keselamatan dan kesehatan pekerjanya, menyediakan
fasilitas dan petugas P3K merupakan kewajiban yang pasti ada. Dengan adanya fasilitas dan
petugas P3K maka perusahaan dapat mengurangi berbagai konsekuensi yang ditimbulkan akibat
kecelakaan kerja. (Baca juga : Keselamatan Kerja Itu Penting. Pengusaha Harus Tahu!)

Pintasan isi artikel :

Fasilitas Pertolongan Pertama Pada Kecelekaan di Tempat Kerja :


1. Ruang P3K

Ru
ang Pertolongan Pertama pada Kecelakaan/alatkesehatan.id

Ruang P3K merupakan ruangan yang disediakan dan dirancang khusus oleh perusahaan untuk
penanganan pertama tenaga kerja yang mengalami kecelakaan maupun tempat merawat pekerja
yang sedang sakit saat bekerja.

Perusahaan yang mempekerjakan 100 orang atau lebih dan perusahaan yang mempekerjakan
kurang dari 100 orang namun memiliki potensi bahaya tinggi WAJIB memiliki ruang P3K.

Lokasi yang ideal untuk ruang P3K adalah ruangan yang dekat dengan toilet/kamar mandi, dekat
jalan keluar, mudah dijangkau dari area kerja, dan dekat dengan tempat parkir kendaraan.

Syarat utama ruang P3K adalah bersih/steril dan memiliki luas yang cukup untuk menampung
tempat tidur, lemari/kotak obat P3K, timbangan badan, tempat menyimpan tandu dan kursi roda,
tempat sampah, air minum, penyejuk ruangan, meja dan kursi. Selain itu, ruang P3K yang baik
juga terdapat petugas kesehatan yang telah terlatih P3K.
2. Lemari atau Kotak P3K dan isinya

kotak p3k yang


ditempel pada dinding di tempat kerja

Lemari atau kotak P3K adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan berbagai peralatan dan
obat  pertolongan pertama pada kecelakaan. Selain dipasang di ruang P3K, kotak ini biasanya
juga dipasang di beberapa tempat yang mudah dilihat dan dijangkau oleh pekerja.

Kotak P3K yang baik harus kuat dan mudah diangkat/dipindah. Biasanya kotak ini terbuat dari
bahan kayu atau logam, berwarna putih, diberi lambang palang merah dan tulisan “P3K” atau
“First Aid” dibagian kaca pintu kotak K3 sebagai penanda.

Kotak P3K memiliki ukuran yang beragam, penggunaannyapun juga tergantung kebutuhan. 
Semakin besar jumlah tenaga kerja yang ada di perusahaan maka akan semakin besar pula kotak
obat yang dibutuhkan. Bahkan bagi perusahaan dengan karyawan yang banyak, kotak P3K bisa
dibuat lebih banyak dan ditempatkan di berbagai tempat yang rawan terjadi kecelakaan.
Isi kotak P3K di
Tempat Kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Beberapa isi perlengkapan di kotak K3 terdiri dari : Kasa steril terbungkus, Perban, Plester,
Kapas, Kain mittela, Gunting, Peniti, Sarung tangan, Masker, Pinset, Lampu senter, Gelas untuk
cuci mata, Kantong plastik, Aquades, Povidon Iodin, Alkohol 70%, Buku panduan P3K, Buku
catatan, Tensimeter, Stetoskop, Daftar isi kotak, dan obat-obatan.
3. Alat Evakuasi dan Transportasi

Tandu lipat, alat


k3 untuk evakuasi korban kecelakaan

Alat Evakuasi adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan korban kecelakaan kerja
dari lokasi kecelakaan ke tempat lain yang lebih aman dengan cara-cara yang sederhana.

Dalam melakukan evakuasi, penolong bisa menggunakan alat transportasi seadanya, dan saat
korban dievakuasi maka penolong juga wajib melakukan perawatan darurat selama perjalanan.

Beberap alat evakuasi dan transportasi yang bisa digunakan pertolongan pertama adalah tandu,
alat bantu pernafasan, kursi roda, dan jika memungkinkan bisa menggunakan mobil ambulan
atau kendaraan lain yang dapat digunakan untuk mengangkut korban.

4. Petugas P3K

Petugas P3K yang mimiliki pengetahuan dan keterampilan penanganan korban kecelakaan kerja
sangat dibutuhkan di perusahaan. Petugas yang cekatan dan mampu mengatasi berbagai situasi
kecelakaan kerja, akan dapat mengurangi resiko akibat kecelakaan.
Rasio petugas
P3K di perusahaan

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : Per.15/Men/VIII/2008


Tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan Kerja; Idealnya rasio jumlah petugas P3K untuk
perusahaan yang memiliki resiko rendah terhadap kecelakaan, setidaknya memiliki satu petugas
P3K untuk menangani 150 tenaga kerja. Sedangkan untuk perusahaan yang memiliki resiko
kecelakaan kerja yang tinggi, setidaknya memiliki satu petugas untuk setiap 100 orang atau
kurang.

Petugas P3K di tempat kerja mempunyai tugas :

1. Melaksanakan tindakan P3K di tempat kerja;


2. Merawat fasilitas P3K di tempat kerja
3. Mencatat setiap kegiatan P3K dalam buku kegiatan; dan
4. Melaporkan kegiatan P3K kepada pengurus.

5. Fasilitas Tambahan

Selain berbagai fasilitas P3K yang telah disebutkan diatas, perusahaan tertentu juga
membutuhkan berbagai fasilitas tambahan untuk menjamin kegiatan P3K dapat berjalan dengan
baik. Fasilitas tambahan tersebut bisa berupa alat pelindung diri atau peralatan khusus yang
digunakan di tempat kerja yang menangani potensi bahaya yang membutuhkan penanganan
khusus. (Baca juga : Alat Pelindung Diri dan Perlengkapan Kerja)

Alat pelindung diri ini khusus disediakan untuk perlindungan petugas K3 maupun korban
kecelakaan. Hal ini disesuaikan dengan potensi bahaya di tempat kerja, misalnya alat pencuci
mata, seragam anti api, alat pembasahan tubuh cepat, dan lain sebagainya.
Prinsip Dasar Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan

Memberikan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan

Saat terjadi kecelakaan kerja, petugas P3K wajib segera menolong korban. Demi kebaikan
bersama, petugas P3K harus perhatikan prinsip dasar dalam memberikan pertolongan pertama
pada kecelakaan, yaitu :

1. Pastikan Anda bukan menjadi korban berikutnya.

Saat terjadi kecelakaan kerja biasanya timbul situasi panik. Sebagai petugas P3K usahakan tetap
tenang dan lihatlah situasi dengan cermat sehingga Anda tidak menjadi korban kecelakaan
berikutnya. Pastikan diri Anda dalam posisi aman untuk bisa menolong orang lain.

2. Pakailah metode pertolongan yang cepat, mudah dan efesien.

Untuk menangani pertolongan pertama pada kecelakaan, lakukan sesegera mungkin dengan
berbagai peralatan dan sumber daya yang ada.

3. Catat semua usaha pertolongan yang telah dilakukan.


Pencatatan ini berfungsi untuk memberikan data secara falid kepada pihak lain (misalanya rumah
sakit/rujukan) tentang identitas korban, kronologi kejadian, dan gejala penyakit yang diderita.

Sistematika Pertolongan Pertama pada korban kecelakaan

Petugas P3K di perusahaan

Menolong orang yang sedang mengalami kecelakaan memang membutuhkan mental kuat dan
keterampilan P3K yang cukup. Beberpa tips untuk memberikan pertolongan pertama pada
kecelakaan kerja :

1. Jangan Panik.

Meski situasi dan kondisi saat terjadi kecelakaan crowded, usahakan tetap tenang dan segera
mengambil tindakan secara tepat dan cepat.

2. Jauhkan korban dari kecelakaan berikutnya.

Menjauhkan korban kecelakaan dari tempat semula berfungsi untuk menghindari kecelakaan
susulan yang mungkin bisa saja terjadi. Selain itu, dengan menghindar dari lokasi terjadinya
kecelakaan, petugas P3K akan dapat lebih fokus mengurus korban.

3. Perhatikan pernafasan,denyut jantung, pendarahan dan tanda-tanda shock.


Jika korban kecelakaan mengalami kendala dalam pernafasan, pendarahan, dan terjadi tenda-
tanda shock maka segera beri pertolongan pertama sesuai dengan SOP.

4. Jangan memindahkan korban secara terburu-buru.

Jangan pindahkan korban sebelum diketahui secara pasti jenis dan keparahan cidera yang
dialami, kecuali bila tempat tersebut tidak memungkinkan lagi untuk melalukan perawatan.
Apabila korban hendak diusung, hentikan pendarahan dan pastikan tulang yang patah sudah
dibidai.

5. Segera rujuk ke pusat pengobatan terdekat.

Pertolongan pertama pada prinsipnya adalah pertolongan sementara. Apabila korban mengalami
luka parah, jangan segan untuk merujuk ke pusat pengobatan terdekat, bisa ke puskesmas, dokter
spesialis maupun rumah sakit.

7. Mengelola Tindakan Tanggap Darurat


Dari penjelasan tersebut, maka dalam membuat prosedur tanggap darurat K3, perlu
memperhatikan beberapa aspek penting, yaitu :

 Membuat identifikasi bahaya dan mengklasifikasikan jenis-jenis bahaya yang mungkin


terjadi di perusahaan
 Memperhatikan perlengkapan keadaan darurat. Perlengkapan tersebut dapat berupa
penyediaan SOP pemakaian alat, penyediaan alat APAR dan sirine serta P3K dalam
lingkungan kantor, pembuatan jalur evakuasi serta assembly point, dan juga pembuatan
safety sign evakuasi.
 Membuat peraturan prosedur tanggap darurat yang letaknya strategis dan
mensosialisasikannya kepada karyawan serta publik.
 Menyusun Tim Tanggap Darurat. Penyusunan tim dilakukan dengan melibatkan seluruh
karyawan kantor dan membuat koordinator penanggungjawab
 Mengadakan pelatihan prosedur tanggap darurat. Pelatihan tersebut dapat diberikan
dalam beberapa waktu tertentu dan memberitahukan apa saja prosedur tanggap darurat di
perusahaan serta penanganannya

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prosedur tanggap darurat K3 sangat penting
dibuat dan diberlakukan kepada seluruh pekerja dan orang yang berada di dalam perusahaan
tempat bekerja, untuk melindungi seluruh tenaga kerja yang ada. Oleh sebab itu, setiap
perusahaan perlu memperhatikan keadaan darurat di perusahaannya dan menyusun manajemen
K3 yang baik lewat prosedur tanggap darurat guna memberikan rasa nyaman dan perlindungan
yang aman kepada tenaga kerjanya. Prosedur tanggap darurat Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) di lingkungan kantor dapat dibuat seperti contoh lima aspek di atas.
8. Mengelola Alat Pelindung Diri (APD) di Tempat Kerja
Bagaimana Pedoman Penggunaan APD Menurut Regulasi Nasional?

Cara terbaik untuk mencegah kecelakaan kerja adalah dengan menghilangkan risikonya atau
mengendalikan sumber bahayanya secara teknis.

Jika pengendalian sumber bahaya secara teknis tidak dapat memberikan perlindungan yang
cukup untuk para pekerja, maka perusahaan wajib menyediakan APD yang sesuai untuk
meminimalkan risiko dan potensi bahaya di tempat kerja.
Poster K3 APD

Pengusaha/pengurus dan pekerja harus memahami jenis dan fungsi APD, kewajiban yang harus
dilaksanakan terkait APD, manajemen APD, dan hal penting lainnya mengenai APD di tempat
kerja.

Berikut empat poin penting mengenai penggunaan APD di tempat kerja sesuai dengan
Permenakertrans No.8 Tahun 2010:

1. Apa Saja Fungsi dan Jenis APD?

Sesuai Pasal 3, APD diklasifikasikan menjadi sembilan jenis, di antaranya:

a. Alat Pelindung Kepala

Alat pelindung kepala berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau
terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh
radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang
ekstrem.

Jenis alat pelindung kepala terdiri dari:

 Helm pengaman (safety helmet)


 Topi atau tudung kepala
 Penutup atau pengaman rambut.
b. Alat Pelindung Mata dan Muka

Alat pelindung mata dan muka berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan
kimia berbahaya, paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan
benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion
maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau pukulan benda keras atau benda
tajam.

Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari:

 Kacamata pengaman (spectacles)


 Goggles
 Tameng muka (face shield)
 Masker selam
 Tameng muka
 Kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker).

c. Alat Pelindung Telinga

Alat pelindung telinga berfungsi untuk melindungi alat pendengaran terhadap kebisingan atau
tekanan. Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup telinga
(ear muff).

d. Alat Pelindung Pernapasan

Alat pelindung pernapasan berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara
menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikro-organisme,
partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/fume, dan sebagainya.

Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari:

 Masker
 Respirator
 Katrit
 Kanister
 Re-breather
 Airline respirator
 Continues Air Supply Machine/Air Hose Mask Respirator
 Tangki selam dan regulator (Self-Contained Underwater Breathing Apparatus/SCUBA)
 Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA)
 Emergency breathing apparatus.

e. Alat Pelindung Tangan

Pelindung tangan (sarung tangan) berfungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari
pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik,
bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad
renik.

Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam, kulit, kain kanvas,
kain atau kain dengan pelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia.

f. Alat Pelindung Kaki

Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan
benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan
suhu yang ekstrem, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, serta tergelincir.

Jenis pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan, pengecoran logam,
industri, konstruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik,
tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan
lain-lain.

g. Pakaian Pelindung

Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh bagian badan dari
bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrem, pajanan api dan benda-benda panas, percikan
bahan-bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin,
peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikro-organisme patogen dari manusia,
binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur.

Jenis pakaian pelindung terdiri dari:

 Rompi (vests)
 Celemek (apron/coveralls)
 Jaket
Pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian badan.

h. Alat Pelindung Jatuh Perorangan

Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak masuk ke tempat
yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi kerja yang diinginkan
dalam keadaan miring maupun tergantung dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga
tidak membentur lantai dasar.

Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari:

 Sabuk pengaman tubuh (harness)


 Karabiner
 Tali koneksi (lanyard)
 Tali pengaman (safety rope)
 Alat penjepit tali (rope clamp)
 Alat penurun (decender)
 Alat penahan jatuh bergerak (mobile fall arrester).

i. Pelampung

Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau di permukaan air agar
terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan (buoyancy) pengguna agar
dapat berada pada posisi tenggelam (negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di
dalam air.
Jenis pelampung terdiri dari:

 Jaket keselamatan (life jacket)


 Rompi keselamatan (life vest)
 Rompi pengatur keterapungan (bouyancy control device).

2. Selain menyediakan APD secara cuma-cuma untuk pekerja, apa kewajiban


pengusaha/pengurus terkait APD di tempat kerja?

Sesuai Pasal 5 dalam Permenakertrans No.8 Tahun 2010, pengusaha atau pengurus wajib
mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu mengenai kewajiban penggunaan
APD di tempat kerja.
Rambu K3 APD

Sementara sesuai Pasal 7, pengusaha atau pengurus wajib melaksanakan manajemen APD di
tempat kerja. Manajemen APD tersebut meliputi:

 Identifikasi kebutuhan dan syarat APD


 Pemilihan APD yang sesuai dengan jenis bahaya dan kebutuhan/kenyamanan
pekerja/buruh
 Pelatihan
 Penggunaan, perawatan, dan penyimpanan
 Penatalaksanaan pembuangan atau pemusnahan
 Pembinaan
 Inspeksi
 Evaluasi dan pelaporan.

3. Apa Kewajiban pekerja/buruh terkait penggunaan APD di tempat kerja?

Sesuai pasal 6, tanggung jawab pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib:

 Memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko

Menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak
memenuhi ketentuan dan persyaratan.
4. Apa yang harus dilakukan jika APD mengalami kerusakan, retak, atau tidak berfungsi
dengan baik?

Jika APD atau komponen APD yang digunakan mengalami kerusakan, retak, sudah kedaluwarsa,
tidak berfungsi dengan baik, atau tidak memenuhi persyaratan, segera beri tahu atasan Anda,
guna menemukan solusi perlindungan lain atau model APD yang berbeda. Anda juga harus
berkonsultasi masalah ketidakmampuan menggunakan APD dengan atasan Anda.

Permenakertrans No.8 Tahun 2010, Pasal 6 ayat (2):

“Pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang
disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan.”

Pasal 8 dalam Permenakertrans tersebut juga menyebutkan:

(1) APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau
dimusnahkan.

(2) APD yang habis masa pakainya/kedaluwarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

(3) Pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita
acara pemusnahan.

Bagi pengusaha atau pengurus yang tidak menyediakan APD sesuai SNI secara cuma-cuma bagi
pekerja, mewajibkan penggunaan APD di tempat kerja sesuai yang disebutkan dalam peraturan,
dan tidak mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu APD dapat dikenakan
sanksi sesuai UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Perlu Anda ketahui, besarnya manfaat APD pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja
yang memakainya, karena ternyata masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya.

Keefektifan penggunaan APD tergantung dari pemilihan APD yang sesuai, penggunaan yang
benar, pemeliharaan dan penggantian secara berkala sesuai kebijakan yang berlaku, dan
tergantung kepatuhan para pekerja dalam menggunakan APD.

Dasar hukum:

 UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja


 Permenakertrans No.Per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri (APD)
 SNI 19-1958-1990 tentang Pedoman Alat Pelindung Diri

9. Menerapkan Program Pelayanan Kesehatan Kerja


Sebagaimana pelayanan kesehatan masyarakat pada umumnya, dalam perusahaan juga
memiliki program pelayanan dalam kesahatan krayawannya. Program ini dilaksanakan
denganpendekatan menyeluruh (komprehensif) yaitu meliputi pelayanan preventif,
promotif,kuratif dan rehabilitatif. Ikuti penjelasan
selngkapnya dibawah ini..

a.      Pelayanan Preventif.


Pelayanan ini diberikan guna mencegah terjadinya penyakit akibat kerja, penyakitmenular
dilingkungan kerja dengan menciptakan kondisi pekerja dan mesin atau tempatkerja agar
ergonomis, menjaga kondisi fisik maupun lingkungan kerja yang memadai dantidak
menyebabkan sakit atau mebahayakan pekerja serta menjaga pekerja tetap sehat.
Kegiatannya antara lain meliputi:
1.      Pemeriksaan kesehatan yang terdiri atas:
   Pemeriksaan awal/sebelum kerja.
   Pemeriksaan berkala.
   Pemeriksaan khusus.
2.      Imunisasi.
3.      Kesehatan lingkungan kerja.
4.      Perlindungan diri terhadap bahaya dari pekerjaan.
5.      Penyerasian manusia dengan mesin dan alat kerja.
6.      Pengendalian bahaya lingkungan kerja agar ada dalam kondisi aman
(pengenalan,pengukuran dan evaluasi).

b.      Pelayanan Promotif.


Peningkatan kesehatan (promotif) pada pekerja dimaksudkan agar keadaan fisik
danmental pekerja senantiasa dalam kondisi baik. Pelayanan ini diberikan kepada tenaga
kerjayang sehat dengan tujuan untuk meningkatkan kegairahan kerja, mempertinggi
efisiensi dandaya produktifitas tenaga kerjaKegiatannya antara lain meliputi:
1. Pendidikan dan penerangan tentang kesehatan kerja.
2. Pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja yang sehat.
3. Peningkatan status kesehatan (bebas penyakit) pada umumnya.
4. Perbaikan status gizi.
5. Konsultasi psikologi.
6. Olah raga dan rekreasi.

c.       Pelayanan Kuratif.


Pelayanan pengobatan terhadap tenaga kerja yang menderita sakit akibat kerjadengan
pengobatan spesifik berkaitan dengan pekerjaannya maupun pengobatan umumnyaserta
upaya pengobatan untuk mencegah meluas penyakit menular dilingkungan
pekerjaan.Pelayanan ini diberikan kepada tenaga kerja yang sudah memperlihatkan
gangguankesehatan/gejala dini dengan mengobati penyakitnya supaya cepat sembuh dan
mencegahkomplikasi atau penularan terhadap keluarganya ataupun teman kerjanya.
Kegiatannya antara lain meliputi:
1. Pengobatan terhadap penyakit umum.
2. Pengobatan terhadap penyakit dan kecelakaan akibat kerja.

d.      Pelayanan Rehabilitatif.


Pelayanan ini diberikan kepada pekerja karena penyakit parah atau kecelakaan parahyang
telah mengakibatkan cacat, sehingga menyebabkan ketidakmampuan bekerja
secarapermanen, baik sebagian atau seluruh kemampuan bekerja yang baisanya mampu
dilakukansehari-hari.
Kegiatannya antara lain meliputi:
1.      Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuannya yang
masihada secara maksimal.
2.      Penempatan kembali tenaga kerja yang cacat secara selektif sesuai kemampuannya.
3.      Penyuluhan pada masyarakat dan pengusulan agar mau menerima tenaga kerja
yangcacat akibat kerja.

10. Mengelola Sistem Dokumentasi K3


Dokumentasi adalah kumpulan data untuk mengetahui jalannya sistem, memberi penejelasan
proses dan syarat-syarat pada organisasi, dan melihat keefektifan dari sistem tersebut. Organisasi
harus menentukan, menyimpan, menjaga dan membenahi Sistem Manajemen K3. Ada 3 jenis
dokumentasi K3 yaitu:

 Manual: Manual dibuat untuk menjabarkan interaksi proses-proses dalam Sistem


Manajemen K3. Kita dapat menggunakan proses yang di petakan dan dijelaskan sebagai
pegangan. Manual menguraikan kebijakan dasar dari penerapan Sistem Manajemen K3
yang disesuaikan dengan klausul dalam OHSAS 18000 atau Permenaker 05/Men/1996.
 Prosedur: Prosedur adalah penjabaran secara detail dari aktivitas dalam perusahaan.
Proses dalam Sistem Manajemen K3 harus dijelaskan secara detail mulai dari aturannya,
pelaksana, dan ruang lingkup proses, setelah itu dapat menentukaan prosedur yang akan
dibuat. Baiknya dala pebentukan Prosedur semua dijabarkan secara jelas agar semua
pelakana dapat memahami prosedur tersebut.
 Instruksi Kerja: Instruksi Kerja digunakan untuk menjelaskan bagaimana cara
pengoperasian alat-alat dan mesin. Intruksi kerja bersifat lebih teknis karena instruksi
kerja harus dijelaskan secara tahapan aktivitas secara berurutan. Instruksi Kerja harus
berada di tempat dimana aktivitas pengoperasian dilakukan, biasanya ditempelkan di
dekat mesin atau peralatan yang digunakan.

Perusahaan mendata dan mengumpulkan ringkasan dokumentasi untuk:

 Menggabungan kebijakan K3, tujuan K3 dan sasaran K3 secara beraturan


 Menjabarkan tujuan K3 dan sasaran K3
 Mendokumentasikan peranan, tanggung jawab dan prosedur
 Menjelaskan unsur SMK3 telah diterapkan dalam perusahaan.

Dokumentasi sistem manajemen K3 harus mencakup:


 Kebijakan dan objektif K3
 Penjabaran Ruang lingkup sistem manajemen K3
 Dokumen termasuk dokumentasi dari persyaratkan OHSAS 18001;
 Dokumen termasuk data-data perencanaan yang efektif, pengoperasi dan pengendalian
proses yang berkaitan dengan manajemen resiko K3.

Adapun dalam membuat dokumen, harus mengacu pada criteria minimum yaitu tanggal terbit,
tanggung jawab, persetujuan, judul dokumen, nomor dokumen, nomor revisi, tujuan pembuatan
dokumen, ruang lingkup, referensi, definisi, halaman, dan uraian dokumen.

Dokumen berguna sebagai panduan dalam pelaksanaan Sistem Manajemen K3 di perusahaan.


Tanpa dokumen maka aktivitas-aktivitas berjalan tanpa arah yang jelas. Sedangkan rekaman
mungkin merupakan satu-satunya bukti bahwa sistem telah dilaksanakan sesuai dengan dokumen
yang ada. Karena itu semua dokumen dan rekaman yang penting dalam sistem manajemen k3
harus diidentifikasi dan dikendalikan. Dokumentasi yang efektif dan efisien adalah dokumen
yang memiliki data lengkap dan dibuat seminimal mungkin.

11. Menerapkan Manajemen Risiko K3


Dalam menerapkan Manajemen Risiko K3, ada beberapa tahapan/langkah yang perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan agar proses Manajemen Risiko K3 dapat berjalan dengan tepat dan sesuai.
Tahapan yang perlu dilakukan dalam menerapkan Manajemen Risiko K3 adalah :

 Menentukan Konteks dan Tujuan (Establish Goals and Context )

Tahap identifikasi hubungan antara organisasi/perusahaan dan lingkungan disekitarnya


sesuai visi dan misi, mengidentifikasi kelebihan, kekurangan, kesempatan dan kendala
yang ada.

 Penilaian Risiko

Penilaian risiko yaitu proses identifikasi dan analisa area-area dan proses-proses teknis
yang memiliki risko untuk meningkatkan kemungkinan dalam mencapai sasaran biaya,
kinerja/performance dan waktu penyelesaian kegiatan

 Identifikasi risiko (Identify risk) Adalah proses peninjauan area-area dan proses-proses
teknis yang memiliki risiko potensial yang akan dikelola. 
 Analisa risiko (Analyse risk) Adalah proses menilai risiko yang telah teridentifikasi
menggunakan matrix risiko untuk menentukan besarnya risiko. (risk = likelihood x
consequences)
 Evaluasi risiko ( Evaluate the risk) Adalah proses penilaian risiko untuk menentukan
apakah risiko yang terjadi dapat diterima atau tidak dapat diterima.
 Pengendalian risiko ( Treats the risk)
Pengendalian risiko meliputi identifikasi alternatifpengendalian risiko, dengan cara
menghindari risiko, mengurangi frekuensi terjadinya risiko, mengurangi konsekuensi dari
terjadinya risiko, mentransfer risiko secara penuh atau sebagian kepada pihak lain yang
lebih berkompeten menangani risiko tersebut dan mempertahankan risiko.

 Pemantauan dan Telaah Ulang (Monitor and Review)

Adalah proses evaluasi yang sistematis dari hasil kerja proses penanganan risiko yang
telah dilakukan dan sebagai dasar dalam penyusunan strategi penanganan risiko yang lebih
baik di kemudian hari.

Identifikasi risiko merupakan upaya sistimatis untuk mengetahui adanya risiko dalam aktivitas
organisasi. Lalu untuk menganalisa risiko mengunakan analisa kualitatif untuk memberikan
gambaran tentang tingkat risiko, dengan menggunakan skala deskriptif untuk menjelaskan
seberapa besar potensi risiko yang akan diidentifikasi. Setelah di analisa selanjutnya di evaluasi.
Suatu risiko akan memberikan makna yang jelas bagi stakeholders jika diketahui apakah risiko
tersebut signifikan bagi kelangsungan bisnis. Sehingga diperlukan tindak lanjut dari penilaian
risiko untuk menentukan apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak dan menentukan
prioritas pengendalian risiko. Setelah dilakukannya evaluasi risiko, selanjutnya dilakukan
pengendalian risiko. Pengendalian adalah proses, pengaturan, alat, pelaksanaan atau tindakan
yang berfungsi untuk meminimalisasi efek negatif atau meningkatkan peluang positif (AS/NZS
4360:2004). Proses pengendalian risiko yang terjadi menurut AS/NZS 4360: 2004 adalah sebagai
berikut:

 Berdasarkan hasil analisa dan evaluasi risko dapat ditentukan apakah suatu risiko dapat
diterima atau tidak. Pengendalian lebih lanjut tidak dilakukan jika risiko dapat diterima
(Generally Acceptable)
 Dalam peringkat risiko, dikategorikan sebagai risiko yang dapat di toleransi (Tollerable)
maka risiko dapat dikendalikan menggunakan konsep ALARP. Jika risiko berada di atas
batas yang dapat diterima toleransi (Generally Unacceptable) maka perlu dilakukan
pengendalian lebih lanjut.Pengendalian risiko dapat dilakukan dengan beberapa alternatif
yaitu:
o Hindari risiko (avoid risk)
o Pengurangan Probabilitas (reduce probability)
o Pengurangan Konsekuensi (reduce consequence)
o Transfer risiko (risk transfer)

Pada prinsipnya kecelakaan bisa kita cegah, dengan melakukan tindakan preventif dan
berpedoman pada prinsip zero accident. Mematuhi segala peraturan, perundangan dan kebijakan
yang menyangkut K3.Dengan mengacu kesimpulan diatas maka saran-saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut :

 Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan risiko K3 kepada setiap tenaga kerja.
 Memberlakukan sistim shift dan memberikan hari libur kepada pekerja secara bergantian.
 Mengendalikan lingkungan kerja yang berbahaya dan memiliki risiko tinggi dan terhadap
peluang terjadinya risiko K3.
12. Mengevaluasi Pemenuhan Persyaratan dan Prosedur
K3
Langkah evaluasi peraturan K3:

a. Area

Akan lebih mudah bagi HSE Officer untuk mengidentifikasi peraturan apa saja yang
perlu organisasinya patuhi dengan memetakan area kerja operasional suatu organisasi.
Misalnya, pembagian area didasarkan pada letak geografisnya.

Sebab, peraturan perundang-undangan tiap daerah dapat berbeda (misalnya perda/pergub


wilayah X melarang edaran minuman keras sementara perda/pergub wilayah Y
memberikan izin edar minuman keras dengan ketentuan). Area kerja juga dapat
didasarkan pada jenis pengelompokkan setting/natural tipe pekerjaan. Misalnya, area
kerja workshop, area warehouse, area port/jetty, dan office/building.

Persyaratan peraturan untuk wilayah kerja area port sangat mungkin juga melibatkan
pemenuhan aturan dari Kementerian Perhubungan, tidak hanya aturan Kemenaker dan
Kementerian ESDM. Hal ini tentu berbeda dengan area kerja office/building yang
pemenuhan persyaratan perundangannya terkait bangunan/gedung dan orang di
dalamnya.
b.Work/task

Setelah area kerja didapatkan, HSE Officer dapat memetakan karakteristik


pekerjaan/operasional di masing-masing area kerja tersebut. Misalkan, untuk area kerja
warehouse maka bisa diidentifikasi jenis pekerjaan yang dilakukan di area tersebut,
seperti stocking material, mobilisasi barang, dll. Lakukan identifikasi tahapan kerja yang
menyeluruh.

c.Materials & Equipment

Pada tiap area kerja, identifikasi material/bahan apa saja yang digunakan dalam
melaksanakan job/task di masing-masing area tersebut. Tidak hanya material/bahan
namun juga alat/perangkat/mesin yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan.

Misalnya, apakah di lokasi Pelabuhan XYZ di Tanjung Priok pada pekerjaan


pemeliharaan bangunan memakai B3? Apakah terdapat klinik di kantor yang
menghasilkan limbah medis? Apakah kegiatan stocking material di Gudang ABC di
Karawang menggunakan forklift? Tentunya terdapat persyaratan perundangan terkait
penggunaan B3, penghasilan limbah B3, dan forklift yang wajib dipenuhi perusahaan.

d.person

Pada masing-masing area kerja juga diidentifikasi personil apa saja yang bertugas disitu. Hal
ini menjadi lebih mudah karena sebelumnya karena kita sudah mengidentifikasi karakteristik
pekerjaan dan bahan yang digunakan di area tersebut. Contoh, di gudang ABC di Karawang
menggunakan forklift dan dioperasikan oleh seorang operator forklift. Maka, dapat
diidentifikasi bahwa perlu mematuhi pemenuhan peraturan perundangan terkait kompetensi
seorang operator forklift.

2. Identification

Pada langkah ini kita mengidentifikasi jenis peraturan perundangan negara. Identifikasi
peraturan perundangan dapat membuat kita memahami jenis aturan berdasarkan institusi
pembuatnya, tingkatan peraturan, dan sifat aturan itu sendiri. Peraturan yang dikeluarkan
oleh Kementerian Ketenagakerjaan mengatur hak-kewajiban pekerja, hubungan
industrial, dan segala hal terkait penggunaan sumber daya tenaga manusia.

Adapun peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM mengatur hal teknis dan
administratif terkait pemanfaatan ESDM, seputar teknologi, alat dan kompetensi teknis,
dan sebagainya. Begitu pun dengan peraturan yang dikeluarkan oleh kementerian lainnya.
Dengan langkah mapping sebelumnya, sudah dapat membantu kita untuk melakukan
tracking jenis peraturan menurut regulatornya.
Identifikasi peraturan memudahkan kita untuk mengetahui peraturan

Identifikasi aturan berdasarkan tingkatannya dapat kita bagi menurut hierarki peraturan
perundangan-undangan. Hierarki peraturan perundangan saat ini diatur di dalam UU
Nomor … Tahun … tentang …. Peraturan yang didalamnya dapat diberlakukan sanksi
pidana dan denda terdapat pada dua jenis tingkatan peraturan yaitu Undang-Undang dan
Peraturan Daerah/Gubernur.

Adapun jenis tingkatan peraturan lainnya menerapkan sanksi berupa administratif. Oleh
karena itu, sepatutnya organisasi memerhatikan dengan baik persyaratan perundangan
apa saja yang harus dipenuhi dari suatu Undang-Undang atau Perda/Pergub tertentu agar
terhindari dari sanksi pidana dan denda. Setiap organisasi dapat menyesuaikan langkah
identifikasi aturan ini menurut business core atau main business process mereka.

Identifikasi peraturan perundangan menurut sifatnya dapat dibagi menjadi peraturan yang
bersifat normatif dan persyaratan teknis. Peraturan normatif biasanya berisi pengaturan
topik masalah tertentu sedangkan peraturan yang berisi persyaratan teknis mengatur
tentang pemenuhan standar teknis alat, personil, pengukuran, dan material. Contoh
peraturan normatif yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja. Adapun contoh peraturan yang bersifat persyaratan teknis dapat ditemui pada
peraturan dibawah tingkat Undang-Undang, misalnya Permenaker Nomor 9 Tahun 2016
tentang K3 Dalam Pekerjaan Pada Ketinggian.
Hal yang perlu diperhatikan juga pada saat identifikasi ini adalah masa
berlaku/keterbaruan suatu peraturan. Pastikan bahwa peraturan yang kita identifikasi
merupakan peraturan keluaran terbaru (tidak obsolete). Oleh karena itu, pada tahapan ini
kita juga dapat sekaligus memperbarui daftar peraturan perundangan yang telah dimiliki
sehingga bersih dari peraturan yang sudah tidak berlaku (obsolete).

3.Listing

Tahapan ini dapat dilakukan sejalan ketika kita melakukan identifikasi peraturan. Proses
mendaftar jenis peraturan ini dapat menjadi lebih mudah dan cepat jika proses mapping
di awal dilakukan dengan baik dan komprehensif. HSE Officer mendata setiap jenis
peraturan perundangan yang timbul dari setiap area kerja aktivitas kerja yang didapatkan
dari informasi mapping sebelumnya.

13. Pendataan Peraturan K3

Jangan lupa untuk membuang peraturan-peraturan perundangan yang sudah tidak berlaku
(obsolete) dari daftar peraturan perundangan perusahaan. Jenis listing pun dapat dibuat
berdasarkan jenis regulatornya atau dibagi menjadi beberapa section/area kerja.
Keuntungannya adalah pekerja dapat lebih cepat memahami jenis dan nomor peraturan
apa saja yang harus mereka penuhi di section/area kerja mereka jika HSE dapat membuat
daftar peraturan perundangan berdasarkan lokasi kerja dibandingkan daftar peraturan
perundangan secara umum.
4. Evaluating

Tahap evaluasi peraturan k3 dapat dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif, HSE Officer dapat menganalogikan pemenuhan suatu Pasal atau Ayat dengan
skor 1 dan skor 0 jika tidak terpenuhinya Pasal atau Ayat yang dimaksud. Lalu, dihitung
persentase pemenuhan peraturannya dari keseluruhan total Pasal atau Ayat yang harus
dipenuhi dari seluruh jenis dan nomor peraturan perundangan.

Evaluasi secara kualitatif dilakukan dengan menafsirkan pemenuhan peraturan per pasal
atau ayat dengan deskripsi berupa fakta implementasi yang dilakukan. Bisa juga dengan
menyisipkan referensi dokumen perusahaan. Kedua metode evaluasi dapat digabungkan
dalam satu dokumen kerja sehingga didapatkan hasil evaluasi pemenuhan yang lengkap.

Evaluasi peraturan k3 ini dapat dilakukan untuk tiap lokasi kerja atau jenis pekerjaan
yang sudah kita kelompokkan pada tahapan mapping di awal. Keuntungannya adalah kita
dapat mengetahui tingkatan pemenuhan peraturan perundangan di tiap-tiap lokasi/section
kerja. Proses evaluasi ini melibatkan unsur pekerja, manajemen, dan personil di luar HSE
untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya.

Secara umum, untuk melakukan Evaluation of Compliance dapat memakan waktu sekitar 3
hingga 6 bulan bergantung dari luas dan kompleksitas area kerja/jenis pekerjaan yang akan
dievaluasi. Hasil akhir dari evaluasi ini dapat memberikan kita gambaran besar gap yang
dihadapi perusahaan antara standar pemenuhan yang diminta dengan fakta penerapan yang
sudah berjalan. Perlu keaktifan, rasa ingin tahu yang tinggi, dan ketelitian untuk menganalisis
persyaratan pasal demi pasal bahkan ayat dari tiap peraturan perundangan.

14. Melakukan Investigasi Kecelakaan Kerja


Langkah-Langkah Investigasi Kecelakaan Kerja

1. Isolasi area.Ini penting agar mesin dan barang bukti tidak berubah tempat, bentuk dan
masih sama dengan awal waktu kejadian.
2. Pengawas/supervisor area kerja. Penting untuk mengetahui siapa yang bertanggung
jawab terhadap lokasi kejadian. Sebab merekalah gerbang pertama interview dilakukan.
Mulai dari nama korban, kronologis, kondisi mesin, keadaan korban (fisik, mental,
psikologi), riwayat kerja karyawan hingga asistensi untuk interview lanjutan terhadap
saksi mata.
3. Saksi mata umumnya adalah rekan kerja terdekat saat kejadian. Mereka akan defensif
dengan banyak menjawab “saya tidak tahu saat kejadian”, ini wajar karena mereka takut
akan disalahkan. Perspektif ini memang belum matang sepenuhnya, maka dari itu butuh
pendampingan dari pengawas area kerja atau seseorang yang mereka kenal.
4. Mencatat kondisi tempat kejadian. Mulai dari merk, jenis, dan tipe mesin yang terlibat.
Perlu juga diketahui umur penggunaan mesin tersebut. Apakah pengaman (safe guarding)
sudah sesuai standar atau belum. Apakah pengaman otomatis, semua sensor berfungsi
atau tidak. Apakah telah terjadi pelanggaran melewatkan (bypass) fungsi dari pengaman-
pengaman tersebut.
5. Cari penyebab kejadian. Dari kronologis yang sudah didapat serta kondisi mesin dan
lingkungan kerja, kita dengan mudah dapat menarik kesimpulan penyebab. Apakah
karena tindakan tidak aman (unsafe act) atau kondisi tidak aman (unsafe condition).
Untuk kedua hal ini semua orang K3 sudah pasti paham. Juga sudah pernah saya bahas
dalam artikel Mengenal Nearmiss, Unsafe Act dan Unsafe Condition
6. Memberikan rekomendasi. Setelah investigasi dilakukan, hal pertama yang diharapkan
oleh pihak gedung biasanya adalah rekomendasi yang sifatnya perintah. Misal men-stop
laju produksi sementara atau hanya mesin tersebut. Serta meminta pihak lain (spt
mekanik atau tooling) untuk segera melakukan perbaikan mesin. Rekomendasi seorang
praktisi K3 didasarkan oleh standard safety yang dipakai. Serta didasarkan oleh hasil
yang didapat dari investigasi penyebab dan kronologi kecelakaan
7. Pembuatan laporan. Biasanya akan ada banyak jenis laporan yang diperlukan.
Perusahaan/pabrik akan memberikan laporan sesuai dengan jenis kepentingannya, tidak
bisa satu laporan dengan format yang sama dikirimkan ke pihak-pihak yang berbeda.
Namun yang pasti laporan kecelakaan kerja harus mencakup semua poin dari nomor 1–6

Langkah-langkah yang ditulis diatas hanyalah gambaran sederhana. Kalau mau dibuat komplit
koq agaknya bisa jadi satu buku tersendiri. Dan bukan tidak mungkin langkah-langkah ini akan
sangat berbeda sesuai dengan kondisi tempat kerja masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai