Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

MANAJEMEN STRATEGIK
“INOVASI SEBAGAI SEBUAH STARTEGI”

Dosen Pengampu
Nuraisyiah, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok 4
Akhmad Ridha (200901502076)
Muh. Ainur Lutfi (200901502078)
Faradila (200901502079)
Dian Yunita Rahman (200901502080)
Jumriani (200901502081)
Andi Nurfadhilah (200901502082)
Sri Indah Sari (200901502077)

PRODI AKUNTANSI S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulisan makalah yang berjudul
“INOVASI SEBAGAI SEBUAH STARTEGI” ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dampak dari
pengangguran terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, hal


tersebut disebabkan kemampuan penulis yang terbatas. Berkat adanya dukungan
dari orang tua penulis dapat menyelesaikaan karya tulis ini.

Penulis berharap dengan penulisan karya tulis ini dapat bermanfaat


khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca umumnya serta semoga
dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan dan meningkatkan
prestasi di masa yang akan datang.

Makassar, 10 Mei 2022

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3
A. Merumuskan Inovasi..............................................................................................3
B. Pengembangan Konsep Inovasi?............................................................................5
C. Keinovasian dan Kinerja Organisasi?.....................................................................7
D. Value Innovation, Ala Chang W. Kim...................................................................8
E. Mengembangkan Pengukuran Keinovasian............................................................9
F. Menggalakkan Budaya yang Lebih Toleran dengan Risiko.................................11
G. Pembelajaran dan Keinovasian.............................................................................13
H. Organisasi Inovatif Lewat Corporate Entrepreneurship (CE)...............................18
BAB III PENUTUP........................................................................................................25
A. Kesimpulan..........................................................................................................25
B. Saran....................................................................................................................25
REFERENSI...................................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perusahaan inovatif akan selalu memperbarui berbagai elemen


yang ada di dalam organisasi, yaitu ada produk, pada proses, pada sistem,
hingga pada tatanan cara berpikir. Produk yang sama sekali baru atau yang
baru karena pengembangan, dapat memenuhi harapan pelanggan dan pada
gilirannya menjamin pemasukan perusahaan. ProsesProses bisnis yang
penuh terobosan dapat membuat organisasi menghemat biaya,
mempercepat siklus produksi, meningkatkan mutu produk, sekaligus
meningkatkan layanan. Ini semua, apalagi bila dilaksanakan secara
revolusioner, dapat membuat organisasi bertahan dalam jangka panjang,
sekaligus meningkat kemampulabaannya. SepertiSeperti kata Hamel
(2000), perubahan-perubahan yang bersifat bertahap sudah tidak cukup
lagi. Di dalam ekonomi baru, perusahaan-perusahaan yang menciptakan
kesejahteraan baru adalah yang benar-benar revolusioner.
Meskipun sangat dapat diandalkan, proses inovasi yang baik jarang
sekali terjadi secara kebetulan. Di setiap level, apakah di level individu,
kelompok, maupun antar bagian, organisasi haruslah memiliki sistematika
yang jelas. Perusahaan perlu dengan sengaja dan menjalankan inovasi
sebagai sebuah strategi. Dengan menjadikannya sebuah strategi, barulah
perusahaan dapat menjadikannya sebagai sebuah pembeda kunci yang
akan membedakan perusahaan unggul dengan yang berjalan alakadarnya.
Hal ini akan mencoba membahas berbagai hal yang terkait dengan
penerapan inovasi sebagai sebuah strategi. Kita akan memulai bab ini
dengan mengeksplorasi literatur yang mencoba merumuskan inovasi.

i
B. Rumusan Masalah

Masalah yang ada dapat dirumuskan menjadi beberapa rumusan


masalah, sebagai berikut.
1. Bagaimana merumuskan sebuah inovasi ?
2. Bagaimanakah pengembangan konsep inovasi ?
3. Apakah maksud dari keinonasian dan kinerja oraganisasi ?
4. Bagaimanakah penilaian sebuah inovasi ala Chang W. Kim ?
5. Bagaimana cara mengembangkan pengukuran keinovasian ?
6. Bagaimana cara menggalakkan budaya dengan resiko ?
7. Bagaimanakah Pembelajaran dan Keinovasaian itu ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah


dipaparkan di atas,tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Mengetahui cara untuk merumuskan sebuah inovasi.
2. Mengetahui cara pengembangan konsep inovasi.
3. Mengetahui maksud dari keinovasian dan kinerja organisasi.
4. Mengetahui cara penilaian sebuah inovasi ala Chang W. Kim.
5. Mengetahui cara mengembangkan pengukuran keinovasian.
6. Mengetahui cara menggalakkan budaya dengan resiko.
7. Mengetahui maksud dari pembelajaran dan keinovasaian.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Merumuskan Inovasi

Sejak Peter F. Drucker merumuskan inovasi dalam karyanya


InnovationandEntrepreneurship (1985), istilah inovasi mulai lebih sering
digunakan orang. Menurut Drucker, inovasi adalah pengetahuan untuk
menghasilkan pengetahuan yang baru.

Masih di buku yang sama, Drucker mengatakan bahwa inovasi


menjadi kunci kewirausahaan, di mana kewirausahaan merupakan upaya
untuk menciptakan perubahan yang direncanakan, terfokus dalam sebuah
perusahaan maupun dalam tatanan masyarakat. Lebih jauh Drucker
mengisyaratkan bahwa fungsi inovasi, harus ada pada organisasi yang
sedang berjalan, baik pada organisasi bisnis maupun organisasi lain seperti
perusahaan layanan publik atau perusahaan baru.

Berkembang dari rumusan Drucker, dalam studi-studi tentang


inovasi, rumusaninovasi meluas dan terlihat masih memiliki kemungkinan
untuk terus dikembangkan.MeskipunMeskipun demikian, sesuatu yang
mungkin diterima secara universal adalah inovasidianggap sebagai upaya
mengeksplor sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya (Cho, Hee-Jae,
Pucik, Vladimir 2005).

Inovasi, lebih dari sekadar penemuan dan hasil penemuan. Kita


dapat lebih jelaslagi memahami apa yang dimaksud dengan inovasi dengan
beberapa rumusan berikut.
Inovasi adalah pengembangan dan implementasi gagasan baru
oleh orang di mana dalam jangka waktu tertentu melakukan
transaksi-transaksi dengan orang lain dalam di suatu organisasi
(Andrew H. Van deven).

Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali jadi


(onetimephenomenon), melainkan suatu proses yang panjang dan
kumulatif yang meliputi banyak proses pengambilan keputusan di
dan oleh organisasi, mulai dari penemuan gagasan sampai
implementasinya di pasar (KuniyoshiUrabe).

Carnegie, et. al. merumuskan secara lebih praktis, yakni: Inovasi


adalah HasilTemuan (invensi) + komersialisasi.

Rumusan terakhir ini termasuk yang paling banyak dianut


sekarang, terutama untuk masyarakat awam. Kalau satu penemuan belum
bisa menghasilkan uang, atau“laba" (atau bisa juga diartikan penurunan
biaya tertentu hingga laba meningkat),maka kita belum bisa menyebutnya
sebagai sebuah inovasi. Cerita tentang pesawat"Flyer I", pesawat pertama
berikut menjelaskan perbedaan ini.

Ketika “Flyer I", di Kitty Hawk dapat diterbangkan pertama kali


oleh Wrightbersaudara tahun 1903, ia belum langsung bisa menghasilkan
uang. Oleh karena itu, ja baru dapat dikatakan sebagai hasil temuan. Kitty
Hawk sebagai "perangkat" yang sebelumnya tidak ada. Perlu sekitar 32
tahunkemudian pada 1935, orang bisa menerbangkan pesawat yang bisa
menghasilkan uang, yakni saat pesawat DC-3,berhasil diterbangkan dan
kemudian beroperasi secara komersial.

Jadi boleh juga dikatakan, kita menyebut itu inovasi, hanya jika
ketika ia dapat diandalkan untuk sesuatu yang nilainya bermakna dan pada
biaya yang memadai. Dalam kasus Kitty Hawk, para peneliti dan
wirausahawan harus melakukan pengembangan pada baling-baling, roda
untuk pendaratan, konstruksi tubuh pesawat, mesin dengan air pendingin
untuk menciptakan inovasi yang namanya DC-3.
B. Pengembangan Konsep Inovasi?

Dengan berjalannya waktu, konsep-konsep tentang inovasi terus


berkembang. Tran (2006) mencoba dapat dijadikan rujukan bila kita ingin
melihat berbagai perspektif pengelompokan inovasi. Ia melanjutkan
beberapa peneliti sebelumnya, seperti Anderson (1986), Henderson&Clark
(1990), maupun Christensen (2003) yang menjadikan inovasi
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yakni:

Pertama, Inovasi bertahap (incremental) VS Inovasi


Radikal (radical). Kita menyebut inovasi itu bertahap bila ia hanya
dibangun berdasarkan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki
organisasi untuk membuat pengembangan secara bertahap, baik
dalam mutu estetika atau fungsional produk atau jasa. Sedangkan
radikal, menuntut pengetahuan dan kapabilitas yang berbeda yang
akan membuat kemampuan inovatif perusahaan sekarang menjadi
usang.

Kedua, Inovasi komponen VS Arsitektural Inovasi. Model


ini menggambarkan inovasi adalah sebuah sistem komponen yang
saling terkait mewujudkan produk akhir. Dalam inovasi komponen,
kita mengubah atau memodifikasi bagian-bagian atau komponen
tersebut. Sementara pada inovasi arsitektural, kita mengganti dan
mengonfigurasi ulang bagian yang ada menjadi bentuk baru yang
akan mengubah sesuatu dalam inovasi komponen.

Ketiga, Inovasi yang mempertahankan (sustaining) VS


Inovasi yang mengubah total (discruptive). Dalam inovasi yang
mempertahankan, kita melihat bahwa inovasi terjadi sebagai fungsi
dari pengaruh internal organisasi seperti alokasi sumber daya,
komunikasi, penyaringan informasi, strategi, dan struktur. Kita
melihat hal ini misalnya, dalam pengembangan atau peningkatan
kinerja produk. Sementara yang mengubah total, sudah ada
pengaruh eksternal yang lain, seperti pemasok, distributor atau
pelanggan akhir. Biasanya, pada ciri model terakhir ini adalah
inovasi akan membuat teknologi yang ada menjadi usang dan
kadang-kadang memberikan kinerja yang tidak begitu baik, tapi
sangat dihargai tinggi oleh ceruk pasar tertentu.

Selain dari ketiga bentuk di atas, ada juga pengelompokan lain.


Govindrajan dan Trimble (2005), misalnya, punya empat pengelompokan
yang semuanya mirip dengan pengelompokan tiga yang sebelumnya.
Menurut Govindrajan dan Trimble, keempat kelompok itu adalah:

a. Peningkatan proses yang berkelanjutan (investasi kecil dalam inovasi


bertahap)
b. Revolusi proses (meningkatkan proses bisnis, dengan lompatan-
lompatan besar)
c. Inovasi produk atau layanan (namun tidak mengganti model bisnis)
d. InovasiInovasistrategik-melibatkan model bisnis yang belum pernah
terbukti berhasil sebelumnya (dalam proses atau produk).

Dari pembahasan tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk sisi


pertama, perusahaan mendasarkan penggunaan kemampuan yang terkait
dengan rangkaianpengetahuan yang menghasilkan kemajuan atas strategi yang
sudah ada. Tidak adaperubahan yang drastis atas basis pelanggan, dan juga
rantai nilai yang ada (Tran, 2006). Kita bisa menyebut inovasi seperti ini
sebagai inovasi yang sederhana. Sementara itu, di sisi yang kedua, perusahaan
lebih mengembangkan kemampuan baruyang akan membahwa organisasi
menuju teknologi, pasar, dan strategi yang baru.Semangat utamanya bagi
konsep kedua ini adalah, organisasi tidak boleh hanya bisasekadar unggul
dalam situasi yang berubah. Sedapat mungkin, organisasi harus menjadiaktor
yang berperan dalam perubahan itu. Merekalah yang harus menjadi
penciptaperubahan. Organisasi harus berupaya menantang model bisnis yang
ada. Kita bisamenyebutkan inovasi seperti ini dengan inovasi yang kompleks.

Inovasi yang kompleks, yang menuntut perubahan dan melakukan hal-hal


yangbaru, tentu saja lebih sulit, dibanding inovasi yang tuntutan perubahannya
sedikit.Persoalannya, sejauh mana upaya sulit tersebut mendatangkan hasil
kinerja yang tinggi pula. Bagian berikut membahas tentang kaitan keinovasian
dengan kinerja organisasi.

C. Keinovasian dan Kinerja Organisasi?

Saat mengaitkan inovasi dengan kinerja perusahaan, kita juga memiliki


cukupbanyak bukti yang menjelaskan betapa organisasi membutuhkan
inovasi. Secara umum, keinovasian akan membuat kinerja organisasi
meningkat. Studi yang dilakukan oleh Damanpour (1996) dan
Gopalakrisnan&Damanpour (1997) menunjukkan tidaksedikit contoh-contoh
peran inovasi dalam menentukan kinerja perusahaan. Cho dan pengiriman
paket ekspress, dan lain-lain. Pucik (2005) menyebutkan ada tiga aliran
tentang inovasi dan kinerja inovasi dalam Ducik (2005) menyebutkan ada tiga
aliran tentang inovasi dan kinerja inovasi dalam literatur.

Pertama, adalah aliran yang meneliti hubungan antara inovasi


organisasi dan kinerja perusahaan. Penelitian yang berkaitan
dengan ini menunjukkan adanya hubungan yang positif.

Kedua, adalah penelitian-penelitian tentang keinovasian dan


kinerja perusahaan di bidang pengembangan produk. Produk yang
inovatif ditemukan lebih tinggi tingkat kesuksesannya dan
profitabilitasnya. Banyak indikasi yang menemukan bahwa ada
hubungan yang positif antara keinovasian, provitalibitas, dan
kinerja pertumbuhan.

Ketiga, adalah berkaitan dengan apa yang dirumuskan Kim dan


Mauborgne (2005) sebagai valueinnovation. Valueinnovation
adalah bagaimana membuat pesaing menjadi tidak relevan dengan
menciptakan sebuah lompatan nilai bagi pembeli dan perusahaan,
yang pada gilirannya akan membuka pasar yang belum
diperebutkan. Dalam strategi ini, perusahaan menjunjung tinggi
tingkat inovasi dan pada saat yang sama menyelaraskannya dengan
posisi harga, utilitas, dan posisi. Strategi ini harus melibatkan
keseluruhan sistem aktivitas perusahaan. Pada subbagian berikut,
kita coba membahas lebih rinci seperti apa valueinnovation ini.

D. Value Innovation, Ala Chang W. Kim


Seperti yang telah disinggung di atas, perusahaan bisa
mengandalkan ValueInnovation. Agaknya, memang kita perlu membahas
secara khusus konsep yangdikembangkan oleh Kim ini. Konsep ini hadir
pada 2004, saat Chang W. Kim dan ReneeMouborgne menulis artikel yang
berjudul "ValueInnovation--theStrategicLogicofHighGrowth". Tahun
berikutnya Kim dan Renee mempopulerkannya dalam buku Blue Ocean
Strategy. Konsepnya adalah, bahwa Blue Ocean merupakan metafora
untuk industri-industri yang dulu tidak pernah ada. Di industri ini,
persaingan relatif kecil bahkan dianggap tidak relevan, karena aturan main
justru disiapkan oleh pelaku. Degitu pula, perusahaan berupaya mencari
peluang yang baru. Ini berbeda dengan Red Ocean, yakni industri di mana
berbagai teknik persaingan sudah dikenal oleh banyak Pelaku. Urusan
bersaingnya adalah memperoleh pangsa pasar. Tidak seperti blueocean,
Pang urusan bersaingnya adalah memanfaatkan peluang yang mereka
ciptakan sendirilah yang membuat banyak bisnis-bisnis yang sekitar 15
tahun yang lalu mungkin delum jelas wujudnya. Misalnya seperti
reksadana, telepon selular, bioteknologi, Perusahaan-perusahaan yang
menjadi pelopor bidang-bidang di atas disebut Kim melakukan
strategicmove, yakni gerakan yang menciptakan produk atau jasa yang
membuka dan memanfaatkan peluang. Untuk dapat melakukan
strategicmove ini, perusahaan harus menjalankan inovasi yang disebut
Kim sebagai valueinnovation. Jadi fokusnya adalah membuat lompatan
dalam pemberian nilai pada pelanggannya, dan membuka pasar yang baru
dan belum ada pesaingnya. Karena itu pulalah disebut sebagai
valueinnovation, inovasi dengan penciptaan nilai (valuecreation). Kata
Kim, penciptaan nilai tanpa inovasi perubahannya hanya bertahap, yang
tidak cukup untuk mencuat di tengah persaingan pasar.

Sementara itu, inovasi tanpa penciptaan value, cenderung hanya


sekadar technology-driven, nomor satu hadir di pasar atau futuristik,
namun sering kali dalam kondisi di mana kesiapan pembeli untuk
membeli. Jadi, meskipun inovasi yang dilakukan memberikan lompatan
nilai, ia tetap harus menyelaraskan dengan strategi penggunaan (utilitas),
harga dan posisi biaya perusahaan.

E. Mengembangkan Pengukuran Keinovasian


Meskipun kita sulit menyangkal kebutuhan perusahaan akan
inovasi, orang masih berbeda pandangan tentang bagaimana cara yang
baik mengukur kesuksesan inovasi. Dalam survei yang sama dengan yang
dikemukakan di awal bab ini, di mana BCG melakukan survei global
tentang inovasi, tidak banyak yang puas dengan cara mengukur upaya
inovasi mereka. Survei ini menyebut hanya 37 persen dari survei
responden yang menyebutkan mereka puas dengan bagaimana perusahaan
praktik pengukuran inovasi mereka. Temuan-temuan lain adalah:

1. Mayoritas perusahaan menggunakan sejumlah kecil perangkat


pengukuran untuk mengukur aktivitas inovasi mereka. 60 persen
responden mengatakan mereka menggunakan sejumlah lima atau
kurang alat ukur.
2. Alat ukur yang paling sering digunakan untuk mengukur inovasi
adalah:
a. Profitabilitas (82 persen responden);
b. Waktu untuk menghadirkan produk di pasar (62 persen responden);
c. Penciptaan gagasan dan pemilihannya (61 persen);
d. Bagaimana kesehatan menyeluruh dari portofolio inovasi,
keefektifan riset dan pengembangan (R&D), siklus hidup kinerja,
serta waktu yang dibandingkan dengan volume.

Semua hal tersebut, bisa kita kelompokkan ke dalam tiga kelompok


kategori, yakni: Input, Proses, dan Output atau hasil, baik yang berbentuk
uang maupun manfaat lain yang tidak langsung seperti merek yang
menjadi: lebih kuat dan pengetahuan yang dibutuhkan yang dapat
digunakan untuk berbagai produk yang lain.
Dalam perkembangannya, mulai banyak metode-metode mengukur
keinovasian sebuah perusahaan. Muller, Valinkagas, dan Merylyn (2005)
menyarankan pengukuran yang lebih komprehensif. Kerangka yang
ditawarkan terdiri atas empat pandangan utama. Ada yang mereka sebut
dengan "resourcesview" yang menyeimbangkan optimisasi dan inovasi.
Kemudian, ada pandangan yang disebut “capabilityview", yakni akses atas
kompetensi, budaya dan kondisi yang mendukung pembaruan dalam
bisnis. Perangkat inovasi, budaya dan nilai-nilai diadaptasi di sini.
Pandangan yang berikutnya adalah "leadershipview", untuk mengakses
derajat di mana sebuah perusahaan mendukung inovasi. Hal ini
mengevaluasi keterlibatan pemimpin dalam aktivitas inovasi, seperti
pembuatan proses yang formal untuk mendorong terjadinya inovasi,
diseminasi, dari tujuan inovasi. Yang terakhir adalah pandangan “proses
inovasi", seperti yang terkait dengan inkubator, dana untuk mendirikan
perusahaan, dan insentif untuk melakukan inovasi.

Cara-cara pengukuran di atas sudah mulai melihat sisi nirwujud dari


sebuah upaya inovasi. Dimensi pengukuran nirwujud ini memang
merupakan sebuah tantangan untuk organisasi menjalankannya. Andrew
dan Sirkin (2007) muncul dengan gagasan pengukuran efek inovasi yang
tidak langsung. Menurut kedua konsultan ini, setidaktidaknya ada empat
aspek yang harus dianggap sebagai manfaat bila menjalankan inovasi, di
luar nilai finansial yang diperoleh. Aspek-aspek tersebut adalah:

1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yang diperoleh dalam proses inovasi, bukan tidak
mungkin dapat diterapkan pada berbagai aplikasi yang lain untuk
produk atau jasa yang lain. Jadi, meskipun menuntut biaya yang sering
kali tidak kecil, hal ini bisa memberikan kontribusi yang dapat
bermanfaat di masa datang
2. Merek
Yang menghindarinya akan gagal dalam usaha inovasi mereka.
Padahal, kata orang, gagal adalah syarat untuk sebuah keberhasilan
inovasi. kepemimpinan di perusahaan yang inovatif adalah
kemampuan mendorong , memperkuat dan meningkatkan hubungan
yang lebih kuat dengan para mitra, pemasok.dan membuat pelanggan
lebih menerima produk baru dari perusahaan dan bahkan sering kali
bersedia membayar dengan harga yang premium. Jadi bisa dikatakan,
inovasi mendukung perusahaan meningkatkan pendapatan.

3. Ekosistem
Bila perusahaan mengadopsi cara berpikir dan bekerja inovatif,
maka biasanya hal tersebut akan menciptakan hubungan yang istimewa
dengan para anggota ekosistemnya; pelanggan, pemasok, saluran,
investor dan para pemegang saham, analis, dan lain-lain. Hubungan ini
bisa membawa sejumlah manfaat yang pada akhirnya dapat
menghasilkan pemasukan finansial. Perusahaan bisa menjadi punya
posisi daya tawar menarik saat harus berurusan dengan para pemasok,
dan juga dengan pengecer-pengecernya.

4. Daya Tarik Organisasi


Perusahaan inovatif biasanya juga mudah menarik dan
mempertahankan karyawan atau orang yang memiliki kecakapan
kreatif untuk penciptaan produk dan layanan baru, baik sebagai
perorangan maupun secara tim. Artinya, dalam upaya kita mengelola
inovasi, kita akan semakin mudah karena orang-orang yang terlibat
memang orang yang sesuai. Untuk orang-orang seperti ini, bertindak
kreatif dan inovatif adalah hal-hal yang dinanti-nantikannya.

F. Menggalakkan Budaya yang Lebih Toleran dengan Risiko

Komitmen yang kuat dari pemimpin akan menciptakan lingkungan


yang mendukung inovasi dan terus mengembangkannya. Salah satu
kapasitas penting dari bilan risiko. Sering ditemukan dalam banyak studi,
sikap risk-averse (menghindar dari risiko) dilihat sebagai penghalang
utama untuk inovasi, menunjukkan bahwa risiko gagal adalah syarat untuk
sebuah keberhasilan inovasiPendiri IBM, Thomas Watson, punya
ungkapan terkenal soal bagaimana inovasimemiliki hubungan positif
dengan kesalahan vang kita buat. Katanya, “The fastestwaytosucceed,
istodoubleyourfailurerate". Kalau mau sukses, maka kita harus lebih
banyak gagal. Memang sudah menjadi anggapan umum, bahwa sebuah
bisnis tidak bisa menyajikan sesuatu yang penuh terobosan, apakah itu
produk atau pasar, atau prosesnya kalau tidak mau mengambil risiko
mengalami kesalahan-kesalahan dan kegagalan. Semakin kita menerima
adanya kesalahan dan kegagalan, semakin mungkin terjadinya inovasi.
Perusahaan mulai menerapkan konsep ini dalam level kebijakan, proses
maupun praktik bisnisnya. Ada pula, yang sampai ke level individu. Tapi
banyak cerita gagal dalam penerapannya. Yang paling mengganggu adalah
fakta bahwa orang masih sulit untuk menerima kalau dirinya mengalami
kegagalan. Mereka berpikir, "Sekarang dunia begitu penuh persaingan
(termasuk di tempat kerja). Bagaimana kita harus "sengaja" gagal dan
salah?" Begitu pikir para karyawan. Lagi pula, kesalahan dan kegagalan
dapat berarti; kehilangan bonus, kehilangan kesempatan promosi, atau
bahkan pekerjaan. Kemudian, tentang kesalahan dan kegagalan itu sendiri,
akan timbul pertanyaan seperti apakah batas “kesalahan" yang harus
terjadi? Apakah semua bentuk kesalahan dapat kita terima?

Konsep “FailureTolerantLeaders", yang dipopulerkan oleh Richard


Farson dan Ralph membahas aspek-aspek menarik bagaimana Inovasi bisa
dibangun di perusahaan dan individu, dengan kepemimpinan yang toleran
atas kesalahan. Kita jadi tahu, bahwa:

1. Inovasi bukan soal sukses dan gagal, tapi proses


Bagaimana kita memberikan penekanan pada pentingnya
proses, sebagai sebuah bentuk pembelajaran dalam inovasi.
Tentu saja ada kesalahan yang mematikan, yang harus tidak
boleh terjadi, karena akan bedampak fatal. Karena itu, tetap
perlu ada supervisi, kontrol mutu, atau praktik-praktik terbaik.
TetapTetap saja harus diidentifikasi, dinilai seperti apa
kesalahan yang terjadi. Ada kesalahan yang memang dapat
ditolerir (excusableerror) dan ada kesalahan karena salah
penanganan.

2. Melihat dari dekat


Kekhasan dalam FailureTolerantLeader adalah para
pemimpinnya dan si pelaku kegagalan selalu dengan sengaja
“melihat lebih dekat" kesalahannya. Apa sebenarnya yang
terjadi dan mengapa sampai gagal. Bersama-sama si pemimpin,
pelaku mengidentifikasi kesalahan mana yang dapat
dimaafkan. Kemudian mengusut lagi untuk memahami dan
memerhatikan bagaimana ia dijalankan.
Tetapi tentu saja semua ini bukan hal yang mudah.
Pemimpin harus memerhatikan manajer yang fokus pada tujuan
jangka pendek, yang umumnya berkisaran pada kuartalan atau
tahunan, bukan pada jangka panjang. Ini hal yang mau tidak
mau harus dilakukan dan pemimpin harus yakin dengan
keputusannya. Hanya, jangan dilupakan tentang pemberian
insentif dan komunikasi yang harus dijuga serta diperhatikan,
agar semua yang perlu diketahui terkait dengan insentif atau
ganjaran yang akan diberikan diketahui semua orang.

G. Pembelajaran dan Keinovasian

Bila kita berbicara inovasi, dan itu terkait dengan hal-hal yang baru
(termasuk yang sebelumnya belum pernah kita alami), maka mau tidak
mau kita harus membicarakanbaspek pembelajaran. Pembelajaran
organisasi yang terintegrasi harus terjadi pada level individu, tim, dan
sistem organisasi. Efektivitasnya kerap dilihat sebagai kemampuan untuk
mengelola perubahan dan terus-menerus memperbarui dirinya dengan
melakukan perubahan yang diperlukan. Tidak diragukan lagi, proses
seperti ini diperlukan organisasi bila ingin berhasil dengan progres
inovasinya. Apalagi, pada dasarnya inovasi juga menyiratkan sebuah
tantangan. Faktanya, tidak semua upaya inovasi berhasil dengan baik.
Malah, menurut laporan Nussbaum, Berner, &Braddy, (2005, dalam Tran,
2006) tingkat kegagalan sebuah proyek inovasi, terutama yang berupaya
mengubah bisnis model, mencapai atau melebihi target atau melampui
tingkat pengembalian investasi mencapai 96 persen.
1. Pembelajaran untuk Inovasi yang Sederhana
Untuk inovasi yang sederhana dan umum sifatnya, lima
dimensi organisasi belajar dari Peter Senge (1990) seperti bahasan Ng
(2004), sering dikutip para peneliti. Lima dimensi itu adalah
kepiawaian pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran tim, dan
pemikiran sistem. Dua yang pertama dapat kita katakan terjadi pada
level individu, sementara tiga yang terakhir berkaitan dengan level tim,
dan sistem di dalam organisasi.
Kepiawaian pribadi, kata Senge adalah bagaimana seseorang
selalu mengklarifikasi dan memperdalam visinya, memfokuskan ulang
energinya, mengembangkan kesabaran dan melihat realitas secara
objektif. Mereka yang dimensi kepiawaian pribadinyatinggi, biasanya
termotivasi sendiri dan tahu ke mana ia akan pergi dan di mana ia
harus mulai. Organisasi baru bisa inovatif kalau karyawannya
mempraktikkan prinsip kepiawaian pribadi ini.Karyawan yang
memiliki visi pribadi mau melangkah ke luar zona kenyamanannya.Ia
menyadari harus melewati jalur-jalur yang tidak biasa, yang
inkonvensional, tapi sekaligus ia cukup sabar kalau memang ia harus
menanti. la menyadari, kadang-kadang proses inovasi tidak berjalan
baik dan harus melakukan percobaan berulang-ulang. Terus mencoba
dan mencoba hingga berhasil.Hanya orang yang seperti inilah, yang
memiliki passion, hasrat, dan berkeinginan kuat yang bisa membuat
upaya inovasi berhasil.
Untuk dimensi model mental, kita juga bisa melihat kaitannya
dengan keino vasian seseorang yang akhirnya berujung pada
keinovasian organisasi.Model mental adalah asumsi yang melekat
secara dalamn, sebuah penggeneralisasian, dan citra yang
memengaruhi seseorang memahami lingkungan sekitarnya.Ia juga
menentukan bagai mana seseorang akan mengambil tindakan.
Umumnya orang akan mengikuti model mentalnya karena dianggap
valid. Individu yang inovatif perlu mempertanyakan secara aktif
asumsi yang ia buat atau yang ada di sekitarnya tentang bisnisnya.
Keinginan untuk menantang asumsi yang sudah berakar dan mapan ini
penting bagi upaya inovasi Orang yang menantang asumsinya sendiri,
kerap juga disebut transformational learning, melakukan proses
refleksi yang dalam dan mencoba pandangan baru sehingga
menghasilkan perubahan arah, perilaku, nilai-nilai dan keyakinan, serta
asumsi yang berlaku. Kalau perlu mereka ini menantang asumsi tidak
hanya pada level produk atau versi produk baru dari sebuah produk.
Namun, pada tahap berikutnya di inovasi yang lebih kompleks,
individu harus memikirkan inovasi di level konsep bisnis,
mengembangkan konsep bisnis, mengembangkan kerangka kerja baru.

Bagaimana visi bersama berpengaruh pada keinovasian


organisasi? Visi adalah gambaran masa depan yang harus diciptakan
bersama. Dengan visi bersama, individu akan bertindak bukan karena
mereka terpaksa, tetapi karena mereka ingin. Sementara itu, organisasi
yang inovatif tidak mungkin terdiri dari satu orang istimewa
saja.Setiap orang harus berkomitmen untuk mencari terobosan
menjalankannya.Inovasi bukanlah pekerjaan satu orang atau satu
departemen tertentu saja.Tapi memang harus menjadi karakter
keseluruhan karyawan organisasi. Bila sudah menjadi budaya, maka
seseorang mungkin tidak akan khawatir dianggap aneh melakukan
sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, karena ingin mencari
terobosan. Mereka dibenarkan untuk melakukan kesalahan, sementara
risiko tetap dihitung.Hamel (2000) memberikan penekanan pada
pentingnya koalisi antarkaryawan dalam pengembangan gagasan.
Kesamaanvisi ini akan mengeluarkan imajinasi meningkatkan variasi
strategi dan menciptakan gagasan baru demi arah-arah baru.
Pembelajaran tim, diharapkan berperan dalam keinovasian,
karena bila belajar bersama, tim diharapkan menghasilkan sesuatu
yang tidak biasa. Senge (1990) menjelaskan, dialog adalah kunci
penting dalam hal ini. Dialog akan mempertajam asumsi, memberikan
perspektif yang berbeda dari sebuah gagasan sehingga dapat
memperkayanya. Dalam praktiknya, tim yang lintas-fungsional sering
menjadi kunci keberhasilan organisasi yang inovatif.
Sementara itu, pemikiran sistem membuat individu memahami
bahwa apa yang terjadi di sekitarnya jarang sekali yang merupakan
sebab akibat linear dan lebih merupakan proses keterkaitan satu sama
lain. Proses perubahan yang terjadi di sekitar kita, bukanlah peristiwa
sekali jadi. Senge (1990) menganggap bahwa kita harus mencari akar
permasalahan yang menjadi pengungkit kunci (leverage) kita dalam
pemecahan berbagai masalah.Jangan terkecoh dengan gejala-
gejalanya.Bila untuk menjadi inovatif organisasi harus eksploratif,
maka sudah seyogianya itu menjadi sikap individu yang ada di dalam
organisasi.Sistem yang ada di dalam organisasi harus kondusif
sedemikian rupa karyawan-karyawannya menggali kemungkinan-
kemungkinan baru.Tindakan-tindakan gemar melakukan pencarian,
variasi dalam bekerja, pengambilan risiko, menemukan sesuatu
(discovering), kreatif, perubahan yang radikal, dan inovasi. Di saat
yang sama, tentu saja organisasi juga dituntut untuk
menyeimbangkannya dengan upaya eksploitatif. Misalnya melakukan
penyempurnaan, tindakan disiplin.pilihan, kontrol, standardisasi,
efisiensi, perubahan yang bertahap, implementasi, serta eksekusi dan
pengembangan (Cho dan Pucik, 2005).

2. Pembelajaran dan Inovasi yang Kompleks; Kemampuan


Memprediksi Harus Tinggi
Bila kita membicarakan inovasi yang kompleks, penekanan
pembelajarannyatentu berbeda.Kata Govindrajan dan Trimble (2005),
pembelajaran untuk inovasi yang strategik haruslah bersifat
meningkatkan kemampuan untuk memprediksi kinerja proyek
inovasi.Demikian pentingnya, kedua peneliti ini menganggap justru
"Prediction is the heart of learning process". Untuk proyek inovasi
yang kompleks harus ada asumsi bahwa: "prediksi awal pasti salah".
Kita tidak akan dapat memperkirakan dengan eksak seberapa besar
pasar akan tumbuh, persaingan yang akan terjadi, apakah pasar
menerima teknologi kita, apalagi soal profitabilitas yang akan kita
dapatkan. Beberapaperusahaan yang menjadi objek penelitian
Govindrajan & Trimble (2005) menyebutkan istilah pembelajaran
seperti di atas sebagai pendekatan "experiment-and-learn".
Meski menyadari prediksi awal bisa salah, namun, dengan
berjalannya waktu, prediksi yang tadinya hanya dugaan kasar (wild
guesses), harus menjadi estimasi yang memiliki dasar (informed
estimates).Kemudian, pada saatnya prediksi yang ada harus menjadi
prakiraan yang dapat diandalkan (reliable forecast).Govindrajan &
Trimble menjelaskannya pada gambar berikut.

Karena belajar berkaitan dengan risiko, "ongkos" belajar, dan


waktu yang dibutuhkan, maka pembelajaran di sini harus dapat menekan
aspek-aspek tersebut menjadi sekecil mungkin. Padahal, untuk inovasi
yang bersifat kompleks, pastilah dari segi waktu pembelajarannya akan
lama, dari segi kejelasan sangat mengambang. sementara sering kali
pengulangan (repetisi) sulit dilakukan. Ibarat membangun teori, di mana
kita berupaya memperkecil perbedaan antara prediksi dan kenyataan yang
ada, organisasi harus membuat teori sendiri atas masa depan proyek
inovasinya.
Jadi, sekali lagi, dalam proyek inovasi yang kompleks kesalahan
memang layak dimaafkan, asal secara sadar ada disiplin, akuntabilitas dan
proses yang terstruktur atas pembelajaran yang dilakukan.
Pertanggungjawaban tentulah penting, tapi tidak boleh menjadi
utama.Penekanannya harus lebih banyak pada, "Seberapa cepat
kitabelajar?"Atau, "Seberapa cepat kita merespons informasi baru yang
kita peroleh?"Bila hal di atas dilakukan, itu berarti organisasi
mengidentifikasi pelajaran yang terjadi dan pemahaman atas sebab-dan-
akibat meningkat, keakuratan memprediksi pihak yang terlibat proyek
inovasi juga semakin meningkat.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan kemampuan melihat
sesuatu di masa depan begitu pentingnya dalam inovasi yang kompleks.
Dengan demikian, tentu saja pembelajaran yang mengandalkan
pengalaman masa lalu tidak cukup dan harus dilengkapi. Pendekatan-
pendekatan yang mampu membuat individu dan organisasi mampu
membayangkan dengan cukup jelas kemungkinan-kemungkinan masa
depan yang dihadapinya diperlukan.

H. Organisasi Inovatif Lewat Corporate Entrepreneurship (CE)

Konsep CE, sangat relevan saat membicarakan inovasi sebagai


sebuah strategi perusahaan. Pada tahun 1985, pakar manajemen Peter
rucker (1985) menulis sebuah buku terkenal dengan nama Innovation and
Entrepreneurship. Di tahun yang sama, Gifford Pinchot mengeluarkan bili
Intrapreneuring (1985), yang pertama kali melansir istilah "Intra" (within)
"preneurship" (dari entrepreneurship). Istilah ini menjadi populer
menjelaskan entrepreneurship yang terjadi di perusahaan besar dan mapan.
Gagasan Pinchot menjelaskan bahwa karyawan di organisasi bisa
membawa dan mengem bangkan gagasan seperti layaknya perusahaan
start-up yang masih akan berkembang Walaupun tidak mudah, karena
banyak tuntutannya, seperti prosesnya yang kompleks struktur yang
menunjang, budaya, bukan berarti CE tidak perlu dijalankan. Terutama
karena di abad XXI ke depan, pikiran untuk berinovasi secara
berkelanjutan (baik dalam produk, proses, teknologi, rutinitas
administratif, dan struktur) dan sebuah kemampuan untuk bersaing secara
proaktif di pasar (baik global maupun lokal) adalah kecakapa utama untuk
menentukan kinerja perusahaan. Justru tantangannya bagi para manajer
dan juga pemimpinnya adalah menciptakan situasi yang kondusif untuk
penciptaan gagasan di dalam perusahaan dan mendorong karyawan untuk
mengomersialisasikan gagasan tersebut.
Dalam perkembangannya konsep CE bisa teridentifikasi paling
tidak dengar beberapa istilah (Thornberry, 2003).Istilah itu adalah
corporate venturing, intrapreneur organizational transformation, dan
industry rule-breaking. Corporate venturing berhubunga dengan
bagaimana memulai sebuah bisnis, yang biasanya memanfaatkan prose
atau kompetensi perusahaan. Sementara intrapreneuring, merupakan upaya
unt menggunakan kerangka pikir dan perilaku wirausahawan yang
digunakan untukmenciptakan dan mengembangkan bisnis, serta membawa
karakter ini ke dalam per usahaan sekarang.Istilah corporate renewal
berkaitan dengan upaya pengaturan atau kombinasi baru dari sumber daya
dan hasilnya adalah penciptaan nilai eknomis yang berkelanjutan.
Sementara dalam arti transformasi, tidak hanya transformasi perusahaan,
tapi juga lingkungan bersaing dari industri menjadi sesuatu yang sama
sekali berbeda dari sebelumnya. Meskipun terkesan berbeda, paling tidak
Thornberry (2003) menye but ada tiga kesamaan elemen yang dimiliki dari
empat bentuk CE, yaitu:
1. Penciptaan sesuatu yang baru dan sebelumnya tidak ada
(bisnis, produk, layanan,sistem penyerahan, proposisi nilai).
2. Hal-hal baru ini menuntut tambahan sumber daya dan/atau
perubahan dalampola pemanfaatan sumber daya dalam
organisasi.
3. Pembelajaran harus terjadi baik dalam penciptaannya maupun
dalam implemen tasinya sehingga pada akhirnya ini akan
mengembangkan kompetensi dan kapabilitas organisasi yang
baru.
Sekali lagi, kita dapat merasakan manajemen tradisional tidak
cukup terutama bila hanya fokus pada melakukan tugas secara efisien.Ini
tidak bisa menghadapi tantangan-tantangan baru.Organisasi harus juga
lebih fleksibel, kreatif, dan juga lebih toleran terhadap kesalahan-
kesalahan demi pembelajaran.
Dari sini, kita juga melihat ada ciri individu yang membedakan
dengan manajer, termasuk dengan manajer, tapi kita tidak bisa menafikan
bahwa manajer dalam era sekarang membutuhkan karakter-karakter
tersebut.Terutama manajer-manajer di organisasi yang sudah relatif
mapan.Apa sesungguhnya beda antara manajer dengan intrapreneur?
Bagaimana seorang manajer puncak bisa menjadi seorang intrapreneur
dalam suatu organisasi bisnis?
Banyak penelitian menunjukkan bahwa entrepreneur, memang
berbeda dengan manajer, terutama mereka yang dari perusahaan
besar/korporasi. Stewart et al (1998). meneliti bahwa perbedaan ini terjadi
di tiga hal yang menjadi klasik dalam pembahasan kewirausahaan, yaitu
motivasi pencapaian (achievement motivation), kecenderungan mengambil
risiko (risk-taking propensity), dan kecenderungan untuk berinovasi
(preference for innovation). Seperti yang menjadi hipotesisnya, dalam
ketiga hal ini entrepreneur memiliki skor yang lebih tinggi dibanding
manajer di perusahaan korporasi.
Penelitian oleh Buzenitz dan Barney (1997) juga mengonfirmasi
perbedaan ini. Kedua peneliti ini mengeksplor perbedaan antara
entrepreneur dan manajer di perusa haan besar, hanya fokusnya pada
proses pengembalian keputusan. Entrepreneur,di penelitian ini dianggap
lebih rentan atas bias dan heuristis dalam pengambilan keputusan. Tapi
justru inilah yang kadang-kadang membuat para entrepreneur bisa
menangkap peluang usaha di saat kondisi sedang penuh
ketidakpastian.Dalam ketidakpastian atau kompleksitas, bias dapat
menjadi pemandu efektif dan efisien dalam pengambilan
keputusan.Sementara heuristis dapat mengarahkan individu pada
keputusan yang inovatif.Penelitian ini juga menemukan bahwa
entrepreneur sering lebih percaya diri secara berlebihan, dan suka
menggeneralisasi.

Persamaan dan Perbedaan antara Entrepreneur dan Intrapreneur

Konsep corporate entrepreneur lahir karena mengasumsikan proses


entrepreneurial yang terjadi di perusahaan-perusahaan start-up, kecil dan
gesit, seharusnya juga terjadi pada perusahaan yang sudah besar dan
mapan. Ada beberapa kesamaan antara sosok entrepreneur dan (karyawan
yang berperilaku seperti entrepreneur), misalnya beberapa hal seperti yang
diungkap oleh Morris, Kuratko, Covin (2007):
 Keduanya melibatkan perumusan dan pengenalan atas peluang.
 Keduanya menuntut konsep bisnis yang unik baik dari segi produk,
layanan atau proses
 Keduanya memerlukan keseimbangan antara visi dengan kecakapan
manajerial, passion dengan pragmatis, proaktif dengan kesabaran.
 Keduanya dianggap pencipta nilai (value creator) dan bertanggung
jawab pada pelanggan.
 Keduanya menuntut kegigihan dan kemampuan merumuskan solusi
yang inovatifdalam menghadapi resistensi dan kendala..
Meskipun demikian jelas tidak seluruhnya sama, setidaknya untuk
urusan berikut. yaitu:
 Risiko, bagi entrepreneur, ini soal risk yang harus diambil
sedangkan bagi intrapreneur
 Gagasan; entrepreneur memiliki gagasan, sementara di
intrapreneur gagasan milik perusahaan.
 Ganjaran; intrepreneur ganjarannya bisa besar sekali,
sementara untuk intrapreno hanya terkait dengan bonus,
dan berbagai ganjaran finansial/nonfinansialneur ini soal
risiko perusahaan atau risiko kariernya. lainnya.
 Kebebasan bermanuver; pada entrepreneur bisa sangat
fleksibel, sedangkan di intrapreneur mau tidak mau tetap
tergantung kepada prosedur, dan birokrasi.
 Sumber daya; sering kali sumber daya bagi entrepreneur
terbatas. Ia harus mengatur bagaimana pemanfaatannya
yang optimal. Sedangkan pada intrapreneur, soal
aksessumber daya sering kali cukup banyak, baik ke
keuangan, R&D, fasilitas produksiuntuk percobaan, tenaga
penjual, saluran distribusi, dan lain-lain.

Leader juga bisa entrepreneurial


Pertanyaan berikutnya terkait dengan apakah mereka yang disebut
leader itu berbeda dari intrapreneur? Paparan yang dikemukakan
Thornberry (2006), dalam bukunya Lead Like an Entrepreneur, tentang
kepemimpinan entrepreneurial di sebuah perusahaan dapat menjelaskan
hal tersebut.
Menurut Thornberry, seorang Leader dapat memainkan peranan
aktif sebagai entrepreneur yang memimpin, atau orang yang bertindak
sebagai katalis yang mensti mulasi tindakan entrepreneurial dan energi
dari pihak lain (manajer dan karyawan). Seseorang juga bisa dibedakan
atas fokusnya pada urusan yang ada di internal atau eksternal.Pandangan
Thornberry ini dapat dijelaskan pada gambar berikut.
Secara singkat, aktivis adalah mereka yang menjadi motor atau
pemilik dari orientasi untuk menciptakan nilai. Di peran ini, para leader
sendirilah yang meng identifikasi, mengembangkan, dan menangkap
berbagai peluang bisnis, baik pak urusan operasional (miner), atau urusan
pasar (eksplorer). Sedangkan Katalis, tidak langsung menjadi motor dari
pemerolehan peluang. Mereka lebih menciptakan budaya dan kondisi yang
mendukung. Mereka meyakini pada inovasi, mencoba hal-hal baru,
mengambil risiko, membiarkan kesalahan, dan terus-menerus belajar
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perusahaan inovatif akan selalu memperbarui berbagai elemen yang


ada di dalam organisasi, yaitu ada produk, pada proses, pada sistem, hingga
pada tatanan cara berpikir. Produk yang sama sekali baru atau yang baru
karena pengembangan, dapat memenuhi harapan pelanggan dan pada
gilirannya menjamin pemasukan perusahaan. ProsesProses bisnis yang penuh
terobosan dapat membuat organisasi menghemat biaya, mempercepat siklus
produksi, meningkatkan mutu produk, sekaligus meningkatkan layanan.

B. Saran

Para pembaca khususnya mahasiswa harus lebih meningkatkan


pengetahuannya tentang manajemen strategi. Di harapkan makalah ini dapat
berguna bagi kita semua dalam pembelajaran Manajemen Strategik, serta
makalah ini dapat menjadi pembelajaran bagi teman-teman semua karena
masih banyak hal yang perlu kita pelajari dalam Pengawasan dan Evaluasi
Strategi.

A.
REFERENSI

Amir. M. Taufiq Harahap, Insan, (2008). CSK Manajemen Strategik, Konsep dan
Aplikasi

Davenport, Thomas H., Harris, Jeanne G. (2007), Competing on Analytics, the


new science of Winning, Boston: Harvard Business School Press.

Kaplan, R., Norton, D, (2004), Strategy Map Converting Intangible Assets Into
TangibleOutcome, Boston: Harvard Business School Press

Kaplan, Norton, (2005), High Performance Organization, Boston: Harvard


Business Pettit, Justin, (2000). EVA & Strategy, Evaluation, April.

Anda mungkin juga menyukai