BALAGHAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Balaghah
DOSEN PENGAMPU:
Zulfikri, M.Hum., Ph.D
DI SUSUN OLEH :
Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat,
hidayah dan inayah-Nya, Makalah Ilmu Balaghah Al-Qur’an ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan seluruh orang yang senantiasa mengikuti sunnah beliau.
Makalah ini dibuat berdasarkan panduan dan Garis-garis Besar Program
Pengajaran yang diberikan oleh Universitas Islam Negri (UIN) Syech M. Djambek
Bukittinggi. Juga kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
didalam penyusunan materi kuliah ini kami ucapkan terimakasih, karena tanpa arahan,
bimbingan dan motivasi yang diberikan, tentunya belum bisa tersaji kepada para
pembaca, walaupun tidak bisa kami sebutkan namanya satu persatu.
Akhir kata, sebagai karya yang baik tentunya kami memerlukan sebuah celah
untuk menyempurnakan materi kedepan, untuk itu kami dengan segala kerendahan
hati menerima masukan demi maksud diatas demi peningkatan dan penyempurnaan
dalam makalah dan pembelajaran ini.
Penyusun
Daftar Isi
2
3
BAB II
PEMBAHASAN
dan penciptaan.
ٌسنَة
ِ = Sesuatu yang datang sebelum tidur, bisa disebut dengan ()نعاس
Imam Zamakhsari menjelaskan tentang kisah nabi Musa yang ditanyai tentang
mengantuk dan tidur. Allah menjawab kepada nabi Musa “Sesungguhnya aku
menahan langit dan bumi dengan kekuasaanku. Jika aku mengantuk dan tidur, maka
lenyaplah keduanya”.
1
Abū Qasim Jārullah Mahmud bin „Umar Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al- Tanzīl
wa „Uyūni al-Aqāwil fi Wujūhi al-Ta‟wīl, (Beirut: Daarul Ma‟rifah), h. 145
4
Merupakan pernyataan Maha Kuasa Allah, karena siapa pun tidak memiliki
kuasa untuk berbicara dihari kiamat kelak melainkan diizinkan oleh Allah.
Sebagaimana juga dijelaskan dalam Q.S An-Naba‟: 38
Artinya: Mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin
kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah.
Orang-orang yang akan diberikan oleh Allah izin dihari kiamat kelak adalah
Orang yang berakal, lalu dari golongan malaikat dan nabi-nabi.
يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ َأ ْي ِدي ِه ْم َو َما َخ ْلفَ ُه ْم
= َما بَيْنَ َأ ْي ِدي ِه ْمsegala sesuatu sebelum mereka
= َما َخ ْلفَ ُه ْمsegala sesuatu sesudah mereka
ِ س َع ُك ْر
ُسيُّه ِ َو
Kursi adalah sesuatu yang diduduki diatasnya.
Al-Zamakhsyari menukil riwayat dari Ḥasan bahwa kursi yang ada pada surah
al-Baqarah ayat 255 adalah 'Arsy. Sedangkan makna “kursi” menurut Zamakhsyari
ada 4 macam, yaitu: pertama kursi Allah sangat luas sehingga meliputi langit dan
bumi, bukan brarti menggambarkan kursi tempat duduk. Namun yang di maksud
disini adalah luasnya kekuasaan Allah. Kedua, menunjukkan akan kekuasaan ilmu
Allah. Ketiga, keluasan kerajaannya. Keempat, bahwa Allah menjadikan suatu tempat
yang bernama kursi yang letaknya di bawah ‘arsy dan di atas langit. Pendapat yang
paling baik mnurut zamakhsyari adalah pendapat yang terakhir.
Kajian Balaghah dalam Ayat Kursi
1. Khabar
Penggalan ayat ini sebagai penguat atau sebagai ta’kid bagi lafadz ٱ ْلقَيُّو ُم
2. Fawashil
Dikutip dari al-Kasyaf, al-Zamakhsyari ketika itu ditanyai “bagaimana halnya
5
susunan ayat kursi tanpa huruf athaf?” Ia menjawab: Jumlahnya tidak akan diketahui
kecuali merujuk kepada jalur bayan, Bayan disini disatukan dengan mubin (yang
dijelaskan), Jika jumlah bayan dan mubin dibatasi dengan huruf 'athaf dalam ayat kursi
ini, maka hal ini akan sesuai dengan perkataan orang arab ibarat "antara tongkat dan kulit
kayunya".
Keesaan yang pasti dan jelas ini adalah kaidah tempat bertumpunya tashawwur
islami, tempat bersumbernya manhaj islami bagi semua kehidupan. Dati manhaj ini,
timbullah arahan menuju Allah Yang Maha esa saja dalam ber’udubiah, dan
beribadah. Maka, seseorang tidak menjadi ‘abd hamba kecuali bagi Allah, tidak
mengarahkan ibadahnya kecuali kepada Allah, tidak melaksanakan suatu ketaatan
kecuai ketaatan kepada Allah, dan keaatan yang diperintahkan oleh Allah. Dari
tashawwur ini lahirlah kaidah, yaitu kedaulatan itu adalah milik Allah saja. Allah
sajalah yang membuat syariat bagi manusia, dan perundang-undangan yang dibuat
manusia haruslah mengacu pada syariat Allah. Dari tashawwur ini lahir pula kaidah
bahwa semua tata nilai haruslah dari Allah. Maka, tidak ada satu pun nilai kehidupan
yang tidak diterima dalam timbangan Allah dan tidak boleh ada peraturan, tradisi,
atau tatanan yang bertentangan dengan manhaj Allah dan seterusnya. Semuanya, baik
yang berupa perasaan dalam hati maupun tata kehidupan manusia di bumi, haruslah
bersumber dari makna keesaan ini.
"Kehidupan" yang menjadi sifat Allah Yang Maha Esa ini adalah kehidupan
zatiyah yang tidak datang dari sumber lain seperti hidupnya makhluk yang
merupakan pemberian dan karunia dari Al-Khaliq Oleh karena itu, Allah Esa
(bersendirian) dengan kehidupan dalam pengertian ini. Kehidupan-Nya itu adalah
kehidupan yang azali dan abadi, yang tidak berawal dari suatu pennulaan dan tidak
berakhir pada suatu kesudahan. Kehidupan Allah adalah kehidupan yang lepas dari
ikatan waktu yang senantiasa menyertai kehidupan makhluk yang terbatas,
2
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani), 2000, h.337
6
berpermulaan, dan berkesudahan.
Adapun makna sifat "al-Qayyum" adalah bahwa Allah SWT selalu mengurusi
segala yang maujud. Maka, tidak ada urusan sesuatu melainkan bersandar kepada
keberadaan dan pengaturan-Nya. Tidak sebagaimana yang digambarkan oleh filsuf
besar Yunani, Aristoteles, bahwa Allah itu tidak memikirkan makhluk-Nya sama
sekali, karena terlalu tinggi bagi Dia untuk memikirkan selain zat-Nya.
Ini adalah pemilikan yang lengkap, mutlak, tidak terikat pada suatu ikatan
dan syarat, tak akan pernah hilang, dan tanpa kongsi. Inilah salah satu pemahaman
terhadap keesaan Tuhan. Maka, Allah Yang Maha Esa adalah esa hidup-Nya, esa
kepengurusan-Nya, esa kepemilikan-Nya, Mahahidup Yang Esa, Maha Mengurus
Yang Esa, Maha Pemilik Yang Esa. Pemahaman ini menafikan semua bentuk
persekutuan yang digambarkan di dalam akal dan pikiran manusia.
يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ َأ ْي ِدي ِه ْم َو َما َخ ْلفَ ُه ْم ۖ َواَل يُ ِحيطُونَ ِبش َْى ٍء ِّمنْ ِع ْل ِم ِٓۦه ِإاَّل بِ َما شَٓا َء
Hakikat ini dengan kedua ujungnya juga memberi andil dalam mengenalkan
7
seorang muslim kepada Tuhannya dan dalam menentukan batas kedudukannya
terhadap Tuhannya. Allah mengetahui apa yang di hadapan dan di belakang manusia.
Ini merupakan suatu ungkapan tentang ilmu atau pengetahuan Allah yang lengkap,
sempurna, dan meliputi segala sesuatu. Pengetahuan-Nya meliputi apa yang ada di
depan mereka, meliputi apa yang ghaib dari mereka, baik mengenai sesuatu yang
telah lampau maupun yang akan datang, yang masih tertutup bagi mereka.
Pengetahuan-Nya juga meliputi segala sesuatu yang mereka ketahui dan yang tidak
mereka ketahui setiap waktu. Secara umum, kalimat ini
َ ت َوٱَأْل ْر
ض ۖ َواَل َيـُٔو ُدهۥُ ِح ْفظُ ُه َما ِ س ٰ َم ٰ َو ِ س َع ُك ْر
َّ س ُّيهُ ٱل ِ َو
Inilah sifat-sifat Allah yang digunakan untuk menutup ayat ini, yang
menetapkan suatu hakikat dan mengesankan di dalam jiwa dengan hakikat ini, yang
menunggalkan kemahatinggian untuk Allah yang Maha Suci saja, dan menunggalkan
kemahabesaran untuk-Nya juga. Maka, pengungkapan dengan kalimat seperti ini
mengandung makna pembatasan. Karena itu, Dia tidak mengatakan, "Wa Huwa
'Aliyyun 'Azhiim”, “Dan Dia itu Maha Tinggi lagi Maha Besar”, yang hanya semata-
mata menetapkan adanya sifat itu saja. Akan tetapi, Dia berfirman, "Wa Huwal
'Aliyyul 'Azhiim”, “Dan, Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, untuk membatasi sifat
itu hanya untuk Allah yang Maha Suci saja, tanpa ada yang bersekutu dengan-Nya.
Kajian Balaghah dalam Ayat Kursi
1. Khabar (Taukid)
Memiliki kajian yang sedikit sama pada kitab tafsir al-Kasyaf, yang mana
pada lafadz:
Pada lafadz ِإ ْذنِ ِۦهq ِ َد ٓۥهُ ِإاَّل بq عن ْ َ َمن َذا ٱلَّ ِذى ي, penggalan ayat ini merupakan
ِ فَ ُعq ش
istifham inkari, yang berarti tidak memiliki penyangkalan lagi terhadap sesuatu yang
di sampaikan.
3. Hakikat dan Majaz
4. Fawashil
Terdapat beberapa peng‟atafan didalam ayat kursi ini, yakninya
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian Balaghah dalam Ayat Kursi
1. Khabar
ِ ُاَل تَْأ ُخ ُذهۥ
سنَةٌ َواَل نَ ْو ٌم
Penggalan ayat ini sebagai penguat atau sebagai ta’kid bagi lafadz ْٱلقَيُّو ُم
2. Fawashil
Dikutip dari al-Kasyaf, al-Zamakhsyari ketika itu ditanyai “bagaimana halnya
susunan ayat kursi tanpa huruf athaf?” Ia menjawab: Jumlahnya tidak akan diketahui
kecuali merujuk kepada jalur bayan, Bayan disini disatukan dengan mubin (yang
dijelaskan), Jika jumlah bayan dan mubin dibatasi dengan huruf 'athaf dalam ayat kursi
ini, maka hal ini akan sesuai dengan perkataan orang arab ibarat "antara tongkat dan kulit
kayunya".
Kajian Balaghah dalam Ayat Kursi
1. Khabar (Taukid)
Memiliki kajian yang sedikit sama pada kitab tafsir al-Kasyaf, yang mana pada
lafadz:
ِ ُ اَل تَْأ ُخ ُذهۥMenjadi ta’kid untuk ٱ ْلقَيُّو ُم
سنَةٌ َواَل نَ ْو ٌم
2. Insya‟ ghairu thalabiy
Pada lafadz عن َد ٓۥهُ ِإاَّل بِِإ ْذنِ ِۦه ْ َ َمن َذا ٱلَّ ِذى ي, penggalan ayat ini merupakan istifham
ِ شفَ ُع
inkari, yang berarti tidak memiliki penyangkalan lagi terhadap sesuatu yang di
sampaikan.
B. Saran
Dengan tersusunnya makalah ini, maka diharapkan kepada pembaca agar dapat
memahami tentang ayat kursi dari sudut balaghah. Penulis sadari makalah ini jauh dari
kata lengkap dan sempurna. Maka dari itu, diharapkan kepada pembaca agar mencari
sumber lain sebagai pelengkap sekaligus perluasan wawasan pembaca mengenai
materi ini serta dapat bermanfaat di kehidupan sehari-hari.
1
0
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zamakhsyari, Abū Qasim Jārullah Mahmud bin „Umar. Al-Kasysyāf „an Ḥaqā‟iq al-Tanzīl
wa „Uyūni al-Aqāwil fi Wujūhi al-Ta‟wīl. (Beirut: Daarul Ma‟rifah)
Quthb, Sayyid. (2000). Tafsir fi Zilalil Quran. (Jakarta: Gema Insani)
Amin, Musthafa dan Ali Al-Jarimi. (2017). Balaghah Wadhihah. (Bandung: Sinar Baru
Algesindo
1
1