Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
 pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
 prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
 penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit
yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan
 penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga
sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan
sehari-hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk
menjauhi penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
 psikososial yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

I. IDENTITAS PASIEN

 Nama : Tn. Apon Sahadi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 44 tahun

Tanggal lahir : 4 September 1967

Alamat : Kampung Leuwi Bolang RT 003/004


Kelurahan Bantar Karet, Bogor, Jawa Barat

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak Bekerja

Pendidikan : SLTP

Suku Bangsa : WNI

 No RM : 0-21-21-60

Tanggal Kunjungan RS : 24 Februari 2014

Poliklinik : Saraf

2
II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Anamnesis dilakukan pada hari


Senin, tanggal 24 Februari 2014 pada pukul 13.10 WIB

Keluhan Utama
Kejang 3 Bulan SMRS

Keluhan Tambahan
Sakit Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang pasien laki-laki berusia 44 tahun diantar oleh istrinya datang ke
 poliklinik Saraf RS Marzoeki Mahdi dengan keluhan kejang 3 Bulan SMRS. Kejang
terjadi tiba-tiba saat pasien sedang dalam keadaan beristirahat. Menurut istri pasien,
 pasien tiba-tiba jatuh lalu kejang. Kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan
kelojotan, pasien dalam keadaan tidak sadar. Saat kejang, mata memandang keatas,
lidah tidak tergigit tapi keluar lendir berbusa dari mulut pasien. Pasien juga mengaku
sebelum kejang dirinya terasa seperti akan pingsang. Menurut istri pasien kejang
 berlangsung kurang lebih 30 menit. Setelah kejang pasien mengaku tersadar. Keluhan
kejang dirasakan sejak tahun 2011. Pasien mengaku sering kejang berulang. Kejang
yang terjadi tidak berhubungan dengan demam. Kejang biasanya terjadi lebih dari 1
kali dalam seminggu. Biasanya setelah kejang pasien tersadar dan merasa pusing lalu
tertidur karena lemas. Pasien mengaku juga sering sakit kepala, merasa kepala nya
seperti kurang nyaman. Sakit kepala berputar disangkal oleh pasien. Pasien
menyangkal ada mual muntah. Demam disangkal. BAK dan BAB normal. Pasien
sudah berobat ke poliklinik Saraf pada tahun 2011, namun setelah itu lebih sering
 berobat ke klinik umum.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku memiliki riwayat kejang saat usia sekitar 10 tahun, namun
hanya beberapa kali dan pasien lupa tentang pola kejangnya. Riwayat trauma kepala
atau infeksi sebelumnya disangkal. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan penyakit
 jantung. Riwayat DM, penyakit paru serta alergi obat-obatan di sangkal oleh pasien.

3
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku kakak kandung pasien juga memiliki riwayat kejang
 berulang, namun pasien tidak dapat menjelaskan tentang pola kejangnya.

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku mengkonsumsi carbamazepim untuk keluhan kejangnya.
Pasien mengaku ketika terasa badan tidak enak terasa seperti akan kejang segera
meminum obat tersebut untuk mencegah terjadinya kejang, setelah minum obat pasien
mengaku menjadi tertidur. Pasien juga mengaku meminum obat antihipertensi serta
obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang meminum obat-obat
tersebut.

Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol. Pasien jarang berolahraga.

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis – tampak sakit ringan
Tekanan darah : 140/80 mmHg,
Denyut nadi : 84 x/mnt, isi cukup, irama regular teratur, equal
Frekuensi Nafas : 18 x /mnt
Suhu : 36,3oC
BB : 60 kg
TB : 165 cm
BMI : 22, 03 (gizi cukup)

B. STATUS GENERALIS
Kepala
 Bentuk : normochepali, simetri
  Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus dengan beberapa uban, distribusi merata, allopecia (-)

4
- Wajah : simetris, pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 2 mm|2mm, RCL
(+/+) RCTL (+/+) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sekret (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
- Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
- Gigi Mulut : Jumlah gigi 31, terdapat gigi tanggal incisivus 2 kanan bawah,
karies gigi (-), perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
- Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
 Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
 Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
 Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
 JVP : 5+2 cm H20

Thoraks
• Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga
(-), deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

• Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea
midclavicularis
sinistra
Perkusi : batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)

5
Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus 2x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
- bawah : : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -

C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal :
 Kaku kuduk :-
 Brudzinsky 1 :-
 Brudzinsky 2 : -|-
 Laseque : >700 | >700
 Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )

Kanan Kiri Keterangan


Daya pembau Dbn dbn Dalambatas
normal

2. N.II (Opticus)

Kanan Kiri Keterangan


Daya penglihatan Dbn Dbn
Dalambatas
Lapang pandang Dbn Dbn
normal
Pengenalan warna Dbn Dbn

6
3. N.III (Oculomotorius)

Kanan Kiri Keterangan


Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk
Bulat Bulat
Ukuran Φ2mm Φ2mm Dalambatas
akomodasi  baik  baik normal
Refleks pupil
Langsung
(+) (+)
Tidak langsung (+) (+)
Gerak bola mata Dbn Dbn
Kedudukan bola mata ortoforia ortoforia

4. N. IV (Trokhlearis)

Kanan Kiri Keterangan


Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
normal

5. N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik Dbn Dbn
Sensibilitas
Opthalmikus
Dbn Dbn Dalam batas
Maxilaris Dbn Dbn normal
Mandibularis Dbn Dbn

6. N. VI (Abduscens)

Kanan Kiri Keterangan


Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
Strabismus (-) (-) normal

7
7. N. VII (Facialis)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik
Saat diam Mengernyitkan dahi
simetris simetris Dalam batas
Dbn Dbn normal

Senyum Dbn Dbn


memperlihatkan gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3Tidak Tidak dilakukan
anterior lidah dilakukan

8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)

Kanan Kiri Keterangan


Pendengaran
Tuli konduktif
(-) (-)
Tuli sensorieural (-) (-) Dalam batas
Vestibular normal
Vertigo
(-) (-)
 Nistagmus (-) (-)

9. N. IX (Glossofaringeus)

Kanan Kiri Keterangan


Arkus farings Simetris Simetris
Dayaperasa1/3 Dalam batas
 posterior lidah Tidak Tidak dilakukannormal
dilakukan

10. N. X (Vagus)

Kanan Kiri Keterangan


Arkus farings Simetris Simetris
Disfonia - - Dalam batas
Refleks muntah Tidak Tidak dilakukannormal
dilakukan

8
11. N. XI (Assesorius)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik
Menoleh Mengankat bahu
dbn dbn Dalam batas
dbn dbn normal

Trofi Eutrofi Eutrofi

12. N. XII (Hipoglossus)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik dbn Dbn
Trofi eutrofi Eutrofi Dalam batas
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-)

5) Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan

Ekstremitas atas
Kekuatan 5555 5555
Tonus  N  N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-) Dalam Batas
Ekstremitas bawah  Normal
Kekuatan 5555 5555
Tonus  N  N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)

6) Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba  baik  baik Dalam batas
 Nyeri  baik  baik normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Propioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

9
7) Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Patella (+) (+)
Achilles (+) (+)

Patologis
Hoffman Tromer
(-) (-)
Babinski (-) (-) Dalam batas
Chaddock (-) (-) normal
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)

8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan

Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan

Jari tangan – jari tanganBaik Baik

Jari tangan – hidung Baik Baik

Tumit – lutut Baik Baik

Pronasi – supinasi Baik Baik


Romberg test Tidak Tidak dilakukan
dilakukan

9) Sistem otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Keringat : Baik

10) Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur


11) Vertebra : tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan

1
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN

Pada os dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG. Hasil EEG pada pasien
ini tidak dibawa oleh pasien.

V. RESUME

Seorang pasien laki-laki berusia 44 tahun diantar oleh istrinya datang ke


poliklinik Saraf RS Marzoeki Mahdi dengan keluhan kejang 3 Bulan SMRS.
Kejang terjadi saat pasien sedang dalam keadaan beristirahat. Kejang terjadi tiba-
tiba saat pasien sedang dalam keadaan beristirahat, pasien tiba-tiba jatuh lalu
kejang. Kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, pasien dalam
keadaan tidak sadar. Mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi keluar
lendir berbusa dari mulut pasien. Kejang berlangsung kurang lebih 30 menit.
Riwayat kejang
 berulang sejak tahun 2011. 1 kali dalam seminggu. Setelah kejang pasien tersadar
dan merasa pusing lalu tertidur karena lemas. Pasien sering sakit kepala, merasa
kepala nya seperti kurang nyaman. Riwayat kejang saat usia sekitar 10 tahun,
namun hanya beberapa kali. Riwayat hipertensi dan penyakit jantung. Kakak
kandung pasien juga memiliki riwayat kejang berulang. Pasien telah diberi obat
carbamazepim untuk keluhan kejangnya. Pasien juga meminum obat
antihipertensi serta obat untuk penyakit jantungnya namun pasien sudah jarang
meminum obat-obat tersebut.
Pada Pemeriksaan Fisik ditemukan :
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital :
• Tekanan darah : 140/80 mmHg
• Denyut nadi : 84x/mnt
• Frekuensi Nafas : 18x /mnt
• Suhu : 36,3 oC
Status generalis : Dalam batas normal
Status Neurologis : GCS
E4V5M6 Tanda rangsang meningeal :
negatif
Saraf kranialis :
baik Sistem motorik :

11
Lengan kanan/kiri : 5555/5555
Tungkai kanan/kiri : 5555/5555
Sistem sensorik : baik
Refleks fisiologis : (+)
Refleks Patologis : (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA

a. Diagnosis klinis : Kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang


 b. Diagnosis Topis : Korteks serebri
c. Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum bangkitan umum tonik klonik.

VII. PENATALAKSANAAN

1.  Non Medikamentosa

• Pertolongan pertama
O Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan
apa yang harus diambil bila menghadapi serangan.
O Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa
membuka mulut pasien.
O Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan
 berakibat menimbulkan cedera.
O Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
O Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.
O Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi
setengah telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan
serta berikan bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak.
O Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
O Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan
hingga fase bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan
 pasien memperoleh kembali keseimbangannya.
2. Medikamentosa

• carbamazepine 3x1

• vit. B kompleks 1x1

1
VIII. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

1
BAB III
TINJAUAN
PUSTAKA
EPILEPSI

DEFINISI
Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak
terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas
 pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang
kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode).3
Menurut  International League Against Epilepsy (ILAE) dan  International
 Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan
kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi social yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu
riwayat kejang epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron
yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
 berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

1
EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka
epilepsy lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju
ditemukan sekitar 50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai
100/100.000.5
Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan
 pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan
usia lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama,
menurun sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan
kemungkinan terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi
sebelum umur 18 tahun.6

ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi
otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat
trauma otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi   penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia
waktu lahir, trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik,
malformasi congenital pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja   mayoritas adalah epilepsy idiopatik,
 pada umur 5-6 tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa  penyebab lebih bervariasi   idiopatik, karena
 birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit
serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

• Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita


epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya
 pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat
diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.

1
• Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf
 pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan
neurodegenerative.

• Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.7

KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah : 3
1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
 b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran

• Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

• Dengan automatisme
 b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

• Dengan gangguan kesadaran saja

• Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
 b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum

1
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
 berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-
tiba, tanpa di dahului aura. Kesadaran hilangselama beberapa detik, di
tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong,
atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak,
mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-
klonik.
2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang
singkat dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau
asinkronis. Muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung
sejenak. Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama serangan.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi
lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat
dari otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau
ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7
tahun.
4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan
ini bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut
lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta
mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan
otot dan terjatuh secara tiba-tiba. Bangkitan ini jarang terjadi.
5) Bangkitan klonik

1
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di
sebebkan aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.
Keadaan ini diikuti sentakan bilateral yang lamanya 1 menit sampai
 beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu
anggota tubh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya dan
 bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.
6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
 pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat. Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai
dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh
kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik
(gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
 penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
 bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara
 perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan
tertidur setelahnya.

3.Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah : 3
Fokal / Partial (localized related)
Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
Simtomatik
Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak  – anak (Kojeniko o  w’s Syndrome)

1
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu
rangsangan (kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi,
refleks epilepsy, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal
1.2.5. Epilepsi lobus parietal
1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik – klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox – Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic
2.2.4. Epilepsi mioklonik lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik

• Ensefalopati mioklonik dini

• Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi

• Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di


atas
2.3.2. Sindrom Spesifik

1
2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau – Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus
4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali(
isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
 pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
 perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

2
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York :
Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron – n  euron tertentu pada
korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon

depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi


Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel

 piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias
dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini

2
menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
 penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon

 NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.


5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren

dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.


Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial
aksi secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara
 bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi
menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20
macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan
demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
 bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi
 pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan
ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi
ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium
 pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel,
keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi

2
impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang

optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.


2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )

 berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.


Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah
lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic
disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan
neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali
tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
 perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang
akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron
saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan
epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang
optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai
macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara
neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan
terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena
setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka
serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang
lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu
didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila
lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana

2
terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur se
 berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat m
 penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal
epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai
kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial
membrane neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni
membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi
ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya
terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang
menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan
 badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran
neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan
istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam
keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron
dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

2
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh
ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah
 bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga
system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron
tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Patofisiologi Epilepsi Umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
“bengong” dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion
(pada tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign
 familial neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal Gen Sindroma

Voltage-gated

Kanal Natrium SCN1A, SCN1B Generalized epilepsies with febrile


SCN2A, GABRG2  seizures plus

25
Kanal Kalium KCNQ2, KCNQ3 Benign familial neonatal
convulsions
Kanal Kalsium CACNA1A,  Episodic ataxia tipe 2
CACNB4 Childhood absence epilepsy
ACNA1H

Kanal Klorida CLCN2  Juvenile myoclonic epilepsy


 Juvenile absence epilepsy
 Epilepsy with grand mal seizure on awakening

Ligand-gated 
Reseptor asetilkolin
CHRNB2, CHRNA4  Autosomal dominant frontal lobe
epilepsy

Reseptor GABA GABRA1, GABRD  Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion
natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi
 pada kanal Na seperti yang terdapat pada  generalized epilepsy with febrile seizures
 plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap
seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung
 berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana
terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan
menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler


Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan

2
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi
(focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan
otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut
 pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan
sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini
 bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.
Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut
sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi
terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa
 penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab
atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor
nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan
terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa. Berbicara mengenai kanal ion
maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka
 bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion
ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal
 beberapa neurotransmiter seperti  gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal
sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih
tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

GEJALA
Kejang parsial simplek
Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
 berupa “déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.

2
✓ Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak

dapat di jelaskan.
✓ Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

 bagian tubuh tertentu.


✓ Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu

✓ Halusinasi

• Kejang parsial ( psikomotor )  kompleks


Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan
mengingat waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
✓ gerakan seperti mencucur atau mengunyah

✓ melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya

✓ Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling

dalam keadaan seperti sedang bingung

✓ Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang

✓ Berbicara tidak jelas seperti menggumam

• Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat
 berupa : merasa sakit perut , baal, kunang – kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan
yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik :
terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau
 buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien
mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.

2
DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan
melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan
radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang
 berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena


 pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :
Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.
Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang
memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan
otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan
tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
 penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
 berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat
aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut
 berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam
keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun,
termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat
setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum
yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus. Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya
anggukan kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi
demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau

tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)


Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena

menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau
mencari pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan

3
ini(petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau

sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses

gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau

tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.


Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan

kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya

dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari

seluruh kasus epilepsi).9


Bangkitan sensorikBangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus

epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,

 perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.
Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat

mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang. Epilepsi lobus temporalis.


Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang

khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus
epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan

 pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut
dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak,
dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan
mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari
halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa
 jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan

3
automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan
automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

- Pada orang dewasa


Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih,
dan adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka
dapat menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber. Pada toksoplasmosis, fundus
okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan,
asimetri pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,


natrium, bilirubin, ureum dalamdarah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia,
hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan uremia. Penting pula diperiksa pH darah
karena alkalosis mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat
mengungkapkan adanya radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan
saraf sentral, leukemia yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya
 perdarahan otak atau perdarahan subaraknoid.10,11

3
a. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsy. Gelombang yang
ditemukan pada EEG berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing
lambat, paku lambat. Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan
foto polos kepala
 b. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik
turunnya kesadaran.
c. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
 pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
 pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau
metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding

seharusnya misal gelombang delta.


3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai
gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang
 paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai
gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan

3
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.

Gambar Pembentukan EEG

3
Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frek

Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar


 pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang
ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie-
 pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol),
klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin
(Neurontin), lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal),
fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril),
topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter,
1996). Protokol penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi
 benzodiazepin yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja

3
menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan
listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek
samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap
gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat
 bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan
AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa
menstimulasi kematian dari sel.
Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan
antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
 penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat
antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai
mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA
dan AMPA yakni glutamat dan GABA). Pada hewan percobaan ditemukan bahwa
 potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan
SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi. Dari data penelitian ditemukan
 bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai
 penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif,
karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya. Salah satu
andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan
ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian
membuktikan bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein
yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta
 pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada
hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2
di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni:13,14


1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan

3
keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan
efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai

dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.


4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol

 bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi,
maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak

terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.


Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada

reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.


2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida

dan neurotransmitter yang voltage dependen


3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan eksitabilitas

glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.


4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan

kalsium (T) dan kalium.


5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi

aktivitas channel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated

chloride, modulasi efek reseptor GABA.


10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang.
Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE
yakni:

3
1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah didiskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana


 penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.
- Gambaran EEG normal
- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6bulan.
- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.


- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.
- Penggunaan OAE lebih dari 1
- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.
- Kekambuhan akan semakin kecil kemungkinannya bila penderita telah bebas
 bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status
epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
 berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. 11,12

Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
 penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan  –  area tertentu

3
dari korteks ( Partial onset ) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized
onset ) - kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah
konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
 penuh.
✓ Tonik klonik

✓ Tonik

✓ Klonik

✓ Mioklonik

2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized


convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
Simple motor status epilepticus
Sensory status epilepticus
Aphasic status epilepticus
4)  Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
Petit mal status epilepticus
Complex partial status epilepticus.

PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS


Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan
 penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol
 penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan

3
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan
status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang d
 berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.13,14

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
 penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
 presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.

4
Status Epileptikus Refrakter
Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar
terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena
kegagalan dari OAE untuk mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak
tepat, ketaatan minum OAE , ataupun kesalahan pemberian atau perubahan dalam
formulasi.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit.
Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan
alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia
rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor,
rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status
epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi
lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan
menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain
akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol,
atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas
kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

4
Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus

Gambar : Algoritma tatalaksana pada stasus epil eptikus

4
Pada : awal meni t 

1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu

intubasi)
a. Periksa tekanan darah
 b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan

d. Periksa secara teratur suhu tubu

e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar

glukosa, hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah;
 periksa AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat

4
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100

mg IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s


encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6. Berikan Lorazepam ( Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg)


intravena dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10
mg). Jika kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena
dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang
 berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT
 jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature

2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan

kecepatan 100 mg per menit


Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1
mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan
apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau- 
Berikan Midazolam (Versed ) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg
 per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau- 
Berikan Propofol ( Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
 pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG.

4
BAB IV

KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang


 berulang. Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu.
Gangguan ini dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan
sensasi.
Tidak semua kejang disebabkan epilepsy. Kejang juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu seperti meningitis, ensefalitis atau trauma kepala. Ada banyak tipe
kejang pada epilepsy. Kejang dapat digolongkan menjadi kejang parsial dan kejang
umum, tergantung pada banyaknya area otak yang terpengaruh.
Ada beberapa komplikasi pada epilepsy seperti status epileptikus dan sudden
unexpected death in epilepsy. Status epileptikus ini terjadi jika terdapat kejang lebih
dari 30 menit tanpa adanya pemulihan kesadaran. Biasanya status epileptikus adalah
kedaruratan medis pada kejang tonik klonik. Sedangkan SUDEP sangat jarang terjadi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang.
Hamper delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami
dapat dikontrol dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan
diberikan satu jenis obat untuk mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat
dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih kombinasi dari obat anti kejang.

4
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf 
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In
: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.2005. p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi).  Pedoman Tatalaksana Epilepsy. Jakarta: Penerbit
Perdossi;2012.
4. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pedi
at ric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007
5. Accessed on February 22th 2014:
h tp://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed on February 22th 2014:
h tp://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-
epilepsi-pada-anak-2
8. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and The
rapy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.2005
9. P r i c e d a n W i l s o n . 2 0 0 6 . Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -
 Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC
10. Amino f MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. E sential neurology. 4th  ed. USA: Blackwell
Publishing. 200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed
3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809
12. Mardjono M, Sidharta P.  Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat; 2009.p.439.
13. Utama H. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th
ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2005.
14. Lumbantobing SM. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2006.

Anda mungkin juga menyukai