Anda di halaman 1dari 9

PIDATO KEBUDAYAAN KETUA UMUM PENGURUS BESAR

NAHDLATUL ULAMA

“BUDAYA SEBAGAI INFRASTRUKTUR PENGUATAN PAHAM


KEAGAMAAN”

‫اﻟﺴﻼم ﻋﻠﯿﲂ ورﲪﺔ ﷲ وﺑﺮﰷﺗﻪ‬


6‫ وﻻﺣﻮل وﻻﻗﻮة إﻻاب‬6 ‫ﺑﺴﻢ ﷲ اﶵﺪ‬
‫واﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم ﻋﲆ رﺳﻮل ﷲ وﻋﲆ اهل وﲱﺒﻪ وﻣﻦ ﺗﺒﻊ ﺳﻨﺘﻪ وﲨﻌﺎﻋﺘﻪ ﻣﻦ ﯾﻮﻣﻨﺎ ﻫﺬا إﱃ ﯾﻮم اﻟﳯﻀﺔ‬

Nahdlatul Ulama, merujuk pada penanggalan Masehi, tahun ini


berusia 91 tahun. Jika merujuk pada penanggalan Hijriah, maka NU
tahun ini memasuki usia yang ke-94. Secara resmi peringatan harlah
NU dirayakan pada 16 Rajab 1438 Hijriah. Adapun malam ini kita
berkumpul di sini sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada
Allah Swt sekaligus juga mengenang dan menapaktilasi perjuangan
pendiri-pendiri Nahdlatul Ulama.

Hadirin yang saya hormati,


Tema "Budaya Sebagai Infrastruktur Penguatan Paham
Keagamaan" berangkat dari adagium yang sangat terkenal dalam
usul fiqh:

‫اﻟﻌﺎدة ﳏﳬﺔ‬
“Budaya bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan hukum”

Kita juga mengenal hadist :

‫ﻣﺎ رأﻩ اﳌﺴﻠﻤﻮن ﺣﺴـﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻋﻨﺪ ﷲ ﺣﺴﻦ‬


“Apa yang dianggap baik oleh orang muslim, maka ia baik”
Dalam tradisi madzab Hanafi kita juga mengetahui adagium:

‫اﳌﻌﺮوف ﻋﺮﻓﺎ ﰷﳌﴩوط ﴍﻃﺎ واﻟﺜﺎﺑﺖ ابﻟﻌﺮف ﰷﻟﺜﺎﺑﺖ ابﻟﻨﺺ‬

“Yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan


syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat
kebaisaan, sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash”

Pijakan kaidah atau adagium itu bersumber salah satunya dari Al-
Qur’an Surat Al-A’raf ayat 199:

‫ُﺧ ِﺬ اﻟْ َﻌ ْﻔ َﻮ َو ْأ ُﻣ ْﺮ ِابﻟْ ُﻌ ْﺮ ِف َوأَ ْﻋ ِﺮ ْض ﻋ َِﻦ اﻟْ َﺠﺎ ِﻫ ِﻠ َﲔ‬


Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Budaya-budaya lokal bisa diadopsi menjadi bagian dari hukum
syariah sepanjang budaya dan adat-istiadat tersebut tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Dengan kata lain,
proses akulturasi budaya atau sinkretisme budaya dan agama
sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam.

Contoh paling kongkret dalam hal ini adalah prosesi tahlil atau kita
mengenalnya dengan sebutan “tahlilan” untuk mendoakan orang
meninggal dunia yang diambil dari tradisi budaya pra-Islam sebagai
wadah, digabungkan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur'an, shalawat
serta dzikir pada Allah yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam,
sebagai isi dan substansi dari acara tahlil itu sendiri.

Tradisi tahlilan adalah gabungan sekaligus ramuan kreatif antara


budaya di satu pihak dan ajaran agama di pihak yang lain. Sebagai
budaya, proses tahlilan dari awal hingga akhir (selama tujuh hari
berturut-turut, dilanjutkan di hari ke 40, 100 hari bahkan sampai ke
peringatan tahunan/haul) merupakan infrastruktur yang berfungsi
menguatkan sekaligus mengokohkan pelaksanaan syariat Islam
dalam arti membaca fragmen-fragmen penting dari ayat-ayat suci Al
Qur'an.

Dengan demikian, tahlilan merupakan gabungan antara tradisi lokal


dengan ajaran Islam yang kemudian telah menjadi ibadah ghairu
mahdhoh yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Itulah
implementasi dari kaidah fiqh: Al 'Adatul Muhakkamah.

Masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa tengah punya tradisi


yang unik: mereka tidak memakan daging sapi sampai saat ini
karena ingin menghormati para tetangganya yang beragama Hindu.
Tradisi itu merupakan warisan yang telah turun temurun dilestarikan
Sunan Kudus. Sunan Kudus sangat menghormati tradisi dan budaya
masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci.
Maka, sampai saat ini, sebagai bagian dari menjaga tradisi dan
menghargai keragaman dengan semangat toleransi, masyarakat
Kudus tidak pernah memakan daging sapi.

Banyak contoh lain dari -- meminjam istilah Gus Dur -- keberhasilan


pribumisasi Islam di bumi nusantara ini. Sultan Agung sebagai raja
tanah Jawa ketika menggabungkan kalender hijriyah ke dalam
kalender Jawa adalah contoh kreasi yang berhasil memberi
pemahaman kultur Islam pada rakyat bawah di pedalaman Jawa.
Islam menyebar di bumi nusantara ini berlangsung secara gradual:
pelan tetapi berjalan dengan pasti. Tahap pertama, biasanya hanya
berupa konversi menjadi muslim nominal (Islam KTP) terlebih
dahulu. Baru kemudian pada tahap kedua, mulailah proses
pematangan pemahaman Islam (ortodoksi) setelah memperoleh
dukungan infrastruktur berupa budaya lokal. Di sinilah letak
kecerdasan para wali dan pengajar Islam masa-masa awal yang
memahami sosilogi dakwah dengan memeperhatikan karakter dan
kultur masyarakat setempat.

Contoh lain, meskipun Kesultanan Demak atau Keraton Mataram


amat berperan dalam penyebaran Islam, tetapi tidak serta-merta
langsung memberlakukan syari'at Islam pada seluruh penduduknya.
Mengapa? Cara gradual mengandaikan, ajaran Islam lebih baik
tumbuh sebagai bentuk kesadaran masyarakat (bottom-up), dari
pada dipaksakan lewat peraturan-peraturan dari atas (top-down).
Dengan cara gradual dan akulturatif ini, Islam diterima sebagian
besar penduduk tidak dengan menciptakan masyarakat nusantara
yang terbelah sebagaimana terbelahnya antara orang Hindu dengan
Muslim di India. Nyaris tidak ada konflik. Islam tersebar dengan
sejuk dan damai.

Tarik-menarik secara kreatif antara proses akulturasi dan ortodoksi


ini, bukan tanpa mengalami pasang-surut dan macam-macam
tantangan. Ketika proses ortodoksi tengah berlangsung intensif yang
dilakukan oleh para wali dan seluruh kesultanan di nusantara,
penjajah Portugis dan Belanda datang. Akibatnya, penyebaran
ortodoksi Islam menghadapi pembatasan yang sangat luar biasa.
Bentuk hambatan itu antara lain berupa: penghancuran jaringan
perdagangan dan dakwah antar pulau di setiap kesultanan
nusantara. Hambatan ini pada gilirannya mengurangi peran Islam
sebagai kekuatan sosial, kultural, dan juga politik.

Namun para penyebar Islam tidak kehilangan cara yang kreatif.


Ketika jaringan niaga dan dakwah maritim menghadapi jalan buntu,
pribumisasi Islam digantikan oleh para kiai pesantren yang
umumnya bergelut dengan masyarakat tani di daerah pedalaman.
Para kiai ini merupakan pribadi-pribadi yang matang dididik melalui
pendidikan intensif baik yang berkaitan dengan kualitas ilmu agama
ataupun yang berkaitan dengan pendalaman spiritual (tasawuf).
Kelak, dunia spiritual di pesantren dan masyarakat pertanian lebih
dikenal dengan sebutan tarekat dari pada istilah tasawuf.

Proses ortodoksi melalui jaringan pesantren dan tarekat ini berjalan


intensif dan tidak mampu dihadang oleh penjajah Belanda, sehingga
perannya sangat luar biasa untuk keberhasilan islamisasi berlatar
belakang budaya di nusantara ini.

Dengan segala pasang surut dan berbagai tantangannya, Islam


berbasis kultur setempat itu kemudian bermetamorfosa (menjelma)
menjadi bagian penting sebagai penyumbang paham keagamaan
dan kebangsaan. Kita mengenal mars lagu "hubbul wathan minal
iman" yang sangat populer di kalangan masyarakat NU, itu adalah
indikasi kuat bahwa paham keagamaan yang berlatar belakang
infrastruktur budaya telah nyata-nyata menjadi jembatan
bersemainya paham kebangsaan.

Tokoh-tokoh mulai dari HOS Tjokroaminoto, Bung Karno,


Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab
Hasbullah, KH. Bisri Syansuri serta banyak tokoh lain telah memberi
arti dan makna yang dalam atas kontribusi mereka menjembatani
antara paham keagamaan dan paham kebangsaan.

Jika Imam Syafi’i berhasil meramu teks dengan rasio menjadi produk
yang monumental, yaitu ijma’ dan qiyas, maka Hadratussyaikh KH.
Hasyim Asy’ari mampu meramu islam dan nasionalisme menjadi
spirit kabangsaan yang teribingkai dalam diktum yang terkenal:

‫ﺣﺐ اﻟﻮﻃﻦ ﻣﻦ اﻹﳝﺎن‬


“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”

Keberhasilan ini tidak ditemui di kawasan-kawasan muslim yang


sebelumnya pernah mengalami masa kejayaan paham negara
khilafah di masa lalunya seperti di Negara-negara kawasan Arab
pada umumnya. Di kawasan-kawasan itu, sistem negara khilafah
yang utopis masih terus didambakan, dicari legitimasi
pembenarannya bahkan terus dijajakan dan diimpor ke negeri-negeri
lain. Tak terkecuali, ke negeri yang kita cintai ini.

Paham negara khilafah seperti ini serta paham ekstrem yang


cenderung gampang menyalahkan dan mengafirkan terhadap
mereka yang tak sepaham dengannya, sangatlah berbahaya dan
akan mengancam eksistensi paham keagamaan dan kebangsaan
yang telah dibangun dengan susah payah bahkan penuh dengan
perjuangan darah oleh para founding fathers bangsa ini.

Kesetiaan menjaga tradisi dan sekaligus terus berupaya


mengembangkan penemuan-penemuan yang inovatif ini adalah
prinsip yang dianut oleh Nahdlatul Ulama ini. Kita mengenal prinsip:

‫اﶈﺎﻓﻈﺔ ﻋﲆ اﻟﻘﺪﱘ اﻟﺼﺎﱀ واﻷﺧﺬ ابﳉﺪﯾﺪ اﻷﺻﻠﺢ‬


“Menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi”

Hadirin yang saya hormati,


Kita sekarang sudah menikmati hasil dari titik-temu antara paham
keagamaan dan paham kebangsaaan. Yaitu, berupa kemerdekaan
negara ini yang dilanjutkan dengan episode-episode pembangunan
politik yang berliku, hingga kita rasakan sistem politik demokrasi
seperti yang ada sekarang.

Dari situlah saya sebagai Ketum PBNU membayangkan, bermimpi


dan bercita-cita: kapan sistem politik demokrasi prosedural ini bisa
dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil. Bisakah demokrasi
prosedural ini mensejahterakan rakyat, menghilangkan kesenjangan
antara si kaya dan si miskin yang hingga sekarang masih menganga
(indeks gini rasio: 0,41% dari produk domistik bruto/PDB). Kapan
system politik demokrasi kita bisa mewujudkan ekonomi yang bukan
saja tumbuh dan berkembang, namun juga yang lebih penting
adalah merata.

Al-Qur’an menegaskan dalam surat Al-Hasyr ayat 7:

‫ﰾ ﻻﻳﻜﻮن دوةل ﺑﲔ اﻷﻏﻨﯿﺎء ﻣﻨﲂ‬

“Janganlah harta hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di


antara kalian”

Kesejahteraan yang dihasilkan oleh sistem politik prosedural itu,


disebut sebagai: demokrasi substansial. Mengapa demikian? Tak
lain karena aspirasi rakyat yang dikelola oleh para wakilnya di
parlemen telah berubah menjadi undang-undang dan peraturan
yang memihak kepada rakyat. Bukan memihak konglomerat.

Bukan berarti kita tidak setuju dengan adanya konglongmerat. Kita


setuju dengan adanya konglongmerat, namun konglomerat yang
terus borkomitmen untuk mendorong kemajuan eknonomi kreatif,
mengangkat ekonomi kaum miskin, dan juga komitmen terhadap
terciptanya kelas menengah baru demi tercipatanya pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi.

Konglemerat yang demikian itu adalah konglomerat yang sesuai


dengan isi hadist:

‫ﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﱂ ﯾﻮﻗﺮ ﻛﺒﲑان وﱂ ﻳﺮﰘ ﺻﻐﲑان‬

Artinya: "Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi


orang muda di antara kami dan tidak menghormati orang yang tua"
Begitu pula, pemerintah yang dipilih rakyat mulai dari presiden,
gubernur, bupati/walikota harus terus membuat kebijakan-kebijakan
yang selalu bermuara kepada kesejahteraan rakyat.

Ke depan, pemerintah harus lebih hadir dan bekerja keras untuk


bukan saja memajukan dan menumbuhkan, namun juga
memeratakan pembangunan demi terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Negara, sekali lagi, harus hadir di dalam
kehidupan masyarakat. Yang demikian itulah sesungguhnya dalam
bahasa kaidah fikih disebut dengan:

‫ﺗﴫف اﻹﻣﺎم ﻋﲆ اﻟﺮﻋﯿﺔ ﻣﻨﻮط ابﳌﺼﻠﺤﺔ‬


“Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus didasarkan kepada
kemaslahatan”

Hadirin yang berbahagia;

Adalah Nahdlatul Ulama


Jauh sebelum Indonesia merdeka pada muktamar 1936 di
Banjarmasin menyatakan bahwa Indonesia adalah Darussalam.
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang para pemimpinya terlibat aktif membidani kemerdekaan
Indonesia. Melalui BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945.
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang menyerukan resolusi jihad 22 oktober 1945, kewajiban
mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang berdiri terdepan melawan PKI pada tahun 1965
menyelamatkan Pancasila.
Adalah Nahdlatul Ulama
Di era orde baru menjadi ormas yang pertama kali menerima
Pancasila sebagai asas tunggal
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang terlibat aktif melahirkan era reformasi
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang menolak radikalisme agama dan sentiment SARA, yang kini
mengancam keutuhan NKRI
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang puluhan juta warganya istiqomah membentengi Indonesia dari
ekstrimisme kiri maupun ekstrimisme kanan
Adalah Nahdlatul Ulama
Payung besar tegaknya toleransi beragama di Indonesia
Adalah Nahdlatul Ulama
Yang genap berusia 91 tahun pada 31 Januari 2017, dan tidak
pernah sekalipun melakukan bughat/makar terhadap Pancasila dan
NKRI
Inilah Nahdlatul Ulama
Meski di bully, difitnah dan dicaci tetap berdiri membela NKRI

Saudaraku sekalian…
Marilah melayani Nahdlatul Ulama seikhlas NU melayani NKRI

‫ﺷﻜﺮا ودﻣﱲ ﰲ اﳋﲑ واﻟﱪﻛﺔ واﻟﻨﺠﺎح‬


‫وﷲ اﳌﻮﻓﻖ إﱃ أﻗﻮم اﻟﻄﺮﯾﻖ‬
‫واﻟﺴﻼم ﻋﻠﯿﲂ ورﲪﺔ ﷲ وﺑﺮﰷﺗﻪ‬

Jakarta, 31 Januari 2017

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA

Anda mungkin juga menyukai