Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH KULIAH PAKAR

ILMU BEDAH MULUT

Special Care Dentistry

Disusun oleh:

OS 205

Pembimbing:

Dian Maifara Putri, drg., Sp.BM(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa oleh karena berkat rahmat
dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Departemen Bedah Mulut dengan judul
“Special Care Dentistry”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Dian Maifara Putri, Sp.BM selaku pembimbing
yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan makalah ini hingga selesai. Apabila
terdapat kesalahan dalam penyusunan maupun isi dan penyampaian dari makalah ini, penulis
mengucapkan permohonan maaf. Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bandung, Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Special care dentistry merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang

menyediakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut bagi orang-orang tertentu yang memiliki

keterbatasan fisik, medis, sensorik, intelektual, ataupun kognitif yang membatasi kemampuan

mereka untuk menerima perawatan gigi dan mulut secara rutin (special care patients). Tujuan

utama adanya special care dentistry adalah untuk memfasilitasi tercapainya kesehatan gigi dan

mulut yang optimal pada special care patients.

WHO pada tahun 1980 menjabarkan disabilitas (disability) sebagai keterbatasan

seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang yang dianggap normal sebagai

manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Bersinggungan dengan itu, WHO mendefinisikan

impairment sebagai kehilangan atau kelainan struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau

anatomis, serta WHO juga mendefinisikan handicap sebagai ketidakberuntungan individu yang

disebabkan adanya disability atau impairment yang menghalangi terpenuhinya peran yang

dianggap normal (bergantung pada usia, jenis kelamin dan faktor sosial dan budaya) bagi

individu tersebut.

Para aktivis gerakan disabilitas beranggapan bahwa definisi-definisi tersebut tidak dapat

menggambarkan implikasi fisik dan sosial yang terjadi akibat adanya disabilities maupun

impairment. Maka dari itu, para aktivis sepakat untuk berpendapat bahwa impairments

merupakan keterbatasan fisik maupun kognitif yang mungkin terjadi pada seorang individu,
sedangkan disabilities merupakan keterbatasan atau pembatasan yang berlaku secara sosial yang

menyebabkan terbatasnya aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan oleh seorang individu.

1.2 Penyebab Disabilitas

Penyebab terjadinya disabilitas pada individu secara umum dapat dibagi menjadi dua

kelompok besar berdasarkan waktu terjadinya proses yang menyebabkan disabilitas. Kedua

kelompok tersebut adalah developmental disabilities dan acquired disabilities.

1. Developmental disabilities

Disabilitas yang terjadi akibat adanya impairments selama masa perkembangan individu,

yaitu sejak individu lahir hingga berusia 18 tahun. Beberapa contoh penyebab yang

termasuk dalam kategori developmental disabilities antara lain infeksi intra-uterin, defek

metabolik, fetal alcohol syndrome, kelainan kromosom, birth hypoxia, autisme, cerebral

palsy, dan infeksi postnatal seperti meningitis atau ensefalitis.

2. Acquired disabilities

Disabilitas yang terjadi akibat adanya gangguan yang bertahan setelah masa

perkembangan. Beberapa contoh penyebab yang termasuk dalam kategori acquired

disabilities antara lain cedera otak traumatis, kerusakan sumsum tulang belakang,

multiple sclerosis, radang sendi dan alzheimer.

1.3 Akses dan Latar Belakang Legalitas

Americans with Disabilities Act (ADA) 1990 merupakan badan hukum federal yang

melarang diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang sedang mencari akses ke pelayanan

masyarakat, termasuk diantaranya akses terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Disability Discrimination Act 1995 (DDA) mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai

seseorang yang memiliki gangguan fisik atau mental dengan dampak yang merugikan secara

dalam jangka panjang pada kemampuannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan normal dalam

kehidupan sehari-hari. DDA memberlakukan pelanggaran hukum apabila masyarakat

memperlakukan penyandang disabilitas dengan kurang baik karena alasan yang berkaitan dengan

disabilitas individu tersebut.

Disability Rights Commission (DRC) di Inggris merupakan sebuah badan independen yang

didirikan pada bulan April tahun 2000 oleh Undang-undang Parlemen untuk memberhentikan

diskriminasi dan mempromosikan kesempatan kesetaraan bagi para penyandang disabilitas.

Pihak penyedia layanan wajib untuk memperlakukan penyandang disabilitas secara sama rata

serta tidak melakukan diskriminasi dengan cara menolak memberikan fasilitas atau layanan yang

baik atau memberikan mereka perawatan standar yang lebih rendah atau dengan cara yang lebih

buruk, atau menawarkan layanan dengan persyaratan yang lebih buruk daripada yang seharusnya

ditawarkan kepada anggota masyarakat lainnya.

1.4 Implikasi Perundang-undangan Disabilitas

Kedokteran gigi di Inggris per tanggal 1 Oktober 2004 diharapkan untuk menghapus,

mengubah, atau menyediakan sarana untuk menghindari fitur fisik yang membuat penyandang

disabilitas tidak mungkin atau secara tidak wajar sulit untuk menggunakan layanan umum.

Berikut merupakan beberapa poin yang menggambarkan implikasi perundang-undangan

disabilitas yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan termasuk kedokteran gigi.

1. Perubahan desain konstruksi bangunan untuk mempermudah akses

2. Pendekatan dan akses jalan yang landai untuk keluar masuk gedung

3. Modifikasi perlengkapan, furniture, serta alat dan bahan


4. Diperbolehkan membawa hewan peliharaan kecuali saat akan dilakukan operasi

5. Undang-undang terkait pelarangan pengenaan biaya tambahan pada penyandang

disabilitas atas alat bantu dan layanan tambahan

6. Tenaga medis gigi harus merawat penyandang disabilitas dengan dasar yang sama

dengan non-penyandang

7. Tenaga medis gigi harus berkomunikasi sedemikian rupa sehingga pasien dapat

memahami apa yang telah dijelaskan


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen dental

2.1.1 Hambatan

Hambatan untuk perawatan kesehatan mulut untuk orang dengan kebutuhan khusus

dapat diklasifikasikan dengan ilustrasi peranan profesi kedokteran gigi dan interaksinya dengan

individu, masyarakat, dan pemerintah, sebagai berikut:

● Individu

- Kurangnya rasa “membutuhkan” pelayanan kesehatan

- Ketakutan atau kecemasa

- Pertimbangan finansial

- Kurangnya akses

● Profesi Dokter Gigi

- Distribusi dokter gigi secara geografis kurang memadai

- Sumber daya manusia yang kurang memadai

- Pelatihan yang kurang tepat dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada

- Kurangnya kepekaan terhadap sikap dan kebutuhan pasien

● Masyarakat

- Fasilitas pelayanan kesehatan kurang memadai

- Kurangnya dukungan dan sikap masyarakat untuk memperoleh kesehatan


- Perencanaan sumber daya manusia kurang memadai

- Kurangnya dukungan untuk melakukan penelitian

● Pemerintah

- Kurangnya dukungan politik

- Sumber daya yang kurang memadai

- Prioritas yang rendah

Edukasi mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut serta bagaimana hal tersebut

dapat memberikan efek yang positif kepada kesehatan secara umum adalah kunci keberhasilan

untuk menghilangkan hambatan ini serta untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gigi dan

mulut untuk pasien berkebutuhan khusus. Edukasi tersebut harus diberikan kepada individu itu

sendiri, profesi dokter gigi, masyarakat, dan pemerintah.

2.1.2 Tujuan

Tujuan utama dari special care dentistry ini yaitu memfasilitasi tercapainya kesehatan

mulut yang baik. Terdapat lima tujuan penting saat memberikan perawatan kesehatan mulut

adalah :

1. Memungkinkan pasien untuk dapat menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, dengan

atau tanpa bantuan

2. Menjaga pasien agar terbebas dari rasa sakit dan penyakit akut

3. Mempertahankan fungsi gigi dan mulut secara efektif

4. Mempertahankan estetika

5. Tidak membahayakan
2.1.3 Pihak yang terlibat

Dokter gigi disini sebagai pemimpin tim, dental care professionals merupakan komponen

yang penting untuk keberhasilan penyediaan perawatan. Selain itu, perawatan juga dapat

melibatkan kelompok berikut:

1. Orang tua/ pengasuh

2. Departemen pelayanan sosial

3. Pengunjung Kesehatan

4. Dokter Umum

5. Konsultan pediatrik / spesialis konsultan rumah sakit lain

6. Asisten dan guru

7. Rekan sejawat di bidang pediatrik, bedah mulut, oral medicine, periodontik, endodontik,

prostodontik, dan ortodontik

Pendekatan tim multidisiplin untuk perawatan pasien menyebabkan pembagian sumber

daya yang lebih efektif, menghasilkan respons yang lebih kreatif terhadap masalah yang

melibatkan perawatan pasien, meningkatkan keterampilan komunikasi, menghasilkan

pendekatan baru untuk pembelajaran dan praktik klinis, dan menghasilkan rencana perawatan

yang praktis dan tepat. Kemudian, keterlibatan profesional lain memastikan bahwa mereka

menghargai pentingnya perawatan kesehatan mulut dan hubungannya dengan kesehatan umum,

dan menghilangkan kesalahpahaman bahwa penyakit mulut dan kehilangan gigi adalah

konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari kecacatan tertentu.

2.1.4. Rencana Perawatan

Rencana perawatan digunakan untuk memfasilitasi perawatan kesehatan gigi dan

mulut yang tepat, membutuhkan riwayat medis, gigi, keluarga, dan sosial, menentukan
perawatan gigi dan mulut yang dibutuhkan pasien, informed consent untuk setiap

investigasi yang mungkin diperlukan, dan informed consent untuk hasil rencana

perawatan.

Tujuan utama ketika merumuskan rencana perawatan meliputi:

● penilaian awal kesehatan mulut

● metode intervensi kebersihan mulut yang realistis – dental hygienist dapat

membantu dalam memberikan saran dan dukungan

● saran diet – berhubungan dengan ahli gizi jika perlu

● perumusan rencana perawatan kesehatan mulut – ini harus mencakup tindakan

pencegahan untuk meminimalkan penyakit mulut lebih lanjut

● manajemen penyakit mulut saat ini – ini mungkin termasuk manajemen darurat

gigi, selain stabilisasi status kesehatan mulut

● pemeriksaan mulut secara teratur – frekuensi pemeriksaan ini harus dinilai secara

individual dalam kaitannya dengan risiko penyakit mulut lebih lanjut.

1) Riwayat Medis

Pasien ditanyakan mengenai penyakit sistemik yang mungkin dimiliki atau

pengobatan yang sedang dijalani, yang memungkinkan dapat mengganggu dalam

perawatan kesehatan gigi dan mulut. Riwayat medis yang rinci sangat penting untuk

menentukan efek pada kesehatan mulut, menilai kebugaran pasien untuk prosedur

perawatan gigi, memutuskan jenis perilaku dan kontrol nyeri, memutuskan bagaimana

perawatan mungkin perlu dimodifikasi, memperingatkan kemungkinan keadaan darurat

yang mungkin timbul, dan menentukan kemungkinan risiko apapun terhadap staf atau
pasien serta pengunjung yang lain. Riwayat harus ditinjau sebelum prosedur bedah,

anestesi umum, anestesi lokal, dan setiap awal perawatan gigi.

2) Penilaian pre-operatif

Penilaian pre-operatif dapat dilakukan dengan melihat klasifikasi status fisik

American Society of Anesthesiology (ASA). Menurut pedoman saat ini, perawatan gigi

harus dimodifikasi secara signifikan jika pasien memiliki skor ASA III atau IV.

3) Perencanaan pre-operatif

(1) Fungsi dari perencanaan pre-operatif adalah:


● Mengantisipasi potensi bahaya saat dilakukannya perawatan gigi dan mulut

● Membantu manajemen kegawatdaruratan dengan cepat dan efisien

● Akan sangat membantu membuat list untuk faktor-faktor seperti transportasi,

parkir disabilitas dan kebutuhan akan pendamping yang menemaninya

dipertimbangkan sebelum pembuatan janji perawatan pertama

● Menyusun rencana perawatan yang terdiri dari fase preoperative, operatif, dan

postoperative

● Memastikan faktor-faktor lain (seperti pemberian antibiotic preoperatif untuk

profilaksis endocarditis infektif) juga dipertimbangkan.


4) Analgesia dan manajemen perilaku

Analgesia merupakan salah satu pilihan guna meminimalisir kecemasan terutama

pada pasien penyandang disabilitas, sehingga morbiditas akan minimal ketika anestesi

lokal digunakan. Sedasi lebih berbahaya daripada anestesi local dan harus dilakukan

oleh personil yang cukup terlatih dan dengan pertimbangan risiko yang mungkin terjadi.

Anestesi umum (GA), baik intravena atau inhalasi, menyebabkan gangguan kontrol

fungsi vital dan dengan demikian hanya dilakukan oleh ahli anestesi yang

berkualifikasi, dan hanya diizinkan di rumah sakit dengan fasilitas yang sesuai.
2.1.5. Persetujuan

Persetujuan adalah proses dimana penyedia layanan kesehatan yang melakukan

perawatan mengungkapkan informasi yang tepat kepada pasien yang kompeten sehingga

pasien dapat membuat pilihan secara sukarela untuk menerima atau menolak perawatan.

Persetujuan dalam bidang kedokteran gigi dapat dilakukan dalam bentuk informed

consent. Informed consent merupakan persetujuan tersurat atau tersirat dari pasien untuk

menjalani pemeriksaan gigi, pemeriksaan atau pengobatan. Prinsip dasar persetujuan

adalah meminta persetujuan sebelum melakukan pemeriksaan atau perawatan pada pasien

dewasa yang kompeten untuk membuat keputusan. Orang dewasa yang kompeten, yaitu

seseorang yang berusia 18 tahun atau lebih yang memiliki kapasitas untuk membuat

keputusan sendiri tentang perawatan gigi yang akan diterima.

Terdapat tiga kriteria dasar yang dibutuhkan dalam persetujuan, yaitu pasien

harus kompeten, diinformasikan secara memadai, dan tidak dipaksakan. Pasien harus

memiliki kapasitas untuk dapat memahami dan menilai informasi yang diberikan,

mengkomunikasikan pilihannya, dan memahami konsekuensi dari pilihannya. Dokter

harus dapat menyediakan informasi yang memadai, minimal berupa diagnosis, prosedur

dengan resiko, manfaat, dan alternatifnya, beserta manfaat dan resikonya, termasuk jika

tidak dilakukan perawatan. Keputusan harus dilakukan secara sukarela.

Informasi yang diberikan kepada pasien untuk meminta persetujuan minimal

harus mencakup:

● Sifat, tujuan, manfaat dan risiko perawatan.


● Alternatif perawatan serta manfaat dan resikonya.

● Semua aspek prosedur yang akan dilakukan.

● Prognosis jika tidak diberikan perawatan.

Percakapan dengan pasien yang terjadi saat membahas informasi medis ini perlu

didokumentasikan dalam rekam medis sebagai tambahan persetujuan tertulis. Terdapat 5

pengecualian ketika persetujuan pasien tidak dibutuhkan, yaitu kegawatdaruratan

kesehatan masyarakat, kegawatdaruratan medis, patient waiver, ‘therapeutic privilege’,

dan ketika pasien tidak kompeten. Persetujuan dapat tertulis, lisan atau non-verbal. Tanda

tangan pada formulir persetujuan tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa

persetujuan itu valid, namun inti penggunaan formulir adalah untuk merekam keputusan

pasien, dan juga banyaknya diskusi yang terjadi.

2.1.6. Kesehatan Rongga Mulut pada Pasien Disabilitas

Kondisi rongga mulut yang sehat penting untuk menjaga kualitas hidup

penyandang disabilitas karena kebutuhan signifikan yang belum terpenuhi pada banyak

penyandang disabilitas dan perawatan yang ditawarkan tidak selalu sesuai dengan

kebutuhan orang lain. Sebagian besar penyakit mulut disebabkan oleh seringnya

konsumsi karbohidrat olahan dalam makanan yang menyebabkan karies gigi atau

penghilangan plak bakteri gigi yang tidak memadai sehingga terjadi radang gusi,
periodontitis dan halitosis. Pemeriksaan gigi dan mulut secara teratur sangat penting dan

frekuensi pemeriksaan harus dinilai secara individual. Intervensi dini dapat

meminimalkan penyakit gigi dan mulut di masa yang akan datang.

Poin utama dari rencana perawatan kesehatan gigi dan mulut untuk pasien

penyandang disabilitas adalah penilaian kesehatan secara seksama, perencanaan

perawatan disusun setelah berkomunikasi dengan keluarga dan penyedia layanan

kesehatan lainnya untuk setiap kasus, menetapkan pola makan yang baik dalam

hubungannya dengan ahli gizi karbohidrat, gula, dan camilan di antara waktu makan

menetapkan metode realistis kebersihan gigi mulut.

Gigi harus dibersihkan setidaknya dua kali sehari menggunakan pasti gigi

berfluoride dan sikat gigi kecil. Jika pasien tidak dapat berkumur dan meludah, gunakan

gel klorheksidin (glukonat) sebagai pengganti pasta gigi dan beberapa alat bantu yang

tersedia untuk membantu pasien atau pengasuhnya untuk menjaga kebersihan gigi. Ada

beberapa alat bantu yang tersedia untuk membantu pasien atau pengasuhnya untuk

menjaga kebersihan gigi, seorang ahli kesehatan gigi dapat membantu dalam memberikan

saran dan dukungan, dan gigi palsu harus dinilai kesesuaian dan kenyamanannya agar

tidak bergesekan yang menyebabkan ketidaknyaman dan ulserasi, pada malam hari, gigi

palsu harus dibersihkan dengan sikat gigi dan dibiarkan terendam di air semalaman.

2.1.7. Kunci Pertimbangan Manajemen Dental

Banyak penyandang disabilitas dapat menerima perawatan gigi,akan tetapi lebih


banyak membutuhkan waktu yang diperlukan. Beberapa penyandang disabilitas

membutuhkan fasilitas khusus atau pendamping untuk memudahkan perawatan gigi. Pada

pasien dengan medically compromised, perawatan kesehatan mulut preventif dan

penghindaran operasi non-esensial dan prosedur invasif lainnya sangat penting.

Masalah khusus yang mungkin perlu dipertimbangkan, termasuk perawatan rutin

yang mengakomodasi pasien yang memiliki gangguan pendengaran atau penglihatan,

pasien yang menggunakan kursi roda, serta perawatan dan konsultasi rujukan oleh

spesialis. Modifikasi perawatan diindikasikan untuk mempertimbangkan masalah ini

tidak hanya bergantung pada keterampilan dan pengalaman tim yang terlibat, tetapi juga

pada : Jenis dan tingkat keparahan penyakit, pengobatan dan komplikasi, jenis kontrol

nyeri atau manajemen perilaku yang diperlukan, tingkat dan durasi operasi, penilaian

kompetensi/persetujuan, waktu dan rangkaian perawatan, penggunaan sedasi atau

anestesi umum, profilaksis antibiotik, kontrol kecenderungan perdarahan, infeksi obat

potensial.

2.2 Manajemen Perilaku

Pasien dengan autism, down syndrome, atau ketidakmampuan belajar lainnya, biasanya
membutuhkan dukungan perilaku. Hal ini dibutuhkan terutama saat melakukan prosedur yang
rumit, yaitu ketika kondisi medis, psikologis, atau perilaku pasien tidak dapat dilakukan secara
normal. Perilaku menuntut, manipulatif dan resisten dapat terlihat, terutama pada beberapa
pasien psikiatri dan pasien dengan dimensia atau ketidakmampuan belajar. Keluarga, pasangan
atau pengasuh harus dikonsultasikan untuk membantu mempersiapkan pasien tersebut untuk
perawatan.
Beberapa strategi manajemen perilaku adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan ketenangan lingkungan yang santai dan penuh empati
2. Penjadwalan pada waktu yang tepat
3. Teknik modifikasi perilaku :
a. Desensitisasi (dapat efektif pada beberapa orang dengan kecemasan)
b. Dukungan positif
c. Kontrol suara
d. Distraksi melalui musik atau televisi
e. Intervensi fisik atau kimia (jarang dilakukan)
f. Penggunaan anestesi lokal dan/atau anestesi umum

2.2.1 Intervensi Pencegahan (Restraint)

Istilah ''intervensi'' dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan


pergerakan individu. Intervensi tidak hanya terbatas pada psikiatri, ia digunakan baik dalam
penggunaan non-medis (misalnya oleh polisi) dan dalam penggunaan medis, termasuk berbagai
bidang medis seperti kedokteran darurat, geriatri, dan ortopedi. Intervensi terbahagi kepada dua
yaitu intervensi fisik dan juga intervensi kimia.

Intervensi fisik adalah setiap metode manual, perangkat fisik atau mekanik, bahan, atau peralatan
yang melumpuhkan atau mengurangi kemampuan pasien untuk menggerakkan lengan, kaki,
tubuh, atau kepalanya secara bebas. Penggunaan perangkat seperti penyangga mulut, selimut, tali
pengikat, papan papoose, pedi-wraps, dan pita adalah dikategorikan sebagai intervensi mekanik
di bawah intervensi fisik.

Intervensi kimia adalah obat atau medikasi, bila digunakan sebagai pembatasan untuk
mengatur perilaku pasien atau membatasi kebebasan bergerak pasien, dan bukan merupakan
pengobatan atau dosis standar untuk kondisi pasien. Antara obat yang digunakan adalah obat
penenang atau anestesi umum. Ada beberapa pertimbangan untuk penggunaan intervensi kimia
seperti yang tertera di bawah:

1. Dapat dan akankah pasien bekerja sama?

2. Dapatkah dan akankah pasien meminum obat secara oral?


3. Apa potensi interaksi obat atau efek sampingnya?
4. Apa pendapat dokter pasien dan penyedia perawatan lainnya?
5. Apakah persetujuan dari pasien mungkin, dan apakah sudah diperoleh?

Conscious sedation (CS) atau sedasi kesadaran membutuhkan tim yang terlatih dan
peralatan pemantauan yang tepat, dengan kemampuan untuk merespons komplikasi. CS bisa
menjadi modalitas yang sangat efektif dan aman, sekaligus mungkin mengecewakan karena
mungkin tidak terlalu disukai bagi beberapa orang tua pasien, dibandingkan dengan GA (General
Anaesthesia)

Anastesi general harus menjadi pilihan terakhir dalam armamentarium manajemen


perilaku. Tetapi, untuk pasien yang memiliki kesulitan terbesar dalam bekerja sama, GA bisa
menjadi metode yang paling ideal. Hal tersebut dapat menjadi standar yang lebih tinggi dari
kedokteran gigi teknis untuk dicapai, karena tim anestesi mengelola status medis pasien dan
tanda-tanda vital, sementara tim dental dapat berkonsentrasi pada perawatan kedokteran gigi. GA
juga dapat digunakan untuk melakukan prosedur yang lebih kompleks. Dengan menghemat
waktu, operator dapat memberikan perawatan yang mungkin lebih komprehensif

A. Prinsip Intervensi

British Institute of Learning Disabilities merangkum prinsip-prinsip kebijakan utama


tentang intervensi fisik sebagai berikut: Setiap intervensi fisik, harus konsisten dengan kewajiban
dan tanggung jawab hukum dari lembaga perawatan dan stafnya, serta hak dan perlindungan
yang diberikan kepada pasien. Bekerja dalam ‘kerangka hukum’, bertanggung jawab atas
penyediaan perawatan, termasuk intervensi fisik

B. Nilai Intervensi

1. Intervensi fisik hanya boleh digunakan untuk kepentingan terbaik pasien.

2. Pasien harus diperlakukan secara adil dan dengan kesopanan dan rasa hormat.
3. Pasien harus dibantu untuk membuat pilihan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
4. Harus ada pengalaman dan kesempatan belajar yang sesuai dengan minat dan kemampuan
pasien.

C. Pencegahan Perilaku yang Menantang


1. Perilaku yang menantang seringkali dapat dicegah dengan pengelolaan kondisi yang cermat

2. Interaksi antara kondisi pengaturan lingkungan dan kondisi pengaturan pribadi harus
dieksplorasi untuk setiap pasien yang terlibat. Kondisi pengaturan harus dimodifikasi untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku yang menantang (pencegahan primer).
3. Prosedur pencegahan sekunder harus dikembangkan untuk memastikan bahwa permasalahan
tersebut dikelola dengan baik melalui intervensi non-fisik sebelum pasien memberontak.
4. Untuk setiap pasien yang menjadi tantangan, harus ada strategi individual untuk menanggapi
insiden kekerasan dan perilaku sembrono. Jika sesuai, strategi harus mencakup arahan untuk
menggunakan intervensi fisik.
5. Prosedur individual harus ditetapkan untuk menghadapi pasien yang cenderung menunjukkan
perilaku kekerasan atau sembrono. Prosedur harus memungkinkan staf perawatan untuk
merespons secara efektif terhadap perilaku kekerasan atau sembrono sambil memastikan
keselamatan semua pihak.

D. Menganjurkan kepentingan terbaik pasien

1. Intervensi fisik hanya boleh digunakan dalam hubungannya dengan strategi lain yang
dirancang untuk membantu pasien mempelajari perilaku alternatif yang tidak menantang.

2. Intervensi fisik yang direncanakan dapat dibenarkan sehubungan dengan:


a. Apa yang diketahui klien dari penilaian multidisiplin formal
b. Pendekatan alternatif yang telah dicoba
c. Evaluasi potensi risiko yang terlibat
d. Referensi ke kumpulan pengetahuan ahli dan praktik yang baik.

3. Penggunaan intervensi fisik harus ditinjau secara berkala.

E. Intervensi Fisik dan Penilaian Resiko

Potensi bahaya yang terkait dengan penggunaan intervensi fisik harus dieksplorasi secara
sistematis menggunakan prosedur penilaian risiko. Intervensi fisik tidak boleh melibatkan risiko
yang tidak masuk akal.
F. Meminimalkan Resiko dan Mensejahterakan Pasien

1. Intervensi fisik harus dilakukan dengan menggunakan dukungan minimum yang masuk akal.

2. Setiap intervensi fisik tunggal harus dilakukan untuk durasi waktu minimum.
3. Untuk pasien individu, intervensi fisik harus disetujui untuk periode waktu terpendek yang
konsisten dengan kepentingan terbaik pasien.
4. Intervensi fisik tidak boleh menyebabkan rasa sakit.
5. Pasien harus menjalani penilaian individu untuk mengidentifikasi kontraindikasi intervensi
fisik sebelum disetujui.
6. Pasien yang menerima intervensi fisik harus secara rutin dinilai untuk tanda- tanda cedera
atau tekanan psikologis.

G. Tanggung Jawab Manajemen

1. Manajer pelayanan bertanggung jawab untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan


tentang penggunaan intervensi fisik.

2. Penggunaan prosedur apapun harus diatur dengan jelas dalam bentuk pedoman tertulis bagi
staf.
3. Manajer layanan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua insiden yang
melibatkan penggunaan intervensi fisik dicatat dengan jelas, komprehensif dan segera.
4. Semua pasien dan keluarga serta perwakilannya harus memiliki akses yang siap untuk
prosedur pengaduan yang efektif.
5. Pertimbangan yang cermat harus diberikan pada dampak pengelolaan sumber daya pada
penggunaan intervensi fisik.

H. Tanggung Jawab Operator terhadap Staf

1. Operator dan manajer bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan staf.

2. Staf harus didorong untuk memantau semua intervensi fisik dan melaporkan setiap insiden
yang menimbulkan kekhawatiran.

I. Pelatihan Staf
1. Staf yang mungkin diminta untuk menggunakan intervensi fisik harus menerima pelatihan
reguler tentang pengetahuan, keterampilan, dan nilai.

2. Pelatihan harus diberikan oleh seorang instruktur dengan pengalaman dan kualifikasi yang
sesuai.
3. Staf hanya boleh menggunakan intervensi fisik yang telah dilatih untuk mereka gunakan
4. Penempatan staf harus diatur untuk memastikan bahwa staf yang terlatih dengan baik tersedia
untuk menanggapi setiap insiden yang memerlukan intervensi fisik.

1.6 Modifikasi Perawatan

1.6.1 Kedokteran Gigi Restoratif

Pasien dengan disabilitas akan lebih banyak mengalami anomali dental, seperti
hipodonsia, faset permukaan gigi seperti erosi, dan karies. Meskipun tindakan
pencegahan memerankan peran yang penting, namun tindakan restorasi gigi yang cepat
(ketika sudah ada kelainan pada gigi) merupakan hal yang krusial, hal ini dapat
membantu meminimalkan kebutuhan prosedur restorasi yang lebih kompleks di masa
mendatang. Selain itu, penting untuk mencegah kehilangan gigi, terutama ketika
penggunaan gigi palsu tidak dapat ditoleransi dengan baik.

Dokter gigi akan kesulitan karena akses ke lingkungan oral yang terbatas dan
toleransi serta konsentrasi pasien mungkin berkurang. Penggunakan instrumen rotasi
dapat berbahaya bagi pasien dengan pergerakan yang tidak terkontrol atau pasien yang
kurang kooperatif. Pasien dengan disabilitas bisa saja tidak kooperatif atau tidak dapat
mentoleransi penggunaan rubber dam pada saat prosedur restorative tanpa adanya
chemical restraints, seperti sedasi atau anestesi umum. Pemilihan bahan dan teknik
restorasi bisa saja membutuhkan modifikasi. Restorasi dengan teknik indirek tidak dapat
dilakukan, oleh karena itu, bahan restorasi terbatas pada amalgam, resin komposit, dan
glass ionomer. Restorasi dengan glass ionomer biasa diberikan pada pasien dengan risiko
karies yang tinggi, semenjak GI ini dapat melekat pada substansi gigi dan mengeluarkan
fluoride. Stainless steel crown dapat digunakan untuk pasien dengan kerusakan gigi yang
luas yang kurang kooperatif dimana hal ini dapat menghalangi prosedur restorasi yang
lebih kompleks. Selain itu, dapat juga menggunakan teknik alternatif, seperti atraumatic
treatment technique (ART) atau chemomechanical caries removal technique (Carisolv®)
yang dapat mengurangi penggunaan anestesi lokal.

1.6.2 Periodontik

Pasien dengan disabilitas akan kesulitan dalam menjaga kebersihan mulut dengan
baik sehingga dapat menyebabkan penyakit periodontal dan/atau halitosis. Pasien dengan
disabilitas akan lebih sulit untuk meningkatkan kontrol plak hanya dengan menggunakan
sikat gigi biasa, karena adanya gangguan kognisi, mobilitas, dan kecekatan. Oleh karena
itu, penggunaan sikat gigi elektrik akan lebih mudah dan efektif. Penggunaan
chlorhexidine spray dan obat kumur, yang digunakan dua kali sehari, dapat membantu
dalam mengontrol plak. Chlorhexidine dengan konsentrasi 0,06% memiliki efektivitas
yang sama dengan konsentrasi 0,12% dalam mereduksi plak. Pembersihan karang gigi
secara rutin juga dapat meningkatkan kesehatan gingiva secara signifikan, namun hanya
ada sedikit indikasi untuk dilakukannya bedah periodontal. Ketika terdapat defek pada
jantung, dapat diberikan antibiotic profilaksis untuk pencegahan.

Faktor lain yang berkontribusi pada penyakit periodontal termasuk pembesaran


gingiva yang disebabkan oleh penggunaan obat, seperti phenytoin atau cyclosporin, atau
karena adanya sindrom genetik. Tindakan gingivektomi terkadang dapat dilakukan untuk
alasan estetika dan sosial, atau jika pembesaran jaringan ini dapat mengganggu oklusi
dan oral hygiene yang efektif. Electrosurgery atau bedah laser akan lebih
dipertimbangkan dibandingkan dengan gingivektomi konvensional dengan bevel
eksternal dimana periodontal pack tidak dapat dipertahankan dengan baik. Pembesaran
gingiva ini cenderung dapat kambuh, terutama jika tidak adekuatnya pembersihan oral
hygiene. Oleh karena itu, pemeriksaan berkala dan profilaksis perlu dilakukan setiap 2
atau 3 bulan sekali.

1.6.3 Endodontik

Mempertahankan gigi yang rusak parah atau aus sangat penting pada individu
dengan kondisi disabilitas yang tidak dapat mentolerir prostesis lepasan. Perawatan
endodontik dapat dilakukan ketika giginya masih dapat direstorasi dan pasien kooperatif.
Sedasi atau anestesi umum dapat diberikan pada saat perawatan endodontik, terutama di
gigi depan, pada pasien yang kurang kooperatif. Tidak ada bukti yang menyakinkan
bahwa kondisi sistemik yang buruk dapat membahayakan dan menggagalkan hasil
perawatan endodontik –hanya satu studi yang mengimplikasikan diabetes berpotensi
mengurangi keberhasilan perawatan saluran akar.

Penggunaan rubber dam dan prosedur endodontik satu kali kunjungan dianjurkan
untuk dilakukan bila memungkinkan. Ketika radiografi tidak dapat digunakan,
penggunaan apex locator dapat digunakan untuk menentukan panjang kerja. Penggunaan
instrumen rotasi dapat memfasilitasi preparasi saluran akar yang efektif dan lebih cepat,
tetapi irigasi saluran akar juga tidak boleh dikesampingkan. Irigasi dapat dilakukan
dengan menggunakan endosonic. Dengan preparasi saluran akar yang dapat dikontrol
dengan baik, obturasi saluran akar dapat dengan mudah dilakukan menggunakan gutta
percha termoplastik yang tersedia secara komersial.

1.6.4 Implan

Studi klinis awal pada implan osseointegrasi (OI) memberikan banyak bukti dasar
untuk keberhasilannya, dengan menggunakan kriteria pemilihan pasien yang ketat. Studi-
studi ini mengecualikan banyak gangguan sistemik, yang diyakini dapat menjadi
kontraindikasi perawatan implan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pembenaran
untuk beberapa asumsi ini telah ditentang, karena setiap bukti peningkatan tingkat
kegagalan perawatan implan pada pasien yang mengalami kondisi medis yang terganggu
cukup jarang.

Pada semua pasien penyandang disabilitas yang dipertimbangkan OI, jelas akan
bijaksana untuk mempertimbangkan dengan hati-hati analisis biaya dan manfaat. Selain
itu, sangat penting untuk melakukan prosedur dengan asepsis yang ketat, untuk
meminimalkan trauma dan sangat berhati-hati dalam mengatasi stres dan perdarahan
yang tidak semestinya. Yang terpenting, pasien harus mampu mempertahankan standar
kebersihan mulut yang sangat baik.
1.6.5 Ortodontik

Perawatan komprehensif pasien dengan celah orofasial paling baik dilakukan


bersama dengan tim multidisiplin yang meliputi ortodontis, bedah mulut, THT, bedah
plastik, dokter gigi anak; ahli rehabilitasi mulut, dan terapis wicara. Perawatan ortodontik
aktif diberikan pada tahap pertumbuhan dan perkembangan pasien, dapat berlangsung
setelah lahir hingga dewasa muda.

Bedah ortognatik melibatkan kerja sama antara ortodontis dan bedah mulut.
Tujuan dari perawatan tersebut adalah untuk memperbaiki malformasi serius pada
struktur tulang rahang, dari pasien yang perawatan ortodontik konvensionalnya tidak
cukup untuk memperbaiki hubungan rahang yang abnormal, hingga pasien yang
menderita sindrom yang mempengaruhi pertumbuhan rahang dan tengkorak (misalnya
sindrom Crouzon atau sindrom Apert, microsomia hemifacial, dan malformasi asimetri
lainnya), serta pada pasien dengan tumor atau gangguan pertumbuhan yang mengganggu
perkembangan rahang normal.

1.6.6 Prostodontik Cekat dan Lepasan

1.6.6.1 Prostodontik Cekat

Penggunaan protesa cekat yang melibatkan gigi atau implan akan tepat jika pasien
dapat bekerja sama dan kebersihan mulut yang memadai dapat dipertahankan oleh pasien
dan/atau pengasuh. Jika pasien tidak dapat bekerja sama, sehingga menghalangi prosedur
yang lebih rumit untuk memulihkan gigi yang rusak parah, restorasi sementara jangka
panjang atau mahkota stainless steel mungkin lebih tepat. Meskipun tekniknya sensitif,
resin-bonded bridge juga dapat berguna karena perawatannya lebih cepat dan tidak
invasif.

Penggantian gigi anterior dengan protesa cekat umumnya dikontraindikasikan


untuk pasien yang menderita epilepsi parah atau cenderung menderita trauma seperti
pada beberapa pasien dengan ketidakmampuan belajar yang parah atau demensia, atau
mereka yang menderita melukai diri sendiri karena restorasi atau gigi penyangga dapat
patah.
1.6.6.2 Prostodontik Lepasan

Protesa lepasan dapat menjadi solusi untuk pemulihan fungsi oklusi dan
penampilan pada orang dengan disabilitas. Protesa yang distabilkan dengan implan dapat
bermanfaat jika kesehatan peri-implant dapat dipertahankan secara memadai. Namun,
protesa lepasan konvensional dikontraindikasikan untuk pasien dengan epilepsi parah,
yang memungkinkan menelan benda asing selama kejang. Protesa semacam itu juga tidak
diindikasikan untuk pasien yang sulit beradaptasi dalam pemakainya seperti pasien
dengan kontrol otot, kapasitas fisik dan mental yang tidak memadai. Seperti beberapa
pasien dengan: ketidakmampuan belajar, demensia, stroke, atau gangguan gerakan
(Parkinson’s disease, Huntington’s chorea atau tardive dyskinesia). Pasien juga harus
mampu mengenali, memasang, melepas, dan membersihkan protesanya. Setiap protesa
untuk penyandang epilepsi harus dibuat dari bahan radioopak, sedangkan untuk pasien
dengan ketidakmampuan belajar atau demensia harus ditandai dengan identitasnya karena
memungkinkan untuk salah menempatkan atau hilang.

