Anda di halaman 1dari 11

TELAAH JURNAL

TERAPI OKUPASI

Disusun oleh

Kelompok 3 :

1. Dewi Apriyanti 6. Eman Sulaeman

2. Masjony Marwan 7. Heni Suheni

3. Hermansyah 8. Deuis Ati Kusmawati

4. H. Deden Jaenudin 9. Abdurohman

5. M. Dicky Jaenudin 10. Muhamad Firman Sihabudin

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
TAHUN 2020-2021

TINJAUAN TEORI
1. Konsep Teori Terapi Okupasi
A. Pengertian
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk
melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan yang berfokus pada pengenalan
kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan
untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain
(Riyadi dan Purwanto, 2009).
Okupasi terapi adalah profesi kesehatan yang mengalami pasien dengan gangguan
fisik dan atau mental baik yang bersifat sementara atau menetap dengan menggunakan
aktifitas terapeutik yang disesuaikan untuk membantu mempertahankan atau
meningkatkan komponen kinerja okupasional (senso-motorik, persepsi, kognitif, sosial,
spiritual) dan area kinerja okupasional (aktifitas sehari-hari ADL, produktifitas, dan
pemanfaatan waktu luang, Leisure Activity) sehingga pasien mampu meningkatkan
kemandirian fungsional, meningkatkan derajat kesehatan dan partisipasi di masyarakat
sesuai perannya. ( Menkes RI No 571/MENKES/SK/VI/2008).

B. Tujuan
Menurut Riyadi dan Purwanto (2009), ada beberapa tujuan dari terapi okupasi,
diantaranya :
1. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental:
2. Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat
sekitarnya.
3. Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
4. Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
5. Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi.
6. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi,
otot dan koordinasi gerakan.
7. Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya.
8. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah.
9. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan yang
dimiliki.
10. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui
kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat
dan potensinya.
11. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di
lingkungan masyarakat.

C. Jenis-Jenis
Menurut Creek (2002) okupasi terapi bergerak pada tiga area, atau yang biasa
disebut dengan occupational performance yaitu, activity of daily living (perawatan diri),
productivity (kerja), dan leisure (pemanfaatan waktu luang).
1. Aktivitas Sehari-hari (Activity of Daily Living)
Aktivitas yang dituju untuk merawat diri yang juga disebut Basic Activities of Daily
Living atau Personal Activities of Daily Living terdiri dari: kebutuhan dasar fisik
(makan, cara makan, kemampuan berpindah, merawat benda pribadi, tidur, buang air
besar, mandi, dan menjaga kebersihan pribadi) dan fungsi kelangsungan hidup
(memasak, berpakaian, berbelanja, dan menjaga lingkungan hidup seseorang agar
tetap sehat).
2. Pekerjaan
Kerja adalah kegiatan produktif, baik dibayar atau tidak dibayar. Pekerjaan di mana
seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya biasanya menjadi bagian penting
dari identitas pribadi dan peran sosial, memberinya posisinya dalam masyarakat, dan
rasa nilai sendiri sebagai anggota yang ikut berperan. Pekerjaan yang berbeda diberi
nilai-nilai sosial yang berbeda pada masyarakat. Termasuk aktivitas yang diperlukan
untuk dilibatkan pada pekerjaan yang menguntungkan/menghasilkan atau aktivitas
sukarela seperti minat pekerjaan, mencari pekerjaan dan kemahiran, tampilan
pekerjaan, persiapan pengunduran dan penyesuaian, partisipasi sukarela, relawan
sukarela. Pekerjaan secara individu memiliki banyak fungsi yaitu pekerjaan
memberikan orang peran utama dalam masyarakat dan posisi sosial, pekerjaan
sebagai sarana dari mata pencaharian, memberikan struktur untuk pembagian waktu
untuk kegiatan lain yang dapat direncanakan, dapat memberikan rasa tujuan hidup
dan nilai hidup, dapat menjadi bagian penting dari identitas pribadi seseorang dan
sumber harga diri, dapat menjadi forum untuk bertemu orang-orang dan membangun
hubungan, dan dapat menjadi suatu kepentingan dan sumber kepuasan.
3. Waktu Luang
Aktivitas mengisi waktu luang adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu luang
yang bermotivasi dan memberikan kegembiraan, hiburan, serta mengalihkan
perhatian pasien. Aktivitas tidak wajib yang pada hakekatnya kebebasan
beraktivitas. Adapun jenis-jenis aktivitas waktu luang seperti menjelajah waktu
luang (mengidentifikasi minat, keterampilan, kesempatan, dan aktivitas waktu luang
yang sesuai) dan partisipasi waktu luang (merencanakan dan berpatisipasi dalam
aktivitas waktu luang yang sesuai, mengatur keseimbangan waktu luang dengan
kegiatan yang lainnya, dan memperoleh, memakai, dan mengatur peralatan dan
barang yang sesuai).

D. Indikasi
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi
sebagai berikut:
1. Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang disertai
dengan kesulitan berkomunikasi
2. Ketidakmampuan menginterprestasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap
rangsang tidak wajar
3. Klien yang mengalami kemunduran
4. Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian
5. Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas
6. Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung dari pada
membayangkan.

E. Karakteristik Terapi Okupasi


Riyadi dan Purwanto (2009) mengemukakan bahwa karakteristik dari terapi
aktifitas terapi okupasi yaitu : mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi
klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah
buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat
disesuaikan dengan minat klien.

F. Peranan Aktivitas Terapi Okupasi


Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi,
sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang
tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat
dan kreativitasnya).
1. Jenis
Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak badan, olahraga,
permainan tangan, kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi, pekerjaan sehari-hari
(aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti dengan mengajarkan merapikan tempat
tidur, menyapu dan mengepel), praktik pre-vokasional, seni (tari, musik, lukis,
drama, dan lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton bioskop atau drama), diskusi dengan
topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan lingkungan)
(Muhaj, 2009).
2. Aktivitas
Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang secara
produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus
sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas
yang digunakan harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
 Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan
hanya sekedar menyibukkan klien.
 Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya
dengan klien.
 Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya
terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
 Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
 Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat
meningkatkan atau setidaknya memelihara kondisinya.
 Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat
mandiri.
 Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
 Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian dengan
kemampuan klien.

G. Pelaksanaan
Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari
kondisi klien dan tujuan terapi :
1. Metode
a. Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b. Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil
yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah
anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat,
2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan
Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10 orang. Jika
anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak
cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009)
menyatakan terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan
reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu.
Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang
dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan
seringkali bertingkah laku irrasional.
2. Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan
frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2
bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-
1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009).

H. Analisa
Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan terapi
okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau
pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi
klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang
dilakukan, persiapan terhadap sarana pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan
dari kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau tidak
disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien.
TELAAH JURNAL

I. DESKRIPSI UMUM :
No. Item :
1. Judul Jurnal :
Pengaruh Terapi Okupasi Terhadap Gejala Halusinasi
Pendengaran Pada Pasien Halusinasi Pendengaran Rawat Inap
Di Yayasan Aulia Rahma Kemiling Bandar lampung

2. Penulis Jurnal :
Niken Yuniar Sari, Budi Antoro, Niluh Gede Pita
Setevani, Universitas Mitra Indonesia, Bandar Lampung
E-mail: nikenyuniar@umitra.ac.id

3. Nama Jurnal/dipublikasikan oleh :


Jurnal Kesehatan Panca Bhakti Lampung, Volume VII, No.1
April 2019

4. Penelaah/review jurnal : Kelompok 3

5. Sistematika Penulisan :
Penulisan judul jurnal sudah ditebalkan (BOLD), dan sudah
terdapat nama dan background penulis jurnal dibawah judul
jurnal. Judul jurnal tidak melebihi 25 kata. Abstrak
menggunakan penebalan IMRAD yaitu pendahuluan, metode,
hasil, dan diskusi. Kata kunci yang digunakan sesuai dengan
standar (4 keywords)
6. Referensi Daftar Pustaka :

II. DESKRIPSI CONTENT :


1. Abtrak :
Abstrak menggunakan pedoman IMRAD yang lengkap yaitu
pendahuluan atau latar belakang, metode, tujuan, hasil dan
kesimpulan. Jumlah kata dalam abstrak memenuhi standar
yaitu sebanyak 273 kata. Abtrak disusun secara rapi dan
mudah di mengerti.
2. Pendahuluan :

World Health Organization (WHO, 2013) menyatakan setidaknya ada


satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental, dan masalah
gangguan kesehatan jiwa yang ada diseluruh dunia sudah menjadi masalah yang
serius dimana terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta terkena
bipolar,21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensi.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes) pada tahun 2014


menyatakan jumlah gangguan jiwa di Indonesia mencapai angka 2,5 juta dari
150 juta populasi orang dewasa di Indonesia, dan terdapat 1,74 juta orang
mengalami gangguan mental emosional. Di Indonesia, jumlah penderita
gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) adalah 1,7 perseribu
penduduk.Rumah Sakit Jiwa Diindonesia menyatakan sekitar 70% halusinasi
yang dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah halusinasi pendengaran, 20%
halusinasi pengelihatan, dan 10% adalah halusinasi penciuman, pengecapan dan
perabaan.

Data Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung tahun 2013 jumlah penderita
gangguan jiwa sebanyak 15.720 orang dan sebanyak 7.422 orang (47,2%)
mengalami skizofrenia dan penderita gangguan jiwa meningkat ditahun 2014
menjadi 17.528 orang dan sebesar 8850 orang (50,7%) mengalami skizofrenia
(RekamMedik RSJ Provinsi Lampung, 2014).

Penatalaksanaan pasien dengan halusinasi ada beberapa seperti


farmakoterapi, terapi kejang listrik, psikoterapi dan rehabilitas yang diantaranya
terapi okupasi, terapi sosial, TAK, terapi lingkungan (Prabowo, 2014).

3. Metode :

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif, menggunakan


design eksperimen dengan rancangan penelitian preksperiment dengan
pendekatan one group pretest-postest design. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien halusinasi pendengaran di Yayasan Aulia Rahma,
Kemiling Bandar Lampung dengan jumlah 27 pasien halusinasi pendengaran.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampel adalah 27 pasien
dengan halusinasi pendengaran. penelitian ini adalah Teknik Total Sampling.

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian Pretest dilakukan dengan cara


melakukan observasi gejala halusinasi pendengaran kepada responden
menggunakan lembar observasi yang diobservasi adalah isi halusinasi,
frekuesnsi halusinasi, situasi pencetus, dan respon pasien.

Setelah melakukan selesai pretest, selanjutnya melakukan terapi pada


hari berikutnya yang dimana akan dilakukan 1-2 jam dengan beberapa tahap,
tahap 1 dengan waktu ½-1 jam terdiri dari tahap persiapan dan orientasi,
melakukan persiapan alat-alat dan bahan seperti menyiapkan tanaman, sekop,
polibag, pupuk, air, dll setelah itu tahap kedua 1-1/2 yang terdiri dari tahap
kerja dan tahap evaluasi, dimana pada tahap ini ajarkan responden bagaimana
cara menanam dan merawatnya, saat menanam yang pertama dilakukan adalah
menggali tanah yang akan digunakan, setelah itu memberikan contoh untuk
pertama kali kepada responden dalam menanam sayuran.
Setelah evaluasi, jika sudah melakukan terapi lakukan evaluasi dengan
cara menanyakan kepada responden apakah responden senang melakukan
menanam sayuran dan memberikan hadiah kepada responden yang sudah mau
dalam mengikuti terapi sebagai penghargaan kepada partisipan, setelah evaluasi
peneliti melakukan kontrak waktu kepada partisipan dan wali responden untuk
terapi selanjutnya terapi yang akan dilakukan selama 2 minggu dengan 1 minggu
dilakukan 3 sesi pertemuan, sehingga terdapat 6 sesi pertemuan untuk 2 minggu.

Pada hari ke 15 dilakukan observasi (Posttest) untuk mengukur gejala


halusinasi pendengaran. Instrument pengumpulan data yang digunakan Pre
Testdan Post Test berupa lembar observasi untuk mengukur gejala halusinasi
pendengaran berdasarkan lembar observasi yang sudah baku. Instrument ini
terdiri dari karakteristik responden dan gejala halusinasi. Teknik analisa data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Wilxocon Sign Rank Test.

4. Hasil Penelitian :

Karakteristik responden penelitian ini akan dijelaskan seperti usia, jenis


kelamin, lama dirawat, dan pekerjaan

Tabel 1. Karakeristik Berdasarkan Usia

Umur Frekuensi Persentase

< 21 tahun 0 0%
21-40 tahun 19 70,4%
40-60 tahun 8 29,6%
>60 tahun 0 0%
Total 27 100%

Tabel 1. dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi usia pada responden


halusinasi pendengaran paling banyak pada katagori usia21-40 tahun

Tabel 2. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin, Lama Dirawat Dan Pekerjaan


No Karakteristik F %
1. Jenis kelamin
a. Laki-laki 20 74,1%
b. Perempuan 7 25,9%

2. Lama di rawat
a. 1-5 tahun 14 51%
b. 6-10 tahun 13 48,1%

3. Pekerjaan
a. Pedagang 8 29,6%
b. Petani 10 37,0%
c. Wiraswasta 2 7,4%
d. IRT 6 22,2%
e. Supir 1 3,7%

Tabel 2. dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi karakteristik pada responden


seperti jenis kelamin, lama sakit, dan pekerjaan responden. Frekuensi jenis
kelamin pada klien halusinasi pendengaran paling banyak jenis kelamin laki-laki
dengan jumlah 20 responden, frekuensi lama sakit pada klien halusinasi
pendengaran paling banyak pada 1-5 tahun dengan jumlah 14 responden dan
frekuensi pekerjaan pada klien paling banyak pada pekerjaan petani dengan
jumlah 10 responden.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gejala Halusinasi Pre-Test

Gejala Halusinasi F %
Pendengaran (Pre-Test)
Berat 13 48,1 %
Sedang 14 51,9%
Ringan 0 0%
Total 27 100%

Tabel 3 menunjukan gejala halusinasi pendengaran klien halusinasi pendengaran


sebelum diberikan terapi okupasi paling banyak dalam kategori sedang dengan
jumlah responden 14 responden dengan persentase 51,9%.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi GejalaHalusinasi Pendengaran Post-Test


Gejala Halusinasi F %
Pendengaran (Post-Test)
Berat 5 18,5%
Sedang 10 37,0%
Ringan 12 44.4%
Total 27 100%

Tabel 4. gejala halusinasi pendengaran pada klien halusinasi pendengaran


setelah diberikan terapi okupasi paling banyak dalam kategori ringan dengan
jumlah responden 12 responden dengan persentase 44,4%.

Hasil penelitian dari uji satistik didapatkan Hasil Uji Wilcoxon didapat P Value
0,00< 0,05, artinya ada pengaruh terapi okupasi terhadap gejala halusinasi
pendengaran

5. Diskusi :

Menurut kelompok 3, terapi ini lebih efektif dari pada terapi somatik dan terapi
aktifitas kelompok lainnya di samping terapi obat-obatan kimia karena selain
praktis, terapi ini dapat terjadinya pemfokusan pikiran klien halusinasi dengan
kegiatan yang real berupa hobi, keahlian atau keminatan klien seperti berkebun,
menjahit, melukis dan sejenisnya sehingga akan mengdistraksikan gejala
halusinasi dengan kenyataan yang sedang dikerjakannya.

6. Implikasi Keperawatan :
Dampak dari hasil penelitian ini ialah perawat dapat melakukan intervensi
tambahan ini dalam rencana keperawatannya dan hasil penelitian ini memiliki
dampak yang positif dalam dunia keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai