Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang

dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya sebagai

investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara

sosial dan ekonomi. Kesehatan sebagai salah satu unsur dari kesejahteraan

rakyat juga mengandung arti terlindunginya dan terlepasnya masyarakat dari

segala macam gangguan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat

(Renstra Kemenkes RI, 2015).

Salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan adalah

pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang

dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya

peningkatan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau

masyarakat secara keseluruhan.yang memperngaruhi derajat kesehatan adalah

pelayanan kesehatan. Definisi pelayanan kesehatan menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 yang tertuang dalam Undang

Undang Kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau

secara bersama sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan

1
2

meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta

memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun

masyarakat (Depkes RI, 2009).

Pelayanan kesehatan secara umum terdiri dari dua bentuk pelayanan

kesehatan yaitu pelayanan kesehatan perorangan (Medical Service) dan

pelayanan kesehatan masyarakat (Public Health Service). Medical service

merupakan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh perorangan

secara mandiri (Self Care) dan keluarga (Family Care) atau kelompok

anggota masyarakat yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit dan

memulihkan kesehatan perorangan dan keluarga. Sedangkan Public Health

Service diselenggarakan oleh kelompok dan masyarakat yang bertujuan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan yang mengacu pada tindakan

promotif dan preventif yang dilaksanakan pada pusat pusat kesehatan

masyarakat seperti puskesmas (UU Kesehatan Pasal 52 ayat 1).

Pelayanan kesehatan dimulai dari pelayanan kesehatan dasar (tingkat

pertama) sampai dengan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan

(tingkat kedua dan ketiga) yang merupakan pelayanan spesialistik dan

subspesialistik. Pelayanan kesehatan dasar dilakukan di klinik-klinik

kesehatan atau puskesmas dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan

dilaksanakan di rumah sakit (PMK No. 71 tahun 2013).

Berdasarkan undang undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah

sakit, menyatakan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

bagi masyarakat dengan karekteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh


3

perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mempu meningkatkan

pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud

derajat kesehatan yang setingi-tingginya.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai

suatu pernyataan kelengkapan fisik, mental dan kesejahteraan sosial, serta

tidak semata terbebas dari penyakit atau kelemahan. Sehat bukan sekedar

keadaan hidup, tetapi juga penggunaan sumber (mis., fisik, pribadi, sosial)

oleh tiap orang dalam menjawab tantangan hidup. Faktor ini yang sangat

mempengaruhi asuhan keperawatan yang mencakup kontinum sehat sakit dan

kesejahteraan tingkat tinggi (LeMone, 2015).

Respon seseorang terhadap suatu penyakit di definisikan sebagai

kondisi sakit. Respon tersebut sangat individual karena tidak hanya pada

persepsi diri sendiri terhadap penyakit, tetapi juga persepsi terhadap orang

lain (LeMone, 2015).

Penyakit dan sakit adalah istilah yang sering digunakan secara saling

bertukar, tetapi pada kenyataannya mempunyai makna yang berbeda. Secara

umum, keperawatan memperhatikan sakit, sedangkan kedokteran

memperhatikan penyakit. Penyakit adalah sebuah istilah medis yang

menggambarkan perubahan struktur dan fungsi tubuh atau pikiran. Penyakit

dapat disebabkan oleh mekanis, biologis, atau normatif. Penyebab mekanis

mengakibatkan kerusakan struktur tubuh dan merupakan akibat trauma atau

suhu yang ekstrim. Penyebab biologis mempengaruhi fungsi tubuh dan


4

merupakan akibat kelainan genetika, efek penuaan, infestasi dan infeksi,

perubahan sistem immun, dan perubahan sekresi organ normal. Sedangkan

penyebab normatif adalah psikologis, tetapi melibatkan interaksi antara

pikiran dan tubuh sehingga manifestasi fisik terjadi sebagai respons adanya

gangguan fisiologis. Dari penyebab-penyebab penyakit diatas sebagian dapat

tertangani dengan pengobatan dan konseling, sebagian lain mungkin perlu

dilakukan tindakan lebih lanjut seperti pembedahan (LeMone, 2015).

Pembedahan merupakan trauma buatan yang akan menimbulkan

perubahan faal sebagai respon dari trauma itu sendiri (Jong, 2010). Bedah

telah menjadi salah satu bentuk keahlian sejak pertengahan abad 19.

Pembedahan merupakan cara dokter mengobati kondisi yang sulit atau

tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana, pada

awalnya dokter bedah hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang prinsip-

prinsip aseptik dan teknik anastesi masih sangat primitif serta tidak aman bagi

pasien (Potter & Perry 2010).

Menurut data WHO diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi

utama di seluruh dunia, satu untuk 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009).

Pertumbuhan jumlah kecelakaan, kasus kanker dan penyakit kardiovaskular

akan meningkatkan prosedur bedah lebih lanjut. Prosedur pembedahan yang

dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi operasi dapat

menyebabkan kerusakan yang signifikan.

Di Asia sendiri, khususnya di Singapura (2009) jumlah

pembedahan menerima 3 juta pasien bedah setiap tahunnya. Tindakan


5

pembedahan di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa (WHO

dalam Sartika 2013). Berdasarkan data tabulasi nasional Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2009, tindakan bedah

menempati urutan ke-11 dari 50 penanganan pola penyakit di rumah sakit se-

Indonesia (Depkes RI, 2009).

Perkembangan ilmu bedah dengan berbagai subspesialisi yang sangat

cepat dipengaruhi oleh perkembangan teknik pembedahan, instrumen bedah

invasif terbaru dengan teknologi mutakhir serta keperluan diagnostik pada

pasien. Hal ini berimplikasi pada perawat untuk mengembangkan dan

membekali diri agar dapat mengembangkan asuhan keperawatan perioperatif

guna ikut serta dalam pelayanan bedah. Keperawatan perioperatif tidak lepas

dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah. Dengan demikian, ilmu bedah

yang semakin berkembang akan memberikan implikasi pada perkembangan

keperawatan perioperatif (Mutaqin, 2009).

Keperawatan perioperatif merupakan bidang yang berkembang pesat,

senantiasa berubah, dan memiliki berbagai kompleksitas dalam perencanaan

keperawatannya. Ada berbagai kondisi yang memberikan motivasi pada

keperawatan perioperatif untuk selalu melakukan inovasi baru. Hal ini

berdasarkan pada karakteristik penting dari keperawatan perioperatif antara

lain kerjasama tim yang berkualitas tinggi, komunikasi yang efektif dan

terapeutik dengan klien dan keluarga dan tim bedah, pengkajian klien yang

efektif dan efisien pada semua fase serta advokasi untuk klien dan keluarga

klien (Mutaqin, 2009).


6

Keperawatan perioperatif dilakukan berdasarkan proses keperawatan

dan perawat perlu menetapkan strategi yang sesuai dengan kebutuhan klien

selama periode perioperatif sehingga klien memperoleh kemudahan sejak

datang sampai klien sehat kembali.

Menurut Daniel (2012), selama periode perioperatif, peran perawat

bersifat inklusif diseluruh aspek perawatan klien dan keluarga. Perawat

mengkaji, memberikan intervensi dan mengevaluasi status klien dan keluarga

dalam hal fisiologis, psikososial dan spiritual. Keseluruhan aktivitas perawat

ditujukan untuk menempatkan klien dan keluarga dalam kondisi terbaik

disetiap fase operasi, mulai dari sebelum waktu pembedahan (preoperatif)

prosedur aktual pembedahan (intra operatif) dan periode setelah

dilakukannya pembedahan (post operatif) (Wibisono, 2010).

Fase preoperatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif

yang dumulai ketika pasien mulai masuk ruang perawatan dan berakhir ketika

pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yang meliputi

persiapan diagnostik, persiapan fisiologi, serta persiapan psikologi baik

pasien maupun keluarga. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan

mencakup penetapan pengkajian dasar klien, wawancara preoperatif dan

menyiapkan pasien untuk anestesi yang diberikan pada saat pembedahan.

Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial yang

mengancam dan membangkitkan reaksi stres fsiologis maupun psikologis

(Warsini, 2015). Pembedahan yang ditunggu akan menyebabkan rasa takut


7

dan ansietas (Potter & Perry, 2010). Ansietas atau kecemasan dapat

diakibatkan karena ketidaktahuan akan prosedur pembedahan. Hal ini bisa

berdampak terhadap kondisi fisik maupun psikis klien yang akan menjalani

pembedahan. Salah satu faktor yang merupakan penyebab terjadinya

pembatalan tindakan pembedahan adalah kecemasan (pasien menyatakan

belum siap untuk menjalani pembedahan). Oleh karena itu sangat perlu bagi

setiap klien yang akan menjalani pembedahan untuk mendapatkan informasi

prabedah terkait dengan prosedur pembedahan yang akan dijalaninya.

Penyuluhan perioperatif merupakan salah satu cara untuk mengatasi

kecemasan pra operatif. Hal ini sangat penting dalam membantu pasien

mengatasi kecemasannya sehingga perlu adanya pelayanan keperawatan

yang berkualitas, ini akan membantu mengurangi rasa takut akibat

ketidaktahuan pasien (Dayalon, 1994) di kutip dari (Potter & Perry, 2010).

Cara lain untuk mengatasi kecemasan adalah dengan berdoa (Murpy,

2009).

Manfaat penyuluhan perioperatif yang terstruktur telah terbukti

(Potter & Perry, 2010). Salah satu bentuk penyuluhan perioperatif diantaranya

adalah penyuluhan/pemberian informasi Pra bedah dimana hal ini bermanfaat

untuk memenuhi kebutuhan individu tentang pengetahuan operasi,

meningkatkan keamanan pasien, meningkatkan kenyamanan psikologis dan

fisiologis, meningkatkan keikutsertaan pasien dan keluarga dalam

perawatannya, dan meningkatkan kepatuhan terhadap intruksi yang telah

dijelaskan. Informasi prabedah tersebut diberikan dalam bentuk penyuluhan


8

prabedah pada klien sebelum menjalani pembedahan, sehingga klien akan

merasa siap untuk menjalani pembedahan yang akan dijalaninya. Riset

menunjukkan bahwa penyuluhan perioperatif/pemberian informasi prabedah

dikaitkan dengan penurunan tingkat kecemasan, ambulasi yang cepat, dan

keikutsertaan dalam aktifitas perawatan diri (Baradero, Dayrit & Siswadi,

2009).

Kecemasan adalah suatu yang menimpa hampir setiap orang pada

waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal

terhadap situasi yang menekan kehidupan seseorang, dan karena itu

berlangsung tidak lama. Penting sekali untuk mengingat bahwa kecemasan

bisa muncul sendiri atau bersama dengan gejala-gejala lain berbagai

gangguan emosi.

Kecemasan yang dialami pasien mempunyai bermacam-macam

alasan diantaranya adalah cemas menghadapi ruangan operasi dan peralatan

operasi, cemas menghadapi body image yang berupa cacat anggota tubuh,

cemas dan takut mati saat di bius, cemas bila operasi gagal, cemas masalah

biaya yang membengkak. Beberapa pasien yang mengalami kecemasan

berat terpaksa menunda jadwal operasi karena pasien merasa belum siap

mental menghadapi operasi (Sawitri & Sudayanto, 2008).

Kecemasan tersebut dimanifestasikan secara langsung melalui

perubahan fisiologis seperti (gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat,

nyeri abdomen, sesak nafas) dan perubahan perilaku seperti (gelisah, bicara

cepat, reaksi terkejut) dan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala
9

sebagai upaya untuk melawan kecemasan (Stuart 2007). Salah satu faktor

yang mempengaruhi kecemasan adalah pandangan interpersonal yang

beranggapan adanya ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas

fisiologis yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan

aktivitas hidup sehari-hari (Stuart, 2007).

Insiden yang dilaporkan Pra bedah, kecemasan pada orang dewasa

berkisar antara 11% sampai 80%, Insiden tertinggi yang dilaporkan oleh

psikiater menggunakan psikologis validasi kuesioner (Corman, 1958) dalam

(Maranets, 1999). Saat ini, data menunjukkan adanya hubungan antara

efek kecemasan dan ketakutan sebelum operasi (Czeisle, 1976) dalam

(Maranets 1999).

Rumah Sakit Umum Daerah R. Syamsudin, SH Kota sukabumi adalah

rumah sakit tipe B pendidikan milik pemerintah daerah terbesar di Jawa Barat

yang dijadikan rujukan untuk daerah Kota dan Kabupaten Sukabumi secara

tidak langsung dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik dan bermutu,

baik pelayanan medik maupun pelayanan keperawatan. Pada tahun 2008

terjadi perubahan  pengelolaan keuangan  rumah sakit dari swadana menjadi

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)  berdasarkan Keputusan Walikota

Sukabumi Nomor 31 tahun 2008 tentang RSUD R. Syamsudin, S.H.  sebagai

SKPD yang menerapkan PPK-BLUD secara penuh.

Meningkatnya kebutuhan masyarakat serta tuntutan masalah

kesehatan yang semakin beragam, maka dalam rangka memenuhi pelayanan

di rawat inap RSUD R. Syamsudin, SH terdapat beberapa sub spesialis ruang


10

perawatan yang salah satunya adalah ruang perawatan bedah. Pasien dengan

kasus pembedahan baik dengan indikasi operasi atau tidak akan menjalani

perawatan di ruang perawatan bedah terutama pasien yang akan menjalani

pembedahan. Ruang yang menjadi tempat pembedahan yang ada di RSUD R.

Syamsudin, SH yaitu ruang Instalasi Bedah Sentral.

Dari sekian banyak kasus pembedahan yang dilaksanakan di ruang

Instalasi Bedah Sentral, hanya ada dua jenis pembedahan berdasarkan sifat

urgensinya yaitu yang bersifat elektif (direncanakan) dan bersifat cyto

(Emergency). Bedah elektif merupakan pembedahan dimana pasien harus

dioperasi ketika diperlukan, tidak terlalu membahayakan jika tidak dilakukan.

Sedangkan operasi bedah cyto (Emergency) merupakan pembedahan dimana

pasien membutuhkan perhatian dengan segera, gangguan yang

diakibatkannya diperkirakan dapat mengancam jiwa (kematian atau kecacatan

fisik) dan tidak dapat ditunda (Maryunani, 2014).

Ruang perawatan bedah yang ada dilingkungan RSUD R. Syamsudin,

SH Kota Sukabumi meliputi ruang Family Bedah, ruang Teratai dan ruang

Aster dan terdiri dari berbagai kelas perawatan yaitu kelas 1, kelas 2 dan

kelas 3. Ruang teratai yang terdiri dari Teratai Merah Atas (TMA), Teratai

Merah Bawah (TMB), Teratai Putih Atas (TPA), Teratai Putih Bawah (TPB)

dan ruang Family Bedah merupakan ruang perawatan kelas 3. Sedangkan

untuk ruang perawatan kelas 1 hanya ruang Aster.

Rekapitulasi jumlah data pasien Instalasi Bedah Sentral berdasarkan

Staf Medis Fungsional (SMF) bedah yang menggunakan fasilitas Instalasi


11

Bedah Sentral RSUD R. Syamsudin, SH dalam kurun waktu antara tahun

2015 sampai dengan tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut :

Tabel 1.1
Rekapitulasi jumlah pasien Instalasi Bedah Sentral berdasarkan Staf
Medis Fungsional (SMF) bedah yang menggunakan fasilitas Instalasi
Bedah Sentral RSUD R. Syamsudin, SH Dalam Kurun Waktu Antara
Tahun 2015 Sampai Dengan Tahun 2017

Staf Medis Fungsional 2015 2016 2017

Bedah Umum 818 942 1682

Bedah Obstetry dan Gynekologi


1140 1164 1218
(Obgyn)

Bedah Gigi dan Mulut 125 105 146

Bedah THT 197 159 165

Bedah Mata 240 269 246

Bedah Orthopedi 444 447 468

Bedah Neurosurgery 215 217 327

Bedah Urology 587 329 275

Bedah Anak 319 336 371

Bedah Digestif 369 392 406

Bedah Plastik 173 287 318

Jumlah Total 4627 4647 5622


Sumber : Rekapitulasi Data rekam medik Instalasi Bedah Sentral RSUD R.
Syamsudin, SH Kota Sukabumi tahun 2017

Berdasarkan data pada tabel 1.1 diatas dapat diketahui bahwa

penggunaan fasilitas kamar bedah setiap tahunnya selalu mengalami

perubahan. Akan tetapi untuk kasus pembedahan secara keseluruhan


12

cenderung meningkat yaitu pada tahun 2015 sebanyak 4627 kasus, tahun

2016 sebanyak 4647 kasus dan tahun 2017 sebanyak 5622 kasus.