Pencetakan juga sulit untuk dilakukan namun dapat difasilitasi menggunakan


bahan dengan viskositas tinggi seperti putty type silicone material. Bahan ini dapat
dikeluarkan dengan mudah tanpa menempel pada orofaring jika pasien menolak dengan
kasar. Penggunaan bite block pada regio kontra-lateralnya dan sectional impression juga
dapat dilakukan jika pasien kesulitan untuk menjaga mulut mereka agar tetap terbuka.
Namun, pada pasien Cerebral Palsy, penggunaan bite block dapat menyebabkan stridor
(suara kasar atau serak bernada tinggi atau rendah yang muncul setiap tarikan atau
hembusan napas).
Pencatatan gigitan oklusi akan sangat sulit jika kurangnya kerjasama. Beberapa
orang dengan disabilitas yang lebih parah cenderung mengalami penurunan fungsi
pernapasan saat menggunakan blok registrasi gigitan. Pasien yang tidak mampu
mengelola protesa lengkap dapat menjadi 'dentally impaired' di samping kecacatan
mereka yang lain.
2.3 Celah Bibir dan Palatum

2.3.1 Definisi
Cleft Lip and Cleft Palate atau Orofacial Cleft, yang biasa dikenal dengan bibir sumbing
ada suatu kondisi defek lahir dimana terbentuknya pembukaan atau belahan yang tidak wajar
pada bibir atau palatum. Terdapat tiga jenis utama defek cleft lip cleft palate yaitu cleft lip (CL)
dimana terjadi belahan hanya pada bibir, cleft palate (CP) dimana terjadi belahan pada daerah
palatum, dan cleft lip palate (CLP), dimana belahan terjadi menyeluruh dari palatum sampai
bibir.
Adanya celah pada palatum dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu gangguan pada
fungsi bicara, penelanan, pendengaran, keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis dari orang tua pasien serta adanya gangguan
fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada faring yang berhubungan dengan fosa nasal,
pendengaran, dan bicara. Gangguan pernafasan pada pasien yang baru lahir merupakan masalah
yang krusial oleh karena sumbatan dari makanan dan minuman tersebut saat pasien makan dan
minum yang masuk kedalam celah palatum dapat menyebabkan kesulitan bernafas dan bila tidak
cepat diatasi dapat menimbulkan kematian. Diperlukan latihan dan pengetahuan khusus bagi
orang tua pasien untuk merawat anak dengan celah palatum.

2.3.2 Epidemiologi
Insidensi terjadinya celah rongga mulut di Amaerika Serikat diperkirakan 1 dari 700
kelahiran. Celah ini berhubungan dengan predileksi ras, dimana lebih sedikit terjadi pada kulit
hitam dan lebih banyak terjadi pada orang Asia dan penduduk asli Amerika. Laki-laki lebih
banyak menderita orofacial cleft daripada wanita dengan rasio 3 : 2. Celah bibir dan palatum
terjadi dua kali lebih banyak pada pria dibanding wanita. Sedang menurut Cummings (1993)
insidensi celah bibir dan palatum adalah 1/1000 kelahiran, dan 35% - 55% adalah celah palatum.
Menurut Margulis (2002) insidensi celah palatum di Asia rasionya adalah 0,45- 0,5/1000
kelahiran.
Berdasarkan data CDC di Amerika Serikat pada tahun 2004 hingga 2006 mengatakan
bahwa kasus cleft palate mengenai 2,650 bayi baru lahir dan cleft lip dan cleft lip palate
mengenai kira-kira 4,440 bayi baru lahir. Sebuah penelitian di Bandung menunjukkan dari 1596
pasien, ditemukan 50.53% pasien dengan cleft lip and palate, 25.05% cleft palate, dan 24.42%
cleft lip, dimana 20.08% dari keseluruhan pasien memiliki riwayat keluarga dengan cleft lip dan
cleft palate.

2.3.2 Etiologi

2.3.3 Klasifikasi

Klasifikasi Davis dan Ritchie (1922)

Gambar 1 Klasifikasi Davis dan Ritchie

1. Kelas 1: Celah prealveolar


Celah bibir hanya dengan subdivisi, medial unilateral dan bilateral.
2. Kelas 2: Celah postalveolar
Derajat keterlibatan palatum molle dan durum dapat ditentukan, hingga alveolar ridge,
termasuk celah submukosa.
3. Kelas 3: Celah alveolar
Celah palatum lengkap, linggir alveolar, dengan subdivisi unilateral, medial, dan
bilateral.

Klasifikasi Veau (1931)


Gambar 2 Klasifikasi Veau

1. Kelas 1: Celah hanya terdapat di palatum molle saja.


2. Kelas 2: Celah pada palatum molle dan durum di belakang foramen insisivus.
3. Kelas 3: Celah unilateral lengkap pada palatum durum dan molle mengenai tulang
alveolar.
4. Kelas 4: Celah bilateral lengkap pada palatum durum dan molle mengenai tulang
alveolar.
Pada klasifikasi Veau sulit untuk menggambarkan celah bibir dan prosesus alveolar tanpa
celah palatal menggunakan sistem ini.

Klasifikasi Fogh-Anderson (1942)


1. Celah bibir

2. Celah bibir dan palatum

3. Celah palatum yang terisolir hingga foramen insisivus


Klasifikasi Kernahan dan Stark

Gambar 3 Klasifikasi Kernahan dan Stark

Celah palatum primer

1. Unilateral (lengkap / tidak lengkap)

2. Median (lengkap / tidak lengkap)

3. Bilateral (lengkap / tidak lengkap)

Celah palatum sekunder

1. Lengkap

2. Tidak lengkap

3. Submukosa

Kombinasi celah palatum primer dan sekunder

1. Unilateral (lengkap / tidak lengkap)

2. Median (lengkap / tidak lengkap)

3. Bilateral (lengkap / tidak lengkap)


Klasifikasi menurut American Cleft Palate Association

Celah pada prepalatal

1. Celah bibir

2. Celah alveolus

3. Celah bibir, alveolus, dan palatum primer

Celah pada palatum

1. Celah pada palatum durun

2. Celah pada palatum molle

3. Celah pada palatum durum dan molle

Celah prepalatal dan palatum

Klasifikasi Schuchardt dan Pfeiffer

Klasifikasi simbolik di mana daerah yang berbeda digambarkan dan kemudian diarsir

menurut jenis celah tergantung apakah itu lengkap atau sebagian.

Gambar 4 Klasifikasi Schuchardt dan Pfeiffer

Klasifikasi Kernahan Striped ‘Y’


Klasifikasi simbolik di mana daerah penomoran yang diberikan di setiap area yang
mewakili rongga mulut. Daerah yang diarsir menunjukkan adanya celah di daerah
tertentu.

Gambar 5 Klasifikasi Kernahan Striped 'Y'

Klasifikasi Modifikasi Millard Striped ‘Y’


Millard menambahkan parameter lain untuk klasifikasi Kernahan yaitu penambahan dasar
nasal.

Gambar 6 Klasifikasi Modifikasi Millard Striped 'Y'


2.3.4 Komponen anatomi deformitas celah

4. Bibir
Terdapat diskontinuitas bibir termasuk vermilion dan kulit. Terjadi pemisahan otot
orbicularis oris dengan perlekatan yang abnormal pada kulit, crus lateral kartilago
alaris, dan tulang sekitar.
5. Hidung
Deformitas hidung terjadi minimal atau tidak ada pada celah bibir tidak sempurna
dengan anatomi otot orbicularis oris yang intak. Deformitas nasal ‘formefruste’ terjadi
pada bibir yang intak. Pada kasus ini deformitas nasal terkait dengan insersi abnormal
serat otot facial.
6. Alveolus
Celah pada alveolus biasanya terjadi diantara incisivus lateral dan caninus kemudian
meluas secara obliq ke arah foramen incisivus. Besar celah alveolus bervariasi mulai
dari takik pada gingiva hingga celah sempurna. Akan tetapi, manifestasi yang terlihat
tidak berkorelasi dengan besarnya pemisahan tulang di bawahnya.
7. Palatum primer
Celah pada palatum primer meluas ke posterior ke foramen incisivum, mengakibatkan
defisiensi pada bagian dasar rongga hidung. Lengkung alveolar pada sisi yang bercelah
berotasi ke mesiopalatal dan pada sisi yang tidak bercelah berotasi keluar karena
perlekatan otot wajah yang abnormal.
8. Palatum sekunder
Palatum sekunder meluas ke posterior dari foramen incisivum ke uvula, terdiri dari
palatum keras dan palatum lunak.
9. Maksila
Maksila pada sisi yang terkena terdefisiensi pada dimensi vertikal dan anteroposterior.
10. Mandibula
Dimensi mandibula pada pasien dengan celah palatum dapat berukuran lebih kecil.
11. Abnormalitas lain
Anatomi abnormal otot palatum lunak, terutama pada tensor velipalatini dipercaya
dapat mengganggu jalan udara pada telinga tengah karena kegagalan pembukaan tuba
eustachius saat menelan, menguap, dan pergerakan faring lainnya.

Penyebab dari celah bibir dan palatum ini berhubungan dengan perpaduan antara faktor
genetik dan faktor lingkungan (P A Mossey & Modell, 2012). Celah bibir dengan atau tanpa
celah langit-langit terjadi pada sejumlah besar sindrom yang bisa disebabkan oleh faktor bukan
genetik atau faktor lingkungan, kromosomal, faktor genetik yang merupakan pewarisan kelainan
gen tunggal, dan multifaktorial, merupakan kombinasi antara faktor nongenetik (lingkungan)
dengan faktor genetik.
Cleft lip dan cleft palate dicurigai akibat mutasi pada gen pembentuk rongga mulut dan
bibir pada bayi ketika masa kandungan umur 4 bulan. Mutasi ini menyebabkan gagalnya
penyatuan jaringan yang membentuk palatum dan bibir atas, yang akhirnya membentuk belahan
yang terlihat jelas pada rongga mulut.
Beberapa penelitian terbaru juga mencurigai diet dan pemakaian obat-obatan pada ibu
seperti hydantoin, sodium valproate, trimethadion, obat penenang, kebiasaan merokok, dan
konsumsi alkohol dapat menjadi faktor penyebab terjadinya cleft lip dan cleft palate. Studi
berbasis populasi telah menunjukkan bahwa defisiensi asam folat pada kehamilan memiliki
hubungan yang kuat dengan perkembangan celah bibir dan palatum pada janin. Anak yang lahir
dari ibu yang menderita diabetes melitus atau fenilketonuria memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami celah bibir dan palatum. Telah dilaporkan juga bahwa perkembangan demam lebih
dari 40°C, selama 8 minggu pertama kehamilan berisiko tinggi menyebabkan celah bibir dan
palatum pada janin yang sedang berkembang. Selain itu pecahnya ketuban dini dapat sangat
mengganggu perkembangan intrauterin janin yang menyebabkan anomali janin yang berbeda
termasuk celah bibir dan palatum.
Perkembangan Celah Bibir dan Palatum

Pengetahuan tentang perkembangan embriologi bibir dan palatum yang normal sangat

penting untuk memahami dan mengelola celah bibir dan palatum. Wajah dibentuk oleh

perpaduan sejumlah proses embrionik. Pada minggu ke-4 kehidupan intrauterin, lima brachial

arches berkembang di lokasi yang nantinya akan terbentuk leher. Kompleks nasomaksilla

terbentuk melalui perkembangan lengkung branchial pertama (lengkung mandibula). Batas atas

stomodeum (rongga mulut primitif) berasal dari prominensia frontal berukuran besar. Mulut

primer dipisahkan dari usus oleh membran bukofaringeal. Ujung dorsal lengkung mandibula

yang sedang berkembang mengeluarkan bud yang disebut prosesus maksilaris dengan

pembentukan lubang nasal. Satu media dan dua lateral prosesus nasal terbentuk sebagai prosesus

frontonasal. (Zreaqat et al., 2017)

Proses perkembangan embriologi. (Zreaqat et al., 2017)

● Perkembangan palatum primer (bibir atas dan premaksila)

Prosesus maksila mengalami pertumbuhan yang cepat antara minggu ke-5 dan ke-6

kehidupan intrauterin. Pada minggu ke-7, maksila serta prosesus nasal lateral dan media menyatu

membentuk segmen intermaksila dengan komponen labialnya membentuk filtrum bibir atas

sedangkan komponen palatal triangular membentuk insisif maksila dan memanjang ke belakang
ke foramen insisivus. Hasilnya terbentuk bibir atas dan maksila. Celah bibir dapat terjadi karena

proliferasi yang tidak adekuat antara maksila dan prosesus nasal media. (Zreaqat et al., 2017)

● Perkembangan palatum sekunder

Sisa dari kubah palatum membentuk palatum keras dan lunak, yang terbentuk dari

palatum sekunder. Pada minggu ke-6 kehidupan intrauterin, kubah palatum terbentuk dari

permukaan media prosesus maksila. Kubah palatum akan tumbuh ke media dan ke bawah, lateral

lidah terangkat pada minggu ke-7, dan lebih menonjol di regio anterior dan menyebabkan

pertumbuhan mandibula. Lidah memainkan peran penting dalam pencegahan awal penyatuan

kubah palatum. Akibat lidah, kubah tumbuh vertikal ke bawah. Pada minggu ke-8 kehidupan

intrauterin, kubah palatum mendekati satu sama lain. Akibatnya, epitel terkait berdegenerasi dan

mesenkim dari kedua kubah bergabung di garis tengah. Penutupan akhir dengan fusi selesai pada

minggu ke-10 dan biasanya terjadi sedikit lebih lambat pada pria daripada wanita. Kegagalan

penyatuan kubah maksila satu sama lain dan dengan prosesus frontonasal menghasilkan celah

palatum. (Zreaqat et al., 2017)

Manajemen Celah Bibir dan Palatum

Tujuan:

1. Memperbaiki penampilan dan kesimetrisan wajah

2. Membangun perkembangan bicara normal pasien


3. Oklusi normal
4. Meningkatkan pendengaran normal
5. Meningkatkan dukungan psikologis

Komponen perawatan deformitas celah:

1. Mengembalikan struktur dan fungsi anatomi

2. Menyesuaikan pertumbuhan dan perkembangan rahang dan gigi


3. Mengembalikan susunan gigi geligi dan fungsi oral

Pasien yang akan dilakukan operasi celah bibir dan palatum harus memenuhi persyaratan
yang disebut Rules of ten, yang mencakup berat badan anak harus 10 pounds (5 kg), leukosit
10.000, berusia 10 minggu, dan hemoglobin 10 gr/dl. Operasi celah bibir dan palatum dilakukan
pada saat usia 3-6 bulan, dan memerlukan waktu 12-18 bulan untuk penyembuhan celah bibir
dan palatum.

1.1 Pertimbangan Dokter Gigi

1.1.1 Tindakan Dokter Gigi Umum Sebelum Pasien Dewasa

Tindakan Tujuan

Pemeriksaan Rutin - Mempromosikan hubungan yang baik dan


mencegah rasa takut ke dokter gigi
- Mengawasi pertumbuhan gigi pasien

Oral Hygiene Instruction Mengedukasi pasien mengenai penyakit pada


mulut yang dapat terjadi pada pasien celah
bibir dan palatum

Saran Diet Mencegah penyakit mulut

Aplikasi Fluor Varnish 2% NaF Menetapkan kebiasaan baik pada mulut

Fissure Sealant Gigi Molar Mempertahankan keadaan gigi susu hingga


mengalami eksfoliasi

Perawatan Gawat Darurat Menangani trauma, nyeri, infeksi atau rujukan


mendesak bila diperlukan

Rujukan ke RSGM/Ortodontis - Perawatan pada pasien tidak


kooperatif
- Keterlibatan ortodontis saat anak
masuk ke periode gigi campuran

1.1.2 Tindakan Dokter Gigi Umum Saat Pasien Dewasa

Tindakan Tujuan

Pemeriksaan rutin Pemeriksaan rutin dapat dilakukan untuk


pencegahan, serta perawatan sebelum, saat,
dan sesudah rujukan.

Perawatan elektif pada penyakit Dokter gigi dapat melakukan perawatan


elektif dengan harapan stabilisasi penyakit
sebelum dilakukan rujukan

Implan Perawatan preventif, skeling, pemeriksaan


radiografi rutin, dan rujukan ulang bila
diperlukan

Crown dan bridge Perawatan preventif dan pemeliharaan pada


gigi geligi serta rujukan ulang bila diperlukan

Perawatan prostodonsia lepasan Pada perawatan ini, dokter gigi memberikan


perawatan untuk membersihkan gigi tiruan,
memeriksa jaringan lunak, dan rujukan ulang
untuk penggantian gigi tiruan

Perawatan gawat darurat Perawatan gawat darurat meliputi perawatan


pertama untuk infeksi pada daerah celah
termasuk ekstirpasi gigi pulpitis/nekrotik,
rujukan untuk rencana perawatan apabila
dibutuhkan

Tindakan Pra - Bedah


1. Nasoalveolar molding

Nasoalveolar molding berfungsi untuk mempermudah anak saat makan, meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan palatum, menormalkan posisi lidah yang kemudian

dapat mempermudah proses bicara, mengurangi ukuran celah sehingga dapat

meminimalisir operasi yang ekstensif, meningkatkan estetik, dan memberikan dampak

psikologis positif pada orang tua.

Nasoalveolar molding

2. Latham Appliance

Alat ini dapat digunakan sebelum operasi dan telah terbukti sukses dalam melakukan

ekspansi dan menyesuaikan maksila, menyesuaikan bilateral alveolar ridge, dan

mengurangi tekanan pada surgical closure. Latham appliance dapat dipasang saat usia

pasien berusia 5 minggu.


Latham appliance

3. Lip taping

Alat ini dapat digunakan untuk persiapan pembedahan celah bibir dan palatum. Lip

taping dapat digunakan dengan kombinasi intraoral mouth plates, tape dapat dipasang

pada pipi untuk memberikan tekanan eksternal pada alveolar molding. Tekanan elastis

pada lip tape dapat memundurkan premaksila yang mengalami protrusi.

Lip taping

Tindakan Bedah

1. Bedah Primer

Bedah Primer berfungsi untuk menutup celah, mengembalikan struktur dan fungsi
anatomi dan jaringan yang terlibat. Sebelum operasi perlu diperhatikan syarat untuk
dilakukan operasi, yaitu “Rule of 10”, terdiri dari kadar hemoglobin 10, kadar hematokrit
minimal 30%, berat minimal 10 pounds, dan usia minimal 10 minggu.

Prosedur Usia

Bedah Celah Bibir 10 minggu

Bedah Celah Palatum untuk 9-18 bulan


perkembangan bicara & pertumbuhan
maksila

Pharyngeal flap / pharyngoplasty 3-5 tahun

Rekonstruksi maxilla/alveolar dengan 6-9 tahun sesuai pertumbuhan gigi


bone grafting

Bedah Ortognatik Perempuan: 14-16 tahun


Laki-laki: 16-18 tahun

Rhinoplasty Setelah 5 tahun → setelah pertumbuhan


tulang → setelah bedah ortognatik

Revisi bibir Remodelling dapat dilakukan kapan saja


dan pertumbuhan maturasi
Tabel usia anak saat dilakukan intervensi bedah primer dan sekunder
A. Labioplasty
Labioplasty bertujuan untuk merekonstruksi bibir fungsional dengan
bekas luka minimal dan penampilan yang normal. Waktu perbaikan bibir
biasanya pada 3 sampai 6 bulan setelah lahir.
1. Teknik Millard/Rotation Advancement (1957)
Konsep yang digunakan yaitu lateral flap advancement pada
bagian atas bibir dengan rotasi ke bawah elemen segmen medial untuk
mengembalikan ketinggian bibir vertikal. Teknik ini mempertahankan
kedua cupid bow dan filtrum dengan keuntungan menempatkan penutupan
celah di bagian dasar ala nasi. Lakukan perbandingan jarak antara allar
base dan sisi yang memiliki celah dengan sisi yang tidak terdapat celah.
Langkah-langkah teknik Millard:
- Tentukan area operasi
- Flap segiempat di vermillion celah medial dan lateral, lalu
menyatukan mukosa
- Penjahitan dengan benang non absorbable melewati kartilago
septum pada sisi yang tidak terdapat celah melewati m. orbicularis
oris
- Penjahitan pada bagian otot bibir medial dan lateral dengan teknik
interrupted suturing

Gambar 1. Labioplasty dengan teknik Millard

2. Teknik Tennison (1952)

Teknik Tennison menggunakan flap triangular dari lateral menuju sudut


sisi medial dari celah di atas batas vermillion, melintasi column philtral hingga
puncak cupid. Teknik ini dapat menghasilkan bentuk bibir yang baik namun
jaringan parut kurang alami.

Gambar 2. Labioplasty dengan teknik Tennison-Randall


3. Teknik Veau III (Straight Line)

Teknik ini merupakan teknik paling sederhana dan digunakan untuk celah
bibir minimal.

Gambar 3. Labioplasty dengan teknik Straight Line

B. Palatoplasty
Berbagai teknik dapat digunakan untuk perbaikan cleft palate, tergantung
celah pada palatum primer atau sekunder, lebar celah, dan berkaitan dengan
gangguan pertumbuhan wajah bagian tengah.
1. Von Langenback

Teknik ini dilakukan dengan membentuk insisi bilateral dan mukoperiosteum


dielevasi untuk menyelesaikan penutupan lapisan hidung (nasal), otot, dan mulut (oral).

Gambar 7. Palatoplasty dengan teknik von Langenback

2. Pushback V-Y (Kilner & Wardill)

The Veau-Wardill-Kilner atau VY pushback palatoplasty merupakan modifikasi


dari teknik von Lagenback dan digunakan untuk meningkatkan panjang palatal dan
mobilitas palatum lunak untuk meningkatkan kompetensi velopharyngeal.
Gambar 8. Palatoplasty dengan teknik pushback V-Y2

3. Two Flap

Biasanya digunakan untuk celah lengkap unilateral atau bilateral. Flap hidung
pertama-tama didekatkan kembali untuk menutupi celah, diikuti oleh flap mukosa
mulut. Teknik ini dibatasi oleh ketidakmampuan untuk menambah panjang langit-langit.

Gambar 9. Palatoplasty dengan teknik two flap

4. Furlow Double Opposing Z-Plasty

Teknik ini digunakan untuk memperbaiki palatum lunak. Teknik ini memberikan
kekuatan pada palatum dan merekonstruksi otot.

Gambar 10. Palatoplasty dengan teknik furlow double opposing z- plasty

2. Bedah Sekunder
Perawatan pada anak-anak dengan celah bibir atau celah palatum bervariasi.
Tujuan dari perawatan adalah untuk mencapai penampilan, cara bicara dan oklusi yang
terbaik. Operasi tambahan yang dapat direkomendasikan untuk anak:

a. Revisi Bibir

Operasi tambahan pada bibir dapat disaranka n untuk meningkatkan


fungsi atau penampilan dari bibir. Luka pada kulit antara hidung dan bibir
rata. Penampilan bibir simetris pada kedua sisi. Tujuan dari operasi ini untuk
menjadikan bibir tampak normal.

b. Operasi graft tulang celah alveolar

Tulang dibutuhkan pada rahang atas di bawah gusi agar gigi-gigi


permanen dapat erupsi, akarnya berkembang dan sehat. Operasi dilakukan ketika
usia anak 8 hingga 10 tahun.

c. Dynamic Sphincter Pharyngoplasty/Palatoplasty

Bicara normal membutuhkan koordinasi antara otot-otot yang


membentuk velopharyngeal sphincter (terutama otot palatum lunak dan
nasofaring) untuk mengatur aliran udara antara rongga mulut dan hidung dan
menciptakan kombinasi suara berbasis oral dan nasal. Hal ini disebut dengan
mekanisme velopharyngeal.

Sebagian besar anak yang berhasil menjalani perbaikan celah bibir


langit-langit selama masa bayi (9 sampai 18 bulan) akan mengalami
perkembangan kemampuan bicara yang normal atau menunjukkan kelainan
bicara ringan yang dapat diatasi dengan terapi bicara..

d. Rhinoplasty

Usia prasekolah juga merupakan waktu yang umum bagi orang tua
untuk meminta prosedur korektif sekunder untuk asimetri hidung dengan
prosedur operasi hidung. Rhinoplasty primer yang memadai telah dilakukan dan
tingkat asimetri dalam batas yang diharapkan, setiap prosedur tambahan dapat
memberikan bekas luka tambahan di dalam jaringan hidung. Rhinoplasty
sekunder pada usia pra sekolah, atau pada kelompok usia pra remaja, harus
dilakukan hanya untuk deformitas berat atau nyata yang menyebabkan masalah
tekanan psikologis atau fungsional yang signifikan.

e. Bedah Orthognatik

Pasien yang telah menjalani perbaikan celah bibir langit-langit selama


masa bayi akan sering menunjukkan beberapa derajat keterbatasan
pertumbuhan maksila. Bedah ortognatik dapat dilakukan saat pasien beranjak
dewasa dan wajah serta rahang telah tumbuh sempurna.

3. Feeding Management untuk anak Cleft Lip Palate:

- Anak makan dalam posisi tegak


- Memberi ASI kepada bayi melalui botol khusus. Pemberian ASI secara
langsung tidak direkomendasikan karena anak dengan celah langit dan palatum
tidak dapat menghisap dengan baik.
- Usahakan anak sering bersendawa.
2.3 Kelainan Darah
2.4.1 Hemofilia
a. Definisi
Hemofilia adalah gangguan pembekuan darah herediter yang ditandai dengan perdarahan
yang berlebihan karena terganggunya waktu koagulasi menjadi panjang. Kekurangan faktor anti
hemofilia atau faktor pembekuan darah merupakan penyebab utama terjadinya hemofilia.
b. Epidemiologi
Hemofilia A dengan defisiensi faktor VIII adalah kondisi yang paling umum ditemukan
dari gangguan perdarahan koagulasi lain yang diturunkan. Kondisi ini terjadi pada sekitar 1 dari
setiap 5000 kelahiran laki-laki. Lebih dari 20.000 orang di Amerika Serikat menderita hemofilia
A. Hemofilia B (penyakit Natal) dengan defisiensi faktor IX, ditemukan pada sekitar 1 dari
setiap 30.000 kelahiran laki-laki. Sekitar 80% dari semua kelainan koagulasi genetik adalah
hemofilia A dan 13% adalah hemofilia B. (James W. Little)
c. Etiologi
Hemofilia adalah kelainan perdarahan bawaan yang disebabkan karena kekurangan atau
disfungsi faktor pembekuan VIII atau faktor IX. Kekurangan faktor pembekuan VIII biasanya
ditemukan pada hemofilia A dan kekurangan faktor IX ditemukan pada hemofilia B. Hemofilia
C mengacu pada kekurangan faktor pembekuan XI. Diperkirakan setidaknya ada 400.000
penderita hemofilia secara global. (Vaughan J) Baik hemofilia A dan B diwariskan secara X-
linked, dengan laki-laki pembawa gen mutan menderita diatesis perdarahan dan perempuan
menjadi pembawa/ carrier. Meskipun hemofilia memiliki riwayat keluarga yang kuat pada
sebagian besar kasus, sebanyak 30% kasus hemofilia disebabkan oleh mutasi spontan, tanpa
riwayat keluarga sebelumnya. (Vaughan)
d. Klasifikasi
Hemofilia dapat diklasifikasikan menjadi hemofilia A, B dan C. Hemofilia A adalah jenis
hemofilia yang paling umum. Hemofilia A merupakan kelainan perdarahan bawaan yang
berhubungan dengan kurangnya faktor pembekuan VIII (antihemophilic factor atau
antihemophilic globulin atau platelet cofactor). Hemofilia A melibatkan gen yang terkait pada
kromosom X dan dapat diturunkan ke anak laki-laki sebagai sifat resesif dari seorang ibu yang
membawa gen tersebut. Oleh karena itu, hemofilia A terjadi hampir jarang ditemukan terjadi
pada laki-laki. Gejala klinis dari kelainan ini dapat timbul secara ringan, sedang, atau berat
tergantung pada jumlah faktor pembekuan dalam darah.
Hemofilia B adalah kelainan perdarahan yang diturunkan terkait dengan kurangnya faktor
pembekuan darah IX (Christmas factor plasma atau thromboplastin component atau platelet
cofactor II). Hemofilia jenis ini adalah jenis yang paling umum kedua setelah hemofilia A.
Perkiraan prevalensi hemofilia B adalah 1 dari 25.000 laki-laki. Seperti hemofilia A, hemofilia B
melibatkan gen yang terjadi pada kromosom X dan diturunkan ke anak laki-laki sebagai sifat
resesif dari seorang ibu yang membawa gen tersebut. Hemofilia B jarang sekali ditemukan
terjadi pada laki-laki. Defisiensi faktor IX secara signifikan mengganggu pembentukan bekuan
dan kontrol perdarahan.
Hemofilia C sangat jarang ditemukan dan masih sedikit informasi terkait kelainan jenis
ini. Ditemukan bahwa walaupun terdapat defisiensi faktor XI (plasma thromboplastin
antecedent) yang besar, kecenderungan untuk berdarah masih cukup sedikit dan kekurangan
jumlah faktor tidak berbanding lurus dengan derajat keparahan penyakit. Hemofilia ini bukan
merupakan kelainan darah turunan namun merupakan kelainan darah yang didapat dan menjadi
penyakit autoimun. Antibodi terhadap faktor VIII atau IX akan terbentuk pada pasien terutama
saat sudah mencapai usia tua. Pada 50% kasus individu dengan hemofilia tidak ditemukan
penyakit atau kejadian lainnya yang dapat diperkirakan sebagai trigger terjadinya penyakit.
e. Gejala Klinis
Presentasi klinis hemofilia terdiri atas perdarahan akut, sinovitis kronis dan artropati
hemofilik. Perdarahan pada hemofilia dapat terjadi secara spontan atau dikarenakan trauma. Ciri
khas hemofilia adalah perdarahan intra-artikular spontan. Sendi yang paling sering terkena
adalah lutut, diikuti pergelangan kaki, siku, dan sendi pinggul. Pendarahan ke dalam otot,
jaringan lunak dan selaput lendir lebih jarang terjadi, tetapi dapat mengancam organ atau nyawa,
misalnya perdarahan intraokular, perdarahan sistem saraf pusat (SSP), dan perdarahan yang
menyebabkan obstruksi jalan napas.
Secara umum terdapat korelasi yang erat antara fenotip perdarahan dan kadar faktor
pembekuan plasma darah, meskipun beberapa pasien menunjukkan adanya perbedaan antara
kadar faktor dan fenotipe klinis. Hemofilia juga dapat diklasifikasikan menjadi fenotipe berat,
sedang dan ringan berdasarkan tingkat faktor pembekuan.
Pendarahan berulang ke dalam sendi dapat menyebabkan kerusakan sinovial yang
berkelanjutan, hipertrofi sinovial, neovaskularisasi, dan perdarahan berulang dari pembuluh baru
dengan kerusakan sinovial lebih lanjut. Kerusakan sinovial yang tidak diobati menyebabkan
kerusakan pada tulang rawan dan permukaan artikular, dengan konsekuensi nyeri sendi dan
akhirnya disfungsi sendi.
Klasifikasi hemofilia

Klasifikasi Level Faktor (%) Fenotipe Perdarahan

Parah <1 Perdarahan spontan tanpa


trauma

Moderat 1-5 Perdarahan pada trauma


hemostatik minor/ luka kecil

Ringan 6-40 Perdarahan pada trauma


hemostatik mayor/ luka besar

a. Diagnosis
Hemofilia dapat didiagnosis lewat penelusuran riwayat perdarahan yang tepat, melakukan
pemeriksaan fisik terarah dan tes koagulasi. Riwayat keluarga dengan pola pewarisan X terkait,
bersama dengan perdarahan intra-artikular, hampir pasti selalu berhubungan dengan hemofilia.
Pemeriksaan klinis dapat menunjukkan bukti perdarahan sendi akut atau komplikasi
perdarahan intra-artikular, seperti sinovitis kronis, kelainan bentuk sendi, dan mobilitas terbatas.
Diagnosis hemofilia harus dikonfirmasi dengan tes koagulasi dan/atau genetik.
Diagnosis hemofilia yang dilakukan oleh dokter gigi dapat ditegakkan dengan
menggunakan empat tes laboratorium klinis untuk menyaring pasien dengan gangguan
perdarahan kongenital: jumlah trombosit, aPTT, PT, dan TT. Jumlah trombosit digunakan untuk
menyaring trombositopenia. Tes aPTT digunakan untuk mengukur status jalur koagulasi intrinsik
dan umum. Tes ini mencerminkan kemampuan darah yang tersisa di dalam pembuluh di area
cedera untuk menggumpal. Kemampuan darah untuk membeku atau menggumpal dapat
diperpanjang pada pasien dengan gangguan koagulasi seperti hemofilia. Jika positif, hasil tes
skrining ini dapat diserahkan ke ahli hematologi untuk dapat menentukan sumber gangguan
perdarahan dan memungkinkan pemilihan tes yang lebih spesifik seperti uji genotipe yang
dilakukan untuk menetapkan sifat mutasi pada gen faktor VIII atau IX. Genotipe selektif dapat
dilakukan untuk menghemat biaya, yaitu dengan melakukan inversi 22 pada hemofilia A yang
merupakan genotipe paling umum yang dapat ditemukan terkait dengan inhibitor.
Pada kasus hemofilia, tes skrining biasanya menunjukkan aPTT yang berkepanjangan, PT
normal, dan jumlah trombosit normal. Langkah selanjutnya adalah mencampur (mixing test)
darah pasien dengan sampel plasma yang terkumpul dan mengulangi aPTT. Jika tes ini normal,
maka faktor spesifik yang hilang diidentifikasi dengan tes spesifik. Jika tes pencampuran tidak
normal, tes aktivitas inhibitor (antibodi terhadap faktor) dilakukan.
b. Penatalaksanaan Dental
Tujuan utama dilakukannya penatalaksanaan pada hemofilia adalah untuk menggantikan
faktor pembekuan darah yang hilang atau untuk menghentikan pendarahan. Golden standard
penanganan hemofilia saat ini secara umum adalah menggunakan infus profilaktik dari faktor
pembekuan darah yang kurang. Clotting Factor Concentrate (CFC) yang berasal dari plasma
darah dan rekombinan saat ini dapat digunakan. Dosis tergantung lokasi perdarahan.
Penatalaksanaan dental untuk pasien dengan kelainan darah seperti hemofilia dapat
diawali dengan konsultasi kepada hematologis untuk menegakkan tingkat defisiensi faktor
koagulan dan menentukan apakah adanya inhibitor faktor tersebut. Pasien dengan hemofilia yang
parah biasanya sudah menunjukan gejala di awal, sehingga karies dan penyakit periodontal
lainnya penting untuk dicegah. Penggunaan fissure sealant dan fluoride serta rekomendasi
perubahan diet, menyikat gigi, flossing, dan perawatan dental rutin dapat dilakukan untuk
meminimalisir kehilangan gigi.
Secara umum, pemberian anestesi lokal merupakan suatu kontraindikasi bagi pasien
hemofilia parah. Jika pasien perlu diberikan anestesi, sebaiknya diberikan secara intrapulpal,
intraligamentary (periodontal) dan injeksi papiler. Injeksi intrakanal dengan epinefrin dapat
membantu untuk mengontrol perdarahan serta aplikasi topikal epinefrin 1:1000 dengan paper
point juga dapat dilakukan. Sedasi dengan diazepam atau analgesia NO2/O2 juga dapat
dilakukan. Biasanya setelah tindakan, pasien dapat diberikan agen dan teknik hemostatik lokal
seperti pressure surgical packs, selulosa teroksidasi dengan larutan trombin bovine,
vasokonstriktor, jahitan, trombin topikal dan penggunaan jenis homeostatik yang dapat diserap.
Setelah packing, soket gigi harus dilindungi dengan splint mekanis untuk mencegah gangguan
pada proses pembekuan darah. Penggunaan agen antifibrinolitik pasca operasi dan kepatuhan
terhadap diet lunak lebih dianjurkan untuk mendukung pemeliharaan bekuan darah. Pemberian
aspirin dan NSAID lainnya pada pasien dengan gangguan perdarahan harus dihindari karena
menghambat fungsi trombosit. Injeksi intramuskular juga harus dihindari karena ada risiko
pembentukan hematoma. Bedah laser tidak dianjurkan karena menyebabkan nekrosis jaringan
dan kemungkinan perdarahan berikutnya.
Perawatan ortodonti dapat diberikan bagi pasien hemofilia, namun ujung kawat yang
tajam harus selalu diperhatikan. Bedah periodontal, ekstraksi, root planing, operasi
dentoalveolar, operasi jaringan lunak biasanya membutuhkan penggantian faktor pada pasien
dengan defisiensi faktor koagulan yang parah. Pasien dengan defisiensi faktor VIII ringan dan
tanpa inhibitor dapat menjalani prosedur perawatan gigi seperti scaling, operasi jaringan lunak,
dan ekstraksi tanpa membutuhkan faktor pengganti. Pasien dengan defisiensi faktor VIII moderat
biasanya membutuhkan faktor pengganti terutama untuk tindakan operasi mayor. Pasien dengan
defisiensi faktor VIII berat membutuhkan faktor pengganti untuk seluruh tindakan perawatan
gigi. Faktor pengganti seperti, Tranexamic dapat diberikan secara oral dan IV begitu juga dengan
Cyklokapron (IV) 10 mg/kg yang dapat diberikan sebelum tindakan sebanyak 3 kali sehari jika
dibutuhkan. Lysteda tablet 500 mg dengan dosis 25 mg/kg juga dapat diberikan sebanyak 3-4
kali per hari sebelum tindakan. Dokter gigi juga dapat mengganti obat-obatan tersebut dengan
larutan Tranexamic 5% untuk diberikan sebagai obat kumur yang digunakan selama 2 menit.
Pasien dengan hemofilia harus mendapatkan kontrol ketat selama 24-48 jam pasca tindakan
invasif untuk melihat kontrol perdarahan.

Von Willebrand Disease

Von Willerbrand Disease (VWD) adalah kelainan perdarahan turunan yang ditandai
dengan adanya kerusakan adhesi dan agregasi platelet.

Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin (Hb) di

dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang menurut umur dan jenis

kelamin. Kadar Hb untuk pria anemia yaitu kurang dari 13,5 g/dl, sedangkan kadar Hb pada

wanita kurang dari 12 g/dl. Anemia dapat menimbulkan beberapa gejala klinis. Gejala klinis

anemia dapat berupa lesu, lemah, pusing, mata berkunang-kunang, dan wajah pucat. Faktor yang

dapat menyebabkan anemia adalah perdarahan hebat, kurangnya zat besi dalam tubuh,

kekurangan asam folat, kekurangan vitamin B12 dan C, penyakit malaria, infeksi cacing,

leukemia, penyakit kronis, status gizi, lamanya menstruasi, tingkat pendidikan orang tua, tingkat

pengetahuan, dan tingkat ekonomi.

Manifestasi Oral Pasien Anemia

Manifestasi mulut Iron Deficiency Anemia terdiri dari angular cheilitis (58%), glossitis

(42%), mukosa mulut pucat (33%), kandidiasis mulut (25%), stomatitis apthous recurrent (8%),

erythematous mucositis (8%), dan burning mouth syndrome (8%). Hunter Glossitis merupakan
manifestasi oral paling umum dari defisiensi B12, muncul sebagai bercak merah terang difus/

beefy red patches.

Manajemen Dental Pasien Anemia

Pertama lakukan identifikasi tanda dan gejala anemia pada pasien yang datang. Pasien

yang disuspek anemia harus dirujuk ke dokter atau konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.

Perawatan gigi dapat dilakukan setelah konsultasi dengan primary physician. Prosedur invasif

memerlukan hemostasis yang adekuat. Sebisa mungkin jauhi kehilangan darah berlebih. Lakukan

tindakan kedokteran gigi pencegahan yang meliputi tindakan profilaksis dan edukasi kebersihan

rongga mulut.

2.4.4 Leukemia

Leukemia merupakan sekelompok keganasan hematologi heterogen yang timbul dari

proliferasi disfungsional dari leukosit yang masih berkembang. Berdasarkan kecepatan

proliferasi, leukemia dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Dan berdasarkan asal sel,

leukemia diklasifikasikan sebagai myeloid atau limfoid. Subtipe yang dominan dari leukemia
meliputi leukemia myeloid akut (AML) dan leukemia myeloid kronis (CML), yang melibatkan

myeloid lineage; leukemia limfoblastik akut (ALL), dan leukemia limfositik kronis (CLL) yang

melibatkan rantai limfoid.

Blast merupakan sel darah putih yang belum matang dan disfungsional, biasanya

membentuk 1% sampai 5% dari sel sumsum. Leukemia akut ditandai dengan lebih dari 20%

blast pada apusan darah tepi atau pada sumsum tulang sehingga menyebabkan timbulnya gejala

yang lebih cepat. Sedangkan, leukemia kronis memiliki kurang dari 20% blast dengan onset

gejala yang relatif kronis. Fase akselerasi/blast adalah transformasi leukemia myeloid kronis

menjadi fase akut dengan tingkat blast yang jauh lebih tinggi.

2.4.4.1 Etiologi

Terdapat berbagai faktor risiko genetik dan lingkungan yang terindetifikasi dalam

perkembangan leukemia:

(1) Paparan radiasi pengion dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai subtipe leukemia.

(2) Paparan benzena merupakan faktor risiko leukemia pada orang dewasa, khususnya AML.

(3) Paparan kemoterapi sebelumnya, terutama agen alkilasi dan penghambat topoisomerase

II, meningkatkan risiko leukemia akut di kemudian hari.

(4) Riwayat keganasan hematologi apa pun merupakan faktor risiko untuk selanjutnya

mengembangkan subtipe leukemia lainnya.

(5) Infeksi virus (virus leukemia sel-T manusia, virus Epstein Barr) terkait dengan subtipe

ALL.

(6) Beberapa sindrom genetik (misalnya sindrom Down, anemia Fanconi, sindrom Bloom,

sindrom Li-Fraumeni) dikaitkan dengan peningkatan risiko AML dan ALL.

2.4.4.2 Manifestasi Oral


Manifestasi oral sering terjadi pada pasien leukemia dan dapat muncul sebagai bukti awal

penyakit. Manifestasi tersebut termasuk perdarahan petechial lidah, bibir, posterior palatum

keras dan lunak, hiperplasia gingiva, perdarahan gingiva spontan, ulserasi oral, dan mukosa

pucat. Manifestasi oral pasien leukemia yang dilaporkan dalam literatur adalah perdarahan

spontan dan perdarahan petekie pada gingiva, palatum, lidah atau bibir akibat trombositopenia;

pucat mukosa karena anemia; hiperplasia gingiva yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia.

Ulserasi rongga mulut dapat terjadi akibat neutropenia atau infiltrasi langsung oleh sel-sel ganas.

Pendarahan gingiva dilaporkan menjadi tanda oral awal yang

paling umum pada leukemia akut dan kronis. Kadar jumlah trombosit

yang rendah, umumnya dari 25.000 mm–3 hingga 60.000 mm−3 sudah

cukup untuk menyebabkan perdarahan spontan. Selain itu, prevalensi

trombositopenia lebih tinggi pada pasien dengan leukemia akut

dibandingkan dengan leukemia kronis. Adanya manifestasi oral pada

tampakan awal leukemia lebih sering terjadi pada AML dibandingkan

subtipe lainnya.

Pasien dengan leukemia juga dapat mengalami infeksi virus, bakteri dan jamur berulang,

seperti herpes atau kandidiasis, sebagai akibat dari imunosupresi. Oleh karena itu, pasien AML

sering datang dengan gejala dan tanda pansitopenia, seperti demam, kelelahan, pucat, perdarahan

dan purpura, nyeri tulang dan perut. Dalam praktik kedokteran gigi rutin, mungkin jarang

ditemukan pasien leukemia yang memiliki gejala oral sebagai indikator awal leukemia. Oleh

karena itu, dokter gigi mungkin melewatkan waktu yang tepat untuk merujuk ke ahli hematologi,

yang bisa berakibat fatal.

2.4.4.4 Manajemen Dental


Perawatan kesehatan dasar harus menjadi bagian dari rutinitas pasien selama terapi

antineoplastik dan HSCT untuk menjaga kesehatan mulut yang baik dan mengurangi risiko

infeksi sistemik yang berasal dari mulut. Tujuan perawatan tersebut meliputi pencegahan infeksi,

pengendalian nyeri, pemeliharaan fungsi rongga mulut, dan pengelolaan komplikasi terapi

antineoplastik, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Little dkk. dan Elad dkk. [19] menegaskan bahwa peran dokter gigi harus terjadi pada

tiga momen berbeda:

(1) Evaluasi pra- perawatan antineoplastik dan persiapan pasien

Tujuan dari evaluasi gigi pra-perawatan antineoplastik adalah sebagai berikut:

- Mengidentifikasi dan menghilangkan sumber infeksi yang ada atau potensial, tanpa,

bagaimanapun, meningkatkan komplikasi atau menunda terapi kanker

- Memberikan edukasi kepada pasien atau kerabatnya tentang pentingnya menjaga

kesehatan mulut dalam mengurangi masalah dan ketidaknyamanan mulut sebelum,

selama, dan setelah pengobatan kanker

- Memperingatkan tentang kemungkinan efek terapi antineoplastik di rongga mulut, seperti

mucositis

- Mengidentifikasi masalah spesifik diagnosis leukemia, seperti infiltrat leukemia di

jaringan mulut

(2) Pedoman dan perawatan kesehatan mulut selama perawatan

Tujuan perawatan gigi selama kemoterapi adalah sebagai berikut:

- Menjaga kesehatan mulut yang optimal;

- Mengobati efek samping terapi antineoplastik

- Menekankan kepada pasien pentingnya kesehatan mulut dalam mengurangi


masalah/ketidaknyamanan yang timbul dari kemoterapi.

(3) Perawatan pasca perawatan

Pada fase ini, pasien dianggap sembuh dari leukemia dan tidak memiliki manifestasi oral akibat

penyakit atau kemoterapi, kecuali pasien dengan gejala sisa radioterapi atau anak-anak yang

menerima kemoterapi pada tahap pembentukan gigi, yang dapat menunjukkan area hipoplastik

pada enamel gigi (gangguan mineralisasi) dan perubahan dalam perkembangan akar gigi (yang

terlihat pendek dan berbentuk V).

2.5 Komplikasi Oral Radioterapi

Oral radioterapi merupakan perawatan yang bertujuan untuk membunuh sel-sel

neoplasma pada kasus kanker atau tumor di kepala dan leher. Dosis yang diberikan dapat

menghilangkan sel-sel tumor serta meningkatkan proses pembentukan sel-sel baru. Oral

radioterapi yang dilakukan secara berlebohan dapat mengakibatkan komplikasi. Derajat

keparahan komplikasi tergantung pada dosis radiasi per hari dan kumulatif. Jaringan di rongga

mulut yang sering kali terdampak yaitu mukosa, gigi geligi, tulang alveolar dan rahang, kelenjar

saliva, jaringan pendukung gigi, dan otot mastikasi. Komplikasi oral radioterapi dapat dibedakan

menjadi akut dan kronis. Tipe akut terjadi pada periode awal perawatan yaitu sekitar 2-3 minggu,

sedangkan tipe kronis terjadi pada beberapa minggu hingga tahun pasca perawatan.

Tabel Waktu dan Komplikasi Oral Radioterapi

Waktu Komplikasi

Akut Minggu ke-1 Mual, muntah

Minggu ke-2 Mukositis, disfungsi indra pengecap

Minggu ke-3 Xerostomia


Kronis Kemudian Infeksi (fungal dan bakterial), karies dan nekrosis pulpa,
trismus, nekrosis jaringan lunak, osteoradionecrosis (ORN)

1. Xerostomia

Radiasi akibat radioterapi dapat menyebabkan penurunan fungsi kelenjar saliva

sehingga saliva di dalam rongga mulut menjadi berkurang. Rongga mulut akan terasa

kering sehingga menyebabkan ketidaknyamanan, sulit menelan, makanan terasa lengket,

dan sensasi rasa terbakar ketika makan makanan pedas. Mukosa yang kering dapat

menyebabkan perdarahan, bau mulut, dan munculnya lesi. Aliran saliva yang berkurang

berkisar 50-60% pada minggu pertama pasca radioterapi. Pada keadaan kronis akan

terjadi dalam hitungan bulan hingga tahun.

Xerostomia akibat oral radioterapi dapat ditangani dengan meningkatkan

konsumsi air mineral, menggunakan Chlorhexidine, menghindari alkohol, dan

mengonsumsi obat peningkat aliran saliva seperti Amifostine, Sialogogic, Pilocarpine,

dan lain-lain.

2. Mukositis

Mukositis adalah peradangan pada jaringan mukosa baik pada rongga mulut,

laring, faring, maupun esofagus yang disebabkan oleh radiasi. Perkembangan mukositis

tergantung pada dosis radiasi, lokasi lesi, angulasi sinar, dan kebersihan mulut. Secara

klinis, mukositis digambarkan berupa permukaan mukosa berwarna merah akibat

penipisan epitel dan vasodilatasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan ulserasi,

pengelupasan epitel, dan pengerasan kulit pada bibir. Mukositis oral meningkatkan risiko

perkembangan infeksi sistemik dari infeksi bakteri, jamur, atau virus. Mukositis yang

terjadi pada faring dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan kesulitan menelan.
Mukositis lebih sering terjadi dalam 3 minggu pertama pasca radioterapi dengan

puncaknya pada minggu ke-5 dan dapat bertahan selama berminggu-minggu pasca terapi.

Mukositis dapat ditangani dengan memberikan obat kumur Chlorhexidine,

anestesi topikal seperti Lidocaine 2%, Benzocaine 20%, Mucosal Coating Compounds

seperti Diphenhydramine, mengonsumsi permen karet dengan kadar glukosa rendah, dan

menggunakan pelembab bibir.

Mukositis Oral

3. Infeksi bakteri, jamur, dan virus

Disfungsi kelenjar saliva yang diakibatkan oleh oral radioterapi dapat mengurangi

aliran saliva dapat meningkatkan jumlah bakteri, jamur, atau virus di dalam mulut. Oral

candidiasis merupakan infeksi dari organisme oportunistik yaitu Candida albicans yang

terjadi karena efek radiasi.

Peningkatan bakteri Lactobacillus dan Streptococcus mutans dapat menyebabkan

karies. Rampan karies dapat terjadi antara 2 minggu hingga 10 bulan setelah perawatan

radioterapi oral. Penggunaan obat kumur Sodium fluoride atau Chlorhexidine dapat

digunakan untuk meningkatkan kebersihan rongga mulut.

4. Disfungsi indra pengecap


Kehilangan pengecapan disebabkan oleh penurunan aliran saliva. Pasien akan

merasa kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa manis dan asin. Indra perasa

biasanya akan pulih dalam waktu 2-4 bulan setelah radioterapi. Penanganan kondisi ini

dapat dilakukan dengan pemberian suplemen zinc.

5. Trismus

Sulit membuka mulut menjadi efek lain dari oral radioterapi akibat penurunan

kemampuan otot mastikasi dalam membuka dan menutup mulut. Fibrosis otot pada

umumnya terjadi 3 hingga 6 bulan setelah radioterapi dan bertambah secara progresif

setelah bulan ke-9. Penanganannya dapat dilakukan fisioterapi dengan membuka tutup

menggunakan tongue blade, tekanan jari, atau rehabilitasi pergerakan rahang yang

dinamakan Therabite.

6. Osteoradionekrosis (ORN)

Osteoradionekrosis merupakan komplikasi radioterapi yang melibatkan tulang

pada rahang yang terjadi jika pasien terpapar radiasi lebih dari 50-55 Gy. Risiko terjadi

ORN meningkat jika terjadi trauma, infeksi, kekurangan nutrisi, defisiensi imun,

kemoterapi, komsumsi tembakau dan alkohol. ORN sering terjadi akibat pencabutan gigi

yang dilakukan setelah radioterapi karena dapat menginduksi endarteritis obliterans

sehingga terjadi hipovaskularitas, hipoksia jaringan, destruksi sel pembentuk tulang, dan

marrow fibrosis. Tindakan pencabutan gigi setelah diradiasi dapat ditunda untuk

mencegah ORN. Menjaga kebersihan mulut, penggunaan obat kumur Chlorhexidine, dan

lokal debridemen dapat dilakukan untuk mengontrol tingkat terjadinya ORN. Terapi

antibiotik (tetrasiklin, clindamysin, metronidazole), ultrasonografi, dan terapi oksigen

hiperbarik juga dapat membantu.


Osteoradionekrosis

7. Defek kraniofasial

Defek kraniofasial, hipoplasia enamel, dan erupsi yang terhambat dapat terjadi

akibat paparan radiasi. Anak-anak dengan perawatan kasus neuroblastoma memiliki

risiko yang tinggi untuk perkembangan gigi yang abnormal.

2.5.1 Manajemen Dental pada Perawatan Oral Radioterapi

Perawatan dental dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan radioterapi oral

yang bertujuan untuk mencegah komplikasi.

1. Perawatan dental sebelum oral radioterapi

Kebersihan rongga mulut perlu diperhatikan sebelum dilakukan radioterapi. Gigi

dengan prognosis buruk sebaiknya diekstraksi terlebih dahulu. Jarak waktu ideal untuk

melakukan radioterapi pasca ekstraksi adalah 10-14 hari. Tulang tidak dibiarkan terbuka

ketika radioterapi dimulai karena suplai darah akan rusak akibat radioterapi sehingga

menyulitkan penyembuhan luka.

2. Perawatan dental saat oral radioterapi

Amifostine dapat digunakan untuk melindungi mukosa dan kelenjar saliva

sehingga meminimalkan risiko terjadinya mukositis dan xerostomia. Hindari merokok


dan mengonsumsi alkohol. Penggunaan obat kumur saline dan oral rinses benzydamine

dapat mengurangi mukositis. Penggunaan Chlorhexidine sebagai obat kumur dapat

meningkatkan kebersihan mulut. Karboksilmetilselulosa sebagai saliva stimulan dapat

digunakan untuk mengurangi gejala xerostomia. Trismus dapat dikurangi dengan latihan

membuka rahang dengan bantuan spatula lidah atau therabite yang digunakan tiga kali

sehari.

3. Perawatan dental setelah oral radioterapi

Ekstraksi yang akan dilakukan setelah radioterapi harus dipastikan mengalami

trauma seminimal mungkin dan tulang yang tajam dihilangkan. Pemberian antibiotik

profilaksis dengan dosisi adekuat 24-48 jam sebelum operasi dan dilanjutkan setidaknya

selama 4 minggu. Clindamycin 600 mg dapat menjadi pilihan antibiotik yang digunakan.

Terapi oksigen hiperbarik juga dapat diindikasikan.

2.5 Komplikasi Oral Kemoterapi

Kemoterapi adalah proses pengobatan untuk memperlambat atau menghancurkan

pertumbuhan sel kanker menggunakan obat - obatan. Obat anti kanker dapat diberikan dengan

cara injeksi pembuluh darah, melalui oral atau secara topikal. Kemoterapi dapat menjadi terapi

primer atau kombinasi dengan pembedahan atau radiasi. Kemoradiasi adalah kemoterapi yang

diberikan bersamaan dengan radiasi. Kemoradiasi digunakan untuk terapi kanker yang tidak

meluas tetapi pada stadium lanjut (inoperable). Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi pada

stadium lanjut dapat digunakan untuk mengobati kanker yang terlalu besar atau terlalu jauh

untuk diangkat dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk memperlambat pertumbuhan

kanker selama mungkin dan membantu meredakan gejala.


Kemoterapi adjuvant diberikan setelah operasi dan terkadang dikombinasikan dengan

radiasi. Tujuannya adalah untuk membunuh sel kanker yang mungkin tertinggal saat operasi

karena terlalu kecil untuk dilihat. Terapi ini mencegah terjadinya rekurensi. Kemoterapi

neoadjuvant atau kemoterapi induksi diberikan sebelum operasi dan terkadang diikuti dengan

radiasi. Tujuannya untuk mengecilkan kanker yang lebih besar sehingga operasi menjadi lebih

mudah dan menghilangkan lebih sedikit jaringan. Obat antikanker bersifat sitostatik atau

sitotoksik. Obat sitostatik berfokus pada pemblokiran proliferasi sel tumor, sedangkan obat

sitotoksik berfokus pada penghancuran sel. Obat kemoterapi tidak hanya mempengaruhi sel

kanker dan dapat merusak sel normal sehingga dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi oral

dari kemoterapi yang paling sering ditemukan adalah:

1. Mukositis

Mukositis merupakan inflamasi pada mukosa oral yang biasanya menimbulkan rasa nyeri

dan eritema. Mukositis ditandai dengan adanya infiltrasi sel - sel inflamasi diikuti oleh

kerusakan sel - sel epitel dan ulserasi. Biasanya muncul 4-7 hari setelah injeksi obat dan

hilang 2-4 minggu setelah pengobatan selesai. Obat yang dapat menyebabkan mukositis

diataranya yaitu doxorubicin, bleomycin, fluorouracil, methotrexate dan cisplatin.

2. Infeksi

Neutrofil berjumlah 55-70% dari seluruh sel darah putih yang ada dalam tubuh.

Neutrofil mampu mengidentifikasi dan menghancurkan benda asing. Kemoterapi dapat

mengurangi jumlah neutrofil sehingga menyebabkan neutropenia yang akan mendukung

perkembangan infeksi. Infeksi dapat disebabkan karena bakteri, jamur atau virus.

Infeksi odontogenik karena bakteri pada gigi dan jaringan periodontal yang tidak

segera ditangani bisa menyebabkan nyeri, timbulnya fistula, penyakit periodontal dan
gangguan lain. Infeksi bakteri diantaranya disebabkan oleh bakteri pseudomonas,

klebsiella, escherichia, enterobacter, serratia atau proteus. Infeksi jamur candida atau

kandidiasis merupakan infeksi yang paling sering terjadi dan diakibatkan karena

leukopenia, neutropenia serta penggunaan antibiotik. Infeksi herpes dengan subtipe HSV-

1 paling sering terjadi pada pasien kemoterapi. Infeksi herpes ini dapat menyebabkan ulser

kronis pada mukosa mulut dan kulit.

3. Perdarahan

Obat sitotoksik dapat menekan sumsum tulang dan menyebabkan trombositopenia

sehingga dapat menyebabkan perdarahan seperti perdarahan gingiva, petechiae mukosa

atau ekimosis.

4. Xerostomia

Kemoterapi dapat mengganggu fungsi kelenjar ludah. Fungsi saliva untuk lubrikasi dan

sifat antimikroba menjadi terganggu. Xerostomia ini dapat menyebabkan karies dan

membuat mukosa lebih rentan terhadap trauma atau mukositis.

5. Kelainan perkembangan kraniofasial

Osteonekrosis yaitu kerusakan fungsi osteoklas dan osteoblas yang merupakan sel utama

dalam kesehatan dan perbaikan tulang. Osteonekrosis dapat disebabkan karena trauma,

keganasan atau obat tertentu diantaranya bifosfonat. Bifosfonat merupakan agen

kemoterapi untuk menghentikan metastasis tulang. Anak - anak yang menjalani

kemoterapi pada masa pertumbuhan dapat mengalami anomali gigi seperti hipodontia,

pembesaran ruang pulpa dan malformasi akar.

6. Gangguan pengecapan

Gangguan pengecapan atau disgeusia seringkali terjadi pada pasien yang menjalani
kemoterapi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Pasien seringkali menolak makan

sehingga dapat menghambat proses pemulihan. Gangguan pengecapan terjadi karena

kerusakan saraf kranial (VII,IX,X). Kerusakan pada taste buds disebabkan oleh defisiensi

zat besi dan vit D. Agen kemoterapi yang berperan diantaranya yaitu cisplatin,

doxorubicin, fluorouracil dan levamisole.

2.5.1 Manajemen Dental pada Perawatan Oral Kemoterapi

Semua perawatan gigi pada pasien yang akan dilakukan kemoterapi harus berdasarkan konsultasi

dengan ahli onkologi. Perawatan gigi yang dapat diberikan sebelum, saat dan sesudah

kemoterapi yaitu:

1. Perawatan gigi sebelum kemoterapi

Pemeriksaan menyeluruh atau skrining gigi geligi, pemeriksaan radiografi, evaluasi

periodontal dan endodontik perlu dilakukan sebelum kemoterapi. Menghilangkan semua

sumber inflamasi, membersihkan karang gigi, perawatan endodontik, pencabutan gigi,

pemberian fluoridasi, penggunaan obat kumur klorheksidin dan instruksi untuk menjaga

kebersihan mulut perlu dilakukan sebelum dilakukan kemoterapi.

2. Perawatan gigi saat kemoterapi

Perawatan gigi saat kemoterapi harus dihindari kecuali jika darurat. Fluoridasi dan

penggunaan klorheksidin dapat diberikan selama kemoterapi. Antijamur sistemik dapat

diberikan jika muncul kandidiasis selama kemoterapi.

3. Perawatan gigi sesudah kemoterapi

Perawatan sesudah kemoterapi dilakukan untuk menghilangkan fokus infeksi yang tersisa

serta mengembalikan estetika dan fungsional. Pemberian fluoridasi dan obat kumur

klorheksidin dapat diberikan pada pasien yang telah menjalani kemoterapi. Pembuatan
gigi palsu ditunda sampai 1 tahun setelah kemoterapi. Pencabutan gigi dihindari kecuali

jika darurat dengan pemberian antibiotik 7-15 hari. Diet non kariogenik juga perlu

diperhatikan pada pasien yang telah menjalani kemoterapi. Kontrol rutin ke dokter gigi

setiap 3 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Chennamadhavuni A, Lyengar V, Mukkamalla SKR, et al. Leukemia. [Updated 2022 Nov 23].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560490/

Rosa BPP, Ito FA, Trigo FC, Mizuno LT, Junior AT. Oral Manifestation as the Main Sign of an
Advanced Stage Acute Promyelocytic Leukemia. Acta Stomatol Croat. 2018 Dec;52(4):358-362.
doi: 10.15644/asc52/4/10. PMID: 30666067; PMCID: PMC6336446.

Zimmermann, C., Meurer, M. I., Grando, L. J., Gonzaga Del Moral, J. ., da Silva Rath, I. B., &
Schaefer Tavares, S. (2015). Dental Treatment in Patients with Leukemia. Journal of Oncology,
2015, 571739. https://doi.org/10.1155/2015/571739

Weinberg, M. A., Segelnick, S. L., & Kye, W. (2011). Dental complications of head and neck
cancer radiotherapy. US Pharm, 36(9), 3-7.

Hancock, P.J (2003). Oral and dental management related to radiation therapy for head and neck
cancer. J Can Dent Assoc, 69(9), 585-90.

Sroussi, H. Y., et al. (2017). Common oral complications of head and neck cancer radiation
therapy: mucositis, infections, saliva change, fibrosis, sensory dysfunctions, dental caries,
periodontal disease, and osteoradionecrosis. Cancer medicine, 6(12), 2918-2931

Scully, C., Dios, P. D., & Kumar N. Special care in dentistry: Handbook of oral health care.
2007.

Poulopoulos A, Papadopoulos P, Andreadis D. Chemotherapy: oral side effects and dental


interventions -a review of the literature. Stomatological Disease and Science. 2017; 1:35-49.
http://dx.doi.org/10.20517/2573-0002.2017.03

Zreaqat MH, Hassan R, Hanoun A. Cleft Lip and Palate Management from Birth to Adulthood:
An Overview. Insights into Var Asp Oral Heal. 2017;(December).

Zreaqat, Maen Hussni; Rozita Hassan; Abdulfattah Hanoun. 2017. Insights Into Various Aspects
of Oral Health. Cleft Lip and Palate Management from Birth to Adulthood: An Overview.
Hafiz A, Irfandy D, Rahman S, Rahmadona R. Labioplasti dengan Teknik Millard dan Tennison
Randall. J Kesehat Andalas. 2017;6(2):469.

Dewi PS. Management of Cleft Lip and Palate (Literature Review). Interdental J Kedokt Gigi.
2019;15(1):25–9.

Gallagher N. A general dental practitioner’s role in treating patients with a cleft lip and/or palate.
Br Dent J. 2020;228(1):19–21.

Alli N, Vaughan J, Louw S, Schapkaitz E, Mahlangu J. Inherited bleeding disorders. South


African Medical Journal. 2018 Jan 1;108(1):9–15.

James W. Little. Dental Management of The Medically Compromised Patient. In: Dental
Management of the Medically Compromised Patient. Elsevier; 2013. p. 1–617.

Anda mungkin juga menyukai