Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

KEPANITERAAN KLINIK
RADIOLOGI
APPENDISITIS AKUT

Disusun oleh:
Michael Geraldi Lokanta
(01073210125)

Pembimbing:
dr. Brian Lucas, SpRad., B.Med.Sc

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE FEBRUARI 2022
TANGERANG
DAFTAR ISI

PRESENTASI KASUS............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................................3
BAB 2......................................................................................................................................9
2.1. Definisi.........................................................................................................................9
2.2. Epidemiologi..............................................................................................................10
2.3. Etiologi.......................................................................................................................10
2.4. Faktor Resiko..................................................................................................................11
2.5. Patofisiologi...............................................................................................................11
2.6. Manifestasi klinis.......................................................................................................12
2.7. Komplikasi.................................................................................................................14
2.8. Diagnosis....................................................................................................................15
2.9. Diagnosis banding.....................................................................................................18
2.10. Tatalaksana.............................................................................................................18
BAB 3....................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB 1
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bpk. K
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 57 Tahun
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : -
Pendidikan :-
Alamat: -
No rekam medis : SHLV-00-12-98-XX
Tanggal masuk rumah sakit : 1 Desember 2019

1.2. ANAMNESIS

Anamnesis diperoleh dari pemeriksaan rekam medis pasien.

1.2.1. Keluhan utama

Perut begah sejak 1 hari yang lalu

1.2.2. Riwayat penyakit sekarang

Pasien Bapak K berusia 57 tahun, datang ke Siloam Hospital Lippo Village dengan keluhan
perut begah seperti terbakar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai adanya nyeri di
ulu hati dengan skala nyeri 6/5. Nyeri tersebut terjadi setelah makan. Pasien mengaku
nyerinya terasa hebat lalu menghilang setelah diberi obat Pethidine. Selain itu pasien juga
mengaku sering bersendawa. Pasien juga mengeluh mual selama 1 hari sebelum masuk
rumah sakit namun tidak muntah. Pasien mengatakan ia susah tidur dan kadang disertai
jantung berdebar. Pasien menyangkal adanya keringat dingin, demam, batuk, sesak napas
maupun nyeri dada. Pasien juga tidak memiliki kesulitan BAB maupun BAK.
Riwayat penyakit dahulu

Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit jantung koroner serta hipertensi pada tahun 2015.
Pasien telah menjalani operasi coronary artery bypass graft (CABG) di Singapura pada tahun
2015. Setelah menjalani operasi, pasien rutin mengkonsumsi obat-obatan di antaranya adalah
Plavix (Clopidogrel), Herbesser (Diltiazem), dan Crestor (Rosuvastatin). Namun pada saat
datang ke rumah sakit pada tanggal 1 Desember 2019, obat-obatan tersebut tidak dibawa.
Pasien menyangkal riwayat paru, kencing manis, maupun kolesterol tinggi.
1.2.3. Riwayat keluarga

Pasien menyangkal adanya riwayat keluhan serupa pada keluarga pasien.

1.2.4. Riwayat sosial / kebiasaan / pola hidup


Pasien menyangkal adanya riwayat merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan NAPZA
sebelumnya.
1.2.5. Riwayat alergi

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi sebelumnya.

1.2.6. Riwayat penggunaan obat

Pasien memiliki riwayat pengobatan rutin berupa Clopidogrel, Diltiazem, dan Rosuvastatin.
Pasien tidak membawa obat ketika berkunjung ke rumah sakit

1.3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : E4M6V5
Berat badan : 76 kg
Tinggi badan :160 cm
IMT : 29.69 kg (overweight)
TTV
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 78x/menit regular
Pernapasan : 18 x/menit room air
Suhu : 36.0oC
Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil regular (+/+), isokor 2 mm, RCL
(+/+), RCTL (+/+)
THT : Deviasi septum (-), rhinorhea (-), otorhea (-)
Leher : Deformitas (-), pembesaran KGB (-)
Thorax : Pergerakan dinding dada simetris, deformitas (-)
Paru : Simetris statis dinamis, vesikular (+/+), penurunan suara napas pada basal (-/-),
ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : Ictus cordis tidak terlihat, S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-), EKG : Sinus
bradikardia pada LAD, Aritmia V3-V6
Abdomen : Cembung, bising usus (+), nyeri tekan epigastrik non-tender (+), shifting
dullness (-)
Punggung : Deformitas (-), massa (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-/-), pitting edema tungkai (-/-)
Neurologis : pemeriksaan neurologis dalam batas normal

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Radiologi

CT WHOLE ABDOMEN NON-CONTRAST (02/12/2019)


Gambar 1.1. CT Abdomen Non-Contrast (02/12/2019)

CT WHOLE ABDOMEN WITH CONTRAST (02/12/2019)

Gambar 1.2. CT Abdomen With Contrast (02/12/2019)

Temuan:

● Tidak tampak trombus pada arteri mesenterica


● Thrombus pada vena mesenterica inferior hingga vena rektosigmoid
● Hydrops kandung empedu dengan sludge KE
● Suspek Appendicitis Chronic

● Fecal material prominent pada regio ileo-cecal

● Kista simpleks pada cortex pole atas ginjal kiri diameter +/- 0.61 cm
dan pole bawah ginjal kanan diameter +/- 2.92 cm

● Lymphadenopathy mesentrial pada abdomen tengah diameter +/- 0.5-


0.9 cm

● Hipertrofi prostat volume +/- 57.2 mL

● Fraktur kompresi corpus vertebra Th12

● Fibrosis pada basal paru bilateral

1.5. RESUME

Pasien laki-laki berusia 57 tahun datang dengan keluhan perut begah seperti terbakar sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit disertai adanya nyeri di ulu hati dengan skala nyeri 6/5.
Nyeri tersebut terjadi setelah makan. Pasien mengaku nyerinya terasa hebat lalu menghilang
setelah diberi obat Pethidine. Selain itu pasien juga mengaku sering bersendawa. Pasien juga
mengeluh mual selama 1 hari sebelum masuk rumah sakit namun tidak muntah. Pasien
mengatakan ia susah tidur dan kadang disertai jantung berdebar. Pasien mengaku memiliki
riwayat penyakit jantung koroner serta hipertensi pada tahun 2015. Pasien telah menjalani
operasi coronary artery bypass graft (CABG) di Singapura pada tahun 2015. Setelah
menjalani operasi, pasien rutin mengkonsumsi obat-obatan di antaranya adalah Plavix
(Clopidogrel), Herbesser (Diltiazem), dan Crestor (Rosuvastatin). Namun pada saat datang ke
rumah sakit pada tanggal 1 Desember 2019, obat-obatan tersebut tidak dibawa. Pasien
memiliki riwayat pengobatan rutin berupa Clopidogrel, Diltiazem, dan Rosuvastatin. Pasien
tidak membawa obat ketika berkunjung ke rumah sakit. Pemeriksaan fisik menunjukkan
pasien tampak sakit ringan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pasien memiliki
berat badan 76 kg, tinggi badan 160 cm (IMT = 29.69). Pemeriksaan generalis menunjukkan
pasien dalam keadaan normal. Pemeriksaan abdomen menunjukkan adanya nyeri tekan
epigastrik non tender. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan
sedimentasi eritrosit, peningkatan kolesterol, peningkatan CK-MB, dan hipernatremia. Selain
itu, ditemukan juga peningkatan protein c-reaktif serta peingkatan hormon procalcitonin.
Pemeriksaan CT scan dengan kontras abdomen (02/12/21) menunjukkan adanya suspek
apendisitis kronik.

1.6. DIAGNOSIS KERJA


GERD
Colic abdomen
Riwayat CAD post CABG

1.7. DIAGNOSIS BANDING

Suspek NSTEMI

1.8. TATALAKSANA

1.8.1. Non-medikamentosa:
Admisi rawat inap
Head of bed (HOB) position
Monitor tanda-tanda vital pasien
Cairan maintenance NS 100 mL/8 jam
Rujuk ke dokter Sp.JP atas kecurigaan penyakit jantung
Rujuk ke dokter bedah untuk kemungkinan tatalaksana bedah
1.8.2. Medikamentosa:
Clopidogrel 75 mg
Rosuvastatin 20 mg
Diltiazem 100 mg
Lansoprazole 30 mg
Sucralfate 1g

1.9. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Definisi
Appendisitis merupakan inflamasi yang terjadi pada struktur appendix
vermiformis. Appendix vermiformis merupakan suatu projeksi yang keluar dari
struktur anatomi apex cecum. Penyakit ini merupakan penyakit emergensi abdomen
yang sering terjadi. Meskipun demikian, appendisitis bisa menyerang pada umur
berapapun. (1)
2.2. Epidemiologi
Insiden apendisitis lebih sering terjadi di negara barat. Meskipun insidennya
semakin menurun dari tahun ke tahun tanpa alasan yang jelas, apendisitis akut tetap
merupakan keadaan emergensi abdomen akut yang paling sering.(2) Kejadian kasar
apendisitis di Amerika Serikat pada semua kelompok usia adalah 7 sampai dengan 10
per 10.000 individu per tahun. Angka insiden ini tidak jauh berbeda di negara
berkembang. Angka kejadian apendisitis 10 kali lebih rendah di negara-negara miskin
di benua Afrika, namun belum dapat diketahui penyebabnya.(1,2)
Angka kejadian apendisitis terbanyak terjadi pada rentang usia antara 10
sampai dengan 20 tahun dengan risiko mengalami appendisitis seumur hidup untuk
pria sebesar 8,6% dan wanita sebesar 6,7% untuk pria dan wanita. Meskipun resiko
terkena apendisitis pada pria lebih tinggi, wanita memiliki risiko seumur hidup yang
lebih tinggi menjalani apendektomi (23,1% versus 12,0%). Gadis remaja (usia 12-16)
adalah kelompok dengan risiko terbesar untuk apendektomi. (3) Kejadian penyakit
appendisitis diketahui lebih tinggi kejadiannya pada individu yang mempunyai
riwayat keluarga dengan appendisitis. (1)
2.3. Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi lumen apendiks. Secara umum,
obstruksi lumen appendix viriformis terjadi karena : (4–6)
- Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
- Adanya appendicolith (batu appendix).
- Adanya benda asing seperti biji – bijian.(biji jeruk, dll).
- Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
- tumor apendiks seperti tumor karsinoid, adenokarsinoma apendiks
- Edema mukosa disertai dengan infeksi virus atau bakteri
yersinia,salmonella,shingella.
- parasit usus
Meskipun demikian, etiologi yang tepat dari apendisitis akut tidak diketahui.
Ketika lumen apendiks tersumbat, bakteri menumpuk di apendiks dan menyebabkan
peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan abses. Apendiks sendiri
mengandung kombinasi bakteri aerob dan anaerob , termasuk Escherichia coli dan
Bacteroides spp.(6)
Selain itu, anatomi appendix viriformis yang abnormal juga dapat
menghamabat lumen apendiks. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut. Beberapa abnormalitas struktur appendiks yang beresiko
untk terjadinya apendisitis, yaitu : (5)
- Appendiks yang terlalu panjang.
- Appendiks yang pendek.
- Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
- Kelainan katup di pangkal appendiks.

2.4. Faktor Resiko


Kebiasaan makanan rendah serat menjadi salah satu faktor resiko terjadinya
appendisitis. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut. Selain makanan rendah
serat, adanya sumbatan seperti fekalit, infeksi bakteri pada appendiks, serta riwayat
keluarga dengan apendisitis juga merupakan faktor resiko dari apendisitis.(7,8)
2.5. Patofisiologi
Penyebab pasti appendisitis masih kontroversial. Teori paling umum yang
diketahui menjadi dasar patofisiologi appendisitis yaitu adanya obstruksi lumen
appendiks dikarenakan fecalith, tumor, atau benda asing yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan intraluminal yang meningkat, iskemia, infeksi bakterial, dan
inflamasi. Lumen yang tersumbat menyebabkan drainase dari appendiks tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Sementara itu, sekresi mukus terus menerus terjadi
sehingga tekanan di dalam lumen meningkat. Tekanan intraluminal yang meningkat
di appendiks menyebabkan aliran darah ke mukus menurun. Aliran darah yang
menurun tersebut menyebabkan appendiks dalam keadaan hipoksia. Mukus kemudian
mengalami ulserasi dan menyebabkan appendiks rentan terhadap infeksi bakteri atau
mikrobial lain. Infeksi ini disertai dengan inflamasi dan edema di regio kanan bawah
abdomen penderita. Inflamasi bisa melibatkan appendiks di bagian distal maupun
secara keseluruhan anatomisnya. Gangrene muncul dari thrombosis di pembuluh
darah lumen dan biasanya diikuti dengan perforasi.(7,9)
2.6. Manifestasi klinis
A. Gejala Klinis
Gejala appendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, diawali dengan
anoreksia yang diikuti dengan nyeri perut pada pasien. Gejala klasik appendisitis akut
umumnya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Dalam 12
sampai 24 jam nyeri tersebut bermigrasi ke kuadran dextra inferior abdomen
(McBurney point) dan akan semakin progresif.(2,10) Nyeri yang dirasakan menetap
dan diperberat bila pasien berjalan atau batuk.(10)
Keluhan klasik lain yang menyertai pasien apendisitis yaitu malaise, dan
demam yang tidak terlalu signifikan. Suhu tubuh biasanya naik sampai 38oC, tetapi
pada keadaan perforasi suhu tubuh meningkat mencapai >39oC. Selain kenaikan
suhu, terdapat gejala konstipasi yang kadang-kadang disertai diare, muntah dan mual.
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi (konstipasi hebat) pada awal nyeri perut
dan nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak.(2,10) Kadangkala nyeri epigastrik tidak ditemukan tetapi
terdapat konstipasi sehingga pasien merasa perlu mengonsumsi obat pencahar.
Padahal, tindakan tersebut dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya
perforasi.(8)
Mual dan muntah juga merupakan gejala appendicitis yang signifikan.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Urutan munculnya gejala
appendisitis ialah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah terjadi
sebelum nyeri perut, maka diagnosisnya cenderung mengarah pada penyakit
gastroenteritis.(2,10)
Bila letak appendiks retrosekal maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Posisi apendisitis retrosekal dapat
diketahui melalui keberadaan nyeri di punggung, antara costa 12 dan spina iliaca
posterior superior. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.(8)
Appendiks yang terletak di posisi pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau nyeri rektal sehingga otot peristaltik
meningkat, pengosongan rektum menjadi lebih cepat dan repetitif. Jika appendiks
menempel ke kandung kemih, bisa terjadi peningkatan frekuensi kencing yang
disebabkan rangsangan dindingnya.(8)
Sayangnya, dikarenakan kebanyakan kasus memiliki gejala klinis yang tidak
khas dan seringkali tidak jelas. Diagnosa apendisitis sulit diidentifikasi pada orang
lanjut usia dan anak-ank. Pada golongan lanjut usia, gejala klinis mungkin tidak
muncul sampai perforasi masif muncul. Begitu pula dengan anak, gejala awal
appendisitis akut pada anak hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak
mampu menggambarkan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam, akan timbul gejala
muntah-muntah dan anak akan menjadi letargi. Karena gejala yang tidak khas,
appendisitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90 % appendisitis
baru diketahui setelah terjadi perforasi.(8)
Keluhan utama appendisitis pada ibu hamil ialah nyeri perut, muntah, dan
mual. Pada kehamilan trimester pertama sering terjadi mual dan muntah. Setelah
trimester pertama, posisi sekum terdorong ke arah kraniolateral sehingga posisi
appendiks juga berubah. Keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih
ke regio lumbal kanan.(8)

B. Tanda Klinis
Terdapat beberapa manuver diagnostik untuk menentukan adanya appendisitis, yaitu:
(2,11)
 Rovsing’s Sign, positif jika palpasi pada kuadran kiri bawah abdomen
menyebabkan nyeri di kuadran kanan bawah abdomen
 Blumberg Sign, positif jika nyeri dirasakan saat pelepasan palpasi pada
daerah abdomen. Tes positif menandakan adanya peritonitis
 Psoas Sign, positif jika dokter mengekstensikan sendi panggul kanan dan
menyebabkan rasa nyeri di sepanjang posterolateral punggung dan
panggul. Tes positif menandakan lokasi apendisitis di retrosekal
 Obturator Test, positif jika nyeri dirasakan pasien saat dokter melakukan
rotasi internal sendi panggul pasien. Tes positif menandakan lokasi
apendisitis di pelvis
 Dunphy’s sign, positif jika nyeri abdomen meningkat Ketika batuk
2.7. Komplikasi
Komplikasi dari apendisitis adalh sebagai berikut : (1,11)
 Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Terdapat massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan  berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
 Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga abdomen. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama sel polimorfonuklear (PMN). Perforasi ini dapat menyebabkan
peritonitis.
 Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Timbulnya peritonitis umum
terjadi apabila infeksi tersebar luas pada permukaan  peritoneum. Appendiks menjadi
tempat singgah bakteri dan berkontribusi dalam perkembangan penyakit appendisitis.

2.8. Diagnosis
A. Laboratorium
Tes laboratorium tidak dapat mengidentifikasi apendisitis pada pasien tetapi
berguna dalam menyingkirkan diagnosis banding. Sebagai contoh, pemeriksaan urin
bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih. Walaupun
dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica
urinaria akibat berbatasan dengan apendiks yang inflamasi, pada appendisitis akut
hasil kultur urine tidak akan ditemukan bakteriuria.(2,8)
70% pasien apendistis akut tanpa komplikasi menunjukkan adanya
leukositosis ringan hingga moderat yang berkisar antara 10.000-18.000/mm2.
Leukositosis yang predominan adalah sel polimorfonuklear (neutrofil). Leukositosis
yang > 18.000/mm2 cenderung menandakan adanya komplikasi pada kasus
apendisitis. (8,10)
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat
antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Peningkatan CRP dapat menjadi indikator adanya
apendistis dengan komplikasi. (8)

B.Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis appendisitis
akut, tetapi bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti obstruksi
ileus, perforasi viskus, ataupun ureterolitiasis. Adanya fecalith yang terlihat pada foto
polos sangat mendukung diagnosis. Meskipun keberadaannya jarang ditemukan di
foto polos.(2,8)
USG cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis appendisitis.
Kelemahannya, efektifitas USG sangat bergantung pada keahlian operator.
Pemeriksaan USG sebagai alat diagnosa apendisitis secara keseluruhan memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 81%.(2) Biasanya USG dilakukan khususnya untuk
melihat keadaan kuadran kanan bawah abdomen atau nyeri pada pelvis dari pasien
anak atau wanita. Temuan USG yang biasanya menandakan apendisitis berupa
adanya peradangan serta penebalan pada dinding appendiks yang menyebabkan
ukuran appendiks membesar dari normalnya (diameter 6 mm), peningkatan
ekogenisitas lemak peri-apendiks, dan adanya cairan bebas. Pasien dengan obesitas,
peritonitis, serta wanita hamil.(6,8)
CT scan menjadi modalitas paling akurat untuk mendiagnosis apendisitis
dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 95%.(2) Temuan CT scan yang biasanya
menandakan apendisitis berupa penebalan dinding apendiks, peningkatan diameter
apendiks > 5 mm, peningkatan densitas pada lemak periapendiks, penebalan
mesoapendiks, dan adanya cairan bebas. Meskipun CT scan lebih akurat, CT scan
lebih mahal daripada USG. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT scan
dihindari pada pasien anak dan Wanita hamil. Selain itu, CT scan dilaksankan
terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk melakukan percutaneous
drainage karena CT scan lebih akurat dalam pemeriksaan radiologi.(6,8)
Meskipun MRI dapat memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendiagnosis apendisitis, MRI merupakan modalitas radiologi yang jauh lebih mahal
serta membutuhkan tenaga kerja yang handal. MRI untuk mendiagnosa apendisitis
biasanya terbatas pada kelompok populasi tertentu, contohnya ibu hamil yang
diamana posisi apendisitis sulit ditentukan dengan USG.(6,10)

C. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mencegah komplikasi appendisitis Perlu penegakan diagnosis yang
tepat dan sedini mungkin. Diagnosis appendisitis ditegakkan berdasarkan penilaian
klinis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penegakan diagnosis juga dapat dibantu dengan menggunakan sistem skoring.(2)
Standar baku emas penegakan diagnosis appendisitis melalui pemeriksaan
histopatologi. Akan tetapi hal tersebut baru dapat dilakukan setelah tindakan
appendektomi. Sistem skoring seperti ALVARADO score RIPASA menjadi pilihan
yang mudah, tidak menghabiskan biaya, serta tidak menyebabkan paparan radiasi.
(12,13)
Skor Alvarado merupakan salah satu sistem skoring yang sering digunakan.
Namun, dikarenakan Rendahya sensitivitas skor Alvarado dalam menskrining
appendisitis pada populasi Asia, terdapat sebuah sistem skor baru yakni skor Raja
Isteri Pengiran Anak Saleha Appendisitis (RIPASA) yang memiliki sistem skoring
lebih banyak bila dibandingkan dengan skor Alvarado.(13)

Tabel 1. Sistem Skoring Alvarado


Komponen Skor
Gejala
    Migrasi nyeri ke kuadran kanan bawah 1
    Anoreksia 1
    Mual atau muntah 1
Tanda
    Nyeri tekan kuadran kanan bawah (terutama pada
2
area McBurney’s)
    Nyeri lepas tekan (rebound tenderness) 1
    Peningkatan suhu oral ≥ 37,30C 1
Laboratorium
    Leukositosis >10.000/mm3 2
    Pergeseran ke kiri hitung jenis leukosit (neutrophil,
1
> 75%)
Interpretasi skor Alvarado adalah sebagai berikut :
 0-4 : kemungkinan bukan appendicitis (not likely)
 5-6 : Kemungkinan appendisitis (compatible)
 7-8 : Kemungkinan besar appendisitis (probable)
 9-10 : Pasti appendisitis (very probable)

Dari skor Alvarado, pasien disarankan untuk dilakukan apendektomi jika skor
≥7. Pasien disarankan untuk observasi dan dilakukan evaluasi ulang setiap 4 atau 6
jam Jika skor 5-6. Pasien dapat dipulangkan atau kemungkinan penyakit lain harus
dipikirkan jika skor <5.(12)

Tabel 2. Skor RIPASA(13)


Komponen Skor
Identitas pasien  
    Perempuan 0,5
    Usia < 39,9 tahun 1
    Usia > 40 tahun 0,5
Gejala  
    Nyeri kuadran kanan bawah 0,5
    Migrasi nyeri ke kuadran kanan bawah 0,5
    Anoreksia 1
    Mual dan muntah 1
    Durasi gejala < 48 jam 1
    Durasi gejala > 48 jam 0,5
Tanda  
    Nyeri tekan kuadran kanan bawah 1
    Defans 2
    Nyeri lepas tekan 1
    Tanda Rovsing 2
    Demam > 37 C <39  C
0 0
1
Pemeriksaan penunjang  
    Peningkatan leukosit 1
    Analisis urin negatif* 1
Skor tambahan  
    Kartu tanda penduduk asing 1
Interpretasi dari sistem skor RIPASA ialah(13) :
 Skor < 5 : Kemungkinan diagnosis bukan appendisitis. Observasi 1 atau 2 jam kemudian.
Apabila nilai berkurang pasien tidak gawat darurat.
 Skor 5 – 7 : Kemungkinan kecil appendisitis. Observasi 1 atau 2 jam kemudian, imaging, dan
konsultasi dengan dokter spesialis bedah.
 Skor 7,5 – 11,5 : Kemungkinan besar appendisitis. Observasi 1 atau 2 jam kemudian,
imaging, dan konsultasi dengan dokter spesialis bedah.
 Skor > 12 : Pasti appendisitis. Segera rujuk untuk tindakan appendektomi

2.9. Diagnosis banding


Presentasi klinis yang bervariasi serta insiden yang cukup umum
menyebabkan diagnosa apendisitis harus dimasukkan dalam diagnosis banding
seluruh pasien dalam kelompok usia apapun yang mengeluhkan nyeri perut kecuali
jika sudah pasti bahwa organ tersebut sebelumnya telah diangkat.(2,8,10) Ketiadaan
keluhan migrasi nyeri, nyeri perut kanan bawah, demam, atau tahanan pada abdomen
membuat kemungkinan diagnosis apendisitis menjadi kurang mungkin. Diketahui
bahwa 10 sampai 20% pasien dengan kecurigaan apendisitis memiliki pemeriksaan
negatif pada laparotomi atau diagnosis bedah alternatif lainnya. Penggunaan
ultrasonografi dan CT telah sangat berperan mengurangi jumlah diagnosis yang salah
hingga <2%.(11)
Penyakit paling umum yang menjadi diagnosa banding apendisitis adalah
gastroenteritis dan gangguan ginekologi. Gastroenteritis virus umumnya datang
dengan gejala mual, muntah, demam ringan, dan diare sehingga bisa menjadi penyulit
dalam mendiagnosa apendisitis. Bila muntah terjadi sebelum nyeri perut, maka
diagnosisnya cenderung mengarah pada penyakit gastroenteritis. Selain itu, nyeri
perut pada kasus gastroenteritis bersifat difusa dan kurang terlokalisir dengan baik.
Salpingitis akut atau abses tubo-ovarium harus dipertimbangkan pada remaja, Wanita
yang aktif secara seksual dengan demam dan nyeri perut atau pelvis bilateral. Kista
ovarium terpuntir juga dapat menyebabkan nyeri hebat mendadak. Nyeri mendadak
perut bagian bawah di tengah siklus menstruasi merujuk pada penyakit
mittelschmerz. Nyeri perut berat yang mendadak disertai dengan nyeri panggul yang
difus dan syok merujuk pada penyakit ruptur kehamilan ektopik. Apendisitis
retrosekal atau retroileal memiliki temuan klinis yang sering dikelirukan dengan kolik
ureter atau pielonefritis.(11)
Beberapa diagnosis banding lainnya lain yang mungkin menyerupai
apendisitis meliputi divertikulitis, meckel diverticulitis, karsinoid apendiks, perforasi
akibat kanker kolon, ileitis Crohn, perforasi akibat ulkus peptikum, kolesistitis, dan
adenitis mesenterium. Hampir tidak mungkin untuk dapat membedakan apendisitis
dari divertikulitis Meckel, beruntungnya kedua penyakit ini memerlukan perawatan
bedah.(2,10,11)

2.10. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
 Penanggulangan konservatif (11)
Antinyeri dapat diberikan jika pasien mengeluhkan nyeri yang hebat,
terutama setelah pemeriksaan abdomen pertama sebelum pemberian terapi
farmakologis.
Sebelum operasi, pasien harus diberikan antibiotik spektrum luas
dengan cakupan efek antimikroba pada bakteri gram negatif dan anaerobik
untuk mengurangi kejadian infeksi pasca operasi. Regimen intravena
praoperasi yang direkomendasikan termasuk cefoxitin atau cefotetan 1-2 g
setiap 8 jam; ampisilin-sulfabaktam 3 g setiap 6 jam; atau ertapenem 1 g
sebagai dosis tunggal.
Sekitar 80-90% pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi yang
diobati dengan antibiotik saja selama 7 hari mengalami perbaikan. Maka dari
itu, manajemen konservatif dengan antibiotik saja dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan apendisitis tanpa perforasi dan kontraindikasi bedah atau
dengan preferensi yang kuat untuk menghindari pembedahan. