Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN SEMINAR KASUS JIWA

“HALUSINASI”

OLEH
MAHASISWA PROFESI NERS UNG
GELOMBANG 2
ANGKATAN 16

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2022

i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 5
1.4 Manfaat 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Konsep Medis 7
A. Definisi 7
B. Etiologi
7
C. Tanda dan Gejala 8
D. Rentang Respons Neuorobiologi Halusinasi 9
E. Pohon masalah 10
F. Penatalaksanaan 10
2.1 Konsep Keperawatan 13
A. Pengkajian 13
B. Diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan rasional 20
2.2 Faktor yang mempengaruhi seseorang bisa mengontrol halusinasi 33
BAB III TINJAUAN KASUS 3
PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA 30
ANALISA DATA 40
DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN 41
DAFTAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN 41
DAFTAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN 42
CATATAN PERKEMBANGAN 47

ii
BAB IV PEMBAHASAN 56
4.1 Pengkajian Keperawatan 56
4.2 Diagnosa 57
4.3 Intervensi 58
4.4 Implementasi 59
4.5 Evaluasi 63
BAB V PENUTUP 65
5.1 Pengkajian Keperawatan 65
5.2 Diagnosa 66
DAFTAR PUSTAKA 67

iii
DAFTAR TABEL

Tabel Kemampuan Penilaian Halusinasi 13


Tabel Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Dan Rasional 15
Tabel Analisa Data 40
Tabel Diagnosis Keperawatan 42
Tabel Catatan Perkembangan 47

iv
DAFTAR GAMBAR

Pohon Masalah 7
Genogram 3

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu hal yang sangat berharga di dalam


kehidupan sehingga peran serta masyarakat diperlukan untuk dapat meningkatkan
derajat kesehatan, begitu pula kesehatan jiwa yang sampai saat ini masih menjadi
permasalahan yang cukup signifikan di dunia termasuk di Indonesia. Pentingnya
kesehatan jiwa ini dituangkan pula pada UU No. 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat
berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut
menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

Masalah kesehatan jiwa telah menjadi masalah kesehatan yang belum


terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun
nasional. Terlebih pada masa pandemi COVID-19, permasalahan kesehatan jiwa
akan makin berat untuk diselesaikan. Terjadinya peningkatan kasus kesehatan
jiwa pada masa pandemi tersebut akibat terbatasnya akses dan permasalahan
sosial yang dialami masyarakat sehingga mereka mengalami depresi (Kemenkes,
2021). Gangguan jiwa yang menjadi salah satu masalah utama di negara-negara
berkembang adalah skizofrenia. Skizofrenia termasuk jenis psikosis yang
menempati urutan atas dari seluruh gangguan jiwa yang ada. Skizofrenia adalah
suatu penyakit yang memengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,
persepsi, emosi, gerakan dan perilaku yang aneh dan terganggu.

Gejala umum yang menyertai skizofrenia antara lain berupaa halusinasi,


waham, ilusi, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta tingkah laku aneh
(Riskesdas, 2013). Sekitar 90% dengan skizofrenia mengalami halusinasi (Jalil,
2018). Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori yang salah atau tidak
terjadi dalam realitas (Yosep, 2011). Menurut Yosep dalam Prabowo 2014,

1
halusinasi terdiri dari beberapa jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya
yaitu Halusinasi Pendengaran (audotorik), Halusinasi Pengelihatan (visual),
Halusinasi Penghidu (Olfaktori), Halusinasi Peraba (Taktil), Halusinasi Pengecap
(Gustatorik), Halusinasi Sinestik.

Diperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa di dunia kurang lebih 450


juta orang, di seluruh dunia dengan perkiraan 10% orang dewasa, dan 25% di usia
tertentu seseorang diprediksi akan mengalami gangguan jiwa (Kemenkes, 2021).
135 juta orang diantaranya mengalami halusinasi, diperkirakan penduduk
Indonesia yang menderita gangguan jiwa sebesar 2-3% jiwa, yaitu sekitar 1
sampai 1,5 juta jiwa diantaranya mengalami halusinasi. Diperkirakan akan
tumbuh sampai 25% dari total populasi dunia pada tahun 2030 (Putri, 2022). Di
Indonesia, prevalensi penderita gangguan jiwa (ODGJ) pada tahun 2013 dan
2018, termasuk skizofrenia meningkat dari 1,7 per mil menjadi 7,0 per mil depresi
mengalami sedikit peningkatan dari 6 per mil menjadi 6,1 per mil sedangkan
mental emosional 6-9,8 per mil gangguan mental emosional pada tahun 2013
sebanyak 2,5 per mil menjadi 11,3 per mil pada tahun 2018 dan depresi tercatat
lebih tinggi dari nasional pada tahun 2018 yaitu 7,4 per mil. Secara nasional
terdapat 7% per 1000 penduduk di Indonesia diantaranya menderita skizofrenia,
prevalensi skizofrenia yaitu sebanyak 7% per 1000 penduduk yang menderita
gangguan halusinasi (Riskesdas, 2018). Di rumah sakit jiwa Indonesia, sekitar
70% halusinasi yang dialami oleh penderita gangguan jiwa adalah gangguan
halusinasi pendengaran, 20 % halusinasi penglihatan dan 10 % adalah halusinasi
penciuman, pengecapan dan perabaan (Linggi, E. B 2018). Proporsi perawatan
rumah tangga dengan anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa tahun 2018,
yang pernah berobat di rumah Sakit Jiwa/Fasyankes/Nakes sebesar 85% dan yang
tidak berobat sebanyak 15%, sedangkan penderita gangguan jiwa yang rutin
berobat sebanyak 48,9 % dan yang tidak minum obat sebanyak 51,1%. Jumlah
tersebut belum diperhitungkan dari jumlah penduduk Indonesia karena pada tahun
2018, hanya berjumlah 13 juta keluarga (Riskesdas, 2018).

2
Dalam hasil penelitian yang didapatkan peneliti dari partisipan, titik awal
dari proses halusinasi terjadi ketika individu menghadapi situasi yang berbeda,
dimana kebanyakan partisipan tidak bisa menerima suatu situasi semisalnya rasa
kecewa pada diri sendiri, keluarga, teman, mengalami sakit hati terhadap orang
lain menjadi pemicu halusinasi pendengaran sebagian besar partisipan. Seolah-
olah tidak bisa menerima dan mengatasi masalahnya. Mereka menafsirkan sebagai
kekecewaan, emosi hingga ancaman. Hal tersebut menjadi pemicu situasi dimana
partisipan memiliki koping maladaptif hingga memicu emosional yang tidak
stabil hingga kecemasan, dari situlah pola pikiran partisipan bisa menjadikan
suatu persepsi yang salah yang menjadi pemicu munculnya halusinasi
pendengaran. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yakni penelitian Sari
(2015), dalam penelitiannya mengatakan bahwa sejumlah mekanisme psikologi
telah mempengaruhi orang menderita skizofrenia.

Waters (2014), mengungkapkan halusinasi pendengaran mengacu pada


persepsi pendengaran yang datang dari mana saja di ruang eksternal, “dalam
pikiran,” atau pada permukaan tubuh. Isinya bervariasi dan dapat melibatkan
bahasa atau suara lain, seperti musik, langkah kaki, dering telepon, berdengung,
menggaruk, bersiul, poni, panggilan hewan, air yang jatuh, atau mesin. Volume
suara bervariasi dari hampir tidak terdengar (misalnya, berbisik) hingga sangat
keras yang membuat individu sering yakin akan realitas objektif dari pengalaman.
Suara biasanya berasal dari seseorang yang akrab (misalnya, tetangga, anggota
keluarga, atau kepribadian TV) atau entitas seperti Tuhan, iblis, atau malaikat.
Halusinasi muncul dari peristiwa kehidupan negatif dan trauma yang membuat
individu terganggu hingga suasana hati yang tertekan sehingga meningkatkan
kecemasan dan stres hingga yang kebih buruk depresi hingga bunuh diri. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Suryani (2013) menyebutkan bahwa ada situasi
atau kondisi tertentu yang dapat mencetuskan halusinasi yakni berawal dari
masalah-masalah dalam kehidupan.

Halusinasi adalah gangguan penerimaan pancaindra tanpa stimulasi


eksternal (halusinasi pendengaran, penglihatan, pengecapan, penciuman, dan

3
perabaan). Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa pada individu
yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori persepsi; merasakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Pasien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2014). Stuart dan Laraia
dalam Yosep 2016, menyatakan bahwa pasien dengan halusinasi dengan diagnosa
medis skizofrenia sebanyak 20% mengalami halusinasi pendengaran dan
penglihatan secara bersamaan, 70% mengalami halusinasi pendengaran, 20%
mengalami halusinasi penglihatan, dan 10% mengalami halusinasi lainnya.

Klien dengan halusinasi yang telah dikendalikan oleh halusinasinya akan


melakukan perilaku yang membahayakan dirinya, orang lain, dan juga
lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Scott 2017, pada usia 14 – 21
tahun terdapat peningkatan dalam risiko bunuh diri, psikopatologi psikopat, dan
nonpsikotik sehingga sulit dalam mencari pekerjaan yang berakibat menurunnya
kualitas hidup. Penanganan secara tepat untuk mengatasi dampak dari halusinasi
yakni dengan melakukan tindakan asuhan keperawatan. Menurut Stuart, Keliat, &
Pasaribu 2016, asuhan keperawatan yang diberikan pada penderita halusinasi
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pasien antara stimulasi persepsi yang
dialami pasien dan kehidupan nyata.

Perawat dapat memberikan terapi stimulasi persepsi dalam mengontrol


halusinasi yang terdiri dari 4 sesi yaitu (1) mengahardik dengan menutup telinga
atau mengajak klien untuk konsentrasi dan yakin dalam hati bahwa dirinya
mampu untuk menghilangkan halusinasi, (2) mengontrol halusinasi dengan patuh
minum obat, (3) mengajak klien untuk mengobrol dengan orang lain, (4)
mengajak klien untuk melakukan aktivitas yang paling disukai sesuai jadwal.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan klien dan memastikan
bahwa intensitas halusinasi dapat berkurang.

Melihat tingginya angka gangguan jiwa yang mengalami halusinasi


merupakan masalah serius dan memprihatinkan bagi dunia kesehatan dan
keperawatan khususnya di Indonesia. Pada penderita halusinasi jika tidak

4
ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang
lain dan lingkungan. Tidak jarang ditemukan pada penderita gangguan jiwa yang
melakukan tindak kekerasan karena halusinasi. Oleh karena itu kita sebagai tenaga
kesehatan yang nantinya memberikan asuhan keperawatan yang profesional
diharapkan mampu mengatasi hal ini dan bisa meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat sehingga Indonesia menjadi negara yang sehat jiwanya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang


proses keperawatan pasien dengan melalui pengelolaan kasus Asuhan
Keperawatan pada Klien Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi di RSKD
Provinsi Sulawesi Selatan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang di atas, maka rumusan
masalah dalam studi kasus ini adalah bagaimana dukungan keluarga terhadap
penyembuhan kesehatan jiwa halusinasi dan asuhan keperawatan pada pasien
gangguan persepsi sensori di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum
tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
RSKD Provinsi Sulawesi Selatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk melakukan pengkajian terhadap pasien dengan gangguan persepsi
sensori : halusinasi pendengaran.
b. Untuk merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan gangguan
persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
c. Untuk menyusun perencanaan keperawatan pada pasien dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
d. Untuk melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

5
e. Untuk mengevaluasi pada pasien dengan gangguan persepsi sensori :
halusinasi pendengaran.
f. Untuk melihat kesesuaian teori dan kondisi pasien
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Penulis
Hasil dari studi kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi praktikan dalam melaksanakan studi kasus, khususnya dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran.
1.4.2 Bagi Tempat Penulisan
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya agar
dapat menambah referensi perpustakaan sebagai bahan acuan penelitian yang akan
datang.
1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi
perkembangan keperawatan jiwa dan sebagai acuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan
persepsi sensori : halusinasi pendengaran.

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Medis


A. Definisi
Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien
merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien mengalami
perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penciuman. (Sutejo, 2018).
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana klien mengalami perubahan
sensori persepsi yang disebabkan stimulus yang sebenarnya itu tidak ada
(Sutejo, 2017). Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, sehingga klien menginterpretasikan sesuatu yang tidak
nyata tanpa stimulus atau rangsangan dari luar (Stuart dalam Azizah, 2016).
Berdasarkan pengertian halusnasi itu dapat diartikan bahwa, halusinasi
adalah gangguan respon yang diakibatkan oleh stimulus atau rangsangan
yang membuat klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
B. Etiologi
Proses terjadinya halusinasi pada klien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi stuart (2013), yang meliputi stressor
dari fakotr predisposisi dan presipitasi.
1) Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapa mempengaruhi terjadinya halusinasi adalah:
a) Faktor biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis, meliputi adanya faktor
herediter gangguan jiwa, adanya resiko bunuh diri, riwayat
penyakit atau trauma kepala, dan riwayat pengguanan napza.
b) Faktor psikologis
Pada klien yang mengalami halusinasi, dapat ditemukan adanya
kegagalan yang berulang, individu korban kekerasan, kurang kasih
saying, atau overprotektif.

7
c) Sosio budaya dan lingkungan
Klien dengan halusinasi didapatkan sosial ekonomi rendah, riwayat
penilakan lingkungan pada usia perkembangan anak, tingkat
pendidikan rendah, dan kegagalan dalam hubungan sosial
(perceraian, hiduop sendiri), serta tidak bekerja.
2) Faktor presipitasi
Stressor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya
riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak,
kekerasan dalam keluarga, atau adanya kegagalan-kegagalan dalam
hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan dikeluarga atau
masyarakat yang sering tidak seuai dengan klien serta konflik antar
masyarakat.
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala halusinasi dinilai dari hasil observasi terhadap klien
serta ungkapan klien. Adapun tanda dan gejala klien halusinasi menurut
Keliat, B.A dkk, 2019, adalah:
a) Data subjektif
Berdasarkan data subjektif, klien dengan gangguan sensori persepsi
halusinasi mengatakan bahwa klien:
1) Mendengar suara-suara atau kegaduhan
2) Mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap
3) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
4) Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat
hantu atau monster
5) Mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan
6) Merasakn rasa seperti darah, urine, atau feses
7) Merasa takut atau senang dengan halusinasinya
b) Data objektif
Berdasarkan data objektif, klien dengan gangguan sensori persepsi
halusinasi melakukan hal-hal berikut:

8
1) Bicara atau tertawa sendiri
2) Marah-marah tanpa sebab
3) Mengarahkan telinga kea rah tertentu
4) Menutup telinga
5) Menunjuk-nunjuk kea rah tertentu
6) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
7) Mencium sesuatuseperti sedang membaui bau-bauan tertentu
8) Menutup hidung
9) Sering meludah
10) Muntah
11) Menggaruk-garuk permukaan kulit

D. Rentang Respons Neuorobiologi Halusinasi


Rentang respons neurobiology yang paling adaptif adalah adanya pikiran
logis, persepsi akurat, emosi yang konsisten dengan pengalaman, perilaku
cocok, dan terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Sementara itu
respons maladaptive meliputi adanya waham, halusinasi, kesukaran proses
emosi, perilaku tidak terorganisasi, dan isolasi sosial: menarik diri. Berikut
adalah gambaran rentang respons neurobiology.
Adaptif Maladaptif
Pikiran logis Pikiran kadang menyimpan Gangguan proses
pikir: Waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi tidak stabil Ketidakmampuan
dengan pengalaman untuk mengalami
emosi
Perilaku sesuai Perilaku aneh Ketidakteraturan
Hubungan sosial Menarik diri Isolasi social

(Sumber: Trimelia, 2011)

9
E. Pohon masalah
Berikut ini merupakan pohon masalah diagnosis gangguan sensori
persepsi halusinasi:
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Effect)

Perubahan sensori persepsi: Halusinasi (Core Problem)

Isolasi Sosial (Causa)

(Sumber : Keliat, B.A dkk, 2019)

F. Penatalaksanaan

Menurut Keliat (2015), tindakan keperawatan untuk membantu klien

mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling percaya

dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum

mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi

untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar

informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan

secara konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan diri,

membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah

betulbetul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar,

memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan

klien saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau

menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh

10
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar

tetap terapeutik.

Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan

selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi

halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang

menyebabkan munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi

muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah

masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana

cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses

ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila

ada beberapa usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat

perlu mendiskusikan efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif,

bisa diterapkan, sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat

dapat membantu dengan cara-cara baru (Keliat, 2015).

Menurut Keliat (2015), ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada

klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :

1. Menghardik halusinasi. Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk

mengatasinya, klien harus berusaha melawan halusinasi yang

dialaminya secara internal juga. Klien dilatih untuk mengatakan,

”pergi.. pergi kamu tidak nyata, jangan ganggu saya”. Ini dianjurkan

untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien

mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan

11
pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik

halusinasi.

2. Menggunakan obat. Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah

akibat ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin,

serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja

obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat

secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal.

Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam

pemberian obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara

tuntas dan teratur.

3. Berinteraksi dengan orang lain. Klien dianjurkan meningkatkan

keterampilan hubungan sosialnya. Dengan meningkatkan intensitas

interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi persepsinya pada

orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus eksternal jika

berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus

perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber

halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua

yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:

4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian.

Kebanyakan halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang

tidak dimanfaatkan dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik

dengan halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih menyusun rencana

kegiatan dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang tidur

12
dengan kegiatan yang bermanfaat. Perawat harus selalu memonitor

pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga klien betul-betul tidak ada

waktu lagi untuk melamun tak terarah. Latih pasien mengontrol

halusinasi dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.

Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana

penanganan klien yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan

keluarga. Hal ini penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga

adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat

menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi

masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami

kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi

sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis),

sekalipun klien pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi.

Dengan mendidik keluarga tentang cara penanganan halusinasi,

diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu klien kembali ke rumah.

2.2 Konsep Keperawatan

A. Pengkajian

1. Identitas Klien

Identitas ditulis lengkap meliputi nama, usia dalam tahun, alamat,

pendidikan, agama, status perkawinan, pekerjaan, jenis kelamin, nomor

rekam medis dan diagnosa medisnya.

2. Alasan Masuk

Menanyakan kepada klien/keluarga/pihak yang berkaitan dan tulis

13
hasilnya, apa yang menyebabkan klien datang kerumah sakit, apa yang

sudah dilakukan oleh klien/keluarga sebelumnya atau dirumah untuk

mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. Klien dengan halusinasi

biasanya dilaporkan oleh keluarga bahwa klien sering melamun,

menyendiri dan terlihat berbicara sendiri, tertawa sendiri.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Menanyakan riwayat timbulnya gejala gangguan jiwa saat ini,

penyebab munculnya gejala, upaya yang dilakukan keluarga untuk

mengatasi dan bagaimana hasilnya.

4. Faktor predisposisi

Menanyakan apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa

dimasa lalu, pengobatan yang pernah dilakukan sebelumnya, adanya

trauma masa lalu, faktor genetik dan silsilah orang tuanya dan

pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.

5. Pemeriksaan Fisik

Mengkaji keadaan umum klien, tanda-tanda vital, tinggi badan/

berat badan, ada/tidak keluhan fisik seperti nyeri dan lain-lain.

6. Pengkajian Psikososial

a) Genogram

Membuat genogram beserta keterangannya untuk mengetahui

kemungkinan adanya riwayat genetik yang menyebabkan

menurunkan gangguan jiwa.

b) Konsep Diri

14
1) Citra tubuh, bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya,

bagian tubuhnya yang paling/tidak disukai.

2) Identitas diri, bagaimana persepsi tentang status dan posisi klien

sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap suatu/posisi tersebut,

kepuasan klien sebagi laki-laki atau perempuan.

3) Peran, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi,

status, tugas/peran yang harapannya dalam keluarga, kelompok,

masyarakat dan bagaimana kemampuan klien dalam

melaksanakan tugas/peran tersebut.

4) Ideal diri, bagaimana harapan klien terhadap tubuhnya, posisi,

status, tugas/peran dan harapan klien terhadap lingkungan.

5) Harga diri, bagaimana persepsi klien terhadap dirinya dalam

hubungannya dengan orang lain sesuai dengan kondisi dan

bagaimana penilaian/ penghargaan orang lain terhadap diri dan

lingkungan klien.

c) Hubungan Sosial

Mengkaji siapa orang yang berarti/terdekat dengan klien, bagaimana

peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat serta ada/tidak

hambatan dalam berhubungan dengan orang lain.

d) Spiritual

Apa agama/keyakinan klien. Bagaimana persepsi, nilai, norma,

pandangan dan keyakinan diri klien, keluarga dan masyarakat

setempat tentang gangguan jiwa sesui dengan norma budaya dan

15
agama yang dianut.

7. Status Mental

a. Penampilan

Observasi penampilan umum klien yaitu penampilan usia, cara

berpakaian, kebersihan, sikap tubuh, cara berjalan, ekspresi wajah,

kontak mata.

b. Pembicaraan

Bagaimana pembicaraan yang didapatkan pada klien, apakah cepat,

keras. Gagap, inkoheren, apatis, lambat, membisu dan lain-lain.

c. Aktivitas motorik (psikomotor)

Aktivitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik perlu dicatat

dalam hal tingkat aktivitas (latergik, tegang, gelisah, agitasi), jenis

(TIK, tremor) dan isyarat tubuh yang tidak wajar.

8. Afek dan emosi

Afek merupakan nada perasaan yang menyenangkan atau tidak

menyenangkan yang menyertai suatu pikiran dan berlangsung relatif

lama dan dengan sedikit komponen fisiologis/fisik serta bangga,

kecewa. Emosi merupakan manifestasi afek yang

ditampilkan/diekspresikan keluar, disertai banyak komponen fisiologis

dan berlangsung relatif lebih singkat/spontan seperti sedih, ketakutan,

putus asa, kuatir atau gembira berlebihan.

9. Interaksi selama wawancara

Bagaimana respon klien saat wawancara, kooperatif/tidak, bagaimana

16
kontak mata dengan perawat dan lain-lain.

10. Persepsi sensori

Memberikan pertanyaan kepada klien seperti “apakah anda sering

mendengar suara saat tidak ada orang? Apa anda mendengar suara yang

tidak dapat anda lihat? Apa yang anda lakukan oleh suara itu.

Memeriksa ada/ tidak halusinasi, ilusi.

11. Proses piker

Bagaimana proses pikir klien, bagaimana alur pikirnya

(koheren/inkoheren), bagaimana isi pikirannya realitas/tidak.

12. Kesadaran

Bagaimana tingkat kesadaran klien menurun atau meninggi.

13. Orientasi.

Bagaimana orientasi klien terhadap waktu, tempat dan orang.

14. Memori

Apakah klien mengalami gangguan daya ingat, seperti: efek samping

dari obat dan dari psikologis.

15. Tingkat konsentrasi dan berhitung

Apakah klien mengalami kesulitan saat berkonsentrasi, bagaimana

kemampuan berhitung klien, seperti: disaat ditanya apakah klien

menjawab pentanyaan sesuai dengan yang ditanyakan oleh observer.

17
16. Kemampuan penilaian.

Tabel Kemampuan Penilaian Halusinasi


Skor Keterangan Karakteristik

1 Tidak ada 1. Tidak cukup informasi.


2. Keputusan yang diambil maladatif dan
2 Sangat Berat
perilakunya berisiko membahayakan diri sendiri
3 Berat dan orang lain
3. Penilaian yang dialami maladatif.
4 Sedang
4. Tidak mampu membuat penilaian sederhana
5 Ringan (konstruktif) dan adatif meskipun telah
mendapat bantuan orang lain.
5. Mampu membuat penilaian sederhana
dengan bantuan orang lain

1. Daya tilik diri

Apakah klien mengingakari penyakit yang diderita, apakah klien

menyalahkan hal-hal diluar dirinya.

2. Kebutuhan persiapan pulang

Apakah dalam melakukan kebutuhan sehari-hari seperti makan,

BAB/BAK, mandi, berpakaian/ berhias, istirahat tidur, penggunaan obat,

pemeliharaan kesehatan, kegiatan didalam rumah/luar rumah

memerlukan bantuan atau pendampingan dari perawat/keluarga.

3. Mekanisme Koping

Perilaku yang mewakili upaya melindungi diri sendiri dari pengalaman

yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologik.

18
4. Masalah Psikososial dan Lingkungan

Setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikologis

atau social yang memberikan pengaruh timbale balik dan dianggap

berpotesi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa

atau gangguan kesehatan secara nyata atau sebaliknya masalah kesehatan

jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial.

5. Pengaruh kurang pengetahuan

Suatu keadaan dimana seorang individu atau kelompok mengalami

defisiensi pengetahuan kognitif atau ketrampilan-ketrampilan psikomotor

berkenaan dengan kondisi atau rencana pengobatan.

19
B. Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Dan Rasional

DIAGNOSIS PERENCANAAN
KEPERAWATAN
Tujuan (Tuk/Tum) Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional

Gangguan perubahan TUM: 1. Ekspresi wajah 1.1 Bina hubungan Hubungan saling percaya
sensori persepsi: bersahabat, saling percaya merupakan dasar untuk
Klien tidak mencederai
halusinasi dengar menunjukkan rasa dengan memperlancar interaksi yang
diri sendiri, orang lain,
(auditori) senang, ada kontak mengemukakan selanjutnya akan dilakukan.
dan lingkungan.
mata, mau berjabat prinsip komunikasi
tangan, mau terapeutik:
menyebutkan nama, a. Sapa klien dengan
TUK 1:
mau menjawab salam, ramah baik verbal
Klien dapat membina klien mau duduk ataupun non
hubungan saling berdampingan dengan verbal
percaya. perawat, mau b. Perkenalkan diri
mengutarakan masalah dengan sopan,
yang dihadapinya. c. Tanyakan nama
lengkap klien dan
nama panggilan
yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan

20
pertemuan
e. Tunjukkan sikap
empati dan
menerima klien
apa adanya
TUK 2: 1. Klien dapat 2.1 Adakan kontak Selain untuk membina
menyebutkan waktu, isi, sering dan singkat hubungan saling percaya,
Klien dapat mengenal
dan frekuensi timbulnya secara bertahap. kontak sering dan singkat
halusinasinya.
halusinasi. akan memutus halusinasi.

2.2 Observasi tingkah Mengenal perilaku klien pada

laku klien yang saat halusinasi terjadi dapat

terkait dengan memudahkan perawat dalam

halusinasinya: melakukan intervensi

bicara dan tertawa


tanpa stimulus
dan memandang
kekiri/kanan/kede
pan seolah-olah
ada teman bicara.

2.3 Bantu klien Mengenal halusinasi

21
mengenal memungkinkan klien
halusinasinya menghindari factor timbulnya
dengan cara: halusinasi.
a. Jika
menemukan
klien sedang
berhalusinasi:
tanyakan
apakah ada
suara yang
didengarnya.
b. Jika klien
menjawab
ada,
lanjutkan: apa
yang
dikatakan
suara itu.
Katakana
bahwa
perawat
percaya klien

22
mendengar
suara itu,
namun
perawat
sendiri tidak
mendengarny
a (dengan
nada
bersahabat
tanpa
menuduh/men
ghakimi).
c. Katakana
bahwa klien
lain juga ada
yang seperti
klien.
d. Katakana
bahwa
perawat akan
Pengetahuan tentang waktu,
membantu
isi, dan frekuensi munculnya
klien.

23
2.1 Diskusikan dengan halusinasi dapat
klien: mempermudah perawat.

a. Situasi yang
2. Klien dapat
menimbulkan
mengungkapkan
atau tidak
bagaimana
menimbulkan
perasaannya
halusinasi (jika
terhadap halusinasi
sendiri, jengkel,
tersebut.
atau sedih)
b. Waktu dan
frekuensi
terjadinya
halusinasi (pagi,
siang, sore dan
malam: terus- Mengidentifikasi pengaruh

menerus atau halusinasi pada klien.

sewaktu-waktu).
2.2 Diskusikan dengan
klien tentang apa yang
dirasakannya jika
terjadi halusinasi

24
(marah, takut, sedih
dan senang), beri
kesempatan pada
klien untuk
mengungkapkan
perasaannya.

TUK 3: 1. Klien dapat 1.1 Bersama klien, Usaha untuk memutus


menyebutkan indentifikasi tindakan halusinasi, sehingga
Klien dapat mengontrol
tindakan yang yang dilakukan jika halusinasi tidak muncul
halusinasinya.
biasanya dilakukan terjadi halusinasi kembali.
untuk (tidur, marah,
mengendalikan menyibukkan diri,
halusinasinya. dll).
1.2 Diskusikan manfaat Penguatan (reinforcement)

dan cara yang dapat meningkatkan harga diri

digunakan klien. Jika klien

bermanfaat beri
pujian kepada klien.

2. Klien dapat 2.1 Diskusikan dengan Memberikan alternative


menyebutkan cara klien tentang cara pilihan untuk mengontrol

25
baru mengontrol baru mengontrol halusinasi.
halusinasi. halusinasinya:

a. Menghardik/
mengusir/ tidak
memedulikan
halusinasinya
b. Bercakap-cakap
dengan orang lain
jika halusinasinya
muncul
c. Melakukan
kegiatan sehari-
hari.

3. Klien dapat
3.1 Beri contoh cara Meningkatkan pengetahuan
mendemonstrasikan
menghardik klien dalam memutus
cara
halusinasi: “pergi! halusinasi.
menghardik/mangu
Saya tidak mau
sir/ tidak
mendengar kamu,
memedulikan
saya mau mencuci
halusinasinya.
piring/ bercakap-

26
cakap dengan suster”.
3.2 Beri pujian atas
Harga diri klien meningkat
keberhasilan klien.
3.3 Minta klien
mengikuti contoh Memberi klien kesempatan
yang diberikan dan untuk mencoba cara yang
minta klien telah dipilih
mengulanginya.
3.4 Susun jadwal latihan
klien dan minta klien
untuk mengisi jadwal
kegiatan (self-
evaluation).

4. Klien dapat
mengikuti aktivitas 4.1. Anjurkan klien untuk
mengikuti terapi Memudahkan klien dalam
kelompok.
aktivitas kelompok, mengendalikan halusinasi.
orientasi realita,
stimulasi persepsi.
5. Klien dapat
mendemonstrasikan

27
kepatuhan minum 5.1 Klien dapat
obat untuk menyebutkan jenis, Stimulasi persepsi dapat
mencegah dosis, dan waktu mengurangi perubahan
halusinasi. minum obat, serta interpretasi realitas akibat
manfaat obat adanya halusinasi.
tersebut (prinsip 5
benar: benar orang,
benar obat, benar
dosis, benar waktu
dan benar cara
pemberiannya).

5.2 Diskusikan dengan


Dengan mengetahui prinsip
klien tentang jenis
penggunaan obat, maka
obat yang diminum
kemandirian klien dalam hal
(nama, warna, dan
pengobatan dapat
besarnya): waktu
ditingkatkan.
minum obat (jika 3x:
pukul 07.00, 13.00,
dan 19.00)
dosis,cara.

5.3 Diskusikan proses

28
minum obat: Dengan menyebutkan dosis,
frekuensi, dan caranya, klien
a. Klien meminta
melaksanakan program
obat kepada
pengobatan.
perawat (jika
dirumah sakit),
kepada keluarga
(jika dirumah)
b. Klien memeriksa
obat sesuai
dosisnya
c. Klien meminum
obat pada waktu
yang tepat
5.4 Anjurkan klien untuk Dengan mengetahui efek
bicara dengan dokter samping, klien akan tahu apa
mengenai manfaat yang harus dilakukan setelah
dan efek samping obat minum obat.
yang dirasakan.

TUK 4: 1. Keluarga dapat 1.1 Diskusikan dengan Untuk meningkatkan


menyebutkan keluarga (pada saat pengetahuan seputar
Keluarga dapat
pengertian, tanda, berkunjung/pada saat halusinasi dan perawatannya

29
merawat klien dirumah dan tindakan untuk kunjungan rumah): pada pihak keluarga
dan menjadi system mengendalikan a. Gejala halusinasi
pendukung yang efektif halusinasi. yang dialami
untuk klien. klien
b. Cara yang dapat
dilakukan klien
dan keluarga
untuk
memutuskan
halusinasi.
c. Cara merawat
anggota keluarga
dengan gangguan
halusinasi
dirumah: beri
kegiatan, jangan
biarkan sendiri,
makan bersama,
berpergian
bersama, jika
klien sedang
sendiri dirumah,

30
lakukan kontak
dengan dalam
telepon.
d. Beri informasi
tentang tindak
lanjut (follow up)
atau kapan perlu
mendapatkan
bantuan:
halusinasi tidak
2. Keluarga dapat terkontrol dan Dengan menyebutkan dosis,
menyebutkan jenis, risiko mencederai frekuensi, dan caranya,
dosis, waktu orang lain.
keluarga melaksanakan
pemberian, 2.1 Diskusikan
manfaat, serta efek dengan keluarga program pengobatan.
samping obat. tentang jenis,
dosis, waktu
pemberian, Dengan mengetahui efek
manfaat, dan efek samping, keuarga akan tahu
samping obat. apa yang harus dilakukan
2.2 Anjurkan kepada setelah minum obat.
keluarga untuk

31
berdiskusi dengan
dokter tentang
manfaat dan efek
samping obat.

32
Faktor yang mempengaruhi seseorang bisa mengontrol halusinasi :

a. Faktor keberhasilan terapi generalis

Setelah diberikan terapi, pasien sering berkomunikasi dengan perawat,

pasien memiliki kemampuan untuk mengontrol halusinasi, meningkatkan

kemapuan koping pada pasien sehingga mampu untuk menurunkan frekuensi

halusinasi yang ada pada diri pasien. Strategi pelaksanaan komunikasi berperan

penting dalam asuhan keperawatan jiwa, dengan alasan komunikasi mampu

mendukung stabilitas emosi pasien, karena dengan komunikasi pasien mampu

berhubungan dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan pasien

juga butuh penguatan untuk mempertahankan diri melalui komunikasi yang

efektif (Yunita, 2022).

Keberhasilan pemberian terapi generalis dengan pendakatan strategi

pelaksanaan yang dilakukan perawat tergantung bagaimana perawat mampu

memotivasi pasien agar dapat mengungkapkan perasaanya, dan mengungkapkan

perilaku yang diperankannya serta menilainya sesuai dengan kondisi realitas.

Essensi dari terapi individu mencakup seluruh aspek kehidupan yang menjadi

beban psikisnya. Hal ini memungkinkan dalam proses terapi individu masalah

yang terjadi pada pasien akan dieksplorasi oleh perawat sampai pada titik

permasalahan yang krusial dan didiskusikan sesuai dengan situasi, kondisi, serta

kemampuan yang dimiliki pasien.(Yunita, 2022).

b. Faktor sikap respon klien

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan klien dalam

mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap halusinasi, kejujuran

33
memberikan informasi, kepribadian klien, pengalaman dan kemampuan

mengingat (Noviandi, 2008). Sedangkan menurut Kosegeren (2006), didapatkan

hasil penelitian pada penerapan asuhan keperawatan menggunakan strategi

pelaksanaan mengontrol halusinasi. Bahwa, terjadi peningkatan skor kemampuan

klien mengontrol halusinasi pada kelompok eksperimen, sedangkan pada

kelompok kontrol tidak terjadi peningkatan skor kemampuan mengontrol

halusinasi Peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien

dipengaruhi oleh adanya pengetahuan pasien cara mengontrol halusinasi,

mengenal jenis halusinasi, mengenal isi halusinasi, dan frekuensi terjadinya

halusinasi, membuat pasien lebih kuat menghadapi halusinasi.

c. Faktor lama hari rawat

Menurut hasil penelitian Noviandi (2008). tentang perubahan kemampuan

mengontrol halusinasi terhadap terapi individu diruang Model Praktek

Keperawatan Profesional (MPKP), menggambarkan hari 1-12 responden mampu

mengenal halusinasi. Hari ke 4-21, responden mampu menggunakan tehnik

menghardik untuk mengontrol halusinasi. Hari ke 5-22, responden mampu

menggunakan tehnik bercakap-cakap dengan orang Iain untuk mengontrol

halusinasi. Hari ke 9-25, responden mampu menggunakan aktitltas teijadwal

untuk mengontrol halusinasi. Hari 13-30, responden mampu menggunakan obat

secara teratur. Semakin lama klien dirawat maka semakin banyak klien tersebut

mendapatkan terapi pengobatan dan perawatan, sehingga klien akan mampu

mengontol halusinasinya.

34
Dalam teori Stuart (2008), yang menyatakan Kemampuan dalam

mengontrol halusinasi tiap pasien selalu dipengaruhi keadaan individu yang

mengalami suatu gangguan dalam aktivitas mental seperti berpikir sadar, orientasi

realitas, pemecahan masalah, penilaian dan pemahaman yang berhubungan

dengan koping. kemampuan mengontrol halusinasi memerlukan latihan dan

teknik agar dapat tercapai, hal itu akan mempengaruhi seseorang dalam

mengontrol halusinasinya.

d. Faktor pendidikan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel

intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar belakang pendidikan dan

pengalaman masa lalu. Kemampuan kogntif akan membentuk cara berfikir

seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktorfaktor yang berhubungan

dengan penyakit dan mengunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga

kesehatan dirinya sendiri dan keluarga (Friedman, 2010). Hal ini membuktikan

bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi dapat memahami informasi dengan

lebih baik terhadap penjelasan yang diberikan. Makin tinggi pendidikan, maka

makin mudah pula seseorang mendapatkan pengetahuan karena tingkat

pendidikan akan mempengaruhi seseorang untuk menerima ide dan teknologi atau

informasi baru (Meliano, 2007).

e. Faktor Dukungan Keluarga

35
Dukungan keluarga menurut Friedman (2010), adalah sikap tindakan

penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan

informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan

emosional. Sedangkan menurut Smet 1994, dalam Christine 2010, dukungan

keluarga didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan

yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan

subjek di dalam lingkungannya atau yang berupa kehadiran dan hal - hal yang

dapat memberikan keuntungan emosional dan berpengaruh pada tingkah laku

penerimanya.

Wardani (2012), bahwa dukungan keluarga yang bisa diberikan kepada

pasien meliputi dukungan emosional yaitu dengan memberikan kasih sayang dan

sikap menghargai yang diperlukan pasien tetapi hanya sebagian keluarga saja

yang memiliki kasih sayang dan sikap menghargai. Dukungan emosional

merupakan bentuk dukungan atau bantuan yang dapat memberikan rasa aman,

cinta kasih, membangkitkan semangat, mengurangi putus asa, rasa rendah diri,

rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik (penurunan kesehatan

dan kelainan yang dialaminya), pada pasien halusinasi dukungan emosional

sangat diperlukan dan akan menjadi faktor sangat penting untuk upaya perawatan

dan pengobtan dalam mengontrol masalah halusinasinya, dengan demikian

dukungan emosional dari keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien halusinasi yang

dapat mempengaruhi status psikososial dan mentalnya yang akan ditunjukan

dengan perubahan perilaku yang diharapkan dalam upaya meningkatkan status

kesehatannya.

36
BAB III

TINJAUAN KASUS

FORMULIR PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

RUANGAN RAWAT : PALM

TANGGAL DIRAWAT : 4 September 2022

I. IDENTITAS KLIEN

Inisial : Tn AD Tanggal Pengkajian : 11 oktober

2022

Umur : 47 tahun RM No : 0889954

Informan : pasien

II. ALASAN MASUK DAN FAKTOR PRESIPITASI

Pasien masuk rumah sakit diantar oleh istrinya karena gelisah


dialami sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, memberat sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit. jika gelisah sering keluar rumah,
mondar-mandir, berbicara sendiri dan memarahi orang-orang
disekitarnya.

III. FAKTOR PREDISPOSISI

1. Pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu ? Ya

2. pengobatan sebelumnya Berhasil Kurang Berhasil

Pelaku/usia Korban/Usia Saksi/Usia

Aniaya fisik (-)

Aniaya seksual (-)

Penolakan (-)

37
Kekerasan dalam keluarga (-)

Tindakan Kriminal (-)

Jelaskan no 1, 2, 3 :

Pasien sudah lebih dari 10x masuk RSKD awal perilaku

berubah pada tahun 1991, terakhir pasien masuk rumah sakit pada

bulan Maret 2021 dan pasien kabur dari rumah sakit. pasien rutin

kontrol di poli jiwa , terakhir kontrol pada bulan agustus namun

pasien tidak rutin minum obat. Pasien mengatakan tidak pernah

mengalami kekerasan fisik, seksual , keluarga dan tindakan

kriminal lainnya.

Masalah Keperawatan : -

3. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa? Ada

( tante pasien)

Riwayat pengobatan/perawatan : -

4. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan : -

IV. FISIK

1. Tanda vital : TD : 110/70 mmHg , N : 80x/m, SB:36,7oC,

P: 20x/m

2. Ukur : TB : 155 cm BB : 50 kg

3. Keluhan fisik : Tidak ada

Pasien mengatakan tidak ada keluhan fisik yang dirasakan saat ini.

38
V. PSIKOSOSIAL

1. Genogram

Keterangan :

: Perempuan

: laki-laki

: Meninggal

: Pasien

Jelaskan: pasien merupakan anak pertama dari 5 bersaudara yang

terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan. Kedua orang tua pasien

39
telah meninggal dunia , begitu juga kakek dan nenek pasien sudah

meninggal dunia.

2. Konsep diri

a. Gambaran diri : pasien mengatakan menyukai semua bagian

tubuhnya.

b. Identitas: pasien mengatakan dirinya sebagai laki-laki yang

harus mencari nafkah untuk keluarga.

c. Peran: pasien mengatakan dirinya sebagi kepala keluarga

d. Ideal diri: pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan

berkumpul bersama keluarganya.

e. Harga diri: pasien mengatakan hubungan dengan orang lain

baik.

3. Hubungan sosial

a. Orang yang berarti : saat dilakukan pengkajian pasien

mengatakan orang yang berarti adalah istri dan keluarganya

b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat : pasien

mengatakan tidak mengikuti kegiatan di kelompok atau di

masyarakat.

c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain : pasien

mengatakan tidak ada hambatan dalam berhubungan dengan

orang lain , pasien sering berbincang dengan pasien lain.

4. Spiritual

40
a. Nilai dan keyakinan : pasien mengatakan beragama islam dan

yakin dengan Allah SWT.

b. Kegiatan ibadah : pasien mengatakan tidak pernah beribadah

selama di rawat di rumah sakit.

VI. STATUS MENTAL

1. Penampilan

Jelaskan: penampilan pasien dalam berpakaian tampak rapi.

2. Pembicaraan

Cepat Keras Gagap Inkoheren

Apatis Lambat Membisu Tidak

mampu memulai Pembicaraan

Jelaskan: pembicaraan pasien selalu berpindah pindah satu kalimat

ke kalimat lainnya yang tidak ada hubungannya.

3. Aktivitas motorik

Lesu Tegang Gelisah

Agitasi Tik Grimasem Tremor

Kompulsif

Jelaskan: pasien tampak gelisah dan mondar mandir

4. Alam Perasaan

Sedih Ketakutan Putus Asa

41
Khawatir Gembira Berlebihan

Jelaskan : pasien gembira karena memiliki banyak teman di

ruangan

5. Afek

Datar Tumpul Labil Tidak sesuai

Jelaskan : pasien tidak ada perubahan roman muka pada saat ada

stimulus yang menyenangkan atau menyedihkan.

6. Interaksi selama wawancara

Bermusuhan tidak kooperatif mudah


tersinggung

Kontak mata kurang Defensif Curiga

Jelaskan: pasien kooperatif pada saat wawancara, pasien selalu

mempertahankan pnedapat dan kebenaran dirinya.

7. Persepsi

Halusinasi

Pendengaran Penglihatan Perabaan

Pengecapan Penghidung

Jelaskan: pada saat dikaji pasien mengatakan dirinya sering

mendengarkan suara laki- laki, suara itu datang bisa kapan saja ,

pasien juga mengatakan suara itu isinya tidak jelas.

Masalah keperawatan : Gangguan persepsi sensori : Halusinasi

pendengaran.

8. Proses pikir

Sirkumstansial Tangensial Kehilangan asosiasi

42
Flight of ideasBlocking Pengulangan pembicaraan

Jelaskan : pada saat dikaji pasien dapat melakukan pembicaraan

walau berbelit belit tetapi masih sampai pda tujuan pembicaraan.

9. Isi Pikir

Obsesi Fobia Hipokondria

Depersonalisasi Ide yang terkait pikiran magis

10. Tingkat kesadaran

Bingung Sedasi Stupor

Disorientasi

Waktu Tempat Orang

Jelaskan: pasien tampak bingung, pasien disorientasi waktu karena

pasien tidak mengetahui tahun , bulan , hari dan jam saat dilakukan

pengkajian.

11.Memori

Gangguan daya ingat jangka panjang Gangguan daya ingat

jangka pendek

Gangguan daya ingat saat ini Konfabulasi

Jelaskan: pasien tidak mengingat kejadian yang terjadi sebulan

terakhir.

12.Tingkat konsentrasi dan berhitung

Mudah beralih Tidak mampu Tidak mampu

Berkonsentrasi berhitung sederhana

Jelaskan: tingkat konsentrasi pasien mudah beralih.

43
13.Kemampuan penilaian

Gangguan ringan Gangguan bermakna

Jelaskan: pasien dapat mengambil keputusan yang sederhana

dengan bantuan orang lain.

14.Daya tilik diri

Mengingkari penyakit yang diderita Menyalahkan hal-hal

diluar dirinya

Jelaskan: pasien tidak mengakui bahwa dirinya tidak memiliki

gangguan jiwa

VII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG

1. Makan

Bantuan minimal Bantuan total

2. BAB/BAK

Bantuan minimal Bantuan total

Jelaskan : pasien mengatakan 3x per hari yaitu pagi siang dan malam

yang disediakan oleh rumah sakit, BAB 1x perhari dan BAK 4-5x

perhari

3. Mandi

Bantuan minimal Bantuan total

4. Berpakaian/berhias

bantuan minimal Bantuan total

5. Istirahat dan tidur

44
Tidur siang lama : 13.00 – 15.00 WITA

Tidur malam lama : 22.00 – 05.00 WITA

Kegiatan sebelum/sesudah tidur : sebelum tidur paisen

minum obat

6. Penggunaan obat

Bantuan minimal Bantuan total

7. Pemeliharaan kesehatan

Ya Tidak

Perawatan lanjutan

System pendukung

8. Kegiatan di dalam rumah

Ya Tidak

Mempersiapkan makanan

Menjaga kerapihan rumah

Mencuci pakaian

Pengaturan keuangan

9. Kegiatan di luar rumah

Ya Tidak

Belanja

Transportasi

Lain-lain

45
Jelaskan : pasien mengatakan mandi dan berpakaian dengan bantuan

minimal , tidur siang 2 jam , tidur malam 7 jam dan penggunaan

obat butuh bantuan minimal

VIII. MEKANISME KOPING

Adaptif Maladaptif
Bicara dengan orang lain Minum alkohol
Mampu menyelesaikan masalah Reaksi lambat/berlebih
Teknik relaksasi Bekerja berlebiham
Aktivasi konstruktif Menghindar
Olahraga Mencederai diri
Lainnya.......... Lainnya..........

Pasien mengatakan jika pasien mengalami stress, pasien

akan berbicara dengan orang lain mengenai masalahnya untuk

mendapatkan solusi.

IX. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN

- Masalah dengan dukungan kelompok, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan kelompok atau teman –

temannya.

- Masalah berhubungan dengan lingkungan, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan lingkungannya

- Masalah dengan pendidikan, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan pendidikannya.

- Masalah dengan pekerjaan, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan pekerjaannya

46
- Masalah dengan perumahan, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan perumahan

- Masalah ekonomi, spesifik

Pasien mengatakan membutuhkan uang untuk jajan.

- Masalah dengan pelayanan kesehatan, spesifik

Pasien tidak memiliki masalah dengan pelayanan kesehatan.

X. PENGETAHUAN KURANG TENTANG :

Penyakit Jiwa Sistem pendukung


Faktor Presipitasi Penyakit Fisik
Koping Obat-obatan
Lainnya............

XI. ASPEK MEDIK

Diagnosis medik : Skizofreni YTT

Terapi medik : haloperidol 5mg 3x1

Clozapin 100mg 0-1-1

Trihexyphenidyl 2mg 2x1

47
ANALISA DATA

NO. DATA MASALAH


1. DS: Gangguan Presepsi Sensori:
1. Pasien mengatakan dirinya Halusinasi
sering mendengar suara laki-
laki
2. Pasien mengatakan suara itu
bisa datang kapan saja
3. Pasien mengatakan suara itu
isinya tidak jelas
DO:
1. Pasien tampak modar-mandir
2. Pasien tampak berbicara
sendiri
3. Pasien tampak senyum-
senyum sendiri

Daftar Masalah Keperawatan

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain,


dan lingkungan (Effect)

Perubahan presepsi sensori : Halusinasi (Core Problem)

Isolasi Sosial (Causa)


Daftar Diagnosa Keperawatan

Gangguan Presepsi Sensori : Halusinasi (Pendengaran)

48
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada Tn. AD diruang palm
RS Dadi Makassar tanggal 11 oktober 2022, didapatkan bahwa pasien mengalami
masalah halusinasi pendengaran. Hal ini didapatkan berdasarkan hasil wawancara
dengan pasien, perawat yang menangani, serta dokumentasi riwayat kesehatan
pasien yang ada diruang palm RS Dadi Makassar. Dari data tersebut didapatkan
bahwa pasien sering mendengar suara laki laki, namun isi suara tersebut tidak
jelas. Saat suara itu datang pasien merasa gelisah, dan perasaan gelisah tersebut
akan semakin bertambah jika pasien hanya berdiam diri, sehingga pasien sering
berjalan mondar mandir saat suara itu datang. Sementara dari data yang
didapatkan pada item pengkajian faktor predisposisi, pasien pernah mengalami
gangguan jiwa sebelumnya.
Alasan masuk rumah sakit : Tn. AD diantar oleh keluarganya ke rumah
sakit pada tanggal 4 september 2022 jam 11.00 siang. Alasan keluarga
mengantarkan pasien karena sudah 10 hari pasien gelisah, tidak bisa tidur dan
selalu mondar mandir. Keadaan ini semakin memburuk sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Menurut istrinya, pasien sering keluyuran keluar rumah dan
memarahi orang orang disekitarnya. Istri pasien juga mengatakan saat dirumah
pasien tidak patuh dalam mengkonsumsi obat.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 11 oktober 2022,
pasien mengatakansering mendengar suara laki-laki berbisik padanya sehingga
pasien tampak gelisah dan mondar-mandir. Respon gelisah saat mendengar suara
suara pada pasien dengan masalah halusinasi ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rahmdhani Wilda (2017) yang mengatakan bahwa ketika
pasien mendengar suara, pasien tidak tenang dan tidak bisa diam. Perasaan tidak
tenang ini dutunjukan dengan cara berjalan mondar mandir tanpa arah. Hal ini
senada dengan penelitian Sri Mulyati (2019) yang menyimpulkan bahwa adanya
suara suara yang muncul pada pasien dengan halusinasi pendengaran

49
mengakibatkan respon berfikir pasien meningkat sehingga pasien merasa gelisah
dan sulit untuk tidur. Sementara menurut Hawari (2016), seseorang dengan
halusinasi pendengaran akan mengalami hipersensitifitas sehingga gampang
curiga, merasa terancam, gelisah, tidak memiliki rasa aman dan terjadi
ketegangan.
2. Diagnosa keperawatan
MenurutKeliat dalam Ade Herman(2015)dalam pohon masalah
dijelaskan bahwa gangguan isolasi sosial : Menarik diri
merupakanetiologiataupenyebab, Gangguanpersepsisensori : Halusinasi
pendengaran merupakan masalah utama (core
problem).SedangkanRisikoperilakukekerasanadalah akibat, namun pada saat
pengkajian tidak ditemukan risikoperilakukekerasanpadapasien.
Didapatkan datapasien mengatakan dirinya sering mendengar suara
laki laki, klien mengatakan suara itu bisa datang kapan saja dan klien
mengatakan suara itu isinya tidak jelas.Sedangkan data objektifklien tampak
mondar mandiri, klien tampak berbicara sendiri, klien tampak senyum
senyum sendiri dan klien tampak gelisah.
Berdasarkan data-data yang ditunjukkan oleh klien makaprioritas
masalah atau diagnosa keperawatan yang ditegakkan adalah Gangguan
persepsi sensori : halusinasi pendengaran, dan jika masalah tersebut tidak
segera diatasi maka dapat menyebabkan munculnya
masalahgangguanjiwalainnyasepertiRisikoperilakukekerasan.
DiagnosadiatasberdasarkanStandarDiagnosaKeperawatan Indonesia
(SDKI 2017) untuk data Subjektif yaitu mendengar suara bisikan atau
melihat bayangan.Sedangkan untuk data objektifnya yaitu bersikap seolah
mendengar, mondar mandir, dan berbicara sendiri. Hal ini sejalan dengan
teori Keliat dan Budi (2011) data subjektif pada klien yang mengalami
halusinasi pendengaran yaitu klien mendengar suara-suara atau bunyi ,
mendengar suara bercakap-cakap, klien mendengar suara yang
mengancamklien, orang lain atau suara lain yang membahayakan. Data

50
objektifnya adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, menutup
telinga, mulut komat-kamit, dan gerakan tangan.
Teori diatas didukung oleh Stuart dan Suddent
dalamYusaliatahun(2015), karakteristiktandadan gejala dari halusinasi
pendengaran adalah mendengar suara-suara/ kebisingan, klien mendengar
suara orang yang membicarakan apa yang sedang di pikirkannya dan
memerintahkanuntukmelakukansesuatusepertimenyuruhuntuktidakdiamdan
marah-marah.Hal ini juga sesuai dengan pendapatDireja (2013) bahwa
diagnosahalusinasipendengarandirumuskanjikapasienmengalamitanda-tanda
seperti pasien mendengar suara ataukegaduhan, mendengar suara yang
mengajakbercakap-cakap, bicaraatautertawasendiridanmarah-
marahtanpasebab.
3. Intervensi keperawatan
Tindakan keperawatan adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang
telah ditetapkan (Carpenito dalam Yusuf, dkk. 2015).Pelaksanaan tindakan
keperawatan disesuaikan dengan rencana keperawatan. Sebelum
melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi apakah rencana keperawatan sesuai dengan kondisi
klien saat ini (Kusumawati dan hartono, 2011).

Menurut Rasmun (2012), tujuan umum gangguan persepsi sensori


halusinasi pendengaran yakni agar klien dapat mengontrol halusinasi yang
dialaminya. Adapun tujuan khusus gangguan halusinasi antara lain :

- Pasienmampumengenalhalusinasi, isi, frekuensi, waktu terjadi


situasi pencetus, perasaan, respon sertamenjelaskancara-
carauntukmengontrolhalusinasi, dengancaramenghardik
- Pasien mampu menggunakan obat secara teratur
- Pasien mampu mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap
- Pasien mampu mengontrol halusinasi dengan cara melakukan
kegiatan harian

51
Penanganan secara tepat untuk mengatasi dampak dari halusinasi yakni
melakukan tindakan asuhan keperawatan dan terapi stimulas. Asuhan
keperawatan yang diberikan pada penderita halusinasi bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran pasien dalam kehidupan nyata. Terapi stimulasi
persepsi dalam mengontrol halusinasi pendengaran yaitu menghardik
degan cara menutup telinga. Pengaruh menghardik terdapat penurunan
pada tingkat halusinasi, dengan dilakukan menutup telinga maupun tanpa
menutup telinga terhadap halusinasi pendengaran. Pasien
denganhalusinasipendengaranmengalamigangguan status mental atau
dengan kata lain mengalami defisit kognitifkhususnyadalamhalkonsentrasi.
Pasien bercakap-cakap dengan orang lain terjadidistraksi, fokus
perhatianpasienakanberalih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan
dengan orang lain. Melakukan aktivitas yang terjadwal untuk mengurangi
resiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri melakukan
aktivitas yang teratur atau yang sudah terjadwal. (Stuart, Keliat &
Pasaribu, 2016).
Menurut Sulinger (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pasien
untuk kambuh antara lain yakni pasien yang gagal dalam pengobatan.
Ketidakpatuhan minum obat secara teratur ini yang merupakan alasan
pasien kembali dirawat di rumah sakit. Pasien yang kambuh membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk kembali ke keadaan semula. Pengobatan
skizofrenia ini harus dilakukan terus-menerus sehingga pasien nanti dapat
mengontrol kekambuhan penyakitnya dan dapat mengembalikan fungsi
untuk produktif serta akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidupnya
(Yuliantika, 2012).
Klien juga harus di latih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan
program terapi dokter. Agar pasien dengan gangguan jiwa yang di rawat
tidak mengalami kekambuhan. Jika kekambuhan terjadi, untuk mencapai
kondisi seperti ini semula akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan
mengalami psikosisserta masuk rumah sakit dengan cukup sering (Keliat,
2012).

52
Berdasarkan hasil penelitian Astuti, dkk (2017)hubungan antara kepatuhan
minum obat dengan kekambuhan padapasien skizofrenia. Pasien yang
mengalami periode kekambuhan berat lebih banyak terjadi pada pasien
dengan kepatuhan minum obat yang kurang yaitu sejumlah 87,5%,
dibandingkan pasien dengan kepatuhan cukup (71,0%) dan kepatuhan baik
(33,3%).
Hasil penelitian Ika (2020)hubungan kepatuhan minum obat dengan
tingkat kekambuhan pada pasien halusinasi di wilayah kerja puskesmas
GegerKabupatenMadiun, diketahui bahwa kepatuhan minum obat rendah
(50,0 %), dan hasil kepatuhan minum obat sedang adalah (33,3%). Hasil
analisa Spearman Rank diperoleh p value = 0,000 <α = 0,05 artinya ada
hubungan kepatuhan minum obat dengan tingkat kekambuhan pada pasien
halusinasi di Wilayah Kerja Puskesmas Geger Kabupaten Madiun.
Pengaturan kepatuhan minum obat dalam merawat pasien halusinasi akan
memberikan kenyamanan psikologis bagi pasien halusinasi.

4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
dan pasien (Riyadi, 2010). Implemetasi keperawatan adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
(Setiadi, 2012)
Implemetasi keperawatan yang dilaksanakan pada tanggal 11 oktober- 14 Oktober
2022 sesuai dengan rencana tindakan keperawatan. Masalah utama yaitu
gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran sudah dilakukan implementasi
SP (strategi pelaksanaan).
1. Pada hari Senin tanggal 11 Oktober 2022 pukul 09.00 WITA.
Perawat melakukan SP1P halusinasi pendengaran yakni
mengucapkan salam, menyapa pasien dengan ramah baik secara
verbal maupun non verbal, menjabat tangan dengan pasien,
memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan nama lengkap
dan nama panggilan yang disukai pasien, menjelaskan tujuan

53
pertemuan, membuatkontraktopikwaktudantempat,
menunjukansikapempatidanmenerimapasienapaadanyamelatihpasie
nmengidentifikasiisi, waktuterjadi, situasi pencetus, dan respon
terhadap halusinasi, mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik.
Hasil :
Ds :
a. Pasien mengatakan mendengar suara bisikan-bisikan tetapi
tidak jelas isi suaranya
b. Pasien mengatakan suara yang berbisik suara laki-laki
c. Pasien mengatakan suara-suara bisikan bisa muncul kapan
saja
d. Pasien mengatakan akan melakukan teknik menghardik jika
halusinasi datang
Do :
a. Pasien tampak berinteraksi dengan cukup baik
b. Pasien tampak datar wajahnya
c. Tampak kontak mata pasien cukup baik
d. Pasien dapat melakukan teknik menghardik

Pada hari pertama pelaksanaan SP1 dimulai dengan


mengidentifikasi jenis halusinasi pasien, mengidentifikasi isi
halusinasi pasien, mengidentifikasi waktu halusinasi pasien,
frekuensi halusinasi pasien, situasi yang dapat menimbulkan
halusinasi, mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi,
mengajarkan pasien cara menghardik halusinasi, menganjurkan
pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.Hal ini untuk
membantu mengakkan diagnosa pasien dan menemukan adanya
kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala yang muncul pada
pasien.

54
Jenis halusinasi terbagi menjadi 6 jenis, yaitu halusinasi
pendegaran, halusinasi penglihatan, halusinasi penghidu, halusinasi
pengecap,halusinasi perabaan, halusinasi kinstestik ( Lasmi, 2019).
Berdasarkan pengkajian pada hari pertama tanggal 11 oktober 2022
pukul 09.00 wita, Jenis halusinasi pada pasien Tn. A.D adalah
halusinasi pendengaran dimana isi dari halusinasi tersebut adalah
mendegar suara-suara bisikan laki-laki namun isi suara tersebut
tidak jelas.
Waktu dalam halusinasi berupa frekuensi dan situasi yang
menyebabkan munculnya halusinasi dan kapan terjadinya
halusinasi tersebut misalnya pada waktu pagi, siang, sore atau
malam dan pada pukul berapa. Frekuansinya apakah sesekali atau
terus-menerus, situasi terjadinya apakah pada saat sendiri atau
sedang bersama orang lain atau sesudah kejadian tertentu (Lasmi,
2019).Pasien Tn. A.D mengatakan waktu munculnya bisikan itu
tidak menentu dan bisa datang kapan saja, dengan frekuensi sekali-
sekali. Situasi yang memicu terjadinya halusinasi tersebut juga
tidak menentu,bisa karena apa saja.
Respon dalam hal ini merupakan hal yang dilakukan pasien ketika
halusinasi tersebut muncul. Pasien mengatakan ketika sudah mulai
mendengar suara-suara bisikan, pasien akan melakukan teknik
menghardik seperti yang diajarkan oleh perawat.
Setelah dilakukan identifikasi pasien terkait jenis, isi, waktu,
frekuensi, situasi dan respon terhadap halusinasi maka dapat
ditegakan diagnosa dan perumusan intervensi yang tepat pada
pasien Tn A. D dengan masalah gangguan persepsi sensori :
halusinasi pendengaran. Sehingga intervensi yang tepat diberikan
pada pasien Tn A.D adalah tehnik menghardik.Menurut teori
(Tololiu 2017) Menghardik merupakan salah satu strategi
pelaksanaan dalam upaya mengontrol halusinasi. Pasien diajarkan
cara menghardik dengan cara menutup mata dan telinga serta

55
menggunakan kalimat yang dinyatakan dengan tegas yaitu : “pergi
pergi, kamu tidak nyata” kalimat tersebut diulang-ulang sampai
suara tersebut hilang.
Menurut riset Karina (2017) saat melakukan terapi menghardik
responden menjadi lebih fokus dan berkonsentrasi pada
halusinasinya. Sehingga memungkinkan beberapa zat kimia di otak
seperti Dopamine Neuorotransmitter tidak berlebihan. Pasien
dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul
atau tidak memperdulikan halusinasinya. Jika bisa dilakukan
dengan baik dan benar, maka pasien akan mampu mengendalikan
diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Pratiwi dan Setiawa,
2019 mengenai pengaruh menghardik terhadap penurunan tingkat
halusinasi dengar pada pasien skizofrenia diketahui bahwa terapi
menghardik dan tanpa menutup telinga berpengaruh terhadap
penurunan tingkat halusinasi pendengaran. Hasil penelitian ini juga
dapat dibuktikan dengan penelitian Woley, 2017 yang
menunjukkan bahwa menggunakan tekhnik pengendalian
halusinasi dengan menghardik dapat digunakan untuk mengontrol
halusinasi pendengaran.

2. HariRabutanggal12 Oktober 2022 pukul 09.15 WITA..Lanjutke


SP2P gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaranyaknimengevaluasi kembali cara menghardik dan
mengontrol halusinasi dengan meminum obat secara teratur,
memberikan informasi tentang obat yang diminum, mendiskusikan
manfaat minum obat dan kerugian jika tidak minum obat serta
memberikan pujian terhadap kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasinya
Hasil :
Ds :

56
a. Pasien mengatakan masih mendengar bisikan-bisikan untuk
melakukan hal-hal aneh (perbuatan jahat)
b. Pasien mengatakan suara bisikan muncul bisa kapan saja
Do :
a. Pasien berinteraksi cukup baik
b. Pasien tampak bersahabat
c. Kontak mata pasien cukup baik
Tindakan keperawatanselanjutnya yaitu pelaksanaan
SP2 pasien yaitu dengan mengevaluasi kembali cara
menghardik dan mengontrol halusinasi dengan minum obat
secara teratur, memberikan informasi tentang obat yang
diminum, mendiskusikan manfaat minum obat dan
kerugian jika tidak minum obat serta memberikan pujian
terhadap kemampuan pasien dalam mengontrol
halusinasinya.
Mengevaluasi kembali cara menghardik tujuannya
untuk menilai kemampuan pasien dalam mengatasi atau
mengontrol halusinasi serta melatih pasien agar terus
mengingat teknik tersebut sehingga halusinasi dapat
berkurang. Berdasarkan hasil pengkajian, tanggal 12
Oktober 2022 pukul 09.00 wita, pasien mampu
mempraktekan kembali teknik menghardik dengan benar.
Langkah selanjutnya setelah mengevaluasi SP1
pasien, adalah mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan minum obat secara teratur, memberikan informasi
tentang obat yang diminum, mendiskusikan manfaat minum
obat dan kerugian jika tidak minum obat. Menurut teori
(Astuti, 2017)pengobatan yang teratur pasien dapat kembali
ke dalam lingkungan sosialnya dalam waktu yang lebih
cepat. Pasien yang menjalani pengobatan secara rutin
selama satu tahun memilki resiko lebih kecil untuk

57
mengalami relaps.Selain itu jikapasien Skizofrenia yang
berhenti minum obat akan memicu munculnya kembali
gejala positif dan negatif dari Skizofrenia (misalnya:
halusinasi, austitik, waham, isolasi sosial) karena terjadi
peningkatan kadar Neurotransmitter Dopamine.
Antipsikotik yang diminum oleh pasien mempunyai cara
kerja menghambat Reuptake DopamineNuerotransmitter
sehingga terjadi keseimbangan kembali Neurotransmitter
Dopamine.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang


dilakukan oleh Kaunang, dkk., 2015, menunjukkan terdapat
kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan
pasien Skizofrenia yang berobat jalan di Poliklinik jiwa
Rumah Sakit Prof. Dr. V.L. Ratumbuysang Manado.
Kepatuhan minum obat dari pasien Skizofrenia tidak lepas
dari peranan penting dari keluarga, sehingga pasien yang
patuh pada pengobatan prevalensi kekambuhannya
berkurang, maka pasien tidak akan dirawat lagi di Rumah
Sakit, dan hanya perlu melakukan rawat jalan di poliklinik.
Walaupun skizofrenia adalah suatu penyakit yang tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol dengan terapi
farmakologi dan psikoterapi. Hal ini berarti dengan
pengobatan yang teratur dan dukungan dari keluarga,
masyarakat dan orang disekitar pasien besar kemungkinan
pasien dapat bersosialisasi dan memiliki aktifitas seperti
orang normal, dengan demikian maka prevalensi
kekambuhan pasien dapat berkurang ataupun pasien tidak
akan kambuh.

58
3. Harikamistanggal13 Oktober 2022ke SP3P gangguan persepsi
sensori : halusinasi
pendengaranyaknimengevaluasikembalicaramengontrolhalusinasid
engancaramenghardik, Informasitentangobat dan memberikan
informasi dampak positif mengontrol halusinasi dengan cara
bercakap-cakap dengan orang lain atau teman.
Hasil :
Ds :
a. Pasien mengatakan masih mendengar bisikan-bisikan untuk
melakukan hal-hal aneh
b. Pasien mengatakan suara bisikan muncul bisa kapan saja
Do :
a. Pasien tampak tidak tenang
b. Kontak mata pasien kurang
Tindakan keperawatan selanjutnya adalah pelaksanaan SP3
yaitubercakap-cakap dengan orang lain atau teman.Menurut teori
Stuart Gaul W 2019 Terapi bercakap-cakap merupakan salah satu
bentuk implementasi yang efektif dalam membantu penderita
dalam mengatasi halusinasi yang mengusik kehidupannya.
Terjadinya penurunan intensitas halusinasi dapat dicegah dengan
cara menganjurkan pasein melaksanakan bercakap-cakap. Proses
distraksi akan terjadi ketika seseorang atau penderita
berkomunikasi dengan orang lain. Secara tanpa disadari,perhatian
penderita tidak lagi terfokus pada halusinasi tetapi beralih
perhatiannya ke percakapan. Kemampuan penderita dalam
bersosialisasi berpeluang dapat ditingkatkan dengan adanya latihan
bercakap-cakap dapat menumbuhkan dan meningkatkan
kepercayaan diri penderita untuk berinteraksi dengan orang lain.
Pujian diberikan pelaksana kepada penderita mampu
memperlihatkan kemampuan berkomunikasi atau bercakap-cakap
sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Pujian merupakan

59
komponen penting bagi orang dengan gangguan jiwa, karena dapat
meningkatkan rasa harga diri dan kepercayaan diri. Tumbuhnya
perasaan semakin percaya diri dan merasa dihargai, berdampak
meningkatkan, memotivasi mereka untuk mengulangi kembali
kegiatan yang dilatihkan (Moknes & Reidunsdatter, 2019)
Hal ini didukung oleh penelitian Fresa, Rochmawati, dan
Arief (2015) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar pasien
dengan halusinasi pendengaran yang diberikan intervensi
mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap mampu
mengontrol halusinasi dengan baik dan 1 pasien mampu
mengontrol halusinasi dengan cukup baik.

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan terus
menerus dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan intervensi yang
telah dilakukan serta bagaimana intervensi keperawatan dilanjutkan,
merevisi rencana atau pun menghentikan intervensi keperawatan
(Manurung, 2011). Evaluasi adalah tahapan yang menentukan apakah
tujuan telah tercapai ataupun tidak. Evaluasi selalu berkaitan dengan
tujuan, apabila tujuan tidak tercapai, maka harus dicari penyebabnya.

Setelah dilakukan implementasi maka dilakukan evaluasi pada


kasus Tn. AD dengan diagnosa halusinasi pendengaran. Pada SP1
didapatkan evaluasi data objektif pasien tampak belum berinteraksi dengan
cukup baik, pasien tampak datar wajahnya, kontak mata pasien cukup baik
tetapi pasien dapat melakukan teknik menghardik. Data subjeektif
didapatkan pasien mengatakan mendengar bisikan bisikan tetapi tidak jelas
isi suaranya, pasien juga mengatakan suara yang berbisik adalah suara laki
laki yang bisa muncul kapan saja tetapi pasien bisa melakukan teknik
menghardik jika halusinasi itu datang.

60
Pada SP2 didapatkan data subjektif dimana pasien mengataklan
bahwa dirinya masih mendengar bisikan suara yang isinya menyuruh
pasien melakukan hal nakal. Namun demikian, pasien tidak mengerti hal
nakal seperti apa yang dimaksud. Sementara data objektif menunjukkan
bahwa pasien dapat berinteraksi, bersahabat dengan baik serta memiliki
kontak mata yang cukup bagus. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat
disimpulkan bahwa perawat bisa melanjutkann strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan ke tahap berikutnya.

Selanjutnya pada tahap SP3 didapatkan data subjektif dimana


pasien mengatakan bahwa pasien masih mendengar suara suara bisikan
yang meminta pasien melakukan hal aneh. Namun demikian, sama seperti
sebelumnya pasien masih tidak paham hal aneh apa yang dimaksud oleh
bisikan suara tersebut. Sedangkan dari data objektif diperoleh bahwa
kontak mata pasien mulai berkurang, pasien tampak tidak tenang, mondar
mandir dan marah marah. Sehingga perawat belum bisa melanjutkan ke SP
berikut.

Pada hari berikut, didapatkan data subjektif dimana pasien masih


tetap mendegar bisikan suara yang menyuruh pasien berbuat hal aneh.
Tetapi berbeda dengan hari sebelumnya, pada hari berikut pasien tampak
tenang, kontak mata ada, dan pasien bisa diajak komunikasi walau
percakapan sering tidak fokus tetapi pasien mampu jika difokuskan
kembali, dari data ini perawat menyimpulkan tahapan staragei pelaksanaan
tindakan keperawatan dapat dilanjutkan ke SP berikut.

61
62
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana klien merasakan


suatu stimulus yang sebernanya tidak ada. Pasien mengalami perubahan sensori :
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penciuman.

Pada pengkajian diperoleh bahwa pasien Tn. AD dengan masalah


keperawatan gangguan persepsi sensori : halusinasi pendengaran. Berdasaran hasil
pengkajian yang dilakukan pada Tn. AD di dapatkan berdasarankan hasil
wawancara dengan pasien, perawat yang menangani, serta dokumentasi riwayat
kesehatan. Dari data tersebut didapatkan bahwa pasien sering mendengar suara
laki-laki namun isi suara tersebut tidak jelas. Pasien masuk rumah sakit RSJ pada
tanggal 4 september 2022 di antar oleh keluarganya. Implementasi di mulai dari
hari ke 1 SP1P pasien tampak belum berinteraksi cukup baik, pasien tampak datar
wajahnya, kontak mata pasien cukup baik tetapi pasien dapat melakukan tehnik
menghardik. Hari ke 2 SP2P pasien dapat berinteraksi cukup baik dan tampak
bersahabat dengan kontak mata pasien cukup baik. Hari ke 3 SP3P pasien tampak
belum cukup berinteraksi dengan baik, pasien merasa tidak tenang dan kontak
mata pasien berkurang. Berdasarkan hasil evaluasi di dapatkan pada hari ke 2
implementasi pasien dapat berinteraksi dengan cukup baik atau sudah mencapai
SP2P.

5.2 Saran

5.2.1. Bagi RSKD Dadi Provinsi Sulawesi Selatan

Bagi RSKD Dadi Provinsi Sulawesi Selatan dapat mengembangkan


program kesehatan jiwa yang dapat memfasilitasi penangan masalah
gangguan kesehatan jiwa yang di alami klien dengan masalah halusinasi
pendengaran.

63
5.2.2. Bagi Penulis

Hasil dari study kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi peniliti dalam melaksanakan study kasus, khususnya
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien gangguan presepsi
halusinasi pendengaran.

5.2.3. Bagi Tempat Penulisan

Hasil studi kasus ini di harapkan dapat memberikan manfaat


khususnya agar dapat menambah referensi perpustakaan sebagai bahan acuan
penelitian yang akan datang.

5.2.4.Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi


tambahan bagi perkembangan keperawatan jiwa dan sebagai acuan
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan
pada pasien gangguan presepsi sensori halusinasi pendengaran.

DAFTAR PUSTAKA

64
Abraham H. Maslow. 2010. Motivation and Personality. Jakarta : Rajawali.
Akhmadi. 2009. Dukungan Keluarga. Online (http://www.rajawana.com) diakses,
15 Februari 2017 jam 08:00.
Alcom, K.2007.”Bagaimana Memberikan Dukungan Keluarga yang Baik:
Pengalaman dari Seluruh Dunia”Online (http://www.yayasanspiritia.com/
/htm) diakses 22 Juli 2017 jam 10:00.
Ali, Z. 2009. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC.
Ambary, O.K.M.2010.”Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan
Keberfungsial Sosial Pada Pasien Skizofrenia Pasca Perawatan Dirumah
Sakit”.Skripsi. Online (http://repository.usu.ac.id) diakses 22 Juli 2017 jam
10:30.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi.
Jakarta : Rineka Cipta.
AS, A. N. A. (2019). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Halusinasi
Pendengaran Di Barbara, Kozier (2008). Fundamental of Nursing, Seventh
edition, Vol.2, Jalarta : EGC.
Danardi (2007). Asuhan keperawatan bermutu di rumah sakit jiwa. Http.II
persi,co.id/pada versi/news/artikel.php. 3. Id
Hawari. (2010). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jusliani. Sudirman. Pengaruh Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan
Keperawatan Halusinasi Klien Terhadap Kemampuan Mengontrol
Halusinasi Di Rskd Provinsi Sulawesi Selatan. Volume 5 Nomor 2. (2014).
http://jurnal.andalas.ac.id/index.php/menarailmu/article/view/141. 18.
Keliat, B. A. Model Prakti Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC.
(2010).
Karaeng, N. D., Makhmud, A. I., & Liaury, K. (2018). Analisis Efektivitas Biaya
Penggunaan Kemenkes RI. Katalog dalam Terbitan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia : Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta : Kementerian Kesehatan. (2013).

65
Livana P. H., Titik Suerni, Overview of the Role of Nurses in the Implementation
of Education in Patients Hallucinations, European Journal of Biophysics.
Vol. 7, No. 2, 2019, pp. 43-45. doi: 10.11648/j.ejb.20190702.12
Ruang Kenanga Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Media
Keperawatan, 10(2), 97-102.

Risperidone Kombinasi Dan Haloperidol Kombinasi Pada Pasien Skizofrenia Di


Rsj. Dr. VL Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara. Majalah Farmasi dan
Farmakologi, 22(3), 69-72.

Riskesdas. Laporan Nasional 2018. . (2018). Retrieved from


http://www.depkes.go.id.
World Health Organization. The World Health Report: 2018: mental health.
(2018). Retrieved from http://who.int/whr/2018/en/ .
Yosep, H., & Sutini, T. Buku Ajar Keperawatan Jiwa dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung: Refika Aditama. (2016).

66
67
68

Anda mungkin juga menyukai