Anda di halaman 1dari 37

PELAYANAN PERDAMAIAN

1. Pemahaman Rasul Paulus Atas Tindakan Pendamaian Allah

Pada umumnya diakui bahwa secara teologis, penggunaan istilah “rekonsiliasi”


(perdamaian), merupakan pemakaian khas rasul Paulus. Memang di dalam Mat. 5:24
dapat kita temukan istilah diallasso (mendamaikan) yang dipakai dalam arti yang sama
dengan kata katallasso (mendamaikan), namun kata kerja katallasso dengan kata
bendanya katallage dipakai hanya di dalam tulisan-tulisan Paulus. Di sini kata kerja
katallasso digunakan sebanyak enam kali yaitu di dalam Roma 5:10; 1 Kor. 7:11
(semuanya dalam arti sekuler); 2 Kor. 5:18, 19, 20. Kata benda katallage dipakai
sebanyak empat kali yaitu di dalam Roma 5:11; 11:15; 2 Kor. 5:18, 19. Di samping itu
rasul Paulus juga menggunakan kata kerja apokatallasso1 sebanyak tiga kali, yaitu di
dalam Ef. 2: 16; Kol. 1:20, 22. Terbatasnya penggunaan istilah ini telah menimbulkan
keragu-raguan akan signifikansi teologis dari penggunaan istilah tersebut, demikian pula
bobot penggunaannya di seluruh teologia rasul Paulus. Karena itu sering dikatakan bahwa
pokok masalah rekonsiliasi itu sebenarnya tidak memegang peranan penting di dalam
keseluruhan teologi rasul Paulus. Diduga bahwa satu-satunya alasan mengapa rasul
Paulus menggunakan konsep rekonsiliasi ini adalah agar rasul Paulus dapat mempertajam
dan menggaris bawahi konsepnya tentang pembenaran.2 Walaupun demikian, berbeda
dengan pendapat ini, banyak pula penafsir yang sependapat apabila dikatakan bahwa
betapapun istilah perdamaian itu sendiri dipakai hanya dalam jumlah yang terbatas di
dalam tulisan-tulisan rasul Paulus, namun pemakaiannya memegang peranan yang sangat
menentukan, dan memiliki makna yang begitu penting di dalam keseluruhan teologi rasul
Paulus.3 Karena itu setiap upaya untuk membahas pokok masalah rekonsiliasi di dalam
1
Marshall berpendapat bahwa kata kerja ini digunakan oleh Paulus sebagai hasil kreasi yang baru. Lihat
karangannya “The Meaning of Reconciliation” di dalam buku Unity and Diversity in New Testament
theology (ed. oleh Guelich, Grand Rapids: Eerdmans, 1978) h.117.
2
Untuk penyelidikan lebih lanjut lihat E. Kasemann, “Some Thought on the Theme of the Doctrine of
Reconciliation in the New Testament”, The Future of Our Religious Past (ed. oleh J. M. Robinson,
London: SCM Press, 1971) h.49-64. Tulisan ini telah dikritik oleh A. Fitzmyer, “Reconciliation in
Pauline Theology”, No Famine in the Land, Studies in Honour of John L Mackenzie (ed. oleh J.
W. Flanagan dan A. W. Robinson, Missoula, 1975) h. 155-177.
3
H. G. Link misalnya, berpendapat bahwa istilah katallasso dan kata bendanya katallage mampu mem-
berikan gambaran theologis dan kristologis atas Diri Kristus dan pekerjaanNya secara lebih tepat di-
bandingkan dengan konsep-konsep soteriologis yang umumnya terdapat di dalam Injil-Injil Synoptis
dan Kisah Para rasul seperti misalnya istilah “pengampunan dosa”. “Reconciliation”, The Interna-
tional Dictionary of New Testament Theology Vol. 3 (ed. oleh Colin Brown, Grand Rapids: Pater-

1
tulisan-tulisan rasul Paulus, perikope 2 Korintus 5:18-21 harus mendapatkan perhatian
khusus karena di dalam perikop inilah sajalah rasul Paulus secara jelas dan agak panjang
berbicara mengenai pokok masalah rekonsiliasi.

Dalam upaya memahami teologi rasul Paulus tentang pendamaian Allah di dalam
perikope ini, perlu pertama kali mengetahui latar belakang penggunaan bahasa
perdamaian ini. Ada dugaan bahwa bahasa perdamaian ini digunakan oleh rasul Paulus
sebagai bahasa pemberitaan Injil yang dirasa cocok untuk digunakan di tengah-tengah
masyarakat yang belum percaya dibanding dengan orang-orang yang sudah percaya
seperti jemaat di Korintus misalnya. Dugaan ini mengakibatkan munculnya perndapat
bahwa rasul Paulus telah memanfaatkan warisan tradisi di dalam perikop ini. 4 Memang
tidak dapat disangkal bahwa dalam situasi tertentu rasul Paulus juga menggunakan
warisan tradisi yang ia terima dari Kekristenan awal. Kenyataan ini dapat kita lihat
melalui ucapan rasul Paulus sendiri yang mengatakan bahwa pengajarannya dialaskan
pada pengakuan dasar bahwa Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita sesuai dengan
Kitab Suci, dan bahwa Ia dikuburkan, dan dibang-kitkan pada hari yang ketiga. Jelas
bahwa pengakuan dasar seperti ini tentu tidak berasal dari rasul Paulus sendiri, tetapi
berasal dari masyarakat Kristen awal sebelumnya (1 Kor. 15:3).5 Walaupun demikian
menelusuri kembali bagaimana kerygma masyarakat Kristen awal ini berfungsi dan
terpancar di dalam teologi rasul Paulus jelas bukanlah perkara yang mudah. 6 Oleh karena
noster Press, 1978) h.167. Bandingkan dengan R. Martin yang berpendapat bahwa soteriology meru-
pakan salah satu pokok masalah besar di dalam penulisan surat-surat Paulus, di mana istilah “rekon-
siliasi: merupakan istilah kunci. Karena itu penyelidikan tentang pokok masalah perdamaian ini tidak
seharusnya ditentukan oleh hukum konkordansi. Lihat “New Testament Theology. A proposal of the
Theme of Reconciliation” , ExpT. 91 (1979-1980) h. 364-368. Pendapat ini diikuti oleh Goppelt,
yang berpendapat bahwa walaupun istilah perdamaian hanya terdapat sedikit saja, namun ide dasar
seperti itu senantiasa hadir di dalam tulisan-tulisan Paulus, Theology of the New Testament II (Grand
Rapids: Eedmans, 1982) h.137.
4
Demikianlah misalnya Kasemann berpendapat bahwa perikope ini merupakan bentuk awal dari pem-
beritaan Kristen, yang sangat dipengaruhi oleh rumusan liturgis. “Some Thought”, h.53. Tetapi pen-
dapat telah secara kritis di serang oleh Fitzmyer yang berpendapat bahwa tidak ada satu perikoppun
dari tulisan rasul Paulus yang mengisyaratkan adanya latar belakang liturgis untuk istilah “perdamai-
an”. Menurutnya, alasan utama mengapa Kasemann melakukan kesalahan di sini ialah karena ia
mengkaitkan kata katallasein dengan hilaskesthai yang tidakpernah dilakukan oleh Paulus sendiri.
“Reconciliation”, h.162-165.
5
H. Ridderbos, “The Earliest Confession of the Atonement in Paul”, Reconciliation and Hope (ed.
oleh Robert Banks, Exeter: Paternoster Press, 1974).
6
C.H. Dodd menyatakan bahwa kesulitan untuk menemukan kembali tradisi kerygmatik di dalam peng-
ajaran paulus terletak di dalam kenyataan bahwa di satu pihak hakekat surat-surat Paulus tidak ada
dalam bentuk kerygma. Semua surat-surat Paulus dialamatkan kepada para pembaca yang sudah men-

2
itu tidak mudah pula menentukan apakah 2 Kor. 5: 18-21 juga betul-betul merupakan
kutipan dari tradisi kerygmatik sebelumnya ataukah merupakan gagasan baru rasul
Paulus sendiri. Ada dua hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ketidak pastian ini:

(i). Benar memang, bahwa pekerjaan perdamaian itu berakar pada kematian

Kristus, namun di dalam perikope ini rasul Paulus tidak secara jelas menghu-
bungkannya dengan rumusan iman bahwa Kristus mati, dikuburkan, dan
bangkit pada hari ketiga.
(ii). Penggunaan istilah perdamaian dalam pengertian teologis bisa jadi merupa-
kan perkara yang aneh bagi Gereja awal, sebab kalau tidak, mereka pasti
telah menggunakannya di dalam tulisan-tulisan mereka dan akan tersimpan di
dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru.

Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut penggunaan bahasa perdamaian di
dalam 2 Korintus 5: 18-21 ini, maka perlu terlebih dahulu menempatkan perikoe ini di
dalam konteksnya yang lebih luas yaitu di dalam 2 Kor. 5: 11-6: 10 (13). Secara umum
bagian ini berisi penegasan kembali akan keaslian kerasulan rasul Paulus dan
kesungguhan hatinya di dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang rasul.
Penegasan ini dimaksudkan untuk menunjukkan motivasi pelayanan rasul Paulus
sebagaimana dinyatakan di dalam 2 Kor. 5: 12 : “Dengan ini kami tidak berusaha
memuji-muji diri kami sekali lagi kepada kamu, tetapi kami mau memberi kesempatan
kepada kamu untuk bermegah atas kami, sehingga kamu dapat menghadapi orang-orang
yang bermegah karena hal-hal lahiriah dan bukan batiniah”.

Di bagian pertama dari bagian ini (5: 11-15) rasul Paulus menjelaskan motiva-
sinya dalam memberitakan Injil yakni karena ia “tahu apa artinya takut akan Tuhan”.
Tentu yang dimaksud dengan Tuhan di sini tidak ada lain kecuali Tuhan Yesus sendiri
(bandingkan ayat 10), yang mati dan dibangkitkan demi manusia sebagaimana dijelaskan
jadi Kristen, dan berurusan dengan masalah-masalah theologis dan ethis yang muncul dari upaya untuk
untuk mengikuti jalan hidup secara kristen di tengah-tengah masyarakat non Kristen. Di pihak lain,
surat-surat Paulus memiliki sifat “pengajaran dan nasehat”. Surat-surat itu lebih memperdalam dan
mempertahankan implikasi-implikasi Injil dari pada memberitakannya. The Apostolic Preaching and
Its Development (London: Hodder & Stoughton, 1960) h. 9.

3
di dalam ayat 15. Dalam hubungan ini beralasanlah kiranya kalau kita menduga bahwa di
dalam ayat 15 inilah kita melihat tentang penggunaan tradisi awal oleh rasul Paulus.7 Bisa
jadi rasul Paulus menggunakan pengakuan dasar dari masyarakat Kristen awal ini untuk
menunjukkan orientasi hidupnya (tetapi juga hidup semua orang percaya)8 yang begitu
diwarnai oleh pekerjaan penyelamatan Allah melalui kematian Kristus. Karena itu atas
dasar ini ia meminta agar: “mereka yang percaya tidak lagi hidup bagi diri mereka
sendiri, tetapi bagi Dia yang telah mati dan bangkit demi mereka”. Tindakan ini penting
bagi easul Paulus, karena keabsahan dirinya sebagai rasul telah dipertanyakan oleh
sementara orang di Korintus. Setelah mengacu kepada tradisi awal yang diwariskan
kepadanya, rasul Paulus menarik implikasinya bagi sikap hidupnya sebagai seorang rasul,
terutama dalam hal menilai orang banyak. Ini nampak jelas dari perkataannya: “hoste
hemeis apo tou nun” (oleh karena itu, mulai sekarang, 2 Kor. 5:16). Kata hoste di sini
dapat diterjemahkan dengan “karena alasan ini”, atau “oleh karena itu”. 9 Itu berarti
menunjuk kembali kepada apa yang telah dikatakan sebelumnya, dan dijadikan dasar
untuk apa yang akan dikatakan berikutnya. Tidak jelasnya makna dari anak kalimat apo
tou nun (mulai sekarang) telah banyak disadari. 10 Tidak masuk akal rasanya apabila anak
kalimat itu menunjuk kepada saat ditulisnya surat 2 Korintus. Bertolak dari penggunaan
kata hoste, yang menunjuk kembali kepada apa yang telah dikatakan sebelumnya yaitu
bahwa Kristus mati untuk semua (2 Kor. 5:14-15), maka ada kemungkinan bahwa anak
kalimat apo tou nun menunjuk kepada saat di mana rasul Paulus berhenti hidup bagi
dirinya sendiri, dan berbalik untuk hidup bagi Kristus yang telah mati dan bangkit (ayat
15). Kalau betul demikian, maka itu menunjuk ke saat rasul Paulus mulai menerima
Kristus sebagai Tuhan. Ini paling tidak menunjuk kepada apa yang ia sebutkan di dalam
ayat 17 sebagai “ciptaan baru”. Sebagai ciptaan baru maka ia harus mengetrapkan cara
hidup yang baru, yang salah satu tandanya ialah “tidak lagi menilai seorangpun semata-

7
Bandingkan dengan V. Taylor yang berpendapat bahwa di dalam 2 Kor. 5: 14 dan berikutnya rasul
Paulus sedang berbecara tentang aspek mewakili (vikarious) dari kematian Kristus, yang ia terima dari
kekristenan awal. The Atonement in New Testament (London: Epworth Press, 1979).
8
Kenyataan bahwa rasul Paulus begitu mudahnya berganti dari menggunakan kata ganti hemas (kami)
kepada kata ganti refleksif jamak eautois (kepada mereka) menunjukkan bahwa efek pekerjaan penye-
lamatan itu tidak hanya dirasakan oleh rasul Paulus dan kawan-kawan sekerjanya saja, melainkan juga
dirasakan oleh semua orang percaya.
9
Lihat W. F. Arndt dan F. W. Gingrich, “Hoste” , A Greek - English Lexicon of the New Testament
(London: The University of Chicago Press, 1979).
10
Lihat misalnya Plummer, II Corinthians (I.C.C. Edinburgh: T & T Clark, 1929) h. 176.

4
mata dari kacamata manusiawi”. Tidak diragukan, bahwa hidup baru di dalam Kristus ini
terjadi oleh karena tindakan penyelamatan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan,
yang menjadi rumusan iman dari masyarakat Kristen awal. Tetapi oleh rasul Paulus,
rumusan iman ini diinterpretasikan kembali sesuai dengan kebutuhan hidup rohani yang
praktis. Dengan demikian rasul Paulus dapat berkata: “Semua ini berasal dari Allah yang
melalui Kristus telah mendamaikan kita dengan Dirinya” (ayat18).11

Barangkali rasul Paulus menginterpretasikan peristiwa Kristus dengan menggu-


nakan bahasa perdamaian karena ia sendiri ketika itu sedang berada dalam hubungan
yang kurang harmonis dengan jemaat Korintus, sebagai akibat dari ulah para musuhnya
di sana. Kalau demikian adanya, maka lebih masuk akal apabila konsep perdamaian yang
dipakai oleh rasul Paulus di sini tidak dilator-belakangi oleh liturgi kultus. Tetapi, seperti
dikemukakan oleh Fitzmyer, latar belakangnya justru berasal dari kehidupan sosiologis
atau politis, di mana suasana perseteruan, pertentangan, keterasingan, dan sebaliknya
perdamaian, ke-satu-an, persahabatan dan persekutuan menjadi fenomena umum. Bisa
juga latar belakangnya justru terambil dari hubungan suku dengan kelompok-kelompok
nasional seperti misalnya orang Yahudi dan orang Yunani, orang-orang Palestina dengan
orang-orang Roma.12

Istilah Yunani katallasso (mendamaikan) dan kata-kata serumpunnya, banyak kali


dipakai di dalam kesusasteraan Yunani. Tetapi sebagian besar pemakaiannya, selalu
mengandung arti yang sekuler, yaitu menunjuk kepada situasi pembarahuran hubungan,
setelah untuk sementara waktu berada dalam suasana permusuhan dan sikap saling tidak
senang satu terhadap yang lain.13 Dalam arti yang demikian istilah perdamaian tidak
memiliki arti rohani sama sekali, dan juga tidak memainkan peranan penting di dalam
upacara penebusan dosa.14 Yang mengherankan, di dalam Perjanjian Lama sendiri istilah
11
V. Taylor berpendapat bahwa sehubungan dengan pengajaran tentang penebusan, setiap penulis kitab
Perjanjian Baru, termasuk rasul Paulus, bertumpu pada iman bersama Gereja, dan setiap penulis tidak
membahas pengajaran tersebut secara menyeluruh, tetapi hanya aspek-aspek tertntu yang menarik
sesuai kebutuhan hidup rohani secara praktis. The Atonement, h. 54.
12
A. Fitzmyer, “Reconciliation”, 162.
13
Arti kata katallasso yang asli adalah menukar. Lihat H. G. Link & C. Brown, “katallasso”, The Inter-
national Dictionary, h. 166. Bandingkan J. H. Thayer , “Katallasso” , Greek- English Lexicon of
the New Testament (Edinburgh: T & T Clark, 1898) h. 384-385. Bandingkan Blackman, “Reconcil-
iation”, I. D.B. (New York: Abingdon Press, 1962) h. 16-17.
14
F. Buchsel, “katallasso” , T. D. N. T. vol. I (ed. oleh G. Kittel; Grand Rapids: Eerdmans, 1964) h.254

5
tersebut juga sangat jarang dipakai, dan itupun juga dalam pengertiannya yang asli, yang
tidak berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan. 15 Tetapi ini semua tidak berarti
bahwa di luar Perjanjian Baru, isitlah tersebut tidak pernah dipakai dalam pengertian
yang rohani. Dalam arti rohani, istilah tersebut dipakai di dalam 2 Makabbe 1: 5; 7: 33; 8:
28 dan di dalam Sofia Aiax 744.16 Pertanyaannya ialah, apakah pemakaiannya dalam
pengertian yang rohani pada rasul Paulus itu mempunyai hubungan dengan pemakaian
rohani di atas. Jawab atas pertanyaan ini akan diuraikan di bawah pokok masalah berikut.

Inisiatip pendamaian

Untuk membahas pokok masalah ini baik kiranya apabila kita memperhatikan
lebih dahulu 2 Kor. 5: 18 di mana rasul Paulus berkata: “ta de panta ek tou Theou tou
katallaxantos hemas eauto” (dan semuanya ini berasal dari Allah yang telah manda-
maikan kita dengan DiriNya). Jelas bahwa kata “semua” (panta) di dalam ayat ini me-
nunjuk kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya di dalam ayat 17, yaitu: “ciptaan
baru”, yang dengan itu orang-orang percaya memperoleh dan mengalami hidup baru di
dalam Kristus. Kondisi kehidupan seperti ini jelas tidak dapat dipisahkan dari tindakan
pendamaian Allah. Kata depan ek (berasal dari) merupakan kata penentu dalam hal
mencari jawab tentang inisiatip dilakukannya pendamaian. Kata itu sendiri dapat
mempunyai arti yang bermacam-macam, tergantung pada konteksnya. Dalam konteks ini,
beralasan kiranya kalau kita memahaminya sebagai kata yang menunjuk kepada asal usul
atau sumber yang dari padanya sesuatu berasal.17 Dengan demikian sumber atau asal usul
perdamaian, yang mendatangkan hidup baru di dalam Kristus adalah Allah sendiri.
Pengertian seperti ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Paulus menggunakan kata kerja
aktip, dengan Allah sebagai subyeknya. Di dalam surat-surat Paulus yang lain, bentuk
aktif dari kata kerja ini tidak pernah dipakai dengan menjadikan Allah sebagai obyeknya.
Demikian juga bentuk pasipnya tidak pernah digunakan dengan menjadikan Allah
sebagai subjeknya.18 Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa Allahlah yang mengambil

dan berikutnya.
15
H. G. Link & C. Brown, “katallasso”, The International Dictionary, h. 165-167.
16
F. Buchsel, “katallasso” , h. 254 dan berikutnya.
17
W. F. Ardnt dan F. W. Gingrich, “ek” , Lexicon, h. 234.
18
Bandingkan F. Platt, “Reconciliation”, Dictionary of the Apostolic Church vol. II (ed. oleh James
Hasting; Edinburgh: T & T Clark, 1918) h. 300-303. Dalam skope yang lebih luas, Deney berkata
bahwa di dalam Perjanjian Baru Allah tidak pernah dibicarakan sebagai subjek perdamaian. The

6
langkah pertama mengakiri permusuhan antara manusia dengan Dirinya, dan
memungkinkan manusia menikmati persekutuan yang benar dengan Allah. Ini jelas
bertentangan dengan penggunaan istilah tersebut secara rohani di dalam agama-agama
Hellenistik dan di dalam kitab Makkabe, karena di sana istilah tersebut digunakan untuk
menunjuk kepada Allah sebagai obyek pendamaian.19 Konsekwensinya, kita tidak
mengkin menduga bahwa rasul Paulus telah mengambil alih istilah “perdamaian” dari
kitab Makkabe, walaupun ini tidak berarti bahwa rasul Paulus tidak mengetahui tentang
pemakaiannya di dalam kitab tersebut.

Dengan memberitakan bahwa inisiatip perdamaian itu datang dari Allah, apa-kah
itu berarti bahwa bagi Paulus manusia tidak mengambil inisiatip sama sekali? Ka-lau
demikian, apakah itu berarti bahwa manusia tidak memainkan peranan yang pen-ting di
dalam pekerjaan perdamaian?

Di tempat lain di dalam tulisan-tulisannya, rasul Paulus sangat menekankan


bahwa manusia sebagai ciptaan, berada di dalam belenggu kuasa lain, yaitu kuasa dosa,
maut, dan terbelenggu oleh hakekat kedagingannya. Dalam keadaan hidup seperti ini,
manusia senantiasa cenderung untuk melawan Allah, dan rasul Paulus melukiskannya
sebagai seteru Allah (Roma 5: 10). Tetapi ini tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki
kesadaran akan adanya Allah. Di dalam surat Roma20 Paulus menyebutkan dengan jelas
bahwa: “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai
Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan
hati mereka yang bodoh menjadi gelap” (Roma 1: 21, bandingkan dengan 2 Kor. 4:4:
“allah jaman ini telah membutakan hati dan pikiran orang-orang tidak percaya”).
Kesadaran dasar akan adanya Allah ini oleh Barrett disebut sebagai bahan mentah akan
pengetahuan tentang Allah.21 Tetapi kesadaran tentang Allah ini tidak mempunya kuasa
untuk menghantar manusia masuk ke dalam hubungan yang benar dengan Allah. Dengan

Christian Doctrine of Reconciliation (London: Hodder and Stoughton, 1917) h. 236.


19
Marshall, “Reconciliation”, h. 129 dan berkutnya. Bandingkan dengan R. Bultmann, Theology of the
New Testament I (London: S. C. M. Press, 1952) h.287.
20
Surat Roma dialamatkan kepada jemaat yang tidak didirikan sendiri oleh rasul Paulus. Barrett ber-
pendapat bahwa tujuan utama penulisan surat Roma tidak sekedar mengadakan kontak dengan jemaat
tersebut atau melakukan persiapan untuk rencana pemberitaan Injil ke Spanyol, tetapi jauh lebih pen-
ting dari itu adalah untuk memperkenalkan Injilnya kepada orang-orang Kristen di Roma. A Com-
mentary on the Epistle to the Romans (London: Adam and Charles Black, 1957) h. 7.
21
Barrett, Romans, h. 36-37.

7
demikian maka manusia tetap terancam oleh murka Allah. Inilah kondisi universal
manusia di hadapan Allah, dan hanya Allah sendirilah yang mampu mengambil inisiatip
pendamaian. Di dalam Dirinya, Allah memiliki kehendak yang bebas baik untuk
berinisiatip mendamaikan atau tidak. Tetapi kenyataannya kita melihat bahwa Allah
memutuskan untuk mengambil inisiatip pertama pendamaian. Ini dilakukan oleh Allah
bukan karena manusia memintaNya, tetapi semata-mata didasarkan pada kehendak
bebasNya yang menjadi nyata di dalam kasihNya yang kekal. 22 Dalam pengertian ini
tidak ada yang dapat diperbuat oleh manusia kecuali menjadi obyek pendamaian, yang
memiliki tanggung jawab menerima tindakan pendamaian Allah tersebut (“berikanlah
dirimu diperdamaikan dengan Allah”, 2 Kor. 5: 20). Tentu saja inisiatip Allah
mendamaikan dunia dengan Dirinya ini tidak akan mempunyai makna apapun tanpa
adanya jawab manusia di dalam iman. Kalau dilihat dari sisi perlunya jawab dari pihak
manusia, maka James Denney betul dalam mengusulkan bahwa pekerjaan pendamaian itu
bersifat dua arah. Tetapi kalau dilihat dari sisi inisiatipnya saja, yang datang dari Allah
sendiri, maka nampaknya tidak betul kalau tindakan pendamaian itu bersifat dua arah.23

Bukti lain yang menyatakan bahwa inisiatip pendamaian itu berasal dari Allah
sendiri dapat dilihat di dalam pernyataan rasul Paulus yang lain seperti yang terdapat di
dalam 2 Kor. 6: 1 : “...parakaloumen me eis kenon ten charin tou Theou dexasthai
humas” (kami menasehatimu untuk tidak menjadikan anugerah Allah yang telah kamu
terima itu sia-sia). Pertanyaan kunci di sini adalah apakah kata Yunani charis
(karunia/anugerah) di sini menunjuk kepada “perdamaian” itu. Dari kenyataan bahwa
istilah “anugerah” secara langsung mengikuti apa yang baru saja dikatakan tentang Allah
yang menjadikan AnakNya dosa, walaupun sebenarnya tidak berdosa, agar supaya di
dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2 Kor. 5:21), maka masuk akal apabila kata
“anugerah” ini kita hubungkan dengan tindakan Allah menjadikan kita “benar”. Tetapi
nampaknya ada nuasa ganda di sini. Di satu pihak, rasul Paulus sedang berbicara tentang

22
Bandingkan dengan Strachan yang berpendapat bahwa tindakan perdamaian Allah merupakan ung-
kapan rasul Paulus yang paling baik dan indah tentang kasih Allah. Tindakan perdamaian itu sekaligus
mencakup baik murka maupun kasih Allah yang menyelamatkan. The Second Epistle to the Corinth-
ians (London: Hodder and Stoughton, 1935) h. 117.
23
Lihat J. Denney, The Second Epistle to the Corinthians (London: Hodder & Stoughton) h. 210 dan
berikutnya.

8
“perdamaian”, tetapi di pihak lain tanpa adanya suatu persiapan ia pindah kepada pokok
“pembenaran”. Barangkali dengan melakukan hal seperti ini, rasul Paulus ingin
menunjukkan bahwa “pendamaian” itu secara dekat terhubung dengan “pembenaran”.
Karena itu beralasan pula untuk mengatakan bahwa istilah “anugerah” di sini juga
mencakup pikiran tentang “perdamaian”.

Namun benar juga apabila dikatakan bahwa kata charis (anugerah) juga secara
tak terpisah terhubung dengan ayat-ayat berikutnya mengenai “saat di mana Allah
berkenan melaksanakan pekerjaan penyelamatanNya” (2 Kor. 6: 2). Sekali lagi, hal ini
menunjukkan adanya kesatuan antara tindakan penyelamatan Allah dengan tindakan
pendamaian Allah. Dengan demikian dalam batas tertentu, tindakan pendamaian Allah
dapat pula disebut dengan tindakan penyelamatan Allah.

Tidak dapat disangkal bahwa secara keseluruhan, istilah charis (augerah) me-
nempati peranan yang penting di dalam teologi rasul Paulus. Perubahan drastis yang
terjadi di dalam hidup rasul Paulus dari seorang penganiaya jemaat menjadi rasul Kristus
yang setia, dikatakan terjadi hanya oleh karena “anugerah” Allah (Gal. 1: 15; bandingkan
dengan 1 Kor. 15: 10-11). Dari kacamata rasul Paulus sebagai manusia, hampir mustahil
bahwa perubahan hidup di dalam dirinya itu dapat terjadi. Itu terjadi betul-betul karena
pekerjaan Allah sendiri. Karena itu Bultman benar dalam berpendapat bahwa penggunaan
kata charis (anugerah) oleh Paulus pada hakekatnya menunjuk kepada pekerjaan Allah
yang terjadi secara nyata di dalam setiap orang, di mana orang tersebut tidak dapat
melakukan apa-apa kecuali menerimanya di dalam iman dan ketaatan.24 Kalau begitu,
sebagai anugerah Allah, maka perdamaian itu bukanlah hasil upaya manusia, tetapi
sebagai buah pekerjaan penyelamatan Allah yang secara cuma-cuma diberikan kepada
manusia. Manusia hanya dapat memilikinya atas landasan iman. Sebagaimana inisiatip
perdamaian itu secara mutlak merupakan inisiatip Allah sendiri, maka “pelayanan
perdamaian” yang sedang dilaksanakan oleh rasul Paulus juga berasal dari Allah sendiri.
Jadi dengan memberitahukan kepada jemaat Korintus tentang inisiatip pendamaian, rasul

24
Untuk lebih jelasnya lihat pada Bultmann, Theology, h. 288-292. Bandingkan dengan J. S. Stewart,
yang memahami “anugerah” sebagai perbuatan Allah dan menjadi rahasia yang paling dalam dari
“perdamaian”. A Man in Christ (London: Hodder and Stoughton, 1964) h. 222-223.

9
Paulus juga ingin menunjukkan keabsahan pelayanannya yang mempunyai asal-usul
illahi, dan bukan manusiawi.

Sarana Perdamaian

Inisiatip Allah dalam mendamaikan dunia diikuti oleh tindakan konkret, kalau
tidak, maka itu akan sia-sia saja. Ini dijelaskan oleh rasul Paulus dalam satu ungkapan
“yang melalui Kristus” (dia tou Christou, 2 Kor. 5: 18). Ini diulangi lagi di dalam ayat 19
(hos hoti Theos en en Christo = yaitu Allah di dalam Kristus), kemungkinan dengan
maksud untuk semakin memperjelas apa yang ia maksudkan. Oleh sebab itu baik kiranya
apabila kita mulai dengan ayat 19: hos hoti Theos en en Christo (“yaitu Allah di dalam
Kristus”).

Karena kerancuan gramatika, maka paling tidak ada dua pilihan utama:
(i). en dimengerti dalam hubungan langsung dengan en Christo, sehingga anak kali-
mat tersebut akan berbunyi: Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia
dengan Dirinya.
(ii). en dimengerti dalam hubungan langsung dengan mendamaikan, sehingga dengan
demikian menjadi imperfect, dan dengan demikian anak kalimat itu akan berbu-
nyi “Allah di dalam Kristus, sedang mendamaikan dunia dengan Dirinya”.

Menurut Barrett, kedua terjemahan itu dimungkinkan.25 Beberapa penafsir se-perti


misalnya Plummer, Bruce, dan Strachan 26 menolak alternatip pertama dengan alasan
bahwa en Christo (di dalam Kristus) menjadi bagian dari katallasson (mendamaikan)
dan en katallasson harus dimengerti dalam pengertian imperfect yang menyatakan proses
yang sedang berlangsung di waktau lampau. Namun kesulitan dari pen-dapat ini ialah
bahwa di dalam ayat paralel yang terdapat di dalam surat Roma 5: 1-11, “pendamaian”
dilukiskan sebagai peristiwa yang telah terjadi di masa lampau, sekali dan tidak pernah
terulang lagi, sementara 2 Kor. 5: 19 (kalau anak kalimat itu dimengerti sebagai
25
Barrett sendiri memilih terjemahan yang kedua, tetapi ia menyisipkan kata ganti orang “yang”, se-
hingga terjemahannya menjadi: Allah yang ada di dalam Kristus ..., 2 Corinthians, h. 177. Origenes,
Ambrosius, Ambrosiaster, Herveius, Erasmus, Luther, Calvin, Beza dan sebagainya mengambil ter-
jemahan yang pertama. Sementara itu Plummer, Strachan, Hodge, J. Denney dan sebagainya meng-
ambil terjemahan yang kedua. Lihat diskusi pada P. E. Hughes, Paul’s Second Epistle to the
Corinthians (London: Marshall, Morgan & Scott, 1962) h. 207-208.
26
Plummer, II Corinthians, h. 183. Strachan; 2 Corinthians, h. 115; Bruce, 1 & 2 Corinthians, h.
209.

10
imperfect) akan menunjukkan suatu proses yang belum selesai. 27 Jawaban Taylor bahwa
itu menunjuk kepada suatu proses hanya dalam pengertian bahwa tindakan Allah di kayu
salib menjadi effektif secara serentak dan tidak pelan-pelan di dalam pengalaman hidup
seorang secara pribadi28, kurang meyakinkan karena di dalam pasal ini rasul Paulus tidak
sedang berbicara mengenai pengetrapan pendamaian, tetapi tentang pendamaian sebagai
kenyataan yang telah terjadi. Ini dinyatakan oleh kenyataan bahwa Allah telah
mempercayakan berita perdamaian itu kepada rasul Paulus, yang menunjukkan
pemberitaan tentang apa yang telah dikerjakan oleh Allah untuk manusia. 29 Atas dasar
pekerjaan Allah yang telah selesai ini pulalah Paulus menasehati orang-orang Korintus
untuk diperdamaikan dengan Allah.

Berdasarkan pertimbangan bahwa pendamaian merupakan pekerjaan yang telah


selesai di masa lampau, maka pilihan terbaik adalah memilih alternatip pertama yaitu:
“Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia dengan Dirinya”. Ini akan selaras
dengan penggunaan bentuk aorist pertama partisip katallaxantos di dalam ayat 18.
Konsekwensinya ialah bahwa ayat 19 harus dimengerti sebagai penjelasan ulang atas apa
yang sebenarnya sudah dikatakan lebih dahulu di dalam ayat 18. Ini didukung oleh
penggunaan hos hoti di bagian awal dari ayat 19 yang dapat diterjemahkan dengan
“yang aku maksudkan ialah”30 Dengan mengatakan bahwa “Allah ada di dalam Kristus,
mendamaikan dunia dengan Dirinya”, tidak berarti bahwa rasul Paulus ingin
menekankan fakta inkarnasi lebih dibanding dengan pekerjaan pendamaian itu sendiri.
Tetapi sebaliknya ia ingin menunjukkan secara lebih jelas apa yang ia maksudkan de-
ngan Allah mendamaikan dunia “melalui Kristus”. Kristus dipahami tidak semata-mata
hanya sebagai sarana yang melaluiNya Allah merealisasikan pekerjaan pendamaianNya,
27
Walaupun R. Martin dapat menerima pandangan yang mengusulkan imperfect, ia tetap menyadari
masalah yang ditimbulkannya. Namun ia sendiri tidak nampak memecahkan persoalannya, kecuali
mengemukakan beberapa pendapat lain seperti pendapat Collange, dan Manson. Lihat bukunya
Reconciliation (Atlanta: John Knox Press, 1981) h.105-106, 244 catatan kaki nomer 30. Bandingkan
dengan ayat 18 di mana katallaxantos ada dakam bentuk Aorist partisip, sehingga yang lebih logis
adalah kalau ayat 19, yang menunjuk kepada subyek yang sama, tidak seharusnya ada dalam bentuk
imperfect.
28
V. Taylor, Forgiveness and Reconciliation (London: Macmillan, 1941) h. 90.
29
Bandingkan dengan G. E. Ladd, Theology of the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1974)
h. 452.
30
R.V. G. Tasker mengartikan hos hoti dengan “apa yang aku maksudkan ialah”. Sehingga dengan de-
mikian ia juga memahami ayat 19 sebagai penjelasan ulang dari apa yang telah dikatakan sebelumnya.
Lihat The Second Epistle of Paul to the Corinthians (London: the Tyndale Press, 1958) h. 89.

11
tetapi Ia dipahami sebagai Allah sendiri. Dalam hubungan ini bentuk imperfek en dipakai
untuk menekankan tindakan Allah menyatakan Diri di dalam manusia Yesus untuk
merealisasikan pekerjaan pendamaianNya. Jadi dia Christou (melalui Kristus) di dalam
ayat 18 dikatakan secara lebih jelas lagi dengan mengatakan hos hoti Theos en en
Christou (yaitu Allah ada di dalam Kristus), yang menyatakan adanya kesatuan antara
Allah dan Kristus di dalam melaksanakan pekerjaan pendamaian. 31 Jadi Calvin barangkali
benar dalam berkata bahwa arti anak kalimat hos hoti Theos en en Christo kosmon
katallasson eauto (yaitu Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia dengan
DiriNya) mengandung makna yang lebih lengkap dan kaya dibanding dengan hanya
mengatakan Allah di dalam Kristus, sedang mendamaikan dunia dengan Dirinya.32
Dengan pernyataan bahwa Allah ada di dalam Kristus, mendamaikan dunia dengan
Dirinya, rasul Paulus ingin membedakan pekerjaan Allah “melalui” Kristus dengan
pekerjaan Allah “melalui”33 rasulNya. Perbedaannya terletak di dalam keberadaan
existensial mereka, yaitu bahwa Kristus merupakan penjilmaan Allah sendiri, sementara
para rasul Allah adalah orang-orang yang ditunjuk dan dipilih Allah menjadi para
utusanNya. Ini menunjukkan bahwa di dalam melaksanakan pekerjaan pendamaianNya,
Allah tidak melakukannya dari tempat yang jauh, tetapi sebaliknya Ia melakukannya
dengan cara ambil bagian di dalam kehidupan manusiawi yang real. Strachan menyebut
hal ini dengan agresi illahi atau invasi illahi ke dalam hati manusia yang terasing.34
Apabila benar bahwa di dalam 2 Kor. 5: 18-21 ini rasul Paulus betul-betul
menggunakan bahasa pemberitaan Injil, maka pertanyaan yang muncul ialah mengapa ia
melakukan hal itu kepada orang-orang Korintus yang telah menjadi Kristen? Sebab pada

31
Bandingkan dengan Hughes yang berpendapat bahwa dengan ungkapan ini rasul Paulus secara efektif
menekankan identitas pekerjaan Kristus dengan pekerjaan Allah. Seperti sebelumnya, di sini Allah
dimengerti sebagai permulaan dan akhir dari pekerjaan perdamaian. Ini selaras dengan apa yang ia ka-
takan bahwa “semua ini dari Allah”. 2 Corinthians, h. 208.
32
J. Calvin, Second Corinthians, First Timothy, Second Timothy, Titus, Philemon, h. 78. Perlu dica-
tat di sini bahwa kata kerja en dapat dipahami secara indipenden tanpa harus dihubungkan dengan ka-
ta katallasson. Barangkali maksud utamanya adalah untuk menekankan sedemikian rupa keberadaan
Allah di dalam Kristus. Begitu pula kata katallasson juga dapat dipahami secara terpisah dari kata
kerja en, karena kata tersebut ada dalam bentuk partisip. Kata kerja en sebagai bentuk imperfek dari
kata kerja bantu (to be) tidak membutuhkan obyek, sementara kata katallasson selaku partisip mem-
butuhkan obyek, yang dalam hal ini “dunia”.
33
Ingat bahwa rasul Paulus menggunakan istilah yang sama yaitu dia baik untuk dirinya sendiri maupun
juga untuk Kristus (2 Kor. 5: 20).
34
Strachan, 2 Corinthians, h. 115. Bandingkan dengan Calvin yang mengatakan bahwa dengan pernya-
taan itu Paulus ingin menunjukkan bahwa Kristus betul-betul Immanuel, Second Corinthians, h. 78.

12
hakekatnya bahasa pemberitaan Injil tentu akan lebih cocok untuk orang-orang yang
belum Kristen dibanding orang-orang yang sudah menjadi Kristen seperti orang-orang
dari jemaat Korintus. Karena itu perlu dicari penyebab yang membuat rasul Paulus
menggunakan bahasa pemberitaan Injil tersebut. Mungkinkah itu disebabkan karena
identitas Yesus sebagai jilmaan Allah sedang dipertanyakan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu kita perhatikan:
(i). Konteks dari perikope itu menunjukkan bahwa rasul Paulus ingin menetapkan
kembali hubungan pribadinya dengan jemaat di Korintus, dengan meyakinkan
mereka bahwa asal usul kerasulannya tidak dari manusia, tetapi dari Allah sendiri.
Kenyataan bahwa aktifitas pendamaian Allah dikerjakan melalui Kristus memaksa
Paulus untuk menjelaskan bagaimana Kristus terhubung dengan Allah.

(ii). Ada kemungkinan bahwa perikope ini dimaksudkan untuk menyapa secara tidak
langsung terhadap para musuh rasul Paulus yang sedang menciptakan masalah di
Korintus. Tanpa menunjukkan identitas para musuhnya, barangkali mereka (atau
ia) telah memberitakan Yesus yang lain (2 Kor. 11: 4). Walaupun arti dari ung-
kapan Yesus yang lain (allon Iesoun) itu sendiri masih tidak jelas, bukannya hal
yang mustahil pula untuk menyetujui pandangan Hughes yang menyatakan bahwa
“Yesus yang lain” itu dimaksudkan sebagai Yesus Anak manusia, tetapi bukan
Anak Allah.35 Kalau betul demikian, maka kita dapat mengatakan bahwa di dalam
menetapkan kembali hubungan pribadinya dengan jemaat Korintus, maka pada
saat yang sama Paulus melakukan koreksi terhadap kesalahan pengajaran para
musuhnya.

Masalah yang masih perlu dibahas ialah bagaimana Allah melalui Kristus me-
realisasikan pekerjaan pendamaianNya. Ini dinyatakan di dalam ayat 19b: “me logizo-
menos autois ta paraptomata auton” (dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-
pelanggaran mereka). Dalam hubungan ini Plummer telah mencatat bahwa dalam situasi
tertentu kata paraptomata digunakan untuk menunjukkan suatu pelanggaran yang tidak

35
P. E. Hughes, 2 Corinthians, h. 377-378.

13
seberat hamartia (contoh Gal. 6: 1).36 Tetapi dalam konteks ini kata paraptomata
nampaknya dipakai dalam arti yang sama dengan dosa (hamartia),37 yang terwujud
secara nyata di dalam tindakan-tindakan konkret. Dengan demikian maka kata tersebut
menunjuk kepada hakekat hidup manusia yang adalah dosa. Jadi dengan pernyataan
tersebut (dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka), di satu pihak
rasul Paulus ingin menunjukkan aktifitas Allah dalam hal tidak memperhitungkan
pelanggaran-pelanggaran manusia, dan di pihak lain ia juga ingin melukiskan hakekat
keberadaan manusia sebagai pendosa. Dosa, yang telah terwujud secara nyata di dalam
tindakan, dimengerti oleh Paulus sebagui suatu kuasa yang memperbudak manusia, dan
mengakibatkan manusia berdiri sebagai seteru Allah.38 Di tempat lain di dalam surat-
suratnya, rasul Paulus selalu melukiskan keadaan manusia sebagai yang ada di dalam
belenggu kuasa dosa yang melawan Allah.39 Dosa inilah yang telah menjadi akar
penyebab terjadinya perseteruan antara manusia dengan Allah, dan sekaligus penghalang
bagi manusia untuk masuk ke dalam persekutuan yang benar dengan Allah. Sepanjang
penghalang bagi terciptanya persekutuan yang benar dengan Allah ini tidak dihilangkan,
maka tidak mungkin tercipta perdamaian, dan akibatnya manusia akan tetap menjadi
sasaran murka Allah.40 Tetapi secara mengesankan, perikope kita mengatakan bahwa
Allah tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia. Sebagian besar ahli
nampak tidak memiliki kesulitan di dalam memahami bentuk partisip logizomenos delam
pengertian “memperhitungkan”. Jadi tindakan pendamaian Allah dinyatakan di dalam
kenyataan bahwa walaupun secara eksistensial manusia penuh dengan dosa dan berdiri di
hadapan Allah sebagai seteruNya, namun toh Allah tidak lagi memperhitungkan dosa-
dosa mereka. Bruce41 menyebut tindakan semacam ini sebagai “pembenaran”, yaitu Allah

36
Plummer, 2 Corinthians, h. 184.
37
C. K. Barrett menunjukkan bahwa jikalau paraptomata dipakai secara indipenden, dan tidak dalam
hubungannya dengan hamartia, maka kata tersebut dapat diterjemahkan dengan dosa. Romans, h.
113.
38
E. P. Sanders, Paul, the Law, and the Jewish People (Philadelphia: Fortress Press, 1983) h. 70-73.
39
Lihat bahasan Martin mengenai “The Human Predicament” di dalam Reconciliation, h. 48-67.
40
Bandingkan dengan L. Morris, The Atonement, Its Meaning and Significance (U.S.A.: Intervarsity
Press, 1983) h. 139.
41
F. F. Bruce, 1 & 2 Corinthians, h. 209. Dalam batas tertentu, tindakan tidak memperhitungkan pe-
langgaran-pelanggaran manusia ini juga dapat dmengerti sebagai “pengampunan dosa”; istilah yang
begitu penting di dalam pengajaran Paulus, namun sangat mengherankan bahwa istilah “pengampunan
dosa” ini jarang sekali dipakai oleh rasul Paulus. Tetapi menurut Knox itu tidak berarti bahwa rasul
Paulus menganggap entheng pokok masalah “pengampunan dosa” ini. Menurutnya, pentingnya
pengampunan dosa ini diungkapkan oleh Paulus di dalam dua pengajaran yaitu pengajaran tentang

14
membenarkan manusia, sehingga dengan demikian mereka menjadi “benar”. Pendapat ini
sebanding dengan pendapat Calvin yang memahami tindakan Allah tidak memperhi-
tungkan pelanggaran-pelanggaran manusia itu secara sama dengan manusia memperoleh
penghapusan dosa-dosa mereka, sehingga dengan demikian mereka dianggap benar.42
Dengan pengertian ini maka kita sekali lagi menyadari bahwa Allah sendirilah yang telah
mengambil inisiatip pertama perdamaian, yaitu dengan merobohkan perintang yang telah
merintangi hubungan antara Allah dan manusia. Atas dasar ini maka kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa karena dosa, maka manusia berdiri sebagai seteru Allah,
namun ini tidak secara otomatis berarti bahwa Allah selalu bersikap memusuhi manusia.43
Ini terjadi hanya karena kasih kekalNya yang menjadi sifat keberadaanNya. Dari sini
maka beberapa orang menyatakan bahwa sehubungan dengan kasih Allah, maka kalau
manusia dikatakan menjadi seteru Allah, maka ini harus dimengerti bahwa sikap manusia
yang memusuhi Allah ini hanya bersifat sepihak, yaitu sikap memusuhi yang tidak
memperoleh tanggapan apapun kecuali kasih kekalNya. 44 Masalahnya ialah, bagaimana
hal ini dapat dimengerti dalam kaitannya dengan murka Allah, karena dikatakan bahwa
karena dosa maka manusia menjadi sasaran murka Allah. apakah ini berarti ada
kontradiksi di dalam Diri Allah sendiri, yaitu antara kasihNya sebagaimana dinyatakan di
dalam tindakan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia, dengan
kenyataan bahwa manusia harus dihukum karena pelanggaran-pelanggarannya? Apakah
ini juga menunjukkan bahwa Allah bersikap pasif dalam menghadapi musuhNya?

Alkitab sendiri secara keseluruhan menyatakan dengan jelas bahwa Allah


membenci segala sesuatu yang jahat, dan Ia selalu menentang keras setiap perbuatan
jahat. Dalam hubungan ini kita perlu juga mengingat bahwa “tidak memperhitungkan
dosa manusia” tidak berarti bahwa Allah telah meniadakan murkaNya. Walaupun
demikian menempatkan manusia di bawah murkaNya bukanlah merupakan tujuan akhir

“pembenaran oleh iman” dan pengajaran tentang “perdamaian”. Karena itu maka kita bisa melihat
begitu dekatnya hubungan antara “pembenaran” ,“perdamaian” dan “pengampunan dosa”. Lihat buku-
nya Chapters in a Life of Paul (London: Adam and Charless Black, 1954) h. 141-159.
42
Calvin, Second Corinthians, h. 78.
43
Sangat menarik bahwa Morris menemukan di beberapa fasal di mana istilah Yunani echthra (permu-
suhan) dipakai, maka istilah itu tidak selalu memberikan bukti tentang sikap permusuhan Allah terha-
dap manusia. The Apostolic Preaching of the Cross (England: Intervarsity Press, 1965) h. 223.
44
L. Morris, Apostolic, h. 221.

15
bagi Allah. Ia lebih berkehendak untuk membawa manusia ke dalam hubungan damai
denganNya dan menikmati persekutuan yang benar di dalam Dia. Ini semua jelas dari
kenyataan bahwa Allah akan menghancurkan kuasa kejahatan yang saat ini masih
menguasai dunia, dan menetapkan pemerintahan rajawiNya pada zaman akhir, sehingga
dengan demikian dunia dikembalikan kepada kesempurnaan aslinya sebagaimana Allah
menjadikanNya pada peristiwa penciptaan. 45 Pada masa sebelum pemerintahan rajawi
Allah itu ditetapkan, murka Allah justru dapat memperlihatkan kepada kita akan
kasihNya yang suci, yaitu bahwa Ia tidak menghendaki manusia dikuasai dan diperintah
oleh dosa, karena upah dosa adalah maut, yang dilukiskan menjadi musuh akhir yang
harus dihancurkan. Di dalam Diri Allah tidak terdapat pertentangan antara kasihNya dan
murkaNya, bahkan sesungguhnya keduanya saling terhubung satu dengan yang lain.
Itulah sebabnya Morris memberikan kesimpulannya bahwa murka Allah merupakan sisi
balik dari kasihNya.46 Namun di dalam theologia Paulus murka Allah ini paling banyak
dibicarakan dalam pengertian yang eskhatologis. Murka Allah itu adalah murka yang
akan dinyatakan kelak pada zaman akhir. 47 Pada saat ini Allah senantiasa memberikan
kesempatan kepada manusia untuk diperdamaikan dengan Allah, sehingga dengan
demikian ia akan dibebaskan dari murka Allah. Ini tercermin dalam kenyataan bahwa
Allah mempercayakan berita perdamaian kepada para utusanNya, dan melalui mereka
itulah Allah membujuk dunia untuk diperdamaikan dengan Allah. Di sini kita melihat
bahwa tindakan pendamaian Allah tidak dapat dilepaskan dari response manusia atasnya.
Demikianlah maka Marshall benar ketika mengatakan bahwa tindakan pendamaian Allah
menjadi lengkap hanya apabila di sana ada response manusia terhadap perintah Allah
berikanlah dirimu diperdamaikan dengan Allah.48 Mereka yang memberikan jawab iman
telah, dalam batas tertentu, dan akan secara penuh dibebaskan dari murka Allah oleh
Yesus Kristus.49 Oleh sebab itu, atas dasar ini semua anak kalimat “tidak memperhi-
45
Lihat pembahasan oleh Barrett tentang hal eskhatologi Paulus di dalam “New Testament Eschatolo-
gy”, S. J. T. 6 (1953) h. 140. Bandingkan T. W. Manson, On Paul and John (London: S. C. M.
Press, 1963) h. 18.
46
L. Morris, Apostolic h. 224. Bandingkan dengan Strachan yang berpendapat bahwa murka Allah
merupakan unsur integral dari kasih Allah. Pendapat ini didasarkan pada interpretasinya atas
perkataan rasul Paulus di dalam Roma 1: 18. 2 Corinthians, h. 117.
47
J. Denney, Doctrine, h. 146-149. Contoh untukk hal ini dapat di dalam 1 Thes. 1: 10: “Yesus yang
menyelamatkan kita dari murka yang akan datang”.
48
Marshall, “Reconciliation”, h. 122-123.
49
Anak kalimat “telah” dan “akan dibebaskan” menunjukkan adanya ketegangan antara “telah dibebas-
kan” dan “belum dibebaskan”, di dalam eskhatologi Paulus.

16
tungkan pelanggaran-pelanggaran mereka” akan mempunyai arti yang sepenuhnya hanya
apabila ada response iman terhadap tindakan pendamaian Allah.

Pendamaian dan Kematian Yesus Kristus

Pertanyaan mendasar berkaitan dengan pokok masalah ini ialah bagaimana


tindakan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia itu dihubungkan
dengan peristiwa salib. Tidak dapat diragukan bahwa peristiwa salib itu sendiri
memegang peranan yang begitu penting di dalam keseluruhan teologi rasul Paulus.
Semua yang telah dilakukan di dalam kehidupan Yesus tidak seluruhnya dapat dipi-
sahkan dari peristiwa salib dan kubur yang kosong. Kalau begitu beralasanlah ketika
Bultmann mengajukan pendapatnya bahwa bagi Paulus, seluruh perjalanan hidup Kristus
tersarikan di dalam peristiwa salib, dan semua pernyataan yang lain sebenarnya hanyalah
menyatakan bahwa salib itu sendiri merupakan tindakan Allah. 50 Ini menjadi dasar
munculnya kepercayaan bahwa tindakan tidak memperhitungkan pelanggaran-
pelanggaran manusia itu jelas juga tidak dapat dilepaskan dari kematian Kristus di kayu
salib. Sebagai pijakan awal untuk penyelidikan ini, kita perlu membahas perkataan
Paulus di dalam 2 Kor. 5: 14-15: “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena
kami telah mengerti bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka
semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup,
tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah
dibangkitkan untuk mereka”.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kemungkinan rasul Paulus menggunakan


rumusan iman yang diwariskan kepadanya, yang ia sendiri telah mendalaminya dan
menyesuaikannya sedemikian rupa sehingga menjadi bagaikan miliknya sendiri. Kalau
demikian halnya, gagasan dasar tentang kematian Yesus mesthinya tidak berbeda dari
gagasan masyatakat Kristen awal. Faktanya, Paulus sendiri dipanggil menjadi seorang
rasul dalam konteks masyarakat Kristen yang telah berada sebelumnya. Tetapi ini tidak
berarti bahwa Paulus hanya menerima begitu saja rumusan iman bahwa Kristus mati
untuk dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia dikuburkan, dan dibangkitkan
50
Dikutip dari Goppelt, Theology of the New Testament II (Grand Rapids: Eerdmans, 1982) h. 89.
Bandingkan dengan Bultmann, Theology, h. 292-294.

17
pada hari ketiga, tanpa ia sendiri mengetahui kebenaran dari pengakuan tersebut. Ia
sendiri bersaksi bahwa Tuhan yang telah bangkit itu menampakkan Diri juga kepadanya.
Pertanyaannya ialah bagaimana Paulus sampai kepada kepercayaan bahwa “Ia mati untuk
dosa-dosa kita”. Apakah ini sama maknanya dengan pernyataannya bahwa “satu orang
mati untuk semua”? Begitu pula bagaimana ini semua terhubung dengan pernyataannya
“tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka”?

Kata penghubung gar (karena/sebab) di awal ayat 14 menandakan bahwa rasul


Paulus ingin memberikan alasan atas perbuatannya selaku rasul Kristus yang memiliki
kesungguhan hati dan tidak menyombongkan diri atas kedudukannya. Ia mampu
melakukan ini semua hanya karena kasih Kristus yang menguasai dirinya. Kata Yunani
synechei (menguasai) juga digunakan oleh Paulus di dalam Philipi 1: 23, di mana ia
berkata bahwa di satu pihak ia ingin pergi dan bersama-sama dengan Tuhan, tetapi di
pihak lain, demi jemaat Philipi ia merasa perlu untuk tetap hidup. Nampaknya ide dasar
yang terkandung di dakam kata synechei tersebut adalah “dimotivasikan oleh”. Ini
mengingatkan kita bahwa hidup Paulus seutuhnya sebagai seorang rasul dimotivasikan
oleh kasih Kristus sehingga ia mengetahui apa yang seharusnya ia lakukan dan tidak.
Semua perbuatannya tidak dimotivasikan oleh kemauannya sendiri sebagai manusia
tetapi oleh kasih Kristus. Ini menjadi nyata di dalam seluruh perbuatannya yang penuh
dengan kesungguhan hati dan tanggung jawab kepada Kristus. 51 Kasih Kristus untuk
“kita” itulah yang menjadi gagasan utama di dalam ayat ini, walaupun itu tidak berarti
bahwa kasih Paulus kepada Kristus tidak memainkan peranan sama sekali. 52 Paulus
sampai kepada kesimpulan bahwa kasih Kristus memotivasi hidupnya sebagai akibat dari
keyakinannya bahwa Kristus telah mati untuk semua. Ini nyata dari penggunaan kata
krinantas, yang dapat diartikan membuat suatu keputusan berdasarkan suatu tindakan
yang telah terjadi sebelumnya (bandingkan dengan 1 Kor. 5: 5); 2 Kor. 2: 1, 2,).
Nampaknya Plummer benar dalam memahami ayat ini sebagai yang menunjuk kepada
periode refleksi yang terjadi pada masa antara pertobatan Paulus dengan aktifitas

51
Berdasar pada interpretasinya atas kata synechei Hughes lebih suka memahami kasih Kristus sebagai
motive agung yang memaksa di dalam kehidupan Paulus. Oleh sebab itu maka seluruh perbuatan
Paulus didekte oleh kasih Kristus. 2 corinthians, h. 192.
52
Dalam mendukung Spieg, Barrett berpendapat bahwa kasih Kristus untuk Paulus mengakibatkan ada-
nya kasih Paulus kepada Kristus. 2 Corinthians, h. 168.

18
missionernya.53 Ini medukung keyakinan bahwa Paulus tidak semata-mata menerima
rumusan iman begitu saja tanpa pengetahuan tentangnya, tetapi sebaliknya ia menerima
rumusan iman itu sendiri dengan mengetahui dan mengalami kebenarannya, yaitu bahwa
Kristus mati untuk semua. Dengan demikian kematian Kristus menyatakan kasihNya
kepada manusia. Bagaimana hal ini dapat dimengerti?

Dikatakan di dalam 2 Kor. 5: 14 bahwa: “Jika satu orang sudah mati untuk se-
mua, maka mereka semua sudah mati” (hoti heis huper panton apethanen ara hoi
pantes apethanon). Ridderbos berpendapat bahwa pernyataan ini dipengaruhi kuat oleh
pikiran tentang kematian Kristus sebagai perdamaian. 54 Tetapi beberapa ahli ber-
keberatan terhadap pendapat ini, karena itu dianggap tidak konsisten dengan kasih
Allah.55 Secara hurufiah kata depan huper yang diikuti oleh kasus genetip akan berarti
“demi untuk/atas nama” atau “untuk kepentingan”. Jadi huper panton berarti demi un-
tuk/atas nama semua orang atau untuk kepentingan semua orang. Ini mengandaikan
adanya gagasan tentang tindakan mewakili.56 Secara logis dengan kematian Yesus yang
bersifat mewakili itu, maka manusia tidak perlu mati lagi. Tetapi di dalam ayat ini Paulus
masih berkata: “karena itu semua sudah mati”. Rasanya tidak mungkin bahwa ini
menunjuk kepada kematian fisik bersama-sama dengan Yesus. Oleh sebab itu
kemungkinannya adalah menunjuk kepada siatuasi kehidupan di mana efek kematian
Kristus terjadi secara konkrit di dalam kehidupan kita. Akibatnya, mereka yang percaya
kepadaNya tidak akan hidup untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati
demi mereka (ayat 15). Ini memberitahukan tentang perubahan hidup dari keterasingan
dari Tuhan dan berada di bawah kuasa kejahatan saat ini, menuju ke kehidupan baru di
dalam persekutuan dengan Tuhan di bawah kuasa jaman yang baru. Dengan kata lain,
melalui kematian Kristus, kehidupan orang-orang yang percaya kepadaNya dirubah,
sehingga mereka itu tidak lagi menjadi milik jaman yang jahat ini tetapi menjadi
milikNya. Peristiwa ini dicapai melalui kematian Krisus, karena dengan diri mereka

53
Plummer, II Corinthians, h.174.
54
H. Ridderbos, Paul, an Outline of His Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1975) h. 188. Lihat juga
Bultmann, Theology, h. 296.
55
Lihat diskusi Denney di dalam The Death of Christ (London: The tyndale Press, 1956) h. 74.
56
Beberapa ahli membenarkan hal ini dengan menunjuk kepada konsep Paulus tentang Kristus sebagai
Adam yang terakhir. Lihat diskusi di dlam Martin, Reconciliation, h. 99.

19
sendiri manusia tidak dapat melakukannya oleh karena dosa-dosa mereka yang telah
membutakan hati dan pikiran mereka.

Betul bahwa Paulus tidak secara langsung menyebutkan dosa di dalam ayat ini.
Tetapi dosa ini dapat kita lihat implikasinya dari penggunaan kata panton. Di bawah
terang surat Roma 3: 9 dan juga di bagian lain dari tulisan-tulisannya, kata panton yang
dalam arti umumnya diterjemahkan dengan “semua orang”, selalu memiliki sifat dosa
dan tidak berdaya untuk dengan kekuatannya sendiri membebaskan diri dari kuasa dosa
tersebut.57 Sehubungan dengan ini maka ungkapan “satu orang telah mati untuk semua”
mengandung pengertian yang sama dengan Kristus mati untuk dosa-dosa kita (1 Kor. 15:
3). Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa ungkapan “satu orang telah mati untuk
semua” lebih bersifat umum, sementara ungkapan “Kristus mati untuk dosa-dosa kita”
lebih bersifat khusus. Atas dasar ini maka beralasanlah kiranya untuk mengatakan bahwa
Kristus mengambil alih kemanusiaan kita dan mati untuk kita pula. 58 Ini menunjukkan
bahwa walaupun aslinya kata depan huper tidak mengandung arti “sebagai ganti” (anti),
ada kemungkinan benar bahwa gagasan tentang “substitusi” itu sendiri hadir di sini,59
yaitu Kristus mengambil alih kematian kita. Gagasan tentang “substitusi” ini dikuatkan
oleh perkataan Paulus di dalam ayat 21: “Demi kita Allah telah menjadikan Dia dosa,
walaupun Dia sendiri tidak mengenal dosa”. Perlu dicatat di sini bahwa kata kerja
epoiesen (Ia telah membuat) ada dalam bentuk aktip dengan Allah sebagai subyeknya.
Implikasinya ialah bahwa pekerjaan Kristus untuk mati demi dosa-dosa kita itu tidak
pernah terlepas dari kehendak Allah sendiri. Seperti dikatakan oleh Morris: “pada
dasarnya penebusan itu bukanlah suatu urusan yang non pribadi sifatnya, dan juga bukan
kepedulian Sang Anak saja. Tetapi tindakan yang melibatkan secara aktif kedua pribadi
yaitu Bapa dan Anak. Penebusan bukanlah urusan di mana hanya Kristus saja yang aktip
sementara Bapa mengambil peran pasip”.60

57
Lihat diskusi di dalam F. P. Furnish, Theology and Ethics in Paul (New York: Abingdon Press,
1968) h. 164.
58
J. Deney, 2 Corinthians, h. 195.
59
Bultmann juga memahami kata depan huper sebagai yang mengandung gagasan tentang “mewakili”
dan “menggantikan”, Theology, h. 296. Bandingkan dengan Morris. Dengan mengutip A. B.
Macaulay ia berpendapat bahwa kematian Kristus tidak hanya memiliki aspek menggantikan, tetapi
juga mempunyai sifat inklusif. The Cross in the New Testament (England: The Paternoster Press) h.
220. Bandingkan juga dengan Ridderbos, Paul, h. 190.
60
L. Morris, The Cross, h. 190.

20
Ungkapan “huper hemon hamartian epoiesen” (demi kita Ia telah membuat-Nya
dosa) itu sendiri merupakan ungkapan yang agak aneh. Kalau ungkapan itu diartikan
dengan Allah telah membuat Kristus menjadi seorang berdosa, maka ini tidak akan
selaras dengan kesaksian Alkitab. Beberapa ahli berpendapat bahwa “dosa” (hamartian)
di dalam ayat ini berarti kurban perdamaian untuk dosa, yang semula berasal dari bahasa
Ibrani asam, yang dapat berarti baik kurban perdamaian maupun kesalahan atau
kejahatan.61 Kemungkinan istilah tersebut berasal dari Yes. 53: 6, 10, di mana dikatakan
bahwa Hamba Allah menjadikan dirinya sendiri sebagai asam (LXX: peri hamartias =
mengenai dosa; sama seperti di dalam Roma 8: 3). Yesus sendiri sadar bahwa Ia
mengambil peran sebagai Hamba Allah (Ebed Yahweh), dan di dalam tulisan-tulisan
Paulus ada bukti bahwa ia mengetrapkan konsep tentang Ebed Yahweh ini di dalam
teologinya.62 Memahami ungkapan “Ia menjadikan dia dosa” dalam pengertian Yesus
mengambil rupa manusia nampak terlalu sederhana, dan kurang sesuai dengan
konteksnya, di mana Paulus memusatkan perhatiannya pada peristiwa akhir dari
kehidupan Yesus yaitu kematianNya. Tanpa mengabaikan kemungkinan arti yang
pertama yang telah disebutkan sebelumnya, kiranya lebih baik memahami anak kalimat
tersebut dengan menghubungkannya dengan antithese antara dosa dan pembenaran.63
Jelas bahwa tindakan Allah menjadikan Yesus berdosa dikerjakan agar dengan itu
Ia menjadikan kita benar di hadapanNya. Ini dapat terjadi hanya apabila penyebab
ketidak-benaran manusia, yaitu dosa, di hapuskan lebih dahulu sehingga dengan
demikian tidak akan ada lagi penghalang untuk menikmati hubungan yang benar dengan
Allah. Oleh sebab itu “menjadikan Yesus berdosa” lebih tepat dimengerti sebagai suatu
tindakan menghapuskan dosa manusia dengan cara menanggung hukuman dosa melalui
kematian di kayu salib. Dalam hubungan ini pandangan Morris yang mengatakan bahwa
“menjadikan Yesus berdosa” berarti memperlakukan Yesus bagaikan seorang berdosa
61
F. F. Bruce, 1 & 2 Corinthians, h. 210. Bandingkan dengan Calvin, Second Corinthians, h.81.
62
Cullmann telah memberikan bukti bahwa sejak awal pelayanannya, yaitu sejak setelah baptisanNya,
Yesus benar-benar sadar sebagai yang mengambil peran sebagai Ebed Yahweh. Konsep tentang
Yesus sebagai Ebed Yahweh merupakan konsep Kristologis yang tua, yang kemudian hilang, tetapi
konsep tersebut pasti telah dihidupkan kembali di dalam periode iman Kristen yang terawal. Ada bukti
yang cukup bahwa Paulus telah mengenal kristologi yang sangat tua ini dan kemudian mengetrapkan-
nya di dalam tulisan-tulisannya. The Christology of the New Testament (London: S. C. M. Press,
1963) h. 60-79.
63
Demikianlah Calvin, Second Corinthians, h.81.

21
dapat diterima sejauh itu dimengerti secara terbatas hanya pada peristiwa akhir dari
kehidupan Yesus di mana Ia menanggung hukuman dosa dengan cara tergantung di kayu
salib.64 Bentuk lampau epoiesen (“ia dulu membuat”) menunjukkan suatu pekerjaan yang
telah selesai di masa lampau. Lebih dari itu kenyataan bahwa subyek dari kata kerja
epoiesen adalah Allah, menunjukkan bahwa dalam menjalani kematian untuk orang-
orang berdosa, Yesus menggenapkan kehendak Allah Bapa sendiri. Senada dengan
pendapat ini Denney juga memahami kematian Yesus yang tidak berdosa itu sebagai
suatu tindakan taat kepada kehendak Bapa.65 Jelas bahwa semua ini menyatakan kasih
Allah yang suci, karena sementara kita tidak mampu menanggung konsekwensi dosa, Ia
telah mengirimkan AnakNya untuk menanggung konsekwensi tersebut bagi kita. Ini
meyakinkan kita semua bahwa kematian Kristus benar-benar merupakan tindakan
mengakiri permusuhan yang terjadi antara Allah dan manusia dengan cara menghapuskan
dosa yang menjadi penyebab permusuhan tersebut. Dengan melakukan ini Allah di dalam
kristus telah membuka jalan menuju kepada rekonsiliasi. Manusia tidak akan menjadi
musuh Allah lagi hanya dengan cara memasuki jalan yang telah dibukakan sendiri oleh
Allah. Ini merupakan tindakan iman di mana manusia memberikan jawab ya terhadap
panggilan pendamaian Allah. Tanpa jawab ya ini, maka perdamaian tidak pernah akan
menjadi kenyataan di dalam kehidupan manusia dan dengan begitu manusia akan tetap
berada di dalam keterasingan dari Allah sebagai musuhNya. Dalam arti yang demikian,
maka pendamaian itu sebenarnya merupakan pekerjaan penebusan yang datang dari Allah
di dalam Yesus Kristus bagi dunia untuk menghilangkan permusuhan yang ada antara
manusia dengan Dirinya dan melakukan pembaharuan untuk hidup damai. Dapat
dipahami mengapa kematian Kristus menjadi pusat dari pekerjaan pendamaian. Sen-
tralitas kematian Kristus untuk pekerjaan pendamaian ini semakin menunjukkan
ketergantungan kita manusia kepada kasih Allah. Bultmann telah secara benar menga-
takan: “perdamaian mendahului semua upaya manusia - bahkan segala pengetahuan - dan
pendamaian tidak berarti sebagai proses subyektif di dalam diri manusia, tetapi

64
L. Morris, The Cross, h.221-222. Bandingkan G. C. Berkouwer yang memahami ungkapan “Allah
menjadikan Yesus berdosa” dalam pengertian Allah membebankan kutukanNya padanya. Dalam hal
ini ia memahami 2 Kor. 5:21 di bawah terang Gal. 3:13 di mana dikatakan di sana bahwa “Kristus
menebus kita dari kutukan hukum Taurat, dengan cara menjadi kutuk karena kita”. Studies in
Dogmatics, the Work of Christ (Grand Rapids: Eerdmans, 1965) h.159-162.
65
J. Denney, The Death, h.97.

22
sebenarnya merupakan situasi faktual yang obyektif yang dikerjakan oleh Allah”. 66
Dalam pengertian ini, pendamaian merupakan suatu karunia dari Allah yang didasarkan
pada kasih kekalNya.

Sasaran Pendamaian

Sehubungan dengan sasaran pendamaian ini kita mencatat bahwa Paulus telah
bergerak dari penggunaan kata ganti hemas (kami) ke pada penggunaan obyek sasaran
kosmon (dunia). Kenyataan bahwa jawab iman merupakan hal yang begitu penting dalam
memperoleh perdamaian Allah, telah menimbulkan persoalan tersendiri. Persoalan itu
ialah bagaimana mungkin rasul Paulus berkata bahwa Allah di dalam Kristus
mendamaikan dunia? Lebih lanjut, kalau rasul Paulus dapat berkata “Allah memper-
cayakan kepada kita pelayanan perdamaian”, mengapa ia tidak dapat berkata “Allah
mempercayakan kepada dunia pelayanan perdamaian”?

Kalau kita memperhatikan dengan teliti ayat-ayat 17, 18, dan 19, maka kita dapat
melihat bagaimana pikiran rasul Paulus bergerak dari yang universal kepada yang khusus,
dan pada akhirnya dari yang khusus kembali lagi ke yang universal. Ungkapan “apabila
seseorang ada di dalam kristus” menunjukkan bahwa tidak setiap orang ada di dalam
Kristus, tetapi kesempatan untuk berada di dalam Kristus memang terbuka untuk
siapapun. Secara tidak langsung ini menunjukkan kepada kita bahwa situasi keberadaan
“di dalam Kristus” memang tidak dibatasi hanya kepada suku atau orang-orang tertentu,
tetapi itu dimaksudkan untuk siapa saja yang mau berada di dalam Kristus. Ini jelas dari
kenyataan bahwa rasul Paulus sendiri sadar akan aspek universal dari pekerjaan
penebusan Kristus. Tidak dapat diragukan lagi bahwa aspek universal ini memperoleh
dasarnya yang kokoh di dalam hati Tuhan Yesus sendiri (Mat. 28:19dbb; Kis. 1:8). Dari
aspek universal ini Paulus bergerak ke aspek khusus dengan cara mengetrapkan akibat
dari pekerjaan penebusan Kristus tersebut kepada “kita”. “Kita” di sini menunjuk tidak
hanya kepada rasul Paulus dan teman-teman sejawatnya, tetapi juga kepada orang-orang
Kristen di Korintus, dan bahkan dapat diperluas lagi kepada semua orang percaya di
muka bumi ini. Dalam artian ini maka perdamaian itu sendiri telah merupakan suatu

66
R. Bultmann, Theology, h.286.

23
realita yang dialami oleh semua orang percaya. Dari aspek khusus seperti ini akhirnya
rasul Paulus kembali lagi ke aspek universal dengan mengetrapkan pekerjaan pendamaian
tersebut sebagai suatu tawaran kepada dunia, suatu tawaran yang dapat menjanjikan
kehidupan. Dalam hubungan ini istilah kosmos selayaknya dimengerti pertama kali
sebagai dunia manusia.67 Kenyataan bahwa berita perdamaian masih harus diberitakan
menunjukkan bahwa pada satu pihak berita tersebut dibutuhkan untuk memperkokoh
mereka yang telah diperdamaikan, dan juga sebagai suatu peringatan terhadap apa yang
telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus, dan di pihak lain berita tersebut diperlukan sebagai
suatu undangan kepada dunia untuk mengambil suatu keputusan. Sebagai suatu
undangan kepada dunia, perdamaian masih merupakan suatu tujuan yang masih harus
dicapai. Dalam hubungan ini kematian Yesus, yang dengan itu Ia tidak memperhitungkan
pelanggaran-pelanggaran dunia, kiranya lebih baik dimengerti sebagai suatu peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau namun yang masih tetap dapat dirasakan akibatnya dan
tetap secara aktip bekerja di dunia ini di segala waktu. Demikianlah L. Morris dapat
menunjukkan kepada kita bahwa di dalam setiap hal kata “disalibkan” ada dalam bentuk
perfek partisip, yang berarti bahwa rasul Paulus memberitakan tidak hanya Kristus yang
dulu disalibkan (yang mesthinya ada dalam bentuk aorist, bentuk lampau) tetapi juga
Kristus yang secara terus menerus disalibkan. 68 Dalam pengertian inilah rupanya
ungkapan “perdamaian dunia” sebaiknya dimengerti.69 Dalam pengertian ini perdamaian
itu sendiri belum tercapai, dan oleh sebab itu belum dapat dialami secara nyata di dalam
kehidupan dunia. Perdamaian tersebut masih tetap ada di dalam undangan Allah yang
ditawarkan sebagai karunia bebas, yang dapat dinikmati oleh siapapun ketika ia
menjawab ya terhadap undangan Allah tersebut.70 Barangkali justru karena dunia secara
umum memang belum ambil bagian di dalam perdamaian yang diberikan oleh Allah,
maka rasul Paulus tidak mau mengatakan “Allah mempercayakan kepada dunia ini berita
perdamaian”.

67
Bandingkan dengan Fitzmyer, “Reconciliation”, h.161.
68
L. Morris, The Cross, h.218.
69
Penjelasan lebih lanjut tentang perdamaian sebagai tujuan yang masih harus dicapai untuk dunia dapat
dilihat di dalam latar belakang pengajaran rasul Paulus tentang akibat akhir dari manusia. Lihat
Martin, Reconciliation, h.20-23.
70
Buchsel berpendapat bahwa: “karena pelayanan perdamaian itu sendiri belum berakhir, dan dunia juga
belum sepenuhnya mendengar Firman perdamaian, maka perdamaian itu sendiri tidak seharusnya
dimengerti sebagai peristiwa yang telah selesai”. Lihar “katallasso”, T.D.N.T., h.257.

24
Selanjutnya masih perlu dipastikan apakah rasul Paulus memahami perdamaian
semata-mata hanya memiliki dimensi anthropologis saja, ataukah ia memahaminya
sebagai yang memiliki dimensi kosmis juga. Di bawah terang surat Kol. 1:20 nampak
jelas bahwa perdamaian juga memiliki dimensi kosmis juga, di mana perdamaian tersebut
berakibat tidak hanya kepada hubungan manusia dengan Allah saja, tetapi juga alam
semesta ini.71 Karena itu Ridderbus benar ketika mengakui bahwa perdamaian tidak
terbatas hanya pada hubungan antara manusia dengan Allah saja, tetapi juga meliputi
seluruh ciptaan, segala sesuatu ada di dalam rangkaian visinya. 72 Ini mengingatkan kita
semua bahwa sasaran pendamaian Allah tidak terbatas hanya pada manusia saja, tetapi
juga mencakup seluruh dunia ini, karena kehendak utama-Nya memang untuk
memperbaharui hubungan yang terputus antara Dirinya dengan dunia ini.

Buah Pendamaian

Secara sederhana dapat dipastikan bahwa buah pekerjaan pendamaian ialah


dikembalikannya manusia ke dalam hubungan yang benar dengan Allah. Hubungan benar
dengan Allah ini dilukiskan oleh rasul Paulus di dalam pasal ini dengan ungkapan “ Di
dalam Kristus” (2 Kor.5:17). Ini jelas dari kata-kata: “semua ini dari Allah, yang melalui
Kristus memperdamaikan kita dengan DiriNya”.

Tidak seorangpun dapat menolak arti penting dari rumusan “di dalam kristus” di
dalam theologia Paulus. Kenyataan ini telah mengakibatkan banyak ahli mengangkat
“persekutuan dengan kristus” sebagai prinsip utama yang mengatur teologia rasul Paulus.
Demikianlah misalnya James S. Stewart. Dengan penuh keyakinan ia berkata bahwa jiwa
dari agama Paulus adalah “persekutuan dengan kristus”. Persekutuan dengan Kristus
inilah kunci untuk membuka rahasia jiwanya.73 Banyak upaya telah dilakukan untuk
memahami apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh rasul Paulus dengan ungkapan “di
dalam Kristus” tersebut. Dalam hubungan ini ungkapan tersebut juga telah dimengerti

71
Fitzmyer, “Reconciliation”, h.162.
72
H. Ridderbos, Paul, h.106.
73
J. S. Stewart, A Man, h.147dbb. Apakah pendapat ini betul atau tidak memang masih memerlukan
penyelidikan lebih lanjut. Namun disadari bahwa pokok masalah ini di luar cakupan studi kali ini.

25
baik secara realistis, mistis, lokal, dan juga eskhatologis. 74 Sehubungan dengan ini, fasal
5:17 nampaknya lebih baik dimengerti secara eskhatologis. Dengan demikian maka ada
“di dalam Kristus” berarti ada di dalam jaman yang baru dan mengalami kehidupan dan
kuasa jaman yang baru tersebut.75 Demikian halnya karena ungkapan “di dalam Kristus”
di sini tidak dapat diepaskan dari tindakan pendamaian Allah (5:19) melalui kematian
Kristus (5:14). Jelas bahwa Paulus memahami kematian Yesus, yang tidak dapat
dipisahkan dari kebangkitanNya itu, sebagai peristiwa eskhatologis. Itu berarti bahwa
melalui kematian Yesus, orang-orang percaya telah dibebaskan dari jaman yang jahat
sekarang ini, dan dipindahkan ke dalam jaman yang akan datang (bandingkan Gal. 1:4;
Kol. 1:13). Orang-orang percaya tidak hidup di bawah kuasa kegelapan lagi, tetapi hidup
di bawah kuasa kerajaan Kristus. Perpindahan dari jaman ini ke jaman yang akan datang
terjadi hanya di dalam Kristus. Barangsiapa ingin ambil kesempatan untuk berada di
dalam jaman yang akan datang itu, maka ia tidak dapat melakukan apapun kecuali
bertobat menyesali dosanya dan percaya kepada Yesus.
Arti eskhatologis dari ungkapan “di dalam Kristus” ini dapat dilihat lebih jelas di
dalam kata-kata: “ia adalah ciptaan baru, yang lama telah berlalu, lihat yang baru telah
datang”. Telah banyak upaya untuk menelusuri asal-usul ungkapan kaine ktisis (“ciptaan
baru”) dengan cara menghubungkannya dengan ungkapan para rabbi, dan bahkan dengan
pengajaran sekte Qumran.76 Dengan mempertimbangkan bahwa tekanan rasul Paulus di
sini bukan semata-mata pada “ciptaan baru” itu sendiri, tetapi lebih pada perpindahan
dari jaman yang jahat ini kepada jaman yang akan datang oleh karena kematian dan
kebangkitan Yesus, maka nampaknya lebih baik mengikuti Barrett yang berpikir bahwa
agak janggal kalau rasul Paulus hanya sekedar meminjam ungkapan para rabbi.
Sementara itu upaya untuk menghubungkannya dengan sekte Qumran juga nampak
kurang meyakinkan, karena tidak nampak ada bukti yang konkret. 77 Tindakan Allah

74
Untuk pemahaman mistis lihat kutipan Ridderbos di dalam Paul, h.29-31. Untuk pemahaman secara
realistis lihat Robinson, The body: A Study in Pauline Theology (London: S.C.M. Press, 1961)
h.49-55. Untuk pemahaman secaea lokal lihat E. Best, One Body in Christ (London: SPCK, 1955)
h.5-9. Untuk pemahaman secara eskhatologis lihat G. E. Ladd, A Theology of the New Testament
(Grand Rapids: Eerdmans, 1974) h.551dbb.
75
G. E. Ladd, Theology, h.551. Lihat juga Barrett, Romans, h.127. Barrett juga percaya bahwa pema-
haman secara eskhatologis merupakan satu-satunya pemahaman yang tepat untuk fasal ini. Second
Corinthians, h.173.
76
Lihat diskusi di dalam Plemmer, II Corinthians, h.180.
77
C. K. Barrett, Second Corinthians, h.173-174.

26
melalui Kristus memindahkan orang-orang percaya dari jaman yang lama ke dalam
jaman yang baru lebih baik dimengerti sebagai suatu tindakan penciptaan kembali, tidak
dalam pengertian material, tetapi dalam pengertian spiritual. Oleh sebab itu ungkapan
“yang lama” tidak seharusnya dimengerti sebagai yang menunjuk kepada ciptaan materi,
yaitu dunia yang di dalamnya manusia itu hidup, tetapi lebih baik dimengerti sebagai
yang menunjuk kepada situasi kehidupan di mana manusia berada di bawah kuasa
kegelapan dan hidup terasing dari Allah. Selaras dengan ini maka “yang baru” juga harus
dinegerti sebagai siatuasi kehidupan di mana kuasa jaman yang baru secara aktip
menguasai orang-orang yang berada di dalamnya. Mereka itu ada di dalam hubungan
yang benar dengan Allah, dan tidak lagi dipandang sebagai musuh-musuh Allah. Dunia
baru ini terdiri dari orang-orang yang telah dipindahkan dari hidup mereka yang lama, ke
dalam hidup baru di dalam Kristus.

Apabila Paulus berbicara tentang “ciptaan baru”, ia terutama menunjuk tidak


hanya kepada pribadi-pribadi, tetapi juga kepada keseluruhan manusia yang telah berada
di dalam kehidupan di mana kuasa jaman yang baru secara aktip bekerja. Ini semua
memungkinkan kita memahami kata arkaia (“lama”) dan kaina (“baru”) sebagai yang
menyatakan dua dunia yang berbeda, yaitu dunia sekarang ini yang ada di bawah kuasa
kegelapan, dan jaman baru yang telah dinyatakan melalui kematian Kristus. 78 Mereka
yang ada di dalam dunia baru (di dalam Kristus) adalah mereka yang telah diperdamaikan
dengan Allah melalui AnakNya. Teks ini sendiri tidak secara pasti melukiskan bagaimana
hidup baru itu sendiri. Tetapi karena berada di dalam hidup baru terjadi oleh karena
tindakan pendamaian Allah, maka kita dapat mengatakan bahwa berada di dalam hidup
baru berarti berada di dalam tatanan hubungan yang baru yang diciptakan oleh Allah
melalui Yesus. Seperti dikatakan oleh Knox, ada di dalam Kristus berarti menjadi bagian
organik dari “ciptaan baru” di mana Kristus yang telah bangkit itu menjadi menifestasi
utama dan simbol yang efektif. Ada di dalam Kristus berarti menjadi bagian dari kerajaan
eskhatologis Allah yang telah dinyatakan di dalam sejarah sebagai Gereja. 79 Ini
menunjukkan bahwa orang-orang yang telah diperdamaikan itu tidak hidup di dalam
78
Bandingkan Ridderbos yang memahami kedua dunia yang berbeda tersebut tidak hanya dalam
pengertian rohani, tetapi juga di dalam pengertian sejarah penebusan Alah, dan secara eskhatologis.
Paul, h.45dbb.
79
J, Knox, Chapters, h.141dbb.

27
keterasingan satu terhadap yang lain, tetapi sebaliknya mereka terikat di dalam suatu
hubungan timbal balik satu terhadap yang lain. Ini terjadi sebagai akibat dari tindakan
pendamaian di mana mereka tidak hanya diperdamaikan dengan Allah tetapi juga
terhadap satu dengan yang lain. Berada di dalam dunia yang baru sebagai ciptaan yang
baru juga berarti menjadi anak-anak laki-laki dan perempuan Allah. Paulus memang tidak
secara eksplisit menyebut masalah ke-anak-an ini. Tetapi di dalam fasal 6:18 Paulus
melukiskan hubungan antara orang-orang percaya dengan Allah sebagai hubungan antara
Bapa dan anak-anak laki-laki dan perempuan. Hubungan antara Bapa dan anak-anak ini
dapat terjadi hanya apabila perdamaian itu sendiri telah terjadi, atau dengan kata lain, itu
dapat terjadi hanya di dalam kondisi dunia yang baru. Dalam hubungan ini Taylor berkata
bahwa diperdamaikan dengan Allah berarti masuk ke dalam rumah Bapa, dan menjadi
anak-anakNya. Dalam artian ini, perdamaian dimengerti sebagai keadaan dan tidak
sebagai suatu tindakan atau suatu proses.80

2. Perdamaian, Pembenaran, dan Pengadilan Allah

Penggunaan istilah dikaiosyne (pembenaran) ditemukan lebih sering di dalam


surat 2 Korintus (sebanyak 7 kali) dibanding penggunaan istilah katallage.81 Tetapi
sebagian besar penggunaannya tidak berhubungan dengan pokok masalah perdamaian.
Hanya 2 Kor. 3:;9; 5:21 dan 11:15 sajalah yang agak secara jelas berhubungan dengan
pokok masalah perdamaian.

Dengan membandingkan pelayanannya sendiri dengan pelayanan Musa, rasul


Paulus menunjuk kepada pelayanannya sendiri sebagai “pelayanan pembenaran” (3:9)
yang sebanding dengan “pelayanan perdamaian” (5:19). Begitu pula setelah menasehati
orang-orang Korintus untuk diperdamaikan kepada Allah, ia melanjutkan dengan berkata-
kata tentang menjadi benar di hadapan Allah (5:21). Dan akhirnya dalam serangannya
terhadap para musuhnya, ia menuduh mereka menjadi pelayan-pelayan kebenaran yang
palsu, dengan implikasi bahwa dirinya sendiri merupakan pelayan kebenaran yang benar
(11:15).

80
V. Taylor, Forgiveness, h.116.
81
Untuk penggunaan istilah dikaiosyne lihat Young, Analytical Concordance to the Bible (London:
Lutterworth Press, 1879) h.819.

28
2 Korintus 3:9

Konteks dari fasal ini menunjukkan bahwa rasul Paulus ingin menunjukkan
kepada orang-orang Korintus tentang hakekat pelayanannya dengan cara memban-
dingkannya dengan pelayanan Musa. Mengapa Paulus membandingkan pelayanannya
sendiri dengan pelayanan Musa kemungkinan besar ditentukan oleh situasi di Korintus
sendiri, di mana para musuhnya di sana masih menganggap Musa sebagai figur terbesar
di dalam pelayanan.82 Pencandraan terhadap pelayanan Musa sebagai pelayanan kematian
dan penghukuman kemungkinan merupakan sindiran rasul Paulus kepada praktek hidup
di mana Hukum Musa masih dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh
keselamatan. Kalau demikian adanya, “pembenaran” di dalam ayat ini harus dimengerti
di dalam perspektif “bagaimana memperoleh keselamatan”. Dari sisi manusia,
keselamatan dapat digapai apabila manusia didapatkan benar di hadapan Allah.
Pemahaman rasul Paulus mengenai hakekat keberadaan manusia tidak memungkinkan
hal seperti ini terjadi. Mustahil bagi manusia yang pada hakekatnya berdosa itu memiliki
kemampuan untuk menggapai pembenaran. Karena itu tidak dapat dihindarkan lagi
manusia mempunyai kebutuhan untuk dibenarkan oleh Allah sendiri melalui AnakNya.
Di bawah terang surat Roma 3:23dbb, hal membuat manusia benar ini merupakan
anugerah Allah. Pertanyaannya ialah apakah tindakan pembenaran ini harus dimengerti
secara etis ataukah secara forensik. Kalau dipahami secara etis, maka pembenaran di sini
berarti mengakui pembenaran seseorang.83 Namun nampaknya tidak demikian yang
dimaksudkan oleh rasul Paulus. Karena itu barangkali lebih baik mengikuti pendapat
Bultmann84, yang memahami tindakan pembenaran Allah secara forensik. Dimengerti
secara forensik, maka pembenaran tersebut utamanya menunjuk tidak kepada kualitas etis
seseorang, tetapi menunjuk kepada hubungan dengan Allah. Kalau demikian maka
pembenaran itu sendiri bukanlah sesuatu yang yang pada dasarnya dimiliki sendiri oleh
seseorang, tetapi lebih merupakan sesuatu di mana orang tersebut menerimanya dari

82
Kalau betul demikian adanya, maka paling tidak dugaan bahwa musuh-musuh rasul Paulus adalah
orang-orang Kristen Yahudi, benar adanya. Lihat C. K. Barrett, “Paul’s Opponents in 2 Corinthians”,
Essays on Paul (London: S.P.C.K., 1982) h.79dbb.
83
Bandingkan dengan T. W. Manson, On Paul, h.54, juga Whitely, The Theology of St. Paul (Oxford:
Basil Blackwell, 1964) h.157.
84
Bultmann, Theology, h.271-276.

29
Allah. Bukan ketidak berdosaan dalam arti kesempurnaan etis, tetapi ketidak berdosaan
dalam arti bahwa Allah tidak memperhitungkannya. Di sini kita bisa melihat bahwa
tindakan pendamaian Allah dengan tidak memperhitungkan dosa manusia sebagaimana
disebutkan di dalam 2 Kor.5:19, diinterpretasikan secara tidak berbeda dengan tindakan
pembenaran Allah. Dalam arti yang demikian, pembenaran dan juga perdamaian
merupakan karunia yang tidak tergantung pada kemampuan manusia, tetapi tergantung
kepada pekerjaan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus. 85 Semua ini menunjukkan
tidak terpisahkannya hubungan antara pembenaran dan pendamaian. Kedua istilah
tersebut menunjuk kepada situasi kehidupan yang baru yang Allah sendiri di dalam
Kristus telah membukanya bagi manusia. Di tempat lain dari tulisan-tulisannya nampak
jelas bahwa Paulus sendiri menggunakan kedua istilah tersebut secara sungguh sejajar
dan sama.86

2 Korintus 5:21

Anak kalimat yang menuntut perhatian ialah: “hina hemeis genometha dikaio-
syne Theou en auto” (“agar supaya di dalam Dia kita menjadi kebenaran Allah”).
Tidaklah mudah bagaimana kasus genetip untuk Theou (Allah) harus dipahami. Adakah
itu harus dimengerti dengan “kebenaran milik Allah”, dan dengan demikian menjadi
“kebenaran Allah”, yang berarti ambil bagian di dalam kebenaran yang dimiliki sendiri
oleh Allah? Tanpa penjelasan lebih lanjut M. D. Hooker memahaminya demikian. 87
Pemahaman seperti ini dapat membuat orang lain salah mengerti bahwa menjadi
kebenaran Allah berarti mempunyai kedudukan yang tidak terjamah oleh dosa. Satu hal
yang nampak jelas ialah bahwa “menjadi kebenaran Allah” ternyata tidak terpisahkan

85
Lebih lanjut Bultmann berpendapat bahwa hal seperti ini dapat diungkapkan dengan menyebut anuge-
rah sebagai dasar pembenaran. Pembenaran oleh iman (Roma 3:22) mempunyai kesamaan dengan
ayat 24: dibenarkan oleh anugerah sebagai karunia, di mana kata “sebagai karunia” menekankan lebih
lanjut sifat pemberian dari pembenaran yang sebenarnya juga telah diungkapkan di dalam istilah
anugerah. Anugerah dan karunia juga muncul saling melengkapi di dalam Roma 5:15, 17. Theology,
h.281.
86
Lihat misalnya Roma 5:9, 10 di mana “dibenarkan oleh darahNya” sejajar dengan “diperdamaikan
oleh kematianNya” , memenangkan orang-orang penyembah berhala kepada Injil dapat secara sama
dilukiskan dengan perdamaian dunia (11:5) atau dengan mengatakan “orang-orang kapir ... telah men-
dapatkan pembenaran (9:30). Injil yang melaluinya kebenaran Allah dinyatakan (Roma 1:16) juga
disebut berita perdamaian (2 Kor. 5:19) dan pelayanannya disebut baik “pelayanan kebenaran” (2 Kor.
3:9) maupun juga “pelayanan perdamaian” (2 Kor. 5:18). Manusia beriman menerima perdamaian
(Roma 5:11) sebagaimana ia juga menerima pembenaran (Roma 5:17).
87
M. D. Hooker, A Preface to Paul (New York: Oxford University, 1980) h.45.

30
dari tindakan Allah menjadikan Yesus berdosa. Ini ditunjukkan oleh penggunaan kata
hina (agar supaya). Telah disebutkan sebelumnya bahwa menjadikan Yesus berdosa
seharusnya dimengerti sebagai tindakan menghapuskan dosa manusia dengan
menanggung hukuman dosa manusia melalui kematian di kayu salib. Oleh sebab itu,
menjadi kebenaran Allah kemungkinan juga merupakan cara lain mengatakan bahwa di
dalam Kristus kita dibenarkan sehingga tidak akan ada lagi hukuman bagi mereka yang
ada di dalam Kristus (bandingkan Roma 8:1).88

Semua ini dibicarakan oleh rasul Paulus dalam hubungan langsung dengan
permohonannya kepada orang-orang Korintus untuk diperdamaikan dengan Allah.
Seolah-olah rasul Paulus telah mengatakan bahwa diperdamaikan dengan Allah juga
berarti dibenarkan, dan dengan demikian masuk ke dalam hubungan yang benar dengan
Kristus. Paling tidak ini memberikan bukti bahwa Paulus tidak benar-benar berpikir
mengenai pendamaian dan pembenaran sebagai dua hal yang terpisah, walaupun bisa saja
kedua istilah tersebut menghadirkan aspek-aspek karya penyelamatan Allah tertentu yang
berbeda. Kenyataan bahwa kedua istilah tersebut dialaskan pada tindakan Allah tidak
memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran manusia memungkinkan kita untuk
menggunakan kedua terminologi itu sebagai yang mengandung pengertian pengampunan,
istilah yang rasul Paulus sendiri jarang menggunakannya.89 Walaupun pada dasarnya
pembenaran dan pendamaian itu saling terhubung satu terhadap yang lain, namun
nampak jelas bahwa pendamaian merupakan terminologi dengan cakupan yang lebih luas
dibandingkan dengan pembenaran.90 Ketidak senangan hati Allah dan keterasingan
manusia mencerminkan keberadaan laki-laki dan perempuan yang merupakan sasaran
pendamaian. Di dalam pembenaran, para pendosa seperti itu secara forensik berada di
dalam keadaan salah, dan membutuhkan pembenaran. Tetapi dengan menggunakan
terminologi pendamaian, Paulus bergerak ke dimensi yang lain dari keberadaan manusia
sebagai seteru dan dalam keadaan terasing dari Allah. Dengan demikian di satu pihak

88
Bandingkan P. E. Hughes, 2 Corinthians, h.214.
89
Sehubungan dengan arti pengampunan, Knox berpendapat bahwa pengampunan merupakan pemba-
haruan hubungan pribadi, entah itu antara manusia atau antara manusia dengan Allah., Chapters,
h.146.
90
Demikianlah misalnya Martin berkata bahwa: “ada persamaan antara pembenaran dan perdamaian.
Perdamaian merupakan pasangan pembenaran, namun perdamaian merupakan istilah yang lebih luas
cakupannya. Reconciliation, h.152.

31
“perdamaian” menunjuk kepada hakekat keberadaan manusia yang sebenarnya, tidak
hanya sebagai pendosa yang secara forensik berada di dalam keadaan salah, tetapi juga
sebagai seteru Allah yang tidak dapat menghindarkan diri dari ancaman murka Allah. Di
pihak lain, dengan menggunakan istilah “pendamaian” Paulus melukiskan makna
efektifitas tindakan penyelamatan Allah yang benar di dalam Yesus Kristus. Dengan kata
lain, di bawah terang “perdamaian” hekakat keberadaan manusia yang sebenarnya dan
kasih Allah sebagai pengambil insiatip dapat secara lebih jelas dilihat dibanding dengan
penggunaan istilah pembenaran. Pandangan seperti ini sebanding dengan pendapat
Bultmann yang mengatakan bahwa istilah pendamaian dapat lebih mengungkapkan
secara jelas maksud Paulus untuk menunjukkan ketergantungan manusia secara radikal
kepada anugerah Allah, dibanding dengan penggunaan istilah pembenaran. 91 Istilah
“pendamaian” juga tidak dibatasi oleh tradisi Yudaik Perjanjian Lama, tetapi lebih
berhubungan dengan kebutuhan manusia secara universal di samping juga memiliki
skopa baik dalam dimensi pribadi maupun dimensi kosmis.92

2 Korintus 5:10

Setelah melihat hubungan antara “pendamaian” dan “pembenaran”, maka perlu


juga melihat bagaimana kedua hal tersebut terhubung dengan “pengadilan Allah”.
Nampaknya tidak mungkin bahwa karena mengalami pendamaian dan pembenaran, maka
orang-orang percaya terbebas dari pengadilan Allah. Paulus menyebutkan soal
pengadilan Allah ini di dalam 2 Kor.5:10, di mana dikatakan: “Sebab kita semua harus
menghadap tahta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut
diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat”.

Dengan membaca ayat ini, setiap orang pasti akan mencatat bahwa pekerjaan
manusia selama hidup di dunia ini ternyata menjadi faktor yang menentukan dalam
memperoleh imbalan (pahala?) tertentu, yang akan diberikan oleh Tuhan pada hari
penghakiman. Nampaknya hal seperti ini bertentangan dengan pengajaran Paulus sendiri

91
R. Bultmann, Theology, h.284.
92
Menurut Martin, ini merupakan alasan mengapa Paulus berpindah dari bahasa pembenaran kepada
perdamaian karena Paulus sadar akan dirinya sebagai rasul kepada orang-orang dari bangsa lain.
“Perdamaian” merupakan jalan yang dengannya Paulus merumuskan Injilnya dan mengkomunikasi-
kannya kepada orang-orang dari bangsa lain. Reconciliation, h.151.

32
khususnya tentang pendamaian dan pembenaran oleh iman, di mana perbuatan manusia
tidak berperan penting. Oleh sebab itu perlu ditegaskan lebih dahulu apa sebenarnya yang
dimaksudkan oleh rasul Paulus akan pengadilan Kristus itu.

Paling tidak ada dua penafsiran yang berbeda mengenai masalah ini. Ada yang
memahami pengadilan Kristus ini tidak lain juga adalah pengadilan Allah sendiri, karena
Allah mengadili melalui Kristus. Namun pengadilan ini berlaku terbatas hanya bagi
orang-orang percaya saja, dan karena itu pengadilan Kristus ini bukanlah saat di mana Ia
menyatakan hari kiamat, tetapi merupakan saat penilaian atas hal-hal yang baik pada
manusia.93 Tetapi ada juga yang berpendpat bahwa pengadilan Kristus di sini adalah
pengadilan universal, yaitu pengadilan yang berlaku tidak hanya bagi orang-orang
percaya saja, tetapi juga semua orang di dunia ini. Dengan demikian maka pengadilan
Kristus di sini menunjuk kepada saat dinyatakannya hari kiamat, di mana orang-orang
jahat akan dihukum tetapi orang-orang percaya akan menerima hidup kekal. 94 Perbedaan
pendapat ini disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi terhadap frase pantas
hemas (“kita semua”). Kalau frase ini dimengerti hanya menunjuk kepada orang-orang
Korintus saja, maka kemungkinan benar kalau pengadilan Kristus di sini berlaku hanya
kepada orang-orang percaya saja. Tetapi kalau frase ini dimengerti dalam arti yang lebih
luas, di mana Paulus sendiri berbicara tentang tubuh surgawi yang menunjuk kepada hari
penyempurnaan, maka jelas bahwa pantas hemas di sini dimaksudkan oleh Paulus
sebagai yang menunjuk kepada semua orang yang ada di dunia ini. 95 Karena itu dalam
banyak hal, arti dari pengadilan Kristus di sini akan sangat tergantung pada bagaimana
kita memahami kerinduan Paulus untuk mengenakan tubuh surgawi sebagaimana
disebutkan di dalam 2 Kor. 5:2.

Kata “karena” (gar) di dalam ayat 1 menunjuk ke ayat-ayat sebelumnya, di mana


Paulus menyebutkan tujuan hidupnya, yaitu memperhatikan “hal-hal yang tidak
kelihatan” (4:18). Kenyataan bahwa “hal-hal yang tidak kelihatan” ini terhubung dengan
“hari kebangkitan” (4:14): “mengetahui bahwa Ia yang telah membangkitkan Tuhan
93
Lihat misalnya Ladd, Theology, h.566. Hughes, Second Corinthians, h.182, juga Filson, The
Interpreter’s Bible X (New York: Abingdon Press, 1953) h.331.
94
Lihat misalnya Barrett, 2 Corinthians, h.160-161.
95
Barrett memahami individualisme dari kata ekastos sebagai yang berhubungan dengan universalisme
dari pantas hemas. 2 Corinthians, h.160.

33
Yesus juga akan membangkitkan kita bersama-sama dengan Yesus dan akan
menghadapkan kami bersama-sama dengan kamu semua di hadapanNya” menunjukkan
bahwa Paulus sedang berpikir tentang waktu ketika Allah akan menetapkan pemerintahan
rajawi-Nya. Salah satu hal yang tidak terlihat yang disebutkan di dalam fasal 4:18
sekarang dilukiskan sebagai “suatu bangunan dari Allah (oikodomen ek Theou), suatu
rumah (oikian) yang tidak dibuat oleh tangan manusia, kekal di surga”. Sering
dikemukakan bahwa ungkapan “kami tahu” (oidamen) di dalam ayat 1 menunjukkan
bahwa Paulus sedang mengangkat suatu pengajaran yang telah dikenal baik oleh orang-
orang Korintus. Tetapi tidak harus demikian, karena Paulus sendiri nampaknya
mempunyai kebiasaan mengingatkan para pembaca surat-suratnya dengan menggunakan
suatu pertanyaan, misalnya “tahukah kamu”.96 Walaupun demikian kelihatannya benar
bahwa ungkapan oidamen (“kami tahu”) itu sendiri memberitahukan sesuatu yang
diercayai oleh rasul Paulus.97 Dalam hubungan ini ialah kepercayaan bahwa: “kalau
rumah duniawi kita ini yang tidak lebih hanya merupakan kemah dihancurkan
(dibongkar) kita memiliki suatu bangunan yang berasal dari Allah. Kemungkinan besar
ungkapan “rumah duniawi yang tidak lebih dari sebuah kemah” harus dimengerti pertama
kali sebagai yang menunjuk kepada “tubuh” yang menandai kehidupan kini di dunia ini.
Karena Paulus mempertentangkan kehidupan yang mortal dengan kehidupan yang
imortal, kehidupan sekarang dan yang akan datang, maka arti dari ungkapan “rumah
duniawi kita yang tidak lebih hanya sebuah kemah” ini dapat diperluas mencakup arti
jaman sekarang ini, yaitu jaman yang masih berada di bawah kekuasaan kegelapan. 98 Hal
96
Bandingkan Barrett, 2 Corinthians, h.151.
97
Calvin berkata bahwa oidamen menunjukkan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh rasul Paulus tidak
berasal dari kemampuan intelektual manusia, tetapi dari penyataan Roh Kudus, dan karena itu itu
hanya merupakan milik orang-orang percaya. Second Corinthians, h.66-67.
98
Thornton berkata: pertentangan antara rumah duniawi dengan rumah sembahyang surgawi memiliki
latar belakang Alkitabnya di dalam sejarah Israel. Christ ad the Church (the form of the servant, Vol.
III, London, 1956) h.119. Hal ini dapat dijelaskan di bawah terang pendapat Lightfoot bahwa
“kemah-kehidupan bangsa Israel di padang durun seperti diperingati setiap tahun di dalam perayaan
tabernakel, merupakan simbul yang cocok bagi kehidupan sementara di dunia ini: sementara itu tanah
perjanjian dengan diskripsinya sebagai tanah yang berlimpah susu dan madu melambangkan warisan
kekal dari orang-orang tebusan. Philippians, 1:23. Dua pendapat ini benar apabila penggunaan
Paulus akan istilah “kemah” benar-benar mempunyai latar belakangnya yang berasal dari pengalaman
hidup bangsa Israel di dalam pengembaraan mereka di padang pasir, khususnya tentang tabernakel.
Walaupun demikian pokok masalah ini sendiri masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Kalau
betul-betul ada bukti untuk itu, maka hal itu akan mendukung pendapat bahwa di dalam 2 Korintus
5:1-10 Paulus sedang berpikir tentang dua jaman yang berbeda, yaitu jaman sekarang ini yang masih
berada di bawah kekuasaan kegelapan dan jaman yang akan datang yang kekal berada di bawah
kuasa Tuhan.

34
ini nampak jelas dari ayat-ayat berikut: “Sebab sesungguhnya selagi kita masih ada di
dalam rumah duniawi ini kita mengeluh ..”. Kalau hal mengeluh ini dilihat di dalam
perspektif sejarah keselamatan, yang menurut Kasemann99 merupakan horizon dari
teologi Paulus, akan menjadi jelas bahwa hal mengeluh itu menandai kondisi kehidupan
dari jaman sekarang ini yang masih ada di bawah kuasa kegelapan (bandingkan Roma
8:19-22). Di samping interpretasinya mengenai bangunan surgawi, E. E. Ellis 100 perlu
mendapatkan dukungan dalam menempatkan perikop eskhatologis ini (2 Kor. 5:1-10) di
bawah terang kesadaran rasul Paulus mengenai dua jaman yang berbeda, yaitu jaman
yang lama dan jaman yang baru yang masih akan datang. Tidak ada kepastian apakah
kemah kehidupan kita di dunia akan dihancurkan pada saat kematian atau pada jaman
akhir, yaitu saat Allah menetapkan kegenapan jaman yang akan datang itu. Kalau betul
bahwa pikiran Paulus di sini didasarkan pada gagasan tentang dua jaman yang lama dan
yang baru, maka pilihannya jatuh pada yang kedua, walaupun itu tidak berarti
mengabaikan yang pertama. Dalam hal ini maka pikiran rasul Paulus nampak rancu.
Kerancuan ini lebih lanjut dapat dilihat di dalam perkataan Paulus: “Ia yang
mempersiapkan kita untuk maksud ini adalah Allah yang di dalam Roh memberikan
kepada kita jaminan dari keseluruhan karuniaNya” (ayat 5).101 Kata arrabon yang
diterjemahkan dengan “panjar” menunjukkan bahwa orang-orang percaya telah dalam
batas tertentu mengalami di dalam hidup mereka apa yang masih mereka harapkan, yang
dalam konteks ini adalah tubuh surgawi. Barangkali inilah sebabnya mengapa rasul
Paulus menggunakan kata kerja dalam tensis waktu sekarang, echomen, yang
menandakan bahwa pada saat ini orang-orang percaya dalam batas tertentu telah
mengenakan rumah surgawi, tetapi masih menantikan kepenuhannya pada jaman akhir,
yaitu pada saat kedatangan Tuhan yang kedua-kalinya. Kalau demikian adanya,
pembongkaran rumah duniawi yang disebutkan di dalam ayat satu harus dimengerti
sebagai yang akan terjadi pada masa Parousia.

99
E. Kasemann lebih lanjut berkata bahwa nampaknya Paulus memahami waktu dia sendiri sebagai saat
penderitaan Messias, Perspectives on Paul (Philadelphia: Fortress Press, 1971) h.66-67.
100
E. E. Ellis, Paul and His Recent Interpreters (Grand Rapids: Eerdmans, 1961) h.35-48.
101
Dalam terjemahan ini saya mengikuti Barrett dengan mengambil pneumatos dalam pengertian gene-
tip. 2 Corinthians, h.157.

35
Paulus melukiskan kehidupan yang akan datang ini tidak hanya sebagai suatu
pengharapan bagi setiap orang percaya, tetapi juga sebagai sesuatu yang memberikan
dasar-dasar etis untuk kehidupan orang-orang percaya di sini saat ini. 102 Kalau demikian,
maka Barrett betul ketika menyimpulkan bahwa di sini Paulus menggunakan
pengharapan Kristen akan kehidupan yang akan datang untuk memberikan makna bagi
kehidupan kini, dan menegaskan bahwa orang-orang Kristen hidup dengan tuntunan dari
sesuatu yang mereka belum sepenuhnya mengalaminya, sesuatu yang masih menanti
mereka.103 Inilah yang disebutkan oleh rasul Paulus menjalani hidup atas dasar iman (ayat
7). Hasil positipnya ialah bahwa Paulus senantiasa mampu menjalani hidup sekarang ini
walaupun penuh dengan berbagai macam penderitaan. Entah ia diam di dalam tubuh ini
ataupun diam di luarnya, ia senantiasa tabah menjalani hidup ini, dan lebih penting dari
itu keinginannya yang terbesar ialah menyukakan hati Allah di dalam segala situasi (ayat
6-9).

Diam di dalam tubuh ini nampaknya harus dimengerti sebagai hidup di dalam
kehidupan sekarang ini, yaitu kehidupan di dalam tubuh mortal. Keadaan hidup seperti
ini dilukiskan sebagai “jauh dari Tuhan”, karena jaman yang akan datang, dengan Yesus
sebagai Tuhannya itu belum sepenuhnya dinyatakan, dan itu berarti bahwa orang-orang
percaya belum dapat sepenuhnya berada bersama-sama dengan Tuhan. Oleh sebab itu
salahlah kiranya kalau kita memahami ungkapan “diam di dalam tubuh ini” dalam
pengertian hidup terasing dari Tuhan. Karena menurut Paulus, betapapun orang-orang
percaya berada jauh dari Tuhan, namun mereka hidup di atas alasan iman. Iman yang
dapat memberikan sesuatu yang sebenarnya masih mejadi pengharapan itu betul-betul
(dalam batas tertentu) menjadi suatu kenyataan (5:7). Juga di atas alasan iman inilah
kalau kita mengatakan bahwa Kristus hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Ungkapan iman itu sendiri dapat dilihat di dalam ambisi rasul Paulus untuk membuat
seluruh hidupnya itu berkenan dan diterima (euarestos) di hadapan Allah. Dalam hal ini,

102
Ini sangat penting khususnya untuk status Paulus sebagai rasul Allah yang pada saat itu masih dicuri-
gai sebagai orang yang licik dan bertindak secara duniawi. Dengan menjelaskan hal ini maka Paulus
memberitakan kepada dunia bahwa ketulusan hatinya sebagai seorang rasul tidak hanya dialaskan
pada kemampuan intelektualnya saja, melainkan lebih dari itu dialaskan pada pekerjaan Allah mem-
persiapkan dirinya untuk kehidupan yang akan datang yang sempurna di dalam persekutuan dengan-
Nya.
103
Dalam hal ini Barrett mengutip dari Bornkamm, 2 Corinthians, h.150.

36
Paulus sendiri tidak memberikan penjelasan konkret mengenai tindakan macam apakah
yang dapat berkenan dan diterima di hadapan Allah. Dengan mempertimbangan bahwa
melalui suratnya itu Paulus bermaksud memulihkan kembali hubungannya dengan jemaat
di Korintus, yang untuk sementara waktu terputus karena ia dituduh telah bertindak
secara duniawi seolah-olah ia seorang rasul palsu, maka sangat beralasan kalau kita
menduga bahwa tingkah laku yang dimaksudkan di sini adalah segala tingkah laku yang
telah dilakukan oleh rasul Paulus selaku seorang rasul. Yaitu tingkah laku yang
senantiasa ditandai oleh ketulusan hati dan kemurnian (1:12). Ini semua adalah persoalan
ketaatan yang menguasai seluruh hidup rasul Paulus sebagai seorang rasul. Di sini kita
dapat melihat betapa Paulus melihat adanya hubungan yang tak terpisahkan antara iman
dan ketaatan.104 Kesadaran akan kehidupan di masa yang akan datang yang masih
diharapkan oleh orang-orang percaya jelas tidak dapat dilepaskan dari ketaatan kepada
setiap kehendak Allah di dalam kehidupan kini di dunia ini. Setiap orang yang percaya
kepada Yesus mempunyai tanggung jawabnya sendiri untuk mengungkapkan imannya di
dalam ketaatan yang ditandai oleh setiap perbuatan baik. Tanggung jawab ini tidak
pernah akan berakhir sebelum Hari Tuhan dinyatakan. Rupanya di atas pengertian seperti
inilah kita harus memahami pernyataan Paulus bahwa: “karena kita semua harus
menghadap tahta pengadilan Kristus sehingga setiap orang memperoleh apa yang patut
diterimanya sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan di dalam dunia ini, baik ataupun
jahat”. Pernyataan seperti ini dimaksudkan sebagai petunjuk etis yang memiliki orientasi
eskhatologis. Oleh sebab itu perbuatan setiap orang yang akan menentukan macam
ganjaran yang akan diterimanya harus dimengerti terutama sebagai tindakan ketaatan
yang bertanggung jawab berdasarkan iman.105 Ini mengisyaratkan bahwa iman masih
memerankan peran paling penting dan menentukan di dalam kehidupan orang-orang
percaya. Apakah setiap orang menjalani hidupnya dengan penuh ketaatan atau tidak akan
menjadi nyata di hadapan tahta pengadilan Kristus.

104
Ketaatan orang-orang percaya dinyatakan di dalam setiap perbuatan baik, sehingga dengan demikian
iman dan perbuatan baik terjalin secara erat. Dengan demikian ada persamaan antara sikap rasul
Paulus dan Yakobus dalam soal iman dan perbuatan baik. Bandingkan Jakobus 2:17.
h.121.
105
Bandingkan V. P. Furnish, Theology, h.121.

37

Anda mungkin juga menyukai