Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TEORI BEHAVIORISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan
dan Pembelajaran

Dosen : Dr. Hj. Isti Rusdiyani, M.Pd

Disusun oleh :
Kelompok 1 / Kelas A
Dinda Berliana 7772220006
Iqtifa Nurcholifah 7772220012

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Teori
Behaviorisme dan Implikasinya Dalam Pembelajaran”. Penulisan makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan dan
Pembelajaran.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca.

Serang, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR--------------------------------------------------------------------------------i
DAFTAR ISI-------------------------------------------------------------------------------------------ii
BAB I PENDAHULUAN----------------------------------------------------------------------------1
1.1. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------------1
1.2. Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------1
1.3. Tujuan Penulisan-----------------------------------------------------------------------------1
BAB II PEMBAHASAN-----------------------------------------------------------------------------2
2.1. Teori Behaviorisme -------------------------------------------------------------------------2
2.2. Tokoh-Tokoh Teori Behaviorisme--------------------------------------------------------3
2.3. Kelebihan dan Kekurangan Teori Behaviorisme ---------------------------------------7
2.4. Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran -----------------------------------8
BAB III PENUTUP-----------------------------------------------------------------------------------12
3.1. Kesimpulan-----------------------------------------------------------------------------------12
3.2. Saran ------------------------------------------------------------------------------------------12
DAFTAR PUSTAKA---------------------------------------------------------------------------------13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu faktor yang mendasari perlunya perubahan praktek pembelajaran di
kelas yang masih sangat tradisional adalah faktor psikologis yang di tandai dengan
munculnya teori belajar yang dikenal dengan behaviorisme. Teori Behaviorisme
lebih tertuju pada pembentukan tingkah laku melalui pemberian stimulus dan respon
yang dihasilkan. Teori Behaviorisme adalah sebuah teori belajar yang menekankan
pada perlunya tingkah laku yang diamati.
Peristiwa belajar dalam teori Behaviorisme dilakukan dengan cara melatih
refleks-refleks sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dikuasai individu. Sejalan
dengan pendapat diatas, teori Behaviorisme berarti perubahan perilaku sebagai hasil
dari pengalaman. Teori behaviorisme berpendapat bahwa dalam proses belajar yang
paling penting itu adanya input berupa stimulus atau rangsangan dan output atau
hasil yang berupa respon siswa. Teori belajar Behaviorisme lebih tertuju pada
perubahan tingkah laku peserta didik sebagai akibat dari antara stimulus dengan
respon, sedangkan belajar merupakan aktivitas yang mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud teori behaviorisme?
2. Siapa saja tokoh-tokoh teori behaviorisme?
3. Apa kelebihan dan kekurangan teori behaviorisme?
4. Bagaimana implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui konsep teori behaviorisme.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori behaviorisme.
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori behaviorisme.
4. Untuk mengetahui implikasi teori behaviorisme dalam pembelajaran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Teori Behaviorisme


Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku
manusia. Menurut (Desmita, 2015:44) teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar
memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik,
dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan
melalui upaya pengkondisian. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang
seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat,
bukan dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan
pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Behaviorisme ialah pandangan yang menyatakan bahwa suatu perilaku harus
dijelaskan melalui pengalaman yang dapat diamati, bukan dengan proses mental. Proses
mental diartikan sebagai pikiran, perasaan, dan motif yang dialami seseorang yang tidak
bisa dilihat oleh orang lain.
Teori behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat
diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan
(stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-
hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang
internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah
akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan
ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon). Teori
Behaviorisme mementingkan faktor lingkungan, menekankan pada faktor bagian,
menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif,
sifatnya mekanis dan mementingkan masa lalu.
Gage dan Berliner menyatakan bahwa menurut teori behaviorisme belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. (Maziatul, 2009). Pada intinya,
teori behaviorisme menekankan pada pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu
hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan perilaku yang tampak sebagai
hasil belajar.

2
Seorang siswa dianggap telah belajar sesuatu jika siswa yang bersangkutan dapat
menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya. Menurut teori ini kegiatan belajar yang
penting adalah input yang berupa stimulus atau apa saja yang diberikan guru kepada
siswa dan output yang berupa respon atau reaksi/tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut.

2.2. Tokoh-Tokoh Teori Behaviorisme


1. Teori Ivan Petrovich Pavlov
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan
hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuwan
besar dari Rusia. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur
penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya
refleks tersebut. Teori pengkondisian klasik merupakan perkembangan lebih lanjut
dari teori koneksionisme. Objek eksperimen Pavlov, yaitu seekor anjing. Teori ini
dilatarbelakangi oleh percobaan Pavlov tentang keluarnya air liur anjing. Air liur
akan keluar, apabila anjing melihat atau mencium bau makanan. Terlebih dahulu
Pavlov membunyikan bel sebelum anjing diberi makanan. Pada percobaan berikutnya
begitu mendengar bel, otomatis air liur anjing akan keluar, walau belum melihat
makanan, artinya perilaku individu dapat dikondisikan. Belajar merupakan suatu
upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respon terhadap
sesuatu. Kebiasaan makan atau mandi pada jam tertentu, kebiasaan belajar, dan lain-
lain dapat terbentuk karena pengkondisian.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap hewan dan menghasilkan hukum-
hukum belajar, diantaranya :
a. Law of Respondent Conditioning (hukum pembiasaan yang dituntut), maksudnya
jika terdapat dua macam stimulus diberikan secara bersamaan (salah satu stimulus
berperan sebagai penguat), maka respon dan stimulus lain akan meningkat atau
bertambah.
b. Law of Respondent Extinction (hukum pemusnahan yang dituntut), hukum yang
dimaksud jika refleks ditingkatkan melalui respondent conditioning kemudian
diberikan kembali tanpa ada reinforcer, maka kekuatannya akan menurun atau
berkurang. (Suyono & Hariyanto, 2012:62)

3
2. Teori Edward Lee Thorndike
Menurur Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-
asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan (R). Stimulus adalah suatu
perubahan dari lingkungan ekstemal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organism untuk bereaksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang (Hergenhahn and H. Olson 1997).
Thorndike memproklamirkan teorinya dalam belajar. Ia mengungkapkan
bahwasanya setiap makhluk hidup dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan
antara stimulus dan respon. Adapun teori Thorndike ini disebut teori koneksionisme.
Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.
Dalam artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbullah respon yang
maksimal, teori ini juga sering disebut dengan teori trial and error. ·
Dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon
sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil
dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon
dilakukan dengan ulangan-ulangan.
Dalam teori trial and error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila
organisme ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara
otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat
coba-coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus
itu pasti ditemukan respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu
menelurkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka tindakan ini
akan disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa di antara
tindakan-tindakan yang paling cocok adalah itu, selama yang telah dilakukan dalam
menanggapi stimulus dan situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan
respon atau tindakan dalam menanggapai stimulus atau situasi baru itu sangat penting
sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan
dilakukan secara terus menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam
tindakan atau respon terhadap stimulus.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,

4
yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.Dari definisi ini
maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu
dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang
tidak dapat diamati.
Thorndike memandang belajar sebagai suatu usaha memecahkan problem.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya, ia memperoleh tiga buah hukum dalam
belajar, yaitu:
1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu bahwa belajar akan terjadi bila ada
kesiapan pada diri individu.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu bahwa hubungan antara stimulus dan
respon dalam proses belajar akan diperkuat atau diperlemah oleh tingkat
intensitas dan durasi dari pengulangan hubungan atau latihan yang dilakukan.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu bahwa hubungan antara stimulus dan respon
cenderung diperkuat apabila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah
apabila akhirnya tidak memuaskan (Rahman, 2014:55).

3. Teori Burrhus Frederic Skinner


Operant conditioning adalah teori yang ternama dari B.F.Skinner. Teori
operant conditioning memiliki komponen rangsangan atau stimulus, respon, dan
konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya akan memunculkan
perilaku (Slavin, 2000). Stimuli bertindak sebagai pemancing respon, sedangkan
konsekuensi dapat bersifat positif atau negative, namun keduanya bersifat saling
memperkuat (reinforcement).
Menurut Skinner, banyak respon yang tidak hanya dipancing stimuli tetapi
dapat dikondisikan pada stimuli lain. Respon ini dikategorikan perilaku pertama dan
disebut respondent behavior karena perilaku muncul sebagai respons atas stimuli.
Kemudian dapat muncul kategori perilaku ke dua yaitu perilaku yang tidak dipancing
stimuli, yang disebut operant behavior karena sudah dikerjakan peserta didik.
Skinner membuat percobaan, yaitu memasukkan tikus yang telah dilaparkan
dalam kotak yang disebut “Skinner Box” yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan, yaitu tombol alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang
dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar
(hunger drive) tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak

5
kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan
keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan
perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya adalah:
a. Law of Operant Conditioning, yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
b. Law of Operant Extinction, yaitu jika timbulnya perilaku operant yang telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan menghilang.
Menurut Skinner unsur yang terpenting dalam belajar adalah penguatan
(reinforcement) dan hukuman (punishment) (Hall & Lindzey, 1993). Penguatan
(reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu
perilaku akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang
menurunkan probabilitas tetjadinya suatu perilaku.
Menurut Skinner penguatan berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi
dua bagian yaitu :
a. Penguatan Positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi respons
meningkat karena diikuti. dengan stimulus yang mendukung (rewarding).
Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah (permen, kado, makanan,
dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk
tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dan
sebagainya).
b. Penguatan Negatif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan
(tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain; menunda/
tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan
perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa dan
sebagainya) (Baharuddin and Wahyuni, 2015:108).
Beberapa prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

6
c. Materi pelajaran digunakan sistem modul.
d. Pembelajaran lebih mementingkan aktivitas mandiri.
e. Pembelajaran menggunakan shaping yaitu menggunakan langkah-langkah kecil
yang disertai dengan feedback untuk membantu siswa mencapi tujuan yang ingin
dicapai.

2.3. Kelebihan dan Kekurangan Teori Behaviorisme


a. Kelebihan Teori Behaviorisme
Berdasarkan beberapa kajian dari tokoh-tokoh teori behaviorisme, maka dapat
diambil beberapa kelebihan dari teori ini.
1. Guru lebih banyak memberikan ceramah, tetapi tetap harus diikuti contoh-contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui stimulasi.
2. Kompetensi/perilaku/bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana
sampai pada yang kompleks, dari yang mudah sampai pada yang sulit.
3. Tujuan pembelajaran tersusun secara rinci dari indicator (satu indicator
dirumuskan lebih dari dua tau tiga sub keterampilan) yang ditandai dengan
pencapaian suatu keterampilan tertentu (harus jelas komponen behavior dari
setiap tujuan pembelajaran).
4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati, jika terjadi
kesalahan harus segera diperbaiki.
5. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan.
6. Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan pela pada situasi dan kondisi belajar.
7. Teori behaviorisme ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang
membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti:
kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
8. Pada bagian-bagian tertentu, teori ini akan menghasilkan produk-produk
pembelajaran tertentu seperti bahan ajar (LKS, CD pembelajaran, modul)
sehingga akan membiasakan peserta didik belajar mandiri. Jika menemukan
kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
9. Teori ini cocok untuk diterapkan untuk melatih peserta didik yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, dan peserta didik yang memiliki

7
sifat dependen, peserta didik yang suka mengulangi, suka meniru, dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan secara langsung.
10. Aplikasi teori behaviorisme ini sangat cocok untuk pemerolehan
kemampuan/perilaku yang membutuhkan praktik dan pembiasaan yang
mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleks,
daya tahan dan sebagainya. Contoh percakapan bahasa asing, mengetik, menari,
menggunakan komputer, berenang, olahraga, dan sebagainya (Herpratiwi,
2016:10).
b. Kekurangan Teori Behaviorisme
Berdasarkan beberapa kajian dari tokoh-tokoh teori behaviorisme, maka dapat
diambil beberapa kekurangan dari teori ini.
1. Pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
2. Jika teori behaviorisme diaplikasikan dengan frekuensi yang lama, akan
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi
siswa karena guru bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari peserta didik.
3. Peserta didik dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi
oleh penguatan yang diberikan oleh guru.
4. Peserta didik mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan menghafalkan
apa yang didengar. Peserta didik tidak diberi ruang gerak untuk berkreasi,
bereksperimen, dan mengembangkan kemampuannya sendiri (teacher centered
learning).
5. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behaviorisme justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan peserta didik.
6. Cenderung membentuk peserta didik berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan
tidak produktif. (Herpratiwi, 2016:11).

2.4. Implikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran


Menurut (Sugihartono, Nurhayati, and Harahap, 2007) Terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam penerapan teori belajar behaviorisme dalam proses
pembelajaran sebagai berikut: (1) mementingkan dan memerhatikan pengaruh
lingkungan; (2) mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui

8
mekanisme stimulus-respon (S-R); (3) mementingkan dan memperhatikan kemampuan
yang sudah dimiliki dan terbentuk pada saat-saat sebelumnya; (4) mementingkan
pembentukan kebiasaan perilaku melalui latihan dan pengulangan; (5) hasil belajar
yang tercapai terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku yang diinginkan.
Penerapan teori belajar Behaviorisme dalam pendidikan menurut (Irham and
Wiyani, 2015) terlihat dalam beberapa hal diantaranya: (1) bahan-bahan pengajaran
sudah siap digunakan; (2) bahan pelajaran tersusun secara hierarkies, dari sederhana ke
rumit dan kompleks; (3) pembelajaran berorientasi hasil yang terukur dan teramati
dalam bentuk perilaku yang diinginkan; (4) pengulangan dan latihan digunakan untuk
membentuk kebiasaan; (5) apabila perilaku yang diinginkan muncul diberi penguatan
positif dan yang kurang diinginkan mendapat penguatan negatif.
Proses pembelajaran yang berpijak pada teori belajar Behaviorisme adalah sebagai
berikut: (1) menentukan tujuan pembelajaran dalam bentuk standart kompetensi (SK)
dan kompetensi dasar (KD) serta indikator ketercapaian; (2) menentukan materi
pelajaran yang akan diberikan; (3) merinci materi menjadi bagaian-bagaian kecil
dalam bentuk pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan sebagainya; (4) memberikan
stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan, latihan-latihan, dan tugas-tugas dalam proses
pembelajaran; (5) adanya aktivitas memberikan hadiah dan hukuman (Suyono and
Hariyanto, 2012).
Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan
respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk
meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses
pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif apa lagi jika
diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan
terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya
percobaan sang tokoh behaviorisme terhadap binatang, maka dalam konteks
pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut
(Mukminan, 1997:23), beberapa prinsip tersebut adalah:
1. Teori behaviorisme beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan
tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan
dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.

9
2. Teori behaviorisme beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah
adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang
terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati.
3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons,
merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila
reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa
adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan
dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk
memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau
menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
1. Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan
kepada siswa.
2. Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
3. Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai
dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a. Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (observable)
b. Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c. Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit
atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d. Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah
laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).
Aplikasi teori behaviorisme dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan
tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan kompetensi sebagaimana telah
dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut:
a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa
Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini
dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal
apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan
dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap

10
siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau
merespons sejumlah materi dalam pembelajaran.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis
terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu :
1. Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan
awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat (prerequisite) bagi bahan
baru yang akan disampaikan.
2. Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah
dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat
memberikan bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang
tidak asing bagi siswa.
3. Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar
belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
4. Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik
jasmaniah maupun rohaniah.
5. Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
6. Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
7. Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah diperoleh siswa
sebelumnya
8. Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa (Hamalik,
2013:38–40).
b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan
Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi
siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate
terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang
sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang
akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran
kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan
kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat
menggunakan dua pendekatan yaitu a) siswa menyesuaikan diri dengan materi
yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan

11
pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran),
atau b) materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa.
Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan
keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan
mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite
test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu: siswa dapat dikelompokkan
dalam dua kategori, yakni a) sudah cukup paham dan mengerti, serta b) belum
paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi
dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah.
Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada
penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping memerlukan
dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar
hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat
persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah
bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah
banyak yang paham dan mengerti dan pada sebagian pokok materi pembalajaran
yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham.
Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap
kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya,
materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta
untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu
diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap
sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh
siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam
kelas.
Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan
teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah:
1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
2. Melakukan analisis pembelajaran
3. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar
4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
5. Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)
6. Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)

12
7. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan
sejenisnya)
8. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar
9. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif
10. Merevisi kegiatan pembelajaran. (Mukminan, 1997)

13
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa teori belajar
behaviorisme adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai
akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Teori belajar dalam pandangan behaviorisme ada tiga, yaitu teori pengkondisian
klasikal dari Pavlov, teori koneksionimse dari Thorndike, teori operant conditioning
dari B.F.Skinner.
Adapun kelebihan dari teori behaviorisme yaitu teori ini cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian, serta membiasakan guru untuk
bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar. Sedangkan kekurangan teori
behaviorisme yaitu pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered
learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan
diukur, serta murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

3.2. Saran
Sebagai pendidik sebaiknya kita mampu menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan efektif, lalu menerapkan metode dan teori yang tepat, sehingga proses
belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kita sebagai pendidik sebaiknya
mempelajari teori-teori pembelajaran yang ada agar kita mampu menemukan
kecocokan dalam metode mengajar yang tepat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, and Esa Nur Wahyuni. 2015. Teori Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Desmita. 2015. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar. 2013. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta:
Bumi Aksara.
Hergenhahn, B. R., and Matthew H. Olson. 1997. Theories of Learning. New Jersey: Prentice
Hall International.
Herpratiwi. 2016. Teori Belajar Dan Pembelajaran. Yogyakarta: Media Akademi.
Irham, Muhammad, and Novan Ardy Wiyani. 2015. Psikologi Pendidikan : Teori Dan
Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Mukminan. 1997. Teori Belajar Dan Pembelajaran. Yogyakarta: P3G IKIP.
Rahman, Ulfiani. 2014. Memahami Psikologi Dalam Pendidikan (Teori Dan Aplikasi).
Makassar: Alauddin University Press.
Sugihartono, Siti Rohmah Nurhayati, and Farida Harahap. 2007. Psikologi Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press.
Suyono, and Hariyanto. 2012. Belajar Dan Pembelajaran Teori Dan Konsep Dasar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai