Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

UPAYA HUKUM BIASA DAN UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata

Oleh :
Khusnul Aisna Alfaridzi (081901011)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Hukum Acara Perdata dengan
judul “UPAYA HUKUM BIASA DAN UPAYA HUKUM LUAR BIASA”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangin dari
berbagai pihak. Namun, penulis berharap bahwa semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Baubau, 22 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1..............................................................................................................................La
tar Belakang........................................................................................................1
1.2..............................................................................................................................Ru
musan Masalah....................................................................................................2
1.3..............................................................................................................................Tu
juan Penulisan.....................................................................................................3
BAB II: PEMBAHASAN
2.1..............................................................................................................................Ti
njauan Umum tentang Upaya Hukum.................................................................4
2.2..............................................................................................................................U
paya Hukum Biasa..............................................................................................4
2.3..............................................................................................................................U
paya Hukum Luar Biasa......................................................................................8
BAB II : PENUTUP
3.1..............................................................................................................................Ke
simpulan..............................................................................................................11
3.2..............................................................................................................................Sa
ran.......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum acara perdata memang memberikan kesempatan kepada para pihak yang
bersengketa untuk melakukan upaya hukum apabila tidak puas atas putusan
majelis hakim. Upaya hukum itu dimulai dari banding, kasasi, hingga peninjauan
kembali. Dalam konteks itu, De Neve Mizan Allan, seorang penumpang,
menggunakan haknya lantaran tidak puas dengan putusan majelis tingkat
pertama yang telah menolak gugatannya terhadap Lion Air.
Dalam memori kasasi yang diajukan pada 21 Desember 2012 lalu, De Neve
yang memberikan kuasanya kepada OC Kaligis ini menyatakan pertimbangan
hukum majelis hakim pada tingkat pertama dan tingkat kedua tidak  tepat. Untuk
itu, demi mendapatkan rasa keadilan, De Neve mengajukan upaya hukum kasasi.
Tak gentar, Lion Air mengajukan kontra memori kasasi atas kasasi De Neve.
Kontra memori tersebut telah didaftarkan pada 21 Mei 2013 ini yang ditujukan
ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dalam kontra memori tersebut, Lion Air tidak sepakat dengan De Neve dan
menganggap putusan majelis hakim di tingkat pertama telah sesuai, adil, dan
bijaksana. Lion Air juga menyatakan De Neve bahkan tidak dapat membuktikan
dalil-dalilnya selama persidangan, begitu juga di tingkat banding.
Terkait dalil De Neve yang mengatakan Lion Air telah melakukan perbuatan
melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, pesawat
yang berlogo kepala singa ini mengatakan dalil itu mengada-ada dan sama sekali
tidak berdasar hukum. Untuk itu, Lion Air meminta agar majelis hakim agung
menolak kasasi De Neve.
Lebih lanjut, armada penerbangan nasioanal ini mengatakan majelis hakim di
tingkat judex factie selama dalam pemeriksaan perkara a quo tidak pernah salah
menerapkan hukum atau lalai menerapkan hukum atau melampaui batas
kewenangannya. Berdasarkan keyakinan tersebut, Lion Air mengatakan alasan
kasasi dari penggugat tidak berdasar hukum sama sekali.

1
2

Kasus ini bermula ketika De Neve Mizan Allan membeli tiket online pada 23
Mei 2011 melalui ATM dengan rute Papua-Jakarta. Namun, selang satu hari
setelahnya, Lion Air melakukan pengembalian uang, refund, secara sepihak.
Padahal, De Neve tidak pernah meminta pengembalian itu.
Tindakan itu merugikan De Neve baik secara material maupun immaterial. De
Neve harus mencari-cari tiket penerbangan lain dengan risiko mengeluarkan
biaya tambahan. Tidak hanya berisiko mengeluarkan biaya tambahan, refund ini
juga dapat mempengaruhi kredibilitas dan kepercayaan mitra bisnis De Neve.
Untuk itu, De Neve meminta ganti kerugian hingga mencapai Rp11,8 miliar.
Lion Air membantah semua tuduhan, bahkan menilai gugatan ini berisi
kebohonan belaka. Justru, gara-gara De Neve-lah penerbangan menjadi
terlambat selama 20 menit dari jadwal penerbangan. Atas keterlambatan itu,
Lion Air harus membeli avtur tambahan dan menambah biaya operasional,
seperti menambah gaji pilot. Sehingga, Lion Air mengajukan gugatan balik atas
perkara ini.
Atas sengketa ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memilih untuk
menolak gugatan para pihak, baik gugatan De Neve maupun gugatan balik Lion
Air. Menurut majelis, gugatan penggugat salah konsep. Majelis berpandangan
antara posita dan petitum yang diajukan oleh penggugat bertentangan. Selain itu,
gugatan yang didasarkan karena adanya perbuatan melawan hukum, oleh majelis
hakim, dianggap tidak tepat, karena gugatan tersebut merupakan wanprestasi.
Setelah membahas singkat kasus tersebut, tentu bisa kita simpulkan bahwa
dalam hukum perdata, terdapat upaya-upaya yang bisa kita lakukan ketika kita
tidak puas dengan suatu hasil putusan Majelis Hakim, baik itu dalam kasus
perdata maupun pidana. Namun dalam makalah kali ini, kita akan membahas
upaya hukum dalam perkara perdata yang terdiri dari dua, yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa yang selanjutnya akan dijelaskan lebih jauh
dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaima dan apa saja upaya-upaya hukum dalam hukum perdata?
3

1.3. Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui upaya-upaya hukum dalam hukum perdata.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum tentang Upaya Hukum


Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan
putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan
putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan,
tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang
dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau
memihak salah satu pihak.
Menurut Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, upaya
hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau
hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam
hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dalam
hukum perdata sendiri, kita bisa berkesimpulan bahwa upaya hukum
adalah hak tergugat atau penuntut untuk tidak menerima putusan
pengadilan.
Upaya hukum dalam hukum perdata terbagi menjadi 2 macam, yaitu
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa
terdiri dari verzet/perlawanan, banding, dan kasasi. Sedangkan upaya
hukum luar biasa terdiri dari peninjauan kembali dan perlawanan pihak
ketiga.

2.2. Upaya Hukum Biasa


Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang digunakan untuk
putusan yang belum berkekuatan hukum tetap. Upaya ini mencakup
perlawanan/verzet, banding, dan kasasi. Pada dasarnya menangguhkan
eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut telah
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau

4
5

uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun
dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.
a) Verzet (perlawanan) adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
tergugat ketika dijatuhkan putusan verstek yang tidak didahului oleh
upaya hukum banding penggugat, apabila penggugat terlebih dahulu
melakukan upaya hukum banding, maka tergugat tidak boleh
mengajukan verzet, namun tergugat diperbolehkan untuk mengajukan
banding. Upaya hukum verzet dapat dikategorikan sebagai penerapan
prinsip audi et alteram partem yang merupakan prinsip dalam hukum
acara perdata yang bermakna hakim mendengar kedua belah pihak
berperkara di persidangan. Pelaksanaan upaya hukum verzet tidak
terpisahkan dari verstek, mengingat kedudukan verzet dalam
perkara verstek ialah sebagai jawaban atas gugatan penggugat yang
biasanya dilaksanakan pada pengadilan tingkat pertama.
Ketentuan mengenai upaya hukum verzet terhadap
putusan verstek diatur lebih lanjut dalam Pasal 129 HIR/153 RBg dan
SEMA Nomor 9 Tahun 1964. Dalam Pasal 129 HIR ayat (1)
ditentukan bahwa, “Tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir
(verstek) dan tidak menerima putusan itu dapat mengajukan
perlawanan atas keputusan itu.” Pada pasal 129 ayat (2) juga
ditentukan bahwa,  “Jika putusan itu diberitahukan kepada yang
dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima dalam
tempo 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan
itu tidak diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka
perlawanan itu dapat diterima sampai hari ke-delapan sesudah
peringatan yang tersebut pada Pasal 196 atau dalam hal tidak
menghadap sesudah dipanggil dengan patut sampai hari ke-delapan
sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua yang tersebut
pada Pasal 197.” Maka berdasarkan ketentuan pasal dimaksud, dapat
disimpulkan bahwa tenggat waktu mengajukan verzet adalah empat
belas hari setelah putusan verstek dijatuhkan apabila pemberitahuan
6

disampaikan langsung kepada tergugat, dan delapan hari


setelah aanmaning (peringatan) apabila pemberitahuan putusan tidak
langsung diberikan kepada tergugat, atau jika tergugat tidak hadir pada
waktu aanmaning (peringatan) maka tenggat waktunya adalah sampai
hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. Jika lewat masa
tenggang seperti ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
secara langsung putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 125 HIR/149 RBg dan Pasal 129 HIR/152 RBg,
pihak yang berhak mengajukan perlawanan (verzet) adalah tergugat
atau kuasa hukumnya yang telah diberikan surat kuasa khusus.
Apabila verzet diterima dan persidangan dilanjutkan kembali, maka
pihak pelawan (yang mengajukan verzet) tetap disebut sebagai
penggugat, dengan demikian pada persidangan verzet apabila pelawan
tidak hadir kembali setelah dilakukan pemanggilan yang patut maka
Hakim dapat menjatuhkan putusan verstek kedua.
Dalam perkara biasa, putusan dijatuhkan setelah proses replik dan
duplik dari pihak penggugat dan tergugat, dimana pihak tergugat masih
diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas gugatan
penggugat. Namun pada putusan verstek hanya didapati gugatan
penggugat tanpa adanya tanggapan dari tergugat. Maka
melalui verzet lah, tergugat dianggap memberikan jawaban atas
gugatan penggugat tersebut yang merupakan salah satu kesatuan yang
tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, verzet bukanlah
gugatan atau perkara baru, namun merupakan bantahan yang ditujukan
pada ketidakbenaran dalil gugatan dengan alasan putusan verstek yang
dijatuhkan itu keliru dan tidak benar. Ketentuan bahwa terhadap
putusan verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru
ini berlandaskan pada Putusan Mahkamah Agung No. 307 K/Sip/1975.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 494K/Pdt/1983 turut menjelaskan
jika dalam proses verzet atas verstek, pelawan tetap berkedudukan
sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.
7

Pemeriksaan verzet tetap diajukan dan diperiksa dengan acara biasa


yang berlaku untuk acara perdata, dengan begitu kedudukan pelawan
akan sama dengan kedudukan tergugat.
b) Banding
Banding merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak
menerima atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama,
ketentuan dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang
mencabut ketentuan banding yang terdapat pada Herziene Inlandsche
Reglement (HIR) . Namun demikian, untuk ketentuan banding bagi
yurisdiksi pengadilan tingkat banding di luar Jawa dan Madura
ketentuan tersebut masih diatur dalam  Pasal 199 sampai dengan Pasal
205 Rechtsglement Buitengewesten (RBg).
Pengajuan banding dapat dilakukan dalam rentang waktu selama 14
(empatbelas) hari kalender, terhitung keesokkan hari dari hari dan
tanggal putusan dijatuhkan dan apabila hari ke 14 (empatbelas)
tersebut jatuh pada hari libur maka dihitung pada hari kerja
selanjutnya.
c) Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi
adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan dari semua
lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding.
Alasan yang dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan
dalam pasal 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah tidak
berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk
melampaui batas wewenang; salah menerapkan/melanggar hukum
yang berlaku; lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
8

2.3. Upaya Hukum Luar Biasa


Upaya hukum luar biasa adalah upaya yang dilakukan terhadap putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya
hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup Peninjauan kembali
(request civil) dan Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita
eksekutorial.
a) Peninjauan Kembali (request civil)
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan
undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
huikum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang
berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985
jo. UU no 5/2004, yaitu:
- ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya
diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana yang dinyatakan palsu;
- apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemuksn;
- apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih
daripada yang dituntut;
- apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu
kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan
hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus
9

permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir


(pasal 70 UU no 14/1985).

