Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN HASIL PRAKTEK KEBIDANAN PUBLIK

DI RSUD Drs. H.AMRI TAMBUNAN

Disusun Oleh :
1. SAMETA MARGARETHA Br. Barus (P075241200)
2. DELLA MARISSCA GINTING (P075241200)
3. VINADYA ANGELICA HUTAGALUNG (P0752410092)
4. SEFINA ANNISA KELIAT (P075241200)
5. AMELLINI PRATIWI (P075241200)

Dosen Pembimbing :

SUKAISI, S.SiT, M.Biomed


NIP. 197603062001122004

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI MEDAN


PRODI D-III KEBIDANAN MEDAN
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur tak lupa dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dankarunia-Nya, sehingga mulai dari kegiatan praktek komunitas lapangan (PKL) sampai
dengan penyusunan laporan semuanya dapat berjalan dengan baik dan tepat waktu tanpa ada
hambatan-hambatan yang prinsip.
Kegiatan praktik komunitas merupakan suatu rangkain tugas dalam perkuliahan
yangwajib bagi semua mahasiswa yang akan menempuh pendidikan diploma untuk
dilaksanakan.Bentuk paktik ini pula merupakan bekal ilmu bagi setiap mahasiswa dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat suatu ketika bekerja dilapangan. Praktik
komunitas kebidanan ini merupakan suatu pengalaman belajar yang terarah dan terpadu
kepada mahasiswa agar tidak hanya mengaplikasikan ilmunya di puskesmas, RS melainkan
juga dimasyarakat.
Namun tidak terlepas dari hal itu, sebagai mahasiswa praktik saya dituntut pula agar
mampu melaporkan segala bentuk kegiatan di lapangan secara baik dan benar. Oleh karena
itu,laporan kegiatan ini disusun sebagai bukti dalam mempertanggungjawabkan kegiatan
PKL dilapangan maupun untuk memenuhi tugas perkuliahan.
Sementara terlaksananya laporan ini tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak. Sehingga pada kesempatan ini, saya tidak lupa mengucapkan terima kasih serta
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Dra. Ida Nurhayati, M.Kes selaku Direktur Poltekes Kemenkes Medan yang
telah mengijinkan kami untuk menempuh pendidikan DIII Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Medan
2. Ibu Betty Mangkuji, SST, M.Kes selaku Ketua Jurusan Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Medan
3. Ibu Arihta Sembiring, SST, M.Kes selaku Ketua Program Studi Poltekkes
Kemenkes Medan
4. Seluruh Dosen Jurusan Kebidanan

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih banyak kekurangan
sehinggasangat diharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan.
Semoga laporanini dapat dimanfaatkan bagi pembaca umum dan Mahasiswi khususnya
Program StudiKebidanan.
Sabtu, 29 Oktober 2022

Mahasiswi Poltekkes Kemenkes Medan

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...2
DAFTAR ISI………………………………………………………………...…...3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..4
1.1.Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………….4
1.2.Rumusan Masalah……………………………………………………………………………………………….…..6
1.3.Tujuan ………………………………………………………………………………………………………………………7
1.4.Manfaat…………………………………………………………………………………………………………………….8

BAB II TINJAUAN TEORI……………………………………………………...8


2.1. A. Pengertian Epilepsi………………………………………………………..8
2.2. B. Anatomi dan Fisiologi……………………………………………………..9
2.3. C. Patofisiologi………………………………………………………………14
2.4. D. Epidomologi ……………………………………………………………...20
2.5. E. Etiologi……………………………………………………………………21
BAB III LAPORAN KASUS ASUHAN KEBIDANAN…………………………………………………..34
A. Identitas Pasien…………………………………………………………………………………………………………..34
B. Anamnesis Pasien……………………………………………………………………………………………………….34
C. Pemeriksaan fisik pasien…………………………………………………………………………………………….34
D. Status Generalis………………………………………………………………………………………………………...35
E. STATUS NEUROLOGIS…………………………………………………………………………………………….…..35
F. Resume………………………………………………………………………………………………………………….……36
F. Pelaksanaan………………………………………………………………………………………………………….…….37
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………………………………………………….………38
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………….…………38
4.2. Saran…………………………………………………………………………………………………………….………….38
BAB V DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………….………….39

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan suatu manifestasi gangguan fungsi otak dengan

berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang

lebih dari 24 jam yang diakibatkan oleh lepasnya muatan listrik neuron otak

secara berlebihan dan paroksismal serta tanpa provokasi (Engel et al., 2008).

Epilepsi terjadi karena dipicu oleh adanya abnormalitas aktivitas listrik di

otak yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan spontan pada gerakan

tubuh,fungsi, sensasi, kesadaran serta perilaku yang ditandai dengan kejang

berulang (WHO, 2010). Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa

memandang tingkatan usia, gender, ras, sosial dan ekonomi (Hawari,2010).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2003 sekitar 50

juta orang di seluruh dunia terutama anak – anak dan orang tua mengalami

bangkitan epilepsi. Minimal 250 juta orang di prediksi akan mengalami

bangkitan kejang setidaknya satu kali selama hidup mereka, dan setiap

tahunnya terdapat 2,4 juta kasus baru epilepsi.

Epilepsi di Amerika Serikat terjadi pada 6 sampai 7 per 1000 populasi.

Di perkirakan terdapat 40 sampai 50 kasus baru per 100.000 penduduk setiap

tahunnya(Shaefer et al., 2007). Indonesia merupakan negara yang masih

berkembang dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta. Kasus epilepsi di

Indonesia terhitung tinggi yakni sekitar 1,8 juta pasien, dengan angka

kejadian aktif 8,2 per 1000 penduduk dan insidensi 50 per 10.000 penduduk

(PERSI, 2011).

Di Indonesia epilepsi lebih dikenal masyarakat dengan sebutan ayan

4
atau sawan yang di sebabkan oleh pengaruh roh jahat, guna – guna, atau

bahkan dianggap sebagai suatu kutukan (Hawari, 2010).

Terdapat dua faktor pencetus epilepsi yakni faktor internal seperti

stres, kelelahan, kurang tidur, siklus menstruasi dan faktor eksternal seperti

alkohol berlebih, cahaya tertentu, mandi (Kasteleijnet al., 2012 ).

Stres merupakan suatu usaha dari tubuh untuk menyesuaikan diri baik

secara fisik maupun jiwa dengan keadaan sekitarnya, apabila tidak dapat

mengatasinya maka akan timbul gangguan jasmani, perilaku maupun

gangguan jiwa (Maramis, 2010). Mediator stres seperti corticotropin-

releasing hormone, corticosteroids, dan neurosteroids berkonstribusi

terhadap patogenesis epilepsi (Joels, 2009).

Penelitian Tripathi et al di India pada tahun 2013 dilaporkan bahwa

stres sebagai faktor pencetus bangkitan epilepsi menempati urutan kedua

setelah faktor putus obat (40,9 %) yakni sebanyak 31,3 %.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 oleh Pinikahana dan Dono

di Australia dari 600 peserta dimana hanya 309 yang mengembalikan

kuesioner (51,5 %). Sebanyak 89, 8 % melaporkan bahwa pencetus bangkitan

adalah stres, kelelahan serta kurang tidur.

Penelitian yang dilakukan di USA tahun 2003 mendapatkan hasil yang

berbeda dari penelitian – penelitian sebelumnya ,dari 143 pasien epilepsi

rawat jalan didapatkan bahwa hanya 10 % pasien yang stress dan mengalami

serangan epilepsi. Dari penelitian tersebut di simpulkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara stres dengan seranganepilepsi (Attarian,et al

2003).

Di Indonesia tidak ditemukan adanya penelitian yang serupa, namun

5
di dapatkan penelitian yang dilakukan oleh Iqbal et al padatahun 2006 bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara derajat keparahan epilepsi dengan

timbulnya gejala kecemasan pada pasien.

Data epidemiologis mengenai stres merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya serangan epilepsi sangat berguna dalam pengelolaan epilepsi baik

di klinik maupun di masyarakat. Namun, penelitian mengenai hal tersebut

belum dilakukan di Indonesia.

Stres menjadi faktor pencetus serangan epilepsi masih mengalami

kontroversi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana

hubungan antara stres dengan serangan pada pasien epilepsi di Poliklinik

Anak RSUD Dr. H. AMRI TAMBUNAN

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

1. Epilepsi merupakan masalah kesehatan yang memiliki angka kejadian

yang masih tinggi di seluruh dunia.

2. Hubungan antara stres dengan serangan epilepsi masih menjadi

kontroversi.

3. Stres merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya

serangan pada pasien epilepsi.

4. Belum ada penelitian sebelumnya di Poliklinik Anak RSUD Dr. H. AMRI


TAMBUNAN

mengenai hubungan antara stres dengan serangan


6
pada pasien epilepsi.

Maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut “Apakah terdapat

hubungan antara stres dengan serangan pada pasien epilepsi dipoliklinik Anak

RSUD Dr. H. AMRI TAMBUNAN?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stres dengan serangan

pada pasien epilepsi di Poliklinik Anak RSUD Dr. H. AMRI TAMBUNAN

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi serangan

pada pasien epilepsi.

b. Untuk mengetahui seberapa besar stres berpengaruh terhadap

serangan pada pasien epilepsi.

c. Untuk mengetahui mekanisme stres dapat menimbulkan serangan

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai

hubungan antara stres dengan serangan pada pasien epilepsi di Poliklinik

Anak RSUD DR. H. AMRI TAMBUNAN

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi peneliti

1. Sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menyelesaikan

pendidikan program studi sarjana kedokteran.

2. Menambah pengetahuan tentang hubungan anatara stres dengan

serangan pada pasien epilepsi di Poliklinik Anak RSUD DR. H. AMRI TAMBUNAN

b. Manfaat bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa stres

merupakan salah satu faktor risiko terhadap terjadinya serangan

epilepsi.

c. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan

informasi baru mengenai stres dapat mempengaruhi serangan pada

pasien epilepsi, serta memberikan konstribusi dalam perkembangan

ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, berkaitan dengan penyakit

epilepsi.

8
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Epilepsi

2.1.1 Pengertian Epilepsi

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani, Epi yang berarti atas dan Lepsia dari

kata Lambanmein yang berarti serangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi

pada mulanya memiliki arti serangan dari atas. Banyak orang menganggap bahwa

epilepsi adalah penyakit kutukan dari surga. Ribuan tahun lalu, masyarakat Babilonia

dan Romawi Kuno meyakini bahwa kejang terjadi karena adanya roh jahat yang

merasuki tubuh seseorang dan akan menular jika menyentuhnya.8 Namun kemudian

Hippocrates membantah keyakinan itu dengan menulis buku mengenai epilepsi,

bahwa epilepsi bukanlah penyakit karena gangguan roh jahat atau kekuatan nabi

melainkan karena adanya gangguan pada otak.10

Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang bisa terjadi pada

segala usia terutama pada usia anak.1 Epilepsi merupakan manifestasi gangguan

fungsi otak dengan gejala yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan

listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal. Epilepsi ditandai dengan

sedikitnya 2 kali atau lebih kejang tanpa provokasi dengan interval waktu lebih dari

24 jam.

9
Deteksi yang terlambat dan tatalaksana yang tidak tepat akan menunjukkan

prognosis yang buruk dan dapat berakhir pada epilepsi intraktabel. Keadaan ini tidak

hanya berdampak pada segi medis tetapi juga berdampak pada neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan sosial.4

Epilepsi intraktabel merupakan keadaan dimana pasien telah mengonsumsi 2

atau lebih obat anti epilepsi (OAE) secara teratur dan adekuat selama 2 tahun tetapi

tidak menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang.