Sedangkan Rekapitulasi jumlah pasien yang dilakukan pembedahan

di Instalasi Bedah Sentral RSUD R. Syamsudin, SH berdasarkan sifat

operasinya dapat dilihat pada diagram 1.1 berikut :

Diagram 1.1
Rekapitulasi jumlah pasien yang dilakukan pembedahan di Instalasi
Bedah Sentral RSUD R. Syamsudin, SH berdasarkan Sifat Operasinya
Dalam Kurun Waktu Antara Tahun 2015 Sampai Dengan Tahun 2017

3364
3500
2831 2711
3000
2255
2500 1936
1796
2000
1500
1000
500
0
Cito Elektif Cito Elektif Cito Elektif
2015 2016 2017

Sumber : Rekapitulasi data rekam medik Instalasi Bedah Sentral RSUD R.


Syamsudin, SH Kota Sukabumi tahun 2017

Berdasarkan diagram 1.1 dapat diketahui bahwa kasus operasi elektif

mengalami penurunan di tahun 2016 dan meningkat kembali tahun 2017 yaitu

pada tahun 2015 sebanyak 2831 kasus, pada tahun 2016 sebanyak 2711 kasus

dan pada tahun 2017 sebanyak 3364 kasus. Jika dilihat dari segi jumlah

pasien berdasarkan sifat pembedahan, pembedahan dengan sifat operasi

elektif lebih banyak kasusnya di bandingkan dengan jumlah operasi cyto.


13

Penelitian Sawitri dan Sudaryanto (2008) dengan judul penelitian

“Pengaruh Pemberian informasi pra bedah terhadap tingkat kecemasan

pada pasien bedah mayor di Bangsal Orthopedi RSUI Kustati Surakarta”

menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian

informasi pra bedah dengan penurunan tingkat kecemasan pada pasien pra

bedah mayor dan ada perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah

dilakukan perlakuan pemberian informasi pra bedah yaitu ada penurunan

tingkat kecemasan dari kecemasan sedang menjadi kecemasan ringan.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Septiana (2016) tentang pengaruh

pendidikan kesehatan pra bedah terhadap tingkat kecemasan pasien

preoperasi fraktur di RSUD dr. Moewardi didapatkan hasil bahwa terdapat

pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kecemasan pasien fraktur.

Penelitian menunjukkan hasil nilai rata-rata skor kecemasan sebelum

pendidikan kesehatan adalah 42,6% sedangkan sesudah dilakukan pendidikan

kesehatan adalah 20,4%.

Hasil study pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti tanggal 3 April

2018 terhadap 10 orang responden, didapatkan bahwa semua responden

menyatakan cemas, 3 orang responden mengalami cemas ringan dan 7 orang

responden mengalami kecemasan sedang. Dari 10 orang responden tersebut 6

orang responden dengan jenis operasi besar, 3 responden dengan jenis operasi

sedang, dan 1 responden dengan jenis operasi khusus tidak mendapatkan

penjelasan secara lengkap terkait prosedur pembedahan, namun 3 orang

responden yang mengalami cemas ringan mempunyai pengalaman operasi


14

sebelumnya sehingga mempunyai gambaran prosedur pembedahan dari

operasi sebelumnya. Semua klien yang akan menjalani operasi seyogyanya

mendapatkan informasi secara menyeluruh terkait pembedahan baik dari sisi

informasi medis maupun informasi terkait proses keperawatannya sehingga

menjadikan klien dapat lebih siap untuk menjalani operasi.

Berdasarkan data dan latar belakang diatas penulis tertarik untuk

mengambil penelitian mengenai “Pengaruh Pemberian Informasi Pra Bedah

Terhadap Kecemasan Pasien Bedah Elektif Di Ruang Rawat Inap Bedah

RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut: “Apakah ada Pengaruh Pemberian

Informasi Pra Bedah Terhadap Kecemasan Pasien Bedah Elektif Di Ruang

Rawat Inap Bedah RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh

mana pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap kecemasan pasien

bedah elektif di ruang rawat inap bedah RSUD R. Syamsudin, SH Kota

Sukabumi.
15

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pasien preoperasi

berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan

pada pasien bedah elektif di ruang rawat inap bedah RSUD R.

Syamsudin, SH Kota Sukabumi.

b. Untuk mengetahui pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap

kecemasan pasien bedah elektif di ruang rawat inap bedah RSUD R.

Syamsudin, SH Kota Sukabumi

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD R. Syamsudin, SH

Sebagai bahan kajian dalam upaya peningkatan kualitas layanan

keperawatan perioperatif khususnya pada fase preoperatif di ruang

perawatan bedah.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai tambahan kepustakaan serta untuk

meningkatkan pengetahuan pembaca terkait dengan pengaruh pemberian

informasi prabedah terhadap kecemasan pada pasien yang akan menjalani

operasi.

3. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan wawasan serta pengalaman khususnya dalam hal

penelitian, yang selanjutnya dapat menerapkan teori teori dan hasil


16

penelitian yang telah didapatkan terutama yang berhubungan dengan

pelayanan keperawatan perioperatif.

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah dasar pemikiran dari penelitan yang

disintesiskan dari fakta-fakta, observasi dan telaahan kepustakaan. Kerangka

pemikiran tidak lagi memuat teori, dalil, teori dan konsep, tetapi hanya

merupakan sintesis dari teori, dalil dan konsep yang dijadikan dasar dalam

penelitian dan digambarkan dalam bentuk hubungan variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian, namun variabelnya tidak dijelaskan secara

mendalam (Rianse, 2012).

Pembedahan merupakan trauma buatan yang akan menimbulkan

perubahan faal sebagai respon dari trauma itu sendiri. Keperawatan

perioperatif tidak lepas dari salah satu ilmu medis yaitu ilmu bedah. Dengan

demikian, ilmu bedah yang semakin berkembang akan memberikan implikasi

pada perkembangan keperawatan perioperatif.

Fase preoperatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif

yang dumulai ketika pasien mulai masuk ruang perawatan dan berakhir ketika

pasien dipindahkan ke meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Setiap pasien yang akan menjalani pembedahan memiliki tingkat

kecemasan yang tinggi. Kecemasan adalah respon emosi tanpa objek yang

spesifik dan subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal.


17

Salah satu cara mengatasi kecemasan pada pasien pre operasi bisa

dilakukan dengan melakukan penyuluhan/pemberian informasi Pra Bedah

dimana hal ini bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan individu tentang

pengetahuan operasi, meningkatkan keamanan pasien, meningkatkan

kenyamanan psikologis dan fisiologis, meningkatkan keikutsertaan pasien

dan keluarga dalam perawatannya, dan meningkatkan kepatuhan terhadap

intruksi yang telah di jelaskan. Sehingga diharapkan setelah pemberian

informasi pra bedah, kecemasan klien terkait dengan proses pembedahan

akan berkurang dan klien merasa siap untuk menjalani pembedahan.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada

bagan 1.1 sebagai berikut :

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

Pelayanan Keperawatan
Kecemasan
Preoperatif
Rencana Pembedahan (Pemberian Informasi
Prabedah)

Keterangan :

: yang diteliti

: yang tidak diteliti


18

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan

membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat

diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah

dikumpulkan dalam penelitian. Hipotesis juga merupakan sebuah pernyataan

tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat

diuji secara empiris (Arikunto, 2010).

Hipotesis dalam penelitian ini yaitu ada pengaruh pemberian informasi

pra bedah terhadap kecemasan pasien bedah elektif di ruang rawat inap bedah

RSUD R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi

Adapun bentuk hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari

penelitian ini adalah :

H0 : Tidak ada pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap

kecemasan pasien bedah elektif di ruang rawat inap bedah RSUD

R. Syamsudin, SH Kota Sukabumi.

H1 : Ada pengaruh pemberian informasi pra bedah terhadap kecemasan

pasien bedah elektif di ruang rawat inap bedah RSUD R.

Syamsudin, SH Kota Sukabumi.

Anda mungkin juga menyukai