PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
I. IDENTITAS PASIEN
Usia : 44 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan : SLTP
No RM : 0-21-21-60
Poliklinik : Saraf
2
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kejang 3 Bulan SMRS
Keluhan Tambahan
Sakit Kepala
3
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku kakak kandung pasien juga memiliki riwayat kejang
berulang, namun pasien tidak dapat menjelaskan tentang pola kejangnya.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku mengkonsumsi carbamazepim untuk keluhan kejangnya.
Pasien mengaku ketika terasa badan tidak enak terasa seperti akan kejang segera
meminum obat tersebut untuk mencegah terjadinya kejang, setelah minum obat pasien
mengaku menjadi tertidur. Pasien juga mengaku meminum obat antihipertensi serta
obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang meminum obat-obat
tersebut.
Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol. Pasien jarang berolahraga.
A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis – tampak sakit ringan
Tekanan darah : 140/80 mmHg,
Denyut nadi : 84 x/mnt, isi cukup, irama regular teratur, equal
Frekuensi Nafas : 18 x /mnt
Suhu : 36,3oC
BB : 60 kg
TB : 165 cm
BMI : 22, 03 (gizi cukup)
B. STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk : normochepali, simetri
Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus dengan beberapa uban, distribusi merata, allopecia (-)
4
- Wajah : simetris, pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 2 mm|2mm, RCL
(+/+) RCTL (+/+) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sekret (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
- Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
- Gigi Mulut : Jumlah gigi 31, terdapat gigi tanggal incisivus 2 kanan bawah,
karies gigi (-), perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
- Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
JVP : 5+2 cm H20
Thoraks
• Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-), deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
• Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea
midclavicularis
sinistra
Perkusi : batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)
5
Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus 2x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
- bawah : : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -
C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal :
Kaku kuduk :-
Brudzinsky 1 :-
Brudzinsky 2 : -|-
Laseque : >700 | >700
Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
2. N.II (Opticus)
6
3. N.III (Oculomotorius)
4. N. IV (Trokhlearis)
5. N. V (Trigeminus)
6. N. VI (Abduscens)
7
7. N. VII (Facialis)
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
9. N. IX (Glossofaringeus)
10. N. X (Vagus)
8
11. N. XI (Assesorius)
5) Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan 5555 5555
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-) Dalam Batas
Ekstremitas bawah Normal
Kekuatan 5555 5555
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)
6) Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba baik baik Dalam batas
Nyeri baik baik normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Propioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
9
7) Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)
Patologis
Hoffman Tromer
(-) (-)
Babinski (-) (-) Dalam batas
Chaddock (-) (-) normal
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
9) Sistem otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Keringat : Baik
1
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN
Pada os dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG. Hasil EEG pada pasien
ini tidak dibawa oleh pasien.
V. RESUME
11
Lengan kanan/kiri : 5555/5555
Tungkai kanan/kiri : 5555/5555
Sistem sensorik : baik
Refleks fisiologis : (+)
Refleks Patologis : (-)
VII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
• Pertolongan pertama
O Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan
apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
O Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa
membuka mulut pasien.
O Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan
berakibat menimbulkan cedera.
O Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
O Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
O Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi
setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan
serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak.
O Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
O Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan
hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan
pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
2. Medikamentosa
• carbamazepine 3x1
1
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
1
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
EPILEPSI
DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)
1
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan
usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan
kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi
otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
pada umur 5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena
birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :
1
• Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.
KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : 3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
• Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
• Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
1
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum
1
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai
beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan
bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.
Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah : 3
Fokal / Partial (localized related)
Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
Simtomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak – anak (Kojeniko o w’s Syndrome)
1
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik
1
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
2
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York :
Thieme.2000
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron – n euron tertentu pada
korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini
2
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
2
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
2
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur se
berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat m
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
2
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
“bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign
familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Voltage-gated
25
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A, Episodic ataxia tipe 2
CACNB4 Childhood absence epilepsy
ACNA1H
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin
CHRNB2, CHRNA4 Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi
pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures
plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.
2
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan
otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut
pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini
bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa
penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab
atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
GEJALA
Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
2
✓ Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak
dapat di jelaskan.
✓ Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
✓ Halusinasi
2
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
2
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang
memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan
otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan
tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat
setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan
3
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat
khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan
pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan
3
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.
3. Pemeriksaan penunjang
3
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
3
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
3
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frek
3
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa
potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan
SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan
bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai
penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif,
karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu
andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein
yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2
di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.
3
keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan
efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
aktivitas channel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
3
1. Syarat umum yang meliputi :
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. 11,12
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu
3
dari korteks ( Partial onset ) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized
onset ) - kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah
konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
✓ Tonik klonik
✓ Tonik
✓ Klonik
✓ Mioklonik
3
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan
status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang d
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.13,14
4
Status Epileptikus Refrakter
Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar
terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena
kegagalan dari OAE untuk mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak
tepat, ketaatan minum OAE , ataupun kesalahan pemberian atau perubahan dalam
formulasi.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor,
rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status
epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi
lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain
akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol,
atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas
kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
4
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
4
Pada : awal meni t
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah;
periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
4
BAB IV
KESIMPULAN
4
DAFTAR PUSTAKA