Anda di halaman 1dari 101

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

EKSTRAKSI
“Maserasi”
Dosen Pengampu: Lilik Sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda Syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

LABORATORIUM STTIF BOGOR


PROGRAM STUDI S1 REGULER FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB II
PENDAHULUAN
Dasar Teori

Maserasi merupakan cara eksrtraksi yang sederhana. Istilah maseration


berasal daribahasa laitin macere, yang artiya merendam. Jadi maserasi dapat diartikan
sebagai prosesdimana obat yang sudah halus dapat memungkinkan untuk direndam
dalam mesntrum sampaimeresap dan melunakan susunan sel, sehingga zat-zat yang
mudah larut akan melarut (Ansel,1989).

Prinsip maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada temperature
kamar terlindung dari cahaya, pelaut akan masuk kedalam sel tanaman melewati di
dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di
dalam sel dengan diluar sel. Larutanyang konentrasinya tinggi akan terdeak keluar dan
diganti oleh pelarut dengan konsentrasi redah (proses difusi). Peristiwa tersebut akan
berulang sampai terjadi keseimbangan antara larutan didalam sel dan larutan diluar sel
(Ansel, 1989).

Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15°c-20°c dalam waktu


selama 3 hari sampai bahan-bahan yang larut, melarut (Ansel, 1989) Maserasi
digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut
dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan
penyari.

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah


air, etanol,etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih
selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral,
absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan
panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit.

Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin,


kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan
saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang terlarut hanya
terbatas. Untuk meningkatkan penyarian biasanya menggunakan campuran etanol
dan air.Perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang disari.Dalam
buku monografi ekstrak, pembuatan ekstrak kental umumnya dilakukan dengan cara
maserasi menggunakan etanol. Satu bagian serbuk simplisia dimasukkan ke dalam
maserator, ditambah 10 bagian etanol, direndam selama 6 jam sambil sesekali diaduk,
kemudian didiamkan sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali
dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan
dengan penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh
ditimbang dan dicatat.

Pada penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan dengan


tujuan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar serbuk simplisia, sehingga dengan
pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil
kecilnya antara laruta di dalamsel dengan larutan diluar sel. Hasil penyarian dengan cara
maserasi perlu dibiarkan selama 2 hariuntuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari.

Maserasi dapat dilakukan modifikasi, misalnya :


1) Digesti
 Digesti adalah cara maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah,
yaitu
pada suhu 40⁰ - 50⁰ C. Cara maserasi ini hanya dapat dilakukan
untuk simplisia
yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan.
 Meserasi dengan mesin pengaduk
Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus-menerus,waktu proses
maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam

 Remaserasi
Cairan penyari dibagi 2, seluruh serbuk simplisiadimaserasi dengan
cairan
penyari pertama, sesudah diendap tuangkan dan diperas, ampas
dimaserasi lagi
dengan cairan penyari yang kedua
 Meserasi melingkar
Maserasi dapat diperbaiki dengan mengusahakan agar cairan penyari
selalu
bergerak dan menyebar. Dengan cara ini penyari selalu mengalir
kembali secara
berkesinambungan melalui serbuk simplisia dan melarutkan zat aktifnya.
 Meserasi melingkar bertingkat
Pada maserasi melingkar penyarian tidak dapat dilaksanakan secara
sempurna,
karena pemindahan massa akan berhenti bila keseimbangan telah
terjadi.
Masalah ini dapat diatasi dengan maserasi melingkar bertingkat.

Remaserasi
4) Maserasi melingkar
BAB III
MEODE PRAKTIKUM
Alat

1. Botol meserasi
2. Erlenmeyer
3. Corong
4. Gelas ukur
5. Beaker glass
6. Spatel
7. Penagas air
8. Timbangan
9. Oven
10. Cawan penguap
11. Rotary vaccum evaporator
12. Botol wadah ekstrak
13. Kertas saring

Bahan

1. 500 gram simplisia daun waru


2. eathanol 96%

Cara kerja

1. Timbang daun waru sebanyak 500 gram


2. Masukan kedalam wadah yg sudah di timbang 500 gram
3. Masukan eathanol kedalam wadah selama 3x 24 jam
4. Lalu dilakukan penyaringan
5. Kemudian lakukan rotary sampai diperoleh ekstrak kental
6. Selanjutnya dimasukan kedalam oven
BAB IV

DATA DAN PEMBAHASAN

1. Data

Perhitungan randemen pada waru


DATA MASERASI DAUN WARU

Konsentrasi Log Kontrol Absorbansi Inhibisi


konsentrasi 1 2 3 Rata-
rata
20 1,30103 0,549 0,280 0,280 0,278 0,279 49,18%
40 1,60205 0,549 0,281 0,273 0,271 0,275 49,90%
80 1,90308 0,549 0,259 0,261 0,259 0,259 52,82%
160 2,20411 0,549 0,248 0,247 0,245 0,246 55,19%
320 2,50514 0,549 0,235 0,235 0,235 0,235 57,19%

IC50 Daun Waru


56.00%
55.00% f(x) = 0.0878649968441683 x + 0.359152548472467
54.00% R² = 0.996409700100172
53.00%
Inhibisi (%)

52.00%
51.00%
50.00%
49.00%
48.00%
47.00%
1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2 2.1 2.2 2.3

Log Konsentrasi

Grafik hubungan absorbansi dan inhibisi dengan Y=50

Y =0,0879 x +0,3592
50=0,0879 x +0,3592

496408
x=
879

x=564,74

2. Pembahasan

Pada Praktikum ekstraksi secara maserasi yang telah kami laksanakan


menggunakan cara simulasi maserasi dengan pelarut etanol 96% dimana bahan ekstrak
daun waru di timbang sebanyak 500 gram, lalu di larutkan menggunakan eathanol 96%,
kemudian di diamkan, dan dilakukan penyaringan, lalu di maserasi secara teori dengan
pengadukan rotary selama 1 jam/ 1 x pengadukannya, lalu di keringkan menggunakan
oven dengan suhu 40°C.

Perhitungan randemen pada waru

Konsentrasi Absorbansi
(ppm)
20 ppm 49,18%
40ppm 49,90%
80ppm 52,82%
160ppm 55,19%
320ppm 57,19%
Ex + bahan 1 = 216,01
Waru =195,84
Ext = 20,17
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan praktikum dapat disimpulkan bahwa pada sampel daun waru yang
dilarutkan dengan eathanol 96% ketika di rotay akan berubah menjadi larutan ekstrak
yang kental dan kemudian di oven dengan suhu 40°c ekstrak berubah menjadi ekstak
yang lebih kental dibanding sesudah di rotay hal ini yang menyebabkan ekstak daun
waru menjadi kental.

Dapat diketahui pada rendemen dalam waru dalam 20 ppm =49,18%, 40 ppm
=49,90%, 80ppm= 52,82%, 160 ppm= 55,19%, 320ppm= 57,19% jadi ekstak waru
mempunyai rendemen yaitu 20,17%
PRAKTIKUM FITOKIMIA

PRAKTIKUM III

“PENENTUAN KADAR AIR”

Dosen Pengampu: Lilik sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda Syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

LABORATORIUM STTIF BOGOR


PROGRAM STUDI S1 REGULER FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB 1
DASAR TEORI

Susut pengeringan merupakan kadar bagian yang menguap dari suatu zat. Kecuali
dinyatakan lain, sebanyak 1 g sampai 2 g zat ditetapkan pada temperatur 105°C selama 30
menit atau sampai bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan mendingin
dalam keadaan tertutup di dalam eksikator hingga suhu kamar. Jika suhu lebur zat lebih
rendah dari suhu penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5°C dan 10°C dibawah
suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktu
yang ditentukan atau hingga bobot tetap. Tujuan dari susut pengeringan adalah untuk
memberikan batas maksimal (rentang) besarnya senyawa yang hilang selama proses
pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan
kontaminasi. Parameter kadar air merupakan banyaknya hidrat yang terkandung dalam
bahan.
Tujuan penetapan kadar air adalah untuk memberikan batasan maksimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Kadar air berhubungan dengan
potensi tumbuhnya mikroorganisme yang dapat menurunkan daya tahan bahan. Parameter
ini juga dapat menggambarkan besaran potensi degradasi senyawa akibat proses hidrolisis
atau degradasi karena mikroorganisme dengan air sebagai pendukungnya.
Air dalam suatu bahan makanan terdapat dalam tiga bentuk yaitu air bebas, air
terikat secara lemah, dan air terikat kuat.
a)Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan inter granular dan pori-pori
yang terdapat dalam bahan.
b) Air yang terikat secara lemah karena (teradsorbsi) pada permukaan koloid
makromolekuler seperti protein, pectin, pati, sellulosa. Selain itu, air juga terdispersi
diantara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam sel. Air yang ada
dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses
pembekuan. Ikatan antara air dengan koloid tersebut merupakan ikatan hidrogen.
c)Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat ionic
sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air yang terdapat dalam bentuk bebas
dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan misalnya proses
mikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Sedangkan air
dalam bentuk lainnya tidak membantu terjadinya proses kerusakan tersebut diatas. Oleh
karenanya kadar air bukan merupakan parameter absolut yang dapat dipakai untuk
meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan bahan makanan. Dalam hal ini digunakan
pengertian Aw (Aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalam proses kerusakan
bahan makanan.
BAB II

PROSEDUR KERJA

Alat

a. Cawan
b. Spatel logam
c. Kertas perkamen
d. Penjepit
e. Timbangan digital
Bahan

a. Bubuk simplisia daun waru


b. Bubuk simplisia daun sirih
Cara Kerja

Sampel Daun Waru

a)
Timbang daun waru 5 gram (sampel)
b)
Timbang cawan kosong
c)
Timbang cawan dan sampel
d)
Kemudian atur suhu oven 105°C
e)
Masukkan sampel ke dalam oven, sebelum itu ratakan sampel hingga lapisan setebal 5
mm – 10 mm.
f) Sampel dikeringkan dalam oven selama 1 jam
g) Tiap 1 jam, sampel dikeluarkan dan dimasukkan dalam desikator jadi suhu kamar
h) Lalu timbang sampel dan catat hasilnya
i) Setelah itu masukkan Kembali sampel ke dalam oven
j) Setelah 3 kali pengulangan/3 jam, hitung presentase kadar air nya.
Sampel Daun Sirih
a. Timbang daun sirih 5 gram (sampel)
b. Timbang cawan kosong
c. Timbang cawan dan sampel
d. Kemudian atur suhu oven 105°C
e. Masukkan sampel ke dalam oven, sebelum itu ratakan sampel hingga lapisan setebal 5
mm – 10 mm.
f. Sampel dikeringkan dalam oven selama 1 jam
g. Tiap 1 jam, sampel dikeluarkan dan dimasukkan dalam desikator jadi suhu kamar
h. Lalu timbang sampel dan catat hasilnya
i. Setelah itu masukkan Kembali sampel ke dalam oven
j. Setelah 3 kali pengulangan/3 jam, hitung presentase kadar air nya.
BAB III

DATA PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Data hasil pengamatan Kadar Air Ekstrak Daun Waru

Berat sampel Berat Cawan+sampel Cawan+sampel


sebelum cawan sebelum setelah
Waktu Kadar air (%)
dikeringkan kosong dikeringkan dikeringkan
(gram) (gram) (gram) (gram)
1 jam 5 49,55 54,55 54,25 6
2 jam 5 49,55 54,55 54,21 6,8
3 jam 5 49,55 54,55 54,18 7,4

Rumus Perhitungan :

W 1−W 2
Kadar air (%) = x 100 %
W 1−W 0

W0 = bobot cawan kosong (gram)

W1 = bobot cawan dan sampel sebelum dikeringkan (gram)

W2 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram)

Perhitungan:

54,55−54,25
a) Waktu 1 jam = ×100 %=6 %
54,55−49,55
54,55−54,21
b) Waktu 2 jam = ×100 %=6,8 %
54,55−49,55
54,55−54,18
c) Waktu 3 jam = ×100 %=7,4 %
54,55−49,55

Berat sampel Berat Cawan+sampel Cawan+sampel


sebelum cawan sebelum setelah
Waktu Kadar air (%)
dikeringkan kosong dikeringkan dikeringkan
(gram) (gram) (gram) (gram)
1 jam 5,00 32,97 37,97 37,59 7,6
2 jam 5,00 32,97 37,97 37,55 8,4
3 jam 5,00 32,97 37,97 37,53 8,8
x 5,00 32,97 37,97 37,56 8,2
Data hasil pengamatan Kadar Air Ekstrak Daun Sirih
Rumus Perhitungan :

W 1−W 2
Kadar air (%) = x 100 %
W 1−W 0

W0 = bobot cawan kosong (gram)

W1 = bobot cawan dan sampel sebelum dikeringkan (gram)

W2 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram)

Perhitungan:

37,97−37,59
a) Waktu 1 jam = ×100 %=7,6 %
37,97−32,97
37,97−37,55
b) Waktu 2 jam = ×100 %=8,4 %
37,97−32,97
37,97−37,53
c) Waktu 3 jam = ×100 %=8,8 %
37,57−32,97
37,97−37,56
d) X = ×100 %=8,2 %
37,97−32,97

Pembahasan

Pada praktikum kali ini cawan yang digunakan untuk menentukan susut
pengeringan harus di panaskan terlebih dahulu pada suhu 105 ⁰C selama 30 menit atau
hingga bobot konstan. Pemanasan dilakukan menggunakan oven tujuannya agar air
yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut dipanaskan pada
suhu 105˚C

Selama waktu tertentu. Kelebihan metode oven adalah suhu dan kecepatan
proses pengeringan dapat diatur sesuai keinginan, tidak terpengaruh cuaca, sanitisi dan
higiene dapat dikendalikan. Kelemahan metode oven adalah memerlukan keterampilan
dan peralatan khusus, serta biaya lebih tinggi dibanding pengeringan alami. Setelah
cawan dipanaskan baru ditimbang dengan bahan dan dipanaskan selama 60 menit dan
30 menit pada suhu 105 ˚C. Fungsi dari pemanasan ini untuk memperoleh bobot
konstan dan menentukan perubahan kadar air selama pengeringan bahan yang
mengandung air tinggi hal ini akan menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan
porositas bahan. Perubahan bentuk dan ukuran ini mempengaruhi sifat-sifat fisik dan
akhirnya juga berdampak pada berubahnya tekstur dan sifat transport (transport
properties) produk yang dihasilkan. Salah satu perubahan fisik yang penting selama
pengeringan adalah pengurangan volume eksternal bahan. Kehilangan air dan
pemanasan menyebabkan tekanan terhadap struktur sel bahan diikuti dengan perubahan
bentuk dan pengecilan ukuran. Kemudian di masukan dalam desikator, fungsi dari
desikator sebagai tempat menyimpan sampel yang harus bebas air dan mengeringkan
dan mendinginkan sample yang akan digunakan untuk uji kadar air. Hasil yang didapat
dari praktikum susut pengeringan ini ialah pada simplisia daun waru didapat susut
pengeringannya yaitu pada pemanasan pada waktu 1 jam 6% kadar airnya dan pada
pemanasan waktu 2 jam 6,8%, kemudian waktu 3 jam ialah 7,4%. Pada Farmakope
Herbal Indonesia Edisi I (2008) menyatakan bahwa susut pengeringan daun waru
>24%. Dari hasil susut pengeringan yang didapat sesuai dengan literatur. Hasil yang
didapat untuk susut pengeringan simplisia daun sirih pada pemanasan waktu 1 jam ialah
7,6% dan pada pemanasan waktu 2 jam ialah 8,4%, kemudian pada waktu 3 jam ialah
8,8%. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (2008), susut pengeringan untuk daun sirih
tidak lebih dari 10%. Dari hasil susut pengeringan yang didapat sesuai dengan literatur.
BAB IV

KESIMPULAN

Pada hasil praktikum kali ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Fungsi dari pemanasan ini untuk memperoleh bobot konstan dan menentukan perubahan
kadar air selama pengeringan bahan yang mengandung air tinggi hal ini akan
menyebabkan perubahan bentuk, densitas dan porositas bahan.
2. Pada hasil pengamatan kadar air daun waru, dinyatakan bahwa hasil yang sesuai dengan
literatur yaitu >24%.
3. Pada hasil pengamatan kadar air daun sirih, dinyatakan bahwa hasil yang sesuai dengan
literatur yaitu tidak lebih dari 10%.
Daftar Pustaka

Farmakope Herbal Indonesia (2008)

Farmakope Herbal Indonesia Jilid I (2008)

Sulastri Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. STTIF Bogor


PRAKTIKUM FITOKIMIA

PRAKTIKUM III

“UJI MIKROSKOPIS”

Dosen Pengampu: Lilik sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

LABORATORIUM STTIF BOGOR


PROGRAM STUDI S1 REGULER FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB 1

DASAR TEORI

a. Sirih Hijau (Piper betle L.)


Klasifikasi Daun Sirih
Menurut Tjitrosoepomo (1988) kedudukan tanaman sirih dalam sistematika
tumbuhan (taksonomi) diklasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisio : Spermatopyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dikotiledonaea
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper betle L.

Syarat tumbuh tanaman sirih hijau (Piper betle L.)

Syarat tumbuh tanaman sirih hijau (Piper betle L.) pada dasarnya hidup
subur dengan ditanam diatas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan
memerlukan cuaca tropika dengan air yang mencukupi. Tanaman sirih hijau
menyukai tempat yang terbuka atau sedikit terlindung, tumbuh merambat dan
dapat diperbanyak dengan stek batang yang sudah agak tua yang terdiri dari
4-6 ruas.

Morfologi Sirih Hijau (Piper betle L.)

Sirih Hijau (Piper betle L.) termasuk jenis tumbuhan perdu merambat dan
bersandarkan pada batang pohon lain, batang berkayu, berbuku-buku, beralur,
warna hijau keabu-abuan, daun tunggal, bulat Panjang, warna hijau,
perbungaan bulir, warna kekuningan, buah buni, bulat, warna hijau keabu-
abuan. Tanaman ini panjangnya mampu mencapai puluhan meter. Bentuk
daunnya pipih menyerupai jantung, tangkainya agak panjang, tepi daun rata,
ujung daun meruncing, pangkal daun berlekuk, tulang daun menyirip, dan
daging daun tipis. Permukaan daun warna hijau dan licin, sedangkan batang
pohonnya berwarna hijau tembelek atau hijau agak kecoklatan dan permukaan
kulitnya kasar serta berbuku-buku. Daun sirih yang subur berukuran lebar
antara 8-12 cm dan panjangnya 10-15 cm.
b. Daun Waru
Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Gymnospermae

Kelas : Dikotiledoneae

Anak kelas : Apetale

Bangsa : Malvales

Suku : Malvaceae

Marga : Hibiscus

Jenis : Hibiscus tiliaceus L.

Morfologi Daun Waru

Tumbuhan tropis berbatang sedang, terutama tumbuh di pantai yang tidak


berawa atau di dekat pesisir, waru tumbuh liar di hutan dan di ladang, kadang-
kadang ditanam di pekarangan atau di tepi jalan sebagai pohon pelindung.
Pada tanah yang subur, batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur
batangnya tumbuh membengkok, percabangan dan daun-daunnya lebih besar.

Merupakan pohon dengan tinggi mencapai 15 m. batang berkayu, berbentuk


bulat, bercabang, dan berwarna coklat. Daun bertangkai, tunggal dan
berbentuk jantung atau bundar telur, pertulangan menjari, bagian bawah
berambut abu-abu, dan berwarna hijau, bunga tunggal, bertajuk delapan
sampai sebelas, panjang kelopak 2,5 cm, mahkota berbentuk lepas dengan
Panjang 5-7 cm, pangkal bagian dalam berwarna kuning dengan noda ungu,
benang sari berlekatan, kepala sari berwarna kuning, putik berwarna coklat
kehitaman, bakal buah beruang lima dan berwarna putih kekuningan. Biji
berukuran kecil dan berwarna coklat muda. Kulit kayu berserat dan bisa
digunakan untuk membuat tali. Akar tunggang dan berwarna putih
kekuningan.

Kandungan Kimia

Daun mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol. Sedangkan akarnya


mengandung saponin, flavonoid, dan tanin.
BAB II

PROSEDUR KERJA

Alat

- Mikroskop
- Kaca preparate
- Objek glass
- Silet
Bahan

- Sampel daun sirih


- Sampel daun waru
- Sampel daun salam
- Aquadest
Cara Kerja

1. Siapkan alat mikroskop


2. Kemudian siapkan sampel daun sirih dengan mengiris tipis, setelah
itu sampel daun sirih letakan pada kaca preparate, lalu teteskan
aquadest kemudian tutup dengan objek glass, lalu letakan dibawah
mikroskop kemudian atur untuk memfokuskan dan amati hasil yang
didapat
3. Siapkan sampel daun waru dengan mengiris tipis, setelah itu sampel
daun waru letakan pada kaca preparate, lalu teteskan aquadest
kemudian tutup dengan objek glass, lalu letakan dibawah mikroskop
kemudian atur untuk memfokuskan dan amati hasil yang didapat
4. Siapkan sampel daun salam dengan mengiris tipis, setelah itu sampel
daun salam letakan pada kaca preparate, lalu teteskan aquadest
kemudian tutup dengan objek glass, lalu letakan dibawah mikroskop
kemudian atur untuk memfokuskan dan amati hasil yang didapat
5. Setelah semuanya dilakukan, hasilnya kemudian di foto
Bab III

DATA PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

a. Mikroskopis Daun Sirih


Keterangan Gambar

Sklerenkim daun sirih

Epidermis bawah dengan stomata


daun sirih

Kristal kalsium oksalat bentuk roset


daun sirih

Berkas pengangkut dengan penebalan


tipe spiral daun sirih
b. Mikroskopis Daun Waru
Keterangan Gambar

Sklerenkim daun waru

Kristal kalsium oksalat bentuk roset


daun waru

Berkas pengangkut dengan penebalan


tipe spiral daun waru

Epidermis bawah dengan stomata


daun waru
c. Mikroskopis Daun Salam
Keterangan Gambar

Kristal kalsium oksalat bentuk roset

Berkas pengangkut dengan penebalan


tipe spiral

Epidermis bawah dengan stomata

Sklerenkim
Pembahasan

Pada praktikum kali ini tentang uji mikroskopis pada daun sirih, daun
waru, dan daun salam. Dimana hasil mikroskopis ketiga sampel tersebut
tentu berbeda-beda.
Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengamati bentuk fisik tanaman
yakni warna, zat, bentuk tanaman, dan merupakan salah satu cara
memperkenalkan tanaman, karena mengingat tanaman yang sama belum
tentu mempunyai bentuk morfologi yang sama pula. Pemeriksaan morfologi
pada tanaman sirih.
Daun, daun berupa daun tunggal (folium simplex) yaitu pada tangkai
daunnya hanya terdapat satu helaian daun saja. Helaian daun (lamina)
berbentuk memanjang (oblongus), pada ujung daun (apex folii) bentuk
runcing (acutus), tepi daunnya (morgo folii) berbentuk rata (inteler). Panjang
10-48 cm, lebar 4-20 cm, susunan tulang daunnya (nervatio) adalah
bertulang menyirip (penninervis) yaitu hanya mempunyai satu ibu tulang
daun yang berjalan dari pangkal ke ujung.
Pada hasil pengamatan pada sampel daun sirih dengan alat mikroskop
didapat hasil yaitu terdapat sklerenkim daun sirih, epidermis bawah dengan
stomata daun sirih, adanya kristal kalsium oksalat berbentuk roset, kemudian
adanya berkas pengangkut dengan penebalan tipe spiral daun sirih.
Kemudian hasil pengamatan pada sampel daun waru dengan alat
mikroskop terdapat adanya sklerenkim daun waru, kemudian adanya kristal
kalsium oksalat bentuk roset daun waru, adanya berkas pengangkut dengan
penebalan tipe spiral daun waru, adanya epidermis bawah dengan stomata
daun waru.
Hasil pengamatan pada sampel daun salam dengan alat mikroskop
didapat hasilnya yaitu terdapat adanya kristal kalsium oksalat bentuk roset
daun salam, adanya berkas pengangkut dengan penebalan tipe spiral daun
salam, kemudian adanya epidermis bawah dengan stomata daun salam, dan
adanya sklerenkim daun salam.
Penentuan kandungan kimia secara kualitatif dilakukan dengan
menggunakan pereaksi kimia yang umum untuk senyawa tersebut. Metode
ini dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif kemungkinan senyawa yang
terkandung dalam serbuk simplisia.
BABIV

KESIMPULAN

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Tanaman sirih (Piper betle L) merupakan tanaman paling banyak tumbuh


di daerah tropis, tanaman ini memiliki khasiat obat hanya pada daunnya
saja.
2. Daun sirih (Piper betle L) memiliki tipe stomata anisositik dimana tipe
ini terdapat sel penjaga yang bentuknya berlainan.
3. Pada daun waru terdapat sklerenkim, kristal kalsium oksalat bentuk roset,
berkas pengangkut dengan penebalan tipe spiral, epidermis bawah
dengan stomata daun waru.
4. Hasil pemeriksaan mikroskopik menunjukkan unsur anatomi yang khas
dari daun salam yaitu epidermis atas, berkas pembuluh, serabut
sklerenkim, fragmen mesofil, hablur kalsium oksalat dan epidermis
bawah dengan stomata tipe parasitik.
Daftar Pustaka

Anonim. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1986.

Dalimartha, S. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid II. Jakarta: Trubus


Agriwidya, 2006

Sulastri Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. STTIF Bogor


LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
’’FRAKSINASI’’

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI REGULAR


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan Percobaan

Mampu melakukan fraksinasi ekstrak tumbuhan dengan ekstraksi cair-cair.

Dasar Teori

Ekstrak kasar bahan alam merupakan campuran dari banyak senyawa sehingga
sulit dilakukan pemisahan senyawa tunggal hingga didapatkan isolat yang murni. Untuk
mengatasinya, maka ekstrak kasar dipisahkan menjadi fraksi-fraksi yang berisi
kelompok senyawa yang memiliki sifat polaritas atau ukuran molekul yang hampir
sama. Fraksi-fraksi ini dapat dibedakan secara  jelas, misal dengan ekstraksi cair-cair
kemudian dilanjutkan dengan kromatografi kolom, misalnya kromatografi cairan
vakum, kolom kromatografi, kromatografi berdasarkan ukuran atau ekstraksi fase padat.
Pemisahan awal ekstrak kasar tidak perlu dilakukan dengan banyak fraksi karena hanya
akan menghasilkan banyak fraksi namun mengandung senyawa dalam konsentrasi yang
kecil.

Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran (padat,
cair, terlarut, suspensi, atau esotop) dibagi dalam beberapa  jumlah kecil (fraksi)
komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan
pada boot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang fraksi
yang lebih ringan akan berada diatas fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan
pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran
pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang
penting dan dapat diektraksi dengna pelarut organik (Adijuwana dan Nur, 1989).
Fraksinasi dalam arti lain yaitu suatu teknik pemisahan untuk larutan yang mempunyai
perbedaan titik didih yang tidak terlalu jauh yaitu sekitar 30° C atau lebih (Gunawan &
Mulyani, 2004).

Ekstraksi cair-cair (corong pisah) merupakan pemisahan komponen kimia di antara


2 fase pelarut yang tidak saling bercampur dimana sebagian komponen terlarut pada
fase pertama dan sebagian terlarut pada fase kedua. Kemudian kedua fase yang
mengandung zat terdispersi dikocok dan setelah itu didiamkan sampai terjadi pemisahan
sempurna sehingga terbentuk dua lapisan fase cair. Sedangkan komponen kimia akan
terpisah. Jika suatu cairan ditambahkan ke dalam ekstrak cairan lain yang tidak dapat
bercampur dengan cairan pertama maka akan terbentuk 2 lapisan. Salah satu komponen
dari campuran akan terlarut ke dalam dua lapisan tersebut (biasanya disebut fase) dan
setelah beberapa waktu akan dicapai kesetimbangan konsentrasi dalam kedua lapisan
tersebut. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya kesetimbangan biasanya
dipersingkat dengan pencampuran kedua fase tersebut dalam corong pisah
(Widyaningrum, 2011).

BAB II
ALAT DAN BAHAN

1. Alat

1. Corong pisah
2. Beaker glass
3. Piknometer

2. Bahan

1. Sampel daun salam

3. Cara Kerja Heksana – Air

1. Sampel daun salam hasil maserasi dilarutkan dengan air 300 ml,
dimasukkan ke dalam corong pisah sambil disaring agar tidak ada
endapan yang masuk.
2. Dimasukkan heksana 100 ml ke dalam corong pisah
3. Corong pisah dikocok selama 5 – 10 menit
4. Diamkan sampai terbentuk 2 lapisan
5. Lapisan air dikeluarkan, ditampung dalam beaker glass, lalu
dimasukkan lagi ke dalam corong pisah.
6. Ulangi langkah 2 – 5 sebanyak 3x.

A. Cara kerja Etil Asetat – Air

1. Air dari percobaan sebelumnya (heksana-air) dimasukkan kedalam


corong pisah
2. Ditambahkan etil asetat 100 ml
3. Dikocok selama 5-10 menit
4. Diamkan sampai terbentuk 2 lapisan
5. Lapisan air dikeluarkan, lalu dimasukkan lagi ke corong pisah
6. Ulangi langkah 2-5 sebanyak 3x.

B. Penentuan BJ

1. 3 piknometer kosong ditimbang, catat hasilnya


2. Masing-masing dimasukkan heksana, etil asetat, dan air yang
didapat dari percobaan sebelumnya.
3. Timbang lalu catat hasilnya
4. Menghitung BJ masing-masing
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pikno Pikno + Bobot P


kosong sampel sampel
Etil 13,78 34,05 20,27 0,81
Heksana 25,69 43,72 18,03 0,721
Air 16,87 41,86 24,99 0,999
Perhitungan
m 20,27
Etil : ρ = = = 0,81
v 25
m 18,03
Heksana : ρ = = = 0,721
v 25
m 24,99
Air : ρ = = = 0,999
v 25
Pembahasan

Pada praktikum fraksinasi secara ekstraksi cair-cair ini bertujuan untuk mampu
melakukan fraksinasi ekstrak tumbuhan dengan ekstraksi cair-cair. Fraksinasi adalah
suatu proses pemisahan senyawa-senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya.
Sedangkan ekstraksi cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia diantara dua fase
pelarut yang tidak saling bercampur dimana sebagian komponen larut pada fase pertama
dan sebagiannya lagi larut pada fase kedua. Komponen kimia akan terpisah didalam dua
fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang
tepat (Sudjadi, 1986).

Proses fraksinasi menggunakan corong pisah. Corong pisah digunakan dengan


mencampurkan dua fase pelarut, kemudian digoyangkan atau digojok searah untuk
membuat dua fase tercampur. Sesekali buka keran untuk mengeluarkan gas yang ada
didalam corong pisah. Diamkan dengan posisi vertikal tunggu hingga terjadi pemisahan
antara dua fase tersebut. Setelah terjadi pemisahan buka keran corong secara hati-hati
untuk mengontrol campuran yang sedang dipisahkan. Senyawa yang bersifat polar akan
berada difase bawah dan senyawa yang bersifat non polar akan berada di fase atas. Hal
tersebut erjadi karena adanya perbedaan berat jenis antar pelarut.Praktikum kali ini
didapat hasil untuk etil asetat sebesar 0,81, heksana sebesar 0,721, dan untuk air 0,999.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada suatu ekstrak
dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling bercampur. Pelarut yang
umumnya dipakai untuk fraksinasi adalah n-heksan, etilasetat, dan metanol. Melakukan
fraksinasi ekstrak tumbuhan dengan ekstraksi cair-cair berdasarkan proses pemisahan
suatu senyawa kuantitas tertentu dari campuran atau senyawa aktif
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Farmakope Herbal Indonesia edisi I. Departemen kesehatan


RI.

Jakarta.

Harborne. 1987. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung

Sulastri Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. STTIF Bogor


LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
’’KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS’’

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI REGULAR


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Tujuan
Untuk mengidentifikasi golongan senyawa kimia pada sampel heksan
lamtoro

Dasar Teori
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen
menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. KLT
merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk
identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah
sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain
kromatografi kertas. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya.KLT dapat digunakan untuk
memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat
berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh
dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa
murni skala kecil (Gandjar et al, 2008).

Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan
pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang
ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan gerak
senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada (Sudarmadji et al.2007):

Bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada


bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut. Bagaimana
senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika. Hal ini tergantung pada
bagaimana besar atraksi antara senyawa dengan gel silika.
BAB II
ALAT DAN BAHAN

1. Alat

1. Lampu UV
2. Pipet tetes
3. Plat KLT

2. Bahan

2. Sampel heksan lamtoro

3. Cara Kerja

1. Siapkan sampel heksan lamtoro kemudian dilarutkan


2. Buat eluen dengan perbandingan 5:1; 4:1; 3:1; 2:1; dan 1:1
3. Diamkan dan tutup eluen selama 5 menit
4. Ambil sampel dan teteskan pada kertas klt
5. Masukan kedalam eluen biarkan eluen naik sampai tanda batas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

a. Daun Lamtoro

Perhitungan

Rf :

Rf 2:1 :

Rf 1:1 :

b. Daun Kelor
Perhitungan :

Rf :

 10 : 1

1)

2)

3)
 5: 1

1)

2)

3)

4)
 1: 1

1)

2)
3)
Pembahasan

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik yang sederhana yang
banyak digunakan, metode ini menggunakan lempeng kaca atau lembaran plastik
yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan
cuplikan pada kempeng kaca, pada dasarya menggunakan mikro pipet atau pipa
kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di
dalam wadah yang tertutup.
Ketika memisahkan dua atau lebih senyawa melalui kromatografi, sangat
penting untuk memilih pelarut yang benar sebagai fase gerak. Jika terlalu lemah
pelarut yang dipilih dari eluting, akan memakan waktu yang sangat lama dan
volume pelarut yang digunakan sangat besar untuk mengelusi senyawa. Jika terlalu
kuat pelarut yang dipilih dari semua senyawa akan segera dielusi. Senyawa polar
dengan mudah larut dalam pelarut polar dan memiliki afinitas rendah untuk pelarut
nonpolar. Senyawa memiliki afinitas tinggi untuk pelarut dengan polaritas yang
mirip dengan diri mereka sendiri.
Nilai Rf tergantung pada :
1. Sifat polar pelarut yang digunakan.
2. Sifat Polar dari fase diam.
3. Sifat Polar sampel.
4. Kondisi percobaan.

Adapun tujuan dilakukannya perobaan ini adalah untuk memisahkan suatu


campuran senyawa pada sampel heksan lamtoro. Pada praktikum, digunakan eluen
dengan perbandingan 5:1, 4:1,3:1,2:1 dan 1:1 yang kemudian sampel dimasukkan ke
eluen tersebut. Pemilihan eluen harus diperhatikan karena akan berpengaruh pada
perambatan noda. Jika eluen yang digunakan terlalu polar maka sampel akan
semakin terbawa oleh eluen yang bergerak sehingga noda yang dihasilkan kurang
begitu baik.
Hal ini terjadi karena gaya tarik dipol antara sampel fase gerak (eluen) lebih
besar daripada gaya tarik dipol antara sampel fase diam. Jika eluen yang digunakan
kurang polar maka sampel akan kurang terbawa oleh eluen sehingga noda yang
timbul seolah-olah bertumpuk-tumpuk sedikit di atas totolan sampel. Hal ini
dikarenakan kurangnya kepolaran eluen. Adapun hasil nilai rf yang diperoleh adalah
perbandingan 2:1 = 0,32. 0,52. 0,74. 0,92 sedangkan perbandingan 1:1 = 0,9. 0,96. 1.
Dan Pada sampel daun kelor perbandingan 10 : 1 = 0,96 .0,93. 0,826 perbandingan 5
: 1 = 0,8. 0,773. 0,706. 0,706 perbandingan 1 : 1 = 0,6 . 0,626 dan 0,573.
BAB V
PENUTUP

6.
7.
8.
9.
10.

Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan percobaan yang telah dilakukan


Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang
ingin dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran. Adapun hasil nilai rf yang diperoleh adalah perbandingan 2:1 =
0,32. 0,52 . 0,74. 0,92 sedangkan perbandingan 1:1 = 0,9. 0,96 . 1

Dan Pada sampel daun kelor perbandingan 10 : 1 = 0,96 . 0,93. 0,826 perbandingan
5 :1 = 0,8 . 0,773 . 0,706 . 0,706 perbandingan 1 : 1 = 0,6 . 0,626 dan 0,573.
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
’’KADAR TOTAL FLAVONOID & FENOL’’

Dosen Pengampu: Lilik sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI REGULAR


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN
FARMASI
BOGOR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sirih hitam merupakan salah satu jenis dari tanaman sirih yang memiliki
banyak pemanfaatan sebagai obat. Daun sirih hitam memiliki ciri khusus yakni
bentuk daun menyerupai hati, bertangkai, daun berwarna hijau tua kehitaman
dan bila dipegang daun terasa tebal dan kaku. Penggunaan empiris daun sirih
hitam yang berhubungan dengan antioksidan adalah daun sirih hitam digunakan
dalam pengobatan diabetes melitus.
Penyakit diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif
yangdiakibatkan radikal bebas menyerang asam lemak tak jenuh dalam jaringan
sel sehingga terjadi reaksi antar sel dan menghasilkan senyawa peroksida yang
merusak sel. Pada penderita diabetes melitus, meningkatnya kadar glukosa
dalam darah disebabkan oleh kerusakan pankreas sehingga tidak dapat
menghasilkan insulin, kerusakan pankreas ini dapat disebabkan oleh senyawa
radikal bebas yang merusak sel-sel pada pankreas sehingga tidak dapat
berfungsi (Purboyo, 2009).
Metabolit sekunder ekstrak daun sirih hitam teridentifikasi golongan
senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, senyawa fenol, karotenoid, dan
steroid (Hastuty, 2011). Senyawa yang memiliki sifat sebagai antioksidan kuat
yakni flavonoid, tannin, fenol, alkaloid, dan saponin (Heinrich, Joanne, Simon,
dan Elizabeth, 2008). Terdapat beberapa kriteria suatu senyawa dikatakan
memiliki aktivitas antioksidan yakni, Molyneux (2004) menyatakan bahwa
suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm.
Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut
kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan (BrandWilliams,
1995). Secara spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan /sangat
kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 µg/mL, kuat untuk IC50 bernilai 50-100
µg/mL, sedang jika IC50 bernilai 101-150 µg/mL, dan lemah jika IC50 bernilai
151-200 µg/mL (Mardawati, Achyar, Marta, dan Herlina. 2008). Berdasarkan
uraian di atas tentang metabolit sekunder yang terkandung dalam daun sirih
hitam, dan khasiat daun sirih hitam dalam pengobatan diabetes melitus, maka
dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas daun sirih hitam sebagai
antioksidan dengan menggunakan DPPH (1,1-diphenyl-2- picrylhydrazyl)
sebagai radikal bebas.
Tujuan
Adapun tujuan praktikum pada praktikum ini adalah mahasiswa mampu
melakukan proses pemnentuan kadar total flavonoid dan kadar total fenol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Senyawa Fenol
Fenolik adalah kelompok fitokimia terbesar yang paling banyak dan
bertindak sebagai aktivitas antioksidan dalam tanaman. Lebih dari 4000
polifenol ditemukan pada tanaman vaskular. Senyawa fenolik seperti kuersetin,
rutin, naringin, katechin, asam kaffeic, asam galat dan asam klorogenik adalah
konstituen tanaman yang sangat penting (Rao dkk., 2016).
Istilah senyawa fenolik mencakup berbagai zat tanaman yang memiliki
kesamaan cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih substituen
hidroksil (Harborne, 1973). Zat-zat ini diklasifikasikan sebagai senyawa
fenolik. Fenolik tumbuhan bersifat heterogen secara kimia senyawa, beberapa
hanya larut dalam pelarut organik dan ada yang larut dalam air, sementara yang
lain adalah polimer tidak larut (Anulika dkk., 2016).
Fenol adalah senyawa yang mempunyai gugus OH berikat pada cincin
aromatik. Fenol bersifat lebih asam bila dibandingkan dengan alkohol, tetapi
lebih basa daripada asam karbonat karena fenol dapat melepaskan ion 𝐻+dari
gugus hidroksilnya. Lepasnya ion 𝐻+menjadikan anion fenoksida C6H5O dapat
melarut dalam air (Fessenden da Fessensen, 1986). Fenolik tersebar luas di
tanaman vaskular dan tampaknya berfungsi dikapasitas yang berbeda (Anulika
dkk., 2016).
2. Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder
yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk
dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa antioksidan golongan fenolik
alam yang terbesar dan terdapat dalam semua tumbuhan, sehingga dapat
dipastikan terdapat flavonoid pada setiap telah ekstrak tumbuhan. Flavonoid
merupakan salah satu golongan senyawa yang terbukti dapat digunakan sebagai
antioksidan, antikanker, dan antidepresan (Azizah, et al, 2014). Flavonoid
merupakan senyawa metabolit sekunder yang terbentuk melalu jalur sikimat.
Senyawa ini diproduksi dari unit sinnamoil-CoA dengan perpanjangan rantai
menggunakan 3 malonil-CoA. Enzim khalkon synthase mengabungkan
senyawa ini menjadi khalkon. Khalkon adalah prekursor turunan flavonoid pada
banyak tanaman (Dewick, 2002).
BAB III
METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan


1.Alat
1. Corong
2. Labu semprot
3. Labu takar
4. Spektrofotometer UV-vis
5. Pipet tetes
6. Beaker Glass
7. Tabung eaksi
2.Bahan
1. Ekstrak Daun Sirih Hitam
2. Metanol
3. Aquadest
4. AlCl3
5. NaNO2
6. NaOH
7. Reagen Folin
8. Na2CO3
3.Cara Kerja
Adapun cara kerja dalam praktikum ini yaitu:
1. Fraksinasi Sampel
1.) Timbang 100 mg ekstrak sampel
2.) Masukkan dalam labu takar 100 mL, lalu tambahkan methanol
hingga batas (1000ppm)
3.) Lakukan pengenceran 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 62 ppm dan
15 ppm (untuk kadar total fenol)
4.) Lakukan pengenceran 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 31,25 ppm
dan 15,75 ppm (untuk kadar total flavonoid)
2. Penentuan Kadar Total Fenol
1.) Masukkan masing-masing hasil pengenceran kedalam tabung
reaksi (500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 62 ppm dan 15 ppm)
sebanyak 1,5 mL
2.) Tambahkan 0,2 mL reagen Folin, lalu diamkan selama 8 menit
3.) Tambahkan Na2CO2 sebanyak 2 mL, kocok hingga homogeny
4.) Tambahkan air hingga 5 mL
5.) Selanjutnya inkubasi sampel
6.) Lalu lakukan uji serapan pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 730 nm.
3. Penentuan Kadar Total Flavonoid
1.) Masukkan masing-masing hasil pengenceran kedalam tabung
reaksi (500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 31,25 ppm dan 15,75 ppm)
sebanyak 0,5 mL
2.) Tambahkan 2 mL air dan 0,15 NaNO2, lalu diamkan selama 6
menit
3.) Tambahkan 0,15 mL AlCl3, lalu diamkan selama 6 menit
4.) Tambahkan NaOH sebanyak 2 mL dan air hingga 5 mL, kocok
hingga homogeny, lalu diamkan kembali selama 30 menit
5.) Lalu lakukan uji serapan pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 510 nm
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan
Tabel 1. Data pengamatan Kadar Total Fenol

Konsentrasi Absorbansi Kadar Total


Rata-rata
(ppm) 1 2 3 Fenol

15 0,177 0,184 0,184 0,182 -1.625


62 0,221 0,221 0,221 0,221 22.750
125 0,273 0,273 0,272 0,273 55.250
250 0,446 0,440 0,438 0,441 160.250
500 0,547 0,546 0,546 0,547 226.500

Grafik Kadar Total Fenol


0.6
f(x) = 0.000778366853680966 x + 0.184598951059144
0.5 R² = 0.948538119305626

0.4
Absorbansi

0.3

0.2

0.1

0
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi (ppm)

Tabel 2. Data pengamatan Kadar Total Flavonoid

Konsentrasi Absorbansi Kadar Total


Rata-rata
(ppm) 1 2 3 Flavonoid

15,75 0,030 0,030 0,028 0,029 -26.500


31,25 0,055 0,057 0,058 0,057 43.500
125 0,065 0,064 0,064 0,064 61.000
250 0,090 0,091 0,091 0,091 128.500
500 0,132 0,133 0,132 0,132 231.000
Grafik Kadar Total Flavonoid
0.14
f(x) = 0.000189583031619505 x + 0.0396408889693633
0.12 R² = 0.944189263259918
0.1
Absorbansi

0.08

0.06

0.04

0.02

0
0 100 200 300 400 500 600
Konsentrasi (ppm)

Perhitungan
1. Kadar Total Fenol
( y−0,1846)
Diketahui y = 0,0008x + 0,1846 atau x = . Rumus x disini digunakan
0,0008
untuk mencari C.
(0,182−0,1846)
15 ppm x (c) = = -3,25
0,0008
(0,221−0,1846)
62 ppm x (c) = = 45,5
0,0008
(0,273−0,1846)
125 ppm x (c) = = 110,5
0,0008
(0,441−0,1846)
250 ppm x (c) = = 320,5
0,0008
(0,547−0,1846)
500 ppm x (c) = = 453
0,0008
Perhitungan Kadar Total Fenol:
C x V x Fp −3,25 x 25 ml x 2
15 ppm = = = -1.625
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 45,5 x 25 ml x 2
62 ppm = = = 22.750
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 110,5 x 25 ml x 2
125 ppm = = = 55.250
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 320,5 x 25 ml x 2
250 ppm = = = 160.250
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 453 x 25 ml x 2
500 ppm = = = 226.500
w sampel 0,1 g
2. Kadar Total Flavonoid
( y−0,0396)
Diketahui y = 0,0002x + 0,0396 atau x = . Rumus x disini digunakan
0,0002
untuk mencari C.
(0,029−0,0396)
15,75 ppm x (c) = = -53
0,0002
(0,057−0,0396)
31,25 ppm x (c) = = 87
0,0002
(0,064−0,0396)
125 ppm x (c) = = 122
0,0002
(0,091−0,0396)
250 ppm x (c) = = 257
0,0002
(0,132−0,0396)
500 ppm x (c) = = 462
0,0002
Perhitungan Kadar Total Flavonoid:
C x V x Fp −53 x 25 ml x 2
15,75 ppm = = = -26.500
w s ampel 0,1 g
C x V x Fp 87 x 25 ml x 2
31,25 ppm = = = 43.500
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 122 x 25 ml x 2
125 ppm = = = 61.000
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 257 x 25 ml x 2
250 ppm = = = 128.500
w sampel 0,1 g
C x V x Fp 462 x 25 ml x 2
500 ppm = = = 231.000
w sampel 0,1 g

Pembahasan
Fenolik adalah kelompok fitokimia terbesar yang paling banyak dan bertindak
sebagai aktivitas antioksidan dalam tanaman. Lebih dari 4000 polifenol ditemukan
pada tanaman vaskular. Senyawa fenolik seperti kuersetin, rutin, naringin,
katechin, asam kaffeic, asam galat dan asam klorogenik adalah konstituen
tanaman yang sangat penting (Rao dkk., 2016).
Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang
paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam
golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6.
Pada praktikum penentuan kadar total fenol dan kadar total flavonoid yang
menggunakan ekstrak daun sirih hitam dengan menggunakan reagen folin untuk
fenol dan NaNO2 untuk flavonoid.
Pada data percobaan dan perhitungan diperoleh hasil kadar total fenol dengan
konsentrasi 15 ppm, 62 ppm, 125 ppm, 250 ppm dan 500 ppm adalah -1.625,
22.750, 55.250, 160.250 dan 226.500.
Sedangkan pada hasil kadar total flavonoid dengan konsentrasi 15,75 ppm,
31,25 ppm, 125 ppm, 250 ppm dan 500 ppm adalah -26.500, 43.500, 61.000,
128.500 dan 231.000.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Pada praktikum penentuan kadar total fenol dan kadar total flavonoid dapat
disimpulkan bahwa fenolik adalah kelompok fitokimia terbesar yang paling
banyak dan bertindak sebagai aktivitas antioksidan dalam tanaman dan Flavonoid
merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak
ditemukan di dalam jaringan tanaman. Pada hasil praktikum kali ini kadar IC50
pada daun sirih terbesar adalah pada flavonoid.
PRAKTIKUM FITOKIMIA

PRAKTIKUM V

“PENENTUAN KADAR ABU”

Dosen Pengampu: Lilik sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

LABORATORIUM STTIF BOGOR


PROGRAM STUDI S1 REGULER FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
Bab I

Pendahuluan

Dasar Teori
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan
anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur unsur mineral. Unsur
juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat
menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan bahan organik
dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak,
karena itulah disebut sebagai kadar abu.
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk menentukan baik atau tidaknya
suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai
penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan. Abu adalah zat anorganik
sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan
erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian
serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan.
Terdapat dua metode pengabuan antara lain metode pengabuan kering dan
metode pengabuan basah. Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan
berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur
yang dapat diatur suhunya.
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Abu
dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan pangan itu
sendiri (indigenous). Tetapi ada beberapa mineral yang ditambahkan ke dalam
bahan pangan, secara disengaja maupun tidak disengaja.
Yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam mallat,
oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain dalam bentuk
garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut,
kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat
organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalambentuk aslinya
sangatlah sulit, oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-
sisa pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan.

Tujuan penentuan kadar abu total:


1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan
2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan
3. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kadar abu yang
tidak larut pada asam dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan
adanya pasir atau kotoran lain.
Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang
terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang
dihasilkan. Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik
pada suhu yang tinggi,yaitu sekitar 500-600℃ dan melakukan penimbangan
zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut.

Bab II

Prosedur Kerja

1.Alat
1. Cawan krus
2. Timbangan analitik
3. Beaker gelas
4. Kaki tiga
5. Labu spiritus
6. Tanur
7. Desikator
8. Kertas saring
2.Bahan
1. Sampel daun waru
2. Aquadest
3. H₂SO₄ 0,05 M
3.Cara Kerja
Bab III

Data Pengamatan dan Pembahasan

Data Pengamatan
No Bobot Cawan Krus Bobot Cawan Kadar Abu
Kosong Krus Kosong Total
Sebelum Setelah
Dipanaskan Dipanaskan
1 30,63 gram 2,09 gram 0,17 gram
2 30,63 gram 2,09 gram 0,16 gram 7,96%
3 30,63 gram 2,09 gram 0,16 gram

Perhitungan
a. Bobot cawan krus kosong:
1. 30,63 gram
2. 30,63 gram
3. 30,63 gram
b. Bobot sampel daun waru = 32,64 gram (dengan krus cawan)
- Sebelum Dipanaskan: 32,64-30,63 = 2,01 gram (bobot daun
waru)
- Setelah Dipanaskan dalam tanur:
1) 30,80 gram (dengan cawan krus)
30,80-30,63 = 0,17 gram (bobo abu daun waru)
2) 30,79 gram (dengan cawan krus)
30,79-30,63 = 0,16 gram (bobo abu daun waru)
3) 30,79 gram (dengan cawan krus)
30,79-30,63 = 0,16 gram (bobo abu daun waru)
c. Kadar abu total daun waru
0,16 g
= x 100% = 7,96%
2,01 g
d. Bobot untuk larut asam dan air
0,16 g
- Abu daun waru: = 0,08 gram
2
Pembahasan
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau
mineral yang terdapat pada suatu bahan. Pengukuran kadar abu
bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak kandungan mineral yang
terdapat dalam ekstrak sampel daun waru. Sedangkan kadar air
merupakan banyaknya air terkandung dalam bahan yang dinyatakan
dalam persen. Dalam penetapan kadar abu digunakan alat tanur dengan
suhu 750℃ dan pada penetapan kadar air digunakan alat oven pada
suhu 105℃
Yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam
mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan garam anorganik antara lain
dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain
kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai
senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan
jumlah mineralnya dalambentuk aslinya sangatlah sulit, oleh karena itu
biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran garam
mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan.
Dalam penentuan kadar abu dengan metode tanur yaitu kadar abu
yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar
dalam proses pengabuan, sedangkan bahan-bahan organic akan
terbakar. Dalam penetapan kadar abu ini digunakan suhu paling tinggi
yaitu dengan suhu 750℃ dilakukan agar perubahan suhu pada
simplisia maupun porselin tidak secara tiba-tiba. Penggunaan suhu
yang tinggi juga akan menyebabkab beberapa mineral tidak larut.
Langkah awal untuk menentukan abu total yaitu masukkan sampel
daun waru ke dalam cawan kemudian timbang, lalu panaskan hingga
pelarut menguap, masukkan ke tanur untuk di panaskan dengan suhu
600℃ panaskan selama kurang lebih 1 jam, setelah sipanaskan
masukkan ke dalam desikator untuk mendinginkan, timbang Kembali
bobot setelah dipanaskan, ulangi sebanyak 3 kali. Setelah itu, di
dapatlah hasil perhitungan sebesar 7,96%.
Langkah selanjutnya yaitu larut asam dan air. Pertama-tama abu
total tadi dibagi 2 timbang masing-masing sama banyak, setelah itu
langkah untuk larut asam, masukkan H₂SO₄ 0,05 M sebanyak 25 mL
sambal dipanaskan di atas api selama 5 menit, kemudian disaring
menggunakan kertas saring, timbang Kembali, lalu masukkan ke
dalam tanur panaskan dengan suhu 450℃, setelah itu, masukkan ke
dalam desikator untuk di dinginkan, lalu timbang Kembali setelah
dipanaskan. Langkah untuk larut air yaitu masukkan aquadest
sebanyak 25 mL sambil di panaskan di atas api, setelah itu saring
menggunakan kertas saring, panaskan kembali, lalu masukkan ke
dalam tanur panaskan dengan suhu 450℃, lalu masukkan ke dalam
desikator untuk di dinginkan, timbang Kembali yang telah dipanaskan,
di dapatlah hasil nya larut asam dan air sebesar 0,08 gram. Pada
praktikum kali ini tidak dilakukan uji, jadi data cukup sampai kadar
saja.
Bab IV

Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat kita simpulkan bahwa:
1. Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Abu dan mineral dalam bahan pangan umumnya berasal dari bahan
pangan itu sendiri (indigenous).
2. Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada
suhu yang tinggi,yaitu sekitar 500-600℃ dan melakukan penimbangan
zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut.
3. Kadar abu total sebesar 7,96%
4. Abu daun waru dalam larut asam dan air sebesar 0,08 gram.
Daftar Pustaka

Dirjen POM, 1989 dan 1995. Materia Medika Indonesia. Depkes RI: Jakarta

Dirjen POM, 2009. Farmakope Herbal Indonesia edisi I. Depkes RI: Jakarta

Sulastri Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. STTIF Bogor


PRAKTIKUM FITOKIMIA

PRAKTIKUM

“KROMATOGRAFI KOLOM”

Dosen Pengampu: Lilik sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

LABORATORIUM STTIF BOGOR


PROGRAM STUDI S1 REGULER FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
Bab I
Pendahuluan

Dasar Teori
Kromatografi terdiri dari dua fase, fase gerak dan fase diam, dalam proses
kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-molekul
komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan padatan
halus, bereaksi secara kimia dan terekslusi pada pori-pori fasa diam.
Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan harus
mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara
melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia. Pemisahan terjadi
berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil
pemisahan dapat digunakan untuk keperluan analisis kualitatif, analisis
kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa. Dalam beberapa hal metode
pemisahan kromatografi mempunyai kemiripan dengan metode pemisahan
ekstraksi. Kedua metode ini sama-sama menggunakan dua fasa, dimana fasa
satu bergerak terhadap fasa lainnya, kesetimbangan solut selalu terjadi di
antara kedua fasa.
Ada beberapa pembagian kromatografi, diantaranya kromatografi cair-
cair, dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh
distribusi sampel antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan
membatasi kemampuan pencampuran. Jika suatu zat terlarut dikocok dalam
sistem dua pelarut yang tidak bercampur atau saling melarutkan maka zat
terlarut akan terdistribusi di antara kedua fase.
Metode pemisahan dalam kimia diantaranya kromatografi. Metode
pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup
banyak sebagai fasa diam dan fasa bergerak bergantung pada ukuran kolom
gelas. Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi
kolom diperlukan waktu yang cukup lama, bisa berjam-jam hanya untuk
memisahkan satu campuran. Selain itu, hasil pemisahan kurang jelas artinya
kadang-kadang sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita
komponen yang satu bertumpang tindih dengan komponen lainnya. Masalah
waktu yang lama disebabkan laju alir fasa gerak hanya dipengaruhi oleh gaya
gravitasi bumi, ukuran diameter partikel yang cukup besar membuat luas
permukaan fasa diam relatif kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antara
komponen-komponen dengan fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran
diameter partikel diperkecil supaya luas permukaan fasa diam bertambah
menyebabkan semakin lambatnya aliran fasa gerak atau fasa gerak tidak
mengalir sama sekali. Selain itu, fasa diam yang sudah terpakai tidak dapat
digunakan lagi untuk pemisahan campuran yang lain karena sukar
meregenerasi fasa diam.
Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi
komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap
permukaan fase diam. Kromatografi kolom terabsorpsi termasuk pada cara
pemisahan cair padat, substrat padat bertindak sebagai fasa diam yang sifatnya
tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya adalah cairan atau pelarut yang
mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom. Pemisahan
bergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka
diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif
komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan
pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga
menimbulkan proses dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan beberapa
saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada fasa bergerak.
Bab II
Prosedur Kerja

Alat
1. Gelas beaker
2. Corong
3. Klem dan statif
4. Mortar dan stamper
5. Kolom kromatografi
6. Botol
Bahan
1. Sampel air daun ketepeng
2. Sampel air daun kelor
3. Kapas
4. Methanol
5. Diklorometan
6. Silika
Cara Kerja
a) Pada Sampel Daun Ketepeng
1) Siapkan alat dan bahan
2) Masukkan kapas ke dalam kolom kromatografi
3) Timbang sampel air ketepeng sebanyak 5 gram
4) Masukkan sampel air ke dalam mortar, kemudian tambahkan
silika (gerus hingga berubah menjadi powder “homogen”)
5) Sisihkan
6) Buatlah bubur silika gel dengan ditambahkan eluen
(diklorometan + methanol), kemudian masukkan ke dalam
buret yang sudah di isi oleh kapas
7) Tambahkan ekstrak ketepeng yang sudah dihaluskan (powder)
ke dalam buret
8) Siapkan gelas beaker, lalu biarkan kran buret terbuka hingga
cairan ekstrak bercampur dengan silika gel dan eluen (ekstrak
turun ke bawah), kemudian tutup
9) Ketika cairan ekstrak tercampur dan turun ke bawah, siapkan
botol dan buka kran buret, lalu biarkan sari ekstrak masuk ke
dalam botol hingga terisi penuh
10) Lakukan cara diatas hingga botol ke 14.

b) Pada Sampel Daun Kelor


1) Siapkan alat dan bahan
2) Masukkan kapas ke dalam kolom kromatografi
3) Timbang sampel air ketepeng sebanyak 5 gram
4) Masukkan sampel air ke dalam mortar, kemudian tambahkan
silika (gerus hingga berubah menjadi powder “homogen”)
5) Sisihkan
6) Buatlah bubur silika gel dengan ditambahkan eluen
(diklorometan + methanol), kemudian masukkan ke dalam
buret yang sudah di isi oleh kapas
7) Tambahkan ekstrak ketepeng yang sudah dihaluskan (powder)
ke dalam buret
8) Siapkan gelas beaker, lalu biarkan kran buret terbuka hingga
cairan ekstrak bercampur dengan silika gel dan eluen (ekstrak
turun ke bawah), kemudian tutup
9) Ketika cairan ekstrak tercampur dan turun ke bawah, siapkan
botol dan buka kran buret, lalu biarkan sari ekstrak masuk ke
dalam botol hingga terisi penuh
10) Lakukan cara diatas hingga botol ke 13.
Bab III
Data Pengamatan dan Pembahasan

1.Data Pengamatan

a) Pada Sampel Daun Ketepeng


b) Pada Sampel Daun Kelor
Pembahasan
Pada praktikum kali ini mahasiswa mempraktikkan tentang
kromatografi kolom, sampel yang digunakan adalah ekstrak ketepeng.
Ketepeng dalam daun segar memiliki kandungan metabolit sekunder yang
terdiri dari alkaloid, steroid, terpenoid, saponin, flavonoid, fenol, dan
tanin. Sedangkan pada daun kering menunjukkan adanya alkaloid, fenol
dan tanin. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun kelor
adalah golongan alkaloid, flavonoid, tanin, dan steroid. Selain itu juga,
daun kelor ini memiliki aktivitas antioksidan untuk meredam radikal
bebas.
Kromatografi terdiri dari dua fase, fase gerak dan fase diam, dalam
proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-
molekul komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan
padatan halus, bereaksi secara kimia dan terekslusi pada pori-pori fasa
diam. Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan harus
mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara
melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia. Pemisahan
terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu
sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan analisis
kualitatif, analisis kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa.
Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi
komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap
permukaan fase diam. Kromatografi kolom terabsorpsi termasuk pada cara
pemisahan cair padat, substrat padat bertindak sebagai fasa diam yang
sifatnya tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya adalah cairan atau
pelarut yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom.
Pemisahan bergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang
antar muka diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta
kelarutan relatif komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-
molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada
permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya
secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan
masuk kembali pada fasa bergerak.
Pada langkah pembuatanya yaitu Siapkan alat dan bahan,
masukkan kapas ke dalam kolom kromatografi, timbang sampel air
ketepeng sebanyak 5 gram. Masukkan sampel air ke dalam mortar,
kemudian tambahkan silika (gerus hingga berubah menjadi powder
“homogen”), kemudian sisihkan, buatlah bubur silika gel dengan
ditambahkan eluen (diklorometan + methanol), kemudian masukkan ke
dalam buret yang sudah di isi oleh kapas, tambahkan ekstrak ketepeng
yang sudah dihaluskan (powder) ke dalam buret, siapkan gelas beaker, lalu
biarkan kran buret terbuka hingga cairan ekstrak bercampur dengan silika
gel dan eluen (ekstrak turun ke bawah), kemudian tutup, ketika cairan
ekstrak tercampur dan turun ke bawah, siapkan botol dan buka kran buret,
lalu biarkan sari ekstrak masuk ke dalam botol hingga terisi penuh,
lakukan cara diatas hingga botol ke 14. Setelah di dapat sebanyak 14 botol,
lalu di diamkan beberapa hari sampai menguap. Pada nomor 1 sampel
berwarna bening, nomor 2 sudah terlihat warna kekuningan, nomor 3
warna kuning kecoklatan, nomor 4 warna coklat, nomor 5 coklat gelap dan
nomor 6 pun coklat gelap sampai 11 coklat gelap, nomor 12 mulai
menampakkan coklat cerah, nomor 13 coklat terang dan nomor 14 warna
coklat kekuningan.
Pada langkah selanjutnya yaitu siapkan alat dan bahan, masukkan
kapas ke dalam kolom kromatografi, timbang sampel air daun kelor
sebanyak 5 gram. Masukkan sampel air ke dalam mortar, kemudian
tambahkan silika (gerus hingga berubah menjadi powder “homogen”),
kemudian sisihkan, buatlah bubur silika gel dengan ditambahkan eluen
(diklorometan + methanol), kemudian masukkan ke dalam buret yang
sudah di isi oleh kapas, tambahkan ekstrak daun kelor yang sudah
dihaluskan (powder) ke dalam buret, siapkan gelas beaker, lalu biarkan
kran buret terbuka hingga cairan ekstrak bercampur dengan silika gel dan
eluen (ekstrak turun ke bawah), kemudian tutup, ketika cairan ekstrak
tercampur dan turun ke bawah, siapkan botol dan buka kran buret, lalu
biarkan sari ekstrak masuk ke dalam botol hingga terisi penuh, lakukan
cara diatas hingga botol ke 14. Setelah di dapat sebanyak 13 botol, lalu di
diamkan beberapa hari sampai menguap. Pada nomor 1 berwarna bening,
nomor 2 warna hijau kekuningan, nomor 3 warna hijau gelap, nomor 4
warna hijau gelap, nomor 5 warna coklat gelap, nomor 6 warna coklat
gelap dan nomor 7 pun sama, nomor 8 dan 9 warna coklat cerah, nomor 10
dan 11 warna coklat gelap, nomor 12 dan 13 warna coklat.
Bab IV
Penutup
Kesimpulan
Pada praktikum kali ini dapat kita simpulkan bahwa:
1. Kromatografi terdiri dari dua fase, fase gerak dan fase diam, dalam
proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-
molekul komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada
permukaan padatan halus, bereaksi secara kimia dan terekslusi pada
pori-pori fasa diam.
2. Ekstrak daun ketepeng dalam daun segar memiliki kandungan
metabolit sekunder yang terdiri dari alkaloid, steroid, terpenoid,
saponin, flavonoid, fenol, dan tanin. Sedangkan pada daun kering
menunjukkan adanya alkaloid, fenol dan tanin.
3. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun kelor adalah
golongan alkaloid, flavonoid, tanin, dan steroid.
4. Daun kelor mengandung aktivitas antioksidan untuk meredam radikal
bebas.
5. Pada sampel daun ketepeng, nomor 1 menunjukkan warna bening,
nomor 14 menunjukkan warna coklat kekuningan.
6. Pada sampel daun kelor nomor 1 menunjukkan warna bening, nomor
13 menunjukkan warna coklat.
Daftar Pustaka

Day, R.A. Dan Underwood, A,L. 1986. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga:
Jakarta
Gritter, R.J. 1991. Pengantar Kromatografi. ITB: Bandung
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern. Bandung:
Penerbit ITB
Khopkar, S.M. 2000. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press: Jakarta
Steenis, C.G.G.J. van. 1947. Flora. PT Balai Pustaka Persero: Jakarta
Sulastri Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. STTIF Bogor
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA
“UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN”

Dosen pengampu : Lilik Sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


LABORATORIUM STTIF BOGOR
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

Tujuan Praktikum

1. Untuk mengetahui total aktivitas antioksidan tertinggi dan terendah pada


setiap bahan yang diuji dengan metode DPPH
2. Untuk mengetahui % inhibisi pada setiap konsentrasi

Dasar Teori

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi propagasi radikal


bebas, baik yang berasal dari produk samping metabolisme yang terjadi dalam tubuh
maupun yang berasal dari lingkungan seperti asap rokok, polusi udara, obat-obatan
tertentu, sinar ultraviolet, dan radiasi.

Antioksidan adalah bahan tambahan yang digunakan untuk melindungi


komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap),
terutama lemak dan minyak. Mekanisme penangkapan radikal bebas oleh polifenol adalah
dengan melepaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya.

Berdasarkan cara reaksinya antioksidan didefinisikan sebagai komponen yang


dapat menghentikan rantai radikal bebas pada oksidasi lemak dengan cara memberikan
elektron atau atom hidrogen pada lemak yang mengadung radikal bebas.

Aktivitas antioksidan dari senyawa fenol terbentuk karena kemampuan senyawa


fenol membentuk ion fenoksida yang dapat memberikan satu elektronnya kepada radikal
bebas. Gambaran pada umumnya yaitu, antioksidan senyawa fenol (PhH) dapat bereaksi
dengan radikal bebas (ROO∙) membentuk ROOH dan sebuah senyawa fenol radikal (Ph∙)
yang relatif tidak reaktif. Selanjutnya, senyawa fenol radikal (Ph∙) dapat beraksi kembali
dengan radikal bebas (ROO∙) membentuk senyawa bersifat tidak radikal. DPPH adalah
senyawa radikal bebas yang mampu bereaksi dengan senyawa yang dapat mendonorkan
atom hidrogen.

Penentuan aktivitas antioksidan menggunakan prosedur yang dilakukan oleh


Filbert (2014) dengan beberapa modifikasi. Larutan stok sampel dengan konsentrasi 1000
µg/mL dan larutan DPPH 0,4 mM disiapkan terlebih dahulu. Kemudian larutan stok
diencerkan ke dalam berbagai variasi konsentrasi dengan total volume 1,6 mL lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebagai larutan uji dan dibuat juga larutan blanko.
Selanjutnya, ke dalam tabung reaksi larutan uji ditambahkan 0,4 mL DPPH dan
diinkubasi selama 30 menit dalam kondisi gelap. Setelah 30 menit, blanko dan larutan uji
diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang 517 nm. Nilai absorbansi dari tiap sampel dihitung presentase (%) inhibisinya
dan nilai IC50.
Aktivitas antioksidan yang baik ditunjukkan dengan perubahan warna dari ungu
menjadi kuning. Semakin tinggi aktivitas antioksidan maka warna ungu DPPH akan
semakin berkurang sehingga menyebabkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak pada
spektrofotometer (Molyneux, 2004). Intensitas perubahan warna yang telah diukur nilai
absorbansinya panjang gelombang 515 nm dinyatakan sebagai persen inhibisi (%inhibisi)
dimana makin kecil nilai absorbansi maka semakin tinggi nilai %inhibisinya.
BAB II

ALAT, BAHAN & METODE KERJA

Alat

 Beaker glass
 Labu ukur
 Aluminium foil
 Tabung reaksi

Bahan

 Teh etilasetat
 Heksana lamtara 200mg
 Salam etil asetat
 Heksan ketepeng
 Aquadest
 Larutan DPPH
 Methanol

Metode kerja

1. Daun Waru

1) Pembuatan Larutan Induk Sampel

 Buat larutan 1000 ppm dengan 100mg sampel ektrak + aquadest ad tanda batas,
lalu buat deret standar 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, 160 ppm dan 320 ppm.

2) Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum DPPH

 DPPH + Methanol kedalam kuvet, lalu spektrofotometer dengan range 400 nm –


800 nm

3) Analisis Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH

 Tabung reaksi ulir ditutup alumunium foil, lalu ditambahkan 4 mL sampel + 4


mL DPPH + 1 mL Methanol diinkubasi selama 30 menit untuk tiap sampel dan
selanjutnya di spektrofotometer dengan panjang gelombang maks 519,5 nm
2.Heksana Lamtara

 Dalam beaker gelas ditimbang 200 mg sempel Heksana lamtara, kemudian


dilarutkan dengan aquadest ad homogen
 Masukan kedalam labu ukur berukuran 250 ml ditambahkan aquadest sampai
tanda batas kemudian kocok
 Siapkan 7 labu ukur 50ml tandai dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm, 10
ppm, 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm, 160 ppm dan 320 ppm.
 Masukan larutan sampel kedalam masing masing labu 3ml dan ditambah aquades
sampai tanda batas, dikocok.
 Siapkan tabung reaksi 7 buah dan sudah dilapisi alumunium foil dan sudah tandai
dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40 ppm, 80 ppm,
160 ppm dan 320 ppm.
 Lalu Masing-masing larutan dimasukan kedalam tabung reaksi sesuai konsentrasi
masing– masing sebanyak 3 mL.
 Ditambahkan DPPH sebanyak 3 mL(tidak boleh terkena sinar saat penambahan)
tutup bagian mulut tabung reaksi menggunakan almunium lalu kocok ad
homogen
 Inkubasi selama 30 menit, kemudian tentukan absorbansi menggunakan
spektrofotomer Hitunglah % inhibisi

3.Salam Etil Asetat

 Timbang 250 mg sempel salam etil asetat, lalu masupkan kedalam beker glass
larutkan menggunakan larutan methanol ad homogeny
 Masukan kedalam labu ukur berukuran 250 ml tambahkan aquadest sampai tanda
batas lalu kocok ad homogeny
 Lalu encerkan larutan tersebut menggunakan larutan tadi dengan buat 7 larutan
dengan labu ukur dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40
ppm, 80 ppm, 160 ppm dan 320 ppm.
 Masing-masing larutan dimasukan kedalam tabung reaksi yang berbeda – beda
yang sudah dilapisi dengan almunium foil sesuai konsentrasi sebanyak 3 mL.
 Masing-masing tabung reaksi tambahkan DPPH sebanyak 3 mL tutup bagian
mulut tabung reaksi menggunakan almunium lalu kocok ad homogeny
 Inkubasi selama 30 menit, kemudian tentukan absorbansi menggunakan
spektrofotomer
 Hitunglah % inhibisi

4.Heksan Ketepeng

 Timbang 250 mg sempel heksan ketepeng, lalu masupkan kedalam beker glass
larutkan menggunakan larutan methanol ad homogeny
 Masukan kedalam labu ukur berukuran 250 ml tambahkan aquadest sampai tanda
batas lalu kocok ad homogeny
 Lalu encerkan larutan tersebut menggunakan larutan tadi dengan buat 7 larutan
dengan labu ukur dengan konsentrasi masing-masing 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 40
ppm, 80 ppm, 160 ppm dan 320 ppm.
 Masing-masing larutan dimasukan kedalam tabung reaksi yang berbeda – beda
yang sudah dilapisi dengan almunium foil sesuai konsentrasi sebanyak 3 mL.
 Masing-masing tabung reaksi tambahkan DPPH sebanyak 3 mL tutup bagian
mulut tabung reaksi menggunakan almunium lalu kocok ad homogenyInkubasi
selama 30 menit, kemudian tentukan absorbansi menggunakan spektrofotomer
 Hitunglah % inhibisi

5.Daun Stevia

 100 mg sample daun stevia di tambahkan dengan methanol sampai larut dan
homogen.
 Sample dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan aquadest sampai
dengan tanda batas (konsentrasi larutan = 1000 ppm)
 Dibuat pengenceran dengan deret konsentrasi 500 ppm, 250 ppm, 125 ppm, 62.75
ppm, 31.37 ppm, 15.685 ppm, dan 7.84 ppm, dalam labu ukur 100 ml.
 Masing-masing larutan hasil pengenceran diambil 3 ml dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi dan ditambahkan dengan 3 ml dpph, dikocok sampai homogen.
 Tabung reaksi dibungkus dengan alumunium foil. kemudian diinkubasi selama
30 menit dalam ruangan gelap dengan suhu 37 derajat celcius.
 Setelah 30 menit, kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan
spektrofotometer uvvis pada λ 517 nm. Blanko (kontrol negative) yang
digunakan adalah metanol
BAB III

DATA PENGAMATAN

HASIL
UJI ANTIOKSIDAN DAUN STEVIA

Tabel 1. Data pengamatan

Konsentrasi Abs K Absorabsi %


(ppm) 1 2 3 Rata- Inhibisi
rata
7 1,171 1,173 1,171 1,172 -8,6%
15 0,964 0,961 0,958 0,961 10,9%
31 0,900 0,899 0,909 0,903 16,3%
62 1,079 0,542 0,552 0,562 0,552 48,8%
125 0,365 0,372 0,386 0,372 65,3%
250 0,324 0,335 0,342 0,334 69%
500 0,333 0,342 0,350 0,342 68,3%

Tabel 2. Konsentrasi daun stevia

Konsentrasi Log konsentrasi (ppm) Inhibisi (%)


15 1,176 10,9%
31 1,491 16,3%
62 1,792 48,8%
125 2,097 65,3%
250 2,397 69%

Perbandingan kolerasi

Konsentrasi Persamaan regresi linear R2 R


Dengan log Y =0,5418 x−0,5495 0,9257 0,9621
Tanpa log Y =0,0024 x+ 0,1879 0,719 0,8479

Kolerasi dengan log mencapai nilai 0,9


IC50 daun stevia
80.00%
70.00% f(x) = 0.541764844410251 x − 0.549484130400996
R² = 0.925715987023468
60.00%
50.00%
inihibisi (%)

40.00%
30.00%
20.00%
10.00%
0.00%
1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4 2.6
Log Konsentrasi

Grafik hubungan absorbansi dan inhibisi dengan Y=50

Y =0,5418 x−0,5495

50=0,5418 x −0,5495

505495
x=
5418

x=93,3

Antilog dari 93,3 = 1,99

UJI ANTIOKSIDAN DAUN TEH

Tabel 1. Data pengamatan

Konsentrasi Absorbansi Inhibisi (%)


(ppm) 1 2 3 Rata-rata
Blanko 0,785 0,784 0,784 0,7843 -
5 0,230 0,230 0,231 0,2303 70,66%
10 0,295 0,288 - 0,2915 62,88%
20 0,271 0,269 - 0,270 65,56%
40 0,261 0,257 - 0,259 66,96%
80 0,282 0,277 - 0,279 64,41%
160 0,258 0,232 - 0,245 68,75%
320 0,286 0,276 - 0,281 64,15%
Tabel 2. Log konsentrasi

Konsentrasi Log konsentrasi Inhibisi (%)


10 1 62,88%
20 1,30103 65,56%
40 1,60205 66,96%
80 1,90308 64,41%
160 2,20411 68,75%

Perbandingan kolerasi

Konsentrasi Persamaan regresi linear R2 R


Dengan log Y =0,0352 x +0,6008 0,5464 0,739
Tanpa log Y =0,0003 x +0,6404 0,5251 0,724

Kolerasi dengan log mendekati nilai 0,9

IC50 Daun Teh


70.00%

68.00%
f(x) = 0.035179589907332 x + 0.600760397270599
66.00% R² = 0.54638544769459
Inhibisi (%)

64.00%

62.00%

60.00%

58.00%
0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4

Log Konsentrasi

Mencari nilai IC50 dengan Y=50

Y =0,0352 x +0,6008

50=0,0352 x +0,6008

61749
x=
44
x=1403,38

Antilog dari x = 1403,38 adalah

UJI ANTIOKSIDAN HEKSANA LAMBRATA

Konsentrasi Log Absorbansi Inhibisi


(ppm) konsentrasi 1 2 3 Rata-rata (%)
(ppm)
Blanko - 0,834 0,834 0,832 0,833 -
5 0,6989 0,396 0,399 0,401 0,398 52,22%
10 1 0,494 0,498 0,499 0,497 40,33%
20 1,30103 0,451 0,452 0,452 0,451 45,85%
40 1,60205 0,025 0,024 0,025 0,024 97,11%
80 1,90308 0,340 0,343 0,343 0,343 58,94%
160 2,20411 0,404 0,406 0,407 0,407 51,38%
320 2,50514 0,384 0,284 0,285 0,285 61,94%

Perbandingan kolerasi

Konsentrasi Persamaan regresi linear R2 R


Dengan log Y =0,1169 x +0,3999 0,061 0,246
Tanpa log Y =−4E-05 x+ 5899 0,00001 0,01

Kolerasi dengan log mendekati nilai 0,9

Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan inhibisi (%)


IC50 Heksana Lambreta
120.00%

100.00%

80.00%
inhibisi (%)
60.00% f(x) = 0.116897527864076 x + 0.399943847895246
R² = 0.0609530007349696
40.00%

20.00%

0.00%
0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2 2.4

log konsentrasi

Mencari nilai IC50, jika Y=50

Y =0,1169 x +0,3999

50=0,1169 x +0,3999

496001
x=
1169

x=424,3

Mencari nilai antilog x=424,3UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAUN SALAM

Konsentrasi Log Absorbansi Inhibisi


(ppm) konsentrasi 1 2 3 Rata- (%)
(ppm) rata
Blanko - - - - 0,838 -
5 0,6989 0,964 0,961 0,961 0,962 -14,8%
10 1 0,376 0,377 0,379 0,377 55%
20 1,30103 0,297 0,296 0,295 0,296 64,7%
40 1,60205 0,368 0,367 0,365 0,367 56,2%
80 1,90308 0,431 0,431 0,431 0,431 48,6%
160 2,20411 0,432 0,432 0,432 0,432 48,4%
320 2,50514 0,684 0,684 0,684 0,684 18,4%

Perbandingan kolerasi
Konsentrasi Persamaan regresi linear R2 R
Dengan log Y =−0,0973 x +0,7017 0,4792 0,6922
Tanpa log Y =−0,0008 x +0,5956 0,5364 0,7323

Kolerasi tanpa log mendekati nilai 0,9

Grafik hubungan antara log konsentrasi dengan inhibisi (%)

IC50 daun salam


70%
60%
f(x) = − 0.000803629032258065 x + 0.595625
50% R² = 0.536356713684472
Inhibisi (%)

40%
30%
20%
10%
0%
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Konsentrasi (ppm)

Mencari nilai IC50 dengan Y=50

Y =−0,0008 x +0,5956

50=−0,0008 x+0,5956

x=61755,5

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAUN KETEPENG

Konsentrasi Log Absorbasi Inhibisi


(ppm) konsentrasi 1 2 3 Rata- (%)
(ppm) rata
Blanko - - - - 0,7843 -
5 0,6989 1,122 1,134 1,134 1,130 -65,65%
10 1 1,193 1,193 1,1974 1,193 -52,11%
20 1,30103 0,486 0,493 0,496 0,492 37,26%
40 1,60205 1,134 1,110 1,112 1,108 -41,27%
80 1,90308 1,083 1,083 1,083 1,083 -38,08%
160 2,20411 0,412 0,413 0,413 0,413 47,34%
320 2,50514 1,009 1,004 1,003 1,005 -28,14%

Perbandingan kolerasi

Konsentrasi Persamaan regresi linear R2 R


Dengan log Y =0,4105 x−0,7513 0,1685 0,41
Tanpa log Y =0,004 x−0,344 0,2677 0,517

Kolerasi tanpa log mendekati nilai 0,9

Grafik antara konsentrasi (ppm) dengan inhibisi (%)

Grafik daun ketepeng


60.00%
40.00%
inhibisi (%)

20.00% f(x) = 0.00403670698924731 x − 0.343995833333333


0.00% R² = 0.267657189815828
-20.00% 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
-40.00%
-60.00%
konsentrasi (ppm)

Mencari IC50 daun ketepeng, dengan Y=50

Y =0,004 x−0,344

50=0,004 x−0,344

x=12586
BAB IV

PEMBAHASAN

Percobaan aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan sampel teh


etilasetat, heksan lamtara, salam etil asetat dan heksan ketepeng. Percobaan ini
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar aktivitas antioksida yang terdapat
pada pada sampel secara spektrofotometri dengan DPPH.

Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah


secara spektrofotometri dengan DPPH karena merupakan metode yang sederhana,
mudah dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang
singkat.

Metode DPPH merupakan metode yang terbukti akurat dan praktis untuk
mengetahui aktivitas penangkapan radikal beberapa senyawa. Radikal DPPH
adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen yang tidak stabil.
Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH tersebut akan tereduksi.
Penurunan intensitas warna terjadi disebabkan berkurangnya ikatan rangkap
terkonjugasi pada DPPH. Hal ini terjadi karena penangkapan satu elektron oleh
antioksidan menyebabkan tidak adanya kesempatan elektron tersebut untuk
beresonansi
BAB V

KESIMPULAN

Pada praktikum uji aktivitas antioksidan ini, dapat disimpulkan:

1. Percobaan dilakukan menggunakan spektrofotometri dengan DPPH


2. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin rendah nilai absorban
LAMPIRAN

89
LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

“SKRINNING FITOKIMIA”

Dosen pengampu : Lilik Sulastri, M.Farm

Disusun oleh:
Ananda syukron H.A (19011029)
Imat rahmadianingsih (19011027)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


LABORATORIUM STTIF BOGOR
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI
BOGOR
2021

90
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka ragam tumbuhan yang
dapat manfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan manusia. Masyarakat
Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal tanaman yang mempunyai khasiat
obat atau menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tanaman yang berkhasiat
obat tersebut dikenal dengan sebutan tanaman obat tradisional.
Berbagai khasiat yang dapat dihasilkan oleh tanaman tradisional yang ada,
dimana merupakan efek dan khasiat dari berbagai zat yang terkandung dalam
tanaman tersebut. Sebagai contoh zat kimia yang terkandung dalam tanaman
yang biasa digunakan sebagai adalah alkaloid, flavonoid, glikosida, terpenoid,
saponin, tanin dan polifenol.
Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapis
senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk
mendeteksi senyawa tumbuhan berdasarkan golongannya. Sebagai informasi
awal dalam mengetahui senyawa kimia apa yang mempunyai aktivitas biologi
dari suatu tanaman. Informasi yang diperoleh dari pendekatan ini juga dapat
digunakan untuk keperluan sumber bahan yang mempunyai nilai ekonomi lain
seperti sumber tanin, minyak untuk industri, sumber gum, dll. Metode
yang telah dikembangkan dapat mendeteksi adanya golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin, saponin, kumarin, quinon,
steroid/terpenoid.
Untuk mengetahui kandungan kimia yang berkhasiat obat pada bahan alam,
maka perlu dilakukan analisis kuantitatif/identifikasi terhadap senyawa- senyawa
tersebut dengan uij pereaksi kimia dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
Tujuan
Adapun tujuan praktikum pada praktikum ini adalah mahasiswa mampu
melakukan proses uji skrining fitokimia pada tumbuhan.

91
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Teori
Dalam kajian farmakologi tentang pengujian komponen farmaka dalam
simplisia lahan sediaan obat erat kaitannya dengan uji fitokimia pada suatu
sampel yang pada dasarnya adalah mengetahui golongan senyawa kimia yang
terkandung dalam sediaan bahan obat tersebut.
Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk
mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Fitokimia atau
kimia tumbuhan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari aneka ragam
senyawa organik pada tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis,
metabolism, penyebaran secara ilmiah dan fungsi biologisnya. Pendekatan secara
penapisan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau
bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) terutama kandungan
metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid,
glikosida, terpenoid, saponin, tanin dan polifenol.
Metode yang dilakukan untuk melakukan penapisan fitokimia harus
memenuhi beberapa persyaratan antara lain: sederhana, cepat, dapat dilakukan
dengan peralatan minimal, selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari,
semikualitatif dan dapat memberikan keterangan tambahan ada atau tidaknya
senyawa tertentu dari golongan senyawa yang dipelajari.
Uji fitokimia yang dapat dilakukan adalah uji kualitatif secara Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dan secara uji kualitatif secara kimiawi.
1. Alkaloid
Alkaloid dari tanaman kebanyakan merupakan senyawa amina tersier dan
yang lainnya terdiri dari nitrogen primer, sekunder, dan quartener (Poither,
2000). Semula alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang
biasanya bersifat basa dan sebagian besar atom nitrogen ini merupakan cincin
aromatis (Achmad, 1986). Berdasarkan asam amino penyusunnya, alkaloid
asiklis yang berasal dari asam amino ornitin dan lisin. Alkaloid aromatis jenis

92
fenilanin berasal dari fenilalanin, tirosin dan 3,4-dihidrosifenilalanin. Alkaloid
indol yang berasal dari trifon.
Untuk mengetahui senyawa alkaloid, digunakan reagen wagner ditandai
dengan terbentuknya endapan. Endapan tesebut diperkirakan adalah kalium-
alkaloid. Pada pembuatan pereaksi wagner, iodium bereaksi dengan I- dari
kalium iodida menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat pada uji wagner, ion
logam K+ akan membentuk ikatan kovalaen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid membentuk kompleks kalium- alkaloid yang mengendap (Marliana,
dkk., 2005).
2. Glikosida
Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif tanaman yang termasuk
dalam kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman glikosida tidak lagi
diubah menjadi senyawa lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akibat
pengaruh lingkungan luar (misalnya terkena panas dan teroksidasi udara).
Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian senyawa,
yaitu gula dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu ikatan berupa
jembatan oksigen (O –glikosida, dioscin), jembatan nitrogen (N-glikosida,
adenosine), jembatan sulfur (S-glikosida, sinirgin), maupun jembatan karbon (C-
glikosida, barbaloin). Bagian gula biasa disebut glikon sedangkan bagian bukan
gula disebut sebagai aglikon atau genin. Apabila glikon dan aglikon saling terikat
maka senyawa ini disebut sebagai glikosida.
3. Tannin
Tannin merupakan gambaran umum senyawa golongan polimer fenolik
(Cowan, 1999). Tannin merupakan bahan yang dapat merubah kulit mentah
menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silangkan protein
dan mengendapkan gelatin dalam larutan. Untuk mengetahui senyawa tannin,
digunakan larutan gelatin dan FeCl3. Perubahan warna yang terjadi karena
penambahan FeCl3 karena terbentuknya Fe3+- tanin dan Fe3+- polifenol. Atom
oksigen pada tannin dan polifenol mempunyai pasangan elektron yang mampu
mendonorkan elektronnya pada tannin dan polifenol mempunyai pasangan
elektronyang mampui mendonorkan elektronnya pada Fe3+ yang mempunyai

93
orbital d kosong membentuk ikatan kovalen koordinat sehingga menjadi suatu
kompleks (Syarifuddin, 1994).
4. Flavonoid
Salah satu kelas yang banyak tersebar dari senyawa fenolat adalah flavonoid.
Golongan ini memberikan warna pada buah dan bunga. Flavonoid telah banyak
dikarakterisasi dan digolongkan berdasarkan struktur kimianya. Flavonoid adalah
senyawa fenolat yang terhidroklisasi dan merupakan senyawa C6-C3-C6 dimana
C6 diganti dengan cincin benzena dan C3 adalah rantai alifatik yang terdiri dari
cincin piran. Ada 7 tipe flavonoid yaitu flavon, flavonol, khalkon, xanton,
isoflavon, dan biflavon.
Uji flavonoid dengan HCl untuk mendeteksi senyawa yang mengandung inti
benzopiranon. Warna merah atau warna ungu yang terbentuk merupakan garam
benzopirilium, yang disebut juga garam flavilium (Achmad, 1986).
5. Saponin
Saponin mempunyai bagian utama berupa turunan triterpen dengan sedikit
steroid. Residu gula dihubungkan oleh gugugs –OH biasanya C3- OH dari
aglikon (monodesmoside saponin) dan jarang dengan 2 gugus OH atau satu
gugus OH dan satu gugus karboksil (bis-desmiside sponin).
Saponin dapat diketahui dengan penambahan air. Timbulnya busa
menunjukan adanya glikosida yang mampu membentuk buih dalam air.
Senyawa glikosida terhidrolisis menjadi glukosa dan aglikon. Saponin adalah
suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam tanaman. Saponin ada
pada seluruh tanaman dengan kosentrasi tinggi macam tanaman pada bagian-
bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan.
6. Terpenoid
Terpenoid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hydrogen, atau
karbon, hydrogen dan aksigen yang tidak bersifat aromatis. Terfenoid merupakan
senyawa-senyawa yang mudah menguap terdiri dari 10 atom C dan merupakan
senyawa penyusun minyak atsiri. Terpenoid dengan titik didih yang lebih tinggi
disususn oleh diterpen (C20), triterpen (C30), dan tertaterpen (C40) dengan
penambahan atom oksigen.

94
BAB III
METODE PRAKTIKUM

1 Alat dan Bahan


Alat
1. Beaker glass
2. Tabung reaksi
3. Spatel
4. Pemanas
5. Kertas saring
2.Bahan
1. Kloroform
2. Amoniak
3. HCl pekat
4. Logam Mg
5. FeCl3
6. Asam Asetat Anhidrat
7. Na Hidroksida
8. Aquadest
9. Asam Sulfat
Cara Kerja
Adapun cara kerja dalam praktikum ini yaitu:
1. Uji alkaloid
a) Ambil 1 spatel ekstrak dimasukan kedalam beaker gelas dan
ditambahkan 10 ml kloroform diaduk sampai larut
b) Ditambahkan 5 ml amoniak
c) Pindahkan kedalam tabung reaksi, kemudian tambahkan 2 ml Hcl
pekat
d) Kocok dan diamkan sampai terbentuk 2 lapisan (bagian atas: air,
dan bagian bawah: kloroform)
e) Pipet lapisan air dibagi 3 yaitu untuk buchard, Mayer dan
dragendoof

95
2. Uji flavonoid
a) Ambil 1 spatel ekstrak ditambahkan seujung spatel logam Mg
dimasukan kedalam tabung reaksi
b) Ditambahkan 2 tetes Hcl pekat
3. Uji fanolik
a. Dimasukan 1 spatel ekstrak kedalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 2 tetes FeCl3
4. Uji Saponin
a) Dimasukan 1 spatel ekstrak ditambahkan 2 ml aquadest
b) Kocok dan amati busa selama 30 detik
5. Uji triteepeboid dan steroid
a) Dimasukan 1 spatel ekstrak ditambahkan 2 tetes asam asetat
anhidrat
b) Ditambahkan 1 tetes asam sulfat
6. Uji Tanin
a) Dimasukan 1 spatel ekstrak kedalam tabung reaksi ditambahkan 10
ml Aquadest
b) Dipanaskan 15 menit
c) Kemudian disaring dan didinginkan, kemudian ditambahkan 2 tetes
Fecl3
7. Uji Quinon
a) Dimasukan 1 spatel ekstrak kedalam tabung reaksi
b) Ditambahkan 10 ml Aquadest
c) Kemudian dipanaskan, lalu ditambahkan 1 ml Natrium Hidroksida

96
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan
Tabel 1. Data pengamatan Uji Alkaloid
No Uji Gambar pengamatan
1. Uji alkaloid Terdapat endapan
2. Buchard Berwarna merah
3. Mayer Merah dengan endapan putih
4. Dragendoof Merah pekat
Tabel 2. Data pengamatan Uji Flavonoid
Percobaan Pengamanan
Uji flavonoid Orange
Tabel 3. Data pengamatan Uji Fenolik
Percobaan Pengamatan
Uji fenolik Hijau gelap
Tabel 4. Data pengamatan Uji Saponin
Percobaan Pengamatan
Uji Saponin Larutan terdapat busa
Tabel 5. Data pengamatan Uji Triterpenoid dan Steroid
Percobaan Pengamatan
Uji triterpenoid Orange kemerahan
Tabel 6. Data pengamatan Uji Tanin
Percobaaan Pengamatan
Uji tanin Hijau pekat
Tabel 7. Data pengamatan Uji Quinon
Percobaan Pengamatan
Uji quinon Berwarna merah
Pembahasan
Dalam kajian farmakologi tentang pengujian komponen farmaka dalam
simplisia lahan sediaan obat erat kaitannya dengan uji fitokimia pada suatu sampel
yang pada dasarnya adalah mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung
dalam sediaan bahan obat tersebut.
Tujuan utama dari penapisan fitokimia adalah menganalisis tumbuhan untuk
mengetahui kandungan bioaktif yang berguna untuk pengobatan. Fitokimia atau
kimia tumbuhan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari aneka ragam senyawa
organik pada tumbuhan, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis, metabolism,
penyebaran secara ilmiah dan fungsi biologisnya. Pendekatan secara penapisan
fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan dalam tumbuhan atau bagian
tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah dan biji) terutama kandungan
metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif seperti alkaloid, flavonoid,
glikosida, terpenoid, saponin, tanin dan polifenol. Pada praktikum kali ini, kita
melakukan percobaan pada screening fitokimia. Pada Uji alkaloid diperoleh data
pengamatan yaitu saat melakukan uji alkaloid dengan bahan ekstrak ditambahkan
kloroform ditambahkan amoniak dan Hcl pekat setelah diamati terdapat endapan.
Kemudian uji alkaloid pada Reagen buchard diperoleh larutan berwarna merah,
untuk Reagen Mayer diperoleh larutan berwarna merah dengan endapan putih dan
untuk Reagen Mayer diperoleh larutan berwarna merah pekat.
Pada Uji flavonoid dengan bahan ekstrak ditambahkan logam Mg dan
ditambahkan 2 tetes Hcl pekat diperoleh larutan berwarna orange. Kemudian pada
uji fenolik dengan bahan ekstrak ditambahkan 2 tetes FeCl3 diperoleh larutan
berwarna hijau gelap. Lalu untuk uji Saponin dengan bahan ekstrak dan
ditambahkan aquadest diperoleh larutan yang membentuk busa.
Pada Uji terpenoid dan steroid dengan bahan Ekstrak ditambahkan asam asetat
anhidrat dan asam sulfat diperoleh larutan dengan berwarna Orange kemerahan.
Kemudian untuk uji pada Tanin dengan bahan Ekstrak ditambahkan aquadest
Kemudian dipanaskan lalu ditambahkan FeCl3 diperoleh larutan berwarna hijau
pekat. Dan uji yang terakhir yaitu uji quinon dengan bahan ekstrak ditambahkan
Aquadest dipanaskan lalu ditambah Natrium Hidroksida diperoleh larutan
berwarna merah.
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, bahwa pada uji alkaloid
larutan terdapat endapan, pada uji quinon terdapat larutan merah, pada uji tanin
larutan berwarna hijau Pekat. Untuk uji terpenoid larutan berwarna orange
kemerahan, pada uji Saponin larutan terdapat busa, uji flavonoid larutan berwarna
orange dan uji fenolik larutan berwarna hijau gelap.

.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Laporan Skrining Fitokimia.


https://id.scribd.com/doc/147093658/LAPORAN-SKRINING-
FITOKIMIA Diakses tanggal 05 Januari 2022 pukul 22.00 WIB
Sulastri, Lilik. 2021. Penuntun Praktikum Fitokimia. Bogor: STTIF Bogor.
Harborne, J.B. 1967. Metode Fitokimia. ITB. Bandung
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai