Anda di halaman 1dari 18

PSIKOLOGI KESEHATAN

“Health Literasi dan Perilaku Sehat Sakit”

OLEH :
KELOMPOK 8:
WIDIARNI J1A119209
ELISAFITA J1A119025
ANDI NURFADHILLAH SEPTIANA. R J1A119229
IKHSANA NURUL AFIA J1A117055
NUR VANDILA KALAPAT J1A119059
AUDRI APRIANTI NOOR J1A119015
IIN ARIANTI J1A119037
ARSYILA SEPTIANISA J1A119232
MEGAWATI J1A119146
WA ODE SYAMSARA SARIWATY J1A119084
BESSE AMELIA J1A119017
IKRAWATI SUMI J1A118003
LULUH OCTO ASTARINA J1A118021
UMNIYATUL UMROH J1A118061

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mencari, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan sangat
penting untuk pengambilan keputusan kesehatan. Informasi tentang masalah
kesehatan, perawatan diri, dan pencegahan penyakit dapat meningkat pemahaman
tentang faktor risiko pribadi dan strategi pencegahan, dan dengan demikian
membantu individu meningkatkan hasil kesehatan mereka (Chena et al., 2018).
Informasi kesehatan juga membantu pasien memahami diagnosis mereka,
memutuskan perawatan, memprediksi prognosis mereka dan mengatasi penyakit.
Dengan pemikiran ini, profesional kesehatan mengembangkan intervensi dan
kampanye untuk mengubah sikap, meningkatkan penggunaan layanan, dan
mempromosikan perilaku kesehatan (Poínhos et al., 2017). Namun, orang dengan
kesehatan terbatas manfaat literasi kurang dari informasi kesehatan yang tersedia
(Chena et al., 2018).
Literasi kesehatan diperlukan di seluruh dunia untuk melawan info
akademik dan untuk memungkinkan individu mempercayai dan bertindak
berdasarkan informasi, rekomendasi, dan saran yang dapat diandalkan. Ini
melibatkan orang-orang yang menerapkan berbagai keterampilan untuk
memahami informasi dan layanan kesehatan yang tersedia bahkan dalam situasi
dan konteks yang berubah dengan cepat. Sumber tepercaya harus menyediakan
informasi yang andal dan tepat waktu yang relevan dengan konteks, mudah
diakses, mudah dipahami, mudah diambil, dan mudah digunakan (Sentell et al.,
2020).
Institute of Medicine mendefinisikan literasi kesehatan sebagai
kemampuan untuk “memperoleh, memproses, dan memahami informasi dan
layanan kesehatan dasar yang diperlukan untuk membuat kesehatan yang tepat
keputusan”. Sekitar 36% orang dewasa AS (77 juta orang) memiliki di bawah
literasi kesehatan dasar. Memiliki literasi kesehatan yang memadai berarti,
sebagian, mampu menerapkan keterampilan literasi kesehatan untuk materi terkait
kesehatan seperti resep, kartu janji, dan label obat. Dibandingkan dengan individu
dengan literasi kesehatan yang memadai,orang dengan literasi kesehatan terbatas
memiliki lebih banyak kesulitan memahami dan menerapkan kesehatan informasi
dengan konsekuensi negatif bagi kesehatan mereka. Keterbatasan literasi
kesehatan juga menjadi penghalang bagi keberhasilan program pendidikan
kesehatan dan kampanye komunikasi kesehatan (Chena et al., 2018).
Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas tentang literasi
kesehatan mental, yang menjadi dasar sekaligus menunjukkan perbedaan dan
keunikan studi ini. Salah satunya berasal dari Kelly et al. (2007) yang
menjelaskan mengenai strategi literasi kesehatan mental dalam membantu
intervensi awal dalam penanganan gangguan kejiwaan. Kelly et al. melakukan
tinjauan pustaka dari studi-studi berkenaan dengan mental health literacy dan
menjabarkan empat kategori intervensi literasi kesehatan mental, yakni kampanye

1
komunitas secara keseluruhan, kampanye komunitas yang ditargetkan untuk anak
muda, intervensi dan pengajaran di sekolah-sekolah, dan program pelatihan
individu.
Upaya meningkatkan literasi kesehatan mental adalah berbagai keterampilan
sosial dan kognitif yang mendukung promosi kesehatan mental itu sendiri (Grace
et al., 2020).
Secara umum perilaku identik dengan tingkah laku artinya dapat terlihat oleh
mata tindakan-tindakan atau aktivitas yang dilakukan tiap-tiap individu. perilaku
adalah hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon).
Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. kan batasan
perilaku dari skinner, maka perilaku sehat adalah respon seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan minuman serta lingkungan (Enny Hasriany, 2018).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian health literasi?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi health literasi?
3. Mengapa health literasi penting?
4. Bagaimana cara meningkatkan health literasi?
5. Apa pengaruh atau dampak health literasi?
6. Apa pengertian perilaku sehat sakit?
7. Bagimana bentuk-bentuk perilaku sehat sakit?
8. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat sakit?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan umum dari paper ini yaitu, untuk memperluas wawasan
dan pengetahuan menganai health literasi dan perilaku sehat sakit baik bagi
penulis maupun pembaca. Selain itu, tujuan khusus sebagai berikut.
1. Mengetahui dan dapat memaparkan pengertian health literasi.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi health literasi.
3. Menjelaskan dan mengetahui pentingnya health literasi.
4. Mengetahui cara meningkatkan health literasi.
5. Memahami pengaruh atau dampak health literasi.
6. Mengetahui dan dapat memaparkan pengertian perilaku sehat sakit.
7. Mengetahui bentuk-bentuk perilaku sehat sakit.
8. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sehat sakit.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Health Literasi

2.1.1 Pengertian Helath Literasi


Health literacy atau kemelekan kesehatan didefinisikan suatu konsep yang
terintegrasi sebagai pengetahuan, motivasi, dan kompetensi untuk mengakses,
memahami, menilai dan menerapkan informasi kesehatan untuk membuat
keputusan dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari berhubungan
dengan kesehatan perawatan, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. 
National Assessment of Adults Literacy di Amerika Serikat mendefinisikan
health literacy yaitu seseorang mampu mencari, menemukan, memahami dan
menilai informasi kesehatan dari sumber elektronik dan menerapkan pengetahuan
yang telah didapatkan untuk mengatasi atau memecahkan masalah kesehatan.
Pada intinya, health literacy seseorang mampu memiliki tiga keterampilan, yaitu
keaksaraan ilmiah, melek media dan melek komputer.

Joint Committee on National Health Education Standards (1995)


mendefinisikan health literacy sebagai kapasitas individu untuk mengakses,
memahami, menilai dan mengaplikasikan informasi serta pelayanan kesehatan
dasar untuk meningkatkan kesehatan.
World Health Organization dalam Health Promotion Glossary mengambil
definisi kemelekan kesehatan yaitu kemampuan kognitif dan sosial yang
menentukan motivasi serta kemampuan seseorang untuk mendapatkan akses,
memahami dan menggunakan informasi pada cara - cara yang meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan yang baik. Dengan meningkatkan akses dan kapasitas
seseorang untuk mendapatkan dan menggunakan informasi kesehatan dengan
efektif, health literacy sangat berperan dalam pemberdayaan kesehatan
masyarakat. 
Selain menurut WHO ada pengertian lain tentang health literacy yaitu
kemampuan seseorang untuk menghasilkan proses dan komunikasi yang bisa
diubah seperti faktor dan hubungan penting antara pencegahan dan komunikasi
seseorang karena hal tersebut mampu mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk memahami informasi kesehatan yang terkait. Tingkat health literacy mampu
membatasi kemampuan seseorang dalam memahami istilah kesehatan.
Canadian Public Health Association (CPHA) Expert Panel on Health
Literacy mencoba merangkum semua elemen dalam pengertian health literacy
sebagai kemampuan untuk mengakses, memahami, menilai, dan mengaplikasi
informasi sebagai cara untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan dalam
berbagai keadaan. Masyarakat yang tidak memiliki health literacy berisiko untuk
membuat keputusan yang salah, kondisi kesehatan masyarakat dapat
memperparah kesehatan mereka.

3
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Helath Literasi
National Assesment of Adult Literacy (NAAL) menyatakan, faktor-faktor
yang mempengaruhi health literacy seseorang yang rendah adalah usia tua,
pendidikan rendah, disparitas etnis, hambatan dalam mengakses pelayanan
kesehatan dan mengakses informasi kesehatan. Namun peneliti hanya mengambil
beberapa faktor saja. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indra
penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Tingkat health
literacy yang rendah berhubungan dengan kurangnya pengetahuan.
Sehingga berpengaruh pada pencegahan penyakit, pengobatan dan
perawatan diri.
b. Akses Informasi Kesehatan
Akses informasi kesehatan adalah sebuah pencapaian, peralihan
dan perolehan akan informasi dengan atau tanpa menggunakan alat berupa
telekomunikasi dan melalui saluran atau media. Akses informasi kesehatan
menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan sumber informasi,
sehingga informasi yang dibutuhkan oleh setiap individu dapat terpenuhi.
Akses informasi kesehatan mempunyai peran penting dalam
menentukan health literacy. Hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Wonosobo. Kemampuan literasi informasi ibu hamil dalam persiapan
persalinan menunjukkan hasil ibu-ibu hamil sudah menyadari pentingnya
kebutuhan informasi. Sumber informasi yang mereka akses melalui
internet, aplikasi smart phone, majalah serta buku. Mereka juga bergabung
dalam forum untuk berdikusi dan sharing.
Penelitian yang dilakukan di (KDK) Klinik Dokter Keluarga
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kiara, Faktor yang paling
berhubungan dengan tingkat Health literacy adalah akses informasi
kesehatan. Akses informasi kesehatan mempunyai peranan penting dalam
pendekatan dengan pasien di KDK FKUI Kiara. Menurut penelitian
terdahulu, internet menjadi salah satu sumber utama informasi kesehatan.
Internet dapat menjadi dampak yang baik bagi pemahaman kesehatan,
namun sama juga dengan media lain, teradapat bahaya adanya informasi
yang salah atau berkualitas rendah di internet karena informasi di internet
tidak tersaring. Health literacy diperlukan untuk dapat menggunakan
internet dengan baik dan mengakses informasi yang tersedia.
c. Tingkat Pendidikan
Pendidikan diartikan sebagai usaha untuk membina kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan
kebudayaannya.Pendidikan merupakan usaha manusia melestarikan
hidupnya. Pendidikan merupakan suatu upaya pembelajaran pada
masyarakat agar masyarakat mau melakukakn tindakan-tindakan (praktik)

4
untuk memelihara (mengatasi) masalah-masalah dan meningkatakan
kesehatannya. Secara tidak langsung, pendidikan dapat mempengaruhi
pekerjaan dan pendapatan seseorang, sehingga mempengaruhi tingkat
kemelekan kesehatan. Penelitian tentang tingkat pendidikan yang lebih
tinggi memiliki kesadaran terhadap kelebihan berat badan, sehingga
memperbesar upaya untuk dapat mengendalikan berat badan. Hal ini
menunjukkan pengetahuan yang kurang berhubungan dengan pendidikan
formal dan informal.
d. Umur
Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak
dilakhirkan, salah satu satuan yang mengukur keberadaan suatu makhluk,
baik yang hidup ataupun yang mati. Maka dari itu umur diukur sejak ia
dilahirkan hingga masa kini.15 Kategori umur menurut Depkes RI.
a) Masa balita : 0-5 tahun.
b) Masa kanak-kanak : 5-11 tahun.
c) Masa remaja awal : 12-16 tahun.
d) Masa dewasa akhir : 17-25 tahun.
e) Masa dewasa awal : 26-35 tahun.
f) Masa dewasa akhir : 36-45 tahun.
g) Masa lansia awal : 46-55 tahun.
h) Masa lansia akhir : 56-65 tahun.
i) Masa manula : 65 sampai keatas
Seiring bertambahnya umur seseoarang akan mengalami
penurunan kemapuan untuk berfikir dan kemampuan fungsi sensorisnya,
keadaan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan untuk berfikir, hal itu
dapat mempengaruhi kemampuan membaca dan menangkap informasi,
sehingga dapat berpengaruh pada tingkat health literacy.

e. Pendapatan
Pendapatan dapat diartikan sebagai yang diperoleh dari suatu
pekerjaan. Pendapatan dapat mempengaruhi pendidikan dan pelayanan
kesehatan. seseorang dengan pendapatan tinggi cenderung akan
mendapatkan pendidikan yang baik, sehingga mempengaruhi mereka
dalam memahami dan menggunakan infromasi kesehatan. Penelitian yang
telah dilakukan di berbagai negara, pendapatan yang rendah akan
berpengaruh pada tingkat health literacy yang rendah pula.
f. Pekerjaan
Pekerjaan adalah setiap orang yang melakukan pekerjaan dan
mendapatkan upah atau imbalan lain. Pekerjaan secara umum diartikan
sebagai kegiatan aktif yang dilakukan oleh manusia yang menghasilkan
karya atau bentuk imbalan.
Pekerjaan dapat mempengaruhi kemampuan ekonomi, hal tersebut
menentukan seseorang dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dan
mendapatkan sumber informasi kesehatan.
g. Bahasa

5
Bahasa mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan ilmu dan
mengaplikasikan kemampuan. Apabila bahasa yang digunakan dalam
sehari-hari bukanlah bahasa nasional (bahasa resmi yang dipakai di
negaranya) maka seseorang akan mengalami kesulitan dalam memahamai
informasi kesehatan, sehingga akan mengalami kendala dalam berbagai
hal, misalnya memahami intruksi minum obat, buku atau brosur
pendidikan kesehatan, informasi gizi, formulir asuransi, tagihan
pengobatan dan informed concent.
h. Etnis
Budaya yang dimiliki berbagai etnis mempengaruhi kepercayaan
kesehatan, konsep antara sehat dan sakit dan cara menafsirkan pesan-pesan
kesehatan. Budaya tersebut akan mempengaruhi pola pencarian pelayanan
kesehatan dan cara berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Misalnya
seseorang akan memilih berkonsultasi dengan dokter atau perawat.
Masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis juga dapat
memiliki hambatan berkomunikasi dengan petugas kesehatan karena
masyarakat merasa bahwa petugas kesehatan tidak memahami pengobatan
tradisional dan budaya-budaya terkait kesehatan yang ada pada komunitas
mereka.

i. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan pada pria dan wanita secara
biologis, tetapi yang berperan penting dalam health literacy adalah
karakteristik, tanggung jawab dan peran. Di India, Thailand, dan negara-
negara Amerika Latin, wanita kurang menggunakan pelayanan kesehatan
dan kurang mendapatkan pelayanan kesehatan dibanding pria, beberapa
faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah :
1) Faktor pelayanan kesehatan, misalnya jarak, biaya, kesesuaian
pelayanan Kesehatan.
2) Faktor pengguna, pendapatan wanita yang lebih rendah dan
keterbatasan dalam memperoleh informasi Kesehatan.
3) Faktor institusional, keterkaitan pria atas pengambilan keputusan,
anggaran serta fasilitas kesehatan. Hal tersebut dapat
mempengaruhi tingkat health literacy.
j. Akses Pelayanan Kesehatan
Akses pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk memperoleh informasi kesehatan. Penelitian yang
dilakukan oleh Forsyth et al, akses pelayanan kesehatan bergantung
dengan saranan transportasi yang tersedia untuk mencapai pelayanan
kesehatan, lokasi pelayanan kesehatan dan adanya suransi kesehatan.
Akses pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.

2.1.3 Manfaat Helath Literasi


Literasi kesehatan berfungsi menjadi kabar kesehatan dasar supaya
seorang tadi bisa mempunyai kapasitas, memproses, memahami, &
mengkomunikasikan hal yg bersangkutan menggunakan kesehatan, literasi

6
kesehatan juga menjadi predictor bertenaga bagi pasien buat menuntaskan
masalahnya (Barker et al., 2021). Literasi kesehatan bermanfaat pula dalam
upaya perilaku perawatan diri. Seseorang yang memiliki literasi kesehatan yang
baik maka ia berketerampilan kognitif dan sosial, yang akan menentukan motivasi
dan kemampuan individu untuk mendapatkan akses kesehatan, memahami dan
menggunakan informasi kesehatan dengan cara yang mempromosikan dan
memelihara kesehatan yang baik. 
Literasi kesehatan terdiri dari penerapan serangkaian keterampilan,
termasuk membaca, berhitung, memahami, mengakses, dan menggunakan
informasi terkait kesehatan untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan. Ini
memberdayakan orang dengan keterampilan untuk meningkatkan kesehatan
mereka dan memiliki implikasi medis dan sosial yang penting. Bukti telah
menunjukkan bahwa literasi kesehatan sangat bermanfaat dengan pemahaman
masalah kesehatan, kepercayaan yang dirasakan dalam manajemen penyakit, dan
status kesehatan subjektif. Ini juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk membuat keputusan terkait kesehatan, berkomunikasi dengan penyedia
layanan kesehatan, dan menggunakan sistem perawatan kesehatan
preventif. Dalam konteks manajemen hipertensi, penelitian telah menunjukkan
bahwa literasi kesehatan merupakan penentu pengetahuan  dan kepatuhan
terhadap gaya hidup kontrol hipertensi, seperti pemantauan tekanan darah dan
minum obat antihipertensi, dan juga prediktor kontrol tekanan darah dan
perkembangan kesehatan (Nam & Yoon, 2021).

2.1.4 Cara Meningkatkan Helath Literasi


Edukasi yang baik akan membentuk pengetahuan dan perubahan perilaku
masyarakat terkait kesehatan yang dikenal dengan istilah health literacy (Falah
Fakhriatul, et al. 2021).
Upaya meningkatkan health literacy dalam upaya kesehatan program yang
diperlukan adalah program kesehatan yang lebih “efektif” yaitu program
kesehatan yang mempunyai model-model pembinaan kesehatan (Health
Development Model) sebagai paradigma pembangunan kesehatan yang diharapkan
mampu menjawab tantangan sekaligus memenuhi program upaya kesehatan.
Model ini menekankan pada upaya kesehatan dan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Menyiapkan bahan baku Sumber Daya Manusia yang berkualitas
2. Meningkatkan produktivitas Sumber Daya Manusia yang ada
3. Melindungi masyarakat luas dari pencemaran melalui upaya promotif-
preventif-protektif dengan pendekatan pro-aktif
4. Memberi pelayanan kesehatan dasar bagi yang sakit
5. Promosi kesehatan yang memungkinkan penduduk mencapai potensi
kesehatannya secara penuh
6. Penggerakkan peran serta masyarakat
7. Penciptaan lingkungan yang memungkinkan masyarakat dapat hidup dan
bekerja secara sehat (Prasetiani A. G. 2020).

7
2.1.5 Pengaruh/Dampak Helath Literasi
Lierasi kesehatan yang rendah dianggap sebagai penghalang potensial untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dampak dari rendahnya literasi
kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Status kesehatan semakin memburuk
2. Kurang pengetahuan mengenai perawatan medis dan kondisi medis
3. Kurang pemahaman dalam penggunaan pelayanan kesehatan dan
pencegahan penyakit
4. Laporan hasil kesehatan yang buruk
5. Tingkat kepatuhan yang kurang
6. Teningkatan angka masuk rumah sakit serta peningkatan biaya kesehatan.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi tenaga kesehatan untuk
meningkatkan status kesehatan menjadi kearah yang lebih baik.Selain itu juga
literasi kesehatan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap beban penyakit,
ketidakseimbangan perekonomian, dan kesenjangan kesehatan terutama pada
negara berkembang. Fokus intervensi literasi kesehatan yang efektif dengan cara
mendukung seseorang dengan literasi kesehatan yang rendah, meningkatkan
kapasitas literasi kesehatan, dan peningkatan pada organisasi, pemerintah,
kebijakan, dan sistem. Literasi kesehatan dapat meningkatkan kemampuan
kesadaran diri terhadap perubahan kesehatan yang terjadi. Literasi kesehatan
juga dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien. Semakin tinggi literasi
kesehatan maka baik juga kualitas hidup pasien.

2.2 Perilaku Sehat Sakit

2.2.1 Pengertian Perilaku Sehat Sakit


Sehat dan sakit, dihubungkan dengan kondisi fisik seseorang. Saat
bagian tubuh atau organ seseorang tidak berfungsi sebagaimana normalnya
atau kebanyakan orang, maka ia dianggap menderita atau merasakan sakit
(Gabriel, 1955). Chongji (2013) dalam Herlan (2020) saat semua bagian tubuh
bekerja selayak normalnya tanpa ada keluhan, orang tersebut dianggap
sehat. Kedua kondisi ini sering dihubungkan dengan apa yag terjadi
atau tindakan fisik seseorang. Meski demikian, tidak setiap masyarakat
menghubungkan kondisi sehat ataupun sakit hanya dengan kondisi tubuh
seseorang. Namun nilai, kepercayaan dan budaya juga memainkan peran
penting di dalam pendefinisian kondisi kesehatan seseorang.
Konsep sehat menurut World Health Organization (WHO) yaitu “Health
is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the
absence of disease or infirmity” atau dengan kata lain sehat merupakan suatu
keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya
terbebas dari penyakit atau kelemahan (WHO, 1948). Sementara Peraturan
Perundangan Indonesia tentang Kesehatan menyatakan konsep sehat sebagai suatu
keadaan sempurna baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis
(UU No. 36 Tahun 2009). Berdasarkan konsep tersebut, sehat meliputi tiga

8
karakteristik, yaitu : merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia,
memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, serta sehat
didefinisikan sebagi hidup yang kreatif dan produktif (Suryanti, 2021).
Dalam perkembangan selanjutnya, sehat didefinisikan secara lebih
kompleks. WHO perkembangan arti sehat menyebutkan terdapat empat dimensi
holistik, yaitu:
1. Organo-biologik
Sehat dalam dimensi organo-biologik menjelaskan konsep sehat secara
fisik atau badan jasmani. Dalam dimensi ini, badan jasmani dikatakan
sehat apabila terbebas dari penyakit atau kecacatan fisik sehingga dapat
beraktivitas mandiri secara normal.
2. Psikologis
Dimensi psikologis menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sehat apabila
tidak ada gangguan secara emosional atau kejiwaannya. Terbebas dari
pikiran dan emosi negatif sehingga mampu berpikir yang positif dalam
segala hal.
3. Sosial budaya
Konsep sehat dalam dimensi sosial budaya merupakan keadaan dimana
seseorang mampu beradpatasi dan bersosialisasi secara baik dengan
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, termasuk mampu mematuhi
serta menjalankan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya di sekitarnya
dengan baik.
4. Spiritual
Konsep sehat dalam dimensi spiritual merupakan suatu kondisi dimana
seseorang yang memiliki kepercayaan tertentu dan mampu melaksanakan
ajaran kepercayaan atau agama yang dianutnya sehingga mampu berpikir,
berkata, dan bersikap yang baik (Wardhana, 2016).
Seperti halnya konsep sehat, konsep sakitpun memiliki dimensi bio-psikososial
yaitu:
1. Disease
Merupakan suatu dimensi sakit yang menggambarkan sakit dalam
bentuk fisik. Disease merupakan bentuk reaksi biologis terhadap suatu
organisme, benda asing, ataupun luka (injury). Disease ini merupakan
suatu fenomena objektif yang ditandai oleh perubahan-perubahan fungsi
tubuh sebagai organisme biologis, dimana terdapat penyimpangan yang
muncul melalui gejala-gejala tertentu. Disease dapat ditemukan melalui
suatu diagnosis. Adapun contoh disease, antara lain: demam, influenza,
kanker, AIDS, dan berbagai penyakit lain.
2. Sickness
Dimensi sickness merupakan konsep sakit dalam dimensi
psikologis. Konsep sakit dalam dimensi sickness ini merupakan penilaian
seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang

9
langsung dialaminya. Konsep sickness muncul akibat adanya
ketidaknyamanan dalam diri seseorang akibat faktor psikis.
3. llness
Konsep sakit dalam dimensi illness merupakan konsep sakit secara
sosiologis. Konsep sakit ini berkaitan dengan penerimaan sosial terhadap
seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness
maupaun disease). Seseorang yang dalam keadaan illness biasanya
dibenarkan untuk melepaskan tanggung jawab, peran atau kebiasaan-
kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat secara sementara akibat dari
ketidak-sehatannya. Sakit dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan
peran khusus yang dilakukan sehubungan dengan perasaan kesakitannya
dan sekaligus memiliki tanggung jawab baru, yaitu mencari kesembuhan
(Wardhana, 2016).

2.2.2 Bentuk-bentuk Perilaku Sehat Sakit


1. Perilaku Sehat
Dalam (Alvian, 2017) ada beberapa macam bentuk perilaku sehat,
dalam perilaku sehat, mencakup:
a. Makan dengan menu seimbang
Menu seimbang yang dimaksud adalah menu seimbang
dalam arti kualitas dan kuantitas. Kualitas berarti mengandung zat-
zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Sementara kuantitas berarti
asupan gizi yang dikonsumsi tidak kurang juga tidak berlebihan.
b. Olahraga teratur
Olahraga sama halnya dengan pola makan, yakni mencakup
kualitas dan kuantitas. Kualitas mencakup gerakan sementara
kuantitas mencakup frekuensi dan waktu yang digunakan untuk
olahraga. Kedua aspek ini bergantung dari usia dan status
kesehatan yang bersangkutan.
c. Tidak merokok
Merokok berbahaya karena dapat menimbulkan berbagai
penyakit. Di antaranya, kanker paru-paru dan penyakit
kardiovaskular. Selain tidak merokok secara aktif, individu juga
harus menghindari menjadi perokok pasif. Perokok pasif adalah
orang yang menghisap asap rokok orang lain. Dampak yang
ditimbulkan sama dengan perokok aktif. Bahkan ada pendapat
yang menyatakan bahwa perokok pasif lebih berbahaya, karena
asap sisa yang dihembuskan perokok aktif mengandung 75% zat
berbahaya yang ada pada rokok, sementara perokok sendiri hanya
menghirup 25% dari kandungan rokok karena menghisap hasil
pembakaran per batang lewat filter di ujung hisap. Artinya perokok
pasif menghirup zat berbahaya 3 kali lebih banyak dari perokok
aktif.
d. Tidak minum minuman beralkohol

10
Alkohol adalah obat yang sangat keras. Alkohol dapat
berperan sebagai depresan dalam tubuh dan memperlambat
aktivitas otak. Apabila digunakan dalam kuantitas tertentu, alkohol
dapat mencederai atau bahkan membunuh jaringan biologis,
termasuk sel-sel otot dan sel-sel otak. Beberapa hambatan yang
ditimbulkan sebagai akibat dari terlalu banyak mengkonsumsi
alkohol, yaitu; fungsi intelektual, kendali perilaku dan penilaian
menjadi semakin kurang efisien.
e. Istirahat cukup
Istirahat yang cukup bukan hanya memelihara kesehatan
fisik, tetapi juga memelihara kesehatan mental. Istirahat yang
cukup merupakan kebutuhan dasar manusia untuk
mempertahankan kesehatan diri. Kurangnya waktu istirahat
individu dapat membahayakan kesehatan.
f. Mengendalikan stres
Stres dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada sistem
fisik tubuh yang berkaitan dengan kesehatan individu. Hubungan
antara stres dan kesehatan ditandai dengan meningkatnya proses
pelepasan hormon adrenalin. Bilamana terlalu tinggi dapat
menyebabkan hipertensi yang berakhir pada serangan jantung yang
membuat kematian secara tiba-tiba. Stres adalah respon individu
terhadap stresor, yaitu situasi dan peristiwa yang mengancam
mereka dan menuntut kemampuan coping mereka. Stres tidak
dapat dihindari oleh siapapun, hanya saja yang dapat dilakukan
adalah pengelolaan stres. Pengelolaan stres bertujuan agar individu
tidak mengakibatkan gangguan melakukan komunikasi dengan
keluarga, teman atau orang terdekat.
g. Perilaku lain yang positif bagi kesehatan
Perilaku lain yang positif bagi kesehatan misalnya: tidak
bergantiganti pasangan dalam berhubungan seks, penyesuaian diri
dengan lingkungan dan sebagainya. kesehatan, baik kesehatan
fisik maupun kesehatan mental.
2. Perilaku Terhadap Sakit dan Penyakit
Perilaku terhadap sakit dan penyakit yaitu perilaku tentang
bagaimana seseorang menanggapi rasa sakit dan penyakit yang bersifat
respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun eksternal (dari
luar dirinya), baik respons pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap),
maupun aktif (praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit dan
penyakit (Dr. Irwan S.K.M.,M.Kes, 2017). Dalam (Dr. Irwan
S.K.M.,M.Kes, 2017) disebutkan bahwa perilaku seseorang terhadap
sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan pemberian
pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan
pencegahan penyakit, yaitu:
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan (health promotion
behavior)
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

11
c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)

Menurut Sarwono dalam (Dr. Irwan S.K.M.,M.Kes, 2017) yang


dimaksud dengan perilaku sakit sebagai berikut : Perilaku sakit adalah
segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit
agar memperoleh kesembuhan. Perilaku sakit menurut Suchman
adalah tindakan untuk menghilangkan rasa tidak enak atau rasa sakit
sebagai akibat dari timbulnya gejala tertentu.

2.2.3 Faktor-fakrtor yang mempengaruhi Perilaku Sehat Sakit


Menurut Green (dalam Notoadmojo 2014) perilaku individu dipengaruhi
oleh 3 faktor, yaitu (Nugroho, 2021):
a. Faktor predisposisi (predisposing), yaitu faktor yang mempermudah atau
memprediksi posisi terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai nilai dan sebagainya.
b. Faktor pemungkin (enabling), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan
atau yang memfasilitasi individu untuk berperilaku. Faktor ini terwujud
dalam ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya
perilaku sehat. ketiadaan fasilitas dapat menurunkan niat individu untuk
berperilaku sehat.
c. Faktor penguat (reinforcing), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau
mendukung dan memperkuat terjadinya perilaku. Faktor ini terwujud
dalam adanya dukungan sosial, sikap dan perilaku petugas kesehatan serta
adanya referensi dari pribadi yang dipercaya.
Sementara itu, menurut Karr (dalam Notoadmojo 2014) menyebutkan
bahwa adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku sehat. Faktor-
faktor tersebut yaitu (Nugroho, 2021):
a. Niat (Behaviour Intention)
Adanya niat individu untuk bertindak sehubungan obyek atau stimulus di
luar dirinya. misalnya, pria mau menggunakan alat kontrasepsi apabila dia
memiliki niat untuk menggunakan alat kontrasepsi tersebut.
b. Dukungan sosial (Social Support)
Dukungan dari masyarakat sekitar mempengaruhi perilaku individu. Di
dalam kehidupan masyarakat, perilaku individu cenderung memerlukan
penghargaan dari masyarakat. Seminimalnya dalam berperilaku sehat tidak
menjadi gunjingan di masyarakat. Selain itu, dukungan sosial dinilai
sukses dalam mempengaruhi perilaku sehat individu. menurut banyak
penelitian, keberadaan dukungan sosial amatlah penting dalam
mempengaruhi perilaku sehat. Seringkali ditemui kegagalan atau
keberhasilan yang bersifat sementara di dalam penyelenggaraan promosi
kesehatan, karena dukungan sosial kurang bahkan tidak ada. Seringkali
upaya menerapkan perilaku sehat sia sia karena kurangnya dukungan
sosial.
c. Akses informasi (Accessebility of Information)

12
Akses informasi adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan
tindakan yang akan diambil seseorang. Informasi yang cukup dapat
menghasilkan pengetahuan terkait bagaimana mencegah suatu penyakit ,
Sehingga individu dapat mengenali permasalahan yang ada. Hal ini
mendorong untuk berperilaku sehat.
d. Otonomi pribadi (Personal Autonomy)
Otonomi pribadi adalah kewenangan berperilaku yang ditentukan
berdasarkan keinginan diri sendiri. Dalam pengambilan keputusan yang
bebas oleh individu saat ini dinilai masih sukar. Misalnya di Indonesia,
istri harus tunduk terhadap suami. Sehingga ruang pengambilan keputusan
tergantung suami.
e. Situasi yang Memungkinkan (Action Situation)
Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan meliputi pengertian yang
luas, baik itu berkaitan dengan fasilitas yang tersedia maupun kemampuan
yang tersedia. menurut notoadmojo 2014 Tersedianya fasilitas dan
kemampuan membuat individu mampu mewujudkan sikap. Tindakan tidak
akan Terlaksana tanpa adanya sarana dan prasarana
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SAKIT
a. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi perilaku sakit meliputi dua hal
yaitu pertama persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang
dialami, klien akan segera mencari pertolongan jika gejala tersebut dapat
mengganggu rutinitas kegiatan sehari-hari. Misalnya: Tukang Kayu yang
menderita sakit punggung, jika ia merasa hal tersebut bisa membahayakan
dan mengancam kehidupannya maka ia akan segera mencari bantuan.
Akan tetapi persepsi seperti itu dapat pula mempunyai akibat yang
sebaliknya. Bisa saja orang yang takut mengalami sakit yang serius, akan
bereaksi dengan cara menyangkalnya dan tidak mau mencari bantuan.
Faktor yang kedua adalah asal atau jenis penyakit, pada penyakit akut
dimana gejala relatif singkat dan berat serta mungkin mengganggu fungsi
pada seluruh dimensi yang ada, Maka klien bisanya akan segera mencari
pertolongan dan mematuhi program terapi yang diberikan. Sedangkan
pada penyakit kronik biasanya berlangsung lama (>6 bulan) sehingga jelas
dapat mengganggu fungsi diseluruh dimensi yang ada (Irwan, 2017).
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal meliputi gejala yang dapat dilihat, gejala yang
terlihat dari suatu penyakit dapat mempengaruhi citra tubuh dan perilaku
sakit. misalnya: orang yang mengalami bibir kering dan pecah-pecah
mungkin akan lebih cepat mencari pertolongan dari pada orang dengan
serak tenggorokan, karena mungkin komentar orang lain terhadap gejala
bibir pecah-pecah yang dialaminya. Faktor kelompok sosial, Kelompok
sosial klien akan membantu mengenali ancaman penyakit, atau justru
meyangkal potensi terjadinya suatu penyakit. Misalnya: Ada 2 orang
wanita, sebut saja Ny. A dan Ny.B berusia 35 tahun yang berasal dari dua
kelompok sosial yang berbeda telah menemukan adanya benjolan pada
Payudaranya saat melakukan SADARI. Kemudian mereka
13
mendiskusikannya dengan temannya masing-masing. Teman Ny. A
mungkin akan mendorong mencari pengobatan untuk menentukan apakah
perlu dibiopsi atau tidak; sedangkan teman Ny.B mungkin akan
mengatakan itu hanyalah benjolan biasa dan tidak perlu diperiksakan ke
dokter. faktor latar belakang budaya, Latar belakang budaya dan etik
mengajarkan sesorang bagaimana menjadi sehat, mengenal penyakit, dan
menjadi sakit. Dengan demikian perawat perlu memahami latar belakang
budaya yang dimiliki klien.
Faktor ekonomi, semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang
biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala penyakit yang ia
rasakan. Sehingga ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa ada
gangguan pada kesehatannya. Faktor kemudahan akses terhadap sistem
pelayanan, dekatnya jarak klien dengan RS, klinik atau tempat pelayanan
medis lain sering mempengaruhi kecepatan mereka dalam memasuki
sistem pelayanan kesehatan. Demikian pula beberapa klien enggan
mencari pelayanan yang kompleks dan besar dan mereka lebih suka untuk
mengunjungi Puskesmas yang tidak membutuhkan prosedur yang rumit.
Faktor dukungan sosial, dukungan sosial disini meliputi beberapa institusi
atau perkumpulan yang bersifat peningkatan kesehatan (Irwan, 2017).

14
BAB III

PENUTUP

15
DAFTAR PUSTAKA

Alvian. (2017, Oktober 3). Konsep Perilaku Sehat dan Sakit. pp. 15-18.
Barker, P. C., Holland, N. P., Shore, O., Cook, R. L., Zhang, Y., Warring, C. D.,
& Hagen, M. G. (2021). The Effect of Health Literacy on a Brief
Intervention to Improve Advance Directive Completion: A Randomized
Controlled Study. Journal of Primary Care and Community Health, 12.
https://doi.org/10.1177/21501327211000221
Chena, X., Hayb, J. L., Watersc, E. A., Kiviniemia, M. T., Biddlea, C.,
Schofieldb, E., Lib, Y., Kaphingstd, K., & Orom, H. (2018). Health Literacy
and Use and Trust in Health Information. J Health Commun, 23(8), 724–734.
https://doi.org/10.1080/10810730.2018.1511658.Health
Dr. Irwan S.K.M.,M.Kes. (2017). ETIKA DAN PERILAKU KESEHATAN.
Gorontalo: CV. ABSOLUTE MEDIA.

Enny Hasriany. (2018). Analisis Intensitas Emosi terhadap Perilaku Sehat Korban
Bencana Pasca Erupsi Gunung Sinabung di pengungsian UNIKA Kabanjahe
Kabupaten Tanah Karo. Jurnal Akademi Pariwisata Medan, 6(2), 51–66.
Falah Fakhriatul, et al. 2021. Peningkatan Health Literacy Terkait Covid 19
Melalui Edukasi Terhadap Kader Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas
Dungingi, Gorontalo. Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah. Volume 10 (1)
Halaman 9-13.

Grace, S. B., Tandra, A. G. K., & Mary, M. (2020). Komunikasi Efektif dalam
Meningkatkan Literasi Kesehatan Mental. Jurnal Komunikasi, 12(2), 191.
https://doi.org/10.24912/jk.v12i2.5948
Herlan, H., Praptantya, D. B., Juliansyah, V., Efriani, E., & Dewantara, J. A.
(2020). Konsep Sehat dan Sakit pada Budaya Etnis Dayak
Kebahan. ETNOREFLIKA: Jurnal Sosial dan Budaya, 9(1), 24-38.

Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan. CV. Absolute Media.

Kelly, C. M., Jorm, A. F., & Wright, A. (2007). Improving mental health literacy
as a strategy to facilitate early intervention for mental disorders. The Medical
Journal of Australia, 187 (7 Suppl), 1–5. https://doi.org/10.5694/j.1326-
5377.2007.tb01332.x
Nam, H. J., & Yoon, J. Y. (2021). Linking health literacy to self-care in
hypertensive patients with physical disabilities: A path analysis using a
multi-mediation model. International Journal of Environmental Research
and Public Health, 18(7). https://doi.org/10.3390/ijerph18073363
Nugroho, R. (2021). Kesehatan Desa (1st ed.). PT. Gramedia.
16
Prasetiani, A. G. (2019). Literasi Kesehatan Penyakit Tidak Menular: Literature
Review. Psikologi Perkembangan, 8(October 2013), 1–224.

Poínhos, R., BM, O., IA, van der L., AR, F., A, B., A, R., Almeida, D., & MD.
(2017). Providing personalized nutrition: Consumers’ trust and preferences
regarding sources of information, service providers and regulators, and
communication channels. Public Health Genomics.

Republik Indoensia. (2009). Undang Undang No. 36 Tahun 2009. Jakarta.

Sentell, T., Vamos, S., & Okan, O. (2020). Interdisciplinary perspectives on


health literacy research around the world: More important than ever in a time
of covid-19. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 17(9), 1–13. https://doi.org/10.3390/ijerph17093010

Toar, J. M. (2020). Faktor Yang Mempengaruhi Literasi Kesehatan Pada


Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Kota Manado. Jurnal Keperawatan,
8(2), 1–8. https://doi.org/10.35790/jkp.v8i2.32327

Suryanti, P. E. (2021). Konsep Sehat-Sakit: Sebuah Kajian Filsafat. Sanjiwani:


Jurnal Filsafat, 12(1), 90-101.
Wardhana, M. (2016). Filsafat Kedokteran (Pertama). Denpasar: Vaikuntha
International Publication.
Warda, U. A. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TINGKAT HEALTH LITERACY PADA PASIEN DIABETES
MELLITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT ISLAM NAHDLATUL
ULAMA DEMAK (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Semarang).
WHO. (1948). WHO Remains Firmly Committed to the Principles Set Out in the
Preamble to the Constitution

17

Anda mungkin juga menyukai