Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

2.1.1 Pengertian Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

Keselamatan pasien (pasien safety) menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 11

Tahun 2017 adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, yang meliputi

asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil. Penyelenggaraan keselamatan pasien dilakukan melalui

pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan : standar keselamatan pasien, sasaran

keselamatan pasien, dan tujuh langkah menuju keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).

Standar keselamatan pasien (pasien safety) meliputi : hak pasien, pendidikan bagi

pasien dan keluarga, keselamatan pasien dalam kesinambungan, penggunaan metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan peningkatan keselamatan pasien,

peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, pendidikan bagi staf

tentang keselamatan pasien dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).

Keselamatan pasien (pasien safety) dapat di definisikan sebagai upaya menurunkan

cedera yang tidak perlu yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan hingga ke

tingkat minimum yang dapat di terima. Tingkat minimum yang dapat diterima (accetable

minimum) merujuk pada pada pengetahuan yang dimiliki saat ini, sumber daya yang
tersedia, dan konteks dimana pelayanan di berikan, dengan membandingkannya terhadap

risiko jika tidak dilakukan tindakan atau jika di lakukan tindakan lain. Secara sederhana,

hal ini merupakan upaya pencegahan kesalahan dan kejadian yang tidak diharapkan pada

pasien yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Panesar et al, 2017).

2.1.2 Standar Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

Standar keselamatan pasien dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11 Tahun 2017,

meliputi :

1) Hak psien

2) Pendidikan bagi pasien dan keluarga

3) Keselamtan pasien dalam kesinambungan pelayanan

4) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan

peningkatan keselamatan pasien

5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6) Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien

7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

2.1.3 Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

Sasaran keselamatan pasien (pasien safety) dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11

Tahun 2017, meliputi tercapainya hal – hal : mengidentifikasi pasien dengan benar,

meningkatkan komunikasi yang efektif, meningatkan obat – obatan yang harus di

waspadai, memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,

pembedahan pasien yang benar, mengurangi resiko infeksi akibat perawatan kesehatan

dan mengurangi resiko cedera pasien akibat terjatuh (Kemenkes, 2017).

Tujuh langkah menuju keselamatan pasien (pasien safety) terdiri atas : membangun

kesadaran akan nilai keselamatan pasien, memimpin dan mendukung staf,

mengintegrasikan aktivitas pengelolaan resiko, mengembangkan sisitem pelaporan,


melihatkan danberkomunikasi dengan pasien, belajar dan berbagi pengalaman tentang

keselamatan pasien, dan mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan

pasien (Kemenkes, 2017).

2.1.4 Enam Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safet)

Sasaran kesalamatan pasien (pasien safety) merupakan syarat untuk di terapkan

disemua rumah sakit yang di akreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dari

sasaran keselamatan pasien (pasien safety) adalah mendorong perbaikan spesifik dalam

keselamtan pasien. Sasaran menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam

pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari consensus berbasis bukti

dan keahlian atas permasalahan ini. Berikut 6 sasaran keselamatan pasien (pasien safety)

menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 1691 Tahun 2011 :

Sasaran I : ketetapan identifikasi pasien

Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif

Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu di waspadai

Sasaran IV : kepastian tepat – lokasi, tepat – prosedur operasi

Sasaran V : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Sasaran VI : pengurangan resiko pasien jatuh

2.3.5 Insiden Terkait Keselamatan Pasien (pasien safety)

Insiden keselamatan pasien (pasien safety) yang selanjutnya disebut insiden, adalah

setiap kejadian yang tidak di sengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpontensi

mengakibatkan cedera yang dapat di cegah pada pasien. Insiden di fasilitas pelayanan

kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 11 Tahun 2017, meliputi :

1) Kondisi Potensial Cedera (KPC) merupakan kondisi yang sangat berpotensi untuk

menimbulkan cedera, tetapi terjadi insiden.


2) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) merupakan terjadinya insiden yang belum sampai

terpapar ke pasien.

3) Kejadian Tidak Cedera (KTC) merupakan insiden yang sudah terpapar ke pasien,

tetapi tidak timbul cedera.

4) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan insiden yang mengakibatkan

cedera pada pasien.

5) Kejadian sentinel merupakan suatu kejadian tidak diharapkan yang mengakibatkan

kematian, cedera permanen atau cedera berat yang temporer dengan membutuhkan

intervensi untuk mempertahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak

terkait dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien. Kejadian sentinel dapat

disebabkan oleh hal lain selain insiden (Kemenkes, 2017).

2.2

2.3 Beban Kerja

2.3.1 Pengertian Beban Kerja

Beban kerja perawat adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh

perawat selama bertugas disuatu unit pelayanan keperawatan. Beban kerja (workload)

diartikan sebagai patient days yang merujuk pada sejumlah prosedur dan pemeriksaan

pada dokter berkunjung pada pasien.18 Bisa juga diartikan beban kerja adalah jumlah

total waktu keperawatan baik secara lansung atau tidak langsung dalam memberikan

pelayanan keperawatan yang diperlukan oleh pasien dan jumlah perawat yang diperlukan

untuk memberikan pelayanan tersebut.18( Kurniadi, 2013).

Beban kerja atau workload merupakan usaha yang harus di keluarkan oleh seseorang

untuk memenuhi “permintaan” dari pekerjaan tersebut. Sedangkan kapasitas adalah

kemampuan atau kapasitas manusia. Bebaan kerja yang di maksud adalah ukuran (porsi)

dari kapasitas operator yang terbatas yang terbatas yang di butuhkan untuk melakukan
kerja tertentu. Beban kerja adalah jumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh

seseorang ataupun sekelompok orang selama periode waktu tertentu dalam keadaan

normal.

Beban kerja bisa bersifat kuantitatif bila yang dihitung berdasarkan banyaknya atau

jumlah tindakan keperawatan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Beban

kerja kualitatif bila pekerjaan keperawatan menjadi tanggug jawab yang harus

dilaksanakan sebaik mungkin atau profesional. Bila beban kerja terlalu tinggi menurut

Carayon dan Gurses (2005) dalam Kurniadi (2013) akan menyebabkan komunikasi yang

buruk antara perawat dan pasien, kegagalan kolaborasi perawat dan dokter, tingginya

drop out perawat atau turn over, dan rasa ketidakpuasan kerja perawat. Untuk

mengetahui beban kerja maka para manajer keperawatan harus mengerti tentang

jumlahpasien tiap hari/bulan/tahun, tingkat ketergantungan, rata – rata hari perawatan,

jenis tindakan keperawatan dan frekuensi tiap tindakan serta rata – rata waktu yang

dibutuhkan setiap tindakan (Gillies, 1996 dalam Kurniadi, 2013). Menurut Trisna (2007)

dalam Kurniadi (2013) kegiatan yang banyak dilakukan adalah tindakan keperawatan

tidak langsung dan faktor yang mempengaruhi beban kerja perawat adalah jumlah pasien

dan jumlah perawat serta jumlah aktivitas.

Standar emas untuk mengukur sumber daya keperawatan akan menjadi model yang

valid dan reliable terhadap pengukuran beban kerja dengan menggunakan faktor - faktor

yang mempengaruhi beban kerja perawat. Faktor – faktor yang dimaksud adalah kondisi

pasien, respon pasien, karakteristik pasien dan tindakan keperawatan yang diberikan

serta lingkungan kerja. Disamping itu ada faktor lain misalnya beratnya tanggung jawab,

tuntutan atau permintaan dalam waktu bersamaan, kejadian – kejadian yang tidak

diantisipasi, interupsi dan kejadian yang berisik atau gaduh. Akan tetapi perhitungan
beban kerja perawat tiap unit tidaklah sama akan tetapi tetap hal yang penting untuk

dilakukan (Kurniadi, 2013).

Menurut Huber (2006) dalam Kurniadi (2013), beban kerja dibedakan menjadi dua

yaitu bebna kerja kualitatif dan kuantitatif. Beban kerja kualitatif artinya adalah perepsi

beban kerja yang dirasakan oleh perawat. Misalnya perawat merasa saat ini beban

kerjanya berat daripada yang seharusnya, lebih sulit dari yang sudah pernah dilaksanakan

dan keluhan lainnya. Adapun beban kerja kuantitatif yaitu jumlah pekerjaan yang bisa

dihitung dan dibandingkan dengan waktu kerja yang tersedia.

Misalnya perawat memiliki waktu 8 jam tiap shift, maka berapa banyak tindakan

keperawatan yang bisa dilakukan selama 8 jam itu. Hasilnya akan dijumlah dan bisa

dihitung untuk menentukan jumlah perawat yang seharusnya bekerja diunit tersebut.

Beban kerja kuantitatif sering dijadikan sebagai bahan penelitian untuk menghitung

waktu dan jenis pekerjaan profesional perawat.

2.3.2 Pengertian Beban kerja fisik

Beban kerja fisik yakni kerja yang membutuhkan energi fisik otot manusia sebagai

sumber tenaga. Pada beban kerja fisik, penggunaan energi relatif besar di bandingkan

beban kerja mental. Kerja fisik atau physical work merupakan kerja yang membutuhkan

energi fisik otot manusia sebgai sumber tenga atau power. Beban kerja fisik biasa disebut

sebgai “manual operation” di mana performa kerja sepenuhnya akan bergantung pada

manusia, baik yang berfungsi sebgai sumber tenaga (power) ataupun pengendali kerja

(control). Konsumsi energi merupakan faktor utama dan parameter berat ringannya suatu

beban kerja fisik. Hal ini bukan di akibatkan oleh aktivitas fisik secara langsung, akan

tetapi di akibatkan oleh kerja otak kita (Sugiono et all 2018).

Beban kerja fisik perawat meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien,

membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat


tidur pasien, mendorong brankart pasien (Risqiansyah, 2017). Beban kerja fisik juga

dapat di konotasikan dengan kondisi kerja berat atau kerja kasar karena kegiatannya

memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung.

Pekerjaan yang dilakukan dengan mengandalkan kegiatan fisik akan mengakibatkan

perubahan pada fungsi alat – alat tubuh yang dapat di deteksi melalui perubahan

konsumsi oksigen, denyut jantung, peredaran darah dalam paru – paru, temperatur tubuh,

konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisikimia dalam darahdan air seni, tingkat

penguapan dan faktor lainnya. Beban kerja fisik akan mengakibatkan pengeluaran energi

yang berhubungan dengan konsumsi energi (Sugiono et all 2018).

2.3.3 Pengertian beban kerja mental

Beban kerja mental adalah suatu keadaan yang melibatkan proses berpikir dari otak

untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu (Saleh 2018).

Beban kerja mental yang dialami perawat, diantaranya bekerja shift atau bergiliran,

mempersiapkan rohani mental pasien dan keluarga terutama bagi yang akan

melaksanakan operasi atau dalam keadaan kritis, bekerja dengan keterampilan khusus

dalam merawat pasien serta harus menjalin komunikasi dengan pasien(Kasmarani,

2012).

Beban kerja yang berlebih pada perawat dapat memicu timbulnya stres dan burnout.

Perawat yang mengalami stres dan burnout memungkinkan mereka untuk tidak dapat

menampilkan performa secara efektif dan efisien dikarenakan kemampuan fisik dan

kognitif mereka menjadi berkurang yang kemungkinan dapat terjadi disebabkan karena

ketidakseimbangan antara jumlah pasien dengan jumlah perawat yang bekerja di rumah

sakit tersebut, sehingga perawat mendapatkan beban kerja yang lebih banyak daripada

kemampuan maksimal dari perawat tersebut sehingga perawat mengalami beban kerja

mental dan menimbulkan tindakan tidak aman (Purba, 2015).


2.3.4 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Beban Kerja Fisik Dan Mental

Beban kerja merupakan cerminan dari tindakan keperawatan yang mampu

dilaksanakan secara kuantitas dan kualitas oleh seorang perawat terhadap seorang atau

sekelompok pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Pertanyaan rutin yang sering

muncul adalah pasien yang mana dan dirawat oleh perawat yang mana, berapa banyak

pasienyang dirawat, apakah beban perawat maksimal atau optimal.

Menurut Gillies (1994) dalam Kurniadi (2013), membuat identifikasi terhadap faktor

– faktor yang penting dalam membedakan antara tugas – tugas keperawatan yang

bervariasi, yaitu :

a. Pengelompokkan perawat dan alokasi pasien khusus.

b. Alokasi pekerjaan perawat.

c. Pengorganisasian tugas.

d. Tanggung jawab kepada pasien.

e. Tangung jawab dalam pencatatan.

f. Penghubung atau mediator dengan staf perawat dan dokter.

Adapun Connor tahun 1960-an dalam Kurniadi (2013), mempelajari pengkuran

intensitas pelayanan keperawatan atau tindakan keperawatan berdasarkan jumlah tempat

tidur atau BOR. Hasilnya yaitu berapa jumlah perawat yang seharusnya dinas sesuai

dengan jumalah pasien. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi intensitas

pelayanan keperawatan, yaitu :

a. Apakah intensitas keperawatan dievaluasi sesuai permintaan pelayanan atau dari

penawaran pelayanan. Keuntungannya dapat dilihat dari hasil observasi sehingga

ada perbedaan waktu, profesionalisme, dan struktur staf perawat. Hasil akhir

adalah kinerja yang optimal. Kurangnya jenis ini lebih bersifaft obyektif.
b. Maksud atau makna intensitas keperawatan. Yang perlu diperhatikan adalah

derajar kegawatan, derajat kompleksitas dan kemampuan profesional yang

dipelukan dan aktivitas intelektual yang akan membedakan situasi dan

infrastuktur yang ada.

c. Cara intensitas keperawatan dikomputasi. Ada dilakukan dengan pendekatan

analisa yang mengitung point tertentu yang dialokasikan ke tiap kegiatan sesuai

parameternya. Tiap pasien ditandai khusus misalnya V (check) apa bisa

diterapkan atau tidak. Bila bisa maka ditambahkan pointnya. Jumlah skor total

adalah mewakili intensitas keperawatan. Keuntungnya adalah sederhana,

sedangkan kelemahnya adalah bila interaksi berbeda maka tidak bisa diambil

skornya.

Beban kerja perawat tiap waktu akan berubah. Perubahan ini dapat disebabkan oleh

faktor intern (jumlah pasien dalam ruang rawat inap) atau faktor eksternal (diluar

rumah sakit). Faktor – faktor intern lebih mudah diatasi daripada faktor luar. Hal ini

disebabkan faktor luar tidak bisa dikendalikan oleh pihak manajemen rumah sakit

sendiri melainkan memerlukan bantuan pihak luar. Sebagai contoh yaitu situasi

ekonomi yang lagi mengalami resesi seperti saat ini. Kenaikan harga tidak bisa ditolak

atau inflasi sedangkan pendapatan masyarakat tetap atau bahkan menurun sehingga

tidak mampu membeli harga pelayanan rumah sakit. Aat ini juga sering terjadi disaster

alam termasuk wabah penyakit tertentu. Kedua cotoh di atas mempengaruhi jumlah

kebutuhan perawat yang ada dirumah sakit akan ditambah atau dikurangi (kurniadi,

2013).
Secara umum faktor – faktor internal yang mempengaruhi beban kerja perawat

antara lain :

a. Jumlah pasien yang dirawat tiap hari, tiap bulan, tiap tahun.

b. Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien.

c. Rata – rata hari perawatan tiap pasien.

d. Pengukuran tindakan keperawatan langsung dan tidak langsung.

e. Frekuensi tindakan keperawatan yang dibutuhkan.

f. Rata – rata waktu keperawatan langsung dan tidak langsung.

Adapun faktor – faktor eksternal pada skema 8 yang bisa mempengaruhi beban

kerja perawat antara lain :

a. Masalah komunitas yaitu situasi yang ada di masyarakat saat ini seperti jumlah

penduduk yang padat atau berlebihan, lingkungan kurang bersih, kebiasaan

kurang sehat dan sebagainya.

b. Disaster yaitu kondisi bencana alam seperti : banjir, gempa bumi, tsunami,

wabah penyakit, dan sebagainya. Hal ini akan mempengaruhi kebijakan rumah

sakit karena rumah sakit harus menyediakan tenaga keperawatan cadangan.

c. Hukum atau Undang – Undang dan kebijakan yaitu situasi hukum perundang –

undangan yang bisa mempengaruhi kinerja rumah sakit atau ketenagaan

keperawatan seperti Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta

Undang Undang Keperawatan sebagai pedoman utama praktik keperawatan.


d. Politik yaitu kebijakan pemerintahan yang berkuasa atau oposisi yang bsa

mempengaruhi kondisi kinerja rumah sakit seperti banyaknya pasien karena

kecelakaan aibat demonstrasi, kekerasan politik lainnya, kecendrungan partai

politik dalam memandang tenaga keperawatan dan sebagainya.

e. Pengaruh cuaca yaitu akibat perubahan cuaca bisa mempengaruhi jenis penyakit

sehingga mempengaruhi jumlah tenaga keperawatan.

f. Ekonomi yaitu situasi ekonomi yang ada saatini seperti adanya krisis ekonomi

mengakibatkan pendapatan menurun sehingga pendapatan rumah sakit

menurun. Hal ini berimbas pada rasionalisasi jumlah tenaga keperawatan.

g. Pendidikan konsumen yaitu tingkat pendidikan masyarakt sudah semakin tinggi

sehingga tenaga perawat hatus profesional atau dengan kata lain semakin

banyak tenaga perawat yang dibutuhkan satu tingkat lebih tinggi dari

pendidikan masyarakat dibanding tingkatan leiih rendah dari masyarakat.

h. Kemajuan ilmu dan teknologi yaitu kemajuan ilmu dan teknologi termasuk

bahasa harus diikuti oleh semua perawat, karena kalau tidak bisa mengikuti

maka otomatis tidak akan bisa masuk bursa tenaga kerja. Hal ini semua institusi

pelayanan akan memilih perawat yang memliki kompetensi internasional.

2.3.5 Mengukur Beban Kerja

Analisa beban kerja adalah proses penentuan jumlah jam kerja (man hours) yang

digunakan untuk menyelesaikan beban kerja tertentu, jumlah jam karyawan dan

menentukan jumlah karyawan yang dibutuhkan (Mutiara, 2004 dalam Kurniadi, 2013).

Untuk mengukur beban kerja Gillies dalam Kurniadi (2013), mengembangkan sistem

klasifikasi pasien. Hal ini akan menyesuaikan tingkat ketergantungan pasien, tingkat

kesulitan serta kemampuan yang diperlukan dalam memberikan pelayanan keperawatan.


Adapun Swanburg & Swanburg dalam Kurniadi (2013) menyatakan bahwa dalam

membuat sistem klasifikasi pasien harus memenuhi beberapa kategori yaitu :

a. Staffing yaitu untuk mengukur waktu yang di butuhkan pasien dan jumlah perawat

yang di butuhkan secara kuantitas dan kualitas.

b. Program perumusan biaya dan anggaran keperawatan yaitu mencerminkan biaya

untung rugi pelayanan keperawatan yang nyata.

c. Kebutuhan perawatan pasien yaitu membagi tugas pelayanan keperawatan dengan

mengatur intensitas keperawatan dan tindakan keperawatan.

d. Mengukur nilai produkfititas yaitu mengatur output dengan input dimana

produktifitas adalah indeks beban kerja perawat.

e. Menentukan kualitas yaitu mengatur waktu dan jenis kebutuhan pasien dengan

mengalokasikan jenis dan jumlah perawat yang tepas.

2.3.6 Penilaian Beban Kerja Fisik

Penilaian Beban Kerja Fisik Penilaian beban kerja fisik secara obyektif dapat

dilakukan dengan dua metode, yaitu metode penilaian langsung dan tidak langsung.

Metode penilaian langsung yaitu mengukur energi yang dikeluarkan (energy expenditure)

melalui asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja maka semakin banyak

energi yang dikonsumsi. Kelebihan metode dengan menggunakan asupan oksigen adalah

hasil lebih akurat, namun kelemahannya yakni hanya dapat mengukur waktu kerja yang

singkat dan membutuhkan biaya yang mahal.

Berdasarkan metode pengukuran beban kerja fisik langsung, maka volume oksigen

yang dibutuhkan saat melakukan kerja dapat dipakai sebagai dasar menentukan jumlah

kalori yang dibutuhkan selama kerja, 1 liter oksigen sama dengan 4,7 – 5 Kkal

(McCormick, 1993 dalam Sugiono et all, 2018). Pendapat lain mengatakan, 1 liter
oksigen dikomsumsi oleh tubuh, maka tubuh akan mendapatkan 4,8 energi yang menjadi

nilai kalori suatu oksigen (Grover, 2012 dalam Sugiono et all, 2018).

Untuk metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut jantung.

Penilaian beban kerja fisik melalui denyut jantung adalah pendekatan untuk mengetahui

berat ringannya beban kerja fisik selain ditentukan juga oleh konsumsi energi, kapasitas

ventilasi paru, dan temperatur tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung,

dan suhu tubuh mempunyai hubungan linear dengan konsumsi kalori dalam melakukan

pekerjaan. Untuk berbagai macam alasan itulah, sehingga denyut jantung dapat dipakai

sebagai index beban kerja.

Lucien Brouha dalam Sugiono (2018) mendefinisikan tabel klasifikasi beban kerja

dalam reaksi fisiologis, untuk menentukan nilai beban pekerjaan, seperti yang

ditunjukkan pada tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Beban Kerja Manusia

Jenis Beban Kerja Konsumsi Energy Heart Rate

Oksigen Expenditure Selama Kerja

(Liter/Menit) (Kalori/Menit) (Detak/Menit)

Ringan 0,5 – 1,0 2,5 – 5,0 60 – 100

Sedang 1,0 – 1,5 5,0 – 7,5 101 – 125

Berat 1,5 – 2,0 7,5 – 10 126 – 149

Sangat Berat 2,0 – 2,5 10 – 12,5 150 – 175

2.3.7 Penilaian Beban Kerja Mental

Penilaian beban kerja mental secara obyektif dapat dilakukan dengan pengukuran

waktu kedipan mata, pekerjaan yang membutuhkan atensi visual berasosiasi dengan
kedipan mata yang lebih sedikit dan durasi kedipan mata lebih pendek, pengukuran

lainnya dengan menggunakan alat flicker, yakni berupa alat yang memiliki sumber

cahaya yang berkedip makin lama makin cepat hingga pada suatu saat sukar untuk

diikuti oleh mata biasa.

penilaian beban kerja mental secara subjektif dapat dilakukan dengan dua metode,

yaitu :

a. NASA Task Load Index (NASA TLX)

NASA Task Load Index merupakan salah satu metode penilaian beban kerja

mental subyektif. Langkah – langkah yang harus dilakukan pengukuran beban kerja

mental dengan menggunakan metodeNASA TLX, adalah sebagai berikut :

Penjelasan indikator beban kerja mental yang akan diukur :

1) Mental Demand : seberapa besar aktivitas mental dan perseptual yang dibutuhkan

untuk melihat, mengingat, dan mencari. Apakah pekerjan tersebut mudah atau

sulit, sederhana atau kompleks, longgar atau ketat.

2) Physical Demand : jumlah aktivitas fisikyang dibutuhkan (misalnya: mendorong,

menarik, mengontrol putaran, dan lain - lain).

3) Temporal Demand : jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu yang di rasakan

selama elemen pekerjaan berlangsung. Apakah perkerjaan perlahanan atau santai

atau cepat dan melelahkan.

4) Performance : seberapa besar keberhasilan seseorang di dalam pekerjaan dan

seberapa puas dengan hasil kerjanya.

5) Effort : seberapa keras kerja mental dan fisik yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan pekerjaan.

6) Frustration Level : seberapa besar tingkat keamanan, kenyamanan, ketenangan

yang di rasakan selama melaksanakan pekerjaan tersebut.


Langkah pertama adalah pembobotan. Pada bagian ini responden diminta untuk

melingkari salah satu dari dua indikator yang dirasakan lebih dominan menimbulkan

beban kerja mental terhadap pekerjaan tersebut. kuesioner yang diberikan berbentuk

perbandingan berpasangan yang terdiri dari 15 perbandingan berpasangan. Dari

kuesioner ini dihitung jumlah tally dari setiap indikator yang dirasakan paling

berpengaruh,. Jumlah tally ini kemudian akan menjadi bobot untuk tiap indikator beban

mental.

Langkah kedua yaitu pemberian rating. Pada bagian ni responden diminta memberi

rating terhadap keenam indikator beban mental. Rating yang diberikan adalah subyektif

tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden. Untuk mendapatkan skor

beban mental NASA TLX bobot dan rating untuk setiap indikator di kalikan kemudian di

jumlahkan dan dibagi 15 (jumlah perbandingan berpasangan).

Skor = Ʃ (bobot x rating)

15

2.4 Perawat

2.4.1 Definisi Perawat

Perawat adalah seseorang yang telah menamatkan program pendidikan dasar umum

bagi perawat dan telah disahkan oleh lembaga terkait untuk dapat melakukan praktik

keperawatan di negaranya. Pendidikan dasar keperawatan merupakan sebuah pendidikan

yang mempelajari tentang perilaku, kehidupan, dan ilmu keperawatan yang berguna

untuk praktik keperawatan, peran sebagai pemimpin dan sebagai dasar untuk praktik

keperawatan (Arini, 2018).


Menurut Undang – Undang RI No 38 Tahun 2014, perawat adalah seseorang yang

telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang

diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok,

atau masyarakat baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Pelayanan keperawatan adalah

suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan

kesehatan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan

kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat baik dalamkeadaan sakit maupun

sehat. (Undang – Undang RI No 38 Tahun 2014).

2.4.2 Wewenang

Perawat disiapkan untuk mempunyai wewenang :

1. Ikut serta berperan dalam praktik keperawatan, termasuk promosi kesehatan,

pencegahan penyakit, dan perawat penyakit fisik, penyakit mental dan orang – orang

yang tidak mampu pada semua usia dan pada semua tempat pelayanan kesehatan

maupun komunitas.

2. Ikut serta berperan dalam program pendidkan kesehatan.

3. Ikut serta berpartisipasi sebagai anggota dari tim kesehatan.

4. Melakukan supervisi dan pelatihan pada perawat lainnya, pada tempat pelayanan

kesehatan.

5. Terlibat dalam penelitian (International Council of Nurse, 1987 dalam Arini, 2018).

2.4.3 Asas Praktik Keperawatan

Praktik keperawatan berasaskan :

1. Perikemanusiaan

2. Nilai ilmiah
3. Etika dan profesionalitas

4. Manfaat

5. Keadilan

6. Perlindungan

7. Kesehatan dan Keselamatan pasien

2.5 Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

2.5.1 Definisi

Keselamatan pasien (pasien safety) dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11 Tahun

2017 adalah untuk sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen

resiko, identifikasi dan pengelolaan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk

meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil penyelenggara keselamatan pasien dilakukan melalui pembentukan

sistem pelayanan yang mengharapkan : standar keselamatan pasien, sasaran keselamtan

pasien, dan tujuh langkah menuju keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).

Standar keselamatan pasien (pasien safety) meliputi : hak pasien, pendidikan bagi

pasien dan keluarga, keselamatan pasien dalam kesinambungan, penggunaan metode

peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan peningkatan keselamatan pasien,

peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, pendidikan bagi staf

tentang keselamatan pasien dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien (Kemenkes, 2017).

Keselamatan pasien (pasien safety) dapat di definisikan sebagai upaya menurunkan

cedera yang tidak perlu yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan hingga ke

tingkat minimum yang dapat di terima. Tingkat minimum yang dapat diterima (accetable
minimum) merujuk pada pada pengetahuan yang dimiliki saat ini, sumber daya yang

tersedia, dan konteks dimana pelayanan di berikan, dengan membandingkannya terhadap

risiko jika tidak dilakukan tindakan atau jika di lakukan tindakan lain. Secara sederhana,

hal ini merupakan upaya pencegahan kesalahan dan kejadian yang tidak diharapkan pada

pasien yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Panesar et al, 2017).

2.5.2 Standar Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

Standar keselamatan pasien dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11 Tahun 2017,

meliputi :

8) Hak psien

9) Pendidikan bagi pasien dan keluarga

10) Keselamtan pasien dalam kesinambungan pelayanan

11) Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan

peningkatan keselamatan pasien

12) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

13) Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien

14) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

2.5.3 Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safety)

Sasaran keselamatan pasien (pasien safety) dalam Peraturan Mentri Kesehatan No 11

Tahun 2017, meliputi tercapainya hal – hal : mengidentifikasi pasien dengan benar,

meningkatkan komunikasi yang efektif, meningatkan obat – obatan yang harus di

waspadai, memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,

pembedahan pasien yang benar, mengurangi resiko infeksi akibat perawatan kesehatan

dan mengurangi resiko cedera pasien akibat terjatuh (Kemenkes, 2017).

Tujuh langkah menuju keselamatan pasien (pasien safety) terdiri atas : membangun

kesadaran akan nilai keselamatan pasien, memimpin dan mendukung staf,


mengintegrasikan aktivitas pengelolaan resiko, mengembangkan sisitem pelaporan,

melihatkan danberkomunikasi dengan pasien, belajar dan berbagi pengalaman tentang

keselamatan pasien, dan mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan

pasien (Kemenkes, 2017).

2.5.4 Enam Sasaran Keselamatan Pasien (Pasien Safet)

Sasaran kesalamatan pasien (pasien safety) merupakan syarat untuk di terapkan

disemua rumah sakit yang di akreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dari

sasaran keselamatan pasien (pasien safety) adalah mendorong perbaikan spesifik dalam

keselamtan pasien. Sasaran menyoroti bagian – bagian yang bermasalah dalam

pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari consensus berbasis bukti

dan keahlian atas permasalahan ini. Berikut 6 sasaran keselamatan pasien (pasien safety)

menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 1691 Tahun 2011 :

Sasaran I : ketetapan identifikasi pasien

Sasaran II : peningkatan komunikasi yang efektif

Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu di waspadai

Sasaran IV : kepastian tepat – lokasi, tepat – prosedur operasi

Sasaran V : pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Sasaran VI : pengurangan resiko pasien jatuh

2.3.6 Insiden Terkait Keselamatan Pasien (pasien safety)

Insiden keselamatan pasien (pasien safety) yang selanjutnya disebut insiden, adalah

setiap kejadian yang tidak di sengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpontensi

mengakibatkan cedera yang dapat di cegah pada pasien. Insiden di fasilitas pelayanan

kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 11 Tahun 2017, meliputi :

6) Kondisi Potensial Cedera (KPC) merupakan kondisi yang sangat berpotensi untuk

menimbulkan cedera, tetapi terjadi insiden.


7) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) merupakan terjadinya insiden yang belum sampai

terpapar ke pasien.

8) Kejadian Tidak Cedera (KTC) merupakan insiden yang sudah terpapar ke pasien,

tetapi tidak timbul cedera.

9) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan insiden yang mengakibatkan

cedera pada pasien.

10) Kejadian sentinel merupakan suatu kejadian tidak diharapkan yang mengakibatkan

kematian, cedera permanen atau cedera berat yang temporer dengan membutuhkan

intervensi untuk mempertahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak

terkait dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien. Kejadian sentinel dapat

disebabkan oleh hal lain selain insiden (Kemenkes, 2017).


2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan telaah pustaka di atas, maka dapat dibuat suatu kerangka teori seperti di

bawah ini :

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Keselamatan pasien (pasien safety)

Beban Kerja

Beban Kerja Fisik Beban Kerja Mental

Faktor Internal Faktor Eksternal

1. Jumlah pasien 1. Masalah komunitas


2. Kondisi atau tingkat 2. Disaster
ketergantungan pasien 3. Hukum atau uu dan
3. Rata – rata hari perawatan kebijakan
pasien 4. Politik
4. Pengukuran tindakan 5. Pengaruh cuaca
keperawatan langsung dan 6. Ekonomi
tidak langsung 7. Pendidikan konsumen
5. Frekuensi tindakan 8. Kemajuan ilmu dan
keperawatan teknologi
6. Rata – rata waktu perawatan
langsung dan tidak langsung
2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep –

konsep yang ingin di amati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Gambar 2.2

Kerangka Konsep

Beban Kerja Fisik Pasien Safety


Dan Mental

2.6 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atau dugaaa sementara dari peneliti yang kebenarannya

masih harus teliti lebih lanjut. Berdasarkan kerangka konsep diatas penulis mengajukan

hipotesis yaitu :

 Ha : Ada hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan penerapan

pasien safety di Rumah Sakit Eko Maulana Ali kabupaten Bangka Tahun 2020.

 H0 : Tidak ada hubungan beban kerja fisik dan mental perawat dengan penerapan

pasien safety di Rumah Sakit Eko Maulana Ali kabupaten Bangka Tahun 2020.
Daftar Pustaka :

18. Kurniadi, Anwar. 2013. Manajemen Keperawatan Dan Prospektifnya: Teori Konsep dan

Aplikasi. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai