Anda di halaman 1dari 2

Pendapat Hukum

Dalam konvensi wina tahun 1969 mengatur tentang hukum perjanjian internasional. Pada
kasus sengketa yang terjadi pada Negara Aserehe dan Negara Lalampa telah diatur dalam
konvensi wina. Diatur dalam bagian 4 mengenai amandemen dan modifikasi perjanjian
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :
1. Suatu perjanjian dapat diamandemen berdasarkan kesepakatan para pihaknya (pasal 39).
2. Amandemen pada perjanjian multilateral diatur dalam pasal 40, yang harus dilakukan
dengan mengajukan proposal perubahan terhadap perjanjian tersebut, sehingga dapat
diberitahukan kepada para pihak pesertanya, dimana kepada mereka itu diberikan hak
untuk berperan dalam memutuskan Tindakan apa yang akan dilakukan terhadap proposal
tersebut.
3. Kesepakatan untuk melakukan modifikasi diatur dalam pasal 41.

Pada dasarnya, penyelesaian sengketa Bilateral Invesment Treaty (BIT) di negara dapat
dilakukan melalui berbagai upaya seperti melalui pendekatan legislatif, pendekatan barrier
building, pendekatan forum yudisial dan pendekatan reformasi abitrase. Susan D. Franck
mengklasifikasikan empat (4) strategi yang diusulkan oleh para ahli dalam mereformasi
mekanisme penyelesaian sengketa, khususnya guna mengantisipasi problem inkonsistensi dan
krisis legitimasi ISA :
1. Legislative approach.
Pendekatan ini menyarankan agar rumusan perjanjian investasi dibuat secara hati-hati,
yaitu dengan merinci hak-hak substantif investor atau menghapus terminologi yang tidak jelas.
Mekanisme arbitrase dianggap sebagai forum yang tepat dalam menafsirkan aturan perjanjian
investasi diantara pihak, namun arbitrator mesti difasilitasi dengan perjanjian yang cakupan dan
maknanya jelas. Pendekatan ini meyakini bahwa ketidakjelasan isi perjanjian investasi
merupakan penyebab utama munculnya krisis legitimasi putusan arbitrase.
2. The Barrier Building Approach.
Kendatipun arbitrase dianggap sebagai forum yang memadai, pendekatan ini hendak
mengantisipasi banyaknya gugatan ISA dengan menciptakan syarat-syarat yang lebih ketat.
Misalnya dengan mensyaratkan alternatif penyelesaian sengketa terlebih dulu dalam jangka
waktu tertentu, atau pengadilan lokal. Adapun yang menyarankan agar ISDS ditempuh melalui
mekanisme SSDS kembali. Perhatian utama pendekatan ini adalah menyangkut hilangnya
kedaulatan negara dalam mengukuhkan kebijakan publik nasionalnya, yang kerap terganggu oleh
gugatan investor yang tidak berdasar (frivolous claim).
3. The Rejection of Arbitration and a Return to a Public Forum.
Pendekatan ini pada dasarnya menganggap arbitrase bukan forum yang tepat dalam
menyelesaikan ISDS. Pendekatan ini mencakup mereka yang menerima gugatan investor sejauh
menerapkan prinsip exhaustion of local remedies, hingga yang berupaya mengganti ISA dengan
forum yudisial yang bersifat permanen. Pendekatan ini bertolak dari dua (2) kritik: (1) menolak
arbitrator sebagai pengambil keputusan karena dianggap bias, sehingga menyebabkan krisis
legitimasi putusan; (2) mekanisme arbitrase komersil yang bersifat privat tidak memadai, antara
lain karena tidak melibatkan partisipasi publik (transparansi dan legitimasi).
4. Building Arbitration Safeguards.
Pendekatan ini berupaya memperbaiki sistem arbitrase, antara lain dengan merevisi
aturan arbitrase untuk mengantisipasi inkonsistensi putusan dan krisis legitimasi. Hal ini dapat
ditempuh dengan mengadopsi nilai tranparansi dalam proses arbitrase (partisipasi publik dan
publikasi putusan), hingga menciptakan lembaga banding (appelate body) yang dapat melakukan
peninjauan ulang putusan arbitrase. Menyangkut hal ini, Konvensi ICSID tentang peraturan-
peraturan arbitrase (arbitration rules) direvisi kembali pada tahun 2006, setelah di amandemen
pada tahun 2003. Sejak tahun 2016, badan ICSID dan UNCITRAL masih mengkaji
kemungkinan amandemen peraturannya. Beberapa masalah yang menjadi sorotan antara lain
meyangkut waktu dan biaya arbitrase, prinsip transparansi, serta syarat pengungkapan dana dari
pihak ketiga (third party funding) oleh para pihak yang bersengketa.

Anda mungkin juga menyukai