Kejang merupakan ciri yang harus ada pada epilepsi, tetapi tidak semua

kejang dapat di diagnosis sebagai epilepsi.4 Kejang epilepsi harus dibedakan dengan

sindrom epilepsi. Kejang epilepsi yaitu timbulnya kejang akibat berbagai penyebab

yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri.4 Sedangkan sindroma epilepsi

adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang

berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,

kronisitas.11

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Otak merupakan salah satu organ vital pada tubuh yang berfungsi mengatur

segala aktivitas manusia. Otak memiliki struktur yang relatif kecil dengan berat 1400

gram dan merupakan 2% dari berat badan. Terbagi menjadi 3 subdivisi yaitu

cerebrum, truncus encephali (batang otak), dam cerebellum.

Cerebrum merupakan bagian terbesar otak yang terdiri dari 2 hemisfer, yaitu

hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinalis. Cerebrum tersusun

dari

9
korteks.12 Satu rigi lipatan korteks disebut gyrus cerebri, sedangkan parit yang

memisahkan gyrus cerebri disebut sulcus cerebri. Berdasarkan gyrus cerebri dan

sulcus cerebri yang konstan maka cerebrum dibagi menjadi 4 lobus besar, yaitu lobus

frontalis, lobus temporalis, lobus parientalis, dan lobus occipitalis.

Lobus frontalis berperan sebagai pusat intelektual yang lebih tinggi, seperti

kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat

penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunteer

di gyrus presentralis (area motor primer) dan terdapat area asosiasi motorik (area

premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus

ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, motivasi dan inisiatif.13

Lobus temporalis terletak disebelah ventral sulcus lateralis dan pada

permukaan lateralnya terdapat 3 gyrus yang membentang miring, yaitu gyrus

temporalis superior, gyrus temporalis medius, dan gyrus temporalis inferior. Pada sisi

dalam dari sulcus lateralis terdapat beberapa lipatan pendek miring disebut gyrus

temporalis transversi dari Heschl yang merupakan cortex auditoris primer (pusat

pendengaran). Facies inferior lobus temporalis terletak pada fossa cranii media. Pada

daerah ini didapatkan gyrus temporalis inferior, gyrus occipitotemporalis dan gyrus

parahippocampalis. Bagian rostral gyrus parahippocampalis, uncus dan stria olfactoria

lateralis membentuk lobus pyriformis yang merupakan cortex olfactorius primer

(pusat penghidu). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal,

pendengaran, dan penghidu. Pada lobus temporalis terdapat hippocampus yang

berfungsi sebagai pusat memori. Berdasar beberapa penelitian hippocampus

berkaitan erat dengan kejadian epilepsi.

10
Hippocampal Sclerosis merupakan keadaan patologis yang paling sering dikaitkan

dengan kejadian Mesial Temporal Lobe Epilepsy (MTLE).15

Lobus parietalis terdapat tiga bagian, yaitu gyrus postcentralis, lobulus

parietalis superior, dan lobulus parietalis inferior. Sisi posterior dari sulcus sentralis

dan gyrus postcentralis merupakan area somesthetica primer, yang merupakan daerah

pusat rasa taktil dari reseptor superficial dan profunda seluruh tubuh. Pada lobulus

parietalis inferior teradapt region untuk proses pemahaman dan interpretasi signal

sensorik.

Lobus occipitalis merupakan lobus kecil yang bersandar pada tentorium

cerebelli. Pada lobus occipitalis terdapat cortex visual primer (pusat penglihatan).

Korteks visual dari setiap hemisfer menerima impuls visual dari retina sisi temporal

ipsilateral dan retina sisi nasal kontralateral dimana menangkap persepsi separuh

lapangan pandang kontralateral.

Gambar 1. Bagian Otak

11
Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon (otak

tengah). Medulla oblongata merupakan pusat refleks organ vital tubuh berfungsi

mengatur sistem respirasi, sistem kardiovaskular, sistem digestivus, serta fungsi

refleks lainnya.16 Pons berperan sebagai penghubung jaras kortikoserebralis yang

menyatukan hemisfer serebri dan cerebellum. Pada pons terdapat nukelus dari

beberapa saraf kranial serta neuron yang menghantarkan sinyal dari korteks serebri ke

serebellum. Sehingga kerusakan/lesi pada pons dapat menimbulkan disfungsi

serebellum, gangguan sensorik dan motorik serta gangguuan pada saraf kranial

tertentu.17 Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi

apendikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat

stimulus refleks pendengaran (menggerakkan kepala kearah datangnya suara).

Terdapat pula neuron untuk pengendalian dan koordinasi gerakan penglihatan.

Serebellum terletak di fossa cranii posterior. Secara anatomi tersusun dari 1

vermis serebelli dan 2 hemisfer serebelli. Serebellum bekerja dengan memperhalus

gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan

keseimbangan dan sikap tubuh. Sebab itu, sebellum disebut sebagai pusat koordinasi

dan keseimbangan tubuh manusia.

Otak manusia tersusun dari kurang lebih 100 milyar sel saraf otak. Antar sel

saraf berkomunikasi melalui mekanisme perantara listrik dan kimiawi.20 Otak terdiri

dari 2 jenis sel yaitu neuron dan sel glia, dimana neuron berfungsi menghantarkan

sinyal listrik, sedangkan sel glia berfungsi menunjang dan melindungi neuron. Otak

12
menerima 17% dari cardiac output dan menggunakan 20% total oksigen tubuh untuk

metabolisme aerobik otak.21

Sel saraf berfungsi untuk menerima, menginterpretasi, dan mentransmisikan

sinyal listrik. Listrik dalam digunakan untuk mengontrol saraf, otot, dan organ.

Dendrit merupakan bagian neuron yang berfungsi menerima informasi dari

rangsangan atau dari sel lain. Pada dendrit terdapat multisensor yang kemudian akan

mengubah segala rangsangan menjadi sinyal listrik. Setelah dikelola, akson akan

menghantarkan sinyal listrik dari badan sel ke sel lain atau ke organ melalui terminal

akson.22

Di seluruh membran neuron terdapat beda potensial (tegangan) yang

disebabkan adanya ion negatif yang lebih didalam membran daripada di luar

membran. Keadaan ini neuron dikatakan terpolarisasi. Bagian dalam sel biasanya

mempunyai tegangan 60-90 mV lebih negatif di banding bagian luar sel. Beda

potensial ini disebut potensial istirahat neuron. Ketika ada rangsangan, terjadi

perubahan potensial sesaat yang besar pada potensial istirahat di titik rangsangan,

potensi ini di sebut potensial aksi. Potensial aksi merupakan metode utama transmisi

sinyal dalam tubuh. Stimulasi dapat berupa rangsang listrik, fisik dan kimia seperti

panas, dingin, cahaya, suara, dan bau. Jika ada impuls, ion-ion Na+ akan masuk dari

luar sel kedalam sel. Hal ini menyebabkan dalam sel menjadi lebih positif dibanding

luar sel, dan potensial membrane meningkat, hal ini disebut depolarisasi.23 24

13
Gambar 2. Skema Neuron

2.1.3 Patofisiologi

Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di

otak. Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang

menyebabkan inhibisi dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya

ketidakseimbangan faktor inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.

Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak

Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat

kejang. Sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut

sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan

yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat kejang, tetapi tidak dapat

untu mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi kejang.

14
Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasilkan oleh ikatan

molekul pada reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion

Ca dan tertutupnya saluran ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi.

Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic Potentials (IPSs) disebabkan

karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang

akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membran

Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromedulator,

akan tetapi reseptor glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti

untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan inhibitor utama neurotransmitter pada

susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Semua

struktur otak depann menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan

fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi,

kegagalan fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.

2. Mekanisme sinkronisasi

Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf

berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan

sejumlah besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik

yang abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan

disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya akan

terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.

15
3. Mekanisme epileptogenesis

Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma,

neurotoksin dan trauma lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel

tertentu. Bila sel ini mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan

tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang

sembuh cenderung untuk mudah terangsang.

4. Mekanisme peralihan interiktal-iktal

Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran

aktivitas sel saraf termasuk kedala teori transisi interiktal0-iktal. Dari berbagai

penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari

beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori mengenai

transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan sinaptik. Pada

nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interikta yang berulang menyebabkan

peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat.

Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal.

Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan kegagalan pompa Na-K sehingga

meningkatkan transisi interiktal-iktal.

Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas

mekanisme inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat

mencetuskan epilepsi.

16
5. Mekanisme neurokimiawi

Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada

sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya

faktor tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia

seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamate yang merupakan

neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat beberapa produk kimiawi

lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang dapat

menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat

menurunkan ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan

pengaturan pompa ionic juga ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa

zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide

gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan

aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada

dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel.

Asam kainat terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor

excitatory amino acid (EAA).

17
2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE)

2017, sebagai berikut: 5

Tabel 2. Klasifikasi Tipe Kejang Epilepsi

No Klasifikasi Tipe Kejang Epilepsi

1 Kejang Fokal  Kesadaran baik  Motorik


 Kesadaran Otomatisasi
terganggu Atonik
Klonik
Spasme epileptik
Hiperkinetik
Myoklonik
Tonik
 Non motorik
Otonomik
Perubahan perilaku
Kognitif
Emosional
Sensorik
 Fokal ke
bilateral tonik
klonik
2 Kejang Umum  Motorik
Tonik klonik
Klonik
Tonik
Myoklonik
Myoklonik-tonik-klonik
Myoklonik-atonik
Atonik
Spasme epileptik
 Non Motorik
Tipikal
Atipikal
Myoklonik
Myoklonia kelopak mata

18
3 Kejang tidak  Motorik
diketahui Tonik klonik
Spasme epileptik
 Non motorik
Perubahan perilaku
Tidak terklasifikasi

Tabel 3. Klasifikasi Tipe Epilepsi

No Klasifikasi Tipe Epilepsi

1 Epilepsi fokal Titik asal meliputi satu hemisfer serebri

2 Epilepsi umum Titik asal meliputi dua hemisfer serebri

3 Kombinasi fokal dan umum Dravet Syndrome

4 Tidak diketahui Tidak termasuk dalam klasifikasi tipe

epilepsi manapun

Tabel 4. Klasifikasi Etiologi Epilepsi

Klasifikasi Etiologi Epilepsi

 Struktural  Metabolik

 Genetik  Imun

 Infeksi  Tidak diketahui

19
2.1.5 Epidemiologi

Epilepsi merupakan kelainan neurologi kronik dan bisa terjadi pada semua

usia, terutama pada anak anak dan lansia (di atas 65 tahun). Berdasar data, 65%

pasien memiliki onset epilepsi pada usia kanak-kanak. 4-10% anak mengalami

setidaknya satu kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Dimana ada di

antaranya yang berkembang menjadi epilepsi.

Saat ini sekitar 50 juta jiwa di dunia mendeita epilepsi. Setiap tahun sekitar

sekitar 2,4 juta jiwa terdiagnosis epilepsi. Perkiraan proporsi populasi dengan epilepsi

aktif (kejang terus menerus atau dengan butuh pengobatan) pada waktu tertentu

adalah 4-10 per 1000 penduduk. Namun, pada beberapa studi menunjukkan bahwa

pada negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki proporsi yang lebih

tinggi yaitu 7-14 per 1000 penduduk. Hampir 80% penderita epilepsi tinggal di

negara dengan penghasilan rendah dan menengah.2

Di Indonesia, belum terdapat studi insidensi dan prevalensi yang pasti untuk

mengetahui jumlah penderita epilepsi anak. Namun, diperkirakan prevalensi epilepsi

di Indoensia adalah 5-10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000

orang per tahun.3 Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo Jakarta terdapat sekitar 175 – 200 pasien baru per tahun dan

terbanyak pada kelompok usia 5-12 tahun. 29

Epilepsi menyumbang 0,6% dari beban penyakit global. Epilepsi memiliki

implikasi ekonomi yang signifikan dalam hal kebutuhan perawatan kesehatan,

kematian dini, dan produktivitas kerja yang hilang.30

20
2.1.6 Etiologi

Etiologi epilepsi adalah multifaktorial, menurut klasifikasi ILAE 2017

etiologi dibagi menjadi struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun, dan tidak

diketahui.

Secara garis besar penyebab epilepsi di bagi menjadi dua, yaitu struktural dan

non struktural. Etiologi struktural merupakan penyebab epilepsi yang ditandai dengan

adanya kelainan anatomi otak atau adanya lesi pada otak. Kelainan pada otak dapat

terjadi karena adanya trauma kepala, trauma persalinan, demam tinggi, stroke,

intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskular tertentu, gangguan keseimbangan

eletrolit, infeksi, dan reaksi alergi. Sedangkan etiologi non struktural merupakan

penyebab yang tidak didapatkan kelainan pada otak bahkan penyebab yang tidak

diketahui.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

umum dan neurologis, serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan EEG.

a. Anamnesis

Anamnesis pada pasien epilepsi harus dilakukan secara cermat dan

komprehensif karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan

kejang yang dialami pasien. Informasi mengenai kejadian sebelum, selama,

dan sesudah kejang merupakan hal penting untuk di perhatikan. Anamnesis

dapat berupa autoanamnesis dan aloanamnesis. Pada pasien anak,

aloanamnesis lebih sering dilakukan.

21
Anamnesis meliputi sacred seven dan fundamental four

1. Gejala utama

2. Onset, waktu pertama saat serangan kejang terjadi

3. Kronologi, diminta menceritakan awal mula terjadinya serangan kejang

4. Kualitas, dapat digali informasi mengenai tipe/pola serangan kejang

5. Kuantitas, derajat frekuensi dan durasi kejang

6. Faktor yang memperberat dan memperingan, dapat ditanyakan

adakah faktor pencetus dalam terjadinya kejang

7. Gejala penyerta, adakah gejala lain yang menyertai selain serangan

kejang

8. Riwayat penyakit sekarang, adakah penyakit lain yang diderita

pasien pada saat ini

9. Riwayat penyakit dahulu, adakah riwayat panyakit dahulu yang

pernah di derita pasien, riwayat kehamilan, persalinan,

perkembangan

10. Riwayat penyakit keluarga, adakah anggota keluarga lain yang

memiliki gejela yang sama dengan pasien

11. Riwayat sosial ekonomi, dapat ditanyakan mengenai lingkungan

dan pola hidup pasien sehari-hari.

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

1. Menilai tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan

epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital, ganngguan

neurologi fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.

22
Untuk pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya

keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara

anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak

unilateral.

2. Pemeriksaan saraf kranialis ( N.I-XII)

3. Pemeriksaan fungsi sensorik

4. Pemeriksaan fungsi motorik

5. Pemeriksaan refleks khusus

6. Pemeriksaan fungsi luhur

Pemeriksaan neurologi dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan

neurologi yang menyertai epilepsi.31

c. Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang sering di

lakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat 2 bentuk kelainan

dalam EEG, kelainan fokal pada EEG meunjukkan adanya lesi struktural pada

otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.32

Hasil EEG dikatakan abnormal apabila :

1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama

di kedua hemisfer.

2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya.

23
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku-

majemuk, dan adanya gelombang yang melambat.

Namun sekitar 10-40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran

EEG yang abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan atau tidak

khas dapat dijumpai pada 15% populasi normal.

d. Neuroimaging

Neuroimanging merupakan pemeriksaan radiologi untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering dilakukan

adalah CT Scan dan MRI. MRI akan menunjukkan hasil yang lebih rinci,

bermanfaat untuk membandingkan hippocampus kanan dan kiri.

2.1.8 Tatalaksana

a. Tatalaksana saat kejang

Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi

yang adekuat dan mengakhiri kejang sesegera mungkin. Yang pertama dapat

diberikan saat kejang adalah diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat

badan <10 kg atau 10 mg bila berat badan anak >10kg. Jika masih kejang

dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat dan sama.

Jika setelah pemberian 2 kali diazepam, namun masih tetap kejang sesegera

mungkin di bawa ke rumah sakit.

24
b. Terapi medikamentosa

Tabel 6. Antiepilepsi pada anak berdasar tipe kejang34

Tipe Kejang OAE lini pertama

Penyebab genetik

- Myoklonik, tonik klonik umum - Asam valproate,

lamotrigine, levetiracetam,

topiramate, zonisamide,

- Epilepsi genetic dengan kejang benzodiazepine

febrile - Levetiracetam, lamotrigine,

asam valproat

Umum, struktural atau penyebab tidak

diketahui

- Lennox-Gastaut, myoklonik atonik -Asam valproate, lamotriginem

topiramate, clobazam, rufinamide

Fokal, struktural/metabolic, penyebab tidak

diketahui -Carbamazepine, oxcarbazepine,

levetiracetam, asam valproate

West syndrome

ACTH, Prednisolone dosis tinggi,

Dravet syndrome vigabatrin

Asam valproate, benzodiazepine,

tpiramate, stiripentol

25
c. Terapi bedah

Intervensi bedah di indikasikan pada pasien anak yang telah

mengonsumsi OAE selama 18 bulan secara teratur dan adekuat namun tidak

menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang atau respon pengobatan

terhadap OAE yang buruk. Hal itu disebut sebagai epilepsi intraktabel.7

Pada penderita epilepsi, terapi bedah dilakukan dengan memotong

bagian otak yang menjadi fokus sumber serangan epilepsi. Berikut adalah

jenis terapi bedah epilepsi berdasarkan letak fokus:

- Lobektomi temporal
- Eksisi korteks ekstratemporal
- Hemisferektomi
- Callostomi

2.1.9 Faktor Risiko Epilepsi Intraktabel

a. Jenis kelamin
Pada beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa pria lebih berisiko

daripada wanita terhadap kejadian epilepsi intraktabel.

b. Usia onset epilepsi


Semakin muda usia saat di diagnosis epilepsi maka risiko terjadinya

epilepsi intraktabel semakin besar.

