Anda di halaman 1dari 12

Pendekatan diagnosis Neurooftalmologi pada Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak

Lainnya
Nia Anestya1, Gilang Nispu Saputra2, Aryatika Alam3
1. RS TK IV Guntung Payung, Banjarbaru
2. Bagian Neurologi RSUD H. Damanhuri, Barabai
3. Bagian Oftamologi RSUD H. Damanhuri, Barabai
Email: Niaanestya230591@gmail.com

Abstrak
Gangguan Gerak merupakan suatu kondisi kelainan neurologi yang memengaruhi
kecepatan, kelancaran, kualitas dan kemudahan bergerak, termasuk di dalamnya dapat
memengaruhi pergerakan bola mata. Neurooftalmologi merupakan ilmu yang berfokus pada
kelainan mata yang berhubungan dengan kelainan neurologis. Metode diagnostik pada bidang
ini mencakup anamnesa yang mendalam, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang
yang lengkap. Hampir semua kelainan mata pada gangguan gerak akan memiliki gangguan
umum yaitu sakadik yang tidak normal. Dengan adanya perbedaan kelainan mata, hal ini
akan menjadi karakteristik dalam menegakkan diagnosis pada gangguan gerak.

Abstract
Movement disorder is one of neurological disorder with broad spectrum, and can
manifestated with eye movement disorder. Neuroophtalmology is focus on the relationship
between the visual system disorder and neurological disorders. Neuroophtamology diagnostic
method are included history taking, clinical examination, any diagnostic method. With the
difference in eye abnormalities, this will be characteristics in making a diagnosis of
movement disorders.

Keywords: diagnosis, movement disorder, neuroophtamology


I. Pendahuluan
Gangguan gerak adalah manifestasi klinis di bidang neurologi yang cukup banyak
ditemukan, seperti pada penyakit Parkinson, multiple system atrophy, progressive
supranuclear palsy, sindrom wilson, penyakit Creutzfeldt-jakob, ataxia spinoserebral,
penyakit ataxia friedreich, penyakit huntington. Gangguan gerak adalah kondisi neurologi
yang dapat mempengaruhi kecepatan, kelancaran, kualitas, dan kemudahan dalam bergerak.
Pergerakan dihasilkan dan dikordinasikan oleh beberapa struktur otak yang saling berkaitan
seperti kortex motorik, serebellum dan ganglia basal. Sistem motorik merupakan bagian dari
sistem saraf pusat yang terlibat dalam pergerakan sengaja dan tidak sengaja yang terdiri dari
sistem piramidal dan extrapiramidal. Sistem ekstrapiramidal merupakan bagian sistem
motorik yang dapat menyebabkan refleks yang tidak sengaja, pergerakan, dan kordinasi1.
Neurooftalmologis merupakan spesialisasi yang bertujuan untuk menggunakan
penalaran analitik intensif dalam menentukan diagnosis yang tidak dapat dilakukan oleh
spesialis lainnya. Neurooftalmologis menghabiskan banyak waktu dalam melakukan
anamnesa, pemeriksaan rinci, penggunaan tes tambahan yang bijaksana, dan analisis metodis
dari data ini seringkali digunakan untuk menegakkan diagnosis yang sulit dan meminimalkan
kerusakan yang akan terjadi2. Gangguan penglihatan dapat memberikan pengaruh buruk
terhadap kualitas hidup pasien. Beberapa jurnal menyebutkan bahwa terdapat hubungan
gangguan gerak pada bidang neurologi dengan manifestasi di mata. Pada penyakit gangguan
gerak seringkali didapatkan adanya pola pergerakan mata yang abnormal. Pola pergerakan
mata yang abnormal dapat membantu untuk menegakkan diagnosis serta menjelaskan
patofisiologi dari gangguan yang mendasarinya. Pergerakan mata secara tidak sadar dapat
meliputi nistagmus dan sakadik yang tidak sesuai. Nistagmus harus dapat dibedakan dari
sakadik intrusi dan sakadik osilasi. Nistagmus dapat dipicu oleh berbagai macam manuver
seperti pandangan yang dapat menimbulkan nistagmus (gaze evoked nystagmus),
menggelengkan kepala ke kanan kiri dan perubahan posisi. Sedangkan pada sakadik, baik
vertikal atau horizontal dapat dinilai dengan latensi, kecepatan, ketepatan dan konjugasi.
Penyakit gangguan gerak dapat meliputi penyakit Parkinson, progressive supranuklear palsy,
multiple system atrophy, Sindrom wilson, penyakit Ataxia friedreich, penyakit Creutzfeldt-
jakob, penyakit huntington3. Sakadik merupakan salah satu indikator yang paling berguna
dalam melakukan evaluasi pada pasien gangguan dan juga dapat menjadi petunjuk diagnosis
pada pasien. Sakadik merupakan pergerakan mata yang paling cepat (500 derajat per detik)
dan juga dengan durasi yang paling singkat (kurang dari 100msec)4.
II. Sakadik pada gangguan gerak
Sakadik merupakan pergerakan mata yang terkonjugasi dengan memusatkan objek secara
cepat, dapat di deteksi di perifer, menuju fovea untuk memastikan ketajaman penglihatan
dan persepsi yang optimal. Sakadik dapat diuji secara klinis dengan cara bebas atau
dengan arahan verbal. Sebagai contoh, pada saat yang satu melakukan pemeriksaan
sakadik secara bebas tanpa arahan verbal yaitu meminta pasien untuk mengikuti pensil
yang berada di sebelah kanan dan kiri dari fiksasi sentral, kemudian pasien diminta untuk
melakukan gerakan melihat bolak balik secara cepat, akan dibandingkan dengan
pemeriksaan sakadik dengan arahan verbal yaitu pasien diminta untuk melihat hidung
pemeriksa sebagai sentral dari fiksasi, kemudian jari pemeriksa akan bergerak ke kanan
atau ke kiri tetapi pasien tetap harus melihat kearah sentral fiksasi. Sakadik yang tidak
normal biasanya ditemukan pada gangguan gerak hipokinetik dan hiperkinetik. Pada
gangguan gerak hipokinetik, sakadik memiliki peranan penting dalam membedakan
diagnosis pada sindroma parkinson. Hal ini terlihat jelas pada progressive supranuclear
palsy (PSP) yang dapat ditandai gangguan gerak mata vertikal (supranuclear gaze palsy)
termasuk melambatnya sakadik vertikal menjadi hal yang sangat penting dalam
mendiagnosis. Square wave jerks (SWJ) juga terkadang terlihat pada pasien PSP.
Gerakan bola mata vertikal biasanya lebih terpengaruhi dibandingkan tatapan horizontal,
karena patologi utama berada di otak tengah sehingga memengaruhi rostral interstitial
nucleus of medial longitudinal fasciculus (RIMLF). Pada multiple system atrophy (MSA)
khususnya tipe serebelar (MSA-C, atrofi olivopontoserebelar) akan terdapat SWJ dan
sakadik dismetria. Sakadik hipermetria dan hipometria juga akan terlihat. Pada penyakit
Parkinson sakadik hipometrik vertikal atau horizontal terkadang terlihat, terutama saat
melakukan sakadik self-paced, tetapi ini membutuhkan teknik khusus untuk merekam
pergerakan mata. Pada pasien degenerasi kortikobasal terdapat sakadik abnormal yang
khas yaitu apraksia okulomotor. Pada gangguan gerak hiperkinetik terdapat penyakit
sindrom ataxia opsoklonus-myoklonus yang dimana pada penyakit ini terdapat sakadik
intrusi/osilasi dengan sakadik spontan bolak balik secara horizontal, vertikal, torsional
tanpa adanya jeda antar sakadik. Pada penyakit huntington kelainan pada mata merupakan
tanda awal paling penting dalam mendiagnosis penyakit ini. Kelainan utamanya yaitu
terdapatnya gangguan saat inisiasi dengan atau tanpa melambatnya kecepatan sakadik.
Sakadik vertikal secara umum lebih berpengaruh dibandingkan sakadik horizontal 4. Pada
Gambar 1 menunjukkan algoritma sakadik pada gangguan pergerakan.
Gambar 1. Algoritma penyakit gangguan gerak yang berhubungan dengan gangguan
gerak mata4. Keterangan: AOA1, ataxia with oculomotor apraxia type 1; AOA2, Ataxia
with apraxia oculomotor type 2; AT, Ataxia telengiektasis; CBS, corticobasal
syndrome; FA, Friedreich’s ataxia; GEN, gaze-evoked nystagmus; HD, Huntington
disease; MSA, multiple system atrophy; NPC, Niemann-Pick type 6; OMAS,
opsoclonus-myoclonus ataxia syndrome; PD, Parkinson’s disease; SCA2,
apinocerebellar ataxia type2; SCA6, spinocerebellar ataxia type 6; SCA8,
spinocerebellar ataxia type 8; SWJ, square wave jerks; VSGP, vertical supranuclear
palsy.

A. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson (PD) merupakan penyakit kelainan degenerasi saraf yang berasal dari
ganglia basal yang sering ditemukan karena penyakit neurodegeneratif kedua terserings
setelah penyakit alzheimer dan memiliki beberapa gejala klinis yang khas seperti
bradikinesia, tremor, ketidakstabilan postur tubuh, hypomimia (wajah tampak seperti
memakai topeng), meningkatnya tonus otot sehingga akan terjadi kekakuan terhadap gerakan
persendian (rigiditas)5. Gangguan penglihatan seperti diplopia, dry eye, atau defek lapang
pandang pada penyakit Parkinson sering kali tidak dapat dikenali. Beberapa gangguan
penglihatan pada penyakit Parkinson berhubungan dengan penipisan dopamin pada retina,
sehingga persarafan dopaminergik menurun pada korteks penglihatan. Dopamin berperan
penting dalam beberapa proses yang berhubungan dengan penglihatan seperti adaptasi pada
cahaya, mengendalikan gerakan mata, sensitifitas kontras, penglihatan warna, konstruksi
visuospasial, dan memori kerja spasial. Diplopia dikatakan sebagai bagian kekurangan
dopamin6. Sebagai tambahan, pada penyakit Parkinson, saat kedua mata bergerak dengan
cepat ke kanan dan ke kiri, rahang juga akan bergerak sejajar dengan arah mata atau dapat
disebut dengan sinkinesia rahang okular (Ocular Jaw Synkinesia)7.

B. Multiple System Atrophy


Multiple System Atrophy (MSA) merupakan gangguan gerak yang sangat jarang dan
merupakan bagian dari sindroma parkinson. Gejala klasik dari atrofi sistemik multipel
meliputi parkinsonisme, ataxia, dan disfungsi autonom. Ataxia menggambarkan buruknya
koordinasi pada gerakan otot, sedangkan fungsi disfungsi otonom melibatkan berbagai sistem
yang mengatur beberapa fungsi tubuh yang tidak disadari seperti detak jantung, tekanan
darah, fungsi kandung kemih dan pencernaan. Anderson dan collagues mengeluarkan kriteria
“red flag” untuk menegakkan diagnosis pada MSA yaitu square wave jerks, sakadik
hipometria ringan-sedang, gangguan refleks vestibulo okular, dan nistagmus. Jika pada
penyakit Parkinson terdapat sinkinesia rahang okular, apabila tidak terdapat tanda ini, bisa
jadi diagnosisnya akan mengarah ke MSA. Pemeriksaan mata akan dimulai dari mata bagian
luar, dan akan terdapat tanda mata kering, gangguan refleks mengedip, blefarospasme.
Sebagai tambahan, kelainan dari fungsi okulomotor seperti SWJ, gangguan gerak bola mata
vertikal, nistagmus, sakadik hipometria, posisi down beat nistagmus, gangguan gerak smooth
pursuit, dan berkurangnya refleks vestibulo okular akan terlihat7.

C. Progressive Supranuclear Palsy


PSP adalah gangguan degenerasi saraf parkinsonian yang memiliki gejala klasik seperti
ketidakstabilan postur tubuh, gangguan gerakan bola mata vertikal, disartria, kekakuan
distonik dari leher, demensia ringan, pseudobulbar palsy. Berdasarkan dari penelitian klinis,
kelumpuhan tatapan supranuklear vertikal dan sakadik vertikal yang melambat selama
ketidakstabilan postur tubuh merupakan gejala klinis untuk membedakan penyakit Parkinson
dengan kelumpuhan supranuklear progresif. Tanda ini juga menjadi alasan utama mengapa
diagnosis PSP dapat terlambat selama beberapa tahun setelah onset awal terlihat.
Blefarospasme merupakan tanda mata yang khas pada PSP. Spontan, tak menentu, dan
kontraksi kuat dari orbital, preseptal, dan segmen pretarsal dari orbikularis okuli merupakan
karakteristik dari blefarospasme. Pada pasien PSP juga terdapat apraxia of eyelid opening
(ALO) yang digambarkan dengan a) ketidakmampuan sementara untuk mengangkat kelopak
mata, b) kurangnya kontraksi orbikularis okuli yang progresif, c) kontraksi otot frontalis yang
kuat dikombinasikan dengan ketidakmampuan untuk mengangkat kelopak mata, d)
kurangnya okulomotor atau disfungsi saraf simpatis okular8.

D. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington (HD) adalah penyakit degenerasi saraf genetik yang umumnya
ditemukan sebelum usia dewasa dan memiliki gangguan gerak (umumnya seperti chorea,
distonia, dan parkinsonian), gangguan kordinasi, penurunan kognitif, dan perubahan perilaku.
Hal ini disebabkan oleh kehilangan sel saraf secara progresif dalam jalur kortiko-striato-
thalamo-kortikal, yang sebagian besar berada pada neostriatum (kaudatus dan putamen). Pada
HD, gangguan gerak umumnya memiliki karakteristik distonia awal atau sindrom kekakuan
hipokinetik dengan keterlibatan facio-bucco-lingual. Pada pasien HD, manifestasi awal pada
mata yaitu inisiasi sakadik, yang secara progresif menjadi lambat dan hipometria dengan
gangguan fungsi fiksasi tatapan. Untuk menilai kelainan mata pada penyakit huntington,
dapat dibagi menjadi beberapa kategori penilaian yang dimana penilaian akan terdiri dari
menilai gerak ke enam otot ocular meliputi horizontal dan okular pursuit, inisiasi sakadik
horizontal dan vertikal, dan kecepatan sakadik horizontal dan vertikal. Semakin besar nilai
dari penilaiannya, menandakan bahwa semakin besar gangguan pada mata (gambar 2) 9. Hal
ini menjadi poin penting terjadinya menifestasi awal dari kelainan gerak mata pada
‘serebelar’, sebagai contoh sakadik disimetris, square wave jerks, kedipan mata, sakadik
pursuit, dan tatapan yang memicu nistagmus merupakan kelainan pada degenerasi
spinoserebellar secara umum10.
Gambar 2. Skala penilaian okulomotor pada penyakit huntington9.

E. Penyakit Creutzfeldt Jakob


Penyakit Creutzfeldt Jakob (CJD) adalah penyakit degenerasi saraf progresif yang memiliki
karakteristik demensia yang berkembang dengan cepat yang diikuti dengan kelainan visual
dan serebelar ataksia, disfungsi piramidal dan ekstrapiramidal, mioklonus dan mutisme
akinetik. CJD dibagi menjadi 4 kategori: sporadik, familial, iatrogenik, dan varian lainnya.
Chorea sering ditemukan pada CJD yang meliputi wajah, tubuh dan anggota badan yang
diikuti dengan postur distonik dari tungkai atas, dan tonus yang meningkat di semua tungkai,
dengan refleks tendon normal dan respon plantar yang menurun11. Gangguan penglihatan
seringnya menjadi gejala awal yang timbul pada CJD tipe sporadik. Gejala ini meliputi
diplopia, kelumpuhan supranuklear, kehilangan penglihatan. Pada stadium akhir, kebutaan
mungkin berasal dari degenerasi spongiform, kehilangan serabut saraf, dan timbunan protein
prion selular di thalamus (geniculatum lateralis) atau korteks visual primer. Kadar prion
paling tinggi terdapat pada retina, dan paling rendah terdapat pada vitreus dan lensa (Gambar
3). Pada beberapa kasus, gangguan penglihatan seperti kebutaan monokular sementara,
buram atau penglihatan ganda, nistagmus, pursuit okular yang melambat dan meningkatnya
sakadik laten12.
Gambar 3. Perbandingan antara jumlah prion pada korteks dan pada mata. Pada
gambar A menunjukkan jaringan okular. Pada gambar B menunjukkan kadar prion
dari otak hingga ke jaringan mata. Kadar tertinggi terdapat pada retina, dan kadar
terendah terdapat pada lensa12.

F. Penyakit Friedreich Ataksia


Penyakit Friedreich ataksia (FRDA) merupakan penyakit degenerasi saraf yang
mempengaruhi sistem saraf pusat dan perifer, dan memiliki kelainan genetik autosomal
resesif. FRDA memiliki karakteristik ataksia anggota badan dan gangguan berjalan,
kelemahan kaki, disartria, hipetropik kardiomiopati, hipoakusia, dan kejadiannya akan
meningkat pada penderita diabetes melitus. FRDA merupakan penyakit yang berbahaya,
dengan penurunan fungsi otot sehingga pasien akan kehilangan kemampuan untuk berjalan,
berdiri, atau duduk tanpa bantuan dalam kurun waktu 10-15 tahun. Kelainan pada okulomotor
merupakan tanda khusus dari kerusakan sistem penglihatan pada pasien FRDA. Hal ini
mencerminkan adanya gangguan pada sirkuit batang otak-serebelum, termasuk
ketidakstabilan fiksasi, sakadik disimetria, pursuit yang terganggu, dan kelainan vestibular.
Manifestasi yang paling sering ditemukan yaitu ketidakstabilan fiksasi dan square wave
jerks13.

G. Ataksia Spinoserebelar
Ataksia spinoserebelar (SCA) merupakan salah satu penyakit genetik degenerasi saraf
progresif, yang memiliki kelainan autosomal dominan. Secara klinis, SCA ditandai dengan
gejala dan tanda dari degenerasi serebelar yang meliputi kesulitan untuk mengatur
keseimbangan, hilangnya koordinasi, tremor dan kelainan okulomotor14. Pada pemeriksaan
serebelar juga akan didapatkan disartria, dismetria tungkai (pemeriksaan jari ke hidung,
mengikuti arah jari, tumit kaki), disdiadokokinesis, kehilangan kemampuan untuk melawan
ekstremitas. Ataxia batang tubuh dan atau titubasi kepala, gaya berjalan tidak stabil,
ketidakmampuan berjalan bersama-sama. SCAs memiliki tipe 1, 2, 3, 6, 7 dan 17 yang
memiliki kelainan pada mata. Pada SCA1, Kelainan mata berhubungan dengan koneksi
serebelar, seperti pursuit sakadik, sakadik yang melambat, dismetria sakadik, tatapan yang
memicu nistagmus, sakadik laten. Keterlibatan dari batang otak termasuk formasi parapontine
retikular, sakadik dapat menjadi lambat dan oftalmoparesis vertikal dan horizontal. Pada
SCA2 sakadik lambat akan terlihat pada fase awal dan dapat berkembang dengan cepat
hingga akhirnya mengarah ke oftalmoplegia pada stadium akhir. Sakadik pursuit, nistagmus,
sakadik hipometria, latensi berkepanjangan. SCA2 juga berhubungan dengan retinitis
pigmentosa. Pada SCA3 terlihat berkurangnya ketebalan pada makula. Sakadik dismetria
dengan tatapan yang memicu nistagmus. Sakadik dapat menjadi lambat, dan gangguan fiksasi
stabil dengan sakadik intrusi, meliputi sentakan gelombang persegi (SWJ). Nistagmus dapat
menjadi onset awal pada kelainan mata SCA3 sebelum timbulnya gangguan cara berjalan.
Kelainan okulomotor pada SCA6 diinduksi oleh kelainan pada serebelum, yang terdiri dari
gangguan smooth pursuit, sakadik dismetria, nistagmus vertikal dan horizontal dan gangguan
refleks vestibulo okular yang dapat terjadi sebelum ataksia, juga SWJ dapat terlihat tanpa
gejala pada pasien ini. Pada SCA7 terdapat kelainan mata meliputi oftalmoplegia,
melambatnya gerak sakadik, disfagia, disartria, tanda traktus piramidalis. Kelainan
okulomotor meliputi sakadik pursuit, sakadik dismetria, sakadik yang melambat, tatapan
yang memicu nistagmus yang dapat berkembang menjadi oftalmoparesis. Gangguan
penglihatan warna khususnya penglihatan warna biru kuning dengan penglihatan buram
sebelum kelainan saraf berkembang. Refleks pupil akan melambat selama hilangnya sel
ganglion retina. Pada SCA17, ataxia dan demensia menjadi gejala klinis awal. Smooth
pursuit awal dipengaruhi oleh meningkatnya latensi dan menurunnya akselerasi15.

H. Penyakit Wilson
Penyakit Wilson (WD) disebut juga sebagai degenerasi hepatolentikular dengan kelainan
genetik autosomal resesif dari metabolisme tembaga mengarah ke akumulasi tembaga di
berbagai jaringan terutama hati, otak, kornea, ginjal. Gejala umum kelainan saraf pada WD
meliputi tremor, distonia, parkinsonisme, ataksia, yang sering berhubungan dengan disfagia,
disartria, meneteskan air liur16. Manifestasi okular meliputi cincin Kayser-Fleischer (K-F
ring) (Gambar 4) dan katarak berbentuk matahari (Gambar 5). Cincin K-F biasanya bilateral,
dimulai dari superior kemudian ke bagian inferior, selanjutnya akan melingkar. Pemeriksaan
fundus mata normal17.

Gambar 4. Kayser-Fleischer Ring pada penyakit wilson3

Gambar 5. Katarak berbentuk matahari (sunflower cataract) pada penyakit Wilson17.

III. Simpulan
Saat ini peran neurooftalmologi sangat penting dalam membantu menegakkan diagnosis
kelainan neurologis, seperti pada gangguan gerak yang kecenderungan akan ditemukannya
sakadik yang tidak normal.
Daftar Pustaka
1. Shipton EA. Movement disorders and neuromodulation. Neurol Res Int. 2012;2012.
2. Rooks, M.G and Garrett, W.S 2016. 乳鼠心肌提取 HHS Public Access. Physiol
Behav. 2017;176(3):139–48.
3. Jung I, Kim J-S. Abnormal Eye Movements in Parkinsonism and Movement
Disorders. J Mov Disord. 2019;12(1):1–13.
4. Termsarasab P, Thammongkolchai T, Rucker JC, Frucht SJ. The diagnostic value of
saccades in movement disorder patients: a practical guide and review. J Clin Mov
Disord [Internet]. 2015;2(1):1–10. Available from: http://dx.doi.org/10.1186/s40734-
015-0025-4
5. Puri S, Shaikh AG. Basic and translational neuro-ophthalmology of visually guided
saccades: disorders of velocity. Expert Rev Ophthalmol. 2017;12(6):457–73.
6. Borm CDJM, Smilowska K, De Vries NM, Bloem BR, Theelen T. How i do it: The
Neuro-Ophthalmological Assessment in Parkinson’s Disease. J Parkinsons Dis.
2019;9(2):427–35.
7. Armstrong RA. Visual signs and symptoms of multiple system atrophy. Clin Exp
Optom. 2014;97(6):483–91.
8. Phokaewvarangkul O, Bhidayasiri R. How to spot ocular abnormalities in progressive
supranuclear palsy? A practical review. Transl Neurodegener. 2019;8(1):1–14.
9. Winder JY, Roos RAC. Premanifest Huntington’s disease: Examination of oculomotor
abnormalities in clinical practice. PLoS One. 2018;13(3):1–8.
10. Martino D, Stamelou M, Bhatia KP. The differential diagnosis of Huntington’s
diseaselike syndromes: “Red flags” for the clinician. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2013;84(6):650–6.
11. Tan AH, Toh TH, Low SC, Fong SL, Chong KK, Lee KW, et al. Chorea in Sporadic
Creutzfeldt-Jakob Disease. J Mov Disord. 2018;11(3):149–51.
12. Orrù CD, Soldau K, Cordano C, Llibre-Guerra J, Green AJ, Sanchez H, et al. Prion
seeds distribute throughout the eyes of sporadic Creutzfeldt-Jakob disease patients.
MBio. 2018;9(6).
13. Noval S, Contreras I, Sanz-Gallego I, Manrique RK, Arpa J. Ophthalmic features of
Friedreich ataxia. Eye [Internet]. 2012;26(2):315–20. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/eye.2011.291
14. Park JY, Joo K, Woo SJ. Ophthalmic Manifestations and Genetics of the
Polyglutamine Autosomal Dominant Spinocerebellar Ataxias: A Review. Front
Neurosci. 2020;14(August).
15. Goizet C, Anheim M, Stevanin G. Autosomal dominant cerebellar ataxias. Prat Neurol
- FMC. 2012;3(1):1–13.
16. Dusek P, Litwin T, Członkowska A. Neurologic impairment in Wilson disease. Ann
Transl Med. 2019;7(S2):S64–S64.
17. Goel S, Sahay P, Maharana PK, Titiyal JS. Ocular manifestations of Wilson’s disease.
BMJ Case Rep. 2019;12(3):10–2.

Anda mungkin juga menyukai