Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN PASIEN Ny. Y DENGAN TUBERKULOSIS


PARU RELAPS DI RUANGAN AL-FAJAR
RSUD HAJI MAKASSAR

Di Susun Oleh :
Kelompok 7

1. Husni Sileuw
2. Elvini Katharina S.
3. Mirda Ayu Lestari
4. Pratiwi Nur
5. Alma Rahma A.R

CI LAHAN CI INSTITUSI

(……………………..) (…………………….)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS MEGAREZKY MAKASSAR

TAHUN AKADEMIK
2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman TB
berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan
yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA) (Utama, 2018).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan peradangan yang menyerang dinding
alveolus yang disebabkan adanya bintil-bintil pada dinding dalam alveolus.
Penyakit ini disebabkan karena infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis pada
jaringan paru-paru. Cara penularan penyakit ini dapat melalui udara (Sarwandi
& Linangkung, 2014).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Tuberkulosis paru
adalah salah satu penyakit yang menyerang sistem pernapasan yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan dapat ditularkan secara droplet atau
melalui udara.
B. Etiologi Tuberkulosis Paru
Penyakit TB paru disebabkan oleh kuman TB, yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh
kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Utama, 2018).
C. Klasifikasi
TB paru diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Lokasi anatomi dari penyakit
TB yang terjadi pada prenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitas TB di rongga
dada (hilus atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran
radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra
paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB
ekstra paru diklasifikasiakan sebagai pasien TB paru.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya
TB yang terjadi pada organ selain paru misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Diagnosis
TB dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klini.
Diagnosis TB harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium
tuberculosis. (Kemenkes RI, 2014).
Untuk tipe penderita TB paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada
beberapa tipe yaitu :
1. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).
2. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Kasus setelah putus berobat/lalai pengobatan (Default / drop uot)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan berhenti
2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umunya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positf atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
lebih. Atau pnderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
5. Kasus pindahan (Transfer in)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pndahan tersebut
harus membawa surat rujukan/pindah (formulir TB 09).
6. Kasus kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
7. Tuberklosis resistensi ganda / Multi Drug Resistance (MDR)
Adalah TB paru dengan menunjkkan resisten terhadap Rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya.(Hermayanti, 2017)
D. Faktor Resiko Tb Paru
Faktor risiko terkena TB paru adalah sering terpapar dengan pengidap TB aktif
dan kekebalan tubuh yang menurun.
1) Terpapar dengan Pengidap TB Aktif
Orang yang sering terpapar dengan pengidap TB aktif memiliki risiko lebih
tinggi untuk menderita penyakit ini. Orang yang sering terpapar diantaranya
adalah:
a Seseorang yang berkunjung ke daerah atau negara dimana TB sangat
umum, termasuk Indonesia.
b Orang yang tinggal atau bekerja di tempat dimana TB lebih umum,
seperti rumah penampungan tuna wisma, penjara, ataupun panti werdha.
c Petugas kesehatan yang bekerja dengan pengidap TB aktif.
d Masyarakat kurang mampu yang tidak memiliki akses kesehatan
memadai.
2) Kekebalan Tubuh Yang Menurun
Orang yang memiliki kekebalan tubuh yang tidak adekuat juga lebih mudah
terkena infeksi TB. Pada populasi ini, manifestasi TB juga biasanya lebih
berat. Populasi yang dimaksud contohnya adalah pada:
a Orang yang terkena infeksi HIV
b Orang dengan silicosis
c Orang yang mendapat transplantasi organ.
d Orang yang sedang dalam pengobatan kortikosteroid/imunosupresan,
atau antagonis tumor nekrosis faktor alfa.
e Anak usia kurang dari 5 tahun
f Seseorang yang telah terinfeksi dengan basil TB dalam dua tahun
terakhir.
g Orang dengan masalah kesehatan sehingga sulit bagi tubuhnya melawan
penyakit, seperti pada keganasan hematologis, kanker kepala-leher, gagal
ginjal terminal, gastrektomi, operasi bypass intestinal, sindrom
malabsorpsi kronis, atau gizi buruk.
h Merokok, penyalahgunaan alkohol dan/atau obat-obat terlarang.
i Seseorang yang terkena TB laten atau TB aktif di masa lampau, namun
pengobatannya tidak tuntas. (Riawati, 2018).
E. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru
Keluhan yang dirasakan pasien TB paru dapat bermacam-macam atau malah
banyak ditemukan tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Gejala atau manifestasi klinis TB paru, sebagai berikut:
1. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan (Utama, 2018). Gejala
ini terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Batuk mungkin saja baru ada
setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K., & Setiati,
2017).
2. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa
garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam
jumlah yang sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh
darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh
darah yang pecah (Utama, 2018). Kebanyakan batuk darah pada TB paru
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus
(Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K., & Setiati, 2017).

3. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan
lain-lain (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K., & Setiati, 2017).
4. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, K., & Setiati, 2017).
5. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan
malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin
panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek (Utama,
2018). Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C.
serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali. (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K., & Setiati, 2017)
6. Anoreksia, berat badan menurun, dan malaise.
Penyakit TB paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang,
nyeri otot, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K., &
Setiati, 2017).
7. Keringat dimalam hari
Saat bakteri penyebab TB masuk ke dalam tubuh, tubuh akan melakukan
mekanisme pertahanan untuk melawan bakteri tersebut. Salah satunya
adalah dengan memperbanyak pembentukan makrofag yang berasal dari
monosit. Makrofag ini merupakan salah satu jenis sel darah putih yang
ketika bekerja, ia akan memproduksi suatu molekul kimiawi yang disebut
dengan TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor - alfa). Molekul inilah yang
kemudian memberikan signal pada otak untuk meningkatkan set
point termoregulator di hipotalamus (Fuadah, 2017).
Karena peningkatan set point termoregulator ini, tubuh akan terpicu untuk
meningkatkan suhu tubuh yakni dengan cara memperkecil diameter
pembuluh darah (vasokonstriksi) untuk mencegah kehilangan panas
berlebih serta mensignalkan respons untuk menggigil. Setelah set point ini
tercapai, tubuh akan berusaha mengeluarkan kelebihan panas tubuh, salah
satunya adalah dengan cara berkeringat (Fuadah, 2017). Timbulnya gejala
biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan (Utama, 2018).
8. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru
Tergantung pada organ yang terkena, misalnya limfedanitis tuberkulosa,
meningitis tuberkulosa, dan pleura tuberkulosa (Utama, 2018).
F. Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Pathway
Droplet Nuklei

Invasi paru

Infeksi paru (mycobacterium


tuberkulosis)

Respon sistem imun

Reaksi Inflamasi (2-10


minggu)

Respon tubuh terhadap


inflamasi Reaksi daya tahan tubuh

Produksi sekret Droplet Nuklei


Mycobacterium
Tuberculosis
Batuk nonproduktif, Respon tubuh terhadap
produktif dan inflamasi
Hemoptisis Kuman dormant

Gastrointestinal
Bersihan jalan napas Resiko infeksi
tidak efektif
Sputum tertelan

Masuk kedalam saluran


pencernaan
Gangguan pencernaan

Intoleransi Aktivitas Malaise Nafsu makan menurun


G. Pemeriksaan Penunjang Tuberkulosis Paru
1. Sputum BTA: untuk memastikan diagnostik M. tuberculosis positif pada
tahap aktif. Sangat penting untuk menetapkan diagnosa pasti dari TB paru
dan melakukan uji kepekaan terhadap obat. Pemeriksaan sputum ini berupa
pemeriksaan mikrskopik dari dahak yang telah diwarnai secara Zeihl Neelson.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000
kuman dalam 1 mL sputum.
Ada 3 cara pemeriksaan sedaiaan sputum, yaitu :
a. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa.
b. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluorensens (pewarnaan
khusus).
c. Pemeriksaan dengan biakan (kultur).(Hermayanti, 2017)
2. Tes kulit PPD (Purified Protein Derivatve), Mantoux, Vollmer : reaksi positif
(area indurasi 10 mm atau lebih) menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya
antibodi tetapi tidak berarti untuk menunjukkan keaktifan penyakit.
3. Foto thorax : dapat menujukkan infiltrasi lesi awal pada area paru, simpanan
kalsium lesi sembuh primer, efusi cairan, akumulasi udara, area kavitas, area
fibrosa dan penyimpangan struktur mediastinal.
4. Histologi atau kultur jaringan (termasuk bilasan lambung, urine, cairan
serebrospinal biopsi kulit).
5. Biopsi jarum pada jaringan paru: positif untuk granuloma TB, adanya giant
cell menunjukkan nekrosis.
6. Laboratorium darah rutin LED: Indikator stabilitas biologik penderita, respon
terhadap pengobatan dan predeksi tingkat penyembuhan, sering meningkat
pada proses aktif.
7. Limfosit: menggambarkan status imunitas penderita (normal atau supresi).
8. Elektrolit: hiponatremia dapat terjadi akibat retensi cairan pada TB paru
kronis luas.
9. Analisa gas darah: hasil bervariasi tergantung lokasi dan beratnya kerusakan
paru.
10. Tes fatal paru: penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati,
peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total, penurun saturasi
oksigen sebagai akibat dari infiltrasi prenkim/fibrosis, kehilangan jaringan
paru dan penyakit pleural.(Wijaya & Putri, 2013).
H. Pencegahan Tuberkulosis Paru
Pencegahan TB Paru (Suryo, 2010)
1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin.
2. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan.
3. Imunisasi BCG siberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
4. Menghindari udara dingin.
5. Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya kedalam
tempat tidur.
6. Menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
7. Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga dengan
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
8. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
9. Jangan minum susu sapi mentah, sebaiknya di pasteurisasi, yaitu dengan
memasak susu sampai dengan suhu sekitar 70°C.
10. Tidak melakukan kontak udara dengan penderita.
11. Hidup secara sehat.
I. Komplikasi Tuberkulosis Paru
Komplikasi pada penderita TB paru stadium lanjut (Hermayanti, 2017):
1. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
4. Pneumothoraks (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps
spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Selain komplikasi diatas, menurut Sudoyo (2017) komplikasi dibagi menjadi
2, yaitu komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
1. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,
Poncet’s arthropathy.
2. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas menyebabkan SOPT (Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim paru dapat
menyebabkan fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,
sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan
kavitas TB.
BAB II
KEBUTUHAN DASAR

A. Kebutuhan Oksigenasi
1. Pengertian
Oksigen merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan dalam
proses kehidupan karena oksigen sangat berperan dalam proses
metabolisme tubuh (Taqwaningtyas, Ficka (2013) dalam Hidayat dan
Uliyan, 2015). Oksigenasi adalah suatu proses untuk mendapatkan O2 dan
mengeluarkan CO2. Kebutuhan fisiologi oksigenasi merupakan kebutuhan
dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel
tubuh, untuk mempertahankan hidupnya dan untuk aktivitas berbagai
organ atau sel (Kusnanto, 2016).
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen di atmosfer. Konsentrasi
oksigen dalam udara ruangan adalah 21 %. Tujuan terapi oksigen adalah
memberikan transport oksigen yang adekuat dalam darah sambil
menurunkan upaya bernafas dan mengurangi stress pada miokardium
(Mutaqqin, 2014).
2. Etiologi
Adapaun etiologi yang mempengaruhi klien mengalami gangguan
oksigenisasi yaitu.
1. Faktor Fisologi
a. Menurunnya kapasitas pengikatan O2 seperti anemia.
b. Menurunnya konsentrasi O2 yang diinspirasi seperti pada obstruksi
saluran pernapasan
c. Hipovolemia sehingga tekanan darah menurun mengakibatkan
transport O2 terganggu
d. Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu
hamil, luka, dan lain-lain.
e. Kondisi yang memengaruhi pergerakan dinding dada seperti pada
kehamilan, obesitas, muskulus skeleton yang abnormal, penyakit
kronik seperti TBC paru.
2. Faktor Perkembangan
a. Bayi premature yang disebabkan kurangnya pembentukan
surfaktan,
b. Bayi dan toddler adanya resiko infeksi saluran pernapasan akut.
c. Anak usia sekolah dan remaja, resiko infeksi saluran pernapasan
dan merokok.
d. Dewasa muda dan pertengahan: diet yang tidak sehat, kurang
aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-
paru.
e. Dewasa tua : adanya proses penuaan yang mengakibatkan
kemungkinan arteriosklerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru
menurun.
3. Faktor Perilaku
a. Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan
ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat
oksigen berkurang, diet yang tinggi lemak menimbulka
arterioklerosis.
b. Exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
c. Merokok : nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
perifer dan koroner.
d. Substansi abuse (alcohol dan obat-obatan): menyebabkan intake
nutrisi/Fe menurun mengakibatkan penurunan haemoglobin,
alcohol, menyebabkan depresi pusat pernapasan.
e. Kecemasan : menyebabkan metabolisme meningkat.

3. Patofisiologi

Proses pertukaran gas dipengaruhi oleh ventilasi, difusi dan


transportasi. Proses ventilasi (proses penghantaran jumlah oksigen yang
masuk dan keluar dari dalam paru-paru), apabila pada proses ini terdapat
obstruksi maka oksigen tidak dapat tersalur dengan baik dan sumbatan
tersebut akan direpson jalan nafas sebagao benda asing yang menimbulkan
pengeluaran mucus. Proses difusi (penyaluran oksigen dari alveoli ke
jaringan) yang terganggu akan menyebabkan ketidakefektifan pertukaran
gas. Selian kerusakan pada ventilasi, difusi, maka kerusakan pada
transportasi seperti perubahan volume sekuncup, afterload, preload, dan
kontraktilitas miokard juga dapat mempengaruhi pertukaran gas (Brunner
& Suddarth, 2016).

4. Manifestasi Klinis
Adanya penggunaan otot bantu pernapasa, fase ekpirasi memanjang,
pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul,
cheyne-stokes), pernapasan pursed-lip, pernapasan cuping hidung,
diameter thoraks anterior-posterior meningkat, ventilasi semenit menurun,
kapasitas vital menurun, tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi
menurun, ekskursi dada berubah menjadi tanda dan gejala adanya pola
napas tidak efektif sehingga menjadi gangguan oksigenisasi (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017).

Adanya PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH arteri


meningkat/menurun, bunyi napas tambahan, sianosis, diaphoresis, gelisah,
napas cuping hidung, pola napas abnormal (cepat/lambat, regular/ireguler,
dalam/dangkal), warna kulit abnormal (mis. Pucat, kebiruan) dan
kesadaran menurun menjadi tanda dan gejala gangguan pertukaran gas
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Tanda dan gejala bersihan jalan napas tidak efektif adalah batuk tidak
efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebihan, mengi, wheezing, dan/atau
ronkhi kering, mekonium di jalan napas (pada neonates), gelisah, sianosis,
bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, dan pola napas berubah
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Pada gangguan ventilasi spontan menunjukkan adanya tanda dan


gejala seperti penggunaan otot bantu napas meningkat, volume tidal
menurun, PCO2 meningkat, PO2 menurun, SaO2 menurun, gelisah dan
takikardia (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

5. Fisiologi Perubahan Fungsi Pernafasan

Adapun perubahan fungsi pernapasan, sebagai berikut.

1. Hiperventilasi. Hiperventilasi adalah adanya ‘ketidak-beresan’ pada


dada atau jantung.Kondisi disaat tubuh lebih banyak mengeluarkan
karbon dioksida daripada menghirupnya. CO2 dalam tubuh berkurang.
Level rendah tersebut memicu penyempitan pembuluh drah yag
memasok darah ke otak. Ketika hal itu terjadi maka akan merasa
‘melayang’ dan kesemutan pada jari (Pratiwi, 2016). Tanda-tanda dan
gejala hiperventilasi adalah takikardia, napas pendek, nyeri dada (chest
pain), menurunkan kinsentrasi, disorientasi, tinnitus.
2. Hipoventilasi. Hipoventilasi didefinisikan sebagai gangguan ketika
bernapas terlalu pendek atau terlalu lambat sehingga pemenuhan
oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh terjadi sangat lambat (Savitri,
2017). Biasanya terjadi pada keadaan atelektasis (kolaps paru). Tanda-
tanda dan gejala pada keadaan hipoventilasi adalah nyeri kepala,
penurunan kesadaran, disorientasi, kardiak disritmia,
ketidakseimbangan elektrolit, kejang dan kardiak arrest.
3. Hipoksia. Hipoksia adalah keadaan di mana terjadi defisiensi oksigen
yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif
aerob pada sel (Kumar, 2005). Tidak adekuatnya pemenuhan O2
seluler akibat dari defesiensi O2 yang diinspirasi atau meningkatkan
penggunaan O2 pada tingkat seluler. Hipoksia dapat disebabkan oleh:
a. Menurunnya Hb
b. Berkurangnya konsentrasi O2 jika berada di puncak gunung
c. Ketidakmampuan jaringan mengikat O2 seperti pada keracunan
sianida
d. Menurunnya difusi O2 dari alveoli ke dalam darah seperti
peneumonia
e. Menurunnya perfusi jaringan seperti pada syok
f. Kerusakan/gangguan ventilasi

Menurut Martin (2005), tanda-tanda hipoksia antara lain:


kelelahan, kecemasan, menurunnya kemampuan konsentrasi, nadi
meningkat, pernapasan cepat dan dalam, sianosis, sesak napas dan
clubbing.

6. Penatalaksanaan

a. Medis
1) Pemantauan Hemodinamika
2) Pengobatan Bronkodilator
3) Melakukan tindakan delegatif dalam pemberian medikasi oleh
dokter, missal. Nebulizer, kanula nasal, masker untuk membantu
pemberian oksigen jika diperlukan.
b. Keperawatan
1) Pembersihan jalan nafas
2) Latihan batuk efektif
3) Suctioning
4) Jalan nafas buatan
5) Atur posisi pasien (Semi fowler)
6) Pemberian oksigen
7) Teknik bernafas dan relaksasi
8) Gangguan pertukaran gas

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan untuk mengetahui
adanya gangguan oksigenasi yaitu:

a. EKG : menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung,


mendeteksi transmisi impuls dan posisi listrik jantung.
b. Pemeriksaan stress latihan, digunakan mengevaluasi respond jantung
terhadap stress fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang
respond miokard terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan
menentukan keadekuatan aliran darah koroner.
c. Pemeriksaan untuk mengukur keadekuatan ventilasi dan oksigenasi:
pemeriksaan fungsi patu, analisis gas darah (AGD).
8. Komplikasi
Obtruksi / sumbatan jalan napas atau gangguan pernafasan dapat
mempengaruhi system organ lain terutama system kardiovaskuler misalnya
aritima dan takhikardi. Selain itu dapat mengakibatkan kondisi lain seperti
Penurunan Kesadaran, Hipoksia, Cemas, dan gelisah.

Diagnosa Keperawatan

Pola napas tidak efektif

Tujuan dan Kriteria Hasil

Luaran Utama Pola napas

Luaran Tambahan Berat badan


Tingkat keletihan
Konserfasi energi

Setelah dilakukan tindakan 1x24 jam diharapkan:


- Dispnea menurun
- Frekuensi napas membaik
- Kedalaman napas membaik
Intervensi

Manajemen jalan napas


Observasi
- Monitor pola napas (Frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (misalnya gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
- Posisikan semifowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada jika perlu
- Berikan oksigen jika perlu
Edukasi

- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak kontraindikasi


- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik jika perlu

B. KONSEP DASAR KEBUTUHAN ISTIRAHAT DAN TIDUR


1. Pengertian
Istirahat merupakan keadaan rileks tanpa adanya tekanan emosional,
bukan hanya dalam keadaan tidak beraktivitas tetapi juga kondisi yg
membutuhkan ketenangan.
Tidur merupakan kondisi tidak sadar dimana individu dapat
dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai (Guyton, 1986).
Tidur diartikan sebagai suatu kedaan perubahan kesadaran melalui
tingkatan stimulus yang bervariasi yang menghasilkan keterjagaan.
Tidur merupakan keadaan irama yang aktif dan kompleks yang
melibatkan siklus yang berulang dimana tiap siklus merupakan
penggambaran dari fase-fase aktivitas tubuh dan otak yang berbeda-beda.
Sedangkan istirahat merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami
penurunan tingkat aktivitas yang menghasilkan suatu perasaan yang
menyegarkan.
2. Fisiologi tidur
Aktivitas tidur berhubungan dengan mekanisme serebral yang secara
bergantian dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Bagian
otak yang mengendalikan aktivitas dan tidur adalah batang otak, tepatnya
pada sistem pengaktifan retikularis atau rreticularis activating system
(RAS) pada Bulbar S ynchronizing Regional (BSR). RAS terdapt di batang
otak bagian atas dan diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran . RAS juga dapat dapat
memberikan rangsangan visual, pendengaran,nyeri, dan perabaan serta
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsan emosi
dan proses berpikir. P ada saat adar, RAS melepaskan katekolamin untuk
mempertahankan kewaspadaan dan agar tetap terjaga. Pengeluaran
serotonim dari BSR menimbulkan rasa kantuk yang selanjutnya
menyebabkan tidur. Trbangun atau terjaganya sesorang tergantung pada
keseimangan impuls yang diterima disistem otak dan sistem limbik.

a. Ritme sikardian
Merupakan salah satu ritme tubuh yang diatur oleh hipotalamus.
Ritme ini termasuk dalam bioritme atau jam biologis. Ritme sikardian
memengaruhi perilaku dan pola fungsi biologis utama, misalnya suhu
tubuh, deyut jantung tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan
sensorik dan suasana hati.
Pada manusia, ritme sikardian dikendalikan oleh tubuh dan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalnya cahaya, kegelapan,
gravitasi, dan faktor eksternal misalnya aktivitas sosial dan rutinitas
pekerjaan).
Ritme sikardian menjadi sinkron jika individu memiliki pola
tidur bangun yang mengikuti jam biologisnya, yaitu individu akan
terjaga pada saat ritme fisiologisnya dan psikologisnya paling inggi
atau paling aktif dan akan tidur pada saat ritme fisiologis dan
psikologisnya paling rendah
b. Tahap-Tahap Tidur
1) NREM (Non Rapid Eye Movement)
Ada 4 tahapan:
Tahap 1
 Termasuk light sleep.
 Berakhir hanya beberapa menit.
 Penurunan aktivitas fisik dimulai dengan penurunan gradual dalam
tanda vital dan metabolisme.
 Dengan mudah dibangunkan dengan stimulus sensori seperti suara
dan individu merasa seperti mimpi di siang hari.
Tahap 2
 Merupakan periode sound sleep.
 Kemajuan relaksasi
 Masih dapat dibangunkan dengan mudah.
 Berlangsung selama 10-20 menit.
 Fungsi tubuh berlangsung lambat.
Tahap 3
 Tahap awal tidur dalam
 Lebih sulit dibangunkan dan jarang bergerak.
 Otot secara total relaksasi.
 Tanda vital mengalami kemunduran teratur.
 Berlangsung 15-30 menit.
Tahap 4
 Tahap tidur benar-benar nyenyak.
 Sangat sulit dibangunkan.
 Jika tidur nyenyak telah terjadi, akan menghabiskan sepanjang
malam pada tahap ini.
 Bertanggung jawab mengistirahatkan dan memperbaiki tidur.
 Tanda vital menurun secara signifikan.
 Berlangsung 15-30 menit.
 Dapat terjadi tidur berjalan dan mengompol.
2) REM (Rapid Eye Movement)
 Periode yang sangat hidup karena mimpi penuh warna.
 Tahapan ini biasanya rata-rata setiap 90 menit dan Biasanya
berlangsung selama 20-50menit
 Tipe yang mempengaruhi respon autonom meliputi kecepatan
gerak mata, fluktuasi jantung, rata-rata pernafasan dan peningkatan
fluktuasi tekanan darah.
 Kehilangan tonus otot.
 Peningkatan sekresi gastrik.
 Tahap yang bertanggung jawab untuk perbaikan mental.
 Sangat sulit untuk dibangunkan
 Durasi dari REM meningkat setiap siklus dan rata-rata 20 menit.
3. Fungsi Istirahat Dan Tidur
a. Memperbaiki keadaan fisiologis dan psikologis.
b. Melepaskan stress dan ketegangan.
c. Memulihkan keseimbangan alami di antara pusat-pusat neuron.
d. Secara tradisional, dipandang sebagai waktu untuk memperbaiki dan
menyiapkan diri pada waktu periode bangun.
e. Memperbaiki proses biologis dan memelihara fungsi jantung.
f. Berperan dalam belajar, memori dan adaptasi.
g. Mengembalikan konsentrasi dan aktivitas sehari-hari.
h. Menghasilkan hormon pertumbuhan untuk memperbaiki serta
memperbaharui epitel dan sel otak.
i. Menghemat dan menyediakan energi bagi tubuh.
j. Memelihara kesehatan optimal dan mengembalikan kondisi fisik.
4. Kebutuhan tidur pada setiap tahap perkembangan

Usia Jumlah Pola tidur


dan tingkat kebutuhan
perkembangan tidur(jam/h
ari)
0-1 Bulan 14-18 50% dari siklus tidur adalah tidur REM, siklus tidur
(masa berlangsung selama 45-60 menit
neonatus)

1-12 bulan 12-14 20-30% dari siklus tidur adalah tidur REM, bayi mungkin akan
(masa bayi) tidur sepanjang malam

1-3 tahun ( masa 10-12 Sekitar 25% dari siklus tidur adalah REM , anak-anak tidur
anak-anak) pada siang hari dan tidur sepanjang malam

3-6 tahun 11 205 dari siklus tidur adalah tidur REM


Masa pra
sekolah

6-12 tahun 10 18,5% dari siklus tidur adalah tdiur REM


masasekolah

12-18 tahun 7-8,5 20% dari siklus tidur adalah tdiur REM
masa remaja

18-40 tahun 7-8 20% dari siklus tidur adalahnya adalah tidiur REM
Masa dewasa
muda

40-60 tahun 7-8 20% dari siklus tidur adalahnya adalah tidiur REM, individu
masa dewasa mungkin mengalami insomnia dan sulit untuk tidur
menengah

>60 tahun 6 20-25% dari siklus tidur adalah tidur REM; individu dapat
mengalami insomnia, sering terjaga sewaktu tidur, dan tahap
IV NREM menurun bahkan terkadang tidak ada

5. Siklus tidur
Selama tidur, individu mengalami siklus tidur yang didalamnya terdapat
pergantian antara tahap tidur NREM dan REM secara berulang. Siklus
tidur pada saat inidividu dapat diringkas sebagai berikut
a. Pergeseran dari tidur NREM taahp II-III selama 30 menit.
b. Pergeseran dari tidur NREM tahap III ke tahap IV. Tahap IV ini
berlangsung selama 20 menit.
c. Individu kembali mengalami tidur NREM tahap III dan tahap II yang
berlangsung selama 20 menitt.
d. Pergeseran dari tidur NREM tahap II ke tidur REM. Tidur REM ini
berlangsung selama 10 menit.
e. Pergeseran dari tidur REM ke tidur NREM tahap II
f. Siklus tidurpun dimulai, tidur NREM terjadi bergantian dengan tidur
REM . Siklus ini normalnya berlangsung selama 1,5 jam dan setiap
orang umumnya melalui 4-5 siklus selama 7-8 jam tidur.
6. Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Tidur
a. Penyakit
Penyakit infeksi limpa, banyak tidur untuk mengatasi keletihan
b. Latihan dan kelelahan
Keletihan akibat aktivitas yg tinggi dapat memerlukan lebih banyak
tidur untuk menjaga keseimbangan energi yg telah dikeluarkan
c. Stres psikologis : Seseorang yang memiliki masalah psikologis
mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur
d. Obat
Golongan obat diuretik menyebabkan seseorang insomnia,
antidepresan dapat menekan REM , kafein dapat meningkatkan saraf
simpatis menyebakan kesulitan untuk tidur
e. Nutrisi : Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yg cukup dapat mempercepat
proses tidur karena adanya triptofan (asam amino) hasil pencernaan
protein yang dapat mempermudah proses tidur
f. Lingkungan : Lingkungan yang aman dan nyaman dapat mempercepat
proses tidur
g. Motivasi : Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan
seseorang untuk tidur, misalnya seseorang yang ingin menonton siaran
olahraga yang ditayangkan pada dini hari akan tetap terjaga agar dapat
menonton bola
h. Stimulan, Alkohol dan obat-obatan
Contoh stimulan yang paling umum ditemukan adalah kafein dan
nikotin. Kafein dapat merangsang sistem saraf pusat sehingga
menyebabkan kesulitan untuk tidur. Kafein dapat ditemukan
padabeberapa minuman contohnya kopi dan the. Nikotin yang
terdappat dalam rokok dapat menstimuluasi tubuh sehingga perokok
biasanyan sullit untuk tidur dan mudah terbangun pada malam hari.
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu siklus tidur
REM golongan obat dieuritik dapat menyebabkan insomnia. Golongan
antidepresan dapat menyebabkan kesulitan untuk tidur. Golongan beta
bloker dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk. Golonngan
narkotik (misalnya meperidin hidroklorida dan morfin) dapat menekan
REM aehingga menyebabkan sering terjaga pada malam hari.
7. Masalah Kebutuhan Tidur
a. Insomnia : Keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang
adekuat, baik kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang
hanya sebentar.
b. Hipersomnia : Gangguan tidur dengan kriteria tidur berlebihan,
pada umumnya lebih dari 9 jam pada malam hari
c. Parasomnia
Kumpulan beberapa penyakit yang dapat mengganggu pola
tidur, seperti somnambulisme (berjalan-jalan dalam tidur)
d. Enuresis
Buang air kecil yg tidak di sengaja pada waktu tidur atau
mengompol
e. Apnea tidur dan Mendengkur : Disebabkan krn adanya rintangan
dalam pengaliran udara di hidung & mulut pada waktu tidur
f. Narcolepsi : Tidak dapat mengendalikan diri untuk tidur
g. Mengigau  : mengigau dikategorikan dalam ggn tidur bila terlalu
sering dan diluar kebiasaan, mengigau terjadi sebelum tidur REM

C. Konsep Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman


1. Definisi/deskripsi kebutuhan aman dan nyaman
Mengungkapkan kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman
(suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari).
Ketidaknyamanan adalah keadaan ketika individu mengalami sensasi yang
tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu ransangan. (Potter &
Perry, 2006).
Aman adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis. Pemenuhan
kebutuhan keamanan dilakukan untuk menjaga tubuh bebas dari
kecelakaan baik pasien, perawat atau petugas lainnya yang bekerja untuk
pemenuhan kebutuhan tersebut (Asmadi, 2008).
Perubahan kenyamanan adalah keadaan dimana individu mengalami
sensasi yang tidak menyenangkan dan berespon terhadap suatu rangsangan
yang berbahaya (Carpenito, 2006).
2. Tanda dan gejala
a. Tekanan darah meningkat
Tekanan darah lebih dari 120/80 mmHg
b. Nadi meningkat
Nadi berdetak lebih dari 90 x/m
c. Pernafasan meningkat
Pernafasan lebih dari 20 x/m
d. Raut wajah kesakitan (Menangis, merintih)
Pasien nampak menyeringai, meringis.
e. Posisi berhati-hati
Pasien nampak terlihat menghiundari nyeri, melindungi daerah nyeri.
3. Etiologi
a. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakkan jaringan akibat
bedah atau cidera.
b. Iskemik jaringan.
c. Spasmus otot merupakan suatu keadaan kontraksi yang tak disadari
atau tak terkendali, dan sering menimbulkan rasa sakit. Spasme
biasanya terjadi pada otot yang kelelahan dan bekerja berlebihan,
khususnya ketika otot teregang berlebihan atau diam menahan beban
pada posisi yang tetap dalam waktu yang lama.
d. Inflamasi pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan
lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia
bioaktif lainnya.
e. Post operasi.
f. Tanda dan gejala fisik
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya
untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat
penting untuk mengkajitanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik
termasuk mengobservasi keterlibatansaraf otonom.
g. Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan
gerakantubuh yang khas dan berespon secara vokal serta mengalami
kerusakan dalaminteraksi sosial. Pasien seringkali meringis,
mengernyitkan dahi, menggigit bibir,gelisah, imobilisasi, mengalami
ketegangan otot, melakukan gerakan melindungibagian tubuh sampai
dengan menghindari percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya
fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
h. Pengaruh Pada Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu
berpartisipasidalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam
melakukan tindakanhigiene normal dan dapat menganggu aktivitas
sosial dan hubungan seksual.
i. Fisiologi sistem/fungsi normal sistem rasa aman dan nyaman
Pada saat impuls ketidaknyamanan naik ke medula spinalis menuju
kebatang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respon stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan dan kenyamanan
a. Emosi
Kecemasan, depresi dan marah akan mudah terjadi dan mempengaruhi
keamanan dan kenyamanan
b. Status mobilisasi
Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot dan kesadaran
menurun memudahkan terjadinya resiko injury
c. Gangguan persepsi sensory
Mempengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yangberbahaya seperti
gangguan penciuman dan penglihatan
d. Keadaan imunitas
Gangguan ini akan menimbulkan daya tahan tubuh kurang sehingga
mudah terserang penyakit
e. Tingkat kesadarn
Pada pasien koma, respon akan menurun terhadap rangsangan
f. Gangguan tingkat pengetahuan
Kesadaran akan terjadi gangguan keselamatan dan keamanan dapat
diprediksi sebelumnya
5. Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada rasa aman dan
nyaman
a. Jatuh
Jatuh merupakan 90% jenis kecelakaan dilaporkan dari seluruh
kecelakaan yang terjadi di rumah sakit. Resiko jatuh lebih besar
dialami pasien lansia
b. Oksigen
Kebutuhan fisiologis yang terdiri dari kebutuhan terhadap oksigen
akan mempengaruhi keamanan pasien
c. Pencahayaan
Rumah sakit merupakan sarana pelayanan publik yang penting. Tata
pencahayaan dalam ruang rawat inap dapat mempengaruhi
kenyamanan pasien rawat inap
d. Vakolasi
 Mengaduh
 Menangis
 Sesak nafas
 Mendengkur
e. Ekspresi Wajah
 MeringisMengeletuk gigi
 Mengernyit dahi
 Menutup mata, mulut dengan rapat
 Menggigit bibir
f. Gerakan Tubuh
 Gelisah
 Imobilisasi
 Ketegangan otot
 Peningkatan gerakan jari dan tangan
 Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
 Gerakan melindungi bagian tubuh
g. Interaksi Sosial
 Menghindari percakapan
 Focus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri
 Menghindar kontak social
 Penurunan rentang perhatian.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul H, A Aziz. 2006. Pengantar KDM Aplikasi Konsep & Proses


Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
Anonim. (2016). Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman
Praktik Keterampilan Dasar Dalam Keperawatan.

Carpenito. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Dochterman, Joanne Mccloskey, Bulechek, Gloria M. 2018. Nursing


Interventions Classification (NIC), Fourth Edition. Missouri : Mosby
Hhtp://www.medkes.com/2013/04/penyebab-pengobatan-pencegahan-penyakit-
tbc.html

Hidayat & Uliyah. 2015. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Edisi 2. Jakarta:
Salemba medika.
Kusnanto. 2016. Modul Pembelajaran Pemenuhan Kebutuhan Oksigen.Surabaya:
FKUI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP
PPNI

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP


PPNI

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta: DPP


PPNI

Saputra, 2013. Kebutuhan dasarmanusia istirahat dan tidur. Binarupa aksara


publisher. Tanggerang selatan.
Towarto, Wartonal. 2007. Kebutuhan Dasar & Prose Keperawatan. Edisi 3.
Salemba Medika. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai