Disusun oleh:
OS 205
Pembimbing:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa oleh karena berkat rahmat
dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Departemen Bedah Mulut dengan judul
“Special Care Dentistry”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Dian Maifara Putri, Sp.BM selaku pembimbing
yang telah membimbing dan membantu dalam penyusunan makalah ini hingga selesai. Apabila
terdapat kesalahan dalam penyusunan maupun isi dan penyampaian dari makalah ini, penulis
mengucapkan permohonan maaf. Kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Special care dentistry merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang
menyediakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut bagi orang-orang tertentu yang memiliki
keterbatasan fisik, medis, sensorik, intelektual, ataupun kognitif yang membatasi kemampuan
mereka untuk menerima perawatan gigi dan mulut secara rutin (special care patients). Tujuan
utama adanya special care dentistry adalah untuk memfasilitasi tercapainya kesehatan gigi dan
seseorang untuk melakukan suatu aktivitas dalam rentang yang dianggap normal sebagai
manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Bersinggungan dengan itu, WHO mendefinisikan
impairment sebagai kehilangan atau kelainan struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau
anatomis, serta WHO juga mendefinisikan handicap sebagai ketidakberuntungan individu yang
disebabkan adanya disability atau impairment yang menghalangi terpenuhinya peran yang
dianggap normal (bergantung pada usia, jenis kelamin dan faktor sosial dan budaya) bagi
individu tersebut.
Para aktivis gerakan disabilitas beranggapan bahwa definisi-definisi tersebut tidak dapat
menggambarkan implikasi fisik dan sosial yang terjadi akibat adanya disabilities maupun
impairment. Maka dari itu, para aktivis sepakat untuk berpendapat bahwa impairments
merupakan keterbatasan fisik maupun kognitif yang mungkin terjadi pada seorang individu,
sedangkan disabilities merupakan keterbatasan atau pembatasan yang berlaku secara sosial yang
Penyebab terjadinya disabilitas pada individu secara umum dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar berdasarkan waktu terjadinya proses yang menyebabkan disabilitas. Kedua
1. Developmental disabilities
Disabilitas yang terjadi akibat adanya impairments selama masa perkembangan individu,
yaitu sejak individu lahir hingga berusia 18 tahun. Beberapa contoh penyebab yang
termasuk dalam kategori developmental disabilities antara lain infeksi intra-uterin, defek
metabolik, fetal alcohol syndrome, kelainan kromosom, birth hypoxia, autisme, cerebral
2. Acquired disabilities
Disabilitas yang terjadi akibat adanya gangguan yang bertahan setelah masa
disabilities antara lain cedera otak traumatis, kerusakan sumsum tulang belakang,
Americans with Disabilities Act (ADA) 1990 merupakan badan hukum federal yang
melarang diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang sedang mencari akses ke pelayanan
masyarakat, termasuk diantaranya akses terhadap pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Disability Discrimination Act 1995 (DDA) mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai
seseorang yang memiliki gangguan fisik atau mental dengan dampak yang merugikan secara
dalam jangka panjang pada kemampuannya untuk melakukan kegiatan-kegiatan normal dalam
memperlakukan penyandang disabilitas dengan kurang baik karena alasan yang berkaitan dengan
Disability Rights Commission (DRC) di Inggris merupakan sebuah badan independen yang
didirikan pada bulan April tahun 2000 oleh Undang-undang Parlemen untuk memberhentikan
Pihak penyedia layanan wajib untuk memperlakukan penyandang disabilitas secara sama rata
serta tidak melakukan diskriminasi dengan cara menolak memberikan fasilitas atau layanan yang
baik atau memberikan mereka perawatan standar yang lebih rendah atau dengan cara yang lebih
buruk, atau menawarkan layanan dengan persyaratan yang lebih buruk daripada yang seharusnya
Kedokteran gigi di Inggris per tanggal 1 Oktober 2004 diharapkan untuk menghapus,
mengubah, atau menyediakan sarana untuk menghindari fitur fisik yang membuat penyandang
disabilitas tidak mungkin atau secara tidak wajar sulit untuk menggunakan layanan umum.
2. Pendekatan dan akses jalan yang landai untuk keluar masuk gedung
6. Tenaga medis gigi harus merawat penyandang disabilitas dengan dasar yang sama
dengan non-penyandang
7. Tenaga medis gigi harus berkomunikasi sedemikian rupa sehingga pasien dapat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Hambatan
Hambatan untuk perawatan kesehatan mulut untuk orang dengan kebutuhan khusus
dapat diklasifikasikan dengan ilustrasi peranan profesi kedokteran gigi dan interaksinya dengan
● Individu
- Pertimbangan finansial
- Kurangnya akses
- Pelatihan yang kurang tepat dengan kebutuhan dan tuntutan yang ada
● Masyarakat
● Pemerintah
Edukasi mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut serta bagaimana hal tersebut
dapat memberikan efek yang positif kepada kesehatan secara umum adalah kunci keberhasilan
untuk menghilangkan hambatan ini serta untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gigi dan
mulut untuk pasien berkebutuhan khusus. Edukasi tersebut harus diberikan kepada individu itu
2.1.2 Tujuan
Tujuan utama dari special care dentistry ini yaitu memfasilitasi tercapainya kesehatan
mulut yang baik. Terdapat lima tujuan penting saat memberikan perawatan kesehatan mulut
adalah :
1. Memungkinkan pasien untuk dapat menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sendiri, dengan
2. Menjaga pasien agar terbebas dari rasa sakit dan penyakit akut
4. Mempertahankan estetika
5. Tidak membahayakan
2.1.3 Pihak yang terlibat
Dokter gigi disini sebagai pemimpin tim, dental care professionals merupakan komponen
yang penting untuk keberhasilan penyediaan perawatan. Selain itu, perawatan juga dapat
3. Pengunjung Kesehatan
4. Dokter Umum
7. Rekan sejawat di bidang pediatrik, bedah mulut, oral medicine, periodontik, endodontik,
daya yang lebih efektif, menghasilkan respons yang lebih kreatif terhadap masalah yang
pendekatan baru untuk pembelajaran dan praktik klinis, dan menghasilkan rencana perawatan
yang praktis dan tepat. Kemudian, keterlibatan profesional lain memastikan bahwa mereka
menghargai pentingnya perawatan kesehatan mulut dan hubungannya dengan kesehatan umum,
dan menghilangkan kesalahpahaman bahwa penyakit mulut dan kehilangan gigi adalah
mulut yang tepat, membutuhkan riwayat medis, gigi, keluarga, dan sosial, menentukan
perawatan gigi dan mulut yang dibutuhkan pasien, informed consent untuk setiap
investigasi yang mungkin diperlukan, dan informed consent untuk hasil rencana
perawatan.
● manajemen penyakit mulut saat ini – ini mungkin termasuk manajemen darurat
● pemeriksaan mulut secara teratur – frekuensi pemeriksaan ini harus dinilai secara
1) Riwayat Medis
perawatan kesehatan gigi dan mulut. Riwayat medis yang rinci sangat penting untuk
menentukan efek pada kesehatan mulut, menilai kebugaran pasien untuk prosedur
perawatan gigi, memutuskan jenis perilaku dan kontrol nyeri, memutuskan bagaimana
yang mungkin timbul, dan menentukan kemungkinan risiko apapun terhadap staf atau
pasien serta pengunjung yang lain. Riwayat harus ditinjau sebelum prosedur bedah,
2) Penilaian pre-operatif
American Society of Anesthesiology (ASA). Menurut pedoman saat ini, perawatan gigi
harus dimodifikasi secara signifikan jika pasien memiliki skor ASA III atau IV.
3) Perencanaan pre-operatif
● Menyusun rencana perawatan yang terdiri dari fase preoperative, operatif, dan
postoperative
pada pasien penyandang disabilitas, sehingga morbiditas akan minimal ketika anestesi
lokal digunakan. Sedasi lebih berbahaya daripada anestesi local dan harus dilakukan
oleh personil yang cukup terlatih dan dengan pertimbangan risiko yang mungkin terjadi.
Anestesi umum (GA), baik intravena atau inhalasi, menyebabkan gangguan kontrol
fungsi vital dan dengan demikian hanya dilakukan oleh ahli anestesi yang
berkualifikasi, dan hanya diizinkan di rumah sakit dengan fasilitas yang sesuai.
2.1.5. Persetujuan
perawatan mengungkapkan informasi yang tepat kepada pasien yang kompeten sehingga
pasien dapat membuat pilihan secara sukarela untuk menerima atau menolak perawatan.
Persetujuan dalam bidang kedokteran gigi dapat dilakukan dalam bentuk informed
consent. Informed consent merupakan persetujuan tersurat atau tersirat dari pasien untuk
adalah meminta persetujuan sebelum melakukan pemeriksaan atau perawatan pada pasien
dewasa yang kompeten untuk membuat keputusan. Orang dewasa yang kompeten, yaitu
seseorang yang berusia 18 tahun atau lebih yang memiliki kapasitas untuk membuat
Terdapat tiga kriteria dasar yang dibutuhkan dalam persetujuan, yaitu pasien
harus kompeten, diinformasikan secara memadai, dan tidak dipaksakan. Pasien harus
memiliki kapasitas untuk dapat memahami dan menilai informasi yang diberikan,
harus dapat menyediakan informasi yang memadai, minimal berupa diagnosis, prosedur
dengan resiko, manfaat, dan alternatifnya, beserta manfaat dan resikonya, termasuk jika
harus mencakup:
Percakapan dengan pasien yang terjadi saat membahas informasi medis ini perlu
dan ketika pasien tidak kompeten. Persetujuan dapat tertulis, lisan atau non-verbal. Tanda
persetujuan itu valid, namun inti penggunaan formulir adalah untuk merekam keputusan
Kondisi rongga mulut yang sehat penting untuk menjaga kualitas hidup
penyandang disabilitas karena kebutuhan signifikan yang belum terpenuhi pada banyak
penyandang disabilitas dan perawatan yang ditawarkan tidak selalu sesuai dengan
kebutuhan orang lain. Sebagian besar penyakit mulut disebabkan oleh seringnya
konsumsi karbohidrat olahan dalam makanan yang menyebabkan karies gigi atau
penghilangan plak bakteri gigi yang tidak memadai sehingga terjadi radang gusi,
periodontitis dan halitosis. Pemeriksaan gigi dan mulut secara teratur sangat penting dan
Poin utama dari rencana perawatan kesehatan gigi dan mulut untuk pasien
kesehatan lainnya untuk setiap kasus, menetapkan pola makan yang baik dalam
hubungannya dengan ahli gizi karbohidrat, gula, dan camilan di antara waktu makan
Gigi harus dibersihkan setidaknya dua kali sehari menggunakan pasti gigi
berfluoride dan sikat gigi kecil. Jika pasien tidak dapat berkumur dan meludah, gunakan
gel klorheksidin (glukonat) sebagai pengganti pasta gigi dan beberapa alat bantu yang
tersedia untuk membantu pasien atau pengasuhnya untuk menjaga kebersihan gigi. Ada
beberapa alat bantu yang tersedia untuk membantu pasien atau pengasuhnya untuk
menjaga kebersihan gigi, seorang ahli kesehatan gigi dapat membantu dalam memberikan
saran dan dukungan, dan gigi palsu harus dinilai kesesuaian dan kenyamanannya agar
tidak bergesekan yang menyebabkan ketidaknyaman dan ulserasi, pada malam hari, gigi
palsu harus dibersihkan dengan sikat gigi dan dibiarkan terendam di air semalaman.
membutuhkan fasilitas khusus atau pendamping untuk memudahkan perawatan gigi. Pada
pasien yang menggunakan kursi roda, serta perawatan dan konsultasi rujukan oleh
tidak hanya bergantung pada keterampilan dan pengalaman tim yang terlibat, tetapi juga
pada : Jenis dan tingkat keparahan penyakit, pengobatan dan komplikasi, jenis kontrol
nyeri atau manajemen perilaku yang diperlukan, tingkat dan durasi operasi, penilaian
potensial.
Pasien dengan autism, down syndrome, atau ketidakmampuan belajar lainnya, biasanya
membutuhkan dukungan perilaku. Hal ini dibutuhkan terutama saat melakukan prosedur yang
rumit, yaitu ketika kondisi medis, psikologis, atau perilaku pasien tidak dapat dilakukan secara
normal. Perilaku menuntut, manipulatif dan resisten dapat terlihat, terutama pada beberapa
pasien psikiatri dan pasien dengan dimensia atau ketidakmampuan belajar. Keluarga, pasangan
atau pengasuh harus dikonsultasikan untuk membantu mempersiapkan pasien tersebut untuk
perawatan.
Beberapa strategi manajemen perilaku adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan ketenangan lingkungan yang santai dan penuh empati
2. Penjadwalan pada waktu yang tepat
3. Teknik modifikasi perilaku :
a. Desensitisasi (dapat efektif pada beberapa orang dengan kecemasan)
b. Dukungan positif
c. Kontrol suara
d. Distraksi melalui musik atau televisi
e. Intervensi fisik atau kimia (jarang dilakukan)
f. Penggunaan anestesi lokal dan/atau anestesi umum
Intervensi fisik adalah setiap metode manual, perangkat fisik atau mekanik, bahan, atau peralatan
yang melumpuhkan atau mengurangi kemampuan pasien untuk menggerakkan lengan, kaki,
tubuh, atau kepalanya secara bebas. Penggunaan perangkat seperti penyangga mulut, selimut, tali
pengikat, papan papoose, pedi-wraps, dan pita adalah dikategorikan sebagai intervensi mekanik
di bawah intervensi fisik.
Intervensi kimia adalah obat atau medikasi, bila digunakan sebagai pembatasan untuk
mengatur perilaku pasien atau membatasi kebebasan bergerak pasien, dan bukan merupakan
pengobatan atau dosis standar untuk kondisi pasien. Antara obat yang digunakan adalah obat
penenang atau anestesi umum. Ada beberapa pertimbangan untuk penggunaan intervensi kimia
seperti yang tertera di bawah:
Conscious sedation (CS) atau sedasi kesadaran membutuhkan tim yang terlatih dan
peralatan pemantauan yang tepat, dengan kemampuan untuk merespons komplikasi. CS bisa
menjadi modalitas yang sangat efektif dan aman, sekaligus mungkin mengecewakan karena
mungkin tidak terlalu disukai bagi beberapa orang tua pasien, dibandingkan dengan GA (General
Anaesthesia)
A. Prinsip Intervensi
B. Nilai Intervensi
2. Pasien harus diperlakukan secara adil dan dengan kesopanan dan rasa hormat.
3. Pasien harus dibantu untuk membuat pilihan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
4. Harus ada pengalaman dan kesempatan belajar yang sesuai dengan minat dan kemampuan
pasien.
2. Interaksi antara kondisi pengaturan lingkungan dan kondisi pengaturan pribadi harus
dieksplorasi untuk setiap pasien yang terlibat. Kondisi pengaturan harus dimodifikasi untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya perilaku yang menantang (pencegahan primer).
3. Prosedur pencegahan sekunder harus dikembangkan untuk memastikan bahwa permasalahan
tersebut dikelola dengan baik melalui intervensi non-fisik sebelum pasien memberontak.
4. Untuk setiap pasien yang menjadi tantangan, harus ada strategi individual untuk menanggapi
insiden kekerasan dan perilaku sembrono. Jika sesuai, strategi harus mencakup arahan untuk
menggunakan intervensi fisik.
5. Prosedur individual harus ditetapkan untuk menghadapi pasien yang cenderung menunjukkan
perilaku kekerasan atau sembrono. Prosedur harus memungkinkan staf perawatan untuk
merespons secara efektif terhadap perilaku kekerasan atau sembrono sambil memastikan
keselamatan semua pihak.
1. Intervensi fisik hanya boleh digunakan dalam hubungannya dengan strategi lain yang
dirancang untuk membantu pasien mempelajari perilaku alternatif yang tidak menantang.
Potensi bahaya yang terkait dengan penggunaan intervensi fisik harus dieksplorasi secara
sistematis menggunakan prosedur penilaian risiko. Intervensi fisik tidak boleh melibatkan risiko
yang tidak masuk akal.
F. Meminimalkan Resiko dan Mensejahterakan Pasien
1. Intervensi fisik harus dilakukan dengan menggunakan dukungan minimum yang masuk akal.
2. Setiap intervensi fisik tunggal harus dilakukan untuk durasi waktu minimum.
3. Untuk pasien individu, intervensi fisik harus disetujui untuk periode waktu terpendek yang
konsisten dengan kepentingan terbaik pasien.
4. Intervensi fisik tidak boleh menyebabkan rasa sakit.
5. Pasien harus menjalani penilaian individu untuk mengidentifikasi kontraindikasi intervensi
fisik sebelum disetujui.
6. Pasien yang menerima intervensi fisik harus secara rutin dinilai untuk tanda- tanda cedera
atau tekanan psikologis.
2. Penggunaan prosedur apapun harus diatur dengan jelas dalam bentuk pedoman tertulis bagi
staf.
3. Manajer layanan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua insiden yang
melibatkan penggunaan intervensi fisik dicatat dengan jelas, komprehensif dan segera.
4. Semua pasien dan keluarga serta perwakilannya harus memiliki akses yang siap untuk
prosedur pengaduan yang efektif.
5. Pertimbangan yang cermat harus diberikan pada dampak pengelolaan sumber daya pada
penggunaan intervensi fisik.
1. Operator dan manajer bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan staf.
2. Staf harus didorong untuk memantau semua intervensi fisik dan melaporkan setiap insiden
yang menimbulkan kekhawatiran.
I. Pelatihan Staf
1. Staf yang mungkin diminta untuk menggunakan intervensi fisik harus menerima pelatihan
reguler tentang pengetahuan, keterampilan, dan nilai.
2. Pelatihan harus diberikan oleh seorang instruktur dengan pengalaman dan kualifikasi yang
sesuai.
3. Staf hanya boleh menggunakan intervensi fisik yang telah dilatih untuk mereka gunakan
4. Penempatan staf harus diatur untuk memastikan bahwa staf yang terlatih dengan baik tersedia
untuk menanggapi setiap insiden yang memerlukan intervensi fisik.
Pasien dengan disabilitas akan lebih banyak mengalami anomali dental, seperti
hipodonsia, faset permukaan gigi seperti erosi, dan karies. Meskipun tindakan
pencegahan memerankan peran yang penting, namun tindakan restorasi gigi yang cepat
(ketika sudah ada kelainan pada gigi) merupakan hal yang krusial, hal ini dapat
membantu meminimalkan kebutuhan prosedur restorasi yang lebih kompleks di masa
mendatang. Selain itu, penting untuk mencegah kehilangan gigi, terutama ketika
penggunaan gigi palsu tidak dapat ditoleransi dengan baik.
Dokter gigi akan kesulitan karena akses ke lingkungan oral yang terbatas dan
toleransi serta konsentrasi pasien mungkin berkurang. Penggunakan instrumen rotasi
dapat berbahaya bagi pasien dengan pergerakan yang tidak terkontrol atau pasien yang
kurang kooperatif. Pasien dengan disabilitas bisa saja tidak kooperatif atau tidak dapat
mentoleransi penggunaan rubber dam pada saat prosedur restorative tanpa adanya
chemical restraints, seperti sedasi atau anestesi umum. Pemilihan bahan dan teknik
restorasi bisa saja membutuhkan modifikasi. Restorasi dengan teknik indirek tidak dapat
dilakukan, oleh karena itu, bahan restorasi terbatas pada amalgam, resin komposit, dan
glass ionomer. Restorasi dengan glass ionomer biasa diberikan pada pasien dengan risiko
karies yang tinggi, semenjak GI ini dapat melekat pada substansi gigi dan mengeluarkan
fluoride. Stainless steel crown dapat digunakan untuk pasien dengan kerusakan gigi yang
luas yang kurang kooperatif dimana hal ini dapat menghalangi prosedur restorasi yang
lebih kompleks. Selain itu, dapat juga menggunakan teknik alternatif, seperti atraumatic
treatment technique (ART) atau chemomechanical caries removal technique (Carisolv®)
yang dapat mengurangi penggunaan anestesi lokal.
1.6.2 Periodontik
Pasien dengan disabilitas akan kesulitan dalam menjaga kebersihan mulut dengan
baik sehingga dapat menyebabkan penyakit periodontal dan/atau halitosis. Pasien dengan
disabilitas akan lebih sulit untuk meningkatkan kontrol plak hanya dengan menggunakan
sikat gigi biasa, karena adanya gangguan kognisi, mobilitas, dan kecekatan. Oleh karena
itu, penggunaan sikat gigi elektrik akan lebih mudah dan efektif. Penggunaan
chlorhexidine spray dan obat kumur, yang digunakan dua kali sehari, dapat membantu
dalam mengontrol plak. Chlorhexidine dengan konsentrasi 0,06% memiliki efektivitas
yang sama dengan konsentrasi 0,12% dalam mereduksi plak. Pembersihan karang gigi
secara rutin juga dapat meningkatkan kesehatan gingiva secara signifikan, namun hanya
ada sedikit indikasi untuk dilakukannya bedah periodontal. Ketika terdapat defek pada
jantung, dapat diberikan antibiotic profilaksis untuk pencegahan.
1.6.3 Endodontik
Mempertahankan gigi yang rusak parah atau aus sangat penting pada individu
dengan kondisi disabilitas yang tidak dapat mentolerir prostesis lepasan. Perawatan
endodontik dapat dilakukan ketika giginya masih dapat direstorasi dan pasien kooperatif.
Sedasi atau anestesi umum dapat diberikan pada saat perawatan endodontik, terutama di
gigi depan, pada pasien yang kurang kooperatif. Tidak ada bukti yang menyakinkan
bahwa kondisi sistemik yang buruk dapat membahayakan dan menggagalkan hasil
perawatan endodontik –hanya satu studi yang mengimplikasikan diabetes berpotensi
mengurangi keberhasilan perawatan saluran akar.
Penggunaan rubber dam dan prosedur endodontik satu kali kunjungan dianjurkan
untuk dilakukan bila memungkinkan. Ketika radiografi tidak dapat digunakan,
penggunaan apex locator dapat digunakan untuk menentukan panjang kerja. Penggunaan
instrumen rotasi dapat memfasilitasi preparasi saluran akar yang efektif dan lebih cepat,
tetapi irigasi saluran akar juga tidak boleh dikesampingkan. Irigasi dapat dilakukan
dengan menggunakan endosonic. Dengan preparasi saluran akar yang dapat dikontrol
dengan baik, obturasi saluran akar dapat dengan mudah dilakukan menggunakan gutta
percha termoplastik yang tersedia secara komersial.
1.6.4 Implan
Studi klinis awal pada implan osseointegrasi (OI) memberikan banyak bukti dasar
untuk keberhasilannya, dengan menggunakan kriteria pemilihan pasien yang ketat. Studi-
studi ini mengecualikan banyak gangguan sistemik, yang diyakini dapat menjadi
kontraindikasi perawatan implan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir pembenaran
untuk beberapa asumsi ini telah ditentang, karena setiap bukti peningkatan tingkat
kegagalan perawatan implan pada pasien yang mengalami kondisi medis yang terganggu
cukup jarang.
Pada semua pasien penyandang disabilitas yang dipertimbangkan OI, jelas akan
bijaksana untuk mempertimbangkan dengan hati-hati analisis biaya dan manfaat. Selain
itu, sangat penting untuk melakukan prosedur dengan asepsis yang ketat, untuk
meminimalkan trauma dan sangat berhati-hati dalam mengatasi stres dan perdarahan
yang tidak semestinya. Yang terpenting, pasien harus mampu mempertahankan standar
kebersihan mulut yang sangat baik.
1.6.5 Ortodontik
Bedah ortognatik melibatkan kerja sama antara ortodontis dan bedah mulut.
Tujuan dari perawatan tersebut adalah untuk memperbaiki malformasi serius pada
struktur tulang rahang, dari pasien yang perawatan ortodontik konvensionalnya tidak
cukup untuk memperbaiki hubungan rahang yang abnormal, hingga pasien yang
menderita sindrom yang mempengaruhi pertumbuhan rahang dan tengkorak (misalnya
sindrom Crouzon atau sindrom Apert, microsomia hemifacial, dan malformasi asimetri
lainnya), serta pada pasien dengan tumor atau gangguan pertumbuhan yang mengganggu
perkembangan rahang normal.
Penggunaan protesa cekat yang melibatkan gigi atau implan akan tepat jika pasien
dapat bekerja sama dan kebersihan mulut yang memadai dapat dipertahankan oleh pasien
dan/atau pengasuh. Jika pasien tidak dapat bekerja sama, sehingga menghalangi prosedur
yang lebih rumit untuk memulihkan gigi yang rusak parah, restorasi sementara jangka
panjang atau mahkota stainless steel mungkin lebih tepat. Meskipun tekniknya sensitif,
resin-bonded bridge juga dapat berguna karena perawatannya lebih cepat dan tidak
invasif.
Protesa lepasan dapat menjadi solusi untuk pemulihan fungsi oklusi dan
penampilan pada orang dengan disabilitas. Protesa yang distabilkan dengan implan dapat
bermanfaat jika kesehatan peri-implant dapat dipertahankan secara memadai. Namun,
protesa lepasan konvensional dikontraindikasikan untuk pasien dengan epilepsi parah,
yang memungkinkan menelan benda asing selama kejang. Protesa semacam itu juga tidak
diindikasikan untuk pasien yang sulit beradaptasi dalam pemakainya seperti pasien
dengan kontrol otot, kapasitas fisik dan mental yang tidak memadai. Seperti beberapa
pasien dengan: ketidakmampuan belajar, demensia, stroke, atau gangguan gerakan
(Parkinson’s disease, Huntington’s chorea atau tardive dyskinesia). Pasien juga harus
mampu mengenali, memasang, melepas, dan membersihkan protesanya. Setiap protesa
untuk penyandang epilepsi harus dibuat dari bahan radioopak, sedangkan untuk pasien
dengan ketidakmampuan belajar atau demensia harus ditandai dengan identitasnya karena
memungkinkan untuk salah menempatkan atau hilang.
2.3.1 Definisi
Cleft Lip and Cleft Palate atau Orofacial Cleft, yang biasa dikenal dengan bibir sumbing
ada suatu kondisi defek lahir dimana terbentuknya pembukaan atau belahan yang tidak wajar
pada bibir atau palatum. Terdapat tiga jenis utama defek cleft lip cleft palate yaitu cleft lip (CL)
dimana terjadi belahan hanya pada bibir, cleft palate (CP) dimana terjadi belahan pada daerah
palatum, dan cleft lip palate (CLP), dimana belahan terjadi menyeluruh dari palatum sampai
bibir.
Adanya celah pada palatum dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu gangguan pada
fungsi bicara, penelanan, pendengaran, keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis dari orang tua pasien serta adanya gangguan
fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada faring yang berhubungan dengan fosa nasal,
pendengaran, dan bicara. Gangguan pernafasan pada pasien yang baru lahir merupakan masalah
yang krusial oleh karena sumbatan dari makanan dan minuman tersebut saat pasien makan dan
minum yang masuk kedalam celah palatum dapat menyebabkan kesulitan bernafas dan bila tidak
cepat diatasi dapat menimbulkan kematian. Diperlukan latihan dan pengetahuan khusus bagi
orang tua pasien untuk merawat anak dengan celah palatum.
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi terjadinya celah rongga mulut di Amaerika Serikat diperkirakan 1 dari 700
kelahiran. Celah ini berhubungan dengan predileksi ras, dimana lebih sedikit terjadi pada kulit
hitam dan lebih banyak terjadi pada orang Asia dan penduduk asli Amerika. Laki-laki lebih
banyak menderita orofacial cleft daripada wanita dengan rasio 3 : 2. Celah bibir dan palatum
terjadi dua kali lebih banyak pada pria dibanding wanita. Sedang menurut Cummings (1993)
insidensi celah bibir dan palatum adalah 1/1000 kelahiran, dan 35% - 55% adalah celah palatum.
Menurut Margulis (2002) insidensi celah palatum di Asia rasionya adalah 0,45- 0,5/1000
kelahiran.
Berdasarkan data CDC di Amerika Serikat pada tahun 2004 hingga 2006 mengatakan
bahwa kasus cleft palate mengenai 2,650 bayi baru lahir dan cleft lip dan cleft lip palate
mengenai kira-kira 4,440 bayi baru lahir. Sebuah penelitian di Bandung menunjukkan dari 1596
pasien, ditemukan 50.53% pasien dengan cleft lip and palate, 25.05% cleft palate, dan 24.42%
cleft lip, dimana 20.08% dari keseluruhan pasien memiliki riwayat keluarga dengan cleft lip dan
cleft palate.
2.3.2 Etiologi
2.3.3 Klasifikasi
1. Lengkap
2. Tidak lengkap
3. Submukosa
1. Celah bibir
2. Celah alveolus
Klasifikasi simbolik di mana daerah yang berbeda digambarkan dan kemudian diarsir
4. Bibir
Terdapat diskontinuitas bibir termasuk vermilion dan kulit. Terjadi pemisahan otot
orbicularis oris dengan perlekatan yang abnormal pada kulit, crus lateral kartilago
alaris, dan tulang sekitar.
5. Hidung
Deformitas hidung terjadi minimal atau tidak ada pada celah bibir tidak sempurna
dengan anatomi otot orbicularis oris yang intak. Deformitas nasal ‘formefruste’ terjadi
pada bibir yang intak. Pada kasus ini deformitas nasal terkait dengan insersi abnormal
serat otot facial.
6. Alveolus
Celah pada alveolus biasanya terjadi diantara incisivus lateral dan caninus kemudian
meluas secara obliq ke arah foramen incisivus. Besar celah alveolus bervariasi mulai
dari takik pada gingiva hingga celah sempurna. Akan tetapi, manifestasi yang terlihat
tidak berkorelasi dengan besarnya pemisahan tulang di bawahnya.
7. Palatum primer
Celah pada palatum primer meluas ke posterior ke foramen incisivum, mengakibatkan
defisiensi pada bagian dasar rongga hidung. Lengkung alveolar pada sisi yang bercelah
berotasi ke mesiopalatal dan pada sisi yang tidak bercelah berotasi keluar karena
perlekatan otot wajah yang abnormal.
8. Palatum sekunder
Palatum sekunder meluas ke posterior dari foramen incisivum ke uvula, terdiri dari
palatum keras dan palatum lunak.
9. Maksila
Maksila pada sisi yang terkena terdefisiensi pada dimensi vertikal dan anteroposterior.
10. Mandibula
Dimensi mandibula pada pasien dengan celah palatum dapat berukuran lebih kecil.
11. Abnormalitas lain
Anatomi abnormal otot palatum lunak, terutama pada tensor velipalatini dipercaya
dapat mengganggu jalan udara pada telinga tengah karena kegagalan pembukaan tuba
eustachius saat menelan, menguap, dan pergerakan faring lainnya.
Penyebab dari celah bibir dan palatum ini berhubungan dengan perpaduan antara faktor
genetik dan faktor lingkungan (P A Mossey & Modell, 2012). Celah bibir dengan atau tanpa
celah langit-langit terjadi pada sejumlah besar sindrom yang bisa disebabkan oleh faktor bukan
genetik atau faktor lingkungan, kromosomal, faktor genetik yang merupakan pewarisan kelainan
gen tunggal, dan multifaktorial, merupakan kombinasi antara faktor nongenetik (lingkungan)
dengan faktor genetik.
Cleft lip dan cleft palate dicurigai akibat mutasi pada gen pembentuk rongga mulut dan
bibir pada bayi ketika masa kandungan umur 4 bulan. Mutasi ini menyebabkan gagalnya
penyatuan jaringan yang membentuk palatum dan bibir atas, yang akhirnya membentuk belahan
yang terlihat jelas pada rongga mulut.
Beberapa penelitian terbaru juga mencurigai diet dan pemakaian obat-obatan pada ibu
seperti hydantoin, sodium valproate, trimethadion, obat penenang, kebiasaan merokok, dan
konsumsi alkohol dapat menjadi faktor penyebab terjadinya cleft lip dan cleft palate. Studi
berbasis populasi telah menunjukkan bahwa defisiensi asam folat pada kehamilan memiliki
hubungan yang kuat dengan perkembangan celah bibir dan palatum pada janin. Anak yang lahir
dari ibu yang menderita diabetes melitus atau fenilketonuria memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami celah bibir dan palatum. Telah dilaporkan juga bahwa perkembangan demam lebih
dari 40°C, selama 8 minggu pertama kehamilan berisiko tinggi menyebabkan celah bibir dan
palatum pada janin yang sedang berkembang. Selain itu pecahnya ketuban dini dapat sangat
mengganggu perkembangan intrauterin janin yang menyebabkan anomali janin yang berbeda
termasuk celah bibir dan palatum.
Perkembangan Celah Bibir dan Palatum
Pengetahuan tentang perkembangan embriologi bibir dan palatum yang normal sangat
penting untuk memahami dan mengelola celah bibir dan palatum. Wajah dibentuk oleh
perpaduan sejumlah proses embrionik. Pada minggu ke-4 kehidupan intrauterin, lima brachial
arches berkembang di lokasi yang nantinya akan terbentuk leher. Kompleks nasomaksilla
terbentuk melalui perkembangan lengkung branchial pertama (lengkung mandibula). Batas atas
stomodeum (rongga mulut primitif) berasal dari prominensia frontal berukuran besar. Mulut
primer dipisahkan dari usus oleh membran bukofaringeal. Ujung dorsal lengkung mandibula
yang sedang berkembang mengeluarkan bud yang disebut prosesus maksilaris dengan
pembentukan lubang nasal. Satu media dan dua lateral prosesus nasal terbentuk sebagai prosesus
Prosesus maksila mengalami pertumbuhan yang cepat antara minggu ke-5 dan ke-6
kehidupan intrauterin. Pada minggu ke-7, maksila serta prosesus nasal lateral dan media menyatu
membentuk segmen intermaksila dengan komponen labialnya membentuk filtrum bibir atas
sedangkan komponen palatal triangular membentuk insisif maksila dan memanjang ke belakang
ke foramen insisivus. Hasilnya terbentuk bibir atas dan maksila. Celah bibir dapat terjadi karena
proliferasi yang tidak adekuat antara maksila dan prosesus nasal media. (Zreaqat et al., 2017)
Sisa dari kubah palatum membentuk palatum keras dan lunak, yang terbentuk dari
palatum sekunder. Pada minggu ke-6 kehidupan intrauterin, kubah palatum terbentuk dari
permukaan media prosesus maksila. Kubah palatum akan tumbuh ke media dan ke bawah, lateral
lidah terangkat pada minggu ke-7, dan lebih menonjol di regio anterior dan menyebabkan
pertumbuhan mandibula. Lidah memainkan peran penting dalam pencegahan awal penyatuan
kubah palatum. Akibat lidah, kubah tumbuh vertikal ke bawah. Pada minggu ke-8 kehidupan
intrauterin, kubah palatum mendekati satu sama lain. Akibatnya, epitel terkait berdegenerasi dan
mesenkim dari kedua kubah bergabung di garis tengah. Penutupan akhir dengan fusi selesai pada
minggu ke-10 dan biasanya terjadi sedikit lebih lambat pada pria daripada wanita. Kegagalan
penyatuan kubah maksila satu sama lain dan dengan prosesus frontonasal menghasilkan celah
Tujuan:
Pasien yang akan dilakukan operasi celah bibir dan palatum harus memenuhi persyaratan
yang disebut Rules of ten, yang mencakup berat badan anak harus 10 pounds (5 kg), leukosit
10.000, berusia 10 minggu, dan hemoglobin 10 gr/dl. Operasi celah bibir dan palatum dilakukan
pada saat usia 3-6 bulan, dan memerlukan waktu 12-18 bulan untuk penyembuhan celah bibir
dan palatum.
Tindakan Tujuan
Tindakan Tujuan
Nasoalveolar molding
2. Latham Appliance
Alat ini dapat digunakan sebelum operasi dan telah terbukti sukses dalam melakukan
mengurangi tekanan pada surgical closure. Latham appliance dapat dipasang saat usia
3. Lip taping
Alat ini dapat digunakan untuk persiapan pembedahan celah bibir dan palatum. Lip
taping dapat digunakan dengan kombinasi intraoral mouth plates, tape dapat dipasang
pada pipi untuk memberikan tekanan eksternal pada alveolar molding. Tekanan elastis
Lip taping
Tindakan Bedah
1. Bedah Primer
Bedah Primer berfungsi untuk menutup celah, mengembalikan struktur dan fungsi
anatomi dan jaringan yang terlibat. Sebelum operasi perlu diperhatikan syarat untuk
dilakukan operasi, yaitu “Rule of 10”, terdiri dari kadar hemoglobin 10, kadar hematokrit
minimal 30%, berat minimal 10 pounds, dan usia minimal 10 minggu.
Prosedur Usia
Teknik ini merupakan teknik paling sederhana dan digunakan untuk celah
bibir minimal.
B. Palatoplasty
Berbagai teknik dapat digunakan untuk perbaikan cleft palate, tergantung
celah pada palatum primer atau sekunder, lebar celah, dan berkaitan dengan
gangguan pertumbuhan wajah bagian tengah.
1. Von Langenback
3. Two Flap
Biasanya digunakan untuk celah lengkap unilateral atau bilateral. Flap hidung
pertama-tama didekatkan kembali untuk menutupi celah, diikuti oleh flap mukosa
mulut. Teknik ini dibatasi oleh ketidakmampuan untuk menambah panjang langit-langit.
Teknik ini digunakan untuk memperbaiki palatum lunak. Teknik ini memberikan
kekuatan pada palatum dan merekonstruksi otot.
2. Bedah Sekunder
Perawatan pada anak-anak dengan celah bibir atau celah palatum bervariasi.
Tujuan dari perawatan adalah untuk mencapai penampilan, cara bicara dan oklusi yang
terbaik. Operasi tambahan yang dapat direkomendasikan untuk anak:
a. Revisi Bibir
d. Rhinoplasty
Usia prasekolah juga merupakan waktu yang umum bagi orang tua
untuk meminta prosedur korektif sekunder untuk asimetri hidung dengan
prosedur operasi hidung. Rhinoplasty primer yang memadai telah dilakukan dan
tingkat asimetri dalam batas yang diharapkan, setiap prosedur tambahan dapat
memberikan bekas luka tambahan di dalam jaringan hidung. Rhinoplasty
sekunder pada usia pra sekolah, atau pada kelompok usia pra remaja, harus
dilakukan hanya untuk deformitas berat atau nyata yang menyebabkan masalah
tekanan psikologis atau fungsional yang signifikan.
e. Bedah Orthognatik
a. Diagnosis
Hemofilia dapat didiagnosis lewat penelusuran riwayat perdarahan yang tepat, melakukan
pemeriksaan fisik terarah dan tes koagulasi. Riwayat keluarga dengan pola pewarisan X terkait,
bersama dengan perdarahan intra-artikular, hampir pasti selalu berhubungan dengan hemofilia.
Pemeriksaan klinis dapat menunjukkan bukti perdarahan sendi akut atau komplikasi
perdarahan intra-artikular, seperti sinovitis kronis, kelainan bentuk sendi, dan mobilitas terbatas.
Diagnosis hemofilia harus dikonfirmasi dengan tes koagulasi dan/atau genetik.
Diagnosis hemofilia yang dilakukan oleh dokter gigi dapat ditegakkan dengan
menggunakan empat tes laboratorium klinis untuk menyaring pasien dengan gangguan
perdarahan kongenital: jumlah trombosit, aPTT, PT, dan TT. Jumlah trombosit digunakan untuk
menyaring trombositopenia. Tes aPTT digunakan untuk mengukur status jalur koagulasi intrinsik
dan umum. Tes ini mencerminkan kemampuan darah yang tersisa di dalam pembuluh di area
cedera untuk menggumpal. Kemampuan darah untuk membeku atau menggumpal dapat
diperpanjang pada pasien dengan gangguan koagulasi seperti hemofilia. Jika positif, hasil tes
skrining ini dapat diserahkan ke ahli hematologi untuk dapat menentukan sumber gangguan
perdarahan dan memungkinkan pemilihan tes yang lebih spesifik seperti uji genotipe yang
dilakukan untuk menetapkan sifat mutasi pada gen faktor VIII atau IX. Genotipe selektif dapat
dilakukan untuk menghemat biaya, yaitu dengan melakukan inversi 22 pada hemofilia A yang
merupakan genotipe paling umum yang dapat ditemukan terkait dengan inhibitor.
Pada kasus hemofilia, tes skrining biasanya menunjukkan aPTT yang berkepanjangan, PT
normal, dan jumlah trombosit normal. Langkah selanjutnya adalah mencampur (mixing test)
darah pasien dengan sampel plasma yang terkumpul dan mengulangi aPTT. Jika tes ini normal,
maka faktor spesifik yang hilang diidentifikasi dengan tes spesifik. Jika tes pencampuran tidak
normal, tes aktivitas inhibitor (antibodi terhadap faktor) dilakukan.
b. Penatalaksanaan Dental
Tujuan utama dilakukannya penatalaksanaan pada hemofilia adalah untuk menggantikan
faktor pembekuan darah yang hilang atau untuk menghentikan pendarahan. Golden standard
penanganan hemofilia saat ini secara umum adalah menggunakan infus profilaktik dari faktor
pembekuan darah yang kurang. Clotting Factor Concentrate (CFC) yang berasal dari plasma
darah dan rekombinan saat ini dapat digunakan. Dosis tergantung lokasi perdarahan.
Penatalaksanaan dental untuk pasien dengan kelainan darah seperti hemofilia dapat
diawali dengan konsultasi kepada hematologis untuk menegakkan tingkat defisiensi faktor
koagulan dan menentukan apakah adanya inhibitor faktor tersebut. Pasien dengan hemofilia yang
parah biasanya sudah menunjukan gejala di awal, sehingga karies dan penyakit periodontal
lainnya penting untuk dicegah. Penggunaan fissure sealant dan fluoride serta rekomendasi
perubahan diet, menyikat gigi, flossing, dan perawatan dental rutin dapat dilakukan untuk
meminimalisir kehilangan gigi.
Secara umum, pemberian anestesi lokal merupakan suatu kontraindikasi bagi pasien
hemofilia parah. Jika pasien perlu diberikan anestesi, sebaiknya diberikan secara intrapulpal,
intraligamentary (periodontal) dan injeksi papiler. Injeksi intrakanal dengan epinefrin dapat
membantu untuk mengontrol perdarahan serta aplikasi topikal epinefrin 1:1000 dengan paper
point juga dapat dilakukan. Sedasi dengan diazepam atau analgesia NO2/O2 juga dapat
dilakukan. Biasanya setelah tindakan, pasien dapat diberikan agen dan teknik hemostatik lokal
seperti pressure surgical packs, selulosa teroksidasi dengan larutan trombin bovine,
vasokonstriktor, jahitan, trombin topikal dan penggunaan jenis homeostatik yang dapat diserap.
Setelah packing, soket gigi harus dilindungi dengan splint mekanis untuk mencegah gangguan
pada proses pembekuan darah. Penggunaan agen antifibrinolitik pasca operasi dan kepatuhan
terhadap diet lunak lebih dianjurkan untuk mendukung pemeliharaan bekuan darah. Pemberian
aspirin dan NSAID lainnya pada pasien dengan gangguan perdarahan harus dihindari karena
menghambat fungsi trombosit. Injeksi intramuskular juga harus dihindari karena ada risiko
pembentukan hematoma. Bedah laser tidak dianjurkan karena menyebabkan nekrosis jaringan
dan kemungkinan perdarahan berikutnya.
Perawatan ortodonti dapat diberikan bagi pasien hemofilia, namun ujung kawat yang
tajam harus selalu diperhatikan. Bedah periodontal, ekstraksi, root planing, operasi
dentoalveolar, operasi jaringan lunak biasanya membutuhkan penggantian faktor pada pasien
dengan defisiensi faktor koagulan yang parah. Pasien dengan defisiensi faktor VIII ringan dan
tanpa inhibitor dapat menjalani prosedur perawatan gigi seperti scaling, operasi jaringan lunak,
dan ekstraksi tanpa membutuhkan faktor pengganti. Pasien dengan defisiensi faktor VIII moderat
biasanya membutuhkan faktor pengganti terutama untuk tindakan operasi mayor. Pasien dengan
defisiensi faktor VIII berat membutuhkan faktor pengganti untuk seluruh tindakan perawatan
gigi. Faktor pengganti seperti, Tranexamic dapat diberikan secara oral dan IV begitu juga dengan
Cyklokapron (IV) 10 mg/kg yang dapat diberikan sebelum tindakan sebanyak 3 kali sehari jika
dibutuhkan. Lysteda tablet 500 mg dengan dosis 25 mg/kg juga dapat diberikan sebanyak 3-4
kali per hari sebelum tindakan. Dokter gigi juga dapat mengganti obat-obatan tersebut dengan
larutan Tranexamic 5% untuk diberikan sebagai obat kumur yang digunakan selama 2 menit.
Pasien dengan hemofilia harus mendapatkan kontrol ketat selama 24-48 jam pasca tindakan
invasif untuk melihat kontrol perdarahan.
Von Willerbrand Disease (VWD) adalah kelainan perdarahan turunan yang ditandai
dengan adanya kerusakan adhesi dan agregasi platelet.
Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana jumlah sel darah merah atau kadar hemoglobin (Hb) di
dalam darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang menurut umur dan jenis
kelamin. Kadar Hb untuk pria anemia yaitu kurang dari 13,5 g/dl, sedangkan kadar Hb pada
wanita kurang dari 12 g/dl. Anemia dapat menimbulkan beberapa gejala klinis. Gejala klinis
anemia dapat berupa lesu, lemah, pusing, mata berkunang-kunang, dan wajah pucat. Faktor yang
dapat menyebabkan anemia adalah perdarahan hebat, kurangnya zat besi dalam tubuh,
kekurangan asam folat, kekurangan vitamin B12 dan C, penyakit malaria, infeksi cacing,
leukemia, penyakit kronis, status gizi, lamanya menstruasi, tingkat pendidikan orang tua, tingkat
Manifestasi mulut Iron Deficiency Anemia terdiri dari angular cheilitis (58%), glossitis
(42%), mukosa mulut pucat (33%), kandidiasis mulut (25%), stomatitis apthous recurrent (8%),
erythematous mucositis (8%), dan burning mouth syndrome (8%). Hunter Glossitis merupakan
manifestasi oral paling umum dari defisiensi B12, muncul sebagai bercak merah terang difus/
Pertama lakukan identifikasi tanda dan gejala anemia pada pasien yang datang. Pasien
yang disuspek anemia harus dirujuk ke dokter atau konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Perawatan gigi dapat dilakukan setelah konsultasi dengan primary physician. Prosedur invasif
memerlukan hemostasis yang adekuat. Sebisa mungkin jauhi kehilangan darah berlebih. Lakukan
tindakan kedokteran gigi pencegahan yang meliputi tindakan profilaksis dan edukasi kebersihan
rongga mulut.
2.4.4 Leukemia
proliferasi, leukemia dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronis. Dan berdasarkan asal sel,
leukemia diklasifikasikan sebagai myeloid atau limfoid. Subtipe yang dominan dari leukemia
meliputi leukemia myeloid akut (AML) dan leukemia myeloid kronis (CML), yang melibatkan
myeloid lineage; leukemia limfoblastik akut (ALL), dan leukemia limfositik kronis (CLL) yang
Blast merupakan sel darah putih yang belum matang dan disfungsional, biasanya
membentuk 1% sampai 5% dari sel sumsum. Leukemia akut ditandai dengan lebih dari 20%
blast pada apusan darah tepi atau pada sumsum tulang sehingga menyebabkan timbulnya gejala
yang lebih cepat. Sedangkan, leukemia kronis memiliki kurang dari 20% blast dengan onset
gejala yang relatif kronis. Fase akselerasi/blast adalah transformasi leukemia myeloid kronis
menjadi fase akut dengan tingkat blast yang jauh lebih tinggi.
2.4.4.1 Etiologi
Terdapat berbagai faktor risiko genetik dan lingkungan yang terindetifikasi dalam
perkembangan leukemia:
(1) Paparan radiasi pengion dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai subtipe leukemia.
(2) Paparan benzena merupakan faktor risiko leukemia pada orang dewasa, khususnya AML.
(3) Paparan kemoterapi sebelumnya, terutama agen alkilasi dan penghambat topoisomerase
(4) Riwayat keganasan hematologi apa pun merupakan faktor risiko untuk selanjutnya
(5) Infeksi virus (virus leukemia sel-T manusia, virus Epstein Barr) terkait dengan subtipe
ALL.
(6) Beberapa sindrom genetik (misalnya sindrom Down, anemia Fanconi, sindrom Bloom,
penyakit. Manifestasi tersebut termasuk perdarahan petechial lidah, bibir, posterior palatum
keras dan lunak, hiperplasia gingiva, perdarahan gingiva spontan, ulserasi oral, dan mukosa
pucat. Manifestasi oral pasien leukemia yang dilaporkan dalam literatur adalah perdarahan
spontan dan perdarahan petekie pada gingiva, palatum, lidah atau bibir akibat trombositopenia;
pucat mukosa karena anemia; hiperplasia gingiva yang disebabkan oleh infiltrasi leukemia.
Ulserasi rongga mulut dapat terjadi akibat neutropenia atau infiltrasi langsung oleh sel-sel ganas.
paling umum pada leukemia akut dan kronis. Kadar jumlah trombosit
yang rendah, umumnya dari 25.000 mm–3 hingga 60.000 mm−3 sudah
subtipe lainnya.
Pasien dengan leukemia juga dapat mengalami infeksi virus, bakteri dan jamur berulang,
seperti herpes atau kandidiasis, sebagai akibat dari imunosupresi. Oleh karena itu, pasien AML
sering datang dengan gejala dan tanda pansitopenia, seperti demam, kelelahan, pucat, perdarahan
dan purpura, nyeri tulang dan perut. Dalam praktik kedokteran gigi rutin, mungkin jarang
ditemukan pasien leukemia yang memiliki gejala oral sebagai indikator awal leukemia. Oleh
karena itu, dokter gigi mungkin melewatkan waktu yang tepat untuk merujuk ke ahli hematologi,
antineoplastik dan HSCT untuk menjaga kesehatan mulut yang baik dan mengurangi risiko
infeksi sistemik yang berasal dari mulut. Tujuan perawatan tersebut meliputi pencegahan infeksi,
pengendalian nyeri, pemeliharaan fungsi rongga mulut, dan pengelolaan komplikasi terapi
Little dkk. dan Elad dkk. [19] menegaskan bahwa peran dokter gigi harus terjadi pada
- Mengidentifikasi dan menghilangkan sumber infeksi yang ada atau potensial, tanpa,
mucositis
jaringan mulut
Pada fase ini, pasien dianggap sembuh dari leukemia dan tidak memiliki manifestasi oral akibat
penyakit atau kemoterapi, kecuali pasien dengan gejala sisa radioterapi atau anak-anak yang
menerima kemoterapi pada tahap pembentukan gigi, yang dapat menunjukkan area hipoplastik
pada enamel gigi (gangguan mineralisasi) dan perubahan dalam perkembangan akar gigi (yang
neoplasma pada kasus kanker atau tumor di kepala dan leher. Dosis yang diberikan dapat
menghilangkan sel-sel tumor serta meningkatkan proses pembentukan sel-sel baru. Oral
keparahan komplikasi tergantung pada dosis radiasi per hari dan kumulatif. Jaringan di rongga
mulut yang sering kali terdampak yaitu mukosa, gigi geligi, tulang alveolar dan rahang, kelenjar
saliva, jaringan pendukung gigi, dan otot mastikasi. Komplikasi oral radioterapi dapat dibedakan
menjadi akut dan kronis. Tipe akut terjadi pada periode awal perawatan yaitu sekitar 2-3 minggu,
sedangkan tipe kronis terjadi pada beberapa minggu hingga tahun pasca perawatan.
Waktu Komplikasi
1. Xerostomia
sehingga saliva di dalam rongga mulut menjadi berkurang. Rongga mulut akan terasa
dan sensasi rasa terbakar ketika makan makanan pedas. Mukosa yang kering dapat
menyebabkan perdarahan, bau mulut, dan munculnya lesi. Aliran saliva yang berkurang
berkisar 50-60% pada minggu pertama pasca radioterapi. Pada keadaan kronis akan
dan lain-lain.
2. Mukositis
Mukositis adalah peradangan pada jaringan mukosa baik pada rongga mulut,
laring, faring, maupun esofagus yang disebabkan oleh radiasi. Perkembangan mukositis
tergantung pada dosis radiasi, lokasi lesi, angulasi sinar, dan kebersihan mulut. Secara
pengelupasan epitel, dan pengerasan kulit pada bibir. Mukositis oral meningkatkan risiko
perkembangan infeksi sistemik dari infeksi bakteri, jamur, atau virus. Mukositis yang
terjadi pada faring dapat menyebabkan sakit tenggorokan dan kesulitan menelan.
Mukositis lebih sering terjadi dalam 3 minggu pertama pasca radioterapi dengan
puncaknya pada minggu ke-5 dan dapat bertahan selama berminggu-minggu pasca terapi.
anestesi topikal seperti Lidocaine 2%, Benzocaine 20%, Mucosal Coating Compounds
seperti Diphenhydramine, mengonsumsi permen karet dengan kadar glukosa rendah, dan
Mukositis Oral
Disfungsi kelenjar saliva yang diakibatkan oleh oral radioterapi dapat mengurangi
aliran saliva dapat meningkatkan jumlah bakteri, jamur, atau virus di dalam mulut. Oral
candidiasis merupakan infeksi dari organisme oportunistik yaitu Candida albicans yang
karies. Rampan karies dapat terjadi antara 2 minggu hingga 10 bulan setelah perawatan
radioterapi oral. Penggunaan obat kumur Sodium fluoride atau Chlorhexidine dapat
merasa kehilangan kemampuan untuk membedakan rasa manis dan asin. Indra perasa
biasanya akan pulih dalam waktu 2-4 bulan setelah radioterapi. Penanganan kondisi ini
5. Trismus
Sulit membuka mulut menjadi efek lain dari oral radioterapi akibat penurunan
kemampuan otot mastikasi dalam membuka dan menutup mulut. Fibrosis otot pada
umumnya terjadi 3 hingga 6 bulan setelah radioterapi dan bertambah secara progresif
setelah bulan ke-9. Penanganannya dapat dilakukan fisioterapi dengan membuka tutup
menggunakan tongue blade, tekanan jari, atau rehabilitasi pergerakan rahang yang
dinamakan Therabite.
6. Osteoradionekrosis (ORN)
pada rahang yang terjadi jika pasien terpapar radiasi lebih dari 50-55 Gy. Risiko terjadi
ORN meningkat jika terjadi trauma, infeksi, kekurangan nutrisi, defisiensi imun,
kemoterapi, komsumsi tembakau dan alkohol. ORN sering terjadi akibat pencabutan gigi
sehingga terjadi hipovaskularitas, hipoksia jaringan, destruksi sel pembentuk tulang, dan
marrow fibrosis. Tindakan pencabutan gigi setelah diradiasi dapat ditunda untuk
mencegah ORN. Menjaga kebersihan mulut, penggunaan obat kumur Chlorhexidine, dan
lokal debridemen dapat dilakukan untuk mengontrol tingkat terjadinya ORN. Terapi
7. Defek kraniofasial
Defek kraniofasial, hipoplasia enamel, dan erupsi yang terhambat dapat terjadi
Perawatan dental dapat dilakukan sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan radioterapi oral
dengan prognosis buruk sebaiknya diekstraksi terlebih dahulu. Jarak waktu ideal untuk
melakukan radioterapi pasca ekstraksi adalah 10-14 hari. Tulang tidak dibiarkan terbuka
ketika radioterapi dimulai karena suplai darah akan rusak akibat radioterapi sehingga
digunakan untuk mengurangi gejala xerostomia. Trismus dapat dikurangi dengan latihan
membuka rahang dengan bantuan spatula lidah atau therabite yang digunakan tiga kali
sehari.
trauma seminimal mungkin dan tulang yang tajam dihilangkan. Pemberian antibiotik
profilaksis dengan dosisi adekuat 24-48 jam sebelum operasi dan dilanjutkan setidaknya
selama 4 minggu. Clindamycin 600 mg dapat menjadi pilihan antibiotik yang digunakan.
pertumbuhan sel kanker menggunakan obat - obatan. Obat anti kanker dapat diberikan dengan
cara injeksi pembuluh darah, melalui oral atau secara topikal. Kemoterapi dapat menjadi terapi
primer atau kombinasi dengan pembedahan atau radiasi. Kemoradiasi adalah kemoterapi yang
diberikan bersamaan dengan radiasi. Kemoradiasi digunakan untuk terapi kanker yang tidak
meluas tetapi pada stadium lanjut (inoperable). Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi pada
stadium lanjut dapat digunakan untuk mengobati kanker yang terlalu besar atau terlalu jauh
radiasi. Tujuannya adalah untuk membunuh sel kanker yang mungkin tertinggal saat operasi
karena terlalu kecil untuk dilihat. Terapi ini mencegah terjadinya rekurensi. Kemoterapi
neoadjuvant atau kemoterapi induksi diberikan sebelum operasi dan terkadang diikuti dengan
radiasi. Tujuannya untuk mengecilkan kanker yang lebih besar sehingga operasi menjadi lebih
mudah dan menghilangkan lebih sedikit jaringan. Obat antikanker bersifat sitostatik atau
sitotoksik. Obat sitostatik berfokus pada pemblokiran proliferasi sel tumor, sedangkan obat
sitotoksik berfokus pada penghancuran sel. Obat kemoterapi tidak hanya mempengaruhi sel
kanker dan dapat merusak sel normal sehingga dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi oral
1. Mukositis
Mukositis merupakan inflamasi pada mukosa oral yang biasanya menimbulkan rasa nyeri
dan eritema. Mukositis ditandai dengan adanya infiltrasi sel - sel inflamasi diikuti oleh
kerusakan sel - sel epitel dan ulserasi. Biasanya muncul 4-7 hari setelah injeksi obat dan
hilang 2-4 minggu setelah pengobatan selesai. Obat yang dapat menyebabkan mukositis
2. Infeksi
Neutrofil berjumlah 55-70% dari seluruh sel darah putih yang ada dalam tubuh.
perkembangan infeksi. Infeksi dapat disebabkan karena bakteri, jamur atau virus.
Infeksi odontogenik karena bakteri pada gigi dan jaringan periodontal yang tidak
segera ditangani bisa menyebabkan nyeri, timbulnya fistula, penyakit periodontal dan
gangguan lain. Infeksi bakteri diantaranya disebabkan oleh bakteri pseudomonas,
klebsiella, escherichia, enterobacter, serratia atau proteus. Infeksi jamur candida atau
kandidiasis merupakan infeksi yang paling sering terjadi dan diakibatkan karena
leukopenia, neutropenia serta penggunaan antibiotik. Infeksi herpes dengan subtipe HSV-
1 paling sering terjadi pada pasien kemoterapi. Infeksi herpes ini dapat menyebabkan ulser
3. Perdarahan
atau ekimosis.
4. Xerostomia
Kemoterapi dapat mengganggu fungsi kelenjar ludah. Fungsi saliva untuk lubrikasi dan
sifat antimikroba menjadi terganggu. Xerostomia ini dapat menyebabkan karies dan
Osteonekrosis yaitu kerusakan fungsi osteoklas dan osteoblas yang merupakan sel utama
dalam kesehatan dan perbaikan tulang. Osteonekrosis dapat disebabkan karena trauma,
kemoterapi pada masa pertumbuhan dapat mengalami anomali gigi seperti hipodontia,
6. Gangguan pengecapan
Gangguan pengecapan atau disgeusia seringkali terjadi pada pasien yang menjalani
kemoterapi sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Pasien seringkali menolak makan
kerusakan saraf kranial (VII,IX,X). Kerusakan pada taste buds disebabkan oleh defisiensi
zat besi dan vit D. Agen kemoterapi yang berperan diantaranya yaitu cisplatin,
Semua perawatan gigi pada pasien yang akan dilakukan kemoterapi harus berdasarkan konsultasi
dengan ahli onkologi. Perawatan gigi yang dapat diberikan sebelum, saat dan sesudah
kemoterapi yaitu:
pemberian fluoridasi, penggunaan obat kumur klorheksidin dan instruksi untuk menjaga
Perawatan gigi saat kemoterapi harus dihindari kecuali jika darurat. Fluoridasi dan
Perawatan sesudah kemoterapi dilakukan untuk menghilangkan fokus infeksi yang tersisa
serta mengembalikan estetika dan fungsional. Pemberian fluoridasi dan obat kumur
klorheksidin dapat diberikan pada pasien yang telah menjalani kemoterapi. Pembuatan
gigi palsu ditunda sampai 1 tahun setelah kemoterapi. Pencabutan gigi dihindari kecuali
jika darurat dengan pemberian antibiotik 7-15 hari. Diet non kariogenik juga perlu
diperhatikan pada pasien yang telah menjalani kemoterapi. Kontrol rutin ke dokter gigi
setiap 3 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Chennamadhavuni A, Lyengar V, Mukkamalla SKR, et al. Leukemia. [Updated 2022 Nov 23].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560490/
Rosa BPP, Ito FA, Trigo FC, Mizuno LT, Junior AT. Oral Manifestation as the Main Sign of an
Advanced Stage Acute Promyelocytic Leukemia. Acta Stomatol Croat. 2018 Dec;52(4):358-362.
doi: 10.15644/asc52/4/10. PMID: 30666067; PMCID: PMC6336446.
Zimmermann, C., Meurer, M. I., Grando, L. J., Gonzaga Del Moral, J. ., da Silva Rath, I. B., &
Schaefer Tavares, S. (2015). Dental Treatment in Patients with Leukemia. Journal of Oncology,
2015, 571739. https://doi.org/10.1155/2015/571739
Weinberg, M. A., Segelnick, S. L., & Kye, W. (2011). Dental complications of head and neck
cancer radiotherapy. US Pharm, 36(9), 3-7.
Hancock, P.J (2003). Oral and dental management related to radiation therapy for head and neck
cancer. J Can Dent Assoc, 69(9), 585-90.
Sroussi, H. Y., et al. (2017). Common oral complications of head and neck cancer radiation
therapy: mucositis, infections, saliva change, fibrosis, sensory dysfunctions, dental caries,
periodontal disease, and osteoradionecrosis. Cancer medicine, 6(12), 2918-2931
Scully, C., Dios, P. D., & Kumar N. Special care in dentistry: Handbook of oral health care.
2007.
Zreaqat MH, Hassan R, Hanoun A. Cleft Lip and Palate Management from Birth to Adulthood:
An Overview. Insights into Var Asp Oral Heal. 2017;(December).
Zreaqat, Maen Hussni; Rozita Hassan; Abdulfattah Hanoun. 2017. Insights Into Various Aspects
of Oral Health. Cleft Lip and Palate Management from Birth to Adulthood: An Overview.
Hafiz A, Irfandy D, Rahman S, Rahmadona R. Labioplasti dengan Teknik Millard dan Tennison
Randall. J Kesehat Andalas. 2017;6(2):469.
Dewi PS. Management of Cleft Lip and Palate (Literature Review). Interdental J Kedokt Gigi.
2019;15(1):25–9.
Gallagher N. A general dental practitioner’s role in treating patients with a cleft lip and/or palate.
Br Dent J. 2020;228(1):19–21.
James W. Little. Dental Management of The Medically Compromised Patient. In: Dental
Management of the Medically Compromised Patient. Elsevier; 2013. p. 1–617.