Anda di halaman 1dari 21

KELAINAN KONGENITAL PADA ANAK DENGAN SISTEM

PENCERNAAN ATRESIA DUCTUS HEPATICUS

Disusun Oleh:

Melia Fitriani (204201416014)

Yanti Mandasari (204201416090)

Fazira Andika (204201416163)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini secara maksimal dan optimal. Sholawat
serta salam terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW.
Yang telah begitu banyak mengajarkan kebijakan dan menyebarkan ilmunya pada semua
umatnyadan yang kita nanti-nantikan syafaatnya diakhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak II yang berjudul “ Kelainan
Kongenital pada Anak dengan Sistem Pencernaan Atresia Ductus Hepaticus” .
Makalah ini kami susun berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Dikemas
dengan ringkas materi yang menarik untuk memudahkan mahasiswa/i dalam proses
kegiatan belajar. Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk ke depannya
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalam pembuatan makalah ini. Untuk
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya bisa terselesaikan dengan baik. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penulisan makalah ini mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Jakarta, 1 Oktober 2022


DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir
yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang- kadang
suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi
lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi (Wong et al.,
2009).
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir
yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Kadang- kadang
suatu kelainan kongenital belum ditemukan atau belum terlihat pada waktu bayi
lahir, tetapi baru ditemukan beberapa saat setelah kelahiran bayi (wong et.ai.,2019).
Penderita yang dirawat dirumah sakit anak terdiri dari penderita kelainan kongenital
sebanyak 30% dinegara maju (effendi, 2016 dalam neonatologi IDAL,2018).
Jumlah penderita kelainan bawaan cukup tinggi yaitu mencapai 5% di Asia
Tenggara. Insiden penyakit hirscprung terjadi 1 dari 5000 kelahiran hidup dan laki-
laki 4 kali lebih banyak dibandingkan perempun (Holschneider & Ure, 2005).
Insiden hirscprung bervariasi pada beberapa etnis, diantaranya 2,8; 1,5,; dan 2,1
pada 10000 kelahiran hidup etnis Asia, Caucasia dan Afrika-Amerika (Browne et
al., 2008). Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal tahun 2014-2016
sebanyak 377 orang.
Insiden penyakit artsria ani di dunia adalah 1: 5000 kelahiran hidup, dengan
jumlah penduduk indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 pemil, maka
diprediksikan setiap tahun akan lahir 1.400 bayi dengan penyakit atresia ani.
Menurut catatan Swenso, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti dalam laki-laki
sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini.
Atresia billiaris adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan dari sistem
billier ekstrahepatic. Atresia billiaris merupakan proses inflamasi progresif yang
menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga
pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Di
dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia billiaris sekitar 1:1000-
15000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita daripada laik-laki. Rasio atresia
billiaris antara anak perempuan dan laki- laki 1,41:1 dan angka kejadian lebih sering
pada bangsa Asia. Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari
100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris
dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000
kelahiran hidup, 7 dari
100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di
USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita
atresia billier. Dari 904 kasus atresia billier yang terdaftar di lebih 100 institusi,
atresia billier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik
(11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Menurut data statistik dI Indonesia
terjadi kasus atresia billier1;10.000-15.000 kelahiran diprediksi 300-450
bayi/pertahun terkena antresia bilier di Indonesia

B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menguraikan tentang gangguan sistem digesttif yaitu
Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
2. Mahasiswa mampu menguraikan etiologi dari gangguan sistem digestif yaitu
Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
3. Mahasiswa mampu menguraikan manifestasi klinis dari gangguan sistem
digestif yaitu Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
4. Mahasiswa mampu menguraikan Patofisiologi dari gangguan sistem digestif
yaitu Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
5. Mahasiswa mampu menguraikan komplkasi dari gangguan sistem digestif
yaitu Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
6. Mahasiswa mampu menguraikan Pemeriksaan Penunjang dari gangguan
sistem digestif yaitu Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
7. Mahasiswa mampu menguraikan Penatalaksanaan dari gangguan sistem
digestif yaitu Hirschpung, Atresia Ani dan Atresia Ductus Hepaticus
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Hirschprung
Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan, malformasi
kongenital yang dikarakteristikkan oleh tidak adanya sel ganglion intrinsik
parasimpatis dari plexus myentericus dan submukosa sepanjang saluran pencernaan.
Aganglionosis menandakan kegagalan enteric nervous system (ENS), dimana sel-sel
neural crest gagal menginervasi saluran gastrointestinal selama perkembangan
embrionik (Amiel & Lyonnet, 2001; Miao et al., 2009).

(sumber: https://images.app.goo.gl/eTqACt4BFmCtX1vi6 )
(Ssumber: https://images.app.goo.gl/G6Ku5mtU8hNwR7x17 )

2. Atresia Ani
Atresia ani adalah kelainan congenital yang dikenal sebagai anus imperforate
meliputi anus, rectum, atau keduanya Betz (2012). Atresia ani atau anus imperforate
adalah tidak terjadinya perforasi membrane yang memisahkan bagian entoderm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.Anus tampak rata
atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan
langsung dengan rectum Purwanto (2011). Atresia ani merupakan kelainan bawaan
(congenital), tidak adanya lubang atau saluran anus Donna L. Wong (2013)

(sumber: https://kitabisa.com/campaign/bantufathur )
3. Atresia Ductus Hepaticus
Atresia Ductus Hepaticus atau biasa di sebut Atresia bilier merupakan
kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus
biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma &
Taylor,2005). Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen
atau lebih dari duktus biliaris akibat
terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang
bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)

Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau
tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai
dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan
suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau
lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi
penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan
kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.

(sumber: https://kaltim.tribunnews.com/2011/09/23/bocah-5-bulan-di-
balikpapan-suspect-atresia-bilier )

B. Etiologi
1. Hirschprung

Hirschprung merupakan kelainan kongenital, dapat disebabkan oleh


beberapa faktor, diantaranya faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya
(Effendi & Indrasanto, 2006 dalam Kosim, dkk., 2012). Faktor
genetik dikelompokkan menjadi tiga jenis meliputi kelainan mutasi gen
tunggal, aberasi kromosom dan multifaktorial (gabungan genetik dan pengaruh
lingkungan). Sementara faktor non-genetik/lingkungan terdiri dari penggunaan
obat-obatan selama hamil terutama pada trimester pertama (teratogen), paparan
bahan kimia dan asap rokok, infeksi dan penyakit ibu yang berpengaruh pada
janin sehingga menyebabkan kelainan bentuk dan fungsi pada bayi yang
dilahirkan.

2. Atresia Ani
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antra lain:
- Putusnya saluran penceraan dari atas dengan daerah dubur sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur
- Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
/3 bulan
- Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
diaderahusus, rectum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antra minggu keempat sampai keenam usia kehamilan
3. Atresia Ductus Hepaticus

Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga


akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya
perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati.
Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak
diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga
karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau
kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.

Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal


ini terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus
biliaris ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris
komplit yang mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi.
Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan
sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi.
Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada
kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan
satu-satunya harapan.

Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah
bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan
dari keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa
yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu
terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan
dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan
dalam perkembangan hati dan saluran empedu.

C. Manifestasi Klinis
1. Hirschprung
Wong, dkk. (2009) menyampaikan manifestasi klinis Hirschprung bervariasi
menurut usia ketika gejala penyakit ini dikenali dan adanya komplikasi
seperti enterokolitis. Pada periode bayi baru lahir ditemukan kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam hingga 48 jam pertama setelah
lahir, keengganan mengkonsumsi cairan, muntah yang bernoda empedu dan
distensi abdomen. Sementara pada bayi dapat dijumpai failure to thrive
(FTT), konstipasi, distensi abdomen, episode diare dan vomitus serta tanda-
tanda yang sering menandai adanya enterokolitis seperti diare yang
menyembur atau menyerupai air, demam dan keadaan umum yang buruk.
Sedangkan pada anak-anak didapatkan konstipasi, feses mirip tambang dan
berbau busuk, distensi abdomen, peristaltik yang terlihat, massa feses mudah
diraba dan anak tampak malnutrisi serta anemia.
2. Atresia Ani
Menurut Ngastiyah (2011), gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani
atau anus, imperforate tejadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala ini dapat berupa
:
a. Perut kembung
b. Muntah
c. Tidak bisa buang air besar
d. Pada pemeriksaan radiologi denagn posisi tegak serta terbalik dapat dilihat
sampai dimana terdapat penyumbatan
e. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium
(mengeluarkan tinja yang menyerupai pita)
f. Perut membuncit
g. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran
h. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi
i. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
j. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada
fistula)
k. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
l. Pada pemeriksaan rectal touché adanya membrane anal
m. Perut kembung
3. Atresia Ductus Hepaticus

Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup.
Gejala-gejala termasuk:
- ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang
sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah.
- Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk
pencerahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring
oleh ginjal dan dibuang dalam urin
- Tinja berwarna pucat, karenat idak ada empedu atau pewarna bilirubin
yang masuk kedalam usus untuk merawat feses. Juga, perut dapat
menjadi bengkak akibat pembesaran hati
- Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
- Degenerasi secara gradual pada live menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali,
Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air
sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air
serta gagal tumbuh. Pada Saat usia bayi 2-3bulan, akan timbul gejala berikut:
- Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan
malnutrisi.
- gatal-gatal
- rewel
- splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi
portal/Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa kehati.
4. Patofisiologi
1. Hirschprung
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di
sepanjang usus karena adanya kontraksiritmis dariotot-otot yang melapisiusus
(kontraksi ritmisini disebut gerak aperistaltik). Kontraksi otot- otot tersebut
dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak
dibawah lapisan otot.Pada penyakit Hirschprung ganglion/pleksis yang
memerintahkan gerakan peristaltik tidak ada, biasanya hanya sepanjang
beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik
tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicernas sehingga terjadi
penyumbatan
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan manifestasi
ganggguan atau tidak adanya peristalsi sehingga akan terjadi tidak adanya
evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingterrektum tidak dapat berelaksasi
secara optimal, kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi
usus kemudian terdorong kesegmen aganglionik dan terjadi akumulasi fese
didaerah tersebut sehingga memberikan manifestasi dilatasi usus pada bagian
proksimal.
2. Atresia Ani
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat
proses perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan
anus dan rectum. Dalam perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang
berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genitorurinary dan
struktur anoretal.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan
kolon antara 7-10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut
terjadi karena abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada
proses obstruksi. Anus imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan
usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan feses tidak dapat
dikeluarkan
3. Atresia Ductus Hepaticus

Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun


mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan
ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau
pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu
sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan
obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik
(Wong, 2008).

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi


aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis. Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus
biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang
meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi
bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak.

E. Komplikasi
1. Hirschprung
a) Enterokolitis nekrotikans
b) pneumatosis usus
c) abses perikolon
d) perforasi
e) septikemia.
Komplikasi pada stoma yang dapat terjadi jika tidak dilakukan perawatan
adalah dapat terjadi obstruksi atau penyumbatan karena adanya
perlengketan usus atau adanya pergeseran feses yang sulit
dikeluarkan, stenosis akibat penyempitan lumen, prolaps pada stoma
akibat kelemahan otot abdomen, perdarahan stoma akibat tidak
adekuatnya homeostasis dari jahitan batas mucocutaneus, edema jaringan
stoma akibat tekanan hematoma peristomal dan pengkerutan dari kantong
kolostomi, nekrotik stoma akibat cedera pada pembuluh darah stoma, dan
retraksi atau pengkerutan stoma akibat kantong stoma yang terlalu
sempit atau tidak pas untuk ukuran stoma dan akibat jaringan scar
disekitar stoma (Blackley, 2003).
2. Atresia Ani
Adapun komplikasi yang dapat terjadi antra lain:
a) Asidosis hiperkioremia
b) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
c) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
d) Komplikasi jangka panjang : Eversi mukosa anal, stenosis (akibat
kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e) Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training
f) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g) Prolaps mukosa anorektal\
h) Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dean infeksi
3. Atresia Ductus Hepaticus
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a) Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus.
Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati
ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan
hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga
akan mengakibatkan gagal hati.
b) Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka
sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan
pendarahan dan penggumpalan.
c) Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan
hepatomegali.
d) Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal
tumbuh.
e) Hipertensi portal
f) Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang
lemah di esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g) Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang
disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
h) Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis
hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif,
meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup
transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson
(1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe “noncorrectable”
adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang
hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak
dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 %
pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal
akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.
F. Pemeriksaan penunjang
1) Hirscprung
Pemeriksaan Penunjang untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit
Hirschprung Diagnosis penyakit Hirschprung dapat ditegakkan
melalui beberapa pemeriksaan antara lain pemeriksaan fisik, radiologi,
dan laboratorium. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya distensi
abdomen, pada pemeriksaan rektum ditemukan adanya kelemahan
sfingter internal dan tidak adanya feses, diikuti oleh pelepasan gas dan
feses yang eksplosif dan tiba-tiba tetapi peningkatan ukuran rektum
hanya berlangsung sementara. Sedangkan pada pemeriksaan radiologi
dengan barium enema diperoleh hasil adanya zona transisi diantara
zona dilatasi normal dan segmen aganglionik distal. Sementara pada
pemeriksaan laboratorium
dengan cara biopsi rektal didapatkan tidak adanya sel ganglion. Selain
pemeriksaan fisik, radiologis dan laboratorium jika diperlukan dapat
dilakukan pemeriksaan patologi klinik dengan biopsi usus pada saat operasi
untuk menentukan lokasi usus dimana sel ganglion dimulai (Ashwill &
James, 2007; Browne et al., 2008).
2) Atresia Ani
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
- Pemeriksaan radiologist
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
- Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari
sfingternya.
- Ultra sound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
- CTScan
Digunakan untuk menentukan lesi.
- Pyelografiintravena
Digunakan untuk menilai pelviokalises danureter.
- Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colokd ubur dengan
menggunakan selang atau jari.
- Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.
3) Atresia Ductus Hepaticus
Pada atresia billiaris pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu:
A. Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum
transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
B. Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
C. Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada
tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
D. Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang
dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
E. USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda
Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia
bilier.

Anda mungkin juga menyukai