Anda di halaman 1dari 13

The Necklace

Mathilde adalah salah satu dari wanita cantik jelita yang terkadang, seolah karena adanya
kesalahan takdir, dilahirkan dalam keluarga pegawai kantoran. Dia tidak memiliki mahar,
tidak memiliki harapan, tidak memiliki jalan agar dapat dikenal, dimengerti, dicintai, dan
dinikahi oleh pria kaya dan terhormat; dan alih-alih dia membiarkan dirinya dinikahi oleh
seorang pegawai yang bekerja di Kementrian Instruksi Publik.

Dia berpakaian sederhana karena dia tidak dapat berpakaian dengan baik, tapi dia merasa
tidak bahagia seolah dia telah terpuruk dari tempat di mana dia seharusnya berada; karena
bagi wanita tidak ada yang namanya kasta ataupun tingkatan; dan kecantikan, keanggunan,
dan pesona-lah yang berpengaruh, bukan keluarga. Kecantikan alami, insting untuk bersikap
elegan, keluwesan akal, adalah satu-satunya hierarki, dan juga yang membuat wanita biasa
menjadi setara dengan wanita hebat lainnya.

Dia tak henti-hentinya menderita, merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati semua jenis
kemewahan. Dia menderita akan kemiskinan tempat tinggalnya, dinding rumahnya yang
terlihat melarat, kursinya yang telah usang, dan gordennya yang sangat jelek. Semua hal itu,
yang tidak akan pernah disadari oleh wanita lain setingkatnya, terasa menyiksa dan
membuatnya kesal. Pemandangan orang Breton bertubuh kecil yang melakukan semua tugas
rumah untuknya menggelitik rasa sesalnya sampai putus asa dan selalu mengganggu
mimpinya. Dia membayangkan ruang depan yang sunyi, dihiasi oleh permadani Oriental
yang tergantung di dinding, diterangi oleh kandil lilin yang terbuat dari perak, ada juga
tempat untuk dua pelayan dengan celana panjang selutut yang tertidur di kursi besar untuk
menyambut tamu, dibuat mengantuk oleh udara hangat dari alat pemanas. Khayalannya lalu
melayang ke ruang tamu yang dihiasi kain sutra, furnitur indah yang dapat membuat orang
terpana, dan boudoir[1] yang beraroma centil untuk berbincang setiap jam lima sore dengan
teman dekatnya dan dengan orang-orang terkenal, yang membuat semua wanita iri
kepadanya.

Ketika dia duduk untuk makan malam di depan meja bundar yang ditutupi dengan taplak
meja yang tidak dibersihkan selama tiga hari, di hadapan suaminya yang membuka
semangkuk sup dan mengatakan dengan ekspresi terpesona, “Ah, pot-au feu[2] yang lezat!
Aku tidak tahu apa lagi yang lebih enak daripada ini,” dia membayangkan makan malam
yang lezat, dengan peralatan makan perak, dengan permadani hias yang menggantung di
dinding ruangan menggambarkan tokoh-tokoh kuno dan burung-burung berterbangan di
tengah-tengah hutan dalam dongeng; dan kemudian dia mengkhayalkan sajian lezat yang
dihidangkan dengan piring cantik, dan bisikan santun yang selalu kalian dengarkan dengan
senyum seperti patung spinx sementara kalian memakan daging ikan trout atau sayap burung
puyuh.

Dia tidak memiliki gaun dan perhiasan, sementara dia tidak menyukai apapun selain itu; dia
merasa dilahirkan untuk menikmati semuanya.
Dia sangat ingin disenangi, membuat orang iri padanya, tampil mempesona, dan dikenal.
Dia pernah memiliki seorang teman dari sekolah biarawatinya dulu, dia kaya dan dia tidak
suka dengannya sehingga memutuskan untuk tidak menemuinya lagi karena dia merasa
sangat merana.
Namun pada suatu malam, suaminya pulang ke rumah dengan ekspresi riang gembira sambil
memegang amplop besar di tangannya.
“Ini,” sahutnya, “ini sesuatu untukmu.”
Istrinya langsung merobek kertasnya dan menarik sebuah kartu undangan yang bertuliskan:

“Kementrian Instruksi Publik dan Mme. Georges Ramponneau dengan hormat mengundang
M. dan Mme[3]. Loisel untuk dapat hadir di istana Kementrian pada Senin malam, tanggal 18
Januari.”

Alih-alih menjadi gembira, seperti yang telah diharapkan suaminya, dia melemparkan surat
undangan tersebut di atas meja dengan expresi meremehkan lalu bergumam:
“Apa yang kau ingin aku lakukan dengan itu?”
“Sayang, kupikir kau akan senang. Kau tidak pernah pergi ke luar, dan ini adalah kesempatan
yang bagus. Aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan undangan itu. Semua orang ingin
pergi ke sana sementara hanya orang-orang terpilih saja yang diundang, dan mereka tidak
banyak mengundang pegawai biasa. Semua pegawai tingkat atas akan datang ke sana.”
Dia melihat suaminya dengan pandangan jengkel, kemudian dia, dengan nada tidak sabaran,
bertanya kepadanya:
“Dan gaun apa yang kau ingin aku kenakan?”
Dia tampak jelas belum memikirkannya, lalu dengan gagap menjawab:
“Tentu saja dengan gaun yang kau kenakan saat kita pergi ke teater. Gaun itu terlihat cantik
bagiku.”

Dia berhenti berbicara karena terusik melihat istrinya menangis. Deras air mata membanjir
turun dengan perlahan dari kedua matanya menuju sudut bibirnya. Dengan gelagapan dia
bertanya:

“Kenapa? Ada apa?”


Namun, dengan usaha keras, istrinya berhasil menakhlukkan kesedihannya, kemudian dia
menjawab, dengan suara yang tenang, sementara dia menyapu pipinya yang basah:
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku tidak memiliki gaun, dan karena itulah aku tidak dapat
pergi ke pesta ini. Berikanlah undangan ini kepada teman kerjamu yang istrinya memiliki
gaun yang cantik.”
Suaminya putus asa. Dia lanjut berkata:
“Ayolah Mathilde. Berapa harga gaun yang cocok untuk dapat dikenakan di kesempatan
lainnya, yang juga terlihat sederhana?”

Dia bergeming selama beberapa detik, menghitung dan penasaran kira-kira berapa jumlah
yang dapat dimintanya tanpa mengundang penolakan seketika dan keterkejutan dari pegawai
kantoran sederhana.
Akhirnya dengan ragu-ragu dia menjawab:
“Aku tidak tahu berapa tepatnya, tapi kurasa aku bisa mendapatkannya dengan empat ratus
franc[4].”
Wajah suaminya menjadi pucat karena dia telah menabung uang sebanyak itu agar nantinya
dapat digunakannya untuk membeli senapan dan memanjakan dirinya dengan berburu saat
musim panas mendatang di daerah Nanterre bersama temannya yang pernah berburu di sana
setiap hari Minggu.

Tapi dia berkata:


“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus Franc. Dan carilah gaun yang cantik.”
Hari yang ditunggu semakin dekat, dan Mme. Loisel terlihat sedih, gelisah, dan cemas.
Walau bagaimanapun gaunnya telah siap. Pada suatu malam suaminya bertanya kepadanya:
“Ada apa? Ayolah, kau sudah bertingkah aneh tiga hari terakhir ini.”

Kemudian dia menjawab:


“Aku kesal karena tidak memiliki perhiasan apapun, tidak ada satupun batu permata yang
kumiliki, tidak ada yang dapat kukenakan. Aku pasti akan terlihat seperti orang yang hidup
sengsara. Mungkin lebih baik aku tidak datang sama sekali.”

Dia membalas:

“Kau bisa mengenakan bunga alami. Sekarang hal itu terlihat anggun. Dengan sepuluh franc
kau bisa mendapatkan dua atau tiga mawar yang indah.”
Itu tidak cukup menyenangkan baginya.
“Tidak. Tidak ada lagi yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara para wanita
kaya.”

Namun suaminya berteriak:


“Bodoh sekali dirimu! Temui temanmu Mme. Forestier dan tanyakan padanya apakah kau
bisa meminjam perhiasan darinya. Bukankah kau cukup dekat dengannya.”

Dia pun berteriak gembira:


“Benar juga. Aku tidak terpikir hal itu.” Keesokan harinya dia pergi menemui temannya dan
menceritakan kesengsaraannya.
Mme. Forestier pergi menuju lemari pakaiannya yang memiliki pintu kaca, mengambil
sebuah kotak perhiasan besar, membawanya kembali, membukanya, lalu berkata kepada
Mme. Loisel:

“Pilihlah, sayang.”
Pertama-tama dia melirik beberapa gelang, kemudian kalung mutiara, kemudian salib
Venetia, emas dan batu berharga lainnya yang dibuat dengan sangat indah. Dia mencoba
beberapa perhiasan di depan kaca, ragu-ragu, tidak sanggup untuk berpisah dengannya, untuk
mengembalikannya lagi. Dia terus bertanya:

“Apa kau punya yang lain?”


“Tentu saja ada. Lihatlah. Aku tidak tahu apa yang kau suka.”
Tiba-tiba dia menemukan, dalam kotak satin hitam, sebuah kalung berlian yang sangat indah;
kemudian jantungnya mulai berdetak dengan keinginan yang menggebu-gebu. Tangannya
bergetar hebat saat dia mengambilnya. Dia mengenakannya di lehernya, di luar gaunnya yang
berleher tinggi, dan terhanyut dalam kegembiraan hanya dari melihat penampilannya.

Kemudian dengan ragu-ragu dia bertanya:


“Bolehkah aku meminjam ini, hanya ini saja?”
“Tentu saja bisa.”
Dengan girangnya dia memeluk leher temannya, menciumnya dengan sangat girang,
kemudian pergi membawa harta karunnya.

Hari pesta itu pun tiba. Mme. Loisel sukses besar. Dia terlihat lebih cantik daripada mereka
semua, elegan, anggun, tersenyum, dan gembira bukan kepalang. Semua mata lelaki menuju
padanya, menanyakan namanya, berusaha berkenalan dengannya. Semua jajaran Kabinet
ingin berdansa dengannya. Dia bahkan disanjung oleh sang menteri itu sendiri.
Dia menari dengan mabuk kepayang, sangat bersemangat, dibuat mabuk oleh kenikmatan,
melupakan segala hal, dalam riuh kemenangan kecantikannya, dalam kesuksesannya, dalam
semua jenis awan kegembiraan yang terbentuk dari semua yang hadir di sana, dari semua
kekaguman, dari semua kedengkian, dan dari rasa kemenangan penuh yang terasa sangat
manis bagi hati wanita.

Dia beranjak pergi jam empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam di ruang
depan kecil dengan tiga pria lain yang istrinya sedang bersenang-senang.
Suaminya memakaikannya mantel hangat yang telah dibawanya, mantel sederhana yang
mencerminkan hidup orang biasa, yang cerminan kemiskinannya tampak kontras dengan
keangunan gaun pestanya. Istrinya menyadari hal ini dan ingin segera berlari agar tidak
dikomentari oleh wanita lain yang membungkus diri mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Namun Loisel menahannya.


“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan mencarikan kita tumpangan.”
Tapi dia tidak mendengarkan suaminya, dan dengan cepat berlari menuruni tangga. Ketika
mereka tiba di jalan, mereka tidak dapat menemukan kereta kuda; dan mereka mulai mencari,
berteriak kepada kusir yang mereka lihat sedang melintas di kejauhan.

Mereka berjalan menuju Seine, dengan putus asa, gemetar karena kedinginan. Akhirnya
mereka menemukan satu kereta kuda malam yang seolah tampak malu menunjukkan
penderitannya di siang hari sehingga tidak pernah tampak terlihat di sekitar Paris sampai
malam hari.
Kereta itu membawa mereka sampai ke rumah mereka di Rue des Martyrs, dan sekali lagi,
malangnya, mereka harus mendaki agar dapat sampai ke rumah mereka. Semua telah berakhir
baginya. Sementara bagi suaminya, dia teringat bahwa dia harus tiba di kantor besok jam
sepuluh pagi.
Dia melepaskan mantelnya yang menutupi pundaknya di depan pintu kaca agar dapat sekali
lagi melihat dirinya dalam kemenangan. Namun kemudian dia berteriak. Kalung tersebut
tidak ada di lehernya!

Suaminya yang sudah melepaskan setengah pakaiannya, bertanya:

“Ada apa denganmu?”


Dia menoleh dengan liar ke arah suaminya.
“Aku telah… aku telah… aku telah kehilangan kalung milik Mme. Forestier.”
Suaminya segera berdiri.
“Apa! Bagaimana bisa? Tidak mugkin!”
Dan mereka mulai mencari di lipatan gaunnya, di lipatan mantelnya, di dalam sakunya, di
manapun.
Mereka tidak dapat menemukannya. Suaminya bertanya:
“Kau yakin kau masih mengenakannya saat meninggalkan pesta?”
“Iya, aku masih dapat merasakannya di ruang depan Istana.”
“Tapi kalau kau menghilangkannya di jalan, kita pasti sudah mendengarnya jatuh. Pasti
tertinggal di kereta.”
“Iya. Mungkin. Apa kau ingat nomornya?”
“Tidak. Dan kau, apa kau tidak melihatnya?”
“Tidak.”
Mereka saling bertatapan, termangu menghadap satu sama lain. Kemudian Loisel
mengenakan pakaiannya.
“Aku harus kembali dengan berjalan kaki,” ujarnya, “menelusuri kembali jalan yang telah
kita lewati tadi untuk mencarinya.”
Suaminya pun pergi. Dia duduk menunggu di kursi, masih mengenakan gaun pestanya, tanpa
tenaga untuk pergi tidur, kebingungan, tanpa semangat, tanpa pikiran.
Suaminya kembali jam tujuh pagi. Dia tidak menemukan apa-apa.
Suaminya kemudian pergi ke kantor polisi, ke kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan
bagi yang menemukannya; dia pergi ke perusahaan angkutan—ke manapun, sebenarnya, ke
mana saja yang dapat memberikannya harapan walau hanya secuil.
Dia menunggu sepanjang hari, dengan kondisi yang masih sama; ketakutan yang menjadi-jadi
akan bencana besar ini.
Loisel kembali pada malam hari dengan wajah pucat dan hampa; dia tidak menemukan
apapun.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” sarannya, “katakan padanya kalau kau merusak
pengait kalungnya dan saat ini sedang diperbaiki. Itu akan mengulur waktu untuk kita.”
Dia menulis sesuai perintah suaminya.
Satu minggu kemudian mereka telah kehilangan harapan.
Dan Loisel yang telah tampak semakin menua berujar:

“Kita mungkin harus mengganti perhiasan itu.”

Keesokan harinya mereka membawa kotak penyimpan kalungnya, dan mereka pergi
menemui pembuat perhiasan yang namanya tercantum di dalamnya. Dia melihat buku
catatannya agar dapat mengingatnya kembali.
“Bukan saya yang menjual perhiasan itu, Madame; saya hanya sekedar menghias kotaknya.”
Mereka mencari dari satu pengrajin ke pengrajin yang lain, mencari kalung yang sama,
meminta mereka untuk mengingat-ingatnya, hal ini membuat mereka muak akan kekecawaan
dan penderitaan.
Mereka menemukan sebuah toko di Palais Royal, serangkaian berlian yang terlihat sama
persis dengan yang sedang dicari mereka. Harganya empat puluh ribu franc. Namun mereka
dapat memilikinya hanya dengan tiga puluh enam ribu franc.
Kemudian mereka memohon kepada pembuat perhiasan tersebut agar tidak menjualnya
selama tiga hari ke depan. Dan mereka pun membuat penawaran bahwa dia harus
membelinya kembali dengan harga tiga puluh empat ribu franc jikalau mereka menemukan
kalung yang hilang tersebut sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan ribu franc dari peninggalan ayahnya. Dia akan meminjam sisanya.
Dia memang jadi meminjam uang, seribu franc dari seseorang, lima ratus dari yang lain, lima
louis di sini, tiga louis di sana. Dia mengeluarkan wesel, berhutang banyak, berurusan dengan
rentenir, dan semua jenis pemberi pinjaman. Dia membahayakan sisa hidupnya dan tanda
tangannya tanpa mengetahui apakah dia dapat memenuhi itu semua; dan ketakutan akan
kepedihan yang kunjung tiba, akan penderitaan kelam yang sebentar lagi menimpanya, akan
kemungkinan hidup melarat dan semua siksaan moral yang akan dideritanya, dia pergi untuk
membeli kalung itu dengan menaruh tiga puluh enam ribu franc di meja kasir.
Ketika Mme. Loisel mengembalikan kalungnya, Mme. Forestier berkata kepadanya dengan
sikap dingin:
“Seharusnya kau segera mengembalikannya, mungkin aku membutuhkannya.”
Dia tidak membuka kotaknya sebagaimana yang ditakutinya. Kalau dia mengetahui bahwa
kalungnya telah diganti, apa yang akan dipikirkannya, apa yang akan dikatakannya? Apa dia
tidak akan menganggap Mme. Loisel sebagai pencuri?
Mme. Loisel tidak menyadari keparahan dari kemelaratan hidupnya. Bagaimanapun dia siap
melakukan tugasnya dengan sikap kepahlawanan. Hutang mengerikan itu harus dibayar. Dia
akan membayarnya. Mereka memberhentikan pelayannya; mereka pindah rumah; mereka
menyewa sebuah kamar loteng.

Dia akhirnya menyadari betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berurusan
dengan urusan di dapur yang menjengkelkan. Dia mencuci piring, menggunakan kukunya
yang elok bak mawar untuk membersihkan mangkuk dan panci yang berminyak tebal. Dia
mencuci kain linen yang kotor, pakaian, dan kain lap makan, lalu dijemurnya dengan berjajar;
dia membawa air sisa cuciannya melewati jalanan setiap pagi, dan mengangkat air bersih,
berhenti sebentar-sebentar untuk bernapas di setiap undakan tangga. Dan berpakaian seperti
wanita biasa, dia pergi menuju penjual buah, grosir, tukang daging dengan keranjang di
lengannya, menawar, dihina, mempertahankan hidupnya sou demi sou[5].

Setiap bulan mereka harus membayar beberapa tagihan wesel, memperbaharui yang lain
untuk mendapatkan waktu lebih.
Suaminya bekerja sampai malam membuat salinan akun pedagang, dan saat larut malam dia
sering membuat salinan manuskrip dengan imbalan lima sou per halaman.
Dan kehidupan seperti ini berjalan selama sepuluh tahun.
Setelah sepuluh tahun, akhirnya mereka dapat melunasi semuanya, semuanya, dengan tingkat
bunga yang ditetapkan oleh sang rentenir, dan akumulasi dari bunga per bulannya.

Mme. Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi wanita melarat—kuat, keras, dan kasar.
Dengan rambut berantakan, roknya miring, dan tangannya berwarna merah, dia berbicara
dengan suara nyaring sambil mengepel lantai dengan desiran air yang keras. Namun
terkadang, ketika suaminya di kantor, dia duduk di dekat jendela, dan dia mengingat kembali
malam ceria yang telah lama berlalu, saat pesta di mana dia terlihat sangat cantik dan
bahagia.
Apa yang akan terjadi jika dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang
tahu? Betapa hidup ini sangat aneh dan selalu berubah-ubah! Betapa kecilnya hal yang dapat
membuat kita tersesat atau terselamatkan!
Namun pada suatu kesempatan di hari minggu, saat sedang berjalan-jalan di Champs Elysées
untuk menyegarkan dirinya setelah bekerja keras seminggu penuh, dia tiba-tiba melihat
seorang wanita yang sedang menggandeng seorang anak. Dia adalah Mme. Forestier, masih
terlihat muda, cantik, dan menawan.
Mme. Loisel merasa tergerak hatinya. Apakah dia akan berbicara kepadanya? Iya, tentu saja.
Dan sekarang dia telah melunasi hutangnya, dia akan menceritakan yang sebanarnya
kepadanya. Kenapa tidak?

Dia berjalan ke arahnya.

“Selamat siang, Jeanne.”


Wanita tersebut tercengang karena disapa dengan familiar oleh ibu rumah tangga sederhana
ini, karena tidak mengenalnya sama sekali dia bertanya dengan tergagap:
“Tapi—madame!—aku tidak kenal—Anda pasti salah orang.”
“Tidak. Aku Mathilde Loisel.”
Temannya mengeluarkan teriakan kecil.
“Oh, Mathilde-ku yang malang! Kau terlihat sangat berbeda!”
“Iya, aku mengalami hari-hari yang cukup keras sejak terakhir kali kita bertemu, hari-hari
yang cukup malang—dan itu karena kau!”
“Karena aku! Bagaimana bisa?”
“Apa kau masih ingat dengan kalung berlian yang kau pinjamkan kepadaku agar dapat
kupakai di pesta kementerian?”
“Iya. Lalu?”
“Well, aku menghilangkannya.”
“Apa maksudmu? Kau membawanya kembali.”
“Aku membawakanmu yang sama persis dengan itu. Dan oleh karenanya kami harus
membayar hutang kami selama sepuluh tahun. Kau pasti mengerti betapa sulitnya itu untuk
kami, kami yang tidak memiliki apa-apa. Akhirnya semuanya berakhir, dan aku sangat
senang.”

Mme. Forestier bergeming.


“Kau bilang kau membeli sebuah kalung berlian untuk mengganti milikku?”
“Iya. Jadi kau tidak pernah menyadarinya! Mereka sangat mirip.”
Kemudian temannya tersenyum dengan nada riang yang terdengar bangga dan naïf.
Mme. Forestier, dengan sangat terharu, menggenggam kedua tangan Mathilde.
“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kalungku tentu saja hanya imitasi. paling mahal harganya
lima ratus franc!”

[Selesai]
The Necklace

Mathilde is one of those beautiful women who sometimes, as if by a mistake of fate, is born
into a family of office workers. She had no dowry, no hope, no way of being known,
understood, loved, and married by a rich and respectable man; and instead she allowed
herself to be married to an employee who worked at the Ministry of Public Instruction.

She was dressed simply because she couldn't dress well, but she felt unhappy as if she had
fallen from where she should have been; because for women there is no such thing as caste or
rank; and it is beauty, grace, and charm that matters, not family. Natural beauty, the instinct
to be elegant, the flexibility of reason, are the only hierarchies, and also what make ordinary
women equal to other great women.

He suffered endlessly, feeling himself born to enjoy all kinds of luxuries. He suffers from the
poverty of the place where he lives, the poor looking walls of his house, the worn out chairs,
and the terrible curtains. All of these things, which no other woman of her level would ever
realize, was excruciating and upsetting to her. The sight of the small Breton doing all the
housework for him tickled him to the point of despair and always disturbed his dreams. He
imagined a quiet antechamber, decorated with Oriental rugs hanging on the walls, lit by silver
candlesticks, there was also space for two maids in knee-length trousers who fell asleep on
large chairs to greet guests, made drowsy by the warm air from heater. His delusion then
drifted into a living room adorned with silk fabrics, beautiful furniture that could amaze one,
and sassy-scented boudoir[1] to chat every five o'clock in the afternoon with his close friends
and with famous people, which made all women envious of him.

As she sat down for dinner in front of a round table covered with a tablecloth that had not
been cleaned for three days, in front of her husband who opened a bowl of soup and said with
an enchanted expression, “Ah, delicious pot-au feu[2]! I don't know what could be better than
this," he imagined a delicious dinner, silver cutlery, with decorative rugs hanging on the walls
of the room depicting ancient figures and birds flying through the forest in fairy tales; and
then he imagined the delicious dish served with
pretty plates, and polite whispers that you always listen to with a smile like a spinx statue
while you eat trout meat or quail wings.

She had no dresses and jewels, and she liked nothing more than that; he feels born to enjoy it
all.
She desperately wants to be liked, to make people jealous of her, to look stunning, and to be
known.
She once had a friend from her nun school, she was rich and she didn't like him so decided
not to see her again because she felt so miserable.
But one night, her husband came home with a cheerful expression holding a large envelope in
his hand.
"Here," he said, "this is something for you."
His wife immediately tore off the paper and pulled out an invitation card that read:

“Ministry of Public Instruction and Mme. Georges Ramponneau cordially invites M. and
Mme[3]. Loisel to be present at the Ministry palace on Monday evening, January 18th."

Instead of being overjoyed, as her husband had expected, she threw the invitation letter on the
table with a disdainful expression and muttered:
"What do you want me to do with it?"
"Honey, I thought you'd be happy. You never go outside, and this is a good opportunity. I've
been struggling to get that invitation. Everyone wanted to go there while only a select few
were invited, and they didn't invite many ordinary employees. All the top level employees
will come there.”
She looked at her husband with an irritated look, then she, impatiently, asked him:
"And what dress do you want me to wear?"
He evidently hadn't thought about it, then stuttered to reply:
“Of course with the dress you wore when we went to the theatre. That dress looks pretty to
me.”

He stopped talking because he was disturbed to see his wife crying. Tears streamed down
slowly from his eyes to the corners of his lips. He nervously asked:

"Why? What is it?"

However, with great effort, his wife managed to overcome her grief, then she replied, in a
calm voice, while she brushed her wet cheeks:
"There is not anything. It's just that I don't have a dress, and that's why I can't go to this party.
Give this invitation to your coworker whose wife has a beautiful dress.”
Her husband is desperate. He continued to say:
"Come on Mathilde. What is the price of a dress suitable to be worn on other occasions,
which also looks simple?”

He remained motionless for a few seconds, calculating and wondering how much he could
ask for without inviting the immediate refusal and surprise of a simple office clerk.
Finally, hesitatingly answered:
"I don't know how much, but I think I can get it for four hundred francs[4]."
Her husband's face turned pale because he had saved that much money so he could later buy a
rifle and indulge himself in hunting next summer in the Nanterre area with his friend who
used to hunt there every Sunday.

But he said:
"Okay. I'll give you four hundred Francs. And look for a pretty dress."
The long awaited day drew near, and Mme. Loisel looked sad, restless, and worried.
However the dress is ready. One night her husband asked her:
"What is it? Come on, you've been acting weird these past three days."

Then he replied:
“I'm annoyed that I don't have any jewellery, not a single gemstone in my possession, nothing
to wear. I will definitely look like a miserable living person. Maybe I'd better not come at
all."

He replied:

“You can wear natural flowers. Now it looks graceful. For ten francs you can get two or three
beautiful roses."
It wasn't fun enough for him.
"Not. There is nothing more shameful than looking poor among rich women."
But her husband shouted:
“You are so stupid! Meet your friend Mme. Forestier and ask him if you can borrow jewelry
from him. Aren't you quite close to him."

He shouted with joy:


"That is true. I didn't think of that.” The next day he went to see his friend and told him of his
misery.
Mme. Forestier went to his wardrobe which had glass doors, took a large jewelery box,
brought it back, opened it, then said to Mme. Loisel:

"Choose, honey."
First he glanced at a few bracelets, then a pearl necklace, then a Venetian cross, gold and
other exquisitely crafted precious stones. He tries on some of the jewels in the mirror,
hesitating, unable to part with it, to put it back again. He kept asking:

"Do you have anything else?"


"Of course there is. Look. I don't know what you like."
Suddenly he found, in a black satin box, a very beautiful diamond necklace; then his heart
began to beat with passionate desire. His hand shook violently as he took it. She wore it
around her neck, over her high-necked dress, and drifted in joy just from seeing her look.

Then he hesitantly asked:


"May I borrow this, just this?"
"Of course, I can."
He happily wrapped his arms around his friend's neck, kissed him passionately, then went off
with his treasure.

The day of the party arrived. Mme. Loisel was a big hit. She looked prettier than all of them,
elegant, graceful, smiling, and beyond happy. All the male eyes turned to her, asking her
name, trying to get to know her. Everyone in the Cabinet wanted to dance with him. He was
even flattered by the minister himself.

She dances in ecstasy, in ecstasy, intoxicated with pleasure, forgetting all things, in the
boisterous triumph of her beauty, in her successes, in all kinds of clouds of joy that form from
all

who was present there, from all admiration, from all malice, and from a sense of complete
victory that feels so sweet to a woman's heart.

He left at four in the morning. Her husband had been asleep since midnight in the small
vestibule with three other men whose wives were having fun.
Her husband dressed her in the warm coat he had brought with her, a simple coat that
reflected the life of an ordinary person, whose reflection of poverty stood in stark contrast to
the elegance of her ball gown. His wife realized this and wanted to run quickly so as not to be
commented on by other women who wrapped themselves in expensive fur coats.
But Loisel held him back.
"Wait a moment. You'll be cold outside. I'll find us a ride."
But she didn't listen to her husband, and quickly ran down the stairs. When they arrived on
the road, they could not find a horse-drawn carriage; and they began to search, shouting at the
coachman they saw passing in the distance.

They walked towards the Seine, in despair, trembling from the cold. Finally they found a
night carriage which seemed so ashamed to show its suffering during the day that it was
never seen around Paris until the evening.
The train took them all the way to their home on the Rue des Martyrs, and again,
unfortunately, they had to climb to get to their house. It was all over for him. As for her
husband, she remembered that she had to arrive at the office tomorrow at ten in the morning.
He removed his coat over his shoulders in front of the glass door so he could once again see
himself triumphant. But then he shouted. The necklace is not around his neck!

Her husband, who had already taken off half his clothes, asked:

"What's wrong with you?"


She turned wildly at her husband.
“I have… I have… I have lost Mme's necklace. Forestier."
Her husband immediately stood up.
"What! How could that be? Impossible!”
And they started looking in the folds of her dress, in the folds of her coat, in her pockets,
everywhere.
They couldn't find it. Her husband asked:
"Are you sure you were still wearing it when you left the party?"

"Yeah, I can still feel it in the Palace's vestibule."


“But if you had lost it on the way, we would have heard it fall. Must have been left on the
train.”
"Yes. Maybe. Do you remember the number?”
"Not. And you, didn't you see it?"
"Not."

They stared at each other, dumbfounded at each other. Then Loisel put on her clothes.
"I must return on foot," he said, "retracing the path we walked earlier in search of him."
Her husband left. She sat waiting in a chair, still in her ball gown, without the energy to go to
bed, confused, without enthusiasm, without thoughts.
Her husband returned at seven in the morning. He found nothing.
Her husband then went to the police station, to the newspaper office, to offer a reward for
those who found him; he went to the transport company—anywhere, actually, anywhere that
could give him even the slightest bit of hope.
He waited all day, still the same; intense fear of this great catastrophe.
Loisel returned at night pale and empty; he found nothing.

“You should write a letter to your friend,” he suggested, “tell him that you broke his necklace
and it is currently being repaired. It will buy us time.”
She wrote according to her husband's orders.
One week later they had lost hope.
And Loisel who had looked older said:

"We should probably replace the jewellery."

The next day they took the box that kept the necklace, and they went to see the jeweler whose
name was on it. He looked at his notebook so he could recall it.
“I didn't sell the jewellery, Madame; I was just decorating the box.”
They searched from one craftsman to another, looking for the same necklace, asking them to
remember it, this made them sick of disappointment and suffering.

They found a shop in the Palais Royal, a series of diamonds that looked exactly like what
they were looking for. It costs forty thousand francs. But they could have it for only thirty-six
thousand francs.
Then they begged the jeweler not to sell it for the next three days. And they made an offer
that he should buy it back for thirty-four thousand francs if they found the missing necklace
before the end of February.

Loisel had eight thousand francs from her father's legacy. He will borrow the rest.
He did borrow money, a thousand francs from someone, five hundred from another, five louis
here, three louis there. He took out money orders, owed a lot of money, dealt with
moneylenders, and all kinds of lenders. He risked the rest of his life and his signature not
knowing if he could fulfill them all; and fearful of the pain that would come, of the dark
suffering that was about to befall him, of the possibility of poverty and all the moral torments
that would come his way, he went to buy the necklace by placing thirty-six thousand francs
on the counter.

When Mme. Loisel returned her necklace, Mme. Forestier said to him coldly:
"You should return it immediately, maybe I need it."
He didn't open the box as he feared. If she finds out that her necklace has been changed, what
will she think, what will she say? Would he not consider Mme. Loisel as a thief?
Mme. Loisel didn't realize the severity of her squalor. However he is ready to do his duty
with a heroic attitude. That terrible debt must be paid. He will pay for it. They laid off the
maids; they moved house; they rented an attic room.

She finally realized how tiring it was to do housework and deal with the irritating business of
the kitchen. She washed the dishes, using her beautiful rose nails to clean the thick greasy
bowls and pans. He washed the soiled linens, clothes, and dishcloths, and dried them in a
row; he carried the leftover water from his laundry through the streets each morning, and
raised clean water, pausing to breathe on each step. And dressed like an ordinary woman, she
went to fruit sellers, wholesalers, butchers with baskets in her arms, bidding, humiliated,
defending her life sou after sou[5].

Each month they had to pay some bills of exchange, renewing others to get more time.
Her husband worked late into the night making copies of merchant accounts, and late at night
he often made copies of manuscripts in exchange for five sou per page.
And this kind of life goes on for ten years.
After ten years, they were finally able to pay off everything, all of them, at the interest rate
set by the loan shark, and the accumulated interest per month.
Mme. Loisel looks old now. She had become a wretched woman—strong, tough, and violent.
With messy hair, slanted skirt, and red hands, she spoke in a loud voice while mopping the
floor with a loud swish of water. But sometimes, when her husband is in the office, she sits
by the window, and she recalls the happy nights long gone, at the party where she looked so
beautiful and happy.
What would have happened if he had not removed the necklace? Who knows? Who knows?
How life is so strange and ever-changing! What a small thing that can lead us astray or be
saved!
But one Sunday, while strolling the Champs Elysées to freshen up after a hard week's work,
he suddenly saw a woman holding a child. She is Mme. Forestier, still looks young, beautiful,
and charming.
Mme. Loisel felt moved. Will she talk to him? Yes, of course. And now that he had paid off
his debt, he would tell her the truth. Why not?

She walks towards him.

"Good afternoon, Jeanne."


The woman was surprised because she was greeted familiarly by this simple housewife,
because she didn't know her at all she stuttered:
"But—madame!—I don't know—you must have the wrong person."
"Not. I'm Mathilde Loisel."
His friend let out a small scream.
“Oh, my poor Mathilde! You look so different!”
"Yeah, I've had pretty hard days since the last time we saw each other, quite unfortunate days
—and that's because of you!"
"Because I! How could that be?"
"Do you remember the diamond necklace you lent me so I could wear it at the ministry
party?"

"Yes. Then?"
"Well, I lost it."
"What do you mean? You brought him back."
“I brought you the exact same one. And so we have to pay our debts for ten years. You must
understand how difficult it is for us, us who have nothing. It's finally over, and I'm so happy."

Mme. Forestier didn't budge.


“You said you bought a diamond necklace to replace mine?”
"Yes. So you never notice! They are very similar.”
Then his friend smiled in a cheerful tone that sounded proud and naive.
Mme. Forestier, deeply moved, clasped Mathilde's hands together.
“Oh, my poor Mathilde. My necklace is of course just an imitation. the most expensive is five
hundred francs!”

[Finished]

Anda mungkin juga menyukai