Anda di halaman 1dari 4

1.

Taat Aturan (QS An Nisa: 59)

Taat memiliki arti tunduk (kepada Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang, dan atau
setia. Aturan adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah sikap
tunduk kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah Swt., nabi, pemimpin, atau
yang lainnya.

Aturan yang paling tinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu terdapat pada al-Qur’an.
Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad Saw., yang disebut sunah atau
hadis.

Al-Qur'an Surat An-Nisa' Ayat 59.


َ‫أ‬ ُ َ َ ُ َّ ُ ‫اّلل َو َأط‬ ُ ‫آم ُنوا َأط‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها َّالذ‬
‫اْل أمر ِم أن ُك أم َفإ أن َت َن َاز أع ُت أم ف َ أ‬
‫شء‬ ‫ول‬ ‫أ‬‫و‬ ‫ول‬ ‫س‬‫الر‬ ‫وا‬‫يع‬ َ َّ ‫يعوا‬ َ ‫ين‬
ِ
ِ ً ْ َِِ
ُ َ ‫أ‬ َ َ ‫َ َٰ َ َ ِ أ ر‬ ‫أ ُ أ ُ أ ُ ِ أ ُ َ َّ َ ْ َ أ ِ ِ أ‬ ِ
ُ َّ َ َّ َ ُ ُّ ُ َ
‫اّلل واليو ِم اْل ِخر ۚ ذ ِلك خي وأحسن تأويل‬ ِ ‫ول ِإن كنتم تؤ ِمنون ِب‬ ِ ‫اّلل والرس‬ ِ ‫فردوه ِإل‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil
Amri (pemegang kekuasaan)) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Q.S. an-Nisa/4: 59)

Kandungan Al-Qur'an Surat An-Nisa' Ayat 59. Asbabu al-Nuzul atau sebab turunnya ayat ini
menurut Ibn Abbas adalah berkenaan dengan Abdullah bin Huzaifah bin Qays as-Samhi ketika
Rasulullah saw. mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyyah (perang yang tidak diikuti oleh
Rasulullah Saw.). As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan
Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasulullah Saw. sebagai pemimpin dalam sariyah. Al-
Qur'an Surat an-Nisa/4: 59 memerintahkan kepada kita untuk menaati perintah Allah Swt., perintah
Rasulullah Saw., dan ulil amri. Tentang pengertian ulil amri, di bawah ini ada beberapa pendapat.

1. Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari. Arti ulil amri adalah umara, ahlul ‘ilmi wal fiqh (mereka
yang memiliki ilmu dan pengetahuan akan fiqh). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
sahabat-sahabat Rasulullah Saw. itulah yang dimaksud dengan ulil amri.

2. Al-Mawardi. Ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulil amri", yaitu: (1) umāra (para
pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan), (2) ulama dan fuqaha, (3) sahabat-
sahabat Rasulullah Saw., (4) dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar.

3. Ahmad Mustafa al-Maraghi. Bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin
pasukan dan seluruh pemimpin lainnya.

Rasulullah Saw. menegaskan dalam hadis berikut ini:

Artinya: “Dari Abi Abdurahman, dari Ali sesungguhnya Rasulullah bersabda... Tidak boleh taat
terhadap perintah bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang
makruf.” (HR. Muslim)

2. Kompetisi dalam kebaikan/ Fastabiqul khairat (QS Al Maidah: 48)

https://drive.google.com/file/d/1hFMYXiKmv-usMXPqJmGiVP6ExIVWBGOS/view?usp=sharing

atau
Berkompetisi kebaikan termasuk ibadah. karena itu merupakan hal positif yang berdampak kebaikan
atau manfaat, setiap kompetisi dalam kebaikan pasti akan selalu ada manfaat, dengan kerja keras
untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam memperoleh kebaikan sama saja berusaha keras yang
terbaik dalam melakukan ibadah. Ayat Al-Qur'an Tentang Kompetisi dalam Kebaikan

Al-Qur'an Surat Al-Maidah Ayat 48


ُ ‫َ َُ أ ً ََأ َ أ‬ َ ْ َ ‫َ َأ َْ َ َ أ َ ْ َ َ ْ َ ُ َ ً َ َأ َ َ َ أ‬
‫احك أم‬ ‫اب ومهي ِمنا علي ِه ف‬ ‫ت‬ ‫وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بي يديه من الك‬
ً َ ‫َ أ َ ُ أ ِ َ َ أ َ َ ِ َّ ُ َ ِ َ َ َّ أ َ أ َ َ ُ ِ أ َ َّ َ َ ِ َ ِ َ ْ ِ َ ِ ُ َ َ ْ َ أ ُ أ أ‬
‫بينهم ِبما أنزل اّلل ول تت ِبع أهواءهم عما جاءك ِمن الحق ۚ ِلكل جعلنا ِمنكم ِشعة‬
ُ َ ‫َ َ ُأ َ أ‬ ُ ُ َ ً َ ً ُ ُ َ َ ُ َّ َ َ ‫َ أ َ ً َ َ أ‬
‫است ِبقوا‬ ‫اّلل ل َج َعلك أم أ َّمة َو ِاحدة َول َٰ ِك أن ِل َي أبل َوك أم ِ ِف ما آتاكم ف‬ ‫و ِمنهاجا ۚ ولو شاء‬
َ ُ َ ‫َ أ‬ ُ‫َ َّ َ أ ُ ُ أ َ ً َ ُ َ ُ ُ أ َ ُ أ أ‬ ‫ْ َ أ‬
‫يه تخت ِلفون‬ ِ ‫اّلل مر ِجعكم ج ِميعا فينبئكم ِبما كنتم ِف‬ ِ ‫الخ َي‬
ِ ‫ات ۚ ِإل‬
Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti
keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat
di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlombalombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu
semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.”
(QS. al-Maidah : 48)

Kandungan Al-Qur'an Surat Al-Maidah Ayat 48.

Pada Al-Qur'an Surat al-Maidah ayat 48 Allah Swt. menjelaskan bahwa setiap kaum diberikan aturan
atau syariat. Syariat setiap kaum berbeda-beda sesuai dengan waktu dan keadaan hidupnya.
Meskipun mereka berbeda-beda, yang terpenting adalah semuanya beribadah dalam rangka mencari
riḍa Allah Swt., atau berlomba-lomba dalam kebaikan.

Allah Swt. mengutus para Nabi dan menurunkan syariat kepadanya untuk memberi petunjuk kepada
manusia agar berjalan pada rel yang benar dan lurus. Sayangnya, sebagian dari ajaran-ajaran mereka
disembunyikan atau diselewengkan. Sebagai ganti ajaran para nabi, manusia membuat ajaran sendiri
yang bersifat khurafat dan takhayul.

Ayat ini membicarakan bahwa al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi; al-Qur’an sebagai
pembenar kitab-kitab sebelumnya; juga sebagai penjaga kitab-kitab tersebut. Dengan menekankan
terhadap dasar-dasar ajaran para nabi terdahulu, al-Qur’an juga sepenuhnya memelihara keaslian
ajaran itu dan menyempurnakannya.

Akhir ayat ini juga mengatakan, perbedaan syariat tersebut seperti layaknya perbedaan manusia
dalam penciptaannya, bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Semua perbedaan itu adalah rahmat dan
untuk ajang saling mengenal. Ayat ini juga mendorong pengembangan berbagai macam kemampuan
yang dimiliki oleh manusia, bukan malah menjadi ajang perdebatan. Semua orang dengan potensi dan
kadar kemampuan masing-masing, harus berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan. Allah Swt.
senantiasa melihat dan memantau perbuatan manusia dan bagi-Nya tidak ada sesuatu yang
tersembunyi.

Mengapa kita diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan?


Pertama, bahwa melakukan kebaikan tidak bisa ditunda-tunda, melainkan harus segera dikerjakan.
Sebab kesempatan hidup sangat terbatas, begitu juga kesempatan berbuat baik belum tentu setiap
saat kita dapatkan. Kematian bisa datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Oleh karena itu,
begitu ada kesempatan untuk berbuat baik, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan.

Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya saling memotivasi dan saling tolong-menolang, di sinilah
perlunya kolaborasi atau kerja sama. Lingkungan yang baik adalah lingkungan yang membuat kita
terdorong untuk berbuat baik. Tidak sedikit seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena
lingkungan. Lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara
istiqamah (konsisten).

Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan. Allah Swt.
berfirman:
‫ْ أ‬ ‫َ أ أ‬ ُ َ َ ‫َّ أ‬ ْ َ ُ َ
‫َوت َع َاونوا َعل ال ِي َوالتق َو َٰى َول ت َع َاونوا َعل ِاْلث ِم َوال ُعد َو ِان‬
Artinya: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...” (Q.S. al-Maidah : 2)

Langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang baik adalah dengan memulai dari diri sendiri, dari
yang terkecil, dan dari sekarang. Mengapa? Sebab inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki
sebuah bangsa. Kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa, apa pun hebatnya
secara teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh jika pribadi dan keluarga yang ada di
dalamnya sangat rapuh.

3. Etos Kerja

https://drive.google.com/file/d/1vy1vQnoOMhQBLw1LJH4Sd_lc2IXfiBRi/view?usp=sharing

4. Iman Kepada Kitab-kitab Allah

Pertama
https://drive.google.com/file/d/1EnLdOwfaRsSwGM68TsZkRe7qJuRaOhEK/view?usp=sharing

Kedua
https://drive.google.com/file/d/1_liotVDHYbhDEQLMU9DAjoOIe0sycQoB/view?usp=sharing
5. Syaja`ah (sikap berani dalam kebenaran)

Secara etimologi kata al-syaja’ah berarti berani antonimnya adalah al-jubn yang berarti pengecut. Kata
ini digunakan untuk menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu
mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko dalam rangka
membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan sebagaimana mestinya
menjerumuskan seorang muslim kepada kehinaan.

Syaja’ah dalam kamus bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan, yaitu seseorang yang dapat
bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima musibah atau keberanian
dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang pengecut sukar didapatkan sikap sabar dan berani.
Selain itu Syaja’ah (berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu
sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
Penerapan Syaja’ah dalam Kehidupan. Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu:
1) Rasa takut kepada Allah Swt.
2) Lebih mencintai akhirat daripada dunia.
3) Tidak ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.
4) Tidak menomori satukan kekuatan materi.
5) Tawakal dan yakin akan pertolongan Allah Swt.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang
yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah
pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syuja’). Al-syaja’ah
(berani) bukan sinonim ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”

Macam-Macam Syaja'ah. Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:

1) Syaja’ah harbiyyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam
medan tempur di waktu perang.
2) Syaja’ah nafsiyyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan
kebenaran.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:

1) Berani membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.


2) Berani membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.

Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam
beberapa bentuk, yakni:
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya
dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah Swt.
b) Berterus terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan
merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia adalah
merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
d) Berani mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang tidak mau mengakui
kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu sembunyi tangan” Orang yang memiliki
sifat syajā’ah berani mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
e) Bersikap obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap “over confidence”
terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak memiliki kelemahan serta
kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under estimate” terhadap dirinya yakni menganggap
dirinya bodoh, tidak mampu berbuat apaapa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap
tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif, dalam
mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Menahan nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah li an-
nafs, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan diri dan menahan
tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk melampiaskan amarahnya.
Hikmah Syaja’ah. Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap
muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan bagi
kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat, tanggap, perkasa,
memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi apabila seorang terlalu
dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat
memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika
seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa,
kecil hati dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai