Anda di halaman 1dari 51

UNIVERSITAS INDONESIA

KALKULASI DOSIS DINDING PRIMER MATERIAL BETON DAN


TIMBAL PADA INSTALASI RADIOTERAPI PESAWAT LINAC 10
MV MENGGUNAKAN SIMULASI MONTE CARLO EGSNRC

SKRIPSI

FARHAN ALI
1606889616

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK
2021
UNIVERSITAS INDONESIA

KALKULASI DOSIS DINDING PRIMER MATERIAL BETON DAN


TIMBAL PADA INSTALASI RADIOTERAPI PESAWAT LINAC 10
MV MENGGUNAKAN SIMULASI MONTE CARLO EGSNRC

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains

FARHAN ALI
1606889616

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK
JANUARI 2021

ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Farhan Ali


NPM : 1606889616
Tanda Tangan :

Tanggal : 24 Januari 2021

iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh


Nama : Farhan Ali
NPM : 1606889616
Program Studi : S1 Fisika
Judul Skripsi : Kalkulasi Dosis Dinding Primer Material Beton dan
Timbal pada Instalasi Radioterapi Pesawat Linac 10 MV
Menggunakan Simulasi Monte Carlo EGSnrc

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada
Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Sc. Hum Dwi Seno K. Sihono, M.Si. ( )

Pembimbing II : Akbar Azzi, S.Si., M.Si. ( )

Penguji I : Supriyanto Ardjo Pawiro, M.Si., Ph.D. ( )

Penguji II : Prof. Dr. Djarwani S. Soejoko ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 14 Januari 2021

iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
segala berkat dan rahmat serta limpahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir ini dengan baik. Penulisan skripsi dengan judul “Kalkulasi Dosis Dinding Primer
Material Beton dan Timbal pada Instalasi Radioterapi Pesawat Linac 10 MV
menggunakan Simulasi Monte Carlo EGSnrc” ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sains Jurusan Fisika pada Fakultas
Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sejak masa
perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Umi, Abi, Adek, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan moral
materil serta doa yang tidak pernah terputus.
2. Dr. Sc. Hum. Dwi Seno Kuncoro Sihono, M.Si sebagai dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan, semangat, waktu, tenaga, serta pikiran untuk penulis
selama proses penelitian dan penyelesaian tugas akhir.
3. Akbar Azzi, S.Si., M.Si. yang telah memberikan ilmu, arahan, waktu dan tenaga
untuk penulis selama proses simulasi Monte Carlo hingga penyelesaian tugas akhir.
4. Seluruh dosen dan sivitas akademika Departemen Fisika Universitas Indonesia atas
segala ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan.

5. Fadhilah Salsabilah yang sudah banyak membantu penulis, menemani sejak awal
penulisan skripsi ini hingga akhirnya bisa lulus bersama dari kampus tercinta.
Terima kasih atas segala waktu, usaha, dan dukungan moral yang telah diberikan
kepada penulis selama satu tahun ini. Terima kasih.

6. Teman-teman bimbingan yang senantiasa membantu dalam pengerjaan tugas akhir.

7. Farid, Zhorif, Destri, Hanan, Ainun, Rofa, Raffi, Aris, Aisyah, Eric, dan Naz dalam
geng Cumilaude yang sudah penulis anggap sebagai keluarga selama di Fisika.
Terima kasih atas pelajaran, canda, tawa, dan berbagai kegiatan yang kita lakukan
bersama-sama. Terima kasih sudah menjadi teman baik penulis selama di Fisika

v
Universitas Indonesia
hingga akhirnya bisa lulus dari Fisika UI. Semangat menjalankan fase hidup
selanjutnya.

8. Keluarga Sosmas BEM UI 2019 (Faza, Aljira, Yuna, Kiky, Audi, Tisa, Gilang,
Hakim, Dian, Mira, Camar, Dian, Arief, Eric) yang telah mewarnai tingkat akhir
penulis dengan berbagai inspirasi dan pelajaran hidup yang berharga. Terima kasih
telah menutup kegiatan non-akademis penulis dengan sangat indah.

9. Teman-teman Spectrum, Fisika Medis UI, serta teman-teman yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu yang telah berperan dalam perkuliahan penulis dari
2016 hingga saat ini.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan tugas akhir ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu dalam bidang sains serta memberikan
pengetahuan baru untuk para pembaca skripsi ini. Penulis menyadari tugas akhir ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun
dari pembaca dibutuhkan penulis sebagai pembelajaran di masa depan.

Depok, Januari 2021

Penulis

vi
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH


Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Farhan Ali


NPM : 1606889616
Program Studi : S1 Fisika
Departemen : Fisika
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Kalkulasi Dosis Dinding Primer Material Beton dan Timbal pada


Instalasi Radioterapi Pesawat Linac 10 MV menggunakan Simulasi
Monte Carlo EGSnrc

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok

Pada Tanggal: 24 Januari 2021

Yang menyatakan

(Farhan Ali)

NPM. 1606889616

vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Farhan Ali


Program Studi : S1 Fisika
Judul : Kalkulasi Dosis Dinding Primer Material Beton dan Timbal pada
Instalasi Radioterapi Pesawat Linac 10 MV menggunakan
Simulasi Monte Carlo EGSnrc

Beton dan timbal merupakan material yang biasa digunakan sebagai dinding penahan
radiasi. Beton dan timbal memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Beton
memiliki harga yang relatif lebih murah namun memerlukan ruang yang besar sedangkan
timbal dengan nomor atom yang tinggi memiliki harga yang lebih mahal namun ukuran
ruangan dapat diminimalisir. Perhitungan ketebalan dinding penahan radiasi dapat
dilakukan dengan menggunakan persamaan Safety Report Series No. 47 dengan nilai
pembatas dosis sesuai dengan Perka Bapeten no 3 tahun 2013 lalu dilakukan pemodelan
menggunakan Monte Carlo EGSnrc untuk memastikan nilai dosis yang dihasilkan tidak
melebihi pembatas dosis yang ditetapkan Bapeten. Pemodelan dengan menggunakan
Monte Carlo umum digunakan ketika pengukuran secara langsung tidak memungkinkan.
Hasil simulasi Monte Carlo juga mampu merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya
dengan memasukan berbagai parameter seperti memodelkan linac, memodelkan material
yang digunakan, memodelkan dinding penahan radiasi, hingga melakukan kalibrasi linac
sehingga didapatkan nilai dosis yang dapat dibandingkan dengan nilai dosis referensi
yang digunakan. Pada penelitian dilakukan perhitungan dosis di luar dinding primer
dengan memodelkan dinding beton densitas 2,35 g/cm3 dengan ketebalan 1,45 meter dan
dinding timbal densitas 11,35 g/cm3 dengan ketebalan 21,73 cm lalu dibandingkan
dengan nilai dosis referensi yang ditetapkan oleh Bapeten. Hasilnya nilai dosis pada
simulasi Monte Carlo EGSnrc untuk material beton dan timbal lebih rendah dibandingkan
dengan nilai dosis referensi yang digunakan akibat perbedaan komposisi material
penyusun beton dan timbal yang digunakan dalam simulasi dengan referensi.
Kata kunci:
Beton, Timbal, Proteksi Radiasi, Monte Carlo

viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Farhan Ali


Study Program : Bachelor Degree of Physics
Title : Primary Wall Dose Calculation of Concrete and Lead in Linac
10 MV Radiotherapy Installation using Monte Carlo EGSnrc
Simulation

Concrete and lead are materials commonly used as primary radiation walls. Concrete
and lead have their respective advantages and disadvantages. Concrete has a relatively
cheaper price but requires a large space, while lead with a high atomic number has a
higher price, but the size of the room can be minimized. Calculation of the thickness of
the radiation retaining wall can be carried out using the Safety Report Series No. 47
equations with a dose limiting value in accordance with Perka Bapeten Number 3. Of
2013 and then modeling using the Monte Carlo EGSnrc to ensure the resulting dose value
does not exceed the limiting dose value by Bapeten. Monte Carlo modeling is commonly
used when direct measurements are not possible. The Monte Carlo simulation results are
also able to represent the real conditions by entering various parameters such as
modeling the linac, modeling the materials used, modeling the primary radiation walls,
and performing the linac calibration so that a dose value can be compared with reference
dose value used. In this study, the dose calculation outside the primary wall was carried
out by modeling a concrete wall with a density of 2,35 g/cm3 with a thickness of 1,45
meters and a lead wall with a density of 11,35 g/cm3 with a thickness of 21,73 cm and
then compared with the reference dose value set by Bapeten. The result is that the dose
value in the Monte Carlo EGSnrc simulation for concrete and lead materials is lower
than the reference dose value used due to differences in the composition of the concrete
and lead materials used in the simulation with reference.
Keyword:
Concrete, Lead, Radiation Protection, Monte Carlo

ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 3
1.4. Batasan Masalah ................................................................................................... 3
1.5. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5


2.1. Dosis Serap ........................................................................................................... 5
2.2. Sumber Radiasi ..................................................................................................... 7
2.3. Material Penahan Radiasi ..................................................................................... 9
2.4. Proteksi Radiasi .................................................................................................. 14
2.4. Monte Carlo ........................................................................................................ 18

BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................................... 22


3.1. Perhitungan Dosis Menggunakan SRS 47 .......................................................... 23
3.2. Pemodelan Linac Menggunakan BEAMnrc ....................................................... 23
3.3. Pemodelan Dinding Penahan Radiasi pada DOSXYZnrc .................................. 24
3.4. Kalibrasi Dosis.................................................................................................... 25
3.5. Membandingkan Hasil Dosis Referensi dengan DOSXYZnrc .......................... 25

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 26


4.1. Perhitungan Dosis Menggunakan SRS 47 .......................................................... 26
4.2. Pemodelan Linac Menggunakan BEAMnrc ....................................................... 27
4.3. Pemodelan Dinding Penahan Radiasi pada DOSXYZnrc .................................. 29
4.4. Kalibrasi Dosis.................................................................................................... 31
4.5. Membandingkan Hasil Dosis Referensi dengan DOSXYZnrc .......................... 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 37


5.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 37
5.1. Saran ................................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 38

x
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema waveguide (Mayles et al., 2007) .................................................... 8


Gambar 2.2. Linear accelerator (Radio Oncology System, 2017) ................................ 9
Gambar 2.3. Graphical user interface DOSXYZnrc ................................................... 19
Gambar 2.4. Jendela definisi voxel pada fantom.......................................................... 20
Gambar 3.1. Skema phase-space linac ......................................................................... 24
Gambar 4.1. Phase-space 1 linac 10 MV pada BEAMnrc ........................................... 27
Gambar 4.2. Flattening filter linac 10 MV pada BEAMnrc ........................................ 28
Gambar 4.3. Phase-space 2 linac 10 MV pada BEAMnrc ........................................... 29
Gambar 4.4. Dinding beton dan dinding timbal pada DOSXYZnrc ............................ 30
Gambar 4.5. Lapangan berkas pada dinding beton kedalaman 0 cm ........................... 31
Gambar 4.6. Fantom udara pada DOSXYZnrc ............................................................ 31
Gambar 4.7. Lapangan berkas pada fantom udara kedalaman 10 cm .......................... 32
Gambar 4.8. Kurva PDD dinding beton ....................................................................... 34
Gambar 4.9. Kurva PDD dinding timbal ...................................................................... 35

xi
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Faktor Bobot Radiasi ..................................................................................... 6


Tabel 2.2. Faktor bobot berbagai jaringan ...................................................................... 7
Tabel 2.3. TVL1 dan TVLe material beton (Rohrig, 2006) .......................................... 11
Tabel 2.4. Komposisi atom pada berbagai jenis beton (Sharifi, 2013) ........................ 12
Tabel 2.5. TVL1 dan TVLe material timbal (Rohrig, 2006) ......................................... 13
Tabel 3.1. Parameter radioterapi yang digunakan ........................................................ 22
Tabel 4.1. Hasil perhitungan ketebalan dinding penahan radiasi ................................. 27
Tabel 4.2. Perbandingan nilai dosis dan TVL .............................................................. 36

xii
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Radiasi memiliki efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik
merupakan efek kematian sel yang terjadi akibat adanya paparan radiasi baik lokal
maupun pada seluruh tubuh (Hall, 2006). Efek deterministik terjadi jika dosis radiasi yang
diterima oleh organ atau seluruh tubuh secara keseluruhan melebihi nilai ambang dosis
yang diperbolehkan. Tingkat kematian sel meningkat sebanding dengan besar dosis yang
diterima. Efek deterministik yang terjadi pada jaringan atau organ biasanya menunjukkan
perubahan fisik, seperti pada kulit yang terpapar radiasi 2-3 Gy setelah 6-24 jam akan
menunjukkan tanda kemerahan atau pada lensa mata akan mulai terjadi kekeruhan pada
mata (katarak) ketika secara kumulatif terpapar radiasi sebesar 0,5 Gy (Hall, 2006).
Berbeda dengan efek deterministik, pada efek stokastik tidak terdapat nilai
ambang dosis. Sekecil apapun radiasi yang diterima oleh jaringan akan selalu ada peluang
terjadinya perubahan baik pada tingkat sel maupun jaringan. Pada efek stokastik tidak
terjadi kematian sel, namun terjadi perubahan fungsi sel (Hall, 2006). Bila sel yang terjadi
perubahan merupakan sel somatik, maka dalam waktu yang lama dan dengan dipengaruhi
oleh bahan toksik lain, akan berkembang menjadi sel kanker. Sifat ini dapat diwariskan
ke keturunannya jika terjadi perubahan pada sel genetik. Secara umum semakin
meningkatnya dosis radiasi yang diterima akan meningkatkan peluang terjadinya efek
stokastik.
Pada pasien yang mengalami kanker, salah satu terapi yang banyak digunakan
merupakan terapi menggunakan radiasi (radioterapi). Pada prinsipnya, radioterapi
dilakukan dengan memberikan dosis radiasi tertentu pada organ atau jaringan yang
menjadi tempat tumbuh bagi sel kanker dengan tujuan untuk mematikan sel kanker
tersebut menggunakan pesawat radioterapi. Radiasi yang diberikan dari pesawat
radioterapi tidak hanya terpapar ke pasien, namun dengan hamburan, kebocoran, dan
lainnya radiasi tersebut mungkin saja mengenai pekerja yang berada di sekitar pesawat
radioterapi. Oleh karena itu, penahan radiasi diperlukan untuk mengurangi kemungkinan
paparan radiasi pada area tertentu yang diinginkan.

1
Universitas Indonesia
2

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dalam regulasinya memberikan nilai


batas dosis yang boleh diterima pekerja radiasi dalam satu tahun rata-rata yaitu sebesar
20 mSv untuk pekerja radiasi dan 1 mSv untuk masyarakat umum. Nilai batas dosis yang
ditentukan Bapeten menjadi acuan bagi instalasi radioterapi untuk mendesain penahan
radiasi yang mampu menjaga dosis pekerja radiasi atau dosis masyarakat umum dibawah
batas dosis yang ditetapkan. Tentunya dengan mempertimbangkan faktor lain seperti
dosis perpasien, jumlah pasien perhari, beban kerja pesawat, dan sebagainya untuk
menentukan material dan ketebalan penahan radiasi primer yang sesuai.
Umumnya instalasi radioterapi menggunakan beton sebagai dinding penahan
radiasi. Namun penggunaan beton sebagai material penahan radiasi memerlukan
ketebalan yang cukup besar sehingga mempengaruhi ukuran ruangan menjadi lebih besar.
Selain beton, biasanya digunakan material berupa timbal. Material timbal lebih baik
untuk menahan radiasi dibanding dengan beton karena densitas dan nomor atomnya yang
tinggi, sehingga untuk mengurangi tingkat dosis yang sama, timbal tidak membutuhkan
ketebalan sebesar beton sehingga ukuran ruangan dapat menjadi lebih kecil.
Untuk menentukan ketebalan dinding penahan radiasi, perlu dilakukan
perhitungan baik secara teoritis maupun disimulasikan menggunakan Monte Carlo.
Simulasi Monte Carlo dilakukan dengan berbagai pemodelan baik sumber radiasi, linac,
dan dinding penahan radiasi serta dengan berbagai parameter sehingga mampu
merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. Selain itu dengan simulasi Monte Carlo
dapat diperoleh profil dosis secara tiga dimensi, sehingga dosis dapat diketahui pada
setiap titik baik pada dinding maupun di belakang dinding penahan radiasi. Nilai dosis di
luar dinding penahan radiasi menggunakan simulasi Monte Carlo dapat digunakan
sebagai evaluasi terhadap perhitungan ketebalan yang sudah dilakukan secara teoritis
sehingga semakin memberikan keyakinan bahwa dosis di luar dinding penahan radiasi
tidak akan melebihi nilai batas dosis pekerja radiasi ataupun masyarakat umum yang
ditentukan oleh Bapeten.

Universitas Indonesia
3

Simulasi penahan radiasi primer dapat dilakukan dengan berbagai user code salah
satunya Electron Gamma Shower (EGS) yang dikembangkan oleh National Research
Council, Canada. EGSnrc sudah dilengkapi dengan graphical user interface (GUI)
sehingga bentuk geometri yang telah dimodelkan dapat dilihat sebelum menjalankan
simulasi. Selain itu terdapat beberapa program berbasis EGSnrc yang dapat digunakan
untuk memodelkan sumber radiasi (BEAMnrc), memodelkan fantom (DOSXYZnrc),
hingga menggunakan material dengan komposisi tertentu sesuai dengan kebutuhan
pengguna sehingga dapat merepresentasikan kondisi yang sebenarnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka dalam penelitian ini
permasalahan yang penulis angkat adalah:
1. Bagaimana perhitungan ketebalan dinding penahan radiasi primer?
2. Bagaimana kalkulasi dosis dinding primer material beton dan timbal
menggunakan simulasi Monte Carlo?
3. Bagaimana dosis yang didapatkan pada simulasi Monte Carlo dibandingkan
dengan dosis referensi yang digunakan?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menghitung ketebalan dinding penahan radiasi primer yang diperlukan sesuai
dengan batas dosis yang ditentukan dalam Perka Bapeten Nomor 3 tahun 2013.
2. Menghitung dosis di luar dinding penahan radiasi primer dengan material beton
dan timbal menggunakan simulasi Monte Carlo.
3. Membandingkan perhitungan dosis pada simulasi Monte Carlo dengan dosis
referensi yang digunakan.
1.4. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup penelitian yaitu:
1. Menghitung ketebalan dinding penahan radiasi primer menggunakan perhitungan
SRS 47 dan nilai batas dosis berdasarkan Perka Bapeten Nomor 3 tahun 2013.
2. Menghitung dosis di luar dinding penahan radiasi primer menggunakan simulasi
Monte Carlo EGSnrc.
3. Menggunakan desain dan parameter beban kerja dari instalasi radioterapi RSUD
Pasar Minggu.

Universitas Indonesia
4

1.5. Batasan Permasalahan


BAB 1 Pendahuluan
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini,
rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan permasalahan, serta sistematika penulisan.
BAB 2 Tinjauan Pustaka
Pada bab ini diuraikan mengenai dasar teori yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan, seperti dosis, sumber radiasi, material penahan radiasi, proteksi radiasi,
dan Monte Carlo.
BAB 3 Metodologi Penelitian
Pada bab ini diuraikan mengenai alat dan bahan yang digunakan serta metode
pengambilan data yang dilakukan.
BAB 4 Hasil dan Pembahasan Penelitian
Pada bab ini diuraikan mengenai data yang diperoleh dari hasil pengukuran dan
pembahasan mengenai hasil penelitian.
BAB 5 Penutup
Pada bab ini hasil penelitian disimpulkan serta pemberian saran-saran untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dosis Serap


Dosis merupakan ukuran energi radiasi yang didepositkan dalam suatu target.
Terdapat beberapa definisi dosis yang biasa digunakan baik dalam radiologi maupun
radioterapi, seperti Kerma, dosis serap, dosis ekivalen, dan dosis efektif.
Kinetic energy release per unit mass (Kerma) merupakan jumlah seluruh energi
kinetik awal yang ditransfer dari partikel tidak bermuatan atau foton (dɛtr) ke partikel
bermuatan dalam suatu material dengan massa (dm) tertentu (Cunningham, 2012).
Didefinisikan sebagai:
𝐝𝜺𝒕𝒓
𝑲= (2.1)
𝐝𝒎
dengan nilai ekspektasi energi yang ditransfer dari radiasi pengion tidak langsung ke
partkel bermuatan (dɛtr), volume (dV), dan massa (dm). Kerma memiliki satuan J.kg-1
atau gray (Gy) dengan 1 Gy = 1 J.kg-1.
Energi yang ditransfer dari radiasi pengion secara tidak langsung didapatkan
melalui dua cara, tumbukan yang menghasilkan ionisasi (collision Kerma) dan konversi
menjadi foton (the radiative Kerma). Collision Kerma terkait dengan bagian dari energi
kinetik dari partikel bermuatan sekunder yang digunakan dalam tumbukan, menghasilkan
ionisasi dan eksitasi atom dalam materi. Sedangkan the radiative Kerma terkait dengan
bagian dari energi kinetik dari partikel bermuatan sekunder yang diubah menjadi foton
(Cunningham, 2012).
𝑲 = 𝑲𝒄𝒐𝒍 + 𝑲𝒓𝒂𝒅 (2.2)
𝒅𝜺𝒏𝒆𝒕
𝒕𝒓
𝑲𝒄𝒐𝒍 = (2.3)
𝒅𝒎
Selain kerma terdapat dosis serap yang didefinisikan sebagai jumlah energi yang
diserap oleh suatu materi dengan massa tertentu. Dosis serap biasanya dapat dikonversi
atau didefinisikan menjadi dosis lain seperti dosis ekivalen dan dosis efektif. Dosis serap
didefinisikan sebagai:
𝒅𝜺
𝑫= (2.4)
𝒅𝒎

5
Universitas Indonesia
6

dengan nilai ekspektasi energi yang ditransfer dari radiasi pegion ke materi (dɛ) dan massa
(dm). Dosis serap memiliki satuan yang sama dengan Kerma, yaitu J.kg-1 atau Gy.
Kerma dan dosis serap merupakan kuantifikasi dari interaksi radiasi dengan
materi, namun terdapat beberapa perbedaan pada definisi kerma dengan dosis serap.
Secara umum kerma digunakan untuk mengkuantifikasi medan radiasi sedangkan dosis
serap digunakan untuk mengkuantifikasi efek radiasi pada materi. Selain itu terdapat
perbedaan definisi volume yang digunakan. Pada Kerma volume merupakan area dimana
energi ditransfer dari partikel tidak bermuatan ke partikel bermuatan, sedangkan pada
dosis serap volume merupakan area dimana energi kinetik dari partikel bermuatan
digunakan (Cunningham, 2012).
Perbedaan jenis radiasi pengion dapat menyebabkan efek stokastik dengan
kekuatan yang berbeda pada jaringan untuk nilai dosis serap yang sama. Untuk itu
digunakan dosis ekivalen (HT,R) jenis radiasi pengion terhadap jaringan hidup yang
didefinisikan sebagai:
𝑯𝑻 = 𝒘𝑹 𝑫𝑻,𝑹 (2.5)
dengan dosis serap yang diberikan oleh radiasi (DT,R), jenis radiasi (R), jaringan atau
organ (T) dan faktor bobot radiasi (wR). Dosis ekivalen memiliki satuan sievert (Sv) yang
setara dengan 1 J.kg-1 atau 1 Gy (Cunningham, 2012).
Untuk medan radiasi yang terdiri dari tipe radiasi berbeda dengan faktor bobot
yang berbeda, dosis ekivalen dapat ditentukan dengan:
𝑯𝑻 = ∑𝑻 𝒘𝑹 𝑫𝑻,𝑹 (2.6)
Tabel 2.1. Faktor Bobot Radiasi
Jenis radiasi Faktor bobot radiasi
Foton 1
Elektron, muon 1
Proton 2
Alfa, fragmen fisi, ion berat 20
Neutron Fungsi energi neutron

Universitas Indonesia
7

Tabel 2.2. Faktor bobot berbagai jaringan


Jaringan atau organ Faktor bobot jaringan
Gonad 0,08
Sumsum tulang, kolon, paru-paru, lambung 0,12
Payudara 0,12
Bladder, esofagus, hati, tiroid 0,04
Permukaan tulang, kulit 0,01
Otak, kelenjar ludah 0,01
Jaringan sisa 0,12

Radiasi yang mengenai organ tidak hanya melalui satu jaringan saja, namun
melalui beberapa jaringan yang ada diatasnya. Untuk kebutuhan keselamatan radiasi,
ICRP memperkenalkan dosis efektif (E), yaitu akumulasi dosis untuk semua organ dan
jaringan pada orang dewasa rata-rata (ICRP International Commission on Radiological
Protection, 2003). Didefinisikan sebagai:
𝑬 = ∑𝑻 𝒘 𝑻 𝑯 𝑻 (2.7)
dengan dosis ekivalen (HT), jaringan (T) dan faktor bobot jaringan (wT). Faktor bobot
jaringan merupakan kontribusi relatif dari efek stokastik yang muncul untuk radiasi
seragam pada tubuh. Jumlah seluruh organ dan jaringan tubuh pada faktor bobot jaringan
adalah satu kesatuan. Satuan SI untuk dosis efektif sama seperti dosis ekivalen yaitu
sievert (Sv) sehingga perlu diperhatikan besaran yang sedang digunakan. Faktor bobot
untuk berbagai jaringan ditunjukkan pada Tabel 2.2.
2.2. Sumber Radiasi
ICRP 107 mendefinisikan sumber sebagai entitas fisik atau prosedur yang
menghasilkan dosis radiasi yang berpotensi dapat dikuantifikasi untuk seseorang atau
sekelompok orang. Dapat berupa sumber fisik seperti bahan radioaktif atau pesawat sinar-
x, instalasi seperti rumah sakit atau pembangkit listrik tenaga nuklir, prosedur, atau
kelompok sumber fisik yang memiliki karakter serupa. Definisi sumber akan dikaitkan
dengan pemilihan prosedur proteksi radiasi yang digunakan.

Universitas Indonesia
8

Gambar 2.1. Skema waveguide (Mayles et al., 2007)


Untuk radioterapi eksternal, salah satu sumber yang umum digunakan adalah
pesawat linear accelerator (linac). Linac (Gambar 2.2) merupakan pesawat radioterapi
yang digunakan untuk treatment radiasi eksternal. Dalam linac yang dirancang untuk
radioterapi, elektron memperoleh energi dengan interaksi dengan medan elektromagnetik
frekuensi radio yang dikenal dengan istilah waveguide (Mayles et al., 2007). Waveguide
pada Gambar 2.1 terdiri dari tabung silinder panjang yang berisi serangkaian penyekat
melingkar. Waveguide dirancang sedemikian rupa sehingga kecepatan rambatan
gelombang mikro mendekati kecepatan cahaya. Sekumpulan elektron yang dihasilkan
dalam gun ditembakkan ke waveguide yang tersinkronisasi dengan gelombang mikro
untuk dipercepat.
Berkas elektron energi tinggi dapat langsung digunakan untuk terapi hingga
kedalam sekitar 70 mm. Untuk tumor dengan kedalaman lebih dari 70 mm efektivitas
yang lebih tinggi didapatkan dengan menggunakan berkas foton. Untuk menghasilkan
berkas foton, elektron difokuskan ke target tebal dengan nomor atom tinggi. Lalu elektron
kehilangan energinya diubah menjadi radiasi bremsstrahlung. Berkas inilah yang
kemudian dimanfaatkan untuk terapi yang umum digunakan saat ini.
Tantangan bagi desain linac adalah menghasilkan berkas elektron arus tinggi
monoenergetik yang stabil dan terkonsentrasi dalam titik fokus kecil sehingga berkas
sinar-x yang dihasilkan memiliki fokus yang tajam (Mayles et al., 2007). Untuk itu berkas
sinar-x perlu dimodifikasi untuk menghasilkan penyinaran yang seragam pada area yang
diinginkan dengan memberikan komponen tertentu pada bagian head linac seperti jaws,
multi-leaf collimator, flattening filter, dan sebagainya.

Universitas Indonesia
9

Gambar 2.2. Linear Accelerator (Radio Oncology System, 2017)


2.3. Material Penahan Radiasi
Penahan radiasi merupakan metode dasar untuk proteksi radiasi. Meskipun secara
teoritis tidak mungkin untuk melemahkan radiasi pengion secara keseluruhan, namun laju
dosis dapat dikurangi dengan menggunakan penahan radiasi dengan ketebalan tertentu
(Akkaş, 2016). Terdapat istilah Half Value Layer (HVL) dan Tenth Value Layer (TVL)
untuk menjelaskan sifat material penahan radiasi dalam mengurangi laju dosis tertentu
(Rohrig, 2006).
Nilai HVL menunjukkan besarnya ketebalan yang dibutuhkan untuk mengurangi
laju dosis menjadi setengah laju dosis sebelum diberikan material penahan radiasi,
sedangkan nilai TVL menunjukkan ketebalan yang dibutuhkan untuk mengurangi laju
dosis menjadi satu persepuluh dari laju dosis sebelum diberikan material penahan radiasi.
Nilai HVL dan TVL setiap material penahan radiasi berbeda-beda. Perbedaan ini
dipengaruhi oleh nilai koefisien atenuasi linear setiap material dimana nilai koefisien
atenuasi linear bergantung pada energi foton, jenis material, dan kerapatan material
(Akkaş, 2016). Secara matematis atenuasi foton dihitung menggunakan persamaan:
𝑰
= 𝒆−𝝁𝒙
𝑰𝟎 (2.8)
dengan I0 merupakan intensitas sinar gamma tanpa penahan radiasi, I merupakan
intensitas sinar gamma setelah melalui material penahan radiasi dengan ketebalan x dan
koefisien atenuasi linear μ.

Universitas Indonesia
10

Nilai HVL dan TVL menjadi:


𝐥𝐧 𝟐
𝑯𝑽𝑳 = 𝑿𝒉 =
𝝁 (2.9)
𝐥𝐧 𝟏𝟎
𝑻𝑽𝑳 = 𝑿𝒕 =
𝝁 (2.10)
Beton merupakan material komposit yang terdiri dari berbagai medium pengikat
seperti semen, air, agregat halus, dan agregat kasar (Bahar et al., 2004). Berdasarkan mutu
dan kegunaannya beton diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
1. K125 - K175 digunakan sebagai lantai kerja
2. K175 - K250 digunakan sebagai struktur beton tanpa tulang
3. K250 - K400 digununakan untuk beton bertulang
4. K400 - K800 digunakan untuk beton prategang seperti tiang pancang
Beton menjadi material penahan radiasi yang paling umum digunakan karena sifat
mekanisnya dan harganya yang terjangkau. Beton dapat diproduksi dengan beragam
komponen dan struktur molekul penyusunnya (Mahdi, 2017). Beton dapat
diklasifikasikan berdasarkan densitasnya, yaitu:
1. Beton ringan (lightweight concrete) dengan densitas 0,6 - 1,5 g/cm3
2. Beton semi ringan (semilightweight concrete) dengan densitas 1,4 - 2,0 g/cm3
3. Beton biasa (ordinary concrete) dengan densitas 2,0 - 2,5 g/cm3
4. Beton semi berat (semiheavyweight concrete) dengan densitas 2,5 - 3,0 g/cm3
5. Beton berat (heavyweight concrete) dengan densitas 3,0 - 4,0 g/cm3
Nilai HVL dan TVL dari setiap jenis beton bergantung pada sumber yang radiasi
digunakan. Tabel 2.3 menunjukkan nilai TVL material beton densitas 2,35 g/cm3 untuk
berbagai jenis sumbe radiasi yang umum digunakan. Secara umum semakin tinggi
densitas beton yang digunakan maka nilai HVL dan TVL semakin rendah yang berarti
semakin baik untuk digunakan sebagai material penahan radiasi (Akkaş, 2016).

Universitas Indonesia
11

Tabel 2.3. TVL1 dan TVLe material beton (Rohrig, 2006)


Material Sumber Energi TVL1 (cm) TVLe (cm)
Beton 4 MV 35 30
6 MV 37 33
10 MV 41 37
15 MV 44 41
18 MV 45 43
20 MV 46 44
25 MV 49 46
30 MV 51 49
Co-60 21 21
Selain densitasnya, nilai HVL dan TVL juga bergantung pada nomor atom dari
material penyusun beton tersebut (Sharifi et al., 2013). Sharifi melakukan penelitian
menggunakan beton biasa dengan densitas 2,3 g/cm3, beton barite dengan densitas 3,35
g/cm3, beton serpentine dengan densitas 2,6 g/cm3, dan beton steel-magnetite dengan
densitas 5,1 g/cm3 yang disimulasikan menggunakan Monte Carlo MCNP-4C dengan
mempertimbangkan komposisi atom pada masing-masing jenis beton sesuai pada Tabel
2.4:

Universitas Indonesia
12

Tabel 2.4. Komposisi atom pada beberapa jenis beton (Sharifi et al., 2013)
Elemen Nomor Jenis beton
Atom Biasa Barite Serpentine Steel-magnetite
Hidrogen 1 2,21 0,36 7,,20 0,51
Karbon 6 0,25 - 0,15 -
Oksigen 8 57,75 31,18 55,6 15,7
Natrium 11 1,52 - - -
Magnesium 12 0,13 0,11 10,20 0,58
Aluminium 13 2,10 0,42 2,50 0,66
Silikon 14 30,56 1,04 17,55 2,68
Fosfor 15 - - - 0,08
Sulfur 16 - 10,78 - 0,06
Kalium 19 1,08 - 0,08 -
Kalsium 20 4,39 5,02 5,64 3,95
Mangan 25 - - - 0,07
Besi 26 0,70 4,75 1,08 75,73
Barium 56 - 46,34 - -
Pada penelitian tersebut digunakan beton dengan geometri silinder dengan
diameter 100 cm dan ketebalan 10 cm. Beton tersebut diradiasi dengan sumber Cs-137,
Co-60, dan sinar gamma 511 keV. Hasilnya faktor transmisi paling rendah ditunjukkan
oleh beton steel-magnite, barite, serpentine, dan paling tinggi pada beton biasa untuk
ketiga sumber radiasi yang digunakan. Meskipun beton barite memiliki nomor atom yang
lebih tinggi, namun densitas beton steel-magnetite yang jauh lebih besar memiliki nilai
transmisi yang lebih rendah. Oleh karena itu disimpulkan bahwa densitas beton
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai transmisi material, yang secara langsung
berpengaruh terhadap nilai HVL dan TVL (Sharifi et al., 2013).
Material lain selain beton, yang umum digunakan sebagai penahan radiasi yaitu
timbal. Timbal memiliki densitas yang sangat tinggi, yaitu 11,35 g/cm3 dan sangat cocok
digunakan untuk material penahan radiasi sinar-x dan sinar gamma pada instalasi dengan
luas ruang yang terbatas (Rohrig, 2006). Tabel 2.5 menunjukkan nilai TVL material
timbal dengan densitas 11,35 g/cm3 untuk berbagai sumber radiasi yang digunakan.

Universitas Indonesia
13

Tabel 2.5. TVL1 dan TVLe material timbal (Rohrig, 2006)


Material Sumber Energi TVL1 (cm) TVLe (cm)
Timbal 4 MV 5,7 5,7
6 MV 5,7 5,7
10 MV 5,7 5,7
15 MV 5,7 5,7
18 MV 5,7 5,7
20 MV 5,7 5,7
25 MV 5,7 5,7
30 MV 5,7 5,7
Co-60 4,0 4,0
Untuk kebutuhan komersil, terdapat beberapa jenis timbal yang digunakan dalam
proteksi radiasi (Lead Industries Association, 1984) diantaranya:
1. Lembar timbal digunakan untuk instalasi penahan radiasi permanen
2. Timbal tembak digunakan pada lokasi ketika timbal padat tidak dapat digunakan
secara praktis
3. Timbal wol digunakan untuk mengisi retakan pada penahan radiasi
4. Timbal epoxy digunakan untuk menambal retakan pada permukaan
5. Timbal putty digunakan pada segel atau tambalan sementara yang tidak mengeras
6. Bata timbal digunakan untuk penahan radiasi yang dapat dipindahkan dan dapat
disusun ulang
7. Pipa timbal digunakan untuk penahan radiasi dari zat radioaktif cair
8. Pembalut timbal digunakan untuk membalut pipa untuk zat radioaktif cair
9. Pipa berlapis timbal digunakan penahan radiasi dari zat radioaktif cair
10. Lengan timbal digunakan untuk penahan radiasi pada saluran dan pipa yang
membawa bahan radioaktif
11. Bubuk timbal digunakan sebagai bahan campuran pada beton untuk penahan
radiasi
12. Kaca timbal digunakan untuk pelindung transparan
13. Timbal polietilen-boron digunakan untuk gabungan penahan radiasi gamma dan
neutron

Universitas Indonesia
14

Bentuk timbal yang bermacam-macam memudahkan proses pembangunan


penahan radiasi. Jenis serta teknis instalasi timbal dapat disesuaikan dengan kondisi
ruang. Densitas serta nomor atom timbal yang tinggi juga berpengaruh terhadap timbal
untuk mampu menahan radiasi dengan sangat baik dengan ketebalan yang minim.
Pada tahun 2019 Sriwunkum dan Nutaro melakukan penelitian penahan radiasi
menggunakan material campuran timbal pada sistem jendela kaca. Material yang
digunakan yaitu telurium oksida TeO2, dan campuran timbal oksida PbO dan telurium
oksida TeO2 dengan komposisi yang beragam mulai dari 10% timbal oksida hingga 30%
timbal timbal oksida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien atenuasi massa
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi timbal oksida karena meningkatnya fraksi
massa timbal yang memiliki nomor atom lebih tinggi dibandingkan dengan elemen
telurium oksida (Sriwunkum & Nutaro, 2019).
2.4. Proteksi Radiasi
Terdapat tiga prinsip utama yang direkomendasikan ICRP pada 1977 dan
dikembangkan dalam rekomendasi berikutnya pada 2007 yang menjadi dasar bagi
proteksi radiasi, yaitu justifikasi, optimasi, dan limitasi. Justifikasi dan optimasi
digunakan pada semua individu yang diradiasi. Sedangkan limitasi digunakan pada
pekerja dan masyarakat umum, namun tidak pada pasien.
Justifikasi yaitu keputusan apapun yang mengubah situasi paparan harus lebih
banyak manfaat dibanding kerugiannya (ICRP, 1997). Prinsip ini digunakan sebagai
pertimbangan apakah dengan menggunakan sumber radiasi lain, mengurangi paparan
yang digunakan, mengurangi resiko dari potensi paparan, seseorang mencapai lebih
banyak manfaat dibanding kerugiannya. Dalam menggunakan prinsip justifikasi pada
paparan medis, terdapat beberapa pertanyaan yang perlu digunakan untuk memastikan
penggunaan radiasi memberikan lebih banyak manfaat dibanding kerugian, dan
dipertimbangkan dalam tiga tingkat (ICRP International Commission on Radiological
Protection, 2003).
Pada tingkat umum yaitu apakah perlu untuk menggunakan radiasi pengion atau
bahan radioaktif, dan apakah dapat diterima bahwa penggunaan radiasi pengion dalam
pengobatan. Pada tingkat prosedur yaitu pesawat apakah yang diperlukan untuk prosedur
tersebut. Pada tingkat individu pasien dengan mempertimbangkan kondisi pasien seperti

Universitas Indonesia
15

usia atau kemungkinan pasien sedang hamil yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan.
Optimasi kemungkinan timbulnya paparan, jumlah orang yang terpapar, dan besar
dosis setiap individu harus dijaga serendah mungkin (ALARA - As low as reasonably
achievable) dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi (ICRP, 1997). Untuk
mencapai ALARA digunakan batas dosis, batas resiko, atau tingkat referensi. Setelah
justifikasi dilakukan, selanjutnya perlu dilakukan usaha untuk mengurangi resiko baik
pada individu maupun populasi masyarakat secara luas. Hal ini berarti dengan
mengurangi dosis dan meminimalisir kemungkinan kecelakaan di area yang mungkin
terpapar radiasi. Pengurangan dosis dilakukan hingga ke tingkat ALARA difokuskan
untuk mengurangi dosis pada pasien tanpa mengurangi kualitas citra untuk diagnostik,
dan untuk radioterapi dilakukan dengan mengurangi dosis pada jaringan sehat dan
memaksimalkan dosis radiasi pada tumor (ICRP International Commission on
Radiological Protection, 2003).
Limitasi yaitu total dosis untuk setiap individu yang dihasilkan dari sumber dalam
paparan yang direncanakan selain paparan medis tidak boleh melebihi batas yang
direkomendasikan (ICRP, 1997). Dosis pada pekerja radiasi dan masyarakat umum tidak
boleh melebih batas yang dikenal sebagai batas dosis. Di Indonesia nilai batas dosis
(NBD) diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nomor 3 tahun
2013 Tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Radioterapi dengan
mempertimbangkan rekomendasi dari komisi. Dalam Perka Bapeten NBD diatur untuk
pekerja radiasi dan anggota masyarakat.
Pekerja radiasi adalah setiap orang yang berada di instalasi radioterapi yang
diperkirakan dapat menerima dosis radiasi tahunan melebihi dosis untuk masyarakat
umum. Pekerja radiasi diberikan nilai batas dosis yaitu dosis efektif rata-rata sebesar 20
mSv per tahun dalam periode 5 tahun, sehingga dosis yang terakumulasi selama 5 tahun
tidak boleh melebihi 100 mSv. Dosis efektif sebesar 50 mSv dalam satu tahun tertentu.
Dosis ekivalen untuk lensa mata rata-rata sebesar 20 mSv per tahun dalam periode 5
tahun, sehingga dosis yang terakumulasi selama 5 tahun tidak boleh melebihi 100 mSv.
Dosis ekivalen untuk kulit sebesar 500 mSv per tahun. Dosis ekivalen untuk tangan atau
kaki sebesar 500 mSv per tahun.

Universitas Indonesia
16

Masyarakat umum diberikan nilai batas dosis yang lebih rendah dari pekerja
radiasi yaitu dosis efektif sebesar 1 mSv per tahun. Dosis ekivalen untuk lensa mata
sebesar 15 mSv pertahun. Dosis ekivalen kulit sebesar 50 mSv pertahun.
Dalam peraturannya Bapeten juga menerapkan optimasi dalam proteksi dan
keselamatan radiasi dengan memberikan pembatas dosis. Pembatas dosis yang ditetapkan
Bapeten yaitu sebesar setengah dari NBD yang ditetapkan, yaitu sebesar 10 mSv pertahun
atau 0,2 mSv perminggu untuk pekerja radiasi dan 0,5 mSv pertahun atau 0,01 mSv
perminggu untuk masyarakat.
Batas dosis yang ditetapkan Bapeten menjadi dasar dan referensi bagi setiap
instalasi yang memiliki sumber radiasi untuk mendesain penahan radiasi yang mampu
mengurangi dosis yang diterima baik oleh pekerja radiasi maupun masyarakat umum ke
tingkat yang telah ditetapkan.
Dalam menentukan perhitungan penahan radiasi penting untuk
mempertimbangkan Beban kerja secara klinis harus berdasarkan pada total dosis yang
diberikan pada periode tertentu seperti satu pekan atau satu tahun. Untuk fasilitas
radioterapi yang sudah mapan, beban kerja dapat menggunakan beban kerja maksimum.
Jika terdapat beberapa berkas energi sinar-x pada akselerator linear seperti 6 MV,
10 MV, dan 15 MV, maka perhitungan menggunakan energi sinar-x tertinggi. Selain itu,
dapat pula mempertimbangkan beban kerja untuk setiap energi secara terpisah. Hasil
dosis tahunan dari tiap komponen akan dijumlahkan pada akhir perhitungan untuk
menentukan dosis tahunan total.
Atenuasi penahan radiasi (B) yang diperlukan dapat ditentukan sesuai dengan
batas dosis yang diinginkan yang didapatkan dari batas dosis pekerja radiasi atau
masyarakat. Atenuasi yang dibutuhkan penahan radiasi ditentukan menggunakan
persamaan yang didefinisikan oleh IAEA dalam Safety Report Series No. 47 (SRS 47)
pada tahun 2006:
𝑷(𝒅 + 𝑺𝑨𝑫)𝟐
𝑩= (2.11)
𝑾𝑼𝑻
dengan P merupakan batas dosis pertahun di luar penahan radiasi, d merupakan jarak dari
isosenter ke dinding penahan radiasi dengan satuan meter, SAD merupakan jarak sumber
radiasi ke isosenter dalam satuan meter, W adalah beban kerja dalam Gy perminggu, U
adalah faktor penggunaan atau fraksi waktu yang kemungkinan besar berkas akan

Universitas Indonesia
17

mengenai penahan radiasi, dan T merupakan faktor okupansi atau fraksi waktu dimana
area di luar penahan radiasi kemungkinan besar akan ditempati.
Untuk menentukan ketebalan penahan radiasi primer yang diperlukan untuk
mengurangi paparan dosis pada area tertentu digunakan istilah tenth value layers (TVL).
Setiap material penahan radiasi memiliki nilai TVL yang berbeda berdasarkan. Ketebalan
penahan radiasi menggunakan istilah number TVLs (NTVL) yang ditentukan berdasarkan
atenuasi (B) menggunakan persamaan 2.12:
𝟏
𝑵𝑻𝑽𝑳 = 𝐥𝐨𝐠 (2.12)
𝑩
Lalu ketebalan penahan radiasi primer (tp) dihitung menggunakan persamaan 2.13:
𝒕𝑷 = 𝑻𝑽𝑳𝟏 + (𝑵𝑻𝑽𝑳 − 𝟏) × 𝑻𝑽𝑳𝒆 (2.13)
dengan TVL1 dan TVLe yang berbeda bergantung pada material yang digunakan.
Selain penahan radiasi primer, diperlukan penahan radiasi sekunder untuk dengan
mempertimbangkan radiasi bocor dan radiasi hambur dari penahan radiasi primer. Untuk
linac, protokol nasional dan internasional menetapkan bahwa kebocoran dari treatment
head tidak boleh melebihi 0,5% dari berkas primer dan pada bidang pasien tidak boleh
melebihi rata-rata 0,1% (IAEA, 2006). Atenuasi yang dibutuhkan untuk menahan radiasi
bocor dihitung dengan persamaan 2.14:
𝟏𝟎𝟎𝟎𝑷𝒅𝟐𝒔
𝑩𝑳 = (2.14)
𝑾𝑻
dengan P adalah batas dosis, ds adalah jarak dari isosenter ke titik yang diinginkan, W
adalah beban kerja, dan T adalah faktor okupansi.
Atenuasi yang dibutuhkan untuk menahan radiasi hambur dihitung dengan
persamaan 2.15:
𝑷𝒅𝟐𝒔𝒄𝒂 𝒅𝟐𝒔𝒆𝒄
𝑩𝒑 =
𝒂𝑾𝑻(𝑭/𝟒𝟎𝟎) (2.15)
dengan P adalah batas dosis, dsca adalah jarak dari sumber radiasi ke pasien, dsec adalah
jarak dari pasien ke titik yang diinginkan, a adalah fraksi hambur pada dsca yang
bergantung pada energi berkas sinar-x dan sudut hamburan, W adalah beban kerja, T
adalah faktor okupansi, dan F adalah luas lapangan pada pasien. Radiasi hambur oleh
pasien atau fantom biasanya lebih rendah dari 0,1% dari radiasi insiden untuk setiap luas
area 0,1 m2 yang diradiasi.

Universitas Indonesia
18

Faktor transimisi dinding (Bw) diperlukan untuk menahan radiasi yang dihasilkan
dari hamburan ketika berkas primer menabrak dinding. Dihitung dengan persamaan 2.16:
𝑷𝒅𝟐𝒘 𝒅𝟐𝒓
𝑩𝒘 = (2.16)
𝜶𝑨𝑾𝑼𝑻
dengan P adalah batas dosis, dw adalah jarak dari sumber radiasi ke permukaan hambur
(dinding), dr adalah jarak dari permukaan hambur ke titik yang diinginkan, α adalah
koefisien pantulan yang bergantung pada material dinding sudut hambur dan energi
berkas, A adalah luas lapangan proyeksi pada permukaan hambur, W adalah beban kerja,
dan T adalah faktor okupansi.
2.5. Monte Carlo
Monte Carlo adalah metode numerik untuk menyelesaikan persamaan atau menghitung
integral berdasarkan sampling bilangan acak. Algoritma Monte Carlo menggunakan
program komputer yang disebut Random Number Generator (RNG). Meskipun tidak
benar-benar secara acak, namun program komputer memilih sampel berdasarkan
pseudorandom number. Angka-angka acak tersebut tidak boleh saling bergantung dan
saling berhubungan. Untuk menyelesaikan masalah yang kompleks diperlukan urutan
bilangan pseudorandom yang besar (Nahum, 2015).
Pseudo-RNG perlu diperiksa dengan cermat sebelum digunakan. RNG yang digunakan
dalam simulasi radioterapi harus memilik dua fitur, yaitu:
1. Urutan bilangan harus cukup besar dan jika urutan bilangan digunakan kembali
beberapa kali, hasil simulasi Monte Carlo akan berkorelasi
2. Harus didistribusikan secara seragam dalam berbagai dimensi.
Simulasi Monte Carlo dapat digunakan dalam berbagai bidang secara luas, salah
satunya dalam bidang radiasi. Dalam ruang lingkup radiasi terdapat beberapa sistem atau
user code yang biasa digunakan, seperti Electron Gamma Shower (EGS), PRIMO, dan
Monte Carlo N-Particle (MCNP).
EGSnrc (Electron Gamma Shower) merupakan sistem komputer untuk simulasi
Monte Carlo dari transportasi gabungan elektron dan foton dalam medium tertentu
dengan geometri acak untuk partikel dengan energi 1 keV hingga 10 GeV. EGSnrc
merupakan pengembangan dari sistem EGS sebelumnya yang pertama kali
dikembangkan di Stanford Linear Accelerator (SLAC) pada 1970 (Kawrakow et al.,

Universitas Indonesia
19

2013). Selanjutnya dikembangkan beberapa aplikasi berbasis EGSnrc yang sebelumnya


merupakan user codes. Diantaranya BEAMnrc dan DOSXYZnrc.
BEAMnrc merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk memodelkan
sumber radioterapi dengan basis radiation transport EGSnrc (Rogers et al., 2005).
BEAMnrc telah dilengkapi oleh graphical user interface (GUI) untuk memudahkan
proses pemodelan sumber radioterapi. Sumber radioterapi yang telah dibuat dalam
BEAMnrc dapat dicompile dan digunakan pada aplikasi berbasis EGSnrc lain, seperti
DOSXYZnrc.
BEAMnrc dilengkapi berbagai component module (CM) yang dapat digunakan
untuk memodelkan sumber radioterapi berdasarkan parameter-parameter yang diinginkan
oleh pengguna (Rogers et al., 2005). Setiap CM dapat disesuaikan berdasarkan input
parameter yang diinginkan oleh pengguna seperti material yang digunakan, ukuran CM,
ketebalan, jumlah lapisan, dan sebagainya sehingga dapat memodelkan linac yang identik
dengan pesawat linac dalam radioterapi.

Gambar 2.3. Graphical user interface DOSXYZnrc

Universitas Indonesia
20

Gambar 2.4. Jendela definisi voxel dalam fantom


Kegunaan BEAMnrc terbatas pada pemodelan linac berbasis EGSnrc. Untuk
mensimulasikan transport radiasi ke dalam material seperti fantom digunakan
DOSXYZnrc. DOSXYZnrc merupakan simulasi Monte Carlo berbasis EGSnrc yang
digunakan untuk menghitung dosis dalam bentuk 3 dimensi dalam koordinat kartesian.
DOSXYZnrc mensimulasikan tranport foton dan elektron dalam koordinat kartesian dan
melakukan perhitungan terhadap energi deposisi pada tiap volume elemen (voxel)
(Walters et al., 2005). Sama seperti BEAMnrc, DOSXYZnrc juga telah dilengkapi
dengan graphical user interface (GUI) untuk memudahkan proses input parameter dalam
simulasi DOSXYZnrc (Gambar 2.3). DOSXYZnrc memiliki beberapa fitur penting
seperti komponen perhitungan dosis, konfigurasi sumber radiasi yang beragam dan teknik
rekonstruksi berkas, konversi CT ke fantom, kemampuan restart, dan distribusi phase-
space (Walters et al., 2005).
Tujuan utama dari DOSXYZnrc yaitu melakukan perhitungan dosis pada fantom
dalam koordinat kartesian dengan memasukan parameter yang berbeda pada setiap
(voxel) baik materialnya maupun densitasnya seperti pada Gambar 2.4. DOSXYZ
dilengkapi dengan 12 jenis sumber radiasi yang telah dikembangkan secara default dalam
DOSXYZnrc yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan pengguna (Walters et al.,
2005).
Beberapa penelitian mengenai material penahan radiasi telah dilakukan
menggunakan kode Monte Carlo. Ródenas et al. pada tahun 2000 melakukan penelitian

Universitas Indonesia
21

menggunakan kode Monte Carlo N-Particle untuk melakukan perhitungan penahan


radiasi untuk material beton, aluminium, besi, tembaga, beton barite, dan timbal.
Penelitian dilakukan menggunakan kode MCNP 3.2, MCN 4A, MCNP 4B untuk
menentukan nilai TVL dari setiap material yang digunakan. Hasilnya nilai TVL yang
didapatkan menggunakan kode MCNP tidak mengalami perbedaan yang signifikan
dengan standar rekomendasi yang ditetapkan untuk energi di bawah 20 MV (Ródenas et
al., 2000).
Mohd Zin et al. pada tahun 2019 melakukan penelitian penahan radiasi pada
bunker linac menggunakan Monte Carlo Particle and Heavy Ion Transport Code System
(PHITS). Penelitian dilakukan dengan mendesain bentuk bunker linac secara
keseluruhan lalu disimulasikan sehingga menghasilkan nilai distribusi dosis secara
keseluruhan di sekitar bunker. Kemudian dibandingkan dengan pengukuran dosis secara
langsung. Hasilnya nilai laju dosis pada simulasi PHITS dan pengukuran secara langsung
masih terdapat perbedaan sekitar 1 - 2 μSv/jam akibat terdapat beberapa material yang
belum dimodelkan dengan baik (Mohd Zin et al., 2019).

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan parameter radioterapi dan ukuran lebar


dinding RSUD Pasar Minggu dengan melakukan penyesuaian ketebalan dinding sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh Bapeten. Secara umum penelitian dilakukan dengan
membandingkan nilai dosis yang dihasilkan dari simulasi Monte Carlo EGSnrc dengan
dosis referensi (nilai pembatas dosis Bapeten). Material penahan radiasi primer yang
digunakan pada penelitian ini yaitu beton dengan tebal 145 cm dan timbal dengan
ketebalan ekivalen terhadap beton 145 cm.
Sumber radiasi menggunakan sumber pesawat linac jenis Varian Trilogy dengan
energi foton maksimum sebesar 10 MV dengan asumsi parameter berdasarkan Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Parameter radioterapi yang digunakan
Variabel Parameter
Energi Sinar-x 6 MV dan 10 MV
Jenis penyinaran 3DCRT (60%) dan IMRT (40%)
Faktor IMRT 4 (sesuai SRS 47)
Beban kerja primer 1300 Gy/minggu
Beban kerja radiasi bocor 2860 Gy/minggu
Jarak isosenter 100 cm
Luas lapangan maksimum 40 cm × 40 cm pada isosenter
Dosis yang diperbolehkan 0,2 mSv/minggu
Faktor U 0,25
Faktor T 1
Densitas beton 2,35 g/cm3

22
Universitas Indonesia
23

3.1. Perhitungan ketebalan dinding menggunakan SRS 47


Perhitungan ketebalan dinding yang diperlukan dilakukan dengan menggunakan
Safety Report Series (SRS) No. 47 dan parameter berdasarkan Tabel 3.1. Perhitungan
ketebalan dilakukan dengan menentukan nilai atenuasi radiasi (B) yang diperlukan
menggunakan persamaan 2.11. dengan menggunakan parameter jarak sumber ke
isosenter, jarak isosenter ke dinding primer, beban kerja, use factor (U), dan faktor
okupansi (T) sesuai dengan parameter pada RSUD Pasar Minggu. Selanjutnya ditentukan
Number TVLs (NTVL) berdasarkan nilai atenuasi radiasi yang digunakan menggunakan
persamaan 2.12. Selanjutnya nilai NTVL digunakan untuk menentukan ketebalan dinding
yang diperlukan dengan memasukan parameter TVL material yang digunakan dengan
menggunakan persamaan 2.13. Perhitungan ketebalan dinding dilakukan untuk dinding
dengan material beton densitas 2,35 g/cm3 dan timbal densitas 11,35 g/cm3.
3.2. Pemodelan Linac pada BEAMnrc
Pemodelan linac dilakukan menggunakan BEAMnrc dengan menggunakan
parameter yang telah ditentukan oleh varian medical system. Pemodelan linac dilakukan
dalam dua phase-space seperti pada Gambar 3.1. Phase-space pertama merupakan bagian
linac yang terdiri dari sumber elektron, SLABS sebagai target dengan material tembaga
dengan ketebalan 0.508 cm, CONS3R sebagai primary collimator, SLABS, FLATFILT
sebagai flattening filter dengan modifikasi geometri sesuai dengan flattening filter yang
digunakan pada linac energi 10 MV, CHAMBER sebagai monitoring chamber, MIRROR
sebagai cermin. Sedangkan phase-space kedua merupakan bagian linac yang terdiri dari
CHAMBER dan MIRROR seperti pada phase-space pertama, JAWS sebagai bukaan,
DYNVMLC sebagai pemodelan MLC, dan SLABS udara untuk memodelkan jarak antara
head-linac dengan titik isosenter.

Universitas Indonesia
24

e- Mon. Cham
Target
Mirror
Prim. Col Phase space A
Flattening Filter Jaws

Mon. Cham MLC

Mirror Mirror
Phase space A Phase space B

Gambar 3.2. Skema phase-space linac


Hasil simulasi pada phase-space pertama dihitung pada CM MIRROR lalu
digunakan kembali sebagai sumber pada phase-space kedua. Penggunaan dua phase-
space dilakukan agar mampu mempertimbangkan radiasi backscatter yang mungkin
diterima oleh CM CHAMBER (Popescu et al., 2005).
3.3. Pemodelan Dinding Penahan Radiasi pada DOSXYZnrc
Pemodelan dinding penahan radiasi dilakukan dengan menggunakan DOSXYZnrc
dengan menganggap dinding primer sebagai sebuah fantom dengan material seragam
beton dan timbal. Sebelum dilakukan pemodelan perlu dipastikan bahwa material yang
akan digunakan sudah terdefinisi pada DOSXYZnrc. Jika belum maka perlu dilakukan
input material baru menggunakan EGS_gui. Proses input material dilakukan dengan
memasukan komposisi susunan kimia material tersebut. Untuk beton dengan densitas
2.35 g/cm3 berdasarkan laporan R. L Walker pada tahun 1961 memiliki unsur kimia yang
menyusunnya sebagai berikut:
1. Hidrogen 0,013 g/cm3
2. Oksigen pada air 0,103 g/cm3
3. Oksigen pada campuran 0,980 g/cm3
4. Natrium 0,040 g/cm3
5. Magnesium 0,006 g/cm3
6. Aluminium 0,107 g/cm3
7. Silikon 0,737 g/cm3
8. Belerang 0,003 g/cm3
9. Kalium 0,045 g/cm3
10. Kalsium 0,194 g/cm3

Universitas Indonesia
25

11. Nikel 0,029 g/cm3


selanjutnya data material tersebut dimasukan ke dalam PEGS data file yang akan
digunakan pada DOSXYZnrc.
Sebelum melakukan pemodelan dinding primer, perlu dipastikan bahwa
DOSXYZnrc menggunakan PEGS data file yang telah ditambahkan material yang akan
digunakan. Lalu dilakukan pendefinisian dimensi voxel. Dinding dengan ukuran 535 cm
× 500 cm × 145 cm dibagi berdasarkan voxel. Voxel-voxel tersebut mewakili sebuah titik
pada fantom (dinding primer). Panjang dinding primer direpresentasikan dengan voxel X,
lebar dinding primer direpresentasikan dengan voxel Y, dan ketebalan dinding primer
direpresentasikan dengan voxel Z. Pada sumbu X digunakan 107 voxel dengan panjang
voxel 5 cm, pada sumbu Y digunakan 100 voxel dengan panjang voxel 5 cm, sedangkan
pada sumbu Z digunakan 121 voxel dengan panjang voxel 1,45 cm.
Lalu didefinisikan material yang mengisi setiap voxel tersebut sesuai dengan
ukuran dinding yang digunakan. Material beton mengisi voxel sumbu X dari 1-107, voxel
sumbu Y dari 1-107, dan voxel sumbu Z dari 1-100. Lalu material udara mengisi voxel
sumbu X dan Y sama dengan material beton, namun sumbu Z pada voxel 101-121 untuk
merepresentasikan posisi udara di belakang material beton.
3.4. Kalibrasi Dosis
Nilai dosis pada simulasi Monte Carlo berupa nilai persentase kedalaman dosis
(PDD) dengan satuan Gy/particle incident. Untuk menentukan nilai dosis pada dinding
primer dilakukan dengan membandingkan nilai dosis yang dihasilkan pada dinding
primer dengan nilai dosis yang dihasilkan pada fantom udara sebagai asumsi workload.
Sehingga perlu dilakukan simulasi Monte Carlo untuk material udara. Simulasi dilakukan
dengan menggunakan teknik SSD 90 cm untuk fantom dengan material udara dengan
ukuran 30 cm × 30 cm × 30 cm dan lapangan penyinaran 10 cm × 10 cm.
3.5. Membandingkan Nilai Dosis Referensi dengan DOSXYZnrc
Nilai dosis referensi yang digunakan selanjutnya dibandingkan dengan nilai dosis
yang didapatkan pada DOSXYZnrc untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang
signifikan antara dosis referensi dengan dosis pada simulasi Monte Carlo yang
merepresentasikan kondisi yang sebenarnya.

Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perhitungan ketebalan dinding menggunakan SRS 47


Perhitungan ketebalan dinding dilakukan dengan menggunakan persamaan yang
ditentukan oleh Safety Report Series no. 47 (SRS 47) dengan menggunakan parameter
berdasarkan kondisi instalasi radioterapi RSUD Pasar Minggu. Perhitungan dosis
menggunakan parameter beban kerja (W) sebesar 1300 Gy/minggu, Use Factor (U)
sebesar 0,25, Faktor T sebesar 1, dan jarak titik isosenter ke dinding primer sejauh 4
meter.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan material penahan radiasi primer
berupa beton densitas 2,35 g/cm3 dengan nilai TVL0 dan TVLe referensi untuk sumber
linac 10 MV masing-masing sebesar 410 mm dan 370 mm. Perhitungan ketebalan dinding
beton dilakukan dengan menentukan nilai atenuasi radiasi (B) yang digunakan untuk
parameter yang digunakan pada RSUD Pasar Minggu menggunakan persamaan 2.11.
Hasilnya nilai atenuasi yang diperlukan untuk mengurangi beban kerja 1300 Gy/minggu
menjadi 0,2 mGy/minggu sesuai dengan ketentuan Bapeten yaitu sebesar 1,53 × 10-2.
Nilai atenuasi radiasi kemudian digunakan untuk menghitung Number TVLs
(NTVL) dengan menggunakan persamaan 2.12. Hasilnya nilai NTVL sebesar 1,813 yang
akan digunakan untuk menentukan ketebalan material penahan radiasi yang diperlukan.
Pada penelitian ini dilakukan perhitungan ketebalan penahan radiasi untuk densitas
material beton 2,35 g/cm3 dan densitas timbal 11,35 g/cm3 dengan TVL sesuai dengan
referensi yaitu 41 cm untuk beton dan 5,7 cm untuk timbal.
Ketebalan penahan radiasi primer dihitung dengan menggunakan persamaan 2.13
dengan menggunakan TVL referensi sesuai dengan material yang digunakan. Pada
material beton membutuhkan ketebalan sebesar 145 cm sedangkan untuk material timbal
membutuhkan ketebalan sebesar 21,7 cm yang ditunjukkan pada Tabel 4.1.

26
Universitas Indonesia
27

Tabel 4.1. Hasil perhitungan ketebalan dinding penahan radiasi


Hasil
Parameter
Dinding Beton Dinding Timbal

Bprim 1,53 × 10-2 1,53 × 10-2

NTVL 1,813 1,813

Ketebalan dinding 145 cm 21,7 cm

Dosis di luar dinding 2 × 10-4 Gy/minggu 2 × 10-4 Gy/minggu

4.2. Pemodelan Linac pada BEAMnrc


Pemodelan Linac pada BEAMnrc dilakukan dalam dua phase-space. Phase-space
pertama pada Gambar 4.1 menggunakan sumber berkas elektron gausian pada sumbu X
dan Y dengan jumlah history 1 × 109 agar dihasilkan nilai statistik yang baik. Pada phase-
space pertama terdapat CM SLABS sebagai target dengan material tembaga setebal 0,51
cm. Selanjutnya terdapat CM CONS3R sebagai primary collimator dengan ketebalan
sebesar 8,31 cm. Selanjutnya terdapat SLABS sebagai vacuum window. Di belakang
vacuum window berkas foton kemudian diberikan flattening filter untuk meratakan berkas
foton yang digunakan. Flattening filter pada Gambar 4.2 menggunakan bentuk dan
dimensi yang sesuai dengan spesifikasi yang digunakan pada linac 10 MV.

Gambar 4.1. Phase-space 1 linac 10 MV pada BEAMnrc

Universitas Indonesia
28

Gambar 4.2. Flattening filter linac 10 MV pada BEAMnrc


Selanjutnya berkas yang telah diratakan pada flattening filter melalui CM
CHAMBER sebagai monitoring chamber. Pada CM ini dilakukan scoring dosis untuk
menentukan dosis yang diterima oleh CHAMBER dalam simulasi yang berguna pada saat
akan dilakukan kalibrasi dosis. Selanjutnya berkas melewati CM MIRROR dengan
menggunakan material mylar. Berkas yang telah melewati CM MIRROR kemudian
dijadikan sebagai sumber yang akan digunakan pada phase-space kedua.
Phase-space kedua pada Gambar 4.3 menggunakan berkas yang dihasilkan oleh
phase-space pertama. Pada phase-space kedua digunakan history sejumlah 2,5 × 108
sesuai dengan rekomendasi pada penelitian Popescu pada tahun 2005. Pada phase-space
kedua dilakukan pemodelan CM CHAMBER dan MIRROR yang digunakan untuk
menghitung radiasi backscatter yang mungkin terjadi akibat CM pada phase-space
kedua. Berkas foton kemudian melalui CM JAWS untuk dibentuk sesuai dengan ukuran
lapangan yang diinginkan. Pada perhitungan dosis untuk proteksi radiasi menggunakan
berkas lebar dengan ukuran 40 cm × 40 cm pada isosenter. Berkas yang telah dibentuk
sesuai dengan ukuran lapangan yang diinginkan kemudian melalui CM DYNMLC. Untuk
simulasi proteksi radiasi MLC tidak digunakan, sehingga pada BEAMnrc dilakukan
pengaturan untuk dibuka secara maksimum. Kemudian terakhir diberikan CM SLABS
untuk memodelkan jarak antara linac dengan dinding penahan radiasi yaitu 4 meter dari
isosenter.

Universitas Indonesia
29

Gambar 4.3. Phase-space 2 linac 10 MV pada BEAMnrc


4.3. Pemodelan Dinding Primer pada DOSXYZnrc
Pemodelan dinding penahan radiasi primer dilakukan pada DOSXYZnrc dengan
mendefinisikan fantom sesuai dengan ukuran dinding yang digunakan. Pada simulasi
pertama menggunakan dinding beton dengan densitas 2,35 g/cm3 dengan ukuran 535 cm
× 500 cm × 145 cm dan dinding timbal dengan densitas 11,35 g/cm3 dengan ukuran 535
cm × 500 cm × 21,7 cm. Di belakang setiap dinding diberikan material udara dengan
densitas 0,00125 gr/cm3 sehingga dapat diketahui dosis yang diterima di belakang dinding
penahan radiasi.
Selanjutnya untuk dinding beton didefinisikan grup voxel pada arah sumbu X, Y,
dan Z. Untuk arah sumbu X digunakan 107 voxel dengan ukuran voxel 5 cm, pada arah
sumbu Y digunakan 100 voxel dengan ukuran voxel 5 cm, dan pada sumbu Z digunakan
121 voxel dengan ukuran voxel 1,45 cm. Definisi voxel pada arah sumbu X, Y, dan Z
sesuai dengan ukuran dinding penahan radiasi primer dengan material beton dan udara di

Universitas Indonesia
30

belakangnya. Selanjutnya didefinisikan material yang mengisi setiap voxel tersebut.


Material beton mengisi voxel X ke 1 hingga 107, voxel Y ke 1 hingga 100, dan voxel Z
ke 1 hingga 100 sesuai dengan ukuran beton yang digunakan 535 cm × 500 cm × 145 cm.
Material udara mengisi voxel X ke 1 hingga 107, voxel Y ke 1 hingga 100, dan voxel Z
ke 101 hingga 121 sesuai dengan ukuran udara yang disimulasikan 535 cm × 500 cm ×
30 cm di belakang material beton seperti pada Gambar 4.4.
Pada dinding timbal didefinisikan grup voxel pada arah sumbu X, Y, dan Z. Untuk
arah sumbu X digunakan 107 voxel dengan ukuran voxel 5 cm, pada arah sumbu Y
digunakan 100 voxel dengan ukuran voxel 5 cm, dan pada sumbu Z digunakan 119 voxel
dengan ukuran voxel 0,4346 cm. Selanjutnya didefinisikan material yang mengisi setiap
voxel tersebut. Material timbal mengisi voxel X ke 1 hingga 107, voxel Y ke 1 hingga
100, dan voxel Z ke 1 hingga 50 sesuai dengan ukuran tembok timbal yang digunakan
535 cm × 500 cm × 21,73 cm. Material udara mengisi voxel X ke 1 hingga 107, voxel Y
ke 1 hingga 100, dan voxel Z ke 51 hingga 119 sesuai dengan ukuran udara yang
disimulasikan 535 cm × 500 cm × 30 cm di belakang material timbal.

Gambar 4.4. Dinding beton dan dinding timbal pada DOSXYZnrc

Universitas Indonesia
31

Gambar 4.5. Lapangan berkas pada dinding beton kedalaman 0 cm


Simulasi dinding beton dan dinding timbal dilakukan dengan menggunakan 1 ×
109 history dan sumber dari phase-space kedua dengan ukuran lapangan 40 cm × 40 cm
pada isosenter. Lalu dilakukan penyesuaian sudut berkas datang dengan sudut kolimator
45o untuk penyinaran dinding penahan radiasi seperti pada Gambar 4.5.
4.4. Kalibrasi Dosis
Nilai dosis yang dihasilkan dalam simulasi DOSXYZnrc merupakan nilai 3ddose
dengan satuan Gy/incident particle. Untuk menentukan nilai dosis pada dinding primer
dilakukan dengan perbandingan dosis pada dinding dengan dosis di udara sebagai
referensi beban kerja. Sehingga dilakukan pemodelan fantom udara dengan ukuran 30 cm
× 30 cm × 30 cm dan lapangan penyinaran 10 cm × 10 cm pada jarak SSD 90 cm seperti
pada Gambar 4.7.

Gambar 4.6. Fantom udara pada DOSXYZnrc

Universitas Indonesia
32

Gambar 4.7. Lapangan berkas pada fantom udara kedalaman 10 cm


Untuk melakukan simulasi fantom udara sebagai dosis referensi perlu dilakukan
sedikit penyesuaian pada linac yang digunakan. Secara umum komponen linac yang
digunakan sama seperti pada saat simulasi dosis pada dinding primer, namun ketebalan
CM SLABS diatur sehingga sesuai dengan teknik SSD 90 cm. Simulasi dilakukan dengan
menggunakan berkas phase-space pertama dengan menggunakan 2,5 × 108 history. Hasil
phase-space kalibrasi kemudian dijadikan sebagai sumber berkas pada simulasi fantom
udara pada DOSXYZnrc.
Pada DOSXYZnrc fantom udara didefinisikan dengan ukuran 120 voxel × 120
voxel × 120 voxel dengan ukuran 0,25 cm untuk setiap voxel pada arah sumbu X, Y, dan
Z seperti pada Gambar 4.6. Setiap voxel diisi dengan material udara yang sudah tersedia
pada PEGSdata secara default. Simulasi dilakukan dengan 1 × 109 history. Hasilnya
didapatkan bahwa nilai 1300 Gy/minggu setara dengan 2,87 × 10-17 Gy/incident partikel
pada fantom udara dengan kedalaman 10 cm. Selanjutnya hasil kalibrasi dosis digunakan
dalam menentukan nilai dosis di luar dinding penahan radiasi primer.

4.5. Membandingkan Nilai Dosis Referensi dengan DOSXYZnrc


Nilai dosis yang dihasilkan pada simulasi DOSXYZnrc kemudian dibandingkan
dengan nilai dosis referensi yaitu pembatas dosis yang ditetapkan Bapeten. Dalam Perka
Bapeten no 3 tahun 2013 diatur pembatas dosis untuk pekerja radiasi yang diperbolehkan
yaitu sebesar 10 mSv pertahun atau 0,2 mSv perminggu (0,2 mGy dosis serap) yang

Universitas Indonesia
33

digunakan sebagai referensi dalam menentukan ketebalan dinding penahan radiasi primer
sesuai dengan beban kerja yang digunakan.
Pada simulasi penahan radiasi primer dengan menggunakan material beton
densitas 2,35 g/cm3 didapatkan nilai dosis perinsiden partikel sebesar 1,103 × 10-21
Gy/incident particle pada kedalaman 0 cm di belakang dinding beton. Dengan
menggunakan perbandingan nilai dosis perinsiden partikel beban kerja, nilai dosis
perinsiden partikel tersebut setara dengan dosis sebesar 0,05 mGy. Sedangkan pada
simulasi penahan radiasi primer untuk material timbal didapatkan nilai dosis perinsiden
partikel sebesar 3,218 × 10-21 Gy/incident particle pada kedalaman 0 cm di belakang
dinding timbal yang setara dengan nilai dosis sebesar 0,145 mGy.
Terdapat keterbatasan nilai dosis yang terbaca pada simulasi DOSXYZnrc dimana
nilai dosis hanya terbaca tepat di belakang dinding beton dan dinding timbal pada
kedalaman 0 cm. Berbeda dengan perhitungan ketebalan dinding dimana nilai dosis
diambil dengan jarak 30 cm di belakang dinding. Hal ini terjadi akibat keterbatasan
spesifikasi komputer yang digunakan sehingga tidak mampu membaca nilai dosis yang
lebih rendah dari 1 × 10-21 Gy/incident particle.
Nilai dosis yang dihasilkan pada simulasi DOSXYZnrc untuk material beton dan
timbal belum sepenuhnya mendekati nilai dosis referensi yaitu sebesar 0,2 mGy.
Sehingga dilakukan analisis nilai TVL material timbal dan beton dibandingkan dengan
nilai TVL referensi material tersebut. Berdasarkan referensi pada NCRP Report No. 151,
nilai TVL untuk material beton densitas 2,35 g/cm3 dan timbal densitas 11,35 g/cm3
masing-masing sebesar 41 cm dan 5,7 cm.

Universitas Indonesia
34

Ketebalan (cm)

Gambar 4.8. Kurva PDD dinding beton


Untuk menentukan nilai TVL dilakukan dengan membuat plot kurva persentase
kedalaman dosis untuk voxel koordinat (54, 50). Untuk material beton didapatkan kurva
PDD sesuai dengan Gambar 4.8 dengan nilai TVL sebesar 35,9 cm. Terdapat perbedaan
nilai TVL yang cukup besar jika dibandingkan dengan nilai TVL referensi untuk beton
densitas 2,35 g/cm3. Perbedaan nilai TVL berpengaruh terhadap nilai dosis yang
dihasilkan pada simulasi sehingga nilainya lebih rendah dibandingkan dengan nilai dosis
referensi yang digunakan. Berdasarkan penelitian Sharifi et al. pada tahun 2013 nilai TVL
suatu material dipengaruhi oleh densitas dan nomor atom material penyusunnya.
Meskipun densitas beton yang disimulasikan pada DOSXYZnrc sama dengan densitas
beton yang digunakan sebagai referensi berdasarkan NCRP 151, namun komposisi
penyusunnya belum tepat sesuai dengan komposisi beton yang digunakan dalam NCRP
151. Dalam kasus ini secara umum nomor atom material beton yang digunakan dalam
simulasi DOSXYZnrc lebih besar dibandingkan dengan nomor atom material beton
referensi pada NCRP 151 sehingga nilai dosis dan nilai TVL yang didapatkan lebih kecil
dibandingkan dengan nilai dosis dan TVL referensi.

Universitas Indonesia
35

Ketebalan (cm)

Gambar 4.9. Kurva PDD dinding timbal


Sedangkan pada material timbal berdasarkan dengan Gambar 4.9 didapatkan nilai
TVL sebesar 5,4 cm. Nilai TVL referensi yang digunakan berdasarkan NCRP 151 yaitu
sebesar 5,7 cm untuk material timbal. Perbedaan pada nilai TVL material timbal yang
digunakan dalam simulasi DOSXYZnrc dengan nilai TVL pada NCRP 151
mempengaruhi nilai dosis yang dihasilkan sehingga nilai dosis pada simulasi
DOSXYZnrc lebih kecil dibandingkan dengan nilai dosis yang seharusnya didapatkan
seperti pada Tabel 4.2.
Selain material yang digunakan, perbedaan nilai dosis juga terjadi akibat faktor
geometri yaitu ukuran satu voxel yang besar. Besarnya ukuran satu voxel terjadi akibat
keterbatasan spesifikasi komputer yang digunakan dalam simulasi Monte Carlo EGSnrc
sehingga jumlah voxel yang dapat didefinisikan terbatas hingga 128 voxel pada masing-
masing sumbu koordinat. Besarnya ukuran satu voxel menyebabkan nilai hamburan yang
semakin tinggi pada setiap voxelnya yang secara langsung berpengaruh terhadap nilai
dosis di luar dinding penahan radiasi. Selain itu bersarnya ukuran satu voxel juga dapat
menyebabkan menurunnya ketelitian dalam pembacaan nilai dosis sehingga nilai dosis
yang terbaca tidak sesuai dengan nilai dosis yang sebenarnya.

Universitas Indonesia
36

Tabel 4.2. Perbandingan nilai dosis dan TVL


Hasil
Parameter Dinding Beton Dinding Referensi

Timbal
Dosis perinsiden partikel 1,103 × 10-21 3,218 × 10-21

Dosis (mGy) 0,05 0,145 0,2

TVL (cm) 35,9 - 41

5,4 5,7

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Nilai dosis yang dihasilkan pada simulasi Monte Carlo EGSnrc sebesar 0,05 mGy
untuk material beton dan 0,145 mGy untuk material timbal dengan referensi 0,2
mGy.
2. Perbedaan nilai dosis yang dihasilkan dalam simulasi Monte Carlo EGSnrc terjadi
akibat perbedaan nilai TVL yang digunakan dan keterbatasan spesifikasi
komputer yang digunakan dalam simulasi Monte Carlo EGSnrc.
3. Nomor atom material penyusun beton yang digunakan dalam simulasi Monte
Carlo EGSnrc mempengaruhi nilai TVL dihasilkan menjadi lebih kecil sehingga
dosis pada simulasi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan dosis referensi.
5.2. Saran
Penelitian mengenai proteksi radiasi selanjutnya lebih baik dilakukan dengan
menentukan komposisi material yang digunakan sesuai dengan referensi sehingga
hasilnya dapat semakin baik mendekati referensi yang digunakan. Dinding sekunder
sebaiknya dimodelkan sehingga hasilnya akan semakin menggambarkan kondisi yang
sebenarnya.

37
Universitas Indonesia
38

DAFTAR PUSTAKA

Akkaş, A. (2016). Determination of the tenth and half value layer thickness of concretes
with different densities. Acta Physica Polonica A, 129(4), 770–772.
Ambiger, T. Y., & Iyer, P. S. (1979). ICRP publication 26 and the'ten-day rule'. Health
Phys.;(United Kingdom), 36(3).
Bahar, S., Nur, A. F., Suhandana, R., & Kurniawati, E. (2004). Pedoman Pekerjaan
Beton PT. Wijaya Karya.
Cunningham, I. A. (2012). Computed tomography: Instrumentation. Medical Imaging:
Principles and Practices, 2-1-2–12.
Hall, E. J., & Giaccia, A. J. (2006). Radiobiology for the Radiologist vol 6 Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia.
IAEA. (2006). Safety Reports Series No. 47 - Radiation Protection in the Design of
Radiotherapy Facilities. 9.
ICRP International Commission on Radiological Protection. (2003). Annals of the ICRP
Annals of the ICRP Annals of the ICRP. In ICRP Publication 92, annals of ICRP
28 (Issue 0).
Kawrakow, I., Mainegra-Hing, E., Rogers, D. W. O., Tessier, F., & Walters, B. R. B.
(2013). The EGSnrc code system: Monte Carlo simulation of electron and photon
transport NCR Report PIRS-701 (Ottawa: National Research Council of Canada).
2001–2006.
Lead Industries Association. (1984). A guide to the use of lead for radiation shielding.
Lead Industries Association, New York, 5.
Mayles, P., Nahum, A., & Rosenwald, J. C. (2007). Handbook of radiotherapy physics:
Theory and practice. In Handbook of Radiotherapy Physics: Theory and Practice
(pp. 1–1453).
Mohd Zin, M. F., Chulan, M. R., Kwee Wah, L., Halim Baijan, A., Mohd Sabri, R.,
Azhar Ahmad, M., Mokhtar, M., & Abd Malik, K. (2019). Monte Carlo studies for
the radiation shielding in the bunker of the electron beam accelerator using PHITS.
IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 555(1).
Nahum, A. (2015). Monte Carlo Techniques in Radiation Therapy. In Medical Physics
(Vol. 42, Issue 8).

Universitas Indonesia
39

Popescu, I. A., Shaw, C. P., Zavgorodni, S. F., & Beckham, W. A. (2005). Absolute
dose calculations for Monte Carlo simulations of radiotherapy beams. Physics in
Medicine and Biology, 50(14), 3375–3392.
Ródenas, J., Martinavarro, A., León, A., & Verdú, G. (2000). Application of the monte
carlo method to shielding analysis in medical linear accelerators. Journal of
Nuclear Science and Technology, 37, 441–445.
Rogers, D. W. O., Walters, B., & Kawrakow, I. (2005). BEAMnrc Users Manual. NRC
Report PIRS, 509, 12.
Rohrig, N. (2006). Structural Shielding Design and Evaluation for Megavoltage X- and
Gamma-Ray Radiotherapy Facilities, NCRP Report No. 151. In Health Physics
(Vol. 91, Issue 3).
Sharifi, S., Bagheri, R., & Shirmardi, S. P. (2013). Comparison of shielding properties
for ordinary, barite, serpentine and steel-magnetite concretes using MCNP-4C code
and available experimental results. Annals of Nuclear Energy, 53, 529–534.
Saeedimoghadam, M., Zeinali, B., Kazempour, M., Jalli, R., & Sina, S. (2017). Monte
Carlo Study of Several Concrete Shielding Materials Containing Galena and
Borated Minerals. Iranian Journal of Medical Physics, 14(4), 241-250.
Sriwunkum, C., & Nutaro, T. (2019). Study on gamma-ray shielding properties of lead
tellurite glass systems using PHITS. Journal of Physics: Conference Series,
1380(1).
Walters, B., Kawrakow, I., & Rogers, D. W. O. (2005). DOSXYZnrc Users Manual.
NRC Report PIRS, 794, 57-58.

Anda mungkin juga menyukai