Anda di halaman 1dari 3

Kasus Wasior dan Wamena (hambatan)

Pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu di Papua khususnya peritiwa Wamena Berjumlah 115
orang tewas dan Peristiwa Wasior 71 orang telah ditindak lanjuti oleh Komnas HAM dengan
melakukan penyelidikan melalui Tim Adhoc. Hasil penyelidikan telah diserahkan Kepada Kejaksaan
Agung namun sampai saat ini belum dapat ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung. Peristiwa Wamena
dan Peristiwa Wasior merupakan salah satu pemicu timbulnya rasa Traumatik atau ingatan akan
penderitaan atau memori buruk yang sampai saat ini masih dituntut Penyelesaiannya oleh korban.
Peristiwa Wasior dan Wamena berbeda dengan pelanggaran HAM Berat lainnya karena terjadi
setelah tahun 2000 dimana Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 Tentang peradilan HAM dibentuk
sehingga peradilannya tanpa harus melalui peradilan HAM ad-Hoc sehingga jika pemerintah berniat
menyelesaikan masalah Papua maka penyelesaian Pelanggaran HAM Wasior dan Wamena
merupakan salah satu aspek penting yang perlu Mendapat perhatian

Kita harus mengakui bahwa sampai saat ini Papua masih berada dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia sejak tahun 1969 meskipun melalui proses integrasi yang dipahami oleh sebagian
Masyarakat Papua sebagai sebuah proses yang cacat moral dan hukum. Sejak Papua berintegrasi
proses pembangunan integrasi politik dilakukan dengan pendekatan keamanan dibandingkan
pendekatan kesejahteraan. Pendekatan Keamanan sangat mempengaruhi labilitas integrasi karena
justru berbagai pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana digambarkan di atas timbul sebagai
tragedi dan trauma Kemanusiaan berlangsung sampai dengan saat ini. Dan untuk pelanggaran HAM
di Papua, Pemerintah belum melakukan upaya perbaikan secara konkrit untuk terciptanya iklim
kondusif bagi kemajuan Hak Asasi Manusia di tanah Papua. Komnas Hak Asasi Manusia menawarkan
solusi damai bagi tanah Papua melalui dialog antara Jakarta dan masyarakat Papua seperti
diinginkan oleh sebagian tokoh intelektual Papua untuk membicarakan 4 variabel persoalan yang
dikemukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masyarakat Papua lebih mendukung
dialog dengan tujuan terciptanya tanah Papua yang damai tanpa kekerasan, tanpa pelanggaran HAM
dan tanpa kejahatan, tanpa rintihan, ratapan, tangisan, kesedihan. Dialog yang dilaksanakan tentu
berpedoman pada prinsip-prinsip universal seperti cinta kasih (compassion), kebebasan (freedom),
keadilan (justice), dan kebenaran (intruth) bagi terciptanya dialog yang damai (peaceful dialogue).

Teror bom Jakarta(Ancaman)

Serangan Jakarta 2016 merupakan serentetan peristiwa berupa sedikitnya enam ledakan, dan juga
penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia
pada tanggal 14 Januari 2016.Ledakan terjadi di dua tempat, yakni daerah tempat parkir Menara
Cakrawala, gedung sebelah utara Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung
tersebut.Sedikitnya delapan orang empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan
tewas dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini. Tujuh orang terlibat sebagai pelaku penyerangan,
dan organisasi Negara Islam Irak dan Syam mengklaim bertanggung jawab sebagai pelaku
penyerangan.

Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah sejak bom Bali 1, hingga terbentuknya Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 15 tahun 2003, yang berbicara tentang pemberantasan tindakan
terorisme di Indonesia. Kali ini pemerintah akan menyampaikan upaya mereka lebih konkrit ke
depannya dalam mengatasi potensi ancaman terorisme di Indonesia.
1. Kemanan instansi dalam pemerintahan yang menjadi tanggung jawab masing-masing juga perlu
mendapat kontrol yang baik Keamanan setiap instansi dibebankan kepada pihak internal masing-
masing. Tetapi tetap menganut kepada arahan yang telah diberikan oleh Polri atau Mabes Polri.

2. Mempelajari berbagai modus aksi teror yang pernah dilakukan maupun yang memungkinkan
untuk dilakukan Seperti yang sering dilihat di berbagai media cetak maupun eletronik, bom bunuh
dirilah yang paling mendominasi. Selanjutnya, diikuti dengan menggunakan transportasi seperti
truck atau mobil.

3. Berkonsentrasi pada hal-hal yang bisa mengancam objek vital Terdapat dua faktor, yaitu faktor
eksternal dan internal. Faktor eksternal, menggunakan peralatan yang sebelumnya sudah disiapkan
oleh pelaku dan memastikan objek vital sudah siap dieksekusi. Sedangkan faktor internal berasal dari
pemikiran radikal pelaku yang sudah mendapatkan pengaruh.

4. Bekerja sama dengan badan internasional adalah hal yang sangat penting Kontra radikalisasi dan
berbagai bentuk deradikalisasi sudah sepatutnya dilakukan di Indonesia. Oleh sebab itu, polri telah
menyiapkan tools, software maupun sistem terbaiknya dalam menjamin terjaganya keamanan yang
lebih baik lagi.

Sengketa Ligitan dan Sipidan (Tantangan)

Sengketa kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan mencuat pada tahun 1969 ketika kedua
negara mendiskusikan delimitasi landas kontinen kedua negara. Di tahun yang sama, Indonesia dan
Malaysia berhasil menyelesaikan perundingan batas landas kontinen, meskipun tidak meliputi
wilayah di sebelah timur Pulau Kalimantan.Pada tahun 1991, Indonesia dan Malaysia membentuk
Kelompok Kerja Bersama untuk mempelajari situasi kedua pulau tersebut. Sayangnya, kedua pihak
tidak bisa mencapai persetujuan sehingga merekomendasikan untuk membawa sengketa ini ke
Mahkamah Internasional

Kesepakatan Indonesia dan Malaysia untuk membawa permasalahan Ligitan-Sipadan ke Mahkamah


Internasional dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 31 Mei
1997. Kedua negara kemudian menyampaikan notifikasi bersama kepada Mahkamah Internasional
tertanggal 2 November 1998 yang pada pokoknya meminta mahkamah untuk memutus kedaulatan
atas kedua pulau tersebut berdasarkan traktat, perjanjian, dan bukti-bukti lain yang disampaikan
oleh para pihak

Pada akhirnya, Mahkamah Internasional menggunakan analisis terhadap klaim effective


occupation dan berkesimpulan bahwa klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan bukti
adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang diajukan oleh
Indonesia. Secara khusus ditegaskan bahwa effective occupation harus memiliki karakteristik
legislatif dan pengaturan

Dalam hal ini, Indonesia tidak dapat membuktikan adanya tindakan Belanda atau Indonesia yang
memenuhi kriteria tersebut, terlebih lagi Indonesia tidak memasukkan Pulau Ligitan dan Pulau
Sipadan ke dalam Perppu Nomor 4 Tahun 1960. Sebagai penutup, riwayat Indonesia di Mahkamah
Internasional ini adalah bentuk pengejawantahan amanat konstitusi untuk ikut melaksanakan
ketertiban dunia dan juga menjadi kontribusi nyata Indonesia bagi perkembangan hukum
internasional, khususnya dengan semakin jelasnya pengaturan mengenai interpretation of
treaties, the rule of succession, dan effective occupation. Indonesia senantiasa mengedepankan
langkah damai dalam menuntaskan permasalahannya dengan negara sahabat.
Tentunya kita tidak mau kejadian tersebut terulang. Maka inilah hal yang harus dilakukan negara
agar kasus seperti Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi dengan merealisasikan beberapa ide nyata
yang menurut saya ide ini realistis, antara lain :

•Melakukan perundingan dengan negara tetangga terkait kejelasan dan kepastian aset negara

•Patroli kemanan darat, laut, udara atau penempatan TNI (terutama wilayah perbatasan)

•Meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia di perbatasan

•Pengelolaan pulau di sekitar perbatasan

Anda mungkin juga menyukai