b) Perlawanan pihak ketiga (denderverzet)


Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan
kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat
mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya
adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.
Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu
putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat
dan tergugat) dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil
putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan
luar biasa).
Derden Verzet adalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang
semula bukan pihak berperkara, tetapi karena merasa berkepentingan
atas objek yang dipersengketakan dimana objek tersebut akan disita
atau dijual atau dilelang, maka ia berusaha mempertahankan objek
tersebut dengan alasan itu miliknya.
Pasal 195 (6) Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dikatakan sebagai
upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya
mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat)
dan tidak mnegikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan
mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh ebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara
tersebut pada tingkat pertama.
Pasal 378-379 Reglement op de Rechtvordering (Rv), hukum acara
perdata warisan kolonial Belanda, Derden Verzet dapat dikabulkan
hakim jika dua hal ini terbukti, yakni adanya kepentingan pihak ketiga
dan secara nyata hak pihak ketiga dirugikan. Nantinya, putusan atas
Verzet dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan
kembali.
10

Derden Verzet tidak melulu harus diajukan di pengadilan negeri


dimana perkara semula diputus. Merujuk pada Pasal 195 ayat (6),
dalam hal pengadilan negeri mendelegasikan eksekusi putusan kepada
pengadilan negeri di wilayah hukum lain, maka Derden Verzet
diajukan di pengadilan negeri yang mendapat delegasi eksekusi.
Proses pemeriksaan Derden Verzet merujuk pada proses pemeriksaan
gugatan perdata biasa. Oleh karenanya, asas-asas pemeriksaan gugatan
perdata biasa yang juga berlaku untuk dv antara lain proses
pemeriksaan secara lisan tanpa mengurangi hak para pihak untuk
menjalani pemeriksaan secara tertulis, hakim berupaya mendamaikan,
persidangan terbuka untuk umum, dan hakim dilarang mengabulkan
hal yang melebihi permohonan (ultra petitum).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Jadi, upaya hukum merupakan hak tiap tergugat ketika dia merasa tidak
puas dengan putusan kembali. Upaya hukum dalam perkara perdata sendiri
terdiri dari 2, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya
hukum biasa terdiri dari verzet, banding, dan kasasi. Sedangkan upaya
hukum luar biasa terdiri dari peninjauan kembali dan upaya pihak ketiga.
Tiap-tiapnya memiliki dasar hukum, tahapan, tenggat waktu tertentu dan
ketentuan tertentu yang sudah dijelaskan dalam Bab II.

3.2. Saran
Tiap mahasiswa hukum, atau bahkan orang-orang diluar daripada itu, perlu
mengetahui yang namanya upaya hukum karena tidak menuntut
kemungkinan, dalam beberapa tahun mendatang, kita bisa terlibat dalam
perkara perdata entah sebagai penggugat maupun tergugat. Kita tentu tidak
bisa menerima mentah-mentah putusan majelis hakim jika kita merasakan
ketidakadilan, maka dari itu kita perlu mengetahui yang namanya UPAYA
HUKUM.

11
12

DAFTAR PUSTAKA

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2296/Upaya-Hukum-
dalam-Hukum-Acara-Perdata.html
https://www.hukumonline.com/berita/a/kasus-penumpang-ivs-i-lion-air-
masuk-kasasi-lt51a167d2c75c1
https://www.pengacaranusantara.com/2021/11/jenis-upaya-hukum-pidana-
dan-perdata.html
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/14205/Verzet-
Upaya-Perlawanan-Atas-Putusan-Verstek.html#:~:text=Verzet
%20(perlawanan)%20adalah%20upaya%20hukum,namun%20tergugat
%20diperbolehkan%20untuk%20mengajukan
https://www.surialaw.com/news/derden-verzet

Anda mungkin juga menyukai