Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR PELVIS

Disusun Oleh
Meta Ria Ashari
(2019610073)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2023
BAB I
PEMBAHASAN
A. DEFINISI FRAKTUR PELVIS

Pelvis atau panggul terdiri dari tulang-tulang yang kuat, membentuk cincin dan terletak
pada dasar tulang belakang, di antara tulang belakang dan kaki. Tulang panggul sendiri
meliputi:

a) Sacrum (tulang segitiga besar di pangkal tulang belakang).


b) Tulang ekor (tulang ekor).
c) Tulang pinggul.

Patah pelvis merujuk adanya patah pada satu atau lebih dari tulang-tulang yang
membentuk panggul. Fraktur ini termasuk kondisi tidak umum dengan angka kejadian sekitar
3 persen di antara fraktur tulang lainnya pada orang dewasa. Patah tulang panggul adalah
putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi dan gangguan
struktur tulang dari panggul. Panggul adalah struktur seperti cincin, fraktur di salah satu bagian
struktur sering disertai dengan fraktur atau kerusakan ligamen pada titik lain dalam struktur
tersebut. Fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul, merupakan cedera akibat patah pada pelvis
yang dapat disebabkan oleh suatu trauma.

Risiko fraktur pelvis meningkat pada populasi lanjut usia, individu dengan dengan
riwayat densitas mineral tulang yang rendah, misalnya akibat osteoporosis, serta pada individu
dengan riwayat radiasi akibat kanker ginekologi. Kebiasaan kurang berhati-hati saat
berkendara, juga dapat meningkatkan risiko fraktur pelvis.

B. ETIOLOGI
Fraktur sering disebabkan oleh tekanan yang kuat pada tulang normal atau tekanan
yang sedang pada tulang yang terkena penyakit. Menurut Oswari E penyebab fraktur
adalah:
1. Kekerasan Langsung: Kekerasan langsung tepuklah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian firing bersifat fraktur terbuka dengan
garis pada melintang atau miring.
2. Kekerasan Tidak Langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah
tulang yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang
terjadi. Kekuatan dapat berupa penekukan dan pene

C. PATOFISIOLOGI

Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma, hantaman yang keras akibat kecelakaan
yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak
aturan atau terjadi diskontinuitas pada tulang tersebut.Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering
terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya karena periost yang melapisi tibia agak
tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah
dan karena berada langsung di bawah kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka.

D. KLASIFIKASI

Menurut (Sjamsuhidajat, 2012). fraktur dibagi menjadi 2 berdasarkan ada tidaknya


hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar yaitu:

a. Fraktur tertutup (closed) Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:

1) Tingkat 0: Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

2) Tingkat 1: Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

3) Tingkat 2: Fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.

4) Tingkat 3: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma
kompartement

Fraktur terbuka (open/compound fraktur). Dikatakan terbuka bila tulang yang patah
menembus otot dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derjat fraktur terbuka:

1) Derjat 1: Fraktu r terbuka dengan luk kulit kurang dari 1 cm dan bersih, kerusakan
jaringan minimal, biasanya dikarenakan tulang menembus kulit dari dalam. Konfigurasi fraktur
simple, transvers atau simple oblik.

2) Derjat 2: Fraktur terbuka dengan luka lebih dari 1 cm, tanpa ada kerusakan jaringan
lunak kontusio ataupun avulsi yang luas.

3) Derjat 3: Fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat
biasanya disebabkan oleh trauma yang hebat, dengan konfigurasi fraktur kominutif.
E. MANIFESTASI KLINIS

Fraktur Panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai organ-organ lain
di dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain

1.Nyeri

2. Pembengkakan

3. Deformitas

4. Perdarahan subkutan sekitar panggul

5. Hematuria

6. Perdarahan yang berasal dari vagina, uretra, dan rektal

7. Syok

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memantau


kehilangan darah yang sedang berlangsung.

b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau mikroskopik.

c. Tes kehamilan menunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi kehamilan
serta pendarahan sumber potensial (misalnya, perlindungan, absrupsio plasenta).

2.Pemeriksaan Pencitraan

a. Radiografi

Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan mampu menggambarkan
90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan trauma berat dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan panggul, serta
foto polos panggul yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur panggul dan
pemberian intervensi dini.

b. CT-Scan

CT scan merupakan pencitraan terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan derajat perdarahan
panggul, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga dapat dipastikan adanya dislokasi
pinggul yang terkait dengan fraktur acetabular.

c. MRI

MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur panggul bila dibandingkan dengan
radiografi polos (foto polos panggul).

d. Ultrasonografi

Sebagai bagian dari Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan
panggul harus divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun
studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk
mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur panggul.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. Pengkajian
a) Identitas
Biasanya dialami oleh usia tua, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat
dia alami oleh usia muda, jenis kelamin, dan juga ras juga dapat
mempengaruhi.
b) Keluhan utama
Kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi,
dan penurunan kesadaran pasien.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Stroke infark mendadak saat istirahat atau bangun pagi,
d) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung (terutama aritmia), penggunaan obat-obatan anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obesitas. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan
penyalahgunaan obat (kokain).
e) Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes mellitus, atau
adanya riwayat stroke pada generasi terdahulu.
f) Riwayat psikososial-spiritual
Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas
emosi dan pikiran klien dan keluarga. Perubahan hubungan dan peran terjadi
karena pasien kesulitan untuk berkomunikasi akibat sulit berbicara. Rasa cemas
dan takut akan terjadinya kecacatan serta gangguan citra diri
g) Kebutuhan
• Nutrisi: adanya gejala nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut,
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia ditandai
dengan kesulitan menelan, obesitas
• Eliminasi: menunjukkan adanya perubahan pola berkemih seperti inkontinensia
urine, anuria. Adanya distensi abdomen (distesi bladder berlebih), bising usus
negatif (ilius paralitik), pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus
• Aktivitas: menunjukkan adanya kesukaran untuk beraktivitas karena
kelemahan, mudah lelah, gangguan tonus otot.
• Istirahat klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri
otot

h) Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Respirasi (Breathing) :
Batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, serta perubahan kecepatan dan kedalaman pernafasan. Adanya
ronchi akibat peningkatan produksi sekret dan penurunan kemampuan
untuk batuk akibat penurunan kesadaran klien. Pada klien yang sadar baik
sering kali tidak didapati kelainan pada pemeriksaan sistem respirasi
b. Sistem Cardiovaskuler (Blood)
Dapat terjadi hipotensi atau hipertensi, denyut jantung irreguler.
c. Sistem neurologi
1) Tingkat kesadaran
Bisa sadar baik sampai terjadi koma. Penilaian GCS untuk menilai tingkat
kesadaran klien
d. Sistem perkemihan (Bladder) : terjadi inkontinensia urine
e. Sistem reproduksi
Hemiparese dapat menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan
f. Sistem endokrin: adanya pembesaran kelejar kelenjar tiroid
g. Sistem Gastrointestinal (Bowel) : adanya keluhan sulit menelan, nafsu makan
menurun, mual dan muntah pada fase akut. Mungkin mengalami
inkontinensia alvi atau terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi

(SLKI) (SIKI)

Gangguan Mobilitas Fisik 1.Mobilitas Fisik 1. Dukungan Ambulasi

a. Nyeri menurun a. Identifikasi keluhan fisik lainnya.

b. Kecemasan menurun b.Identifikasi toleransi fisik


melakukan ambulasi.
c. Gerakan terbatas menurun
c. Jelaskan tujuan dan prosedur
d. Kelemahan fisik menurun ambulasi.

d. Anjurkan melakukan ambulasi


dini.

E.Ajarkan ambulasi sederhana yang


harus dilakukan (mis.Berjalan dari
tempat tidur ke kursi roda,berjalan
dari tempat tidur ke kamar
mandi,berjalansesuaitoleransi).

2. EdukasiTeknikAmbulasi

a. Identifikasi kesiapan dan


kemampuan menerima informasi.

b. Sediakan materi, media dan alat


bantu jalan (mis. tongkat, walker,
kruk)

c. Jadwalkan pendidikan kesehatan


sesuai kesepakatan.

d. Jelaskan prosedur dan tujuan


ambulasi tanpa alat bantu.

e. Anjurkan menggunakan alas kaki


yangmemudahkan berjalan dan
mencegah cedera

f. Ajarkan duduk di tempat tidur, di


sisi tempat tidur (menjuntai), atau di
kursi, sesuai toleransi

g. Ajarkan berdiri dan ambulasi


dalam jarak tertentu
Rencana Asuhan Keperawatan

SDKI (PPNI, 2017) Kriteria Hasil bersadarkan SIKI (PPNI, Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi
Tindakan Keperawatan), 2018)
SLKI (PPNI,2019)

Gangguan Mobilitas Fisik Penyebab: Setelah dilakukan asuhan Pembidaian


keperawatan … x 24 jam
 Kerusakan integritas struktur tulang diharapkan mobilitas fisik Observasi
meningkat dengan kriteria
 Perubahan metabolism hasil:  Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (mis. fraktur,
dislokasi)
 Ketidakbugaran fisik Mobilitas Fisik
 Penurunan kendali otot  Monitor bagian distal area cedera (mis. Pulsasinadi, pengisian
 Pergerakan ektremitas
meningkat kapiler, gerakan motorik dan sensasi)
 Penurunan massa otot
 Kekuatan otot meningkat  Monitor adanya perdarahan pada area cedera
 Penurunan kekuatan otot
 Rentang gerak (ROM)  Identifikasi material bidai yang sesuai (mis. Lurusdan keras,
 Program pembatasan gerak meningkat panjang bidai melewati dua sendi)
 Nyeri
  Nyeri menurun Terapeutik
Gejala & Tanda Mayor Subjektif  Kecemasan menurun  Tutup luka terbuka dengan balutan
 Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas  Kaku sendi menurun
Objektif  Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Kekuatan otot menurun menurun  Minimalkan pergerakan, terutama pada bagianyang cedera

 Rentang gerak (ROM) menurun  Gerakan terbatas menurun  Berikan bantalan (padding) pada bidai

Gejala & Tanda Minor Subjektif  Kelemahan fisik menurun  Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cedera
 Nyeri saat bergerak  Topang kaki menggunakan penyangga kaki(footboard), jika
tersedia
 Enggan melakukan pergerakan
Manajemen nyeri
 Merasa cemas saat bergerak
Observasi
Objektif

 Sendi kaku  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri
 Gerakan tidak terkoordinasi  Gerakan
terbatas  Identifikasi skala nyeri

 Fisik lemah  Identifikasi respons nyeri non verbal

 Identifikasi faktor yang memperberat danmemperingan nyeri

 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentangnyeri.

Terapeutik

 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangirasa nyeri

 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri

 Fasilitasi istirahat dan tidur


4. Implementasi Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan tindakan
kolaborasi.

5. Evaluasi Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan aktivitas
yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika pasien dan professional kesehatan
menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan
keperawatan. Evaluasi ini akan mene ntukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri,
dilanjutkan ataupun dirubah.
DAFTAR PUSTAKA

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatab Indonesia (Definisi dan Indikator Diagnostik).
Jakarta : DPP PPNI

PPNI. (2018). Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi Tindakan Keperawatan).


Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan . Jakarta : DPP PPNI

Sumber Internet diakses pada 24 Januari 2023 :

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id

Anda mungkin juga menyukai