Anda di halaman 1dari 4

Pasal 32 Permen ATR/BPN 21/2020:

(1) Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya tidak dapat membatalkan Produk
Hukum baik karena cacat administrasi dan/atau cacat yuridis maupun sebagai pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam hal :
a. hak atas tanah objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;
b. pihak ketiga sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam Perkara; dan
c. pihak ketiga memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya Perkara.

A. Uraian
Di sini, Kami hanya akan menggarisbawahi “pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap” atau inkracht dalam sengketa perdata.

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) adalah suatu putusan
yang menurut undang-undang tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat dilakukan untuk
melawan putusan tersebut (Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, 157), seperti Banding
maupun Kasasi, baik karena daluwarsa ataupun telah diputus pada tingkat berikutnya.

Selanjutnya, ketentuan Pasal 32 ayat (1) ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
“Pihak 1 dan Pihak 2 merupakan ahli waris atas suatu bidang tanah. Kemudian, pihak 1 menjual
seluruh bidang tanah tersebut secara sepihak (tanpa persetujuan pihak 2) kepada seorang pembeli
(pihak 3). Transaksi jual-beli itu selanjutnya diikatkan dengan AJB oleh PPAT dan setelah melalui
serangkaian prosedur, Kementerian atau Kanwil pun menerbitkan sertifikat hak milik baru atas
nama Pihak 3 (pembeli).

Berikutnya, Pihak 2 yang merasa dirugikan atas transaksi tersebut menggugat Pihak 1 melalui
pengadilan. Singkatnya, mereka bersengketa di pengadilan atas objek perkara (hak atas tanah) yang
telah beralih kepada Pihak 3 yang tidak menjadi Pihak yang bersengketa dalam perkara itu. Di
samping itu, adanya AJB dan dipatuhinya serangkaian prosedur yang ditentukan BPN oleh Pihak 3
telah mengindikasikan bahwa Pihak 3 memperoleh hak tersebut dengan itikad baik. Dengan kata
lain, kriteria keadaan yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat (1) huruf a, b, dan c telah terpenuhi dalam
ilustrasi ini.

Lalu, berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim menjatuhkan putusan consistutif yang pada
pokoknya menyatakan bahwa status hak atas tanah tersebut kembali menjadi harta warisan bersama
(milik Pihak 1 dan Pihak 2) yang belum dibagi, sehingga sertifikat hak milik baru atas nama
pembeli (pihak 3) yang diterbitkan oleh Kementerian atau Kanwil adalah Batal Demi Hukum”.
Dengan demikian, Kementerian atau Kanwil harus membatalkan penerbitan sertifikat baru tersebut.
Mari anggap saja putusan di atas telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Dalam keadaan
tersebut, sikap BPN dapat diasumsikan menjadi 2 bentuk :
1. Jika Kementerian atau Kanwil melaksanakan Putusan itu dengan membatalkan penerbitan
sertifikat baru tersebut, maka sikap ini akan bertentangan dengan Pasal 32 ayat (1) Permen
ATR/BPN 21/2020. Sehingga dapat berpotensi menjadi objek gugatan di PTUN.
2. Tetap jika Kementerian atau Kanwil tidak melaksanakan putusan itu dengan tetap
memberlakukan sertifikat baru tersebut, maka sikap ini akan bertentangan dengan Penjelasan
Pasal 195 HIR mengenai Putusan yang Berkekuatan Hukum Tetap berikut :
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan
hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang
diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi
keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada
kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada
gunanya
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan
haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan
tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh
kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan
itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding
atau kasasi.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap adalah bersifat memaksa dan itu merupakan hak bagi pihak yang menang dalam
perkara, tentunya melalui cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Seandainya eksekusi
putusan inkracht tersebut tidak dapat dipaksakan, maka keberadaan lembaga peradilan menjadi
tidak berguna karena tidak mampu melindungi hak subjek hukum perdata. Di samping itu juga,
menurut Penjelasan Pasal 195 HIR di atas, Putusan yang belum inkracht pun dengan alasan
tertentu tetap harus segera dilaksanakan meskipun status perkara masih berada dalam proses
banding maupun kasasi.
Dengan kata lain, terdapat kontradiksi atau pertentangan antara Pasal 32 (1) Permen
ATR/BPN 21/2020 dengan Penjelasan Pasal 195 HIR. Sehingga menimbulkan pertanyaan
tentang aturan mana yang harus dipatuhi?
B. Jawaban
Peraturan perundang-undangan bersifat hierarkis atau memiliki tingkat kekuatan hukum yang
berjenjang, yaitu peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, ini juga merupakan implementasi asas “lex superior derogat lex inferior“ (hukum yang lebih
tinggi menghapus/mengabaikan hukum yang lebih rendah). Ketentuan mengenai jenis &hierarki
atau tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia diatur dalam Pasal 7 UU 12/2011 berikut:
1. UUD NRI 1945
2. Tap MPR
3. UU/Perpu
4. PP
5. Perpres
6. Perda Provinsi
7. Perda Kab/Kota.

Selain itu, menurut Pasal 8, juga masih terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain,
yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Namun, secara hierarkis, jenis Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7
memiliki kedudukan dan kekuatan hukum yang lebih tinggi dibanding jenis Peraturan Perundang-
undangan pada Pasal 8 tersebut. Jika ditinjau, HIR sebagai ketentuan Hukum Acara Perdata
Indonesia memiliki kedudukan yang setara dengan Undang-Undang/Perpu sebagaimana UU 8/1981
(KUH Pidana) yang mengatur tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sedangkan kedudukan
Permen ATR/BPN 21/2020 adalah setara dengan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri,
sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 8 UU 12/2011. Oleh sebab itu, Penjelasan Pasal 195 HIR
harus diutamakan dan dipatuhi dibanding ketentuan Pasal 32 ayat (1) Permen ATR/BPN 21/2020.
Dengan kata lain, Kementerian atau Kanwil sesuai kewenangannya harus membatalkan Produk
Hukumnya sebagai pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
dalam hal :
a. hak atas tanah objek Sengketa/Perkara telah beralih kepada pihak ketiga;
b. pihak ketiga sebagai pemegang hak terakhir tidak menjadi pihak dalam Perkara; dan
c. pihak ketiga memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebelum adanya Perkara.

C. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian ini, Kami menyimpulkan bahwa terdapat kontradiksi antara Pasal
32 ayat (1) Permen ATR/BPN 21/2020 dengan Penjelasan Pasal 195 HIR, yaitu mengenai mengenai
harus atau tidaknya bagi Kementerian atau Kanwil untuk membatalkan produk hukumnya sebagai
bentuk pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, merujuk pada
asas “lex superior derogat lex inferior” yang berlaku dalam sistem peraturan perundang-undangan
Indonesia dan diatur dalam UU 12/2011, maka kaidah hukum yang semestinya berlaku adalah
Penjelasan Pasal 195 HIR. Sehingga, dalam 3 kriteria keadaan yang dimaksud oleh huruf a, b, dan c
Pasal 32 ayat (1) Permen ATR/BPN 21/2020, Kementerian atau Kanwil sesuai kewenangannya
harus membatalkan Produk Hukumnya sebagai pelaksanaan atas suatu putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu, Kami menilai bahwa Pasal 32 ayat (1) Permen
ATR/BPN 21/2020 beserta peraturan yang didasarkan pada Pasal tersebut perlu ditinjau kembali.

Anda mungkin juga menyukai