Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes merupakan penyakit tidak menular yang cukup serius dimana
insulin tidak dapat diproduksi secara maksimal oleh pancreas (Safitri &
Nurhayati, 2019). Insulin merupakan hormone yang mengatur glukosa.Insulin
yang tidak bekerja dengan adekuat akan membuat kadar glukosa dalam darah
tinggi. Kadar glukosa darah normal adalah 70-110 mg/dL pada saat berpuasa
(Fatimah, 2015). Diabates banyak dialami oleh masyarakat dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang global, sehingga pada saat ini mennjadi
prioritas dalam memecahkan masalah kesehatan oleh para pemimpin dunia
(Global, 2016).
Penyakit diabetes melitus merupakan rangking ke enam penyebab
kematian di dunia,hal ini di ungkapkan oleh dunia World Health Organization
(WHO). (Wicaksono,2015).data yang didapatkan bahwa kematian yang di
sebabkan karena diabetes ada sekitar 1,3 juta dan yang meninggal sebelum
usia 70 tahun sebanyak 4 persen. Mayoritas kematian diabetes pada usia 45-54
tahun terjadi pada penduduk kota dibandingkan pada penduduk yang tinggal di
pedesaan (Kistianita, Yunus, & Gayatri, 2018).
WHO juga menyebutkan bahwa sekitar 150 juta orang di dunia telah
menderita diabetes mellitus (Saputri, Setiani, & Dewanti, 2018). Penderita
yang semakin meningkat jumlahnya setiap tahun sebagian besar berasal dari
negara berkembang. Penduduk Amerika yang menderita diabetes sebanyak
29,1 juta jiwa dimana sebanyak 21 juta jiwa katagori diabetes yang
terdiagnosis, sedangkan sebanyak 8,1 juta jiwa termasuk katagori diabetes
tidak terdiagnosis (Andreas Pradipta et al., 2020).
2

Di Indonesia Prevalensi DM sekitar 4.8% dan lebih dari setengah


kasus DM (58.8%) (Lathifah, 2017). DM tidak terdiagnosis. Diperkirakan
sebanyak 21,3 juta masyarakat di Indonesia menyandang diabetes pada tahun
2030 (Prabowo & Hastuti, 2015). Di Indonesia, diabetes juga masih menjadi
persoalan kesehatan yang cukup serius bahkan terus mengalami peningkatan
jumlah penderita di setiap tahunnya seiring bertambahnya jumlah penduduk,
pertambahan usia, meningkatnya gaya hidup tidak sehat, pola makan tidak
sehat, diet yang tidak sehat dan obesitas (Aryastami & Tarigan, 2017).
Faktor risiko terjadinya DM tipe II terdiri dari dua yaitu faktor yang
tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi (Rovy, 2018).
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, dan faktor
keturunan (Ujani, 2016). Faktor risko DM akan sering muncul setelah usia
≥45 tahun. Sampai saat ini memang belum ada mekanismes yang jelas tentang
kaitan jenis kelamin dengan DM, tetapi di Amerika Serikat banyak penderita
DM berjenis kelamin perempuan. DM bukan penyakit yang dapat ditularkan,
tetapi penyakit ini dapat diturunkan pada generasi berikutnya (Ramadhan,
2017). Seseorang yang keluarga kandungnya seperti orang tua maupun saudara
kandung yang memiliki riwayat penderita DM akan berisiko lebih besar
mengalami penyakit DM (Sukmaningsih, Heru SubarisKasjono, & Werdani,
2016). Penelitian ini beda dengan yang lainnya karena menggunakan studi
case control yang menghasilkan nilai odds ratio sehingga dapat digunakan
dalam prediksi resiko kejadian diabetes.
3

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan penulisan ini adalah mampumemberikan asuhan keperawatan pada
pasien sesaui dengan diagnosis keperawatan yang muncul.
2. Tujuan khusus :
a. Melaksanakan pengkajian menyeluruh pada pasien dengan DM.
b. Menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan kondisi klinis pasien.
c. Menegakkan intervensi keperawatan yang telah ditentukan pada
pasien DM
d. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan DM.
e. Melakukan evaluasi keperawatan setelah dilakukan implementasi pada
pasien DM.

C. Manfaat Penulisan
Untuk memperoleh pengalaman dalam hal penanganan pasien dengan DM
dan dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan tepat
bagi penulis.
4

BAB II
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Medik


Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dasar medis penyakit
Diabetes Mellitus secara teoritis dari berbagai referensi.
1. Definisi
Diabetes mleitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin,kerja insulin atau keduaanya. (Setyawati et al,2020)
Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan
suatu kumpulan gejal yang timbul pada seseorang karena adanya
peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini
disebabkan gangguan metablisme glukosa akibat kekurangan insulin baik
secara absolut maupun relatif. (RISKESDAS, 2013)

2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan bagian dari kelenjar endokrin yang mempunyai
struktur dan letak serta fungsi di dalam tubuh.
5

a. Anatomi

Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya  15


cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya
rata-rata 60 - 90 gr. Terbentang pada vertebra lumbalis 1 dan 2
dibelakang lambung. Bagian utama dari rongga ini merentang kearah
limpa dengan bagian ekornya menyentuh pada alat ini. Pulau
langerhans berbentuk ovoid dengan besarnya masing-masing pulau
berbeda. Jumlah semua pulau langerhans diperkirakan antara 1,2 juta
pada pankreas didalam tubuh manusia.
b. Fisiologis
Pankreas berfungsi sebagai organ endokrin dan eksokrin.
Fungsinya sebagai organ endokrin oleh pulau-pulau langerhans. Pulau-
pulau langerhans terdiri dari 3 sel yaitu: sel alpha yang menghasilkan
glukagon, sel betha yang menghasilkan insulin, dan sel deltha yang
menghasilkan somatostatin, namun fungsinya belum jelas diketahui.
Organ sasaran kedua hormon ini adalah hepar, otot, dan jaringan
lemak. Glukagon dan insulin memegang peran penting dalam
6

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Bahkan keseimbangan


kadar gula darah sangat dipengaruhi oleh kedua hormon ini. Fungsi
kedua hormon ini sangat bertolak belakang. Kalau secara umum
insulin menurunkan kadar gula darah sebaliknya untuk glukagon
meningkatkan kadar gula darah. Perangsang glukagon bila kadar gula
darah rendah, dan asam amino darah meningkat. Efek glukagon ini
juga sama dengan efek kortisol, GH dam epinefrin.
Dalam meningkatkan kadar gula darah, glukagon merangsang
glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi glukagon) dan
meningkatkan transportasi asam amino dari otot serta meningkatkan
glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari yang bukan karbohidrat).
Dalam metabolisme lemak, glukagon meningkatkan lipolisis
(pemecahan lemak).
Dalam menurunkan kadar gula darah, insulin sebagai hormon
anabolik terutama akan meningkatkan difusi glukosa melalui membran
sel di jaringan. Efek anabolik penting lainnya dari hormon insulin
adalah sebagai berikut :
1) Efek pada hepar
a) Meningkatkan sintesa dan penyimpanan glukosa
b) Menghambat glikogenolisis, glukoneogenesis dan ketogenesis
c) Meningkatkan sintesa trigleserida dari asam lemak bebas di
hepar
2) Efek pada otot
a) Meningkatkan sintesa protein
b) Meningkatkan transportasi asam amino
c) Meningkatkan glikogenesis
3) Efek pada jaringan lemak
a) Meningkatkan sintesa trigliserida dari asam lemak bebas
7

b) Meningkatkan penyimpanan trigliserida


c) Menurunkan lipolisis

3. Klasifikasi
a. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 biasanya terjadi pada remaja atau anak, dan terjadi
karena kerusakan sel β (beta) (WHO, 2014). Canadian Diabetes
Association (CDA) 2013 juga menambahkan bahwa rusaknya sel β
pankreas diduga karena proses autoimun, namun hal ini juga tidak
diketahui secara pasti. Diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis,
memiliki insidensi lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe 2, akan
meningkat setiap tahun baik di negara maju maupun di negara
berkembang (IDF, 2014)
b. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa (WHO, 2014).
Seringkali diabetes tipe 2 didiagnosis beberapa tahun setelah onset,
yaitu setelah komplikasi muncul sehingga tinggi insidensinya sekitar
90% dari penderita DM di seluruh dunia dan sebagian besar
merupakan akibat dari memburuknya faktor risiko seperti kelebihan
berat badan dan kurangnya aktivitas fisik (WHO, 2014).
c. Diabetes gestational
Gestational diabetes mellitus (GDM) adalah diabetes yang
didiagnosis selama kehamilan (ADA, 2014) dengan ditandai dengan
hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal) (CDA, 2013 dan
WHO, 2014). Wanita dengan diabetes gestational memiliki
peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat
melahirkan, serta memiliki risiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi di
masa depan (IDF, 2014).
8

d. Tipe diabetes lainnya


Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena
adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan
mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas, sehingga
mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat
mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom
chusing, akromegali dan sindrom genetik (ADA, 2015).

4. Etiologi
Menurut Bruner dan Suddarth (2013), diabetes mellitus dibagi menjadi 2,
yaitu diabetes mellitus primer dan diabetes mellitus sekunder.
a. Diabetes Mellitus primer disebablan oleh faktor herediter, obesitas,
kelainan pancreas dan pertambahan usia.
1) Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( IDDM ) atau diabetes
mellitus tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel beta
pulau langerhens akibat proses auto imun.
2) Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( NIDDM ) atau
diabetes mellitus tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan
relatif sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin
sepenuhnya atau terjadi defisiasi relative insulin
ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin
pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama dengan bahan terangsang sekresi insulin lain.
b. Diabetes Mellitus sekunder di sebabkan oleh kelainan hormonal,
karena obat, kelainan insulin dan sindrom genetik. Selain itu juga
terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya
diabetes mellitus :
9

1) Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun.
2) Obesitas dan genetik
Diperkirakan terdapat suatu sifat genetik yang belum
teridentifikasi yang menyebabkan pancreas mengeluarkan
insulin yang berbeda, atau reseptor insulin tidak dapat
merespon secara adekuat terhadap insulin. Hal ini
diperkirakan ada kaitannya antara genetik dan rangsangan
berkepanjangan reseptor–respektor insulin
3) Malnutrisi disertai kekurangan protein yang nyata.
Diduga zat sianida yang terdapat pada cassava atau singkong
yang menjadi sumber karbohidrat di beberapa kawasan asia
dan afrika berperan dalam patogenisnya (Waspadji, 2009).
4) Riwayat keluarga.
Keturunan adalah satu faktor yang berperan dalam diabetes
mellitus, bila kedua orang tua menderita penyakit ini, maka
semua anaknya juga menderita penyakit yang sama.

5. Patofisiologi
Sebagian besar patologi Diabetes Mellitus dihubungkan dengan efek
utama kekurangan insulin, keadaan patologi tersebut akan berdampak;
a. Hiperglikemia
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang
tinggi yang rentan non puasa sekitar 140 – 160 mg / 100 mL darah.
Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa atau produksi
glukosa dalam tubuh akan difasilitasi oleh insulin untuk masuk ke
dalam sel tubuh. Glukosa itu kemudian di olah menjadi bahan energi.
10

Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan
sebagai glukogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot (sebagai massa sel
otot). Proses glikogenesis (pembentukan glikogen) dari unsur glukosa
ini dapat mencegah hiperglikemia.
Pada penderita Diabetes Melitus proses ini tidak dapat berlangsung
dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah
(hiperglikmia). Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena
defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut:
1) Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
2) Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan
tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
3) Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan
glikogen berkurang, dan glukosa hati dicurahkan ke dalam darah
secara terus-menerus melebihi kebutuhan.
4) Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dan unsur non
karbohidrat) meningkat dan lebih banyak lagi glukosa “hati” yang
tercurah dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak.
Hiperglikemia akan mengakibatkan pertumbuhan berbagai
mikroorganisme dengan cepat seperti jamur dan bakteri. Karena
mikroorganisme tersebut sangat cocok dengan daerah yang kaya
glukosa. Setiap kali timbul peradangan maka akan terjadi
mekanisme peningkatan darah pada jaringan yang cidera. Kondisi
itulah yang membuat mikroorganisme mendapat peningkatan
pasokan nutrisi. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita
Diabetes Mellitus mudah mengalami infeksi, bakteri dan jamur.
b. Hiperosmolaritas
Hiperosmolaritas adalah adanya kelebihan tekanan osmotik pada
plasma sel karena adanya peningkatan konsentrasi zat. Pada penderita
11

Diabetes Mellitus terjadinya hiperosmolaritas karena peningkatan


konsentrasi glukosa dalam darah (yang notabene komposisi banyak
adalah cair). Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat
terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk memfiltrasi dan
reabsorbsi glukosa (meningkat  275 mg / menit). Kelebihan ini
kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin
(glukosuria). Ekskresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis
mengakibatkan kehilangan sejumlah besar air (diuresis osmotik) dan
berakibat volume air (poliuria). Proses seperti ini mengakibatkan
dehidrasi dengan proses ekstraseluler dan juga diruangan intraseluler..
12

c. Starvasi seluler
Starvasi seluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel
karena glukosa sulit masuk, padahal disekeliling sel banyak sekali
glukosa. Sulitnya glukosa masuk karena tidak adanya yang
memfasilitasi untuk masuk sel yaitu insulin. Dampak dari starvasi
seluler akan terjadi proses kompensasi seluler untuk tetap
mempertahankan fungsi sel. Proses itu antara lain:
1) Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi
jaringan. Jaringan pheriperal yang tergantung pada insulin (otot
rangka dan jaringan lemak). Jika terdapat glukosa, sel-sel otot
memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk di
bongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga akan
menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini berdampak
pada penurunan kondisi otot, kelemahan otot dan rasa mudah
lelah.
2) Starvasi seluler juga akan mengakibatkan peningkatan
metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai
substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Proses
glukoneogenesis yang menggunakan asam amino menyebabkan
penipisan simpanan protein tubuh karena unsur heterogen (sebagai
unsur pemecahan protein) tidak digunakan kembali untuk semua
bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan disekresikan
dalam urin. Depresi protein akan berakibat tubuh menjadi kurus,
penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian
jaringan yang rusak (sulit sembuh kalau ada cidera).
3) Starvasi seluler juga berdampak peningkatan mobilisasi dan
metabolisme lemak (lipolisis) asam lemak bebas. Ketogenesis
13

mengakibatkan peningkatan kadar asam organik (keton).


Sementera keton menggunakan cadangan alkali tubuh untuk buffer
PH darah menurun. Pernapasan kusmaul dirangsang untuk
kompensasi keadaan asidosis metabolik.
Adanya starvasi seluler akan meningkatkan pemasukan dengan
munculnya rasa ingin makan terus (polifagia). Starvasi seluler juga
akan memunculkan gejala klinis kelemahan tubuh karena terjadi
penurunan produksi energi.

6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien Diabetes Melitus
yaitu:
a. Poliuria (penigkatan pengeluaran urin)
Terjadi akibat kelebihan ambang ginjal untuk memfiltrasi dan
reabsorbsi kadar glukosa yang tinggi.
b. Polidipsi (peningkatan rasa haus)
Terjadi akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang
menyebabkan dehidrasi intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradient konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat
pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH (antidiuretik
hormon) dan menimbulkan rasa haus.
c. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
Terjadi akibat starvasi seluler meningkatkan mekanisme penyesuaian
tubuh untuk meningkatkan pemasukan.
d. Rasa lelah dan kelemahan otot
Akibat gangguan aliran darah pada penderita Diabetes lama,
katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel
untuk menggunakan glukosa sebagai energy.
14

e. Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan


pembentukkan antibodi, gangguan fungsi imun, penurunan aliran
darah pada penderita Diabetes Kronik.
f. Kelainan kulit : gatal, bisul-bisul
Terjadi akibat timbulnya jamur
g. Kesemutan rasa berat akibat terjadinya neuropati.
Pada penderita Diabetes Mellitus regenerasi sel persarafan mengalami
gangguan akibat kekurangan bahan dasar utama yang berasal dari
unsur protein. Akibatnya banyak sel persarafan termasuk perifer
mengalami kerusakan.
h. Kelemahan tubuh
Kelemahan tubuh terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik
yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat
berlangsung secara optimal.
i. Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh.
Terjadi akibat protein yang digunakan untuk penggantian jaringan
rusak mengalami gangguan, selain itu luka yang sulit sembuh juga
dapat diakibatkan oleh pertumbuhan mikroorganisme yang cepat pada
penderita Diabetes Melitus.
j. Mata kabur
Terjadi akibat perubahan pada lensa oleh hiperglikemia.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegagkan diagnosis Diabetes Melitus ada beberapa pemeriksaan
penunjang yang dapat digunakan antara lain:
a. Pemeriksaan gula darah
Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus, pada sedikitnya 2
kali pemeriksaan ( Brunner & Suddarth) ;
15

1) Glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)


2) Glukosa darah puasa > 140 mg/dL (7,8 mmol/liter)
Pada pemeriksaan kadar gula darah puasa, pasien dipuasakan
makan dan minum 12 jam sebelum pemeriksaan. Darah biasanya
diambil antara pukul 07.00 – 09.00.
3) Glukosa plasma dari sampel 2 jam kemudian sesudah meng-
konsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam pospandial (PP) > 200 mg/dL
(11,1 mmol).
Pada pemeriksaan gula darah pospandial darah di ambil setelah
makan pagi atau makan siang.

Periksaan gula darah umumnya menggunakan metode pengambilan


darah tepi dan darah vena. Namun cara yang paling sering digunakan
di rumah sakit yaitu:
1) Pengambilan darah tepi
Pengambilan darah tepi dilakukan dengan menggunakan alat
pemantau kadar gula darah. Metode ini cukup praktis dan tidak
menggunakan waktu yang lama. Daerah tempat pengambilan
sampel darah biasanya dilakukan di ujung-ujung jari.
a) Pertama-tama disinfeksi daerah tempat pengambilan darah
b) Tekan kira-kira 1 cm dari area pengambilan darah agar jumlah
darah yang dibutuhkan cukup untuk diteteskan distrip
c) Setelah itu lakukan pengambilan darah dengan menggunakan
alat pemantau kadar glukosa darah (glukometer)
d) Sebelum dilakukan pengambilan darah masukkan strip ke
dalam alat pengukur.
e) Kemudian teteskan darah ke strip sampai strip berbunyi
16

f) Biarkan selama  1 menit, setelah tiup alat pengukur akan


memprelihatkan nilai kadar glukosa.

b. Test toleransi glukosa oral (TTGO)


TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan
beraktivitas fisik 3 hari sebelum test.
c. Serum elektrolit (Na, K, Cl) → meningkat atau menurun
d. Blood ureum nitrogen : untuk mengetahui kondisi ginjal.
e. Ureum kreatinin : mungkin meningkat atau normal (pe↓ fungsi ginjal)
f. PH dan PCO2
Mengetahui Diabetik Ketoasidosis
g. Urin : glikosuria, proteinuria, ketonuria
Pemeriksaan urin dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kadar gula
dalam urin.
Cara pengambilan:
1) Tamping urin 6 – 8 jam sebanyak 50 ml kemudian masukkan
kedalam tabung urin yang bersih dan kering kemudian antar ke
laboratorium.
2) Campurkan dalam tabung reaksi 2,5 ml larutan benedict dan 4
tetes urin.
3) Panaskanlah tabung tadi selama 5 menit dalam penangas air
mendidih atau didihkan langsung selama 2 menit memakai alat
pemanas.
4) Perhatikan endapan atau warna yang tebentuk.
Warna : biru / hijau - -
Warna : hijau / hijau kekuningan +1 < 0,5 %
Kuning / kehijauan kuning +2 0,5-0,1 %
17

Jingga +3 1,0-30 %
Merah +4 >2%

8. Penatalaksanaan
Penatalksanaan pada diabetes mellitus dapat bersifat farmakologi dan
non farmakologi dengan tujuan untuk mencapai kadar glukosa yang
normal
a. Farmakologis
Terapi famakologi terdiri dari 2, yaitu:
1) Obat-obatan hiperglikemi oral (OHO)
a) Golongan sulfoniluria
Golongan obat ini bekerja merangsang sel betha pankreas
untuk mengelurka insulin. Jadi sel betha utuh menghalangi
pengikat insulin, mempertinggi kepekaan jaringan terhadap
insulin dan menekan pengeluaran glukagon.
b) Golongan biguanid
Cara kerja golongan ini tidak merangsang sekresi insulin.
Golongan biguanid dapat menurunkan kadar gula darah
menjadi normal dan istimewanya tidak menyebabkan
hipoglikemia.
c) Alfa glukosidase inhibitor
Obat ini berguna menghambat kerja insulin alfa glukasidase di
dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan
glukosa dan menurunkan hiperglikemia posprandial
2) Insulin
Dari sekian banyak jenis insulin, untuk praktisnya hanya 3 jenis
insulin yang penting menurut cara kerjanya.
18

a) Yang kerjanya cepat : RI (Regular Insulin) dengan masa kerja


2 – 4 jam. Contoh obatnya : Actrapid
b) Yang kerjanya sedang : NPH (Neutral Protamin Hagedorn)
dengan kerjanya 6 – 12 jam. Biasanya diberikan sesudah
makan.
c) Yang kerjanya lambat PZI (Protamin Zinc Insulin). Digunakan
terutama untuk mengendalikan kadar glukosa darah puasa,
masa kerjanya 18 – 24 jam, diberikan sebelum makan pagi.
Untuk pasien yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya
selalu dimulai dengan dosis rendah (8 – 20 unit) disesuaikan
dengan reduksi urin dan glukosa darah.
19

b. Non farmakologis
Terapi non farmakologi bertujuan untuk mengontrol kadar gula darah
yang terdiri atas :
1) Diet
Tujuan Diet pada Diabetes Mellitus adalah
a) Mencapai dan memeprtahankan kadar glukosa darah
mendekati kadar normal
b) Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang
optimal
c) Mencegah komplikasi akut dan kronik
d) Meningkatkan kualitas hidup

Adapun perencanaan makan untuk penatalaksanaan diet, yaitu


a) Karbohidrat kompleks (serat dan tepung)
Sumber serat yang baik adalah buah-buahan dan sayur-sayuran
b) Lemak
Lemak jenuh harus dibatasi samapi sepertiga atau kurang
c) Alkohol
Alkohol dapat memperburuk hiperlipidemia dan dapat
mencetuskan hipoglikemia terutama jika tidak makan. Oleh
karena itu alkohol perlu dibatasi.
d) Natrium individu dengan Diabetes Mellitus dianjurkan tidak
makan lebih dari 3 gr natrium setiap harinya. Konsumsi
berlebihan dapat menyebabkan hipertensi.
2) Olah raga
Olahraga sangat penting alam penatalaksanaan Diabetes karena
efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi
20

faktor resiko kardiovaskuler. Dengan latihan atau olahraga otot


meningkatkan pengambilan glukosa dan memperbaiki pemakaian
insulin selain itu sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki
dengan berolah raga.
Hal yang perlu diingat dalam latihan jasmani adalah jangan
memulai olahraga sebelum makan untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia.

9. Komplikasi
Komplikasi Diabetes Melitus dapat bersifat akut dan kronik (Sujono dan
Sukarmin)
a. Komplikasi bersifat akut
1) Koma hipoglikemia
Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obat diabetik
yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan
glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi
untuk masuk ke dalam sel. Gejal-gejala yang muncul pada
hipoglikemi adalah: tremor, takikardi, palpitasi, sakit kepala,
disorientasi. Pada hipoglikemia berat dapat terjadi penurunan
kesadaran.
2) Ketoasidosis (DKA)
Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari
sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Apabila
tidak ada glukosa maka bendah-bendah keton akan dipakai sel.
Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukkan residu
pembongkaran benda-benda keton yang berlebihan yang dapat
mengakibatkan asidosis. Komplikasi ini umumnya terdapat pada
Diabetes Melitus Tipe I.
21

Tanda dan gejala yang muncul pada ketoasidosis diabetik yaitu:


timbul rasa haus dan rasa berkemih yang berlebihan, mual,
muntah, lelah, dan nyeri perut. Biasanya pernapasan menjadi
dalam dan cepat, bau napas penderita seperti bau aseton. Jika
ketoasidosis ini tidak ditangani maka dapat mengakibatkan
terjadinya koma dalam waktu beberapa jam.
3) Koma hiperosmolar non ketotif (HHNK)
Koma ini terjadi karena komposisi cairan intrasel dan ekstrasel
karena banyak diekskresi lewat urin. Komplikasi ini umumnya
terjadi pada Diabetes Melitus Tipe II.
b. Komplikasi bersifat kronik
1) Komplikasi makrovaskuler
Pada diabetes mellitus terjadi perubahan aterosklerosis yang
mengenai pembuluh darah yang besar yaitu: pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh faktor-fator seperti: kelainan pada
trombosit dan faktor pembekuan, penurunan fleksibilitas sel darah
merah, penurunan pelepasan oksigen, perubahan dalam dinding
arteri yang berhubungan dengan hiperglikemia dan
hiperinsulinemia. Komplikasi makroangiopati adalh penyakit
vaskuler otak, penyakit arteri okoroner, dan penyakit vaskuler
perifer.
2) Komplikasi mikrovaskuler
Penyakit mikrovaskuler mengenai pembuluh darah kecil ditandai
oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler diakibatkan
oleh peningkatan kadar glukosa darah menimbulkan suatu respon
melalui serangkaian reaksi biokimia. Ada dua tempat dimana
gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius: kedua tempat
22

tresebut adalah mikrosirkulasi retina disebut Retinopati Diabetik


dan Ginjal Nefropati Diabetik.
Retinopati diabetik terjadi karena penurunan protein dalam retina.
Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.
Retinopati mempunyai 2 tipe, yaitu;
a) Retinopati back graund
b) Retinopati proliferatif
Nefropati terjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur
dan fungsi ginjal yang menyebabkan komplikasi pada pelvis
ginjal.
3) Neuropati diabetik
Akumulasi orbital didalam jaringan dan perubahan metabolik
mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun
kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.
4) Kaki diabetik
Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati
menyebabkan perubahan pada ekstermitas bawah. Komplikasi
dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren, sensasi
dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadi
trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan
gangren.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Untuk memperoleh data pengkajian digunakan pengkajian pola fungsi
Gordon.
a. Pola Persepsi Dan Pemeliharaan Kesehatan
23

Data subjektif:persepsi pasien tentang kesehatannya, hal-hal yang


dilakukan untuk mempertahankan kesehatannya,
kebiasaan yang dapat mempengaruhi kebiasaannya.
Keluhan utama, riwayat keluhan utama, riwayat
penyakit yang pernah dialami, faktor resiko adanya
riwayat HT, DM dan jantung.
Data objektif: kebersihan rambut, kulit kepala, kebersihan kulit,
hygiene rongga mulut, kebersihan genitalia dan anus.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Data subjektif:jenis, frekuensi dan jumlah makan yang masuk setiap
hari; jenis dan jumlah minuman,; nafsu makan berlebih
atau berkurang; makanan tambahan atau suplemen;
jenis makanan yang disukai ; kesulitan pada waktu
makan, mual, muntah dan kembung; ketaatan terhadap
diet; rasa haus dan lapar adalh penurunan BB.
Data objektif: jumlah intake dan output; pemeriksaan fisik seperti
keadaan rambut; hidrasi kulit; palpebra / konjungtiva,
sclera, hidung, rongga mulut, gizi, kemampuan
mengunyah, lidah, pharing, kelenjar getah bening,
kelenjar pharotis, abdomen (inspeksi, auskultasi;ikterik,
lesi), pemeriksaan diagnostik dan terapi yang
berhubungan dengan pola nutrisi dan metabolik.
c. Pola Eliminasi
Data subjektif:perubahan pola berkemih (poliuria, oliguria, anuria,
disuria, nokturia, rasa nyeri / terbakar, kesulitan
berkemih, infeksi), inkontinensia. Pola BAB; frekuensi,
karakteristik, warnah diare.
24

Data objektif: bentuk feces, konsistensi, warna, jumlah urin, bau ada
endapan, berbusa (encer, warna kuning). Adakah
penggunaan kateter; pemeriksaan fisik, peristaltik usus;
palpasi kandung kemih, nyeri ketuk ginjal; mulut
uretra, anus (peradangan, hemoroid, fistula).
Pemeriksaan diagnostik dan terapi yang berhubungan
dengan pola eliminasi.
d. Pola Aktivitas Dan Latihan
Data subjektif:kebiasaan aktivitas sehari-hari, kegiatan olah raga,
aktivitas diwaktu senggang, keluhan pada pernapasan,
keluhan pada jantung; seperti berdebar, nyeri dada, rasa
lemah badan, letih, sulit bergerak / berjalan, kram otot,
tonus otot menurun.
Data objektif: postur tubuh,gaya jalan, aktivitas harian, anggota gerak
yang cacat, takikardi dan takipnea pada keadaan
istirahat atau dengan aktivitas, letargi / disorientasi,
koma penurunan kekuatan otot.
e. Pola Tidur Dan Istirahat
Data subjektif:jumlah jam tidur (siang dan malam), kebiasaan sebelum
tidur / pengantar tidur, suasana (gelap, terang), perasaan
saat bangun tidur, gangguan tidur seperti mimpi buruk,
sering berkemih, gatal-gatal, nyeri sesak napas.
Data onjektif: ekspresi wajah mengantuk, banyak menguap, palpebra
inferior berwarna gelap, letargi, terapi yang berkaitan
dengan pola tidur dan istirahat.
f. Pola Persepsi Kognitif
Data subjektif:gangguan penglihatan / pendengaran; rasa tidak
nyaman seperti nyeri, kesemutan; gangguan proses
25

berpikir; gangguan terhadap daya pengenalan


lingkungan, orang dan waktu (orientasi), perubahan
dalam konsentrasi / daya ingat.
Data objektif: penggunaan alat bantu, kemampuan bicara, orientasi /
disorientasi (waktu, tempat, orang). Respon non verbal,
pemeriksaan fisik meliputi penglihatan, pendengaran,
penurunan rasa pada lengan dan tungkai; pemeriksaan
diagnostik dan terapi yang berkaitan, dengan pola tidur
dan istirahat.
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Data subjektif:konsep diri (identitas diri, idela diri, harga diri, citra
dan peran diri), kemampuan dalam mengambil
keputusan, pandangan pasien tentang dirinya, masalah
finasial yang berhubungan dengan kondisi.
Data objektif: rentang perhatian, kontak mata, postur tubuh,
pemeriksaan fisik, meliputi kelainan bawaan yang
nyata, abdomen, kulit dan punggung protesa.
h. Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Data subjektif:peran dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
Hubungan keluarga, masyarakat dan lingkungan
(konflik / perpisahan). Adalah perasaan keterpisahan /
tersolir.
Data objektif: gangguan komikasi verbal (neo, gagap, latah, suara
tidak bisa mengucap “R”). hubungan dalam
berinteraksi dengan anggota keluarga atau orang lain
(kooperatif)
26

i. Pola Reproduksi dan Seksualitas


Data subjektif:hubungan penyakit dengan masalah seksualitas,
gangguan funsional / seksual (impoten, kesulitan
organisme).
Data objektif: perilaku yang menyimpanan (tidak sesuai denagn jenis
kelamin). Pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic
serta terapi yang berhubungan dengan pola reproduksi
dan seksualitas.
j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi Terhadap Stress
Data subjektif:mekanisme koping yang digunakan, ungkapan pasien
terhadap dirinya. Penyesuaian diri terhadap situasi dan
lingkungan baru. Pengguanaan obat untuk membuat
cela hubungan dengan orang.
Data objektif: ekspresi wajah, aktivitas motorik yang tidak
mempunyai tujuan. Pemeriksaan fisik meliputi tekanan
darah, heart rate, terapi yang berkaitan dengan pola
mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
k. Pola Sistem Nilai Kepercayaan
Data subjektif:ungkapan pasien tentang kebutuhan spiritual yang
diinginkan.
Data objektif: alat untuk berdoa, tampak melakukan kegiatan
beribadah.

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari pengkajian diatas, terdapat 8
diagnosa keperawatan menurut NANDA (2008) sebagai berikut:
a. Kekurangan volume cairan b/d Diuresisi osmotik.
27

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Ketidakcukupan


insulin atau penurunan masukan oral.
c. Resiko tinggi infeksi (sepsis) b/d Kadar glukosa darah tinggi atau
penurunan fungsi leukosit,gangguan sirkulasi.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual (penglihatan,
pendengaran) b/d Perubahan kimia endogen (ketidakseimbangan
glukosa-insulin dan elektrolit).
e. Kelelahan b/d Penurunan produksi energi metabolik atau peningkatan
kebutuhan energi.
f. Kerusakan integritas kulit b/d perubahan status metabolik atau
kerusakan sirkulasi.
g. Pola nafas tidak efektif b/d Asidosis metabolik
h. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik individu b/d
defisit pengetahuan ( proses penyakit, pemantauan pengobatan sendiri,
perawatan kaki)

3. Intervensi Keperawatan
Penyusunan rencana keperawatan didasarkan pada diagnose keperawatan
menurut NANDA 2000 dan Marylin&Doengoes
a. Kekurangan volume cairan b/d Diuresis osmotik.
HYD: Kebutuhan volume cairan dapat terpenuhi kembali
Intervensi:
1) Dapatkan riwayat pasien atau orang terdekat tentang lama dan
frekuensi urin
R/ membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total.
Semakin tinggi lama dan frekuensi urin maka semakin banyak
resiko kehilangan volume cairan.
2) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah
28

R/ penurunan volume cairan darah (hipovolemia) akibat diuresis


osmotik dapat dimanifestasikan oleh hipotensi, takikardi, nadi
teraba lemah.
3) Kaji suhu, warna dan kelembaban kulit
R/ demam dengan kulit kemerahan kering mungkin gambaran dari
dehidrasi.
4) Kaji pola napas dan bau napas
R/ paru-paru mengeluarkan asam karbonat melalui pernapasan
yang menghasilkan kompensasi alkalosis respiratori
5) Pantau intake dan output, catat berat jenis urin
R/ memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti,
fungsi ginjal dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
6) Pertahankan untuk memberikan cairan paling kurang 2.500 ml /
hari.
R/ mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi
7) Motivasi masukan cairan enteral pada pasien
R/ mempertahankan hidrasi atau volume sirkulasi
8) Berikan terapi cairan sesuai indikasi
R/ tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan
cairan dan respon pasien secara individual.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d Ketidakcukupan
insulin atau penurunan masukan oral.
HYD: kebuthan nutrisi dapat terpenuhi kembali
Intervensi:
1) Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi
R/ mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien sesuai dengan kadar
gula yang dimiliki
29

R/ menyesuaikan antara kebutuhan kalori dan kemampuan sel


untuk mengambil glukosa.
3) Libatkan keluarga pasien dalam memantau waktu makan jumlah
nutrisi.
R/ meningkatkan partisipasi keluarga dan mengontrol masukan
nutrisi sesuai dengan kemampuan untuk menarik glukosa
dalam sel.
4) Observasi tanda-tanda hiperglikemia
R/ karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi, gula darah akan
berkurang dan sementara pasien tetap diberikan insulin maka
hipoglikemia dapat terjadi.
5) Lakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan “finger
stick”.
R/ analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat dari
pada memantau gula darah dalam urin.
6) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti glukosa darah, aseton,
PH, HCO3.
R/ gula darah akan menurun perlahan dengan penggunaan terapi
insulin kontrol. Dengan pemberian insulin dosis optimal,
glukosa kemudian dapat masuk ke dalam sel dan digunakan
untuk sumber kalori. Ketika hala itu terjadi, kadar aseton akan
menurun dan asidosis dapat dikoreksi.
7) Berikan pengobatan insulin secara teratur dengan teknik intravena
secara intermitten atau kontinyu.
R/ insulin regular memiliki awitan cepat dan karenanya dengan
cepat pula dapat membantu memindahkan ke dalam sel.
Pemberian melalui intravena merupakan rute pilihan utama
30

karena absorbsi dari jaringan subkutan mungkin tidak terlalu


menentu / sangat lambat.
8) Lakukan konsultasi dengan ahli diet.
R/ kebutuhan diet penderita harus disesuaikan dengan jumlah
kalori karena kalau tidak terkontrol akan berisiko
hiperglikemia
c. Resiko tinggi infeksi (sepsis) b/d Kadar glukosa darah tinggi atau
penurunan fungsi leukosit,gangguan sirkulasi.
HYD: infeksi (sepsis) terjadi, glukosa dapat dikontrol.
Intervensi:
1) Observasi tanda-tanda vital.
R/ adanya proses infeksi akan berpengaruh terhadap peningkatan
suhu tubuh dan nadi.
2) Kaji tanda-tanda infeksi dan peradangan seperti demam,
kemerahan, adanya push pada luka.
R/ adanya tanda infeksi terdeteksi lebih dini dapat menghindari
proses penyebaran infeksi luka.
3) Tingkatkan upaya pencegahan dengan mencuci tangan memakai
handskoon, mascer, kebersihan lingkungan.
R/ meminimalkan invasif mikroorganisme.
4) Pertahankan teknik aseptik dan skrilisasi alat pada prosedur
invasif.
R/ invasi alat dapat menajdi mediator masuknya mediator
mokroorganisme khususnya pada peningkatan kadar glukosa.
5) Pada pemasanagn kateter lakukan perawatan perineal yang baik.
R/ mengurangi resiko terjadinya infeksi saluran kemih.
31

6) Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh,


masasse daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen
tetap kering dan kencang.
R/ menghindari kerusakan pada kulit yaitu iritasi kulit dan infeksi
pada sirkulasi perifer.
7) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik dan pemeriksaan
laboratorium.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual (penglihatan,
pendengaran) b/d Perubahan kimia endogen (ketidakseimbangan
glukosa-insulin dan elektrolit).
HYD: pasien dapat mengkonsumsi adanya kerusakan sirkulasi.
Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital dan status mental
R/ sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti
suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2) Kaji status persepsi penglihatan / pendengaran dan test melihat
objek seperti jari tangan, test visus dengan snellen card, test
berbisik atau test garputalla (kalau memungkinkan).
R/ untuk mengkaji status persepsi pasien.
3) Buat jadwal intervensi keperawatan bersama pasien agar tidak
mengganggu waktu istirahat paisen.
R/ meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih dan dapat
memperbaiki daya piker.
4) Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi dan secara
bertahap dinaikan derajatnya.
R/ meningkatkan keamanan pasien untuk beraktivitas. Aktivitas
dapat meningkatkan sirkulasi dan fungsi jantung.
32

5) Berikan tempat tidur yang lembut : pelihara kehangatan kaki /


tangan. Hindari terpajan tehadap air panas atau dingin atau
penggunaan bantalan / pemanas.
R/ meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan
kerusakan kulit karena panas.
6) Pantau pemasukan elektrolit melalui makanan maupun minuman
seperti buah pisang, makanan yang mengandung garam.
R/ meningkatkan eksitasi persarafan dan mencegah kelebihan
elektrolit seperti natrium yang berdampak pada peningkatan
ikatan cairan.
7) Selidiki adanya keluhan parastesia nyeri, atau kehilangan sensori
pada paha atau kaki. Lihat adanya ulkus, daerah kemerahan,
tempat-tempat tertekan, kehilangan denyut nadi perifer.
R/ neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang
berat, kehilangan sensasi sentuhan / distorsi yang mempunyai
resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan
keseimbangan.
8) Pantau nilai labiatorium, seperti glukosa darah, osmolalitas darah,
Hb / Ht, ureum kreatinin.
R/ ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan
fungsi mental.
e. Kelelahan b/d Penurunan produksi energi metabolik atau peningkatan
kebutuhan energi.
HYD: pasien dapat menunjukkan dan memperbaiki kemampuan
aktivitas yang diinginkan.
Intervensi:
1) Diskusikan dengan pasien kebutuhan aktivitas, misalnya duduk di
tempat tidur atau berjalan kekamar madi.
33

R/ meningkatkan motivasi dan partisipasi untuk dapat mencapai


kebutuhan aktivitas.
2) Buat jadwal perencanaan dengan pasien dan indikasi aktivitas yang
menimbulkan kelelahan.
R/ aktivitas akan lebih terarah dan menghindari kelelahan yang
berlebihan.
3) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup /
tanap diganggu.
R/ memberikan kesempatan untuk mencukupkan produksi energi
untuk aktivitas.
4) Pantau nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah sebelum /
sesudah melakukan aktivitas.
R/ mengindikasikan tingkat pemenuhan energi dan tingkat
aktivitas. Bila kebutuhan lebih besar dari yang tersedia maka
secara klinis nadi mengalami penurunan, napas cepat,
penurunan tekanan darah.
5) Pantau aktivitas pasien dan jumlah bahan energi yang masuk.
R/ aktivitas yang tidak sesuai dengan jumlah energi yang dapat
meningkatkan kelelahan.
6) Tekankan pentingnya mempertahankan periksa gula darah setiap
hari.
R/ membantu menciptakan gambaran nyata dari produksi energi
metabolik dan unsur glukosa.
f. Kerusakan integritas kulit b/d perubahan status metabolik atau
kerusakan sirkulasi.
HYD: kerusakan integritas berkurang
1) Kaji kondisi luka pada jaringan pasien (terutama area kaki dan
punggung)
34

R/ mengidentifikasi tingkat metabolism jaringan dan tingkat


disintegritas.
2) Rendam kaki atau punggung (jika memungkinkan dengan ember
yang khusus) dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan
betadine (yang diencerkan) atau perhidrol 3 hati sehari selama 15
menit.
R/ membersihkan luka, efeketif untuk membantu penyembuhan
dan meningkatkan sirkulasi metabolik.
3) Rawat luka teknik steril dan kaji area luka setiap kali mengganti
balutan.
R/ mencegah peningkatan presentase mikroorganisme akibat
kelainan metabolik (glukosa tinggi) dan memberikan informasi
tentang efektifitas.
4) Balut luka dengan kasa steril.
R/ menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi silang.
5) Berikan 15 unit insulin humulan N, SC pada siang hari setelah
darah harian diambil.
R/ mengobati disfungsi metabolik yang mendasari menurunkan
hiperglikemia dan meningkatkan penyembuhan.
6) Kaji area luka setiap kali merawat luka dan mengganti balutan.
R/ mengidentifikasi tingkat sirkulasi pada luka.
g. Pola nafas tidak efektif b/d Asidosis metabolik
HYD: pola nafas kembali efektif
Intervensi:
1) Auskultasi pasu tiap 1 jam sampai stabil kemudian tiap 4 jam.
R/ mengidentifikasi tingkat pengembangan paru dalam memenuhi
ambilan oksigen.
35

2) Tinggikan bagian kepala tempat tidur untuk memudahkan


bernapas.
R/ mengurangi penekanan saat pengembangan paru oleh
diafragma.
3) Kaji frekuensi kedalaman pernapasan setiap 4 jam.
R/ peningkatan kedalaman pernapasan sebagai salah satu indikasi
peningkatan bendah keton dalam tubuh.
4) Anjurkan pasien banyak istirahat, hindari dari rangsangan
psikologi yang berlebihan seperti bicara yang keras.
R/ mengurangi tingkat penggunaan energi yang tidak banyak
diperoleh dari glukosa melainkan dari bendah keton.
5) Berikan glukosa lewat bolus / langsung intravena (jika diperlukan).
R/ mengurangi penggunaan bendah keton sebagai bahan
pembentukkan energi.
h. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d Tidak mengenal sumber informasi
HYD: pasien dapat mengungkapkan pemahaman tentang
penyakitnya.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien
dan keluarga tentang penyakitnya.
2) Berikan penjelasan kepada klien tentang penyakit dan kondisi
sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang klien
dan keluarga akan tenang dan mengurangi rasa cemas.
3) Berikan penjelasan tentang kadar glukosa normal, dan pentingnya
pemberian insulin.
36

R/ memberikan pengetahuan dasar kepada klien agar dapat


dipertimbangkan.
4) Tekankan pentingnya pemeriksaan gula darah setiap hari
R/ membantu menciptakan gambaran nyata tentang kondisi pasien
untuk melakukan kontrol penyakitnya.
5) Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makannya.
R/ diet dan pola makan dapat membantu proses penyembuhan.
6) Diskusikan bersama keluarga tentang faktor-faktor yang
memegang peranan kontrol DM.
R/ informasi ini akan meningkatkan pengendalian terhadap DM.
7) Anjurkan pasien untuk menghentikan rokok
R/ nikotin dapat memperlambat proses absorbsi insulin
8) Jelaskan komplikasi dari DM (akut dan kronis)
R/ kesadaran tentang apa yang terjadi membantu pasien untuk
lebih konsisten terhadap perawatannya dalam mencegah /
mengurangi perkembangan komplikasi jangka panjang.

4. Discharge Planning
Hal yang perlu dirancang, disampaikan dan diajarkan pada pasien dan
keluarga mengenai perawatan dan pengobatan lanjut dari pasien di rumah
atau rawat jalan antara lain:
a. Anjurkan kepada pasien untuk mengkonsumsi makanan rendah gula.
b. Anjurkan untuk mengikuti pola makan sesuai diet dari dokter.
c. Anjurkan untuk meminum obat secara teratur sampai habis.
d. Anjurkan untuk rutin mengontrol kadar gula satu kali dalam satu
minggu.
e. Anjurkan untuk tidak menggaruk daerah luka.
37

f. Ajarkan kepada pasien dan keluarga bagaiman cara merawat luka bila
ada luka.
g. Anjurkan pada keluarga agar memberi motivasi kepada pasien dalam
menjalani pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Andreas Pradipta, A. P., Anggi Widiaswati, A. W., Cornelia Indah Y, C. I. Y., Friska
Apriliyanti, F. A., Lakukua, M. F., Lakukua, M. F., … Ruth Maya S, R. M. S.
(2020). EFEK OLIVE OIL TOPICAL TERHADAP PERAWATAN LUKA
DIABETES MELITUS. DISS, Universitas Kusuma Husada Surakarta.v
Aryastami, N. K., & Tarigan, I. (2017). Kajian kebijakan dan penanggulangan
masalah gizi stunting di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 45(4), 233–
240. JOUR
Burnner and Suddarth . (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12, EGC,

Jakarta

Fatimah, R. N. (2015). Diabetes melitus tipe 2. Jurnal Majority, 4(5). JOUR.


Global, T. B. (2016). Report 2016. Methods Used by WHO to Estimate the Global
Burden of TB Disease, Glaziou P., Sismanidis C., Zignol M., Floyd K., Global
TB Programme, WHO, Geneva, Switzerland. JOUR. Group, I. D. F. D. A.
(2015). Update of mortality attributable to diabetes for the IDF Diabetes Atlas:
Estimates for the year 2013. Diabetes Research and Clinical Practice, 109(3),
461–465. JOUR.
International Diabetes Federation.IDF Diabetes Atlas Sixth Edition.(2015)

Kistianita, A. N., Yunus, M., & Gayatri, R. W. (2018). Analisis faktor risiko diabetes
mellitus tipe 2 pada usia produktif dengan pendekatan WHO stepwise step 1
38

(core/inti) di Puskesmas Kendalkerep Kota Malang. Preventia: The Indonesian


Journal of Public Health, 3(1), 85–108. JOUR.
Lathifah, N. L. (2017). Hubungan durasi penyakit dan kadar gula darah dengan
keluhan subyektif penderita diabetes melitus. Jurnal Berkala Epidemiologi,
5(2), 231–239. JOUR.
Prabowo, A., & Hastuti, W. (2015). Hubungan pendidikan dan dukungan keluarga
dengan kepatuhan diit pada penderita diabetes mellitus di wilayah Puskesmas
Plosorejo Giribangun Matesih Kabupaten Karanganyar. Jurnal Keperawatan
GSH, 4(2). JOUR
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.
Rovy, N. W. (2018). HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR YANG DAPAT
DIMODIFIKASI DENGAN KEJADIAN DIABETES MELITUS TIPE 2
PADA CALON JEMAAH HAJI DI KABUPATEN MAGETAN. DISS,
STIKES BHAKTI HUSADA MULIA.
SAFITRI, Y., & NURHAYATI, I. K. A. (2019). PENGARUH PEMBERIAN SARI
PATI BENGKUANG (Pachyrhizus Erosus) TERHADAP KADAR
GLUKOSA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II
USIA 40-50 TAHUN DI KELURAHAN BANGKINANG WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BANGKINANG KOTA TAHUN 2018. Jurnal Ners, 3(1), 69–
81. JOUR.
Saputri, E. G., Setiani, O., & Dewanti, N. A. Y. (2018). Hubungan Riwayat Pajanan
Pestisida Dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 Pada Petani Penyemprot Di
Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal), 6(1), 645–653. JOUR
Setyawati,A.D.,Ngo,T.H.L.,Padila,P.,&Andri,J.(2020).Obesity And Heredity for
Diabetes Melitus Among Elderly.JOSING:Journal of Nursing And
39

Health,1(1)26-31.https://doi.org/https://doi.org/https://doi.org/1031539/
josing.vill.1149
Sukmaningsih, W. R., Heru SubarisKasjono, S. K. M., & Werdani, K. E. (2016).
Faktor Risiko Kejadian Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas
Purwodiningratan Surakarta. DISS, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Wicaksono, A. P. (2015). Pengaruh pemberian ekstrak jahe merah (zingiber
officinale) terhadap kadar glukosa darah puasa dan postprandial pada tikus
diabetes. Jurnal Majority, 4(7), 97– 102. JOUR.

Anda mungkin juga menyukai