Anda di halaman 1dari 48

METODE PENDIDIKAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Tafsir Hadits Tarbawi

Disusun Oleh : Kelompok 5


Annisa : 20312276
Hilyah Azkiya : 20312287
Siti Nurhabibah : 20312308

Dosen Pengampu: Dr. Sri Tuti Rahmawati, S.Ud. MA.

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

TA 2020/2021
‫الر ْح َم ِن ال َر ِح ْيم‬
َ ِ‫س ِم هللا‬
ْ ِ‫ب‬

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt. penulis panjatkan atas limpahan Rahmat, Hidayah
serta Inayah-Nya, penulis bisa menyelesaikan karya Ilmiah berupa makalah yang singkat dan
sederhana. Sholawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi
akhir zaman, penolong umat, yaitu Baginda Muhammad Saw. yang telah menunjukkan kita
kepada jalan hidup lurus yang diridhoi oleh Allah Swt. dengan ajarannya agama Islam.

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari Ibu Dosen Mata Kuliah
Dasar-Dasar Pendidikan Islam dengan judul Metode Pendidikan Fakultas Tarbiyah Program
Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu
Dr. Sri Tuti Rahmawati S,ud. MA. Penulis harapkan keberkahannya untuk semua pihak yang
tela membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua pihak
terutama Ibu Dr. Sri Tuti Rahmawati S.ud. MA. dan teman-teman Mahasiswi lainnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun sendiri
umumnya para pembaca makalah ini, apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih.

Jakarta, 11 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

A. Al-Maidah Ayat 67........................................................................................................3

1. Pengertian Metode Pendidikan....................................................................................3

2. Ayat, Terjemah, dan Penjelasan QS. Al-Maidah Ayat 67...........................................4

3. Kosakata QS. Al-Maidah ayat 67................................................................................7

4. Asbabun Nuzul QS. Al-Maidah ayat 67......................................................................8

5. Tafsir QS. Al-Maidah ayat 67...................................................................................10

6. Kandungan Isi QS. Al-Maidah Ayat 67....................................................................13

7. Hadits yang berhubungan dengan QS. Al-Maidah Ayat 67......................................14

8. Sanad Hadits..............................................................................................................14

9. Takhrij Hadits............................................................................................................15

B. An-Nahl Ayat 125........................................................................................................16

1. Ayat dan Terjemah QS. An-Nahl ayat 125...............................................................16

2. Tafsir An-Nahl ayat 125............................................................................................17

3. Analisis Tafsir Q.S An-Nahl Ayat 125......................................................................26

4. Tafsir Surat an-Nahl ayat 125 menurut para Mufassir..............................................29

5. Asbabun Nuzul Al-Maidah ayat 67...........................................................................34

C. Ibrahim ayat 24-25......................................................................................................35

ii
1. Ayat dan Terjemah....................................................................................................35

2. Penafsiran para Mufassir terhadap Surah Ibrahim Ayat 24-25.................................35

3. Asbabun Nuzul Ibrahim ayat 24-25..........................................................................36

D. Hadits tentang Metode Pendidikan...........................................................................37

1. Metode Ceramah.......................................................................................................37

2. Metode Diskusi..........................................................................................................38

BAB III PENUTUP................................................................................................................41

A. Kesimpulan...................................................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................43

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang di dalamnya terkandung berbagai
petunjuk untuk kehidupan manusia. Petunjuk yang terkandung dalam al-Qur’an
sangat kompleks, meliputi segala bidang dan lini kehidupan manusia, termasuk di
dalamnya tentang pendidikan. Banyak petunjuk dalam al-Qur’an tentang komponen-
komponen pendidikan, yang salah satunya tentang metode pendidikan.
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran.
Apabila proses pendidikan tidak menggunakan metode yang tepat maka akan sulit
untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun faktanya, masih
banyak guru yang kesulitan untuk menggunakan metode yang tepat dalam
pembelajaran. Sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Tafsir tentang kurang
tepatnya penggunaan metode ini patut menjadi renungan bersama. Beliau mengatakan
pertama, banyak siswa tidak serius, main-main ketika mengikuti suatu materi
pelajaran, kedua gejala tersebut diikuti oleh masalah kedua yaitu tingkat penguasaan
materi yang rendah, dan ketiga para siswa pada akhirnya akan mengangap remeh
mata pelajaran tertentu.1
Hal diatas menunjukan bahwa metode merupakan salah satu faktor dominan
dalam kegiatan belajar mengajar. Dari permasalahan tersebut, penulis ingin lebih jauh
meneliti tentang penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berdimensi
pendidikan, khususnya QS. Al-Maidah ayat 67, QS. An-Nahl ayat 125, dan QS.
Ibrahim ayat 24-25 serta hadits yang membahas tentang metode pendidikan serta
relevansinya dengan pendidikan saat ini, dengan harapan semoga metode yang
terdapat di dalam Al-Qur’an mampu memberikan solusi atas permasalahan metode
Pendidikan saat ini dan menjadi referensi bagi pembaca.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana metode belajar dalam QS. Al-Maidah ayat 67?
2. Bagaimana metode belajar dalam QS. An-Nahl ayat 125?
3. Bagaimana metode belajar dalam QS. Ibrahim ayat 24-25?
4. Bagaimana metode belajar dalam Hadits Rasulullah Saw.?
1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 131.

1
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui metode belajar dalam QS. Al-Maidah ayat 67.
2. Mengetahui metode belajar dalam QS. An-Nahl ayat 125.
3. Mengetahui metode belajar dalam QS. Ibrahim ayat 24-25.
4. Mengetahui metode belajar dalam Hadits Rasulullah Saw.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Al-Maidah Ayat 67
1. Pengertian Metode Pendidikan
Al-Qur’an dalam mengarahkan pendidikan selalu berorientasi kepada
pembentukan dan pengembangan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, materi-
materi yang disajikan dalam Al-Qur’an selalu menyentuh jiwa, akal dan raga
manusia. Demikian luas dan dalamnya makna yang tersirat pada ayat-ayat
pendidikan dalam Al-Qur’an, memberi kesan bahwa setiap ayat pendidikan itu
memiliki metode tersendiri. Dengan begitu, upaya untuk mencermati metode
pendidikan dalam Al-Qur’an menjadi suatu keharusan agar ditemukan rumusan-
rumusan metode pendidikan dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan atau
dasar metode pendidikan dalam Islam dan pada akhirnya diharapkan dapat
memberi kontribusi terhadap perkembangan metode pendidikan yang terus
mengalami perkembangan seiring dengan kebutuhan umat manusia.
Dalam bahasa arab istilah metode disebut dengan thariq atau manhaj,
sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “metode” mengandung pengertian cara
yang teratur dan terpikir sebaik-baiknya untuk mencapai suatu maksud, suatu
perangkat dalam mengajar yang mempunyai tujuan dan didasarkan atas teori.2 
Ada beberapa istilah yang terkait dengan metode seperti
pendekatan (approach), strategi, metode, teknik dan taktik. Dalam bahasa Arab
dikenal pula dengan istilah nahiyah (pendekatan), manhaj (strategi), uslub
(metode), thariqah (teknik), dan syahilah (teknik)
Dalam pendidikan Islam, Metode Pendidikan Islam adalah seperangkat
cara, jalan, dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan atau menguasai
kompetensi menuju terwujudnya kepribadian muslim.3
Dalam Al-Quran, metode dikenal sebagai sarana yang menyampaikan
seseorang kepada tujuan penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi dengan

2
Baharuddin, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia Pendidikan),
(Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011), hlm 196.
3
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016), hlm. 223.

3
melaksanakan pendekatan dimana manusia ditempatkan sebagai makhluk yang
memiliki potensi baik rohaniah maupun jasmaniah.

2. Ayat, Terjemah, dan Penjelasan QS. Al-Maidah Ayat 67

َ ِّ‫يَا َأيُّهَا ال َّرسُو ُل بَلِّ ْغ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْيكَ ِم ْن َرب‬


ِ ‫ك ۖ َوِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلْ فَ َما بَلَّ ْغتَ ِر َسالَتَهُ ۚ َوهَّللا ُ يَ ْع‬
َ‫ص ُمكَ ِمن‬
َ‫اس ۗ ِإ َّن هَّللا َ اَل يَ ْه ِدي ْالقَوْ َم ْال َكافِ ِرين‬
ِ َّ‫الن‬
Artinya:” Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti
engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari
(gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 67)4
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 67 berisi tentang perintah Allah
kepada Muhammad untuk tabligh atau menyampaikan semua risalah kepada
ummatnya. Implementasi metode tabligh dalam konteks pendidikan
diantaranya adalah bahwa guru harus menyampaikan ilmunya kepada siswa
sesuai dengan kadar kemampuannya, tidak boleh ada materi-materi yang
seharusnya disampaikan tetapi tidak disampaikan. Guru seyogyanya selalu
meningkatkan pengetahuan dan kompetensinya dari hari kehari yang pada
ujungnya keilmuan tersebut diajarkan atau disampaikan kepada siswanya.
Al-Maidah ayat 67 memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw
supaya menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa
menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab, orang musyrik dan
orang-orang fasik.
Ayat ini menganjurkan kepada Nabi Muhammad agar tidak perlu takut
menghadapi gangguan dari orang-orang kafir dalam membentangkan rahasia
dan keburukan tingkah laku mereka itu karena Allah menjamin akan
memelihara Nabi Muhammad dari gangguan, baik masa sebelum hijrah oleh
kafir Quraisy maupun sesudah hijrah oleh orang Yahudi.
Apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad
adalah amanat yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia.
Menyampaikan sebagian saja dari amanat-Nya dianggap sama dengan tidak

4
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta : Al Hadi Media Kreasi, 2015), h. 281

4
menyampaikan sama sekali. Demikianlah kerasnya peringatan Allah kepada
Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut menunjukkan bahwa tugas
menyampaikan amanat adalah kewajiban Rasul.
Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda meskipun penundaan
itu dilakukan untuk menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya,
karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan
penyembunyian terhadap amanat Allah Swt.
Ancaman terhadap penyembunyian sebagian amanat Allah sama
kerasnya dengan ancaman terhadap sikap sesesorang yang beriman kepada
sebagian rasul saja dan beriman kepada sebagian ayat Al-Qur’an saja.
Al-Maidah ayat 67, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad
saw, agar menyampaikan wahyu yang telah diterima dengan tidak usah
menghiraukan sikap orang-orang Yahudi yang memusuhinya, bahkan Nabi
Muhammad Saw, diperintahkan untuk menyeru mereka agar kembali tuntunan
Taurat dan Injil, agar mereka kembali beragama tauhid dan menempuh jalan
yang benar, sesuai tuntunan Nabi-nabi.5
Meskipun seorang rasul bersifat maksum yakni terpelihara dari sifat
tidak menyampaikan, Namun, ayat ini menegaskan bahwa tugas
menyampaikan amanat adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar atau
ditunda-tunda meskipun menyangkut pribadi Rasul sendiri seperti halnya yang
kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Nabi Muhammad Saw
sebagaimana yang diuraikan dalam Al -Ahzab [33] : 37

‫ق هّٰللا َ َوتُ ْخفِ ْي فِ ْي نَ ْف ِسكَ َما‬ ِ َّ‫ك زَ وْ َجكَ َوات‬ َ ‫ي اَ ْن َع َم هّٰللا ُ َعلَ ْي ِه َواَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه اَ ْم ِس ْك َعلَ ْي‬
ْٓ ‫َواِ ْذ تَقُوْ ُل لِلَّ ِذ‬
‫ضى َز ْي ٌد ِّم ْنهَا َوطَر ًۗا َز َّوجْ ٰن َكهَا لِ َك ْي اَل‬ ٰ َ‫ق اَ ْن ت َْخ ٰشىهُ ۗ فَلَ َّما ق‬ ُّ ‫اس َوهّٰللا ُ اَ َح‬
َ ۚ َّ‫ُ ُم ْب ِد ْي ِه َوت َْخ َشى الن‬
‫هّٰللا‬