26
c. Keterlambatan perkembangan

Keterlambatan perkembangan sering di jumpai pada anak penderita

epilepsi, namun tidak semua terjadi keterlambatan perkembangan. Jika hal itu

di temukan maka risiko terjadinya epilepsi intraktabel semakin tinggi.9

Keterlambatan perkembangan dapat di ukur menggunakan skala KPSP

yang kemudian hasilnya di sesuaikan dengan usia anak.37

d. Abnormalitas pemeriksaan neurologi

Pemeriksaan neurologi yang dilakukan meliputi pemeriksaan saraf

kranialis, pemeriksaan sensorik, pemeriksaan motorik, pemeriksaan fungsi

luhur, dan pemeriksaan refleks khusus. Jika pada salah satu pemeriksaan

ditemukan hasil yang abnormal maka risiko terjadinya epilepsi intraktabel

semakin tinggi. 9

Adanya abnormalitas pada pemeriksaan neurologi berhubungan

dengan etiologi epilepsi struktural, yaitu adanya kelainan/lesi di otak.

e. Komplikasi perinatal

Adanya komplikasi perinatal sehingga harus di lakukan penanganan

khusus (rawat inap), seperti asfiksia, berat badan lahir rendah, kelahiran

premature atau postmatur, partus lama, persalinan denga alat menambah

besarnya risiko kejadian epilepsi intraktabel.

Asfiksia akan menimbulkan lesi pada hippocampus dan selanjutnya

akan menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia perinatal akan terjadi

hipoksia dan iskemia di jaringan otak, keadaan ini dapat menimbulkan

27
bangkitan epilepsi. Frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia

janin, dan lamanya asfiksia berlangsung.

BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500

gram. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan iskemia pada otak.

Selain itu pada bayi BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu

hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan

otak pada periode perinatal.

Bayi prematur adalah yang lahir kurang dari usia 37 minggu. Pada

keadaan ini, perkembangan organ tubuh belum sempurna terutama pada

sistem pernapasan. Bayi sering menderita apnea, asfiksia berat sehingga

menjadi hipoksia. Hai ini menyebabkan alira darah ke otak bertambah, bila

sering timbul dan tiap serangan lebihh dari 20 detik kemungkinan kerusakan

otak permanen lebih besar. Daerah yang retan kerusakan adalah daerah

hipokampus.

Bayi postmatur atau lahir lebih dari 42 minggu juga memiliki risiko

yang sama. Hal itu karena adanya penuaan plasenta yang membuat suplai

nutrisi dan oksigen berkurang untuk janin.

Partus lama juga akan meningkatkan risiko kejadian cidera mekanik

pada kepala bayi dan hipoksia pada bayi. Manifestasi dari cidera mekanik

pada kepala bayi dapat berupa epilepsi.

Proses pesalinan dengan alat dapat meningkatkan risiko trauma

mekanik pada kepala janin, hal ini dapat menyebabkan perdarahan subdural,

subaraknoid dan perdarahan intraventrikuler. Cidera akibat kompresi kepala

28
dapat mengakibatkan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan dan udem

otak. Manifestasi yang dapat terjadi adalah epilepsi intaktabel.38

f. Riwayat kejang demam

Kejang demam merupakan salah satu faktor postnatal yang dapat

mempengaruhi kejadian epilepsi intraktabel. Berikut kemungkinan

mekanisme terjadinya epilepsi karena pengaruh faktor kejang demam:38

1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan

kerusakan DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut.

Jaringan parut ini dapat menghambar proses inhibisi. Hal ini akan

mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi sehingga mempermudah

timbulnya kejang.

2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan binding effect sehingga

rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.

3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengaibatkan jaringan

ptak mengalami sclerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.

4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zt toksik

berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan

kerusakan neuron.

5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya

glukosa, oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel,

akhirnya neuron menjadi rusak.

29
g. Riwayat status epilepticus

Status epilepticus merupakan keadaaan dimana kejang terjadi selama

lebih dari 30 menit terus menerus dan diantara dua kejang terjadi penurunan

kesadaran.39 Mekanisme status epilepsticus sehingga berpengaruh pada

kejadian epilepsi intraktabel hampir sama dengan mekanisme kejang demam,

demam yang terus menerus yang dapat menyebabkan kerusakan otak.

h. Riwayat genetik keluarga garis pertama

Faktor genetik memiliki pengaruh yang penting pada kejadian epilepsi

intraktabel. Anak yang mempunyai ayah dan ibu penyandang epilepsi

memiliki risiko 5 kali lebih bessar dari anak yang ayah dan ibu bukan

penyandang epilepsi. Jika hanya ibu yang menyandang epilepsi maka risiko

pada anak laki- lakinya 2,9% dan risiko pada anak perempuannya 2,3%.

Apabila ayahnya yang menyandang epilepsi, maka risiko epilepsi bagi anak

anaknya adalah anak laki- laki 1,1% dan anak perembuan 0,6%.38

i. Tipe kejang multipel

Tipe kejang multipel di tandai dengan lebih dari 1 tipe kejang pada

saat serangan epilepsi. Tipe kejang yang berbeda pada tiap serangan epilepsi

ini merupakan faktor yang dapat mempengruhi pada kejadian epilepsi

intraktabel.9

30
2.2 Kerangka Teori

Epilepsi pada pasien anak Jenis Kelamin

Usia onset epilepsi

Komplikasi Perinatal

Terapi OAE secara teratur dan adekuat


selama 18 bulan Etiologi

Keterlambatan
Perkembangan

Abnormalitas pemeriksaan
neurologi

Epilepsi Intraktabel pada pasien anak


Riwayat kejang demam

Riwayat epilepsi keluarga


garis pertama

Riwayat Status Epilepticus

Tipe kejang multiple

Gambar 3. Kerangka Teori

31
2.3 Kerangka Konsep

Jenis Kelamin

Usia onset epilepsi

Komplikasi Perinatal

Epilepsi pada pasien anak Etiologi

Keterlambatan
Perkembangan

Abnormalitas pemeriksaan
neurologi
Epilepsi Intraktabel pada
pasien anak
Riwayat kejang demam

Riwayat epilepsi keluarga


garis pertama

Riwayat Status Epilepticus

Tipe kejang multiple

Gambar 4. Kerangka Konsep

32
2.4 Hipotesis

Kejadian epilepsi intraktabel dipengaruhi oleh faktor usia onset epilepsi, jenis

kelamin, keterlambatan perkembangan, abnormalitas pada pemeriksaan neurologi,

komplikasi perinatal, riwayat kejang demam, status epilepticus, etiologi, riwayat keluarga

garis pertama, dan tipe kejang multipel.

33
BAB III

LAPORAN KASUS ASUHAN KEBIDANAN

STATUS PASIEN DI RUANGAN POLI ANAK RUMAH SAKIT Dr. H. AMRI TAMBUNAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Alif alhafiz sudirja
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 2 Tahun
Tanggal lahir : 07 Februari 2020
Alamat : Jl bakti Gg ukir
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan : Belum skolah
Suku Bangsa : WNI
 No RM : 392658
Tanggal Kunjungan RS : 14 juni 2022
Poli : Anak

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
Anamnesis dilakukan pada hari Senin, tanggal 26,Oktober2022 pada pukul 10.10 WIB
Keluhan Utama Kejang 3x dirumah
Keluhan Tambahan Sakit Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dibawa keluarga dengan keluhan kejang yang dijumpai lima menit sebelum masuk
rs. Lama kejang diatas lima menit, kejang kaku seluruh tubuh . sebelumnya pasien kejang
dirumah sudah 3x dalam 6 jam terakhir. Lama kejang dibawa 10 menit. Riwayat demam tidak
dijumpai , sesak nafas disangksal. BAB dan BAK normal. Batuk berdahak dijumpai sudah sejak 1
bulan terakhir. Menurut keluarga 1 bulan terakhir pasien sering pilek pilek. BAB dan BAK normal.
Riwayat kontak dan perjalanan disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum Kesadaran : compos mentis –  tampak sakit ringan
Denyut nadi : 126 x/mnt
Frekuensi Nafas : 28 x /mnt
Suhu : 36,9oC
BB : 29 kg
TB : 115 cm

34
B. STATUS GENERALIS
Kepala Bentuk : normochepali, simetris
Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus dengan beberapa uban, distribusi merata, allopecia (-) 5
- Wajah : simetris, pucat (+), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 2 mm|2mm, RCL (+/+) RCTL (+/+)
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
- Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
- Gigi Mulut : Jumlah gigi 29, terdapat gigi tanggal incisivus 2 kanan bawah, karies gigi (-),
perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
- Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1 Leher
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
JVP : 5+2 cm H20 Thoraks
Paru Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-), deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri Batas
jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri Batas
jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-) 6 Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus 2x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen Ekstremitas - atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -
bawah : akral hangat (+/+), oedem (-/-) –

C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal : Kaku kuduk : - Brudzinsky 1 : - Brudzinsky 2 : -|-Laseque : >700|
>700 Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial : 1. N. I (Olfactorius ) Kanan Kiri Keterangan Daya pembau Dbn dbn Dalam batas
normal 2. N.II (Opticus) Kanan Kiri Keterangan Daya penglihatan Lapang pandang Pengenalan
warna Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dalam batas normal 7 3.N.
III (Oculomotorius) Kanan Kiri Keterangan Ptosis

35
Pupil Bentuk Ukuran akomodasi Refleks pupil Langsung Tidak langsung Gerak bola mata
Kedudukan bola mata (-) Bulat Φ2mm  baik (+) (+) Dbn ortoforia (-) Bulat Φ2mm  baik (+) (+) Dbn
ortoforia Dalam batas normal 4. N. IV (Trokhlearis) Kanan Kiri Keterangan Gerak bola mata Dbn
Dbn Dalam batas normal 5. N. V (Trigeminus) Kanan Kiri Keterangan Motorik Sensibilitas
Opthalmikus Maxilaris Mandibularis Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dalam batas normal 6.
N. VI (Abduscens) Kanan Kiri Keterangan Gerak bola mata Strabismus Dbn (-) Dbn (-) Dalam
batas normal 8 7. N. VII (Facialis) Kanan Kiri Keterangan Motorik Saat diam Mengernyitkan dahi
Senyum memperlihatkan gigi Daya perasa 2/3 anterior lidah simetris Dbn Dbn Dbn Tidak
dilakukan simetris Dbn Dbn Dbn Tidak dilakukan Dalam batas normal 8. N. VIII (Vestibulo-
Kokhlearis) Kanan Kiri Keterangan Pendengaran Tuli konduktif Tuli sensorieural Vestibular
Vertigo  Nistagmus (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Dalam batas normal 9. N. IX (Glossofaringeus) Kanan
Kiri Keterangan Arkus farings Daya perasa 1/3  posterior lidah Simetris Tidak dilakukan Simetris
Tidak dilakukan Dalam batas normal 10. N. X (Vagus) Kanan Kiri Keterangan Arkus farings
Disfonia Refleks muntah Simetris - Tidak dilakukan Simetris - Tidak dilakukan Dalam batas
normal 9 11. N. XI (Assesorius) Kanan Kiri Keterangan Motorik Menoleh Mengankat bahu Trofi
dbn dbn Eutrofi dbn dbn Eutrofi Dalam batas normal 12. N. XII (Hipoglossus) Kanan Kiri
Keterangan Motorik Trofi Tremor Disartri dbn eutrofi (-) (-) Dbn Eutrofi (-) (-) Dalam batas
normal 5) Sistem motorik  Kanan Kiri Keterangan Ekstremitas atas Kekuatan Tonus Trofi
Ger.involunter 5555  N Eu (-) 5555  N Eu (-) Dalam Batas Ekstremitas bawah  Normal Kekuatan
Tonus Trofi Ger.involunter 5555  N Eu (-) 5555  N Eu (-) 6) Sistem sensorik Sensasi Kanan Kiri
Keterangan Raba  Nyeri Suhu Propioseptif  baik  baik Tidak dilakukan Tidak dilakukan  baik  baik
Tidak dilakukan Tidak dilakukan Dalam batas normal 10 7) Refleks Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis Biseps Triseps Patella Achilles (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) Patologis Hoffman Tromer
Babinski Chaddock Openheim Gordon Schaeffer (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) Dalam batas
normal 8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan Jari
tangan –  jari tangan Jari tangan –  hidung Tumit –  lutut Pronasi –  supinasi Romberg test Baik
Baik Baik Baik Tidak dilakukan Baik Baik Baik Baik Tidak dilakukan 9) Sistem otonom Miksi : Baik
Defekasi : Baik Keringat : Baik 10)Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur 11) Vertebra :
tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan.

IV. RESUME.
Pasien datang dibawa keluarga dengan keluhan kejang yang dijumpai lima menit sebelum masuk
rs. Lama kejang diatas lima menit, kejang kaku seluruh tubuh . sebelumnya pasien kejang
dirumah sudah 3x dalam 6 jam terakhir. Lama kejang dibawa 10 menit. Riwayat demam tidak
dijumpai , sesak nafas disangksal. BAB dan BAK normal. Batuk berdahak dijumpai sudah sejak 1
bulan terakhir. Menurut keluarga 1 bulan terakhir pasien sering pilek pilek. BAB dan BAK normal.
Riwayat kontak dan perjalanan disangkal.

Riwayat kejang saat usia sekitar 10 tahun, namun hanya beberapa kali. Riwayat hipertensi dan
penyakit jantung. Kakak kandung pasien juga memiliki riwayat kejang berulang. Pasien telah
diberi obat carbamazepim untuk keluhan kejangnya. Pasien juga meminum obat antihipertensi
serta obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang meminum obat-obat tersebut.

36
Pada Pemeriksaan Fisik ditemukan : Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Kesadaran : Compos
Mentis Tanda vital : Tekanan darah : 140/80 mmHg Denyut nadi : 84x/mnt Frekuensi Nafas : 18x
/mnt Suhu : 36,3oC Status generalis : Dalam batas normal Status Neurologis : GCS E4V5M6
Tanda rangsang meningeal : negatif Saraf kranialis : baik Sistem motorik : 12 Lengan kanan/kiri :
5555/5555 Tungkai kanan/kiri : 5555/5555 Sistem sensorik : baik Refleks fisiologis : (+) Refleks
Patologis : (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA


a. Diagnosis klinis : Kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang
 b. Diagnosis Topis : Korteks serebri
c. Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum bangkitan umum tonik klonik.

VII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Pertolongan pertama Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas
tindakan apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
b. Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa membuka mulut
pasien.
2. Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan  berakibat
menimbulkan cedera.
c. Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
d. Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
e. Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah telungkup
untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan serta berikan bantalan di kepala
dengan sesuatu yang lunak.
f. Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi Setelah suatu serangan pasien harus ditemani
dan diberi dukungan hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya
dan  pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
3. Sabutamol 3x3 Phenobarbital 2x25 mg, Pulvis 13, Cotrimoxazole 2x1 sdt.

37
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang  berulang. Kejang
terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu. Gangguan ini dapat menyebabkan
perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi. Tidak semua kejang disebabkan
epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau
trauma kepala. Ada banyak tipe kejang pada epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang
parsial dan kejang umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh. Ada beberapa
komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden unexpected death in epilepsy.
Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih dari 30 menit tanpa adanya pemulihan
kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah kedaruratan medis pada kejang tonik klonik.
Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi. Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan
obat anti kejang. Hamper delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka
alami dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan
satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan
digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.

B. SARAN
1. Bagi pasien epilepsi Pasien epilepsi diharapkan mematuhi aturan minum obat yang telah
diberikan oleh dokter, disamping menghindari faktor-faktor pencetus yang menyebabkan
kekambuhan bangkitan kejang. Diharapakan dengan adanya kepatuhan minum obat anti epilepsi
yang baik, pasien dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik.

2. Bagi tenaga kesehatan Tenaga kesehatan khususnya dokter dapat memberikan edukasi yang
baik terhadap pasien epilepsi mengenai pentingnya kepatuhan minum obat anti epilepsi dan
efeknya bila tidak mematuhi pengobatan. Diharapkan pula dapat mengetahui faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi. Selain itu bagi para tenaga kesehatan di bidang
farmasi diharapkan dapat menjelaskan atau mengingatkan pasien mengenai aturan minum obat
yang diresepkan oleh dokter.

3. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih mengkaji lagi mengenai
faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi, seperti faktor
sosial ekonomi, derajat keparahan efek samping yang ditimbulkan dari OAE, dsb. Peneliti
selanjutnya juga dapat menilai kepatuhan minum obat dengan instrumen yang berbeda, seperti
penilain kepatuhan berdasarkan konsentrasi obat dalam serum darah. Selain itu penilaian kualitas
hidup dapat menggunakan kuesioner yang berbeda pula. Penelitian dapat juga dilakukan dengan
menggunakan angket yang dapat diisi sendiri oleh responden secara tertulis sehingga akan lebih
objektif.

38
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. . Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).  Pedoman
Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pedi atri c Neurology: Essentials for
General Practice. 1st ed. 2007 5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
5. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
6. Accessed on February 22th 2014 : http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-
anak/pahami-gejalaepilepsi-pada-anak-2
7. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and The rapy in Children and
Adults. 2 nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
8. P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 .
9. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -  Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4th  ed. USA: Blackwell Publishing. 200515.PERDOSSI. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P.  Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5 th ed. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.

39

Anda mungkin juga menyukai