Anda di halaman 1dari 16

SAMPUL

DAFTAR ISI
PEMBAHASAN

A. Definisi Desentralisasi Kesehatan


Desentralisasi dalam arti umum didefinisikan sebagai pemindahan
kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan,
manajemen, dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah
atau secara lebih umum, desentralisasi didefinisikan sebagai pemindahan
kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan, dan pengambilan
keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih
rendah.
Desentralisasi kesehatan rnempunyai berbagai macam bentuk yang tidak
hanya bergantung pada struktur politik pemerintahan dan administrasi tetapi
juga pada pola organisasi pelayana kesehatan yang terdapat di masing-masing
negara. Bidang kesehatan merupakan satu dari berbagai fungsi pemerintahan
sehingga sangat dipengaruhi struktur pemerintahan. Akibatnya rnaka kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah akan berkaitan dengan sektor kesehatan.
Menurut Mills dkk. (1991) ada empat jenis desentralisasi kesehatan yang
umum dijumpai dalam praktek yaitu (1) dekonsentrasi. (2) devolusi, (3) delegasi
dan (4) privatisasi. Di Indonesia praktek desentralisasi kesehatan yang
digunakan adalah dekonsentrasi yaitu pemindahan beberapa fungsi
administratif dari Departemen Kesehatan ke daerah. Penyelenggaraan UU No
22 tahun 1999 tentang Pernerintah Daerah yang diikuti PP No 25 tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Sebagai
Daerah Otonom, menyebabkan perubahan yang mendasar dalam pelayanan
kesehatan. Karena fungsi Pemerintah Daerah mengalami perubahan sehingga
dalam rnenyelenggarakan pelayanan kesehatan, pemerintah daerah mendapat
kewenangan yang sangat besar dalam pengelolaan keuangan, fungsi-fungsi
pemerintahan dan pelayanan.
Peraturan Pernerintah No. 25 tahun 2000 memberikan akibat terhadap
berbagai fungsi pelayanan kesehatan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupatenl
Kota serta pihak swasta. Kondisi ini mengakibatkan beberapa perubahan yang
mendasar pula dalam pengaturan kewenangan, penataan kelembagaan.
keuangan dan personil. Disamping itu daerah dituntut untuk dapat meningkatkan
peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
terhadap pembangunan daerah.
Dalam pelaksanaan desentralisasi kemudian diterbitkan PP 8 tahun 2003,
sebagai pengganti PP No. 84 tahun 2000 tentang struktur organisasi daerah
yang diantaranya menyebutkan:
1. Untuk Provinsi dalam pasal 5 ayat (2): Dinas Daerah Provinsi mempunyai
tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi dan dapat ditugaskan untuk
melaksanakan penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan kepada
Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Ayat (4):
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Dinas
Daerah Provinsi menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya
b. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum
c. Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya
2. Untuk Kabupatenlkota dalam pasal 9 ayat (2): Dinas Daerah Kab~rpatenlkota
mempunyai tugas melaksanakan kewenangan desentralisasi Ayat (3): Dalam
rnelaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Dinas Daerah
Kabupatenl Kota menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
b. Pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum
c. Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya
Dalam aplikasinya, PP No. 8 tahun 2003 merubah struktur sistem kesehatan
wilayah dan mempertegas peran dan memperkuat fungsi Dinas Kesehatan
Provinsi dan KabupatenIKota. Dinas Kesehatan dengan demikian sernakin
didorong menjadi lembaga yang berfungsi sebagai penyusun kebijakan teknis
selain sebagai regulator. Sebagai perumus kebijakan teknis diharapkan Dinas
Kesehatan dapat mengelola sistem pembiayaan kesehatan, untuk provinsi
dalam hal ini. dalam mengelola dana dekonsentrasi.
Kemudian dirasakan bahwa UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonorni daerah sehingga perlu diganti, maka
diterbitkan UU No. 32 tahun 2004.
B. Tujuan Desentralisasi Kesehatan
Dalam bidang kesehatan, desentralisasi kesehatan berarti memberikan
peluang yang lebih besar bagi daerah untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat di daerah tersebut. Sejatinya, masalah kesehatan bukan hanya
urusan pusat, tetapi merupakan urusan bersama pusat, provinsi, dan kabupaten
atau kota.
Desentralisasi pembangunan kesehatan bertujuan mengoptimalkan
pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem desentralisasi, diharapkan
program pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien untuk menjawab
kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sistem
desentralisasi akan memperpendek rantai birokrasi. Selain itu, sistem
desentralisasi juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan
program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya.
Keterlibatan masyarakat (community involvement) menjadi kebutuhan sistem ini
untuk dapat lebih mengeksplorasi kebutuhan dan potensi lokal.
Desentralisasi pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk lebih
mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih
mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem
desentralisasi, diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan
efisien serta menyentuh kebutuhan kesehatan riil masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena dalam sistem desentralisasi, rantai birokrasi akan
diperpendek. Selain itu, sistem desentralisasi juga memberi kewenangan bagi
daerah untuk menentukan program serta pengalokasian dana pembangunan
kesehatan di daerahnya. Hal ini berbeda dengan sistem sentralisasi yang
mekanisme penyusunan program dan pengalokasian dana pembangunannya
berbentuk top-down. Secara tidak langsung, sistem sentralisasi menganggap
masalah kesehatan di seluruh Indonesia sama. Kenyataannya tidak sama dan
bahkan sangat berbeda dari daerah yang satu ke daerah lain.
Dengan sistem desentralisasi, diharapkan pembangunan kesehatan
dilakukan dengan mempertimbangkan masalah, kebutuhan kesehatan, dan
potensi setempat. Dengan sistem desentralisasi, diharapkan juga adanya
keterlibatan masyarakat (community involvement) yang besar dalam
pembangunan kesehatan di daerahnya. Dengan cara ini, masyarakat tidak lagi
sebagai objek pembangunan, tetapi berperan sebagai subjek pembangunan.

C. Konsep Desentralisasi Kesehatan


Desentralisasi merupakan fenornena yang kompleks dan sulit didefinisikan.
Definisinya bersifat kontekstual karena tergantung pada konteks historis.
institusional, serta politis di masing-masing negara. Namun, secara urnum
desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan tanggung jawab dalam
perencanaan, pengambilan keputusan, pembangkitan serta pemanfaatan
sumber daya serta kewenangan administratif dari pemerintah pusat ke: 1) unit-
unit teritorial dari pemerintah pusat atau kementerian. 2) tingkat pemerintahan
yang lebih rendah, 3) organisasi semi otonom, 4) badan otoritas regional, 5)
organisasi nonpemerintah atau organisasi yang bersifat sukarela (Rondinelli
1983 cit Omar, 2001) Mills dkk (1990) menyebutkan bahwa secnra urnuln
desentralisasi merupakan transfer kewenangan dan kekuasaan dari tingkat
pemerintahan yang tinggi ke tingkat yang lebih rendah dalam satu hierarki
politis-administratif atau teritorial.
Konsep di atas banyak digunakan dalam literatur dan sebenarnya merupakan
konsep dari desentralisasi detnokratis atau desentralisgi politis dalam ilmu
adtninistrasi publik, dengan pihak yarg menerima pelimpahan kekuasaan atau
kewenangan merupakan representasi dari masyarakat lokal dan bertanggung
jawab terhadap mereka. Desentralisasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan
partisipasi publik dalaln pengambilan keputusan. sehingga dapat menyediakan
pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setempat,
mengakomodasi perbedaan sosial, ekonomi dan lingkungan. serta
meningkatkan pernerataan dalam penggunaan sumber daya publik.
Para ahli menyebutkan bahwa terdapat juga bentuk lain dari desentralisasi
yaitu desentralisasi fiskal dan desentralisasi manajemen. Desentralisasi fiskal
adalah pemindahan kekuasaan untuk mengurnpulkan dan mengelola sulnber
daya finansial dan fiskal. Meskipun demikian, desentralisasi fiskal ini sering
menjadi elemen yang tak terpisahkan dari desentralisasi demokratis.
Desentralisasi maria-jemen digunakan pada saat situasi tanggung jawab
manajerial di dalam suatu organisasi diserahkan kepada manajer unit sebagai
agen desentralisasi yang "terkecil". Model seperti ini telah diaplikasikan dalam
sektor publik, dengan Desentralisasi telah menjadi kecenderungan besar yang
berlangsung dibanyak negara berkembang, baik itu di Asia Timur dan Asia
Tenggara maupiln kawasan Amerika Latin tanggung jawab ilntitk pelayanan
dalam bidang tertentu diserahkan kepada rnanajer unit, misalnya untltk
pelayanan kebersihan. katering, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi. (Hasan dkk, 2012)

D. Tipologi Desentralisasi Kesehatan


Dalam praktiknya, terdapat empat jenis desentralisasi yang umum dijumpai,
yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan privatisasi (Rondinelli, 1983). Istilah
dekonsentrasi dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan
administratif ke kantor daerah dari pemerintah pusat. Dalam praktiknya, sebelum
era otonomi daerah, Indonesia sudah menerapkan dekonsentrasi, yaitu dengan
adanya kantor wilayah kementerian di provinsi. Dekonsentrasi melibatkan
pemindahan fungsi administratif, bukan fungsi politis. Sehingga dekonsentrasi
merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dalam hal ini, kantor
wilayah kementerian hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat
karena secara riil tanggung jawab pemerintahan tetap berada pada pemerintah
pusat.
Devolusi merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat
pemerintahan tingkat daerah yang benar-benar independen dari tingkat pusat
dalam beberapa fungsi secara jelas. Otoritas daerah mempunyai status hukum
yang jelas, sejumlah fungsi yang harus dikerjakan, dan kewenangan untuk
mencari sumber pembiayaan serta pembelanjaannya. Pemerintah Indonesia
secara setengah hati telah mempraktikkan devolusi, yaitu dengan adanya kantor
dinas di kabupaten atau kota. Walaupun pihak dinas kabupaten atau kota diberi
kewenangan untuk mencari sumber dana sendiri, namun dalam praktiknya
bagian terbesar pembiayaannya masih berasal dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusat secara kuat masih memegang kewenangan dalam penentuan
kebijakan pembangunan di daerah.
Delegasi berkaitan dengan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk
tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi tertentu di luar struktur pemerintah
pusat. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, secara tidak langsung masih
dikontrol pemerintah pusat. Pemerintah pusat memandang pendelegasian
tanggung jawab sebagai suatu cara untuk menghindari ketidakefisienan
pengelolaan, penghematan biaya pengawasan, serta penyusunan suatu
organisasi yang responsif dan luwes. Tanggung jawab terakhir masih di tangan
pemerintah pusat, tetapi pelaksananya mempunyai kewenangan luas untuk
melakukan tugas-tugas kewenangan dan kewajiban yang sudah ditentukan.
Pengadaan dokter pegawai tidak tetap merupakan kebijakan pemerintah pusat
(termasuk penggajian), sedangkan pengelolaannya (penugasan) merupakan
wewenang pemerintah daerah melalui dinas kesehatan.
Privatisasi merupakan pemindahan tugas pengelolaan ke organisasi
sukarelawan atau perusahaan privat, baik yang mencari untung maupun tidak.
Dalam bidang kesehatan, beberapa jenis pelayanan telah diserahkan kepada
perusahaan swasta, seperti pengelolaan rumah sakit dan perusahaan farmasi.
Namun, penting untuk diketahui bahwa privatisasi tidak membuat pemerintah
lepas beban dari pengelolaan pelayanan kesehatan. Sebuah badan pengatur
(misalnya Badan Pengawasan Obat dan Makanan) dibutuhkan untuk
mengawasi penyediaan dan mutu obat dan makanan. Perbedaan antara
keempat jenis desentralisasi tersebut pada prinsipnya berdasarkan status
hukumnya (Mills dkk, 1989). Selanjutnya, salah satu jenis desentralisasi di
negara tertentu dapat lebih menonjol daripada jenis yang lainnya atau saling
tumpang-tindih.

E. Faktor Penghambat Desentralisasi Kesehatan


Penyelenggaraan desentralisasi dipengaruhi banyak faktor, begitu juga
dengan desentralisasi kesehatan, prosesnya melibatkan banyak faktor. Berikut
ini dipaparkan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berhasil atau
tidaknya penyelenggaraan desentralisasi kesehatan.
1. Faktor Kewenangan.
Adanya penyerahan tanggung jawab pemerintahan dalam hal: perencanaan,
pembiayaan, dan pengelolaan fungsi publik tertentu.
2. Faktor ketersediaan sumber daya.
Penyelenggaraan desentralisasi memandang penting daerah untuk memiliki
kecukupan dan kemampuan untuk mengalokasikan dan memperluas secara
efektif sumber daya keuangan yang memadai, tenaga terampil dan
infrastruktur fisik di tingkat lokal. Penyelenggaraan desentralisasi, daerah
dituntut memiliki ketersediaan dan kemampuan dalam hal: sumber daya
manusia, keuangan, infrastruktur, dan peralatan yang memadai. Dengan kata
lain, keempat hal tersebut merupakan hal yang krusial dalam
menyelenggarakan desentralisasi.
3. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan modern terutama di
perdesaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi akses masyarakat meliputi: variabel sosial,
ekonomi dan budaya, jarak, biaya, dan kualitas perawatan yakni hambatan
akses antara lain faktor finansial, jarak rumah tinggal ke tempat pelayanan,
ketiadaan alat transportasi yang memadai, dan faktor lain terkait dengan
pelayanan.
Selain faktor tersebut, ada faktor-faktor lain sebagai faktor penyebab berhasil
atau tidaknya penyelenggaraan desentralisasi kesehatan, yakni faktor: political
will dan kapasitas kelembagaan (capacity building). Political will adalah
kesediaan dan komitmen pemimpin politik dalam melakukan tindakan yang
bertujuan untuk mencapai tujuan disertai dengan usaha yang berkelanjutan.
Kemudian, kapasitas kelembagaan pada intinya merupakan penguatan
organisasi yang berhubungan dengan: sumber daya organisasi, budaya
organisasi, tata laksana, struktur organisasi dan pengambilan keputusan.

F. Masalah Yang Muncul Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan


Memperhatikan kondisi yang berkembang dalam pelaksanaan desentralisasi
kesehatan penekanan peran kebijakan dalam good governance seperti yang
sudah dikemukakan sebelumnya, menjadi penting. Ada beberapa hal penting
dalam konsep good-governance antara lain partisipasi masyarakat, transparasi,
akuntabilitas dan mengutamakan aturan hukum.
Dalam konteks penetapan kebijakan, maka pemerintah pusat saat ini masih
merangkap fungsi sebagai penetap kebijakan dan regulasi sekaligus sebagai
pernain, sebagai contoh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dengan masih
membawahi rurnah sakit umum pusat Perijinan rumah sakit hingga kini belum
jelas padahal secara perundangan kewenangan tersebut telah diserahkan
kepada daerah.
Inti munculnya permasalahan yang ada dalam era desentralisasi kesehatan
ini adalah adanya kegagalan konsolidasi pemerintah daerah pada level provinsi
dan kabupaten/kota. Hal lain yang memperberat masalah desentralisasi
kesehatan adalah fakta bahwa kesehatan di Indonesia belum pernah menjadi
isu politik yang penting. Padahal di Amerika Serikat, sebagai contoh, calon
presiden bisa mendapat dukungan yang besar karena program jaminan
kesehatannya.
Desentralisasi disertai berbagai upaya menuju akuntabilitas yang leblh baik
dan salah satu pilar good governance adalah akuntabilitas. Ada dua rnacarn
akuntabilitas yaitu akutanbilitas politik sebagai contoh melalui sistern pemilu
yang diperbaharui dan akunbtabilitas publik diantaranya melalui kebebasan pers
dan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat.
Joint Health Council (JHC) sebagai salah satu bentuk civil society sejak awal
dirumuskan sebagai dewan pertimbangan, dewan penyantun dalam organisasi,
board of directors, oversight body hingga perekat sistem kesehatan. JHC
diperlukan antara lain karena sub sistem berjalan sendiri-sendiri, masyarakat
tidak mengetahui apa yang dilakukan pelaku kebijakan sebab tidak ada
keterwakilan masyarakat atau masyarakat tidak bisa bermain dalam kancah
kebijakan dan DPR/DPRD tidak bisa menjadi wasit permainan dalam bidang
kesehatan meskipun hal tersebut merupakan fungsi mereka
Menjalankan JHC tidak mudah, terbukti dari penilaian obyektif terhadap peran
dan kinerja JHCdi Yogyakarta. Dengan menggunakan berbagai kriteria kunci,
penilaian menunjukkan peran dan kinerja JHC masih kurang, hanya 35%. Ketua
dijabat oleh pejabat pemerintah dan tidakada independensi struktur karena
berada langsung dibawah gubernur. lndependensi manaiemen iuaa tidakada
karenadiooerasikan PHP. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai pengganti UU No. 22 tahun 1999 dinilai belum berjalan sebagaimana
diharapkan dan belum ada PP yang mengikutinya sebagai pengganti PP No. 25
tahun 2000.

G. Kebutuhan Kebijakan Dalam Desentralisasi Kesehatan


Peran pusat, provinsi dan kabupaten/kota sudah ditetapkan dalam peraturan
pemerintah tetapi belum disertai dengan kebijakan yang memadai sehingga
menyebabkan hilangnya koordinasi dalam konteks sistem. Kebijakan akan
menjadi sangat penting pada saat peran pemerintah baik di pusat, provinsiLdan
kabupatenlkota adalah sebagai pengarah dalam kegiatan pembangunan
kesehatan, seperti pada era desentralisasi saat ini.
Pengarah atau stewam'ship menurut WHO (2000) adalah suatu fungsi
pemerintahan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan penduduk, yang
berkaitan dengan kepercayaan dan legitimasi penduduk terhadap aktivitas
pemerintah, khususnya di bidang kesehatan. Pengarah terdiri dari 3 (tiga)
komponen yaitu a) formulasi kebijakan kesehatan anatar lain mendefinisikan visi
dan arah sistem kesehatan daerahnya, b) regulasi menetapkan aturan main
yang adil di bidang kesehatan dan c) Kemampuanl keterampilan dalam menilai
kinerja dan membagi informasi yang berkaitan dengan kesehatan. Jadi salah
satu tugas pokok peran pengarah adalah merumuskan dan menetapkan
kebijakan arah pernbangunan kesehatan, terutama pada tingkat makro.
Oleh karena itu di dalam kerangka desentralisasi. pemerintah juga
mempunyai tugas mengembangkan kebijakan sistem regulasi wilayah.
Mengantisipasi ha1 ini Departemen Kesehatan mengeluarkan Keputusan
Menkes RI No. 004/Menkes/SK/1/2003 berupa dokumen Kebijakan dan Strategi
Desentralisasi Bidang Kesehatan. Dokumen ini antara lain menjelaskan (1)
bagaimana hubungan antar tingkat pemerinta dan antar pemerintah daerah
dalam hal kewenangan, pemanfaatan sumber daya, kauangan, kewilayahan,
dan administrasi; (2) goal desentralisasi kesehatan; (3) hambatan dan
tantangan; (4) tujuan strategis desentralisasi kesehatan beserta Langkah-
langkah kunci. Kegiatan dalam setiap langkah kunci dapat dikembangkan terus
sejalan dengan pencapaian hasil dari setiap kegiatan yang telah diiaksanakan
dan untuk mengantisipasi isu baru yang muncul. Dalam melaksanakan
Kepmenkes no 004 tahun 2003 ini, Departemen Kesehatan dan seluruh
jajarannya perlu secara terus-menerus melakukan kajian yang berkaitan dengan
analisis kebijakan, yang sampai saat ini belum terlihat.
Analisis kebijakan disini diperlukan untuk menguraikan dan menjelaskan
masalah yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan disebabkan
berbagai kebijakan pada proses perumusan kebijakan (Policy Formulation),
penerapan kebijakan (Policy Implementation), dan evaluasi kebijakan (Policy
Review). Analisis dilakukan dalam suatu siklus yang tidak terputus dan
menghasilkan informasi untuk pengambilan keputusan dalam kebijakan.
Salah satu aspek penting dalam analisis kebijakan adalah penciptaan
pengetahuan (informasi) yang relevan dengan kebijakan. Informasi,
pengetahuan, data dan kebijakan merupakan unsur-unsur yang dibedakan
dalam proses kognitif. lnformasi adalah data yang telah ditafsirkan dan
diorganisir untuk tujuan tertentu yang dapat mengubah pikiran atau tindakan
para pembuat kebijakan. Pengetahuan dalam konteks analisis kebijakan adalah
informasi yang telah dikomunikasikan kepada para pembuat kebijakan, dan
ditransformasikan menjadi keyakinan sehingga menghasilkan pencapaian tujuan
dalam situasi tertentu.

H. Dampak Positif dan Negatif Desentralisasi Kesehatan


Dengan adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang kesehatan akan
membawa implikasi yang luas bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
Implikasi tersebut dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif.
1. Dampak Positif
- Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis berdasarkan
aspirasi masyarakat.
- Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan.
- Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini
belum tergarap.
- Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang
selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan.
- Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan
(termasuk pembiayaan kesehatan), tanpa mengabaikan peran serta
sektor lain.
2. Dampak Negatif
- Organisasi kesehatan di daerah diharuskan membuat program dan
kebijakan sendiri. Jika pemerintah daerah tidak memiliki sumber daya
yang andal dalam menganalisis kebutuhan, mengevaluasi program, dan
membuat program sehingga program yang dibuat tidak akan bermanfaat.
- Pengawasan dana menjadi hal yang harus diperhatikan untuk
menghindari penyelewengan anggaran.
- Arus desentralisasi semakin menuntut pemotongan jalur birokrasi
aparatur pemerintahan. Hal ini menjadi kendala karena perubahannya
membutuhkan waktu yang lama dan komitmen dari aparatur pemerintah.

I. Penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia


Penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia yang telah berjalan selama
delapan belas tahun pasca reformasi merupakan pengalaman menarik untuk
dibahas dan menjadi momentum penting untuk melakukan refleksi dan evaluasi
atas berbagai polemik dan masalah yang muncul. Kebijakan desentralisasi
sektor kesehatan dapat dimaknai sebagai strategi penting dalam melaksanakan
reformasi pelayanan kesehatan. Prinsip dasarnya adalah pelayanan publik akan
lebih efisien jika dilaksanakan oleh otoritas yang memiliki kontrol geografis
paling minimal.
Desentralisasi tidak bisa lepas dari aspek kewenangan, sumber daya, dan
akses masyarakat. Ketiga hal ini tentunya saling berkaitan, dengan kewenangan
memungkinkan daerah merencanakan program dan kegiatan yang sesuai
dengan kondisi lokal. Kewenangan dapat terlaksana dengan baik ketika daerah
memiliki sumber daya yang memadai yang pada akhirnya diharapkan
masyarakat memiliki akses yang lebih baik dalam pelayanan publik sektor
kesehatan.
Penyelenggaraan desentralisasi dipengaruhi banyak faktor, begitu juga
dengan desentralisasi kesehatan, prosesnya melibatkan banyak faktor.
Desentralisasi yang menekankan pada otonomi daerah seluas-luasnya dan
bertanggung jawab menuntut peran dan kreativitas dari pemerintah daerah
dalam mengelola dan mengembangkan daerahnya. Kewenangan dan Sumber
Daya diantara level pemerintahan menjadi fakta empirik bagi pemerintah dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Trisnantoro (2009), dalam mengemukakan beberapa asumsi mendasar
yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia yaitu,
Pertama, Ada suatu proses yang berjalan secara mendadak (Big Bang) pada
tahun 1999. Desentralisasi di sektor kesehatan dipicu oleh tekanan politik untuk
desentralisasi dalam era reformasi. Tekanan politik ini tidak diimbangi dengan
kemampuan teknis untuk melakukan desentralisasi kesehatan.
Kedua, Dalam hal struktur kelembagaan terdapat fakta perubahan radikal:
Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Departemen (Kandep) Kesehatan di-merger
ke dinas kesehatan propinsi dan kabupatenlkota. Perubahan radikal ini telah
terjadi di daerah secara cepat di awal dekade tahun 2000-an. Yang menarik, di
pemerintah pusat tidak terjadi perubahan. Struktur Departemen Kesehatan
masih relatif sama dengan empat Direktorat jenderal yaitu Bina Pelayanan
Medik, Bina Kesehatan masyarakat, P2PI, dan Pelayanan Farmasi (dulu POM).
Garis besar struktilr organisasi Departernen Kesehatan ini sudah berjalan sejak
awal Orde Baru dan tidak mengalami perubahan bermakna walaupun terjadi
perubahan fungsi akibat desentralisasi.
Ketiga, peran regulasi masili dianggap sebagai kelemahan iltarna dalam
pelaksanaan desentralisasi kesehatari di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan
karena fungsi regulasi merupakcln peran yang relatif baru bagi dinas kesehatan
kabupatenlkota dan provinsi bila dibandingkan dengan peran pemerintah
sebagai penyedia pelayanan atau pemberi dana.

J. Keuntungan dan Kerugian Penerapan Desentralisasi Kesehatan Untuk


Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Indonesia
Kondisi permasalahan kesehatan di Indonesia yaitu sebagian besar
masyarakat masih sulit mendapatkan pelayanan kesehatan tingkat pertama
yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti keadaan geografi, sosial dan
ekonomi. Akan tetapi, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia masih
dirasakan belum mencukupi, baik dari segi kondisi bangunan termasuk sarana
dan prasarana serta jumlah sumber daya manusia kesehatannya. Begitu juga
dengan keadaan geografi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan
menjadi salah satu tantangan dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan
pembangunan kesehatan di Indonesia.
Ketersediaan sumber daya manusia kesehatan di Puskesmas juga menjadi
permasalahan yang masih belum terselesaikan terutama berkaitan dengan
penyebaran sumber daya manusia kesehatan yang tidak merata. Indonesia
termasuk salah satu dari 57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan
(WHO, 2006) baik jumlahnya yang kurang maupun dalam pendistribusiannya. 
Pernyataan ini diperkuat dengan Profil Kesehatan Indonesia yang
mengambarkan jumlah SDM kesehatan pada tahun 2018 terhitung sebanyak
1.182.808  yang sebagian besar terdistribusi di Pulau Jawa, secara khusus di
Provinsi Jawa Timur (14,52%), Jawa Tengah (12,66%) dan DKI Jakarta
(10,63%). Provinsi dengan jumlah SDM kesehatan paling sedikit yaitu
Kalimantan Utara (0,46%), Sulawesi Barat (0,47%), dan Papua Barat (0,55%).
Selain itu dari segi anggaran untuk bidang kesehatan hanya dianggarkan 5%
dari Belanja APBN untuk alokasi tahun 2019 sebesar Rp. 123,1 T sedangkan
dalam RAPBN 2020 sebesar Rp. 132,2 triliun.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang
Puskesmas, Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
di wilayah kerjanya. Puskesmas yang dikembangkan sejak tahun 1968
merupakan fasilitas kesehatan terdepan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar. Puskesmas memiliki tugas pokok dan fungsi utama yaitu
membina kesehatan wilayah, melaksanakan UKM dan UKP serta manajemen
Puskesmas. Sampai tahun 2000, Puskesmas berada langsung dibawah
pembinaan Departemen Kesehatan. Namun sejak era desentralisasi tahun
2000, Puskesmas diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga
pengembangan dan pembinaan Puskesmas berbeda-beda tergantung pada
komitmen dan kapasitas daerahnya masing-masing.
Penerapan desentralisasi kesehatan merupakan salah satu ide atau inovasi
yang diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian dari keanekaragaman
kondisi kesehatan yang terjadi di Indonesia. Desentralisasi menurut Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah penyerahan wewenang oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam bidang
kesehatan artinya memberikan peluang yang lebih besar kepada daerah untuk
menentukan sendiri program-program kegiatan yang akan dilakukan dan alokasi
dana pembangunan kesehatan didaerahnya. Dengan penerapan sistem
desentralisasi diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan
efisien disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat didaerah tersebut untuk
mencapai sasaran kesehatan
Desentralisasi kesehatan yang dilandasi sesuai dengan kebutuhan
kesehatan masyarakat disetiap daerah masih belum berjalan merata. Tentunya
dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan harus sesuai komitmen pemerintah
daerah salah satunya dengan efisiensi penggunaan sumber daya serta alokasi
penggunaan anggaran secara akuntabel. Dengan pelaksanaan desentralisasi
kesehatan tentunya memiliki sisi positif dan negatif atau keuntungan dan
kerugiannya, keuntungannya untuk masyarakat di daerah terutama yang kurang
mampu yang sebelumnya tidak dicover oleh anggaran pemerintah pusat saat ini
bisa dicover oleh anggaran pemerintah daerah, memiliki kewenangan sendiri
terkait kesehatan sesuai kebutuhan dimasing-masing daerah.
Kekurangan penerapan desentralisasi kesehatan yaitu anggaran daerah di
bidang kesehatan menjadi lebih kecil untuk kegiatan upaya kesehatan
masyarakat (UKM) hal ini terjadi dikarenakan sebagian besar belanja kesehatan
daerah digunakan untuk belanja pelayanan kuratif (UKP), belanja barang modal
dan belanja pegawai, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan Kementerian
Kesehatan untuk menyalurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) langsung
ke Puskesmas.
Berkaitan dengan permasalahan yang paling menonjol yaitu mengenai
kekosongan atau kekurangan sumber daya manusia (SDM) kesehatan
dibandingkan dengan standar SDM yang harus dimiliki Puskesmas bahwa
seharusnya penerapan desentralisasi kesehatan disesuaikan dengan
peningkatan kualitas SDM kesehatan serta perkembangan sistem pelayanan
kesehatan disetiap daerah termasuk infrastruktur pelayanan kesehatan. Agar
terlaksananya penerapan sistem desentralisasi kesehatan yang banyak
menghasilkan sisi positifnya harus didukung oleh regulasi dari pemerintah yang
mencangkup persoalan dibidang kesehatan yang berkaitan dengan penerapan
desentralisasi kesehatan di Indonesia.

K. Desentralisasi pelayanan kesehatan dan peran pemerintah


Pelaksanaan desentralisasi diasumsikan dapat meningkatkan efisiensi
pelayanan secara alokatif maupun produktif (allocatiae and productiae
efficiency). Efisien secara alokatif bisa mungkin ketika pelayanan publik sesuai
dengan preferensi lokal masyarakat, sedangkan efisien secara produktif jikalau
program tersebut dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah lokal, level
birokrasi yang lebih ringkas, dan adanya pemahaman yang lebih kuat terhadap
biaya yang sesuai dengan kondisi lokal (Prud homme1995; Afsar,1999). Untuk
mencapai status kesehatan yang berkualitas, aktivitas program dan pelayanan
kesehatan harus didefinisikan sesuai dengan konteks lokal yang sesuai dengan
kebutuhannya. Namun demikian, tidak semua aktivitas dapat dilakukan
(terutama di negara-negara berpendapatan rendah). Oleh karena itu, sistem
kesehatan memerlukan efesiensi, dalam derajad tertentu. Pada kasus negara-
negara berkembang, ada kesepahaman, jika pembiayaan pemerintah pada
pusat kesehatan masyarakat (primary health care) terutama di pedesaan lebih
besar dari pembiayaan pemerintah untuk rumah sakit (di perkotaan), maka bisa
dimaknai sebagai efisien dan merata (WHO, 2000).
Teori kesejahteraan klasik (classical welfare theory) menjelaskan pandangan
normatif tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk
kesejahteraan warga negaranya. Tanggungjawab utama sistem kesehatan
masyarakat ada pada pemerintah, karena status kesehatan warganegara selalu
menjadi prioritas nasional. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemerintah
menj adi steward (pengendali) dari sumber-sumber untuk kesehatan.
Peran ekonomi pemerintah yang pokok adalah memperbaiki kegagalan pasar
dengan menyediakan barang-barang publik (public goods), dengan mensubsidi
(atau menarik pajak) untuk barang atau lasa yang menimbulkan ekternalitas
(positif atau negatif). Oleh karenanya, peran pemerintah sangat penting untuk
menangani pasar yang tidak sempurna, terutama karena kewenangan regulasi
yang dimilikinya. Regulasi memiliki pengaruh penting dalam isu
penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk masyarakat, terutama mengatur
proses pengalokasikan sumberdaya yang memungkinkan tercapainya nilai
pemerataan dan efisiensi. jika sektor swasta menggunakan mekanisme pasar
sebagai aturan main, maka pemerintah berwenang mengafur pengadaan barang
atau pelayanan yang ditentukan melalui keputusan-keputusan badan-badan
pemerintah atau lembaga perwakilan seluruh warga negara (Birdsall dan
james,1993; U.K. Hick, et al, dalam Owens: L994). Terkait dengan tukar imbang
(trade off antara penyelenggara pemerintah dan swasta dalam pelayanan
kesehatan serta faktor-faktor yang melandasinya, maka peran pemerintah
sangat penting sebagai pemegang regulasi menjadi sentral (Kim-Farley, L996;
james, 1997). Pemerintah dapat berperan dalam memperbaiki atau memperluas
pelayanan kesehatan dengan berbagai cara, antara lain dengan memperluas
sistem dan arus informasi sehingga mampu untuk menangkap kecenderungan
problem kesehatan dalam masyarakat untuk membangun prioritas kebijakan.
(Widaningrum, A. 2007).

L. Dampak Desentralisasi Kesehatan Terhadap Program Penyakit Menular


Desentralisasi kesehatan merupakan bagian dari desentralisasi politis dan
ekonomi yang lebih luas. Salah satu aspek yang perlu kita lihat dengan seksama
sebagai dampak pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan adalah dalam
hal alokasi anggaran untuk program-program di sektor kesehatan. Isu
perubahan yang paling sering dimunculkan salah satunya adalah tentang
perimbangan pembiayaan antara pemerintah pusat dan daerah, termasuk
kecilnya persentase anggaran untuk sektor kesehatan.
Pendanaan (financing) dalam sektor kesehatan merupakan aspek penting
karena merupakan input dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan
sebagai bagian dari upaya meningkatkan status kesehatan masyarakat.
Peranan dana sebagai input juga sangat menentukan derajat kesehatan suatu
bangsa, yang dapat dilihat dari indikator-indikator kesehatan.
Pendanaan kesehatan di era desentralisasi sepenuhnya ada dalam
wewenang daerah, dimana besarnya alokasi anggaran ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
sesuai skala prioritas. Sehingga perlu kemampuan advokasi dari provider
pelayanan kesehatan untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari pihak
Pemda dan DPRD.
Menurut WHO untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
diperlukan anggaran minimal 5%–6% dari total Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) suatu negara. Sementara untuk mencapai derajat
kesehatan yang ideal diperlukan anggaran 15%–20% dari APBN. Anggaran
yang besar tersebut diperlukan karena kesehatan merupakan investasi
pemerintah untuk meningkatkan produktivitas warganya kematian bayi dan
kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai korelasi yang kuat dengan
pendanaan kesehatan.
Pengalokasian dana merupakan aspek penting dalam pembangunan
sektor kesehatan. Salah satu aspek yang perlu kita lihat secara seksama
sebagai dampak dari desentralisasi bidang kesehatan adalah dalam hal alokasi
anggaran untuk kegiatan-kegiatan strategis, seperti program Pemberantasan
Penyakit Menular (P2M). Pada negara berpenghasilan menengah yang
menerapkan desentralisasi akan memiliki cakupan imunisasi lebih rendah
dibandingkan dengan negara yang menerapkan sentralisasi.

M. Efektivitas Desentralisasi Kesehatan dalam Peningkatan Kesehatan Ibu


dan Anak di Indonesia
Salah satu komponen penting dalam kesehatan masyarakat adalah
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Hingga saat ini, kesehatan ibu dan anak masih
cukup mengkhawatirkan dilihat dari indikator seputar KIA seperti Angka
Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Angka Kematian Neonatal, Angka
Kematian Balita, Angka Kekurangan Gizi (stunting), dan Angka Cakupan
Imunisasi. KIA merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pelayanan
kesehatan suatu negara. Dengan diberlakukannya desentralisasi kesehatan,
pemerintah daerah dapat mengembangkan dan meningkatkan program
kesehatan seperti KIA di daerahnya.
Desentralisasi Kesehatan adalah pemindahan kewenangan dan/atau
pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di bidang
kesehatan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagai perubahan dari beberapa Undang-Undang
sebelumnya. Desentralisasi Kesehatan memiliki tujuan untuk mengoptimalkan
pembangunan kesehatan. Namun, beberapa indikator kesehatan di Indonesia
masih cukup mengkhawatirkan. Salah satu contohnya adalah pada bidang KIA.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017
menunjukkan Angka Kelahiran Neonatal (AKN) sebesar 15 per 1.000 kelahiran
hidup, AKB 24 per 1.000 kelahiran hidup, dan AKBa 32 per 1.000 kelahiran
hidup. Selain itu, angka stunting di Indonesia pada tahun 2019 juga masih tinggi
yaitu sebesar 27,7% dari standar WHO 20%. Data tahun 2015 menunjukkan
bahwa Angka Kematian Ibu masih di angka 305 per 100.000 KH. Angka ini jauh
di bawah target SDGs yaitu 70 per 100.000 KH. Dari segi pelayanan kesehatan,
terdapat peningkatan jumlah kunjungan pasca kelahiran dan jumlah persalinan
yang telah dibantu oleh profesional kesehatan. Namun, beberapa imunisasi
pada anak malah mengalami penurunan pada cakupan imunisasi BCG, DPT,
IPV, dan Campak.
Desentralisasi kesehatan dapat dibilang menjadi dua sisi karena selain dapat
memberikan peluang bagi tiap daerah untuk membuat program kesehatan yang
sesuai dengan kebutuhan, tiap daerah memiliki peluang untuk membuat
program kesehatan yang tidak sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional.
Berbagai peraturan telah dikeluarkan daerah untuk meningkatkan KIA disusul
dengan adanya upaya dari pemerintah pusat agar KIA dapat merata. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi kesehatan tidak terlalu efektif
untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Namun, tetap terdapat kelebihan
dan kekurangan dari adanya desentralisasi kesehatan terhadap kesehatan ibu
dan anak.

N. Efektivitas Desentralisasi Kesehatan dalam Pelaksanaan Program


Imunisasi Dasar Lengkap di Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19
Adanya desentralisasi kesehatan di Indonesia adalah dapat menjadi salah
satu cara untuk mengatasi keanekaragaman kondisi kesehatan yang ada di
Indonesia. Setiap provinsi/daerah memiliki kondisi masyarakat yang geografis
yang berbeda sehingga masalah kesehatan yang dialamipun akan berbeda satu
dengan yang lainnya. Adanya sistem desentralisasi kesehatan ini juga membuat
setiap daerah dapat menentukan prioritas pembangunan kesehatannya masing-
masing sesuai dengan kondisi yang terjadi di daerahnya. Hal ini dapat membuat
pelayanan kesehatan berjalan lebih efektif dan efisien karena sudah sesuai
dengan kebutuhan masyarakat di daerah masing-masing sehingga ada
optimalisasi dalam pembangunan kesehatan di daerah.
Berjalannya program-program kesehatan pada suatu daerah merupakan
salah satu bentuk dari desentralisasi kesehatan. Program imunisasi dasar
lengkap pada bayi menjadi salah satu indikator penting kesehatan pada suatu
daerah. Dalam penyelenggaraannya, program imunisasi menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat dan daerah dengan mengacu pada komitmen global serta
target pada RPJM dan Renstra yang berlaku. Penyelenggaraan tersebut
mencakup perencanaan, penyediaan dan distribusi logistik, penyimpanan dan
pemeliharaan logistik, penyediaan tenaga pengelola, pelaksanaan pelayanan,
pengelolaan limba, dan pemantauan serta evaluasi.
Desentralisasi kesehatan dapat menjadi peluang maupun hambatan. Adanya
desentralisasi kesehatan akan memberikan peluang yang lebih besar kepada
pemerintah daerah untuk menentukan prioritas program-program kesehatan
sesuai kondisi daerahnya masing-masing dan memudahkan pemerintah daerah
dalam mengalokasikan dana pembangunan kesehatan sehingga sasaran
kesehatan pemerintah daerah dapat tercapai. Namun, hambatan dapat terjadi
dalam pengimplementasian program, seperti dalam program imunisasi dasar
lengkap pada tiap daerah.
Data Profil Kesehatan 2021 menunjukkan bahwa cakupan imunisasi dasar
lengkap pada anak secara nasional berada pada angka 84.2%. Angka tersebut
belum mencapai target Renstra 2021, yaitu 93,6%. Hanya terdapat enam
provinsi di Indonesia yang angka cakupan imunisasi dasar lengkapnya melebihi
target Renstra 2021. Kemudian, dilihat dari tren cakupan imunisasi dasar
lengkap, terlihat adanya penurunan sejak mewabahnya pandemi COVID-19 pada
awal 2020 di Indonesia. Penurunan yang terjadi pun cukup signifikan, yakni
sekitar 10,4% dari angka 93,7% pada tahun 2019 menjadi 83,3% pada tahun
2020.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan desentralisasi
kesehatan dalam pelaksanaan program imunisasi dasar lengkap di Indonesia
masih kurang efektif terutama pada masa pandemi COVID-19. Untuk itu,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota perlu
bekerja sama untuk menggalakkan kembali penyelenggaraan program imunisasi
dasar lengkap di masa pemulihan pandemi COVID-19 melalui koordinasi yang
sinergis agar terjadi peningkatan angka cakupan imunisasi dasar lengkap pada
tiap daerah.

O. E
Refrensi:
Erika, S. R., & Zipora, Y. C. Efektivitas Desentralisasi Kesehatan dalam
Pelaksanaan Program Imunisasi Dasar Lengkap di Indonesia pada Masa
Pandemi COVID-19.
Hasan, M., Yusran, R., & Sabri, R. (2012). Desentralisasi Kesehatan: Penyusunan
Model Perencanaan Kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Berbasis
Lokal di Sumatera Barat.
Indra Bastian, M. B. A., Irma, A., & SE, M. S. Paradigma Baru Manajemen
Kesehatan.
Inionline.id. (14 Februari 2020). Positif dan Negatif Penerapan Desentralisasi
Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama di Indonesia.
Diakses pada 11 Desember 2022.https://inionline.id/2020/02/positif-dan-
negatif-penerapan-desentralisasi-kesehatan-untuk-pelayanan-kesehatan-
tingkat-pertama-di-indonesia/
Prasasti, A. F. F., Khalisa, B., Primayawesti, D. O., & Khazin, M. I. Efektivitas
Desentralisasi Kesehatan dalam Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak di
Indonesia: Kajian Literatur.
Misnaniarti, M., Ainy, A., & Mutahar, R. (2009). Desentralisasi kesehatan dan
Dampaknya terhadap Program Pemberantasan penyakit menular. Publikasi
Penelitian Terapan dan Kebijakan, 3(3).
Suwarlan, E., Suwaryo, U., & Mulyawan, R. (2019). Penyelenggaraan Desentralisasi
Kesehatan oleh Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat
2011-2017. Jurnal Agregasi: Aksi Reformasi Government dalam
Demokrasi, 7(2).
Widaningrum, A. (2007). Dinamika pelaksanaan desentralisasi birokrasi pelayanan
kesehatan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(3), 365-390.
Widodo J., Pudjiraharjo., & Evie Sopacua. (2006). Kebijakan, sebuah Kebutuhan
dalam Desentralisasi Kesehatan. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 9(4).

Anda mungkin juga menyukai