‫ضوْ ا ِم ْنه َُّن َوطَر ًۗا َو َكانَ اَ ْم ُر هّٰللا ِ َم ْفعُوْ اًل‬َ َ‫اج اَ ْد ِعيَ ۤا ِٕى ِه ْم اِ َذا ق‬
ِ ‫يَ ُكوْ نَ َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْينَ َح َر ٌج فِ ْٓي اَ ْز َو‬
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada
orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi
nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan
dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih
berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: PT. Departemen Agama RI, 2004) h. 426

5
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar
tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS.
Al-Ahzab [33]: 37)
Dalam hubungan ini Aisyah dan Anas berkata, “Kalaulah kiranya
Nabi Muhammad akan menyembunyikan sesuatu dalam Al-Qur’an, tentu ayat
inilah yang disembunyikannya.” Dari keterangan ‘Aisyah dan Anas ini jelaslah
peristiwa yang kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Zaid ialah
perceraian yang berkelanjutan dengan berlakunya kehendak Allah yaitu
menikahkan Zainab dengan Nabi Muhammad.
Hal tersebut tidak dikemukakan oleh Nabi Muhammad kepada Zaid
ketika ia mengadukan peristiwanya kepada Nabi Muhammad padahal beliau
sudah mengetahuinya dengan perantaraan wahyu. Nabi Muhammad Saw,
menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya sesuai dengan kesopanan
disamping menghindarkan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh golongan
orang-orang munafik.
Meskipun demikian Nabi Muhammad Saw masih juga menerima kritik
Allah seperti diketahui pada ayat dalam surah al-Ahzāb tersebut.
Tegasnya, Al-Maidah ayat 67 didukung oleh Al-Baqarah ayat 159
yang memberikan pengeritan kepada orang-orang yang menyembunyikan
amanat Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:6
ٰۤ ُ ٰ ْ ٰ ۢ
‫ك يَ ْل َعنُهُ ُم‬
َ ‫ول ِٕى‬ ِ َّ‫ت َو ْاله ُٰدى ِم ْن بَ ْع ِد َما بَيَّنّهُ لِلن‬
ِ ۙ ‫اس فِى ال ِكت‬
‫با‬ ِ ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَ ْكتُ ُموْ نَ َمٓا اَ ْنز َْلنَا ِمنَ ْالبَيِّ ٰن‬
ٰ ‫هّٰللا ُ وي ْلعنُهُم‬
َ‫اللّ ِعنُوْ ۙن‬ ُ َ ََ

Artinya: “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang


telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah
Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Alquran), mereka itulah yang
dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 159).
Sejalan dengan peringatan dan ancaman Al-Qur’an ini, Nabi
Muhammad Saw bersabda mengingatkan orang-orang yang menyembunyikan
ilmu pengetahuan:
6
Tafsir Kemenag, dalam https://tafsiralquran.id/tafsir-surat-al-maidah-ayat-67-68/, diakses 12 Oktober 2021

6
ٍ ‫َم ْن ُسِئ َل ع َْن ِع ْل ٍم فَ َكتَ َمهُ اُ ْل ِج َم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة بِلِ َج ٍام ِم ْن ن‬
‫َار‬

Artinya: “Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu pengetahuan lalu


disembunyikannya maka ia akan dikekang pada hari Kiamat dengan
kekangan dari api neraka.” (Riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi dari Abµ
Hurairah)
Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu pengetahuan lalu
disembunyikannya maka ia akan dikekang pada hari Kiamat dengan kekangan
dari api neraka. (Riwayat Abu Daud, At-Tirmidzi dari Abµ Hurairah)

3. Kosakata QS. Al-Maidah ayat 67

a. ‫بَلِّ ْغ‬: Sampaikanlah


Kata‫ بَلِّ ْغ‬dalam kamus Al-Munawwir berasal dari kata ‫ بُلُوْ ًغا‬- ‫ بَلَ َغ‬berarti
yang matang atau masak. Selain itu bisa juga bermakna ‫غ‬ ُ ¦ ُ‫بَلَّ َغ َو ْبل‬
‫ ْال َخبَر‬yang memiliki arti menyampaikan. Atau bisa juga bermakna

ٌ َ‫بَال‬yang berarti ultimatum.7


‫غ‬
b. Kata ‫ك‬ ِ ‫يَ ْع‬: Memelihara
َ ‫ص ُم‬
Kata ِ ‫يَ ْع‬
َ‫ص ُمك‬ berasal dari kata ‫ َعصْ ًما‬- ‫ص َم‬
َ ‫َع‬ yang berarti mencegah

atau melarang. Kata ini juga bisa bermakna ْ ‫ ال َع‬yang


‫ص¦¦ ُم‬ berarti
pencegahan, penjagaan, atau perlindungan.8

c. َ‫ ْال ٰكفِ ِر ْين‬: Orang-orang Kafir


Kata ‫ْن‬ َ ‫¦ري‬ِ ¦ِ‫ ْال ٰكف‬berasal dari kata ‫ َو ُك ْف َرانًا‬- ‫¦ر – ُك ْف¦رًا – َو َكفُ¦ ْ¦ورًا‬
َ ¦َ‫ َكف‬yang
berarti menutupi atau menyelubungi. Kata ‫ر‬ َ َّ‫ َكف‬bisa juga bermakna ُ‫َس ْت َره‬
yang juga memiliki arti menutupi.9

4. Asbabun Nuzul QS. Al-Maidah ayat 67

7
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 106.
8
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 938.
9
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1217.

7
Terdapat beberapa riwayat tentang asbabul nuzul turunnya surat Al-
Maidah ayat 67 ini, diantaranya dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa
Rasulullah Saw., pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan risalah kerasulan. Hal
tersebut menyesakkan dadaku karena aku tahu bahwa orang-orang akan
mendustakan risalahku. Allah memerintahkan kepadaku untuk menyampaikannya,
dan kalau tidak, Allah akan menyiksaku.”
Maka turunlah ayat tersebut yang mempertegas perintah penyampaian
risalah disertai jaminan akan keselamatannya.10
Hal tersebut sejalan dengan penafsiran Imam Syafi’i, beliau mengatakan
dalam riwayat disebutkan, Jibril datang menemui Rasulullah Muhammad Saw.,
atas perintah Allah Swt agar beliau menyampaikan wahyu yang telah diterimanya
kepada umat manusia, menyeru mereka agar beriman kepada-Nya. Tugas ini
begitu berat bagi Nabi Muhammad. Beliau khawatir umatnya mendustakan dan
mencacinya, lalu turunlah ayat tersebut. Jibril menjelaskan Allah akan
melindungimu dari upaya pembunuhan, ketika menyampaikan apa yang
diperintahkan kepadamu.11
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Rasulullah Saw., biasanya
mendapat pengawalan, dan tiap-tiap hari Abu Thalib pun mengirimkan pengawal-
pengawalnya dari Bani Hasyim untuk menjaganya. Ketika turun ayat ini
Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Thalib yang akan mengirimkan
pengawalnya: “Wahai pamanku, sesungguhnya Allah telah menjamin
keselamatan jiwaku dari perbuatan jin dan manusia”.12
Dalam tafsir Ibnu Katsir menyebutkan asbabun nuzul ayat ini adalah pada
saat itu Allah berfirman sambil mengkhitabi hamba dan Rasul-Nya Muhammad
saw. dengan ungkapan “Rasul” dan menyuruhnya supaya menyampaikan seluruh
perkara yang dibawanya dari Allah. Kemudian Nabi Muhammad saw.
melaksanakan perintah itu dan menjalankan risalah dengan sempurna.13

10
Amarudin Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung:
Diponegoro, 1982), hlm. 189.
11
Ahmad Mustafa Al Farran, Tafsir al-Imam Asy Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2007), hlm. 383.
12
Qamarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung:
CV. Diponegoro, 1992), hlm. 189-191.
13
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), h. 71.

8
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Ibnu Abu Hatim mengatakan
bahwa ketika ayat berikut diturunkan:14

َ‫ٰيٓاَيُّهَا ال َّرسُوْ ُل بَلِّ ْغ َمٓا اُ ْن ِز َل اِلَ ْيكَ ِم ْن َّربِّك‬


Artinya: “Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu. (Q.S. Al-Maidah : 67).

Kemudian Rasulullah bersabda:

Artinya: “Ya Tuhanku apa yang harus aku perbuat, sedangkan aku
sendirian, tentu mereka akan mengeroyokku”.

Kemudian setelah itu turunlah firman Allah SWT

ٗ‫َواِ ْن لَّ ْم تَ ْف َعلْ فَ َما بَلَّ ْغتَ ِر ٰسلَتَه‬


Artinya: “...dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya...” (Q.S. al-Maidah: 67)

Ibnu meriwayatkan dengan sanad yang sama mengatakan bahwa


setelah itu Allah berfirman:

‫هّٰللا‬
ِ َّ‫ص ُمكَ ِمنَ الن‬
‫اس‬ ِ ‫َو ُ يَ ْع‬

Artinya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia..” (Q.S.


al-Maidah: 67).
Berkaitan dengan sebab turunnya surat al-Maidah ayat 67 ini, Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengutip pendapat Fakhrudin ar-Razi
mengatakan bahwa banyak riwayat yang menjelaskan mengenai sebab
turunnya surat al-Maidah ayat 67 ini. Namun yang perlu dipahami bahwa
dalam ayat ini Allah Swt., telah menjamin keselamatan Rasulullah Saw., dari
tipu daya dan konspirasi jahat kaum Yahudi dan Nasrani, serta memerintahkan
beliau supaya berdakwah secara terang-terangan tanpa memperdulikan kaum
mereka.15

14
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008), h. 72.
15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 152

9
5. Tafsir QS. Al-Maidah ayat 67
Dalam Tafsir Al-Munir yang ditulis oleh Wahbah az-Zuhaili mengatakan
bahwa ayat ini berisi mengenai jawaban atas penilaian orang-orang yang
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. menyembunyikan sesuatu dari perkara
agama dengan tujuan taqiyyah (melindungi diri). Selain itu, ayat ini juga menjadi
dalil yang menunjukkan kekeliruan pandangan seperti yang dikemukakan oleh
golongan ar-Rafidhah.16
Quraish Shihab dalam tafsirnya berpendapat bahwa ayat ini merupakan
janji dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw., bahwa ia akan dipelihara Allah
dari gangguan dan tipu daya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Thahir bin Asyur
juga mengatakan bahwa ayat ini berupa peringatan kepada Rasulullah agar
menyampaikan ajaran agama tanpa menghiraukan kritik dan ancaman yang ada.17
Dalam tafsir Al-Azhar dijelaskan bahwa surat al Maidah ayat 67 ini
sebagai salah satu ayat bahwa Allah tidak pernah manyeru Nabi langsung dengan

nama, melainkan dengan sebutan tugas dan jabatannya saja, yaitu “‫ٰيٓاَيُّهَ¦¦ا‬
‫”ال َّرسُوْ ُل‬. Secara tegas ayat ini berisi perintah dari Allah bahwasanya segala
wahyu yang telah diturunkan Allah hendaklah beliau sampaikan kepada umat.18

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa arti dari kata ‫بَلِّ ْغ‬
adalah menyampaikan amanah kepada masyarakat secara terang-terangan. Hal ini
dikarenakan pada awal-awal penyebaran agama Islam, Nabi Muhammad Saw.,
khawatir kepada orang-orang musyrik di Mekkah. Kemudian Allah Swt
memerintahkan untuk menampakkan risalahnya dengan menurunkan surat Al-
Maidah ayat 67 ini. Allah memberitahu kepada Nabi Muhammad Saw., bahwa
Allah akan menjaga keselamatannya.19

Dalam bahasa Arab, kata ‫بَلِّ ْغ‬  berarti sampai, mengenai sasaran, atau

mencapai tujuan. Sehingga bila kata ini dikaitkan dengan maka kata ‫قول‬

16
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 3 (Juz 5-6), terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta : Gema Insani,
2016), h. 598-599
17
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002),
h. 138-139
18
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 6, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), h. 142.
19
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), dalam Maktabah Shameela.

10
(ucapan), maka kata ‫ بَلِّ ْغ‬memiliki arti fasih, jelas maknanya, terang, serta tepat
dalam mengungkapkan apa yang dikehendaki.20

Kata ‫بَلِّ ْغ‬ memiliki bentuk masdhar yaitu kata ‫تبلغ‬ yang juga berarti

menyampaikan. Perbedaannya adalah kata ‫بَلِّ ْغ‬ berarti menyampaikan secara

jelas dan gamblang, sedangkan kata ‫تبلغ‬ bermakna menyampaikan secara


sembunyi-sembunyi.21

Ayat ُ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلر‬


‫َّس¦و ُل بَلِّ ْغ‬ mengandung pengertian mengenai bantahan
atas penilaian orang-orang yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw.
menyembunyikan sesuatu dari perkara agama dengan tujuan taqiyyah
(melindungi diri). Dengan adanya keterangan ini, maka membuktikan bahwa
Nabi Muhammad Saw., tidak pernah merahasiakan sesuatu dari perkara agama
sedikitpun kepada seseorang.22
‫هّٰللا‬
Dalam tafsir Ibnu Katsir ِ َّ‫ص¦¦ ُمكَ ِمنَ الن‬
‫اس‬ ِ ‫‌ َو ُ يَ ۡع‬juga ditafsirkan
sebagai informasi bahwa Nabi Muhammad Saw., adalah seorang yang dijamin
sebagai orang yang maksum. Keterangan lain menyebutkan bahwa ayat ini

turun setelah terjadinya perang Uhud. Hal ini ditandai dengan adanya ayat ‫اِ َّن‬
َ‫ـكفِ ِر ۡين‬ ۡ َ‫ هّٰللا َ اَل يَ ۡه¦¦¦ ِدى ۡالق‬yang
ٰ ‫¦¦¦و َم ۡال‬ ditafsirkan bahwa Allah tidak akan
membiarkan orang-orang kafir merealisasikan rencana dan keinginan jahat
mereka untuk membinasakan Rasulullah saw.
Al-Maidah ayat 67 ini mengancam orang-orang yang
menyembunyikan amanat Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

ٰۤ ُ ٰ ْ ٰ ۢ
‫ك يَ ْل َعنُهُ ُم‬
َ ‫ول ِٕى‬ ِ َّ‫ت َو ْاله ُٰدى ِم ْن بَ ْع ِد َما بَيَّنّهُ لِلن‬
ِ ۙ ‫اس فِى ال ِكت‬
‫با‬ ِ ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ يَ ْكتُ ُموْ نَ َمٓا اَ ْنز َْلنَا ِمنَ ْالبَيِّ ٰن‬
ٰ ‫هّٰللا ُ وي ْلعنُهُم‬
َ‫اللّ ِعنُوْ ۙن‬ ُ َ ََ

Artinya: “Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang


telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah
Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itulah yang

20
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), dalam Maktabah Shameela.
21
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), dalam Maktabah Shameela.
22
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz XIV, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk. (Semarang, CV. Toha
Putra Semarang, 1987). hlm. 84

11
dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 159)
Sejalan dengan peringatan dan ancaman ancaman Al-Qur’an ini, Nabi
Muhammad Saw., bersabda mengingatkan orang-orang yang
menyembunyikan ilmu pengetahuan: “Barang siapa ditanya tentang sesuatu
ilmu pengetahuan lalu disembunyikannya, maka ia akan dikekang pada hari
kiamat dengan kekangan dari api neraka.” (H.R. Abu Daud, at-Tirmidzi dari
Abu Hurairah).
Pada akhir ayat ini ditegaskan, bahwa Allah Swt., tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang kafir yang mengganggu Nabi Muhammad Saw.
dan pekerjaan mereka itu pastilah sia-sia karena Allah tetap melindungi Nabi-
Nya dan tetap akan meninggikan kalimat-Nya.23
Tafsir Al-Muyassar atau Kementerian Agama Saudi Arabia, Wahai
rasul, sampaikanlah wahyu Allah yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu.
jika kamu kurang dalam menyampaikan dengan menyembunyikan sesuatu
darinya, maka kamu berarti belum menyampaikan risalah Tuhanmu. Dan
beliau telah menyampaikan risalah Tuhannya dengan sempurna. Maka barang
siapa memiliki dugaan bahwa sesungguhnya beliau menyembunyikan sesuatu
dari wahyu yang diturunkan kepadanya, sungguh orang tersebut telah
mengadakan kedustaan besar atas nama Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah
adalah pelindung dan penolongmu atas musuh-musuhmu. Tidak ada
kewajiban atas dirimu selain menyampaikan saja. Sesungguhnya Allah tidak
memberikan taufik menuju hidayah bagi orang yang berbelok dari jalan
kebenaran dan mengingkari risalah yang kamu bawa dari sisi Allah.
Tafsir Jalalain, (Hai rasul, sampaikanlah) semua (yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu) dan janganlah kamu sembunyikan sesuatu pun
daripadanya karena takut akan mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan
(dan jika tidak kamu lakukan) tidak kamu sampaikan semua yang diturunkan
padamu itu (berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya) risalah dengan
tunggal atau jamak karena menyembunyikan sebagian berarti
menyembunyikan semuanya. (Dan Allah memelihara kamu dari manusia) agar
tidak sampai membunuhmu. Pada mulanya Rasulullah saw. itu dikawal
sampai turun ayat ini, lalu sabdanya, "Pergilah karena sesungguhnya Allah
23
Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2 Juz 4,5,6 (Jakarta: Depag RI, 2009), Cet. III, h. 437-439.

12
memeliharaku!" Riwayat Hakim. (Sesungguhnya Allah tidak memberikan
bimbingan kepada kaum yang kafir).
Tafsir Quraish Shihab, Wahai utusan Allah, berikanlah kabar kepada
manusia akan apa-apa yang telah diwahyukan Tuhan kepadamu. Ajaklah
mereka untuk mengikutinya. Jangan takut disakiti oleh seseorang. Bila kamu
takut, maka berarti kamu tidak menyampaikan risalah Allah. Sebab, kamu
telah diperintahkan untuk menyampaikannya kepada semua. Allah akan
memelihara kamu dari gangguan orang-orang kafir. Sebab, sudah merupakan
ketentuan Allah yang berlaku bahwa kebatilan tidak akan mengalahkan
kebenaran. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang kafir
kepada jalan yang lurus.

6. Kandungan Isi QS. Al-Maidah Ayat 67


Surat Al-Maidah turun setelah Nabi Muhammad Saw., hijrah ke Madinah.
Nama yang populer adalah surat Al-Maidah yang secara harfiah bermakna
“hidangan” dan terdiri atas 120 ayat. Dinamakan demikian karena dalam
rangkaian ayat-ayatnya terdapat uraian tentang hidangan yang dimohonkan
oleh Nabi Isa agar ditunaikan atas permintaan umatnya (ayat 112-115). Surat
ini juga dikenal dengan nama Al-Uqud (akad-akad perjanjian) dikarenakan dalam
permulaan surat memerintahkan kaum beriman untuk memenuhi ketentuan aneka
akad perjanjian. Ada juga yang menamai surat Al-Akhyar, yakni “orang-orang
baik” karena yang memenuhi tuntutannya menyangkut aneka ikatan perjanjian itu
pastilah orang baik. Adapun isi kandungan surat Al-Maidah ayat 67 sebagai
berikut: 24

a. Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk menyampaikan


wahyu yang sudah diterima dengan baik tanpa ada yang dirahasiakan atau
disembunyikan.
b. Allah SWT dengan tegas memberikan cara untuk berdakwah yakni dengan
metode penyampaian.
c. Allah SWT memberi jaminan keselamatan bagi Rasul dalam cobaan
berdakwah dari orang-orang kafir, munafik dan orang fasik.

24
M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002),
h. 152

13
d. Allah SWT. memberi ancaman terhadap orang yang tidak menyampaikan
amanat yang telah diberikan kepada Rasul.
e. Di akhir ayat, Allah SWT. menegaskan bahwasannya hidayah akan
diberikan kepada hamba yang tidak ingkar dan mengganggu Rasul-Nya.

7. Hadits yang berhubungan dengan QS. Al-Maidah Ayat 67

‫ض َي‬ِ ‫ق ع َْن عَاِئ َشةَ َر‬ ٍ ‫يل ع َْن ال َّش ْعبِ ِّي ع َْن َم ْسرُو‬ َ ‫اع‬ ِ ‫ان ع َْن ِإ ْس َم‬ ُ َ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن يُوسُفَ َح َّدثَنَا ُس ْفي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكتَ َم َش ْيًئا ِم َّما َأ ْن َز َل هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فَقَ ْد َك َذ‬
‫ب‬ َ ‫ك َأ َّن ُم َح َّمدًا‬ َ َ‫ت َم ْن َح َّدث‬ْ َ‫هَّللا ُ َع ْنهَا قَال‬
َ‫ك ِم ْن َربِّكَ } اآْل يَة‬ َ ‫َوهَّللا ُ يَقُو ُل { يَا َأيُّهَا ال َّرسُو ُل بَلِّ ْغ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf, Telah


menceritakan kepada kami Sufyan dari Isma'il dari Asy-
Sya'bi dari Masruq dari 'Aisyah radliallahu 'anhu dia berkata; 'Siapapun yang
berkata bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam menyembunyikan sebagian
dari yang telah diwahyukan kepadanya, maka dia telah berdusta. Karena Allah telah
berfirman: Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Rabbmu..” (Al Maidah: 67) (HR. Bukhari: 4246)

8. Sanad Hadits

a. Muhammad bin Yusuf bin Waqid bin 'Utsman, Adl Dlabbiy Al Firyabi, Abu
'Abdullah , Tabi'in kalangan biasa, wafat tahun 212 H, hidup di Syam.
b. Sufyan bin Sa'id bin Masruq, Ats Tsauriy, Abu 'Abdullah, Tabi'ut Tabi'in
kalangan tua, wafat tahun 161 H, hidup di Kufah, wafat di Bashrah.
c. Isma'il bin Abi Khalid, Al Bajaliy Al Ahmasiy, Abu 'Abdullah, Tabi'in
kalangan biasa, wafat tahun 146 H, hidup di Kufah.
d. Amir bin Syarahil, Asy Sya'biy Al Humairiy, Abu 'Amru, Tabi'in kalangan
pertengahan, wafat tahun 104 H, hidup di Kufah, wafat di Kufah.
e. Masruq bin Al Ajda' bin Malik bin Umayyah, Al Hamdaniy Al Wadi'iy, Abu
'Aisyah , Tabi'in kalangan tua, wafat tahun 63 H, hidup di Kufah, wafat di
Hait.

14
f. Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq, At Taymiyyah, Ummu 'Abdullah,
Ummu Al Mu'minin, Shahabat, wafat tahun 58 H, hidup di Madinah, wafat
di Madinah.

9. Takhrij Hadits

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬

ُ ‫ض َي هَّللا‬
ِ ‫َعاِئ َشةَ َر‬

ٍ ‫َم ْسرُو‬
‫ق‬

‫ال َّش ْعبِ ِّي‬

‫ِإ ْس َما ِعي َل‬

15
ُ َ‫ُس ْفي‬
‫ان‬

َ‫ُم َح َّم ُد ب ُْن يُوسُف‬

‫ب َوهَّللا ُ يَقُو ُل { يَا َأيُّهَا ال َّرسُو ُل بَلِّ ْغ َما ُأ ْن ِز َل‬


َ ‫َكتَ َم َش ْيًئا ِم َّما َأ ْنزَ َل هَّللا ُ َعلَ ْي ِه فَقَ ْد َك َذ‬
َ‫ِإلَ ْيكَ ِم ْن َربِّكَ } اآْل يَة‬

‫رواه البخاري‬

B. An-Nahl Ayat 125

1. Ayat dan Terjemah QS. An-Nahl ayat 125

‫ع اِ ٰلى َسبِ ْي ِل َربِّكَ بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َس¦نَ ِة َو َج¦ ا ِد ْلهُ ْم بِ¦الَّتِ ْي ِه َي اَحْ َس¦ ۗ ُن اِ َّن‬
ُ ‫اُ ْد‬
َ‫ض َّل ع َْن َسبِ ْيلِ ٖه َوهُ َو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين‬
َ ‫َربَّكَ هُ َو اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk.” (QS. An-Nahl [16]:125)

16
2. Tafsir An-Nahl ayat 125
Ayat ini dipahami oleh sementara ulama sebagai menjelaskan tiga macam
metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Terhadap
cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan
dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan
tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, diperintahkan menerapkan
mau’izhah, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa
sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-
Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah
jidal/perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang
halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
Kata (ُ‫ )ُأ ْدع‬merupakan bentuk fi’il ‘amr dari akar kata (ٌ‫ َد ْع َوة‬- ْ‫ يَ ْد ُعو‬-‫‘ ) َدعَا‬ala
ُ ‫ )ُأ ْد‬mengandung arti perintah, yaitu
wajni , ً‫ یَ ْف ُع ُل – فَ ْعال‬-‫ ) فَ َع َل‬menjamu. Jadi kata ( ‫ع‬
serulah atau ajaklah. Dalam kitab hashiah ash-shawi disebutkan :25

ُ ‫ ومفعوله )اُ ْد‬،‫ ھ مستتر¦ وجوبا تقدره أنت‬،‫ فعل امر وفاعل‬: ‫قولھ‬
( ‫ الناس یا مح ّمد‬: ‫ع‬
‫ وعبر‬،‫ وفى¦ ھذا إشارة إلى أن بعثتھ عامة‬،‫ الناس‬:‫المفسر بقوله‬ ‫محذوف قدره‬
‫ دينه‬: ‫ با عتبار ماظھرالناس فقط إلى سبيل ربك‬،‫بالناس وإن كان داعیا للجن أیضا‬
‫ والسعادة السر مديه‬، ‫ألنه لموصل لدار السعادة األبديه‬، ‫ (دينه) سمي الدين سبيال‬:‫قوله‬.
Lafal (ُ‫ ) ُأ ْدع‬merupakan bentuk fi’il ‘amr (kata perintah) kepada Nabi
Muhammad SAW. untuk menyeru manusia kepada jalan Allah SWT. (agama
Allah SWT.). Dalam ayat itu tidak menyebut maf’ul bih-nya (obyek).
Sebagian mufasir (para ahli tafsir) mengatakan bahwa obyek seruan Nabi
adalah semua manusia. Ini berarti bahwa Nabi diutus untuk umat manusia
seluruhnya.
ُ ‫)أ ْد‬disebutkan sebagai berikut :
Dalam tafsir Al-Maraghi makna ( ‫ع‬
‫أى ادع أیھاالرسول من أرسلك إلیھم ربك بالدعاء إلى شریعتھ التى شرعھا لخلقه بوحى اهللا‬
‫الذى‬26

Yaitu serulah atau ajaklah wahai Rasul (Nabi Muhammad SAW.) apa
yang Tuhanmu utus kepada mereka dengan seruan atauu ajakan untuk

25
Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawy, Hasyiyah Ash-Shawy, (Libanon: Dar al-Fikr, 2007), juz. II, h. 411-412
26
Ahmad Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi, (Kairo: Musthofa Al-Bab Al-Halab, 1946), h.161

17
menjalakan syariat-Nya yang telah ditetapkan kepada makhluk-Nya melalui
perantara wahyu Allah yang diwahyukan kepadamu. Jadi menurut tafsir Al-
Maraghi kata ( ُ‫ ( ْع¦¦¦ ُدا‬ini menunjukkan arti ajakan atau seruan untuk
menjalankan syari’at Allah melalui Nabi Muhammad. Sedangkan dalam
menafsirkan kata ‫ بِاْ ِح ْكم ¦ ِة‬menurut M. Quraish Shihab, hikmah antara lain
berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun
perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan
atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila diartikan
sebagai sesuatu yang bila digunakan/ diperhatikan akan mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar.27

‫ يعنى باالنبوة والقرأن‬:‫باْ لحكم ٍة‬28

Yaitu dengan kenabian dan Al-Qur’an. Sebagai mana yang penulis kutip
dalam tafsir mahkota tafsir, kata hikmah diartikan dengan Al-Qur’an dan ilmu-
ilmu tinggi dan rahasia-rahasia hakikat yang telah kami berikan kepadamu.

Adapun dalam tafsir Al-Azhar karangan HAMKA kata hikmah kadang-


kadang diartikan orang dengan filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus
dari filsafat. Filsafat hanya dapat difahamkan oleh orang-orang yang telah
terlatih pikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Akan tetapi hikmah dapat
menarik orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh
orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan mulut,
melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup.29

‫ َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة‬yang diartikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang
baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak
kecil. Dalam mau’idhzah hasanah ini mencakup targhi (seruan kearah kebaikan
dan memberi iming-iming balasan kebaikan) dan tarhib (seruan untuk
meninggalkan keburukan dengan memberi peringatan dan ancaman bagi mereka
yang melanggar).30

27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. VII, h. 386
28
Abul Laist As-Samarqadi, Tafsir As-Samarqandi, (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993), juz. II, h. 255
29
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), juz. 13 & 14, h. 321.
30
Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawy, Op.cit., h. 412.

18
Adapun meurut M. Quraish Shihab, yang penulis kutip dalam tafsir Al-
Misbah yaitu, uraian yang menyentuh hati yang mengantar pada kebaikan. Yang
disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang
menyampaikannya.

Jadi penulis menyimpulkan bahwa mau’idhzah hasanah merupakan


nasihat yang baik yang dilakukan dengan lemah lembut sehingga dapat diserap
oleh hati nurani dan bukan dengan bentakan atau gertakan yang akan
menimbulkan kekerasan atau keburukan.

‫ أي وجادل المخا لفين باطريقة التى ھي أحسن من طريقة المناظره والمجادلة بالحجج‬: ُ‫َو َج ِد ْلهُ ْم بِالّتِى ِھ َي أحْ َسن‬
‫ والرفق واللين‬, ‫والبر اھين‬

Yakni berdebatlah dengan orang yang berbeda pendabat dengan cara


yang sebaik-baiknya, yaitu dengan dalil-dalil dan pandangan yang benar serta
dengan perkataan yang lemah lembut.

Menurut M. Quraish Shihab, jadilhum berasal dari kata jidal yang


bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra
diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu
diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara. Adapun yang
dimaksud debat di sini ialah perdebatan sambil menyeru mereka dengan jalan
yang lebih baik. Berbagai jalan perdebatan itu antara lain: Debat dengan cara
halus, debat dengan penuh kasih sayang, dan perdebatan yang meninggalkan
artinya semudah-mudahnya cara untuk membangun dalil-dalil yang harus
dipersembahkan dan dikedepankan.

a. Tafsir Al-Mishbah
Menurut Prof. Quraish Shihab, ulama memahami bahwa ayat ini
menjelaskan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan
sasaran dakwah. Terhadap cendikiawan yang memiliki intelektual tinggi
diperintahkan menyampaikan dakwah dengan hikmah, yakni berdialog
dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
Terhadap kaum awam diperintahkan untuk menerapkan mau’izhah, yakni
memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai
dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl
alkitab dan penganut agama-agama lain yang di perintahkan

19
menggunakan jidal ahsan/ perdebatan dengan cara yang terbaik, yaitu
dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan
umpatan.31
Selanjutnya beliau menjabarkan kata al-hikmah dalam ayat tersebut,
berikut ini penjabarannya. Kata (‫( حكمة‬hikmah antara lain berarti yang
paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia
adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau
kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila
digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan
kemudahan yang besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya
mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih besar. Makna ini ditarik
dari kata hakamah, yang berarti kendali, karena kendali menghalangi
hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak di inginkan atau menjadi
liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari
hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun
dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang
tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar
menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim. Thahir Ibn
‘Asyur menggaris bawahi bahwa hikmah adalah nama himpunan segala
ucapan atau pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan
kepercayaan manusia secara bersinambung. Thabathaba’i 61 mengutip ar-
Raghib al-Ashfihani yang menyatakan secara singkat bahwa hikmah
adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal. Dengan
demikian, menurut Thabathaba’i, hikmah adalah argumen yang
menghasilkan kebenaran yang tidak diragukan, tidak mengandung
kelemahan tidak juga kekaburan.32
Berdasarkan teori di atas penulis dapat simpulkan bahwa, Hikmah
adalah cara seseorang dalam berdakwah dengan materi yang bersumber
dari al-Qur”an dan As-Sunnah yang menghasilkan kebenaran yang tidak
diragukan dalam isi dakwahnya dan kemampuan berdakwah dengan

31
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Cet. IV, Jilid. 6 (Jakarta:
Lentera Hati ,2011),774.
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Cet. Ke-IV, Jilid. 6 (Jakarta:
Lentera Hati, 2011),775.

20
melihat Kemudian lebih lanjut beliau menjelaskan al-mau’izhah, berikut
ini penjelasannya.
Kata (‫ ) الموعظة‬al-mau’izhah terambil dari kata (‫ ) وعظ‬wa’azha yang
berarti nasihat. Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang
mengantar kebaikan. Demikian kondisi atau keadaan orang yang kita
dakwahi. Sehingga apa yang kita sampaikan sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat kecerdasan yang dimilikinya dikemukakan oleh banyak ulama.
Sedang, kata ( ‫ ) ج¦¦ادلهم‬jadilhum terambil dari kata (‫ ) ج¦¦دال‬jidal yang
bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih
mitra diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang
dipaparkan itu diterima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra
bicara. 33
Menurut M. Quraish Shihab, mau’izhah baru dapat mengena hati
sasaran bila apa yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan
keteladanan dari yang menyampaikannya. Inilah yang bersifat hasanah.
Kalau tidak demikian, maka sebaliknya, yakni yang bersifat buruk, dan
ini yang seharusnya dihindari.34 Berdasarkan teori di atas dapat
disimpulkan bahwa mau’izhah adalah bentuk berdakwah dengan
memberikan nasihat dan peringatan baik dan benar, perkataan yang lemah
lembut, penuh dengan keikhlasan, menyentuh hati dan menggetarkan jiwa
sasaran dakwah untuk menerima, memahami dan menghayati terhadap
materi yang disampaikan.
Mengenai jidal, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa jidal terdiri
dari tiga macam. Pertama, jidal buruk yakni “yang disampaikan dengan
kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan
dalih-dalih yang tidak benar. “Kedua jidal baik yakni” yang disampaikan
dengan sopan serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang
diakui oleh lawan. “Ketiga, jidal terbaik yakni “yang disampaikan dengan
baik dan dengan argumen yang benar lagi membungkam lawan”. 35
Sedangkan menurut Hamka, Jidal bahwasanya adalah bantahlah
mereka dengan cara yang lebih baik, kalau telah terpaksa timbul
33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, 775.
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Cet. Ke-IV, Jilid. 6 (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), 776.
35
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, 776.

21
perbantahan atau pertukaran fikiran, yang dizaman kita ini disebut
polemic, ayat ini menyuruh agar dalam hal yang demikian, kalau sudah
tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. diantaranya
adalah memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan
perasaan benci atau saying kepada pribadi orang yang tengah diajak
berbantah. 36
Berdasarkan teori di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud jidal adalah memberi bantahan yang baik dan halus tanpa
menyakiti, serta dengan argumen yang benar terhadap sasaran dakwah
yang menentang dakwah kita. Dalam proses pendidikan, jidal di sini
mengandung makna sebagai proses penyampaian materi melalui diskusi
atau bertukar pikiran dengan menggunakan cara yang terbaik, sopan
santun, saling menghormati dan menghargai serta tidak arogan.
b. Tafsir Jalalain
( ‫الناس يا مح ّمد صلى هللا عليه وسلم (إلى سبيل ربك) دينه (بلحكمة) بلقرآن (والموعظة ) أدع‬
‫الحسنة) مواعظة أو القول الرفيق¦ (وجا دلھم با التى) أي المجا دله التي (ھي أحسن) كالد عاء‬
‫ض ّل ع َْن َسبِ ْيلِ ِه َوه َُو َأ ْعلَ ُم‬
َ ‫ك ه َُو اَ ْعلَ ُم) أي عالم(بِ َم ْن‬
َ ّ‫إلى هللا باَية والدء إلى حججه (ِإ ّن َرب‬
‫بِاْل ُم ْهتَ ِديْن ) فيجازيهم‬.

Artinya: “(Serulah) manusia, wahai Muhammad (ke jalan


Rabb mu) agama-Nya (dengan hikmah) yaitu dengan Al-Qur’an (dan
nasihat yang baik) yaitu pelajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an
atau nasihat-nasihat/perkataan yang halus (Dan bantahlah mereka
dengan sesuatu) yaitu dengan bantahan (bantahan yang baik) yaitu
menyeru kepada Allah dengan ayat-ayat Allah dan menyeru kepada
dalil-dalilnya (sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui)
yaitu yang maha mengetahui (tentang siapa yang tersesat dari
jalanNya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orangorang yang
mendapat petunjuk)”. 37

Dalam ayat ini, Allah SWT memberikan pedoman kepada


Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah
36
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu Ke-13-14 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 321.
37
Al-Alamah Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Syeikh Mutabahir Jalaludin Abdurrahman bin
Abu Bakar Asy Suyuti, Kitab Jalalain (Surabaya: Darul Ilmi), 226.

22
SWT. Jalan Allah di sini maksudnya ialah agama Allah yakni syariat
Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT
meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di
kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.
Pertama, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa
sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai
jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang
berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul SAW
diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk
agama Allah semata.
Kedua, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul SAW agar
berdakwah dengan hikmah.
Ketiga, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu
dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut dan
menyejukkan, sehingga dapat diterima dengan baik.
Keempat, Allah SWT menjelaskan bahwa bila terjadi
perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, hendaknya
Rasul membantah mereka dengan cara yang baik. 38
Penulis
memaparkan bahwasanya Allah SWT menyeru kepada Nabi
Muhammad SAW untuk memerintahkan manusia berdakwah
menyebarkan agama Allah dengan cara hikmah, yaitu al-Qur’an.
Makna nya adalah dengan tutur kata yang halus , yang telah
diperintahkan dalam al-Qur’an. Lalu dengan cara pelajaran yang baik,
maksudnya adalah pelajaran atau nasihat-nasihat yang terkandung
dalam al-Qur’an untuk memgenai hati sasaran dakwah. Dan yang
terakhir adalah membantah dengan cara yang baik apabila sasaran
dakwah tidak puas atas argumen kita dengan ayat-ayat Allah atau
dalildalil al-Qur’an untuk membungkam argumen sasaran dakwah.
c. Tafsir Al Maragi

‫أدع ِإلَي َسب ِْل َربّكَ بِ ْل ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة َوج ِد ْلهُ ْم بِالّتِي ِه َي َأحْ َس ُن‬
Hai rasul, serulah orang-orag yang kau diutus kepada mereka
dengan cara, menyeru mereka kepada syari’at yang telah digariskan oleh
38
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 418.

23
Allah bagi makhluk-Nya melalui wahyu yang diberikan kepadamu, dan
membei mereka pelajaran dan peringatan yang diletakkan di dalam kitab-
Nya sebagai hujjah atas mereka, serta selalu diingatkan kepada mereka,
seperti diulang-ulang seperti di dalam surat ini. Dan bantahlah mereka
dengan bantaha yang lebih baik dari pada bantahan lainnya, seperti
memberi maaf kepada mereka jika mereka mengotori kehormatanmu,
serta bersikaplah lemah lembut terhadap mereka dengan menyampaikan
kata-kata yang baik, sebagaimana firman Allah di dalam ayat lain. 39

)٤٦:‫سنُ إالّالّ ِذ ْينَ ظَلَ ُموْ ا ِم ْنهُ ْم (العنكبوت‬


َ ْ‫ب ِإالّ بِالّتِ ْي ِه َي َأح‬
ِ ‫َوالَ تُج ِدلُوْ َأ ْه َل ْال ِكت‬

Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,


melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
zalim di antara mereka,...” (Q.S. Al-Ankabut: 46). 40
Dan firman-Nya kepada Musa da Harun ketika diutus kepada
Fir’aun :

)٤٤ : ‫ قَوْ الً لّيّنًا لّ َعلّهُ يَتَ َذ ّك ُر َأوْ يَ ْخ َشى (طه‬، ُ‫فَقُوْ الَ لَه‬

Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-


kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut "(Q.S. Thaahaa :
44) 41
Kemudian Allah mengancam dan berjanji :

َ‫ض ّل ع َْن َسبِ ْيلِ ِه َوهُ َو َأ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين‬


َ ‫ك ه َُو َأ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
َ ّ‫ِإ ّن َرب‬.

Bahwasanya Tuhan engkau, mengetahui orang yang menyimpang dari


jalan yang lurus,, baik dari antara orangorang yang berselisih tentang hari
Sabtu, maupun yang selainnya dan Allah SWT itu mengetahui orang yang
menjalani jalan yang lurus dari antara mereka. Dan Allah SWT akan memberi
39
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi (Semarang: CV Toha Putra, 1994), 289.
40
Tubagus Najib al-Bantani, Al-Qur’an Mushaf Al-Bantani (Serang: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten,
2012), 402.
41
Tubagus Najib al-Bantani, Al-Qur’an Mushaf Al-Bantani (Serang: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten,
2012), 314.

24
pembalasan kepada semua mereka di hari akhir, masing-masing menurut
haknya. 42
Ringkasan, gunakanlah metode terbaik di dalam berdakwah dan
berdebat, yaitu berdakwah dengan cara yang terbaik. Itulah kewajibanmu.
Adapun pemberian petujuk dan penyesatan, serta pembalasan atas keduanya,
diserahkan kepada-Nya semata, bukan kepada selain-Nya. Sebab, Dia lebih
mengetahui tetang keadaan orang yang tidak mau meninggalkan kesesatan
karena ikhtiarnya yang buruk, dan tentang keadaan orang yang mngikuti
petunjuk karena dia mempunyai kesiapan yang baik. Apa yang digariskan
Allah untukmu di dalam berdakwah, itulah yang dituntut oleh hikmah, dan itu
telah cukup untuk memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti
petunjuk, serta menghilangkan uzur orang-orang yang sesat. 43
Mengenai penerapan tiga metode yang terdapat dalam surah al-Nahl
ayat 125 diatas, telah dikemukakan bahwa sementara ulama membagi ketiga
metode ini sesuai dengan tingkat kecerdasan sasaran dakwah. Yakni
cendikiawan diajak dengan hikmah. Adapun orang awam, mereka disentuh
dengan mau’izhah. Sedang, penganut agama lain dengan jidal. Menurut M.
Quraish Shihab pendapat ini tidak disepakati oleh ulama’. Ia mengutip
pendapat Thabathaba’i, salah seorang ulama’ yang menolak penerapan metode
dakwah itu terhadap tingkat kecerdasan sasaran, berikut ini pendapat
Thabathaba’i.
Bisa saja ketiga cara ini di pakai dalam satu situasi/sasaran, dikali lain
hanya dua cara, atau satu masingmasing sesuai sasaran yang di hadapi. Bisa
saja cendikiawan tersentuh oleh mau’izhah, dan tidak mustahil pula orang-
orang awam memperoleh manfaat dari jidal dengan yang terbaik. 44
M. Quraish Shihab juga mengutip pendapat Thahir Ibn ‘Asyur yang
juga berpendapat serupa dengan Thabathaba’i. Thahir Ibn ‘Asyur menyatakan
bahwa: jidal adalah bagian dari hikmah dan mau’izhah. Hanya saja, tulisnya,
karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau pendapat sehingga
sasaran yang dihadapi menerima kebenaran, kendati ia tidak terlepas dari

42
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AnNur, Cet Ke-II (Jakarta: PT. Pustaka
Rizki Putra Semarang, 1995), 2219.
43
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi (Semarang: CV Toha Putra, 1994), 290-291.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Cet. Ke-IV, Jilid. 6 (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), 777.

25
hikmah atau mau’izhah, ayat ini menyebutnya secara tersendiri berdampingan
dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal itu. 45
Oleh sebab itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam
menyampaikan dakwah hendaklah menggunakan metode yang terbaik,
bersikaplah lemah lembut dengan menyampaikan kata-kata yang baik tanpa
harus menyakiti perasaannya. Adapun tanggapan dari mereka yang menyakiti
hati kita, kita serahkan semuanya kepada Allah SWT. Penulis juga dapat
menyimpulkan bahwa penerapan 3 metode tersebut tidak harus diterapkan
berdasarkan tingkat kecerdasan saja. Akan tetapi harus diterapkan secara
berdampingan guna ketika kita menggunakan jidal untuk membantah bantahan
sasaran dakwah, kita tidak melupakan hikmah dan mau’izhah itu sendiri.

3. Analisis Tafsir Q.S An-Nahl Ayat 125


Dari interpretasi ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa ayat ini terdapat
kata kunci sebagai berikut:
Hikmah, yaitu dialog dengan menggunakan kata-kata yang benar, bijak,
lembut, sopan, memudahkan, disertai dengan dalildalil yang kuat (ilmiah dan
logis) dan perumpamaann yang dapat meresap dalam diri atau dapat
mempengaruhi jiwa peserta didik. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan sikap-
sikap positif yang bisa membawa maslahat bagi hidupnya. Di samping itu, hikmah
diartikan dengan seuatu yang diturunkan dan berasal dari Nabi Muhammad SAW.
yaitu al-Quran dan as-sunnah.

Hal ini mempertegas dan memperjelas, bahwa hikmah harus bersih


dari sesutau yang bersifat negatif. Sebab al-Qur’an dan assunnah merupakan
simbol dari segala sesuatu yang bersifat positif dan kemaslahatan. Hikmah ini
dapat diaplikasikan ketika sedang melakukan kegiatan belajar mengajar di
dalam kelas sebelum memulai pelajaran seorang pendidik harus memberikan
kata-kata yang bijak, lembut, sopan dan dapat dimengerti dengan baik
sehingga peserta didik terbuka pikirannya untuk mengikuti pelajaran yang
diberikan oleh gurunya. Contoh lainnya adalah ketika seorang guru
menghadapi murid yang keras, tindak kekerasan tidak bisa diselesaikan
dengan kekerasan pula. Seorang pendidik harus dapat menyentuh hati seorang

45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Cet. Ke-IV, 777.

26
murid dengan katakata bijak dan lembut. Dengan menggunakan hikmah ini
akan membuat murid tersadar dengan perilakunya sebab pada hakikatnya
manusia adalah makhluk fitrah. Ia akan menerima katakata dari seorang guru
yang penuh dengan hikmah.

Mau’izhah, yaitu nasehat-nasehat yang lemah lembut lagi benar,


ajakan pada suatu hal yang positif atau memberi pelajaran dan peringatan
dengan dalil-dalil (argumentasi) yang dapat diterima oleh akal atau
kemampuan peserta didik, disertai keteladanan dari yang menyampaikan. Ada
suatu hal yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik lebih-lebih ketika
menggunakan mau’izhah ini, yaitu adanya ketauladanan, artinya ada
kesesuaian antara yang ia sampaikan dengan prilakunya seharihari. Sebab
ketika ada seorang guru yang menggunakan mau’izhah, tetapi kenyataannya
tidak sesuai dengan perilakunya, maka jangan berharap banyak terhadap
perubahan perilaku peserta didiknya. Sebagai mana yang dikatakan M.
Quraish shihab, metode ini baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang
disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari pendidik. 46

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat As-Shaf ayat 2-3:

‫) (الصف‬٣( َ‫) َكبُ َر َم ْقتًا ِع ْن َدهللاِ َأ ْن تـقُوْ ُل ا َما الَ تَ ْف َعلُوْ ن‬٢( َ‫يََأ يّهَا الّ ِذ ْينَ َءا َمنُوْ ا لِ َم تَقُوْ لُوْ نَ َماالَ تَ ْف َعلُوْ ن‬
)٣-٢ :

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu


yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Shaf: 2-3) 47

Berdasarkan pengertian ayat tersebut dapat dipahami bahwa seorang pendidik


ketika menyampaikan sesuatu kepada peserta didiknya, harus terlebih dahulu mampu
mengerjakan atau mengamalkannya. Terutama sesuatu yang disampaikan terkait
dengan masalah agama dan nilai-nilai kebaikan. Sebab ketika apa yang ia sampaikan
belum diamalkan, sungguh Allah SWT amat benci terhadap pendidik yang demikian.
Di samping itu peserta didik akan menjadi ragu dengan kebenaran ilmu yang
disampaikan oleh pendidik. Salah satu contoh tindakan ketika seorang guru

46
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume-7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 387.
47
Tubagus Najib al-Bantani, Al-Qur’an Mushaf Al-Bantani (Serang: Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten,
2012), 551.

27
memberikan nasihat pada peserta didiknya untuk tidak merokok karena dapat merusak
kesehatan tubuh, sedang guru tersebut pun melakukan kegiatan tersebut maka ketika
memberikan nasihat untuk tidak merokok pada muridnya seorang pendidik jangan
berharap muridnya akan mengikuti nasihat yang disampaikannya.

Jidal, yaitu berdebat atau membantah dengan peserta didik yang tidak
menerima pendapat atau ajakan dengan cara-cara yang terbaik, dengan argumentasi
dan ide atau dengan bukti-bukti dan alasan-alasan yang tepat serta tanggapan yang
tidak emosional, tidak ada unsur celaan, ejekan, sindiran dan kesombongan. Sehingga
memuaskan bagi peserta didik yang tidak menerima pendapat atau ajakan pendidik.
Lebih lanjut kemudian, berjidal disifati dengan kata (‫( أحسن‬ahsan yang mempunyai
arti “terbaik”, bukan sekedar yang baik.

Dalam hal ini, jidal dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Yang buruk adalah berdebat yang disampaikan dengan kasar, yang


mengundang kemarahan peserta didik serta yang menggunakan dalil-dalil
yang tidak benar.
2. Yang baik adalah berdebat yang disampaikan dengan sopan, serta
menggunakan argumen atau dalih wahyu hanya yang diakui oleh peserta didik.
3. Yang terbaik adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengan argumen yang
benar, lagi membungkam peserta didik.48
Dalam melakukan perdebatan harus dilakukan dengan cara yang
terbaik. Contohnya adalah dalam kegiatan diskusi maka seorang guru terlebih
dahulu harus sudah mempersiapkan diri dan menguasai materi jauh dari
peserta didiknya. Sehingga dalam acara forum diskusi tersebut lebih dapat
mengarahkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan murid dengan jelas
berdasarkan bukti-bukti dan dalil-dalil yang ada. Disampaikan secara lugas
dan cerdas sehingga membuat murid-murid dapat menerima ajaran dengan
baik.

4. Tafsir Surat an-Nahl ayat 125 menurut para Mufassir


a. Tafsir Ibnu Katsir
Allah SWT berfirman, memerintahkan Rasul-Nya Muhammad
SAW untuk menyeru makhluk ke jalan Allah dengan cara hikmah
48
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume-7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 387-388.

28
(perkataan yang tegas dan benar). Ibnu Jarir berkata, “dan demikianlah
apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad dari kitab, sunnah dan
pelajaran yang baik, yaitu tentang sesuatu yang di dalamnya terdapat
larangan dan ketetapan bagi manusia. Mengingatkan mereka dengan itu
semua (al-Kitab, 55 Vol. 2 No. 1 Jurnal Pendidikan Pascasarjana
Magister PAI sunnah dan mauizhoh) agar mereka takut akan siksa
Allah SWT. (Tafsir Ibnu Katsir, 1980: 592). 49
b. Tafsir HAMKA
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan
pendidikan yang baik, dan bantahlah mereka dengancara yang lebih
baik." (pangkal ayat 125). Ayat ini mengandung ajaran kepada Rosul
SAW tentang cara melancarkan dakwah, atau seruan terhadap manusia
agar mereka berjalan di atas jalan Allah. (Hamka, Tafsir AlAzhar,1992:
321).
Pertama, Kata "Hikmah" itu kadang-kadang diartikan orang
dengan Filsafat. Padahal dia adalah inti yang lebih halus dari filsafat.
Filsafat hanya dapat dipahamkan oleh orang-orang yang telah terlatih
fikirannya dan tinggi pendapat logikanya. Tetapi Hikmat dapat menarik
orang yang belum maju kecerdasannya dan tidak dapat dibantah oleh
orang yang lebih pintar. Kebijaksanaan itu bukan saja dengan ucapan
mulut, melainkan termasuk juga dengan tindakan dan sikap hidup,
kadang-kadang lebih berhikmat "diam" daripada "berkata".Yang kedua
ialah Al-Mau'izhatul Hasanah, yang diartikan pendidikan yang baik,
atau pesan-pesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasehat.Yang
ketiga ialah "Jadilhum billati hiya ahsan", bantahlah mereka dengan
cara yang lebih baik. Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau
pertukaran pikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik, ayat ini
menyuruh agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat
dielakan lagi pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Diantaranya ialah
memperbedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan
benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah.
(Hamka, Tafsir Al-Azhar, 1992: 321- 322).50

49
Ibnu Katsir. 1980. Tafsir Ibnu Katsir. Beyrut: Daarul Fikri.
50
Hamka. 1992. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.

29
c. Tafsir Munir
Ajaklah kepada jalan Tuhanmu ya Muhammad (kepada agama
Allah) dengan Hikmah dengan ucapan kebijaksanaan. Ini adalah
merupakan dalil yang bersih yang benar dari penyerupaan-penyerupaan
yang keliru. Adapun yang disebut dengan nasehat yang baik adalah
nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran yang bermanfaat dan perkataan
yang bercahaya.Telah berkata Imam Baidhowi yang dimaksud
dengan:51 “Hikmah adalah: seruan atau ajakan yang has kepada umat
yang sedang belajar yang dituntut kepada kebenaran”. Al-Mau'idhoh
adalah: pendidikan atau seruan kepada kaum awam. Jadilhum Billati
Hiya Ahsan adalah: maka debatlah mereka dengan yang lebih baik
(sebaik-baik 56 Vol. 2 No. 1 Jurnal Pendidikan Pascasarjana Magister
PAI debat), yaitu perdebatan sambil menyeru mereka dengan jalan yang
lebih baik. Berbagai jalan perdebatan itu antara lain: Debat dengan cara
halus, debat dengan penuh kasih sayang, dan perdebatan yang
meninggalkan artinya semudah-mudahnya cara untuk membangun
dalil-dalil yang harus dipersembahkan dan dikedepankan. (Tafsir
Munir, 1991: 267)

d. Tafsir DEPAG RI
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan pedoman-pedoman
kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan
Allah. Yang dimaksud jalan Allah disini ialah agama Allah yang
syari'at Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah
SWT dalam ayat ini meletakan dasar-dasar Dakwah untuk pegangan
bagi umatnya dikemudian hari mengemban tugas dakwah. (Al-Qur'an
dan Terjemah Depag RI, 1989: 421). 52
Pertama, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa
sesungguhnya dakwah ini ialah dakwah untuk agama Allah sebagai
jalan yang menuju ridho ilahi. Bukanlah dakwah untuk pribadi da'i
(yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul SAW

51
Wahbah Al-Zuhaeli, 1991. Tafsir Munir. Damasqus: Darul Fikri.
52
Depag RI. 1989. Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang: C.V. Toha Putra.

30
diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk
agama Allah semata-mata.
Kedua, Allah SWT menjelaskan kepada Rasul SAW agar
dakwah itu dengan hikmah. Hikmah disini berarti pengetahuan tentang
rahasia dari faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu
dapat diyakini keadaannya. Berarti perkataan yang tepat dan benar
yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan
mana yang batil atau syubhat (meragukan). Arti yang lain ialah
kenabian mengetahui hukumhukum Al-Qur'an, paham Al-Qur'an,
paham agama, takut kepada Allah, benar perkataan dan perbuatan.
Artinya yang paling tepat dan dekat kepada kebenaran ialah arti yang
pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yang
mana pengetahuan itu memberi manfaat.
Ketiga, Allah SWT menjelaskan kepada rasul agar da'wah ini
dengan pendidikan yang baik, yang diterima dengan lembut oleh hati
manusia tapi berkesan didalam hati mereka. Tidaklah patut jika
pendidikan dan pengajian itu selalu menimbulkan pada jiwa manusia
rasa gelisah, cemas dan ketakutan. Orang yang jatuh karena dosa
karena jahilnya atau tanpa kesadaran, tidaklah wajar kesalahan-
kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka sehingga menyakiti
hatinya.
Keempat, Allah menjelaskan bahwa bila terjadi perbantahan
atau perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, maka
hendaklah rasul membantah mereka dengan bantahan yang baik. Suatu
contoh perdebatan yang baik adalah perdebatan Nabi Ibrahim dengan
kaumnya (Nabi Ibrohim) yang membawa mereka berfikir untuk
memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga mereka menemukan
kebenaran. Tidaklah baik memancing lawan dalam berdebat dengan
kata yang tajam. Karena hal demikian menimbulkan suasana yang
puas. Sebaliknya hendaklah diciptakan suasana nyaman dan santai
sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat
tercapai dengan hati yang puas. Suatu perdebatan yang baik ialah
perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat jiwa manusia yang
negatif seperti sombong, tinggi hati, tahan harga diri, sifat-sifat

31
tersebut sangat peka. Lawan berdebat supaya dihadapi demikian rupa
sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati dan da'i
menunjukan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran
kepada agama Allah SWT.
Kelima, Allah SWT menjelaskan kepada rasul SAW bahwa
ketentuan akhir dari segala usaha dan perjuangan itu pada Allah SWT.
Hanya Allah SWT sendiri yang menganugerahkan iman kepada jiwa
manusia, bukanlah orang lain ataupun da'i itu sendiri. 53
Dialah Tuhan
Yang maha mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang tidak dapat
mempertahankan fitrah insaniyahnya (iman kepada Allah) dari
pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, sehingga dia jadi sesat, dan
siapa pula diantara hamba yang fitrah insaniyahnya tetap terpelihara
sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah SWT.
e. Tafsir Fii Zhilalil Qur'an (t.t.: 291-293)
Berdakwah dengan hikmah, menguasai keadaan dan kondisi
(zuruf) mad'unya, serta batasan-batasannya yang disampaikan setiap
kali ia jelaskan kepada mereka, sehingga tidak memberatkan dan
menyulitkan mereka sebelum mereka siap sepenuhnya. Juga metode
yang digunakan dalam menghadapi mereka. Semua keberagaman cara
ini harus disesuaikan dengan konsekuensi-konsekuensinya jangan
sampai berlebih-lebihan dalam hamasah "semangat ", indifa " motivasi
", dan ghiroh, sehingga ia melupakan sisi hikmah dari dakwahnya itu.
Berdakwah juga harus dengan cara Mau'izah Hasanah, nasehat
yang baik yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap
oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan
dan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara
memberikan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari 58
Vol. 2 No. 1 Jurnal Pendidikan Pascasarjana Magister PAI atau lantaran
ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasehat
akan lebih banyak menunjukan hati yang bingung, menjinakan hati
yang membenci dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan,
gertakan dan celaan.

53
Depag RI. 1984. Al-Qur'an Dan Tafsirnya. Semarang: CV. Toha Putra.

32
Berdakwah juga harus jadihum billati hiya ahsan, mendebat
dengan cara yang lebih baik. Tanpa bertindak dzolim terhadap orang
yang menentang ataupun sikap peremehan dan pencelaan terhadapnya.
Sehingga seorang da’i merasa tenang dan merasakan bahwa tujuannya
berdakwah bukanlah untuk mengalahkan orang lain dalam berdebat.
Akan tetapi untuk menyadarkan dan menyampaikan kebenaran
kepadanya. Jiwa manusia pasti memiliki sifat sombong dan
membangkang. Dan itu tidak bisa dihadapi kecuali dengan cara
kelembutan, sehingga jiwanya tidak merasa dikalahkan. Yang paling
cepat bergolak dengan hati adalah bobot sebuah ide/ pendapat, dan
bobot/ nilainya itu ada pada jiwa-jiwa manusia. Maka meremehkan
penggunaan pendapat sama saja dengan merendahkan kewibawaan,
kehormatan dan eksistensinya.
Berdebat dengan cara yang baik inilah yang akan meredakan
keangkuhan yang sensitif itu. Orang yang diajak berdebat itu pun akan
merasakan bahwa dirinya dihormati dan dihargai. Seorang da’i tidak
diperintahkan kecuali mengungkapkan hakikat yang sebenarnya dan
memberikan petunjuk kepadanya dijalan Allah, jadi bukan untuk
membela dirinya, mempertahankan pendapatnya, atau mengalahkan
pendapat orang lain! agar seorang dai bisa mengendalikan semangat dan
motivasi dirinya, konteks ayat AlQur'an memberikan petunjuk bahwa
Allah lah yang lebih mengetahui siapa saja yang sesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. Sebenarnya debat tidak terlalu dibutuhkan selain untuk
menjelaskan, setelah itu urusannya ada.54

5. Asbabun Nuzul Al-Maidah ayat 67


Para mufasir berbeda pendapat seputar asbab al-nuzul (latar belakang
turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah
Rasulullah SAW menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang
Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. 55 Al-Qurthubi menyatakan bahwa
ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW,
54
Sayid Al-Qutub. Tafsir fii Dzhilal Al-Qur'an. (Beyrut: Darul Asy-Syuruf, tt) hlm. 291- 293
55
Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi, Mawaqi’ At-Tafasir ,Mesir, tt, hal. 440/ 1.Lihat juga: Al-Wahidi
An Nasyabury, Asbâb an-Nuzul, Mawaqiu’ Sy’ab, t-tp, tt, 191/1.

33
untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan
tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab
turunnya ayat tersebut. 56

Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran


dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus
sesuai dengan asbab al-nuzul-nya (andaikata ada asbab al-nuzul-nya). Sebab,
ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. 57
Ini berdasarkan kaidah
ushul:

‫ب‬ ِ ‫َأ ّن ْال ِعب َْرةَ لِ ُع ُموْ ِم الّل ْف ِظ الَ بِ ُخص‬


ِ َ‫ُوص ال ّسب‬

Artinya: “Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan


kekhususan sebab.” 58

Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-
nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan
pengertian umum (li at-ta’mîm). 59

Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski
ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku
untuk umat Islam.

C. Ibrahim ayat 24-25

1. Ayat dan Terjemah

24( ‫ت َّوفَرْ ُعهَا فِى ال َّس َم ۤا ۙ ِء‬ ٌ ِ‫ب هّٰللا ُ َمثَاًل َكلِ َمةً طَيِّبَةً َك َش َج َر ٍة طَيِّبَ ٍة اَصْ لُهَا ثَاب‬ َ َ‫اَلَ ْم ت ََر َك ْيف‬
َ ‫ض َر‬
‫هّٰللا‬ ۗ
ِ َّ‫تُْؤ تِ ْٓي اُ ُكلَهَا ُك َّل ِحي ٍْن ۢبِاِ ْذ ِن َربِّهَا َويَضْ ِربُ ُ ااْل َ ْمثَا َل لِلن‬
25( َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن‬
Artinya: 24. “Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. 25. pohon) itu menghasilkan
buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat

56
Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah,
Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H, 613/IV.
57
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tp, tt, t-tp, 12.
58
As Sarkhasy, Ushul As Sarkhasy, Mawaqi’u ya’sub, tt, t-tp, 164/I.
59
As Sarkhasy, Ushul As Sarkhasy, 164/I.

34
perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim
[14]: 24-25).

2. Penafsiran para Mufassir terhadap Surah Ibrahim Ayat 24-25


Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran Al-
Qur’an kedalam tiga fase yaitu fase mutaqaddimin (abad 1-abad 4 H), periode
mutakhirin (abad 4-abad 12 H), dan periode baru (abad 12-sekarang).60

a. Penafsiran Ibnu Abbas pada Periode Mutaqaddimin (sebelum 3 hijriah –


68 H/619 M)
Periode ini dimulai setelah wafatnya Rasulallah SAW., ada beberapa
orang sahabat yang sangat terkenal dan dianggap ahli dalam menafsirkan
Al-Qur’an, diantara sahabat itu adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubai bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas
bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan ‘Amr bin ‘As.61
Ibnu Abbas menafsirkan Q.S. Ibrahim ini sangat singkat dan jelas,
disamping itu juga Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang
pernah didoakan Rasullah Saw. agar Allah SWT. berikan kepahaman yang
baik dalam ilmu agama dan ta’wil. Ibnu Abbas menafsirkan sebagai
berikut:

ٌ ِ‫ب هَّللا ُ َمثَاًل َكلِ َمةً طَيِّبَةً َك َش َج َر ٍة طَيِّبَ ٍة َأصلُها ثاب‬


‫ت َوفَر ُعها فِى‬ َ َ‫َألَم ت ََر َكيف‬
َ ‫ض َر‬
‫السَّما ِء‬

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah


membuat perumpaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya akan teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.

3. Asbabun Nuzul Ibrahim ayat 24-25


Berdasarkan satu riwayat yang menyatakan (Abdullah) putra Umar r.a.
berkata bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulallah SAW. lalu beliau
bersabda: Beritahu aku tentang sebuah pohon yang serupa dengan seorang

60
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Khairo : Dar Al-Hadith, 2005). Hal. 32
Lihat juga Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Hal. 28-88.
61
Manna’ Khalil al-Qattan, hlm. 472

35
muslim, memberikan buahnya pada setiap muslim. Putra Umar berkata: “Terlintas
dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar
dan Umar tidak berbicara, maka aku segan berbicara. “Dan seketika Rasul SAW,
tidak memberikan jawaban dari hadirin, beliau bersabda: “Pohon itu adalah pohon
kurma”. Setelah selesai pertemuan dengan Rasul SAW itu, aku berkata pada
(Ayahku) ‘Umar’. Hai Ayahku! Demi Allah telah terlintas dalam benahku bahwa
yang dimaksud adalah pohon kurma. “Beliau berkata: “Mengapa engkau tidak
menyampaikannya?” Aku menjawab: “Aku tidak melihat seorang pun berbicara
maka aku pun segan berbicara.” Umar ra. berkata: “Seandainya kau
menyampaikannya maka sungguh itu lebih kusukai dari ini.” HR. Bukhari, at-
Tirmidzi, dan lain-lain.
Setelah ayat yang lalu memberi perumpamaan tentang amal-amal
orang kafir, yakni seperti debu, yang ditiup angin yang keras, kini diberikan
perumpamaan tentang orang-orang mukmin. Atau dapat juga dikatakan bahwa
surga yang diraih oleh yang taat dan dampak yang dialami oleh yang durhaka
digambarkan oleh ayat ini dengan suatu perumpamaan. Untuk itu ayat ini
mengajak siapa pun yang dapat melihat yakni merenung dan memperhatikan
Bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik? Kalimat
itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh menghujam ke bawah sehingga
tidak dapat dirobohkan oleh angin dan cabangnya tinggi menjulang ke langit.
Yakni ke atas. Ia memberikan buahnya pada setiap waktu, yakni dingin seizin
Tuhannya sehingga tidak ada satu kekuatan yang dapat menghalangi
pertumbuhan dan hasilnya memuaskan.62
D. Hadits tentang Metode Pendidikan

1. Metode Ceramah

َ‫َص َّد ْقن‬


َ ‫سا ِء ت‬َ ِّ‫ش َر الن‬ َ ‫سلَّ َم َأنَّهُ قَا َل يَا َم ْع‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو ِل هَّللا‬ُ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ُع َم َر عَنْ َر‬
ِ ‫سو َل هَّللا‬ ُ ‫ستِ ْغفَا َر فَِإنِّي َرَأ ْيتُ ُكنَّ َأ ْكثَ َر َأ ْه ِل النَّا ِر فَقَالَتْ ا ْم َرَأةٌ ِم ْن ُهنَّ َج ْزلَةٌ َو َما لَنَا يَا َر‬
ْ ‫َوَأ ْكثِ ْرنَ ااِل‬
‫ين َأ ْغلَ َب‬ٍ ‫ت َع ْق ٍل َو ِد‬ ِ ‫صا‬ َ ِ‫ير َو َما َرَأ ْيتُ ِمنْ نَاق‬ َ ‫ش‬ِ ‫َأ ْكثَ َر َأ ْه ِل النَّا ِر قَا َل تُ ْكثِ ْرنَ اللَّعْنَ َوتَ ْكفُ ْرنَ ا ْل َع‬
َّ‫لِ ِذي لُ ٍّب ِم ْن ُكن‬

62
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan dan Keserasian Al-Qur’an

36
Artinya: “Dari Abu Said Al Khudri RA; “Rasulullah SAW keluar pada
hari raya Adha atau Fitri ke mushalla. Kemudian beliau berbalik lalu
menasihati manusia dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Beliau
Saw bersabda, “Wahai sekalian manusia, bersedekahlah!” Lalu beliau
melewati kaum wanita dan bersabda, Wahai sekalian wanita. bersedekahlah,
karena sesungguhnya aku melihat kalian banyak yang menjadi penghuni
neraka!”  Mereka berkata, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, Kalian banyak melaknat, mengingkari (kebaikan) pasangan. Aku
tidak pernah melihat  orang yang kurang akal dan agamanya, menghilangkan
akal seorang laki-laki yang teguh daripada salah seorang di antara kalian”.
(HR. Bukhari)
Hadits ini menginformasikan bahwa Rasulullah saw. memberikan
ceramah kepada para wanita dengan materi anjuran bersedekah. Setelah beliau
menyampaikan materi ceramah, sahabat wanita bertanya, meminta penjelasan
lebih lanjut kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian,  Rasulullah SAW.
menggunakan metode ceramah dan dialog dalam menyampaikan pesan-pesan
mauizhah kepada para sahabat.
a. Takhrij Hadits

‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ُ ‫َر‬

‫َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن ُع َم َر‬

‫ستِ ْغفَا َر فَِإنِّي َرَأ ْيتُ ُكنَّ َأ ْكثَ َر َأ ْه ِل النَّا ِر فَقَالَتْ ا ْم َرَأةٌ ِم ْن ُهنَّ َج ْزلَةٌ َو َما لَنَا‬
ْ ‫ص َّد ْقنَ َوَأ ْكثِ ْرنَ ااِل‬
َ َ‫سا ِء ت‬ َ ِّ‫ش َر الن‬َ ‫يَا َم ْع‬
‫ت َع ْق ٍل َو ِدي ٍن َأ ْغلَ َب‬ ِ ‫صا‬َ ِ‫شي َر َو َما َرَأيْتُ ِمنْ نَاق‬ ِ ‫سو َل هَّللا ِ َأ ْكثَ َر َأ ْه ِل النَّا ِر قَا َل تُ ْكثِ ْرنَ اللَّعْنَ َوتَ ْكفُ ْرنَ ا ْل َع‬ُ ‫َيا َر‬
َّ‫لِ ِذي لُ ٍّب ِم ْن ُكن‬

37
‫رواه البخارى‬

2. Metode Diskusi

‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َو َعلِ ُّي بْنُ حُجْ ٍر قَااَل َح َّدثَنَا ِإ ْس َم ِعي ُل َوه َُو ا ْبنُ َج ْعفَ ٍر ع َْن ْال َعاَل ِء ع َْن َأبِي ِه ع َْن‬
‫اال ُم ْفلِسُ قَالُوا¦ ْال ُم ْفلِسُ فِينَا َم ْن اَل‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َأتَ ْدرُونَ َم‬ ¦َ ‫َأبِي هُ َر ْي َرةَ َأ ّن ََرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
‫صيَ ٍام َوزَ َكا ٍة َويَْأتِي قَ ْد‬
ِ ‫صاَل ٍة َو‬ َ ِ‫س ِم ْن ُأ َّمتِي يَْأتِي يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ب‬ َ ِ‫ال ِإ َّن ْال ُم ْفل‬ ¦َ ‫ِدرْ هَ َم لَهُ َواَل َمتَا‬
َ َ‫ع فَق‬
‫ب هَ َذافَيُ ْعطَى¦ هَ َذا ِم ْن َح َسنَاتِ ِه َوهَ َذا ِم ْن‬¦َ ‫ض َر‬ َ ‫ك َد َم هَ َذا َو‬ َ َ‫ف هَ َذا َوَأ َك َل َما َل هَ َذا َو َسف‬¦َ ‫َشتَ َم هَ َذا َوقَ َذ‬
¦ْ ‫ضى َما َعلَ ْي ِه ُأ ِخ َذ ِم ْن َخطَايَاهُ ْم فَطُ ِر َح‬
‫ت َعلَ ْي ِه ثُ َّم طُ ِر َح فِي‬ َ ‫ت َح َسنَاتُهُ قَب َْل َأ ْن يُ ْق‬
ْ َ‫َح َسنَاتِ ِه فَِإ ْنفَنِي‬
)‫ (رواه مسلم‬.‫ار‬ ِ َّ‫الن‬
Artinya: ” Hadis Qutaibah ibn Sâ’id dan Ali ibn Hujr, katanya hadis
Ismail dan dia ibnu Ja’far dari ‘Alâ’ dari ayahnya dari Abu Hurairah ra.
bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Tahukah kalian siapa orang yang
muflis (bangkrut)?, jawab mereka; orang yang tidak memiliki dirham dan
harta. Rasul bersabda; Sesungguhnya orang yang muflis dari ummatku
adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) salat, puasa dan
zakat,. Dia datang tapi telah mencaci ini, menuduh ini, memakan harta orang
ini, menumpahkan darah (membunuh) ini dan memukul orang ini. Maka
orang itu diberi pahala miliknya. Jika kebaikannya telah habis sebelum ia
bisa menebus kesalahannya, maka dosa-dosa mereka diambil dan
dicampakkan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke neraka. (H.R.
Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah Saw  memulai pembelajaran
dengan bertanya dan jawaban sahabat ternyata salah, maka Rasulullah Saw 
menjelaskan bahwa bangkrut dimaksud bukanlah menurut bahasa. tetapi
bangkrut yang dimaksudkan adalah peristiwa di akhirat tentang pertukaran
amal kebaikan dengan kesalahan.63
a. Takhrij Hadits

‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬
ِ ‫س‬ُ ‫َر‬

63
Rubini, Jurnal “Metode Pembelajaran Berbasis Hadis”, Th. XVIII, No. 1. Maret 2018

38
‫َأبِي هُ َري َْرةَ‬

‫َأبِي ِه‬

‫ْال َعاَل ِء‬

‫ِإ ْس َم ِعي ُل َوه َُو ا ْبنُ َج ْعفَ ٍر‬

‫قُتَ ْيبَةُ بْنُ َس ِعي ٍد َو َعلِ ُّي بْنُ حُجْ ٍر‬

‫س ِم ْن ُأ َّمتِي يَْأتِي يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬ ‫ال ِإ َّن ْال ُم ْفلِ َ‬


‫اال ُم ْفلِسُ قَالُوا¦ ْال ُم ْفلِسُ فِينَا َم ْن اَل ِدرْ هَ َم لَهُ َواَل َمتَا َع فَقَ َ‬ ‫َأتَ ْدرُونَ َم ْ‬
‫طى هَ َذا ِم ْن‬ ‫ب هَ َذافَيُ ْع َ‬ ‫صيَ ٍ¦ام َو َز َكا ٍة َويَْأتِي¦ قَ ْد َشتَ َم هَ َذا َوقَ َذفَ هَ َذا َوَأ َك َل َما َل هَ َذا َو َسفَكَ َد َم هَ َذا َو َ‬
‫ض َر َ‬ ‫صاَل ٍة َو ِ‬ ‫بِ َ‬
‫ت َعلَ ْي ِه ثُ َّم طُ ِر َح‬ ‫ضى َما َعلَ ْي ِه ُأ ِخ َذ ِم ْنخَ طَايَاهُ ْم فَطُ ِر َح ْ¦‬ ‫ت َح َسنَاتُهُ قَ ْب َل َأ ْن يُ ْق َ‬
‫َح َسنَاتِ ِه َوهَ َذا ِم ْن َح َسنَاتِ ِه فَِإ ْنفَنِيَ ْ‬

‫فِي النَّ ِ‬
‫ار‬

‫‪39‬‬
‫رواه مسلم‬

‫‪40‬‬
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pendidikan Islam, Metode Pendidikan Islam adalah seperangkat cara,
jalan, dan teknik yang digunakan oleh pendidik dalam proses pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan atau menguasai kompetensi
menuju terwujudnya kepribadian muslim.
Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 67 berisi tentang perintah Allah kepada
Muhammad untuk tabligh atau menyampaikan semua risalah kepada ummatnya.
Implementasi metode tabligh dalam konteks pendidikan diantaranya adalah bahwa
guru harus menyampaikan ilmunya kepada siswa sesuai dengan kadar
kemampuannya, tidak boleh ada materi-materi yang seharusnya disampaikan tetapi
tidak disampaikan. Guru seyogyanya selalu meningkatkan pengetahuan dan
kompetensinya dari hari kehari yang pada ujungnya keilmuan tersebut diajarkan atau
disampaikan kepada siswanya.
Al-Maidah ayat 67 memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw supaya
menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya
tantangan di kalangan Ahli Kitab, orang musyrik dan orang-orang fasik.
An-Nahl ayat 125 dipahami oleh sementara ulama sebagai menjelaskan tiga
macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Terhadap
cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan
dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan tingkat
kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, diperintahkan menerapkan mau’izhah,
yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai dengan
taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitab dan
penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidal/perdebatan dengan cara
yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan
umpatan
Ibrahim ayat 24-25, berdasarkan satu riwayat yang menyatakan (Abdullah)
putra Umar r.a. berkata bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulallah
SAW. lalu beliau bersabda: Beritahu aku tentang sebuah pohon yang serupa dengan
seorang muslim, memberikan buahnya pada setiap muslim. Putra Umar berkata:

41
“Terlintas dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu
Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku segan berbicara. “Dan seketika Rasul
SAW, tidak memberikan jawaban dari hadirin, beliau bersabda: “Pohon itu adalah
pohon kurma”. Setelah selesai pertemuan dengan Rasul SAW itu, aku berkata pada
(Ayahku) ‘Umar’. Hai Ayahku! Demi Allah telah terlintas dalam benahku bahwa
yang dimaksud adalah pohon kurma. “Beliau berkata: “Mengapa engkau tidak
menyampaikannya?” Aku menjawab: “Aku tidak melihat seorang pun berbicara maka
aku pun segan berbicara.” Umar ra. berkata: “Seandainya kau menyampaikannya
maka sungguh itu lebih kusukai dari ini.” HR. Bukhari, at-Tirmidzi, dan lain-lain.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim, Tahqiq oleh Samy bin

Abul Laist As-Samarqadi, Tafsir As-Samarqandi, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993

Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawy, Hasyiyah Ash-Shawy, Libanon: Dar al-Fikr, 2007

Ahmad Mustafa Al Farran, Tafsir al-Imam Asy Syafi’i, Jakarta: Almahira, 2007

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz XIV, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk.,
Semarang, CV. Toha Putra Semarang, 1987

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi Semarang: CV Toha Putra, 1994

Ahmad Musthafa Al-Maraghi,Tafsir Al-Maraghi, Kairo: Musthofa Al-Bab Al-Halab, 1946

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997

Al-Alamah Jalaludin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli dan Syeikh Mutabahir Jalaludin
Abdurrahman bin Abu Bakar Asy Suyuti, Kitab Jalalain Surabaya: Darul Ilmi

Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Tafsir al-Qurthubi), dalam Maktabah Shameela.

Amarudin Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran,


Bandung: Diponegoro, 1982

As Sarkhasy, Ushul As Sarkhasy, 164/I.

Baharuddin, Pendidikan Humanistik Konsep, Teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia


Pendidikan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011

Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2 Juz 4,5,6 Jakarta: Depag RI, 2009

Depag RI. Al-Qur'an Dan Tafsirnya. Semarang: CV. Toha Putra. 1984

Depag RI. Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Semarang: C.V. Toha Putra. 1989

Departement Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Yayasan Penerjemah/Penafsir


Al-Qur’an, 1990

43
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz 6, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983

Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jakarta: Widya Cahaya, 2011

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Al Hadi Media Kreasi, 2015

M. Qurasih Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam: Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus


GlobalYogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2016

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu at-Tafasir, Bairut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981

Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

Muhammad Salamah, Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’, Madinah , 1420 H

Qamarudin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-
Quran, Bandung: CV. Diponegoro, 1992

Sayid Al-Qutub. Tafsir fii Dzhilal Al-Qur'an. Beyrut: Darul Asy-Syuruf.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid AnNur, Cet Ke-II
Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra Semarang, 1995

Tubagus Najib al-Bantani, Al-Qur’an Mushaf Al-Bantani Serang: Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, 2012

Tubagus Najib al-Bantani, Al-Qur’an Mushaf Al-Bantani Serang: Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, 2012

Wahbah Al-Zuhaeli. Tafsir Munir. Damasqus: Darul Fikri. 1991

Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir Jilid 3 (Juz 5-6), terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:
Gema Insani, 2016

44

Anda mungkin juga menyukai