Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL

Disusun Oleh:

NAMA : MARIA YULFA (220407501043)

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS NEGRI MAKASSAR

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk serta karuniaNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan dalam bentuk makalah yang berjudul Perkembangan
Moral dan Spiritual.Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan
Peserta Didik.Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang dapat dijadikan perbaikan untuk tulisan-tulisan
yang akan datang.Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan,
dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun ingin mengucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah, Ibu Siti Raihan yang telah membimbing dalam penyusunan makalah ini, juga
pada rekan-rekan kelompok 10 atas kerjasama dan dukungan yang telah diberikan. Kami berharap
semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya serta untuk menambah
pembendaharaan pengetahuan dalam memahami perkembangan pada peserta didik.Semoga bantuan,
dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dalam penyusunan laporan ini mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Makassar, 27 September 2022

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Peserta didik merupakan aset utama dalam misi memajukan bangsa. Mereka perlu didik dengan benar
supaya tidak menjadi generasi penerus yang salah kaprah. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam
lingkup akademik namun mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai
dengan norma hukum dan agama. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan bangsa”1. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan nasional yang seharusnya
menjadi acuan bangsa Indonesia. Dipasal tersebut juga membahas tentang tujuan pendidikan nasional
untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Maka dari itu
diperlukan pengembangan moral dan religius pada peserta didik. Ditambah lagi dengan semakin
menurunnya moral dan akhlak remaja masa kini yang ditandai dengan aksi anarkis, penggunaan
narkoba, free sex, dan pornografi sehingga urgensi pengembangan moral dan agama harus lebih
ditekankan dalam lingkup pendidikan.

1.2 Rumusan dan Pertanyaan


1. Apa penyebab akhlak dan moral remaja masa kini semakin menurun?
2. Apa saja karakteristik pengembangan moral dan religi pada peserta didik?
3. Apa faktor-faktor pengembangan moral dan religi pada peserta didik?
4. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral dan religi pada peserta didik?
5. Bagaimana implikasi perkembangan peserta didik terhadap pendidikan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan


Tujuan pembahasan mengenai karakteristik pengembangan moral dan religi pada peserta didik yaitu
· Mengetahui penyebab akhlak dan moral remaja masa kini semakin menurun
· Mengetahui apa saja yang termasuk karakteristik pengembangan moral dan religi peserta didik.
· Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhiperkembangan moral dan religi peserta didik.
· Mengetahui dan dapat mengaplikasikan upaya pengembangan moral dan religi peserta didik di ruang
lingkup pendidikan.
· Memahami implikasi perkembangan peserta didik terhadap pendidikan

1.4 Metode Pembahasan


Dalam penulisan makalah ini untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan
metode literatur dan mencari informasi dari media elektronik atau browsing di internet. Hal ini
dilakukan untuk menambah informasi yang berhubungan dengan kakteristik perkembangan moral dan
religi pada peserta didik.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
2.1 Penyebab Timbulnya Krisis Akhlak dan Moral dikalangan Remaja
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak dan moral dalam diri banyak
remaja diantaranya adalah:
Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan
hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control)3. Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada
hukum dan masyarakat. Namun karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah
seluruh alat kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa
ada yang menegur.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan
masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggungjawab pelaksanaan pendidikan di negara kita
adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah. Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus
kehidupan yang mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.
Ketiga, krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik.
Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata
mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya
bagi kerusakan akhlak para generasi penerus bangsa.
Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah
belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian semakin
diperparah dengan ulah sebagian elite politik penguasa yang sematamata mengejar kedudukan,
kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya praktek korupsi, kolusi
dan Nepotisme (KKN). Hal yang demikian terjadi mengingat bangsa Indonesia masih menerapkan pola
hidup paternalistic

2.2 Karakteristik Perkembangan Moral dan Religius Anak dan Remaja


Berikut ini paparan mengenai karakteristik perkembangan moralitas dan religius anak dan remaja:
1. Karakteristik perkembangan moralitas pada anak
Menurut Lawrance Kohlberg, ada tiga tingkat dan tahapan karakteristik perkembangan moralitas pada
anak, yaitu moralitas dengan paksaan (preconventional level), moralitas dari aturan-aturan
(conventional level), dan moralitas setelah konvensional (postconventional).
2. Karakteristik perkembangan moralitas pada remaja
Dalam moralitas terdapat nilia-nilai moral, yaitu seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat
keburukan. Seseorang dikatakan bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai
moral yang dijunjung tinggi. Pada masa remaja, individu tersebut harus mengendalikan perilakunya
sendiri agar sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dimasnyarakat, yang mana sebelumnya menjadi
tanggung jawab guru dan orang tua.
3. Karakteristik perkembangan religius pada anak
Penanaman nilai-nilai keagamaan; menyangkut konsep tentang ketuhanan, ritual ibadah dan nilai moral
yang berlangsung semenjak usia dini, akan mampu mengakar secara kuat dan membawa dampak yang
signifikan pada diri seseorang sepanjang hidupnya (Hurlock, 1978, hal.26). hal ini dikarenakan pada
masa ini, anak belum mempunyai kemampuan menolak ataupun menyetujui setiap pengetahuan yang
didapatkannya.
Tahapan-tahapan perkembangan keagamaan pada anak :
1. Masa anak-anak
a. Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya
b. Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph (dipersonifikasikan)
c. Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum dalam)
2. Masa anak sekolah
a. Sikap keagamaan bersifat reseptif dan disertai pengertian
b. Pandangan ke-Tuhanan diterangkan secararasional
c. Penghayatan secara rohaniah makin mendalam
4. Karakteristik perkembangan religius pada remaja
Perkembangan religius remaja tergantung bagaimana dan apa yang diperolehnya sejak masa anak-
anak. Umumnya, apabila pendidikan agama yang diberikan kuat maka perkembangan religius remaja
akan menjadi positif dan boleh jadi semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, apabila terdapat banyak
kerancuan pemahaman terhadap keagamaan, maka perkembangan religius remaja tersebut akan
terganggu. Pada masa remaja, keagamaan sama pentingnya dengan moral.
Ahli umum (Zakiah, Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis besarnya
perkembangan keagamaan itu dibagi dalam dua tahapan yang secara kualitatif menunjukan karakteristik
yang berbeda.
1. Masa remaja awal
a. Sikap negative disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang yang
beragama secara hipocrit.
b. Pandangan dalam ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran yang tidak cocok
c. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic, sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual
2. Masa remaja akhir
a. Sikap kembali pada umumnya kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual
b. Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkan dalam hal konteks agama yang dianutnya
c. Penghayatan rohaniahnya kembali tenang

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spiritual


Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi
dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.
Bagi para ahli psikoanalisis, perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma
masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis,
moral dan nilai menyatu dalam konsep superego yang dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-
larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa, sehingga
akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri.
Teori-teori lain yang non psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya
sarana pembentukan moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran
penting dalam pembentukan moral.
Dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup terterntu, Banyak faktor
yang mempengaruhi perkembangan moral religi dan repeserta didik, diantaranya yaitu:
1. Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Faktor seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang
terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran ideal.
3. Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur lingkungan social yang
berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsure lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4. Faktor selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat penalaran.
Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar
sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap
perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Faktor Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan
standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.

2.4 Upaya Optimalisasi Perkembangan Moral dan Spiritual


Hurlock mengemukakan ada empat pokok utama yang perlu dipelajari oleh anak dalam mengoptimalkan
perkembangan moralnya, yaitu :
1. Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan
dalam hukum. Harapan tersebut terperinci dalam bentuk hukum, kebiasaan dan peraturan. Tindakan
tertentu yang dianggap “benar” atau “salah” karena tindakan itu menunjang, atau dianggap tidak
menunjang, atau menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling penting
dibakukan menjadi peraturan hukum dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Yang lainnya,
bertahan sebagai kebiasaan tanpa hukuman tertentu bagi yang melanggarnya.
2. Pengambangan hati nuranni sebagai kendali internal bagi perliaku individu. Hati nurani merupakan
tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang
telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.
3. Pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. Setelah mengembangkan hati nurani, hati nurani
mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Rasa bersalah adalah sejenis evaluasi diri,
khusus terjadi bila seorang individu mengakui perilakunya berbeda dengan nilai moral yang
dirasakannya wajib untuk dipenuhi. Rasa malu adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang
timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini belum tentu
benar-benar ada, namun mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya.
4. Mencontohkan, memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan muncul dari
anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk membentuk moral anak.
5. Latihan dan Pembiasaan, menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan pembiasaan merupakan
strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini. Sikap orang tua dapat dijadikan
latihan dan pembiasaan bagi anak. Sejak kecil orang tua selalu merawat, memelihara, menjaga
kesehatan dan lain sebagainya untuk anak. Hal ini akan mengajarkan moral yang positif bagi anak
6. Kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial memegang
peranan penting dalam perkembangan moral. Tanpa interaksi dengan orang lain, anak tidak akan
mengetahui perilaku yang disetujui secara social, maupun memiliki sumber motivasi yang
mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hati.

Interaksi sosial awal terjadi didalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang tua, saudara kandung,
dan anggota keluarga lain tentang apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut.
Disini anak memperoleh motivasi yanjg diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan
anggota keluarga.
Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral, tetap mereka
juga mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain mengevaluasi perilaku mereka. Karena
pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral anak, penting sekali jika kelompok
sosial, tempat anak mengidentifikasikan dirinya mempunyai standar moral yang sesuai dengan
kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat.

2.5 Implikasi Perkembangan Peserta Didik terhadap Pendidikan


Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut
dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara
tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik
yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak, yakni memiliki
karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta
memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara
variatif melalui banyak aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai proses
perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
Aspek-aspek perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses pendidikan melalui
karakteristik perkembangan moral dan religi akan diuraikan seperti di bawah ini.

1. Implikasi Perkembangan Moral


Purwanto (2006:31) berpendapat, moral bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun,
bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu.
Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia,
mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk
pula ke dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak.
Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan aturan
mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Desmita,
2008:149).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan
langsung, seperti diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman
pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.
Selanjutnya masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti
tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan
yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia memandang bahwa
perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang buruk.
Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik.
Selain pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163) memaparkan bahwa usia antara lima sampai
dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras
tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan anak mulai
memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia lima
tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi,
berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi
sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan moral
dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan
dengan kehidupan yang ada di luar kelas. Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta
didik sangat penting karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang
berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.

2. Implikasi Perkembangan Spiritual


Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir.
Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh
karena itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya
berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan
spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda
dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak
terletak pada perkem-bangan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmani.
Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah
kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan)
untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang. Fitrah ini berkaitan
dengan aspek spiritual.
Berkaitan dengan perkembangan spiritual yang membawa banyak implikasi terhadap pendidikan,
diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu,
pendidikan agama nampaknya harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program
pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat
berkembang baik dalam diri peserta didik.

BAB III
ANALISIS
3.1 Analisis Teoretis
Usia transisi yang dialami remaja cenderung membawa dampak psikologis disamping membawa dampak
fisiologis, dimana perilaku mereka cenderung berfikir pendek dan ingin cepa dalam memecahkan
berbagai permasalahan kehidupan. Namun, tidak sedikit jalan yang ditempuh adalah jawan yang sesat
dan mengandung risiko. Karena proses berfikir seperti itu, remaja tidak mampu lagi membedakan hal
baik dan hal buruk untuk dijadikan acuan prilaku yang sesuai dengan perintah dan larangan agama yang
dianutnya. Selain itu remaja cenderung menutupi eksistensi kehidupannya dengan mengabaikan ajaran
agama yang dianutnya dan nilai normatif yang ditanamkan pada dirinya dalam menyelesaikan
persoalan.
Dengan kondisi prilaku remaja tersebut, seringkali mereka mengalami kegagalan dalam menjalani
pemulihan dan tidak mampu lagi membankitkan kesadaran spiritual. Sesungguhnya, kesadaran dan
kekuatan spiritual akan diperoleh jika remaja mendekatkan dirinya dengan ketaatan dan amaliyah
ibadah kepada Tuhannya ketika dihadapkan pada berbagai persoalan hidupnya.
Hubungan spiritual manusia dengan Rabbnya ketika beribadah akan memunculkan kekuatan spiritualnya
berupa limpahan Illahiah atau ketikan spiritual berupa al-hikmah. Tekadnya bertambah kuat,
kemauannya semakin keras, dan semangatnya kian meningkat sehinga ia pun lebih memiliki kesiapan
untuk menerima ilmu pengetahuan atau hikmah (Najati, 2005:456)
Hikmah merupakan karunia Allah berupa pemahaman ma’rifat Allah. Hikmah dapat menambah
kemuliaan atau mengangkat (derajat) manusia sebagai hamba-Nya. Pemiiknya akan mencerminkan ciri-
ciri para Nabi yang ada pada mereka. Hikmah yang milikinya akan menuntun dirinya kepada
kemaslahatan yang tepat dalam melaksanakan semua aktivitas dan perbuatan sehari-hari sehingga
mampu mencegah dan menjaga diri dari akhlak-akhlak yang tidak diridhoi-Nya. Karena itu hikmah tidak
dianugerahkan kedapa setiap orang, akan tetapi terlahir dari sejumlah faktor dan sebab yang
merupakan fadhilah dan nikmat dari Allah.
Faktor meraih hikmah ialah, meliputi :
a. Berdasarkan ilmu syariat;
b. Ikhlas;
c. Syukur dan sabar; dan
d. Berdoa dan tawakal
Sedangkan faktor penghalang ibadah meliputi :
a. Hawa nafsu;
b. Kebodohan;
c. Kesombongan; dan
d. Keras dan kasar (Nashir, 1995:19)

3.2 Analisis Praktis


Kajian yang dilaksanakan terhadap sebuah pembalajaran yang berguna untuk meneliti struktur atau
tingkat kesulitan dari pembelajaran yang disajikan dengan cara mendalam, sederhana, tidak rumit dan
mudah dilakukan atau dilaksanakan. Tidak hanya menganalisis masalah materi pembelajaran saja tapi
meliputi karakteristik dari peserta didik misalnya sikap sopan santun, meberi salam, dan saling tegur
sapa di dalam proses pembelajaran maupun diluar jam pelajaran. Saling menghormati antar peserta
didik dan dengan pengajar maupun antar peserta didik. Selain itu bekali nilai-nilai religi memperdalam
agama dan kepercayaan masing-masing agar terbentuk akhlak dan periaku yang baik pada peserta didik.
Tujuan dari analisis praktis dalam perkembangan peserta didik untuk menelaah dan mengetahui
karakteristik dan masalah yang dihadapi perserta didik yang perlu diangkat dalam pengembangan
pangkat pembelajaran.
Nasihat yang diberikanpun bukan sekedar proses memberikan pertolongan dan dukungan sosial saja,
tetapi juga harus merujuk dengan Maha Penciptanya, yakni Allah swt. Nasihat yang diberikan diarahkan
untuk mengembalikan keimanan dan ketakwaan serta religius, yang akan membawa pada eksistensi
dirinya dan dapat menemukan citra dirinya, sesuai dengan kebenaran yang hakiki dan kemenangan yang
abadi untuk meraih kebahagiaan kehidupan yang hakiki.

BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Perkembangan religius remaja tergantung bagaimana dan apa yang diperolehnya sejak masa anak-anak.
Umumnya, apabila pendidikan agama yang diberikan kuat maka perkembangan religius remaja akan
menjadi positif dan boleh jadi semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, apabila terdapat banyak kerancuan
pemahaman terhadap keagamaan, maka perkembangan religius remaja tersebut akan terganggu. Pada
masa remaja, keagamaan sama pentingnya dengan moral.

4.2. Rekomendasi
Karakteristik perkembangan moral dan religi pada peserta didik sangat penting diterap dalam lingkup
pendidikan mengingat perkembangan zaman dan moderenisasi yang membuat moral generasi muda
semakin terperosok. Oleh karena itu kami memberikan rekomendasi untuk beberapa pihak terkait
masalah ini.
4.2.1 Untuk Dosen atau Guru
Guru berperan tidak hanya memberikan pendidikan dalam bidang akademis saja namun juga mendidik
dalam membentuk kepribadian anak. Maka dari itu diperlukan metode mengajar yang tidak monoton.
Perlu adanya dorongan motivasi pada anak juga paparan mengenai tindakan-tindakan yang baik dalam
bentuk cerita. Menghukum anak terlalu berat pun berpotensi anak semakin tidak suka pada mata
pelajaran yang diajarkan bahkan pada sosok guru tersebut.
4.2.2 Untuk Orang tua
Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam perkembangan moral dan spiritual anak. Untuk itu perlu
diciptakan kehidupan keluarga yang harmonis mengingat anak akan selalu merekam apa yang terjadi
dalam keluarganya. Disini peran orang tua sangat dibutuhkan karena tingkah laku orang tua merupakan
cerminan dari prilaku anaknya kelak. Untuk membangun moral anak, maka orang tua harus selalu
memberikan perhatian dan dukungan untuk anaknya namun juga harus bias bersikap tegas dalam
menangani permasalahan anak.

DAFTAR PUSTAKA
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
ISSN 1411-5026.(2010).Jurnal Bimbingan dan Konseling. Pengurus Besar Asosisi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN):Bandung
Syamsuddin, Abin.2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf, Syamsu.2011.Perkembangan Peserta Didik.Jakarta: Rajawali Pers
http://newijayanto.blogspot.com/2011/12/karakteristik-perkembangan-moralitas.html

Anda mungkin juga menyukai