Anda di halaman 1dari 9

TONGKAT ISTIWA’

DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENENTUAN AWAL


WAKTU DHUHUR DAN ASHAR
Disusun Guna Memenuhi Tugas “Praktikum Falak I”
Dosen Pengampu: Slamet Hambali, M. S. I.

Disusun Oleh:
Muhamad Fiqhussunnah Al Khoiron (1602046041)

PROGRAM STUDI ILMU FALAK


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVESITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
TONGKAT ISTIWA’
DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU
DHUHUR DAN ASHAR

A. Pendahuluan
Pada zaman dahulu, umat Islam menentukan awal waktu shalat dengan
mengandalkan bayangan benda yang terpapar sinar Matahari. Berbeda dengan
zaman sekarang penentuan awal waktu shalat dapat dilakukan hanya dengan
perhitungan rumus-rumus yang berdasarkan data-data astronomis.
Namun demikian perhitungan-perhiutungan tersebut juga berdasarkan
ketentuan dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. dalam hadis beliau dijelaskan
bahwa shalat dhuhur dimulai apabila Matahari sudah diatas kepala dan sedikit
condong ke barat atau sering disebut dengan tergelincirnya matahari. Dan
untuk shalat Ashar, dimulai ketika bayangan benda sama dengan tinggi benda
tersebut.
Penentuan shalat Dhuhur dan Ashar secara praktik dapat dilakukan
dengan mengandalkan sinar matahari. Dengan menggunakan tongkat tegak
lurus yang disebut tongkat istiwa’, menentukan awal waktu shalat dhuhur dan
ashar dapat mudah dilakukan dimana saja tanpa harus menggunakan rumus
yang sulit dan data yang rumit. Oleh sebab itu, di dalam makalah ini, penulis
mencoba menjelaskan penggunaan tongkat istiwa dalam penentuan awal
waktu shalat dhuhur dan ashar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka dalam makalah ini akan
mengkaji dan memaparkan tentang tongkat istiwa’ dan penggunaannya dalam
menentukan waktu dhuhur dan ashar. Dalam pembahasan ini agar
pembahasannya tidak keluar dari kajian, maka dirasa perlu untuk membatasi
makalah ini dengan rumusan masalah. Adapun pokok permasalahan yang
akan dibahas antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan tongkat istiwa’?

1
2. Bagaimana penggunaan tongkat istiwa dalam penentuan awal waktu
shalat dhuhur dan ashar?

C. Definisi Tongkat Istiwa’


Pada zaman dahulu tongkat istiwa’ dikenal dengan nama gnomon.
Tongkat istiwa’ terdiri dari dua kata, yaitu tongkat dan istiwa’. Tongkat
adalah sepotong bambu (rotan, kayu, dsb) yang agak panjang (untuk
menopang atau pegangan ketika berjalan, menyokong).1 Sedangkan istiwa’
dalam kamus al-Bisri bermakna keadaan lurus.2 Jadi, tongkat istiwa’
merupakan tongkat yang dikondisikan dalam posisi berdiri dalam keadaan
yang lurus. Hal ini diperkuat dengan adanya istilah istiwa’ yang digunakan
para ahli falak sebagai tongkat yang digunakan untuk mengetahui ketinggian
Matahari, khususnya pada penentuan bayangan tongkat ketika kulminasi
(dalam menentukan waktu Dzuhur).3
Di dalam kamus Ilmu Falak, tongkat istiwa’ diartikan sebagai alat
sederhana yang terbuat dari sebuah tongkat yang ditancapkan tegak lurus
pada bidang datar dan diletakkan di tempat terbuka agar mendapat sinar
matahari.4
Sesungguhnya tongkat istiwa’ tidak ada bentuk lain kecuali hanyalah
sebuah tongkat vertical yang tegak lurus. Tongkat istiwa’ ini dapat dibuat
sendiri dengan beberapa variasi yang mungkin dapat terjadi:5
1. Panjang tongkat,
2. Tebal tongkat,
3. Bahan dan bentuk atas tongkat,
4. Alat bantu, misalkan benang lot atau waterpass.

1
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 684.
2
Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), hal. 354.
3
Anisah Budiwati, “Tongkat Istiwa„, Global Positioning System (GPS) dan Google Earth
untuk Menentukan Titik Koordinat Bumi dan Aplikasinya dalam Penentuan Arah Kiblat”, (Al-
Ahkam Volume 26, Nomor 1, April 2016), hal. 69-70.
4
Muhyiddin Khazin, Kamus llmu Falak, (Yogyakarta: Buana Pustaka), hal. 84.
5
Ahmad Syifaul Anam, Perangkat Rukyat non Optik, (Semarang: CV. Karya Abadi
Jaya), hal. 104.

2
D. Penentuan Awal Waktu Shalat Ashar dan Dhuhur dengan Tongkat
Istiwa’
1. Kedudukan Matahari pada Awal Waktu Shalat Dhuhur
Awal waktu dhuhur dimulai sejak matahari tepat berada diatas
kepala namun sudah mulai agak condong ke barat. Istilah yang sering
digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya
matahari. Sebagai terjemahan bebas zawalus syamsi.6
Apabila matahari sedang berkulminasi, titik pusat matahari
berkedudukan tepat di meridian. Akan tetapi, jika matahari berkulminasi
di zenith, bayang-bayang benda yang terpancang tegak lurus di atas tanah,
membujur tepat menurut arah utara-selatan. Garis poros bayang-bayang
itu dan titik pusat matahari membentuk sebuah bidang, berimpit dengan
meridian.7
Setelah titik pusat matahari dalam perjalanan matahari ke arah Barat,
melepaskan diri dari meridian, ujung bayang-bayang benda yang
terpancang tegak lurus, akan melepaskan diri dari garis utara-selatan dan
membelok ke arah timur.8 Keadaan inilah yang disebut dengan zawalus
syamsi.
Ketika matahari tepat di titik meridian, maka orang belum boleh
menunaikan shalat dhuhur dan hendaknya menunggu hingga matahari
mulai condong ke barat, atau ketika bayangan suatu benda mulai bergerak
ke arah timur.

2. Kedudukan Matahari pada Awal Waktu Shalat Ashar


Ketika matahari sudah mencapai titik kulminasi, semakin lama
bayang-bayang suatu benda semakin panjang hingga panjang bayang-
bayang tersebut menyamai panjangnya maka tibalah waktu ashar,
bilamana saat matahari mencapai titik kulminasi atas (awal dhuhur)

6
Slamet Hambali, Ilmu Falak 1, (Semarang: Program Pascasarjana IAIN Walisongo
Semarang, 2002), hal. 125-126.
7
Drs. A. Jamil, Ilmu Falak (Teori & Aplilkasi), (Jakarta: Amzah, 2014), hal. 33.
8
Drs. A. Jamil, Ilmu…,hal. 33

3
bayangan berimpit dengan tongkatnya. Sedangkan ketika matahari
mencapai titik kulminasi atas bayangan tongkat mempunyai panjang
tertentu, maka awal waktu ashar adalah setelah panjang bayangan
sepanjang tongkat ditambah panjangnya bayangan tongkat ketika
matahari mencapai titik kulminasi atas.9

AB merupakan tongkat yang dipasang vertical tegak lurus dengan


bumi dengan a adalah panjangnya. Ketika matahari berkulminasi
bayangan tongkat AB jatuh pada titik C, sehingga BC adalah panjang
bayangan tongkat ketika kulminasi. BCD adalah bayangan tongkat ketika
masuk waktu ashar.

3. Menentukan Awal Waktu Shalat Dhuhur dan Ashar dengan Tongkat


Istiwa’
Peralatan yang diperlukan untuk menentukan awal waktu shalat
dhuhur dan ashar dengan tongkat istiwa’ diantaranya:
a. Tongkat istiwa’, ketebalan dan tinggi tongkat dapat ditentukan sesuai
keinginan. Namun semakin tinggi tongkat, semakin bagus
keakuriasiannya.
b. Alas, dapat berupa papan berbagai ukuran.
c. Waterpass

9
Slamet Hambali, Ilmu…, hal. 59

4
d. Penggaris, untuk mengukur bayangan benda.

Pada satu kesempatan, pemakalah melakukan praktik penentuan


awal waktu shalat Dhuhur dan Ashar tepatnya pada hari Senin, 1 Oktober
2018 di Pesantren Life Skill Daarun Najaah, Ngaliyan. Pemakalah
menggunakan tongkat dengan panjang 16 cm dan alas berupa papan
berukuran 35x25 cm.

Gambar 1. Peralatan untuk penentuan awal waktu shalat


dengan tongkat istiwa‟

Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menentukan awal


waktu shalat dhuhur dan ashar sebagai berikut:
a. Letakkan papan di tempat yang datar, gunakan waterpass untuk
memepermudah menentukan tempat.
b. letakkan tongkat dengan tegak diatas papan.
c. Tunggu matahari berkulminasi, sehingga bayangan tongkat lurus
dengan arah utara dan selatan, kemudian catat waktu dan panjang
bayangan ketika kulminasi.
Ketika kulminasi, tongkat yang diletakkan pemakalah memiliki
bayangan sepanjang 1,5 cm tepat pada pukul 11.29 WIB. Bayangan
berada disebelah selatan, sehingga posisi matahari pada saat
kulminasi berada di sebelah utara.

5
Gambar 2. Bayangan ketika kulminasi

d. Tunggu hingga bayangan tongkat agak condong ke timur. Inilah


permulaan waktu shalat Dhuhur, yaitu saat tergelincirnya matahari.
Catat waktunya.
e. Untuk menentukan awal waktu ashar, setelah diketahui bayang-
bayang waktu kulminasi maka ditambah dengan panjang 1 tongkat
untuk menentukan waktu shalat Ashar. kemudian catat waktunya.

Gambar 3. Bayangan ketika kulminasi

6
dari hasil praktek pemakalah, awal waktu ashar terjadi pada
pukul 14.41 WIB, yaitu ketika bayangan tongkat sama dengan tinggi
tongkat ditambah panjang bayangan ketika kulminasi atas (16 cm+
1.5 cm = 17.5 cm).

E. Penutup
Tongkat istiwa merupakan tongkat vertikal yang dipasang tegak lurus
dengan bidang datar dan diletakkan pada tempat terbuka agar terkena sinar
matahari. Komponen dari tongkat istiwa’ hanyalah sebuah tongkat tegak lurus
dengan beberapa variasi dapat dilakukan, misalkan ukuran tongkat, ketebalan,
dan bentuk ujung tongkat.
Fungsi dari tongkat istiwa dalam kajian ilmu falak banyak sekali, salah
satunya adalah penentuan awal waktu shalat. Dalam penentuan awal waktu
shalat dhuhur dan ashar. awal waktu dhuhur dimulai ketika zawalus syamsi
atau ketika matahari condong ke arah barat setelah terjadi kulminasi atas.
Sedang waktu ashar dimulai ketika panjang bayangan tongkat sama dengan
tinggi tongkat.
Dalam menentukan awal waktu shalat dengan tongkat istiwa’, hal yang
perlu diperhatikan ialah deklinasi atau kemiringan matahari. Hal ini sangat
berpengaruh dalam mengukur panjang bayangan suatu benda. Saat matahari
mencapai titik kulminasi atas (awal dhuhur) bayangan berimpit dengan
tongkatnya. Apabila matahari sedang berkulminasi, titik pusat matahari
berkedudukan tepat di meridian. Akan tetapi, jika matahari berkulminasi di
zenith, bayang-bayang benda yang terpancang tegak lurus di atas tanah,
membujur tepat menurut arah utara-selatan.
Sedangkan ketika matahari mencapai titik kulminasi atas bayangan
tongkat mempunyai panjang tertentu, maka awal waktu ashar adalah setelah
panjang bayangan sepanjang tongkat ditambah panjangnya bayangan tongkat
ketika matahari mencapai titik kulminasi atas.

7
DAFTAR PUSTAKA

Anam, Ahmad Syifaul. 2015. Perangkat Rukyat non Optik. Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya.

Budiwati, Anisah. April 2016. “Tongkat Istiwa„, Global Positioning System


(GPS) dan Google Earth untuk Menentukan Titik Koordinat Bumi
dan Aplikasinya dalam Penentuan Arah Kiblat”. Al-Ahkam Volume
26, Nomor 1.

Hambali, Slamet. 2002. Ilmu Falak 1. Semarang: Program Pascasarjana IAIN


Walisongo Semarang.

Jamil, Drs. A. 2014. Ilmu Falak (Teori & Aplilkasi). Jakarta: Amzah.

Khazin, Muhyiddin. Kamus llmu Falak. Yogyakarta: Buana Pustaka.

Munawir, Warson. 1997. al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progressif.

Rais, Heppy El. 2012. Kamus Ilmiah Populer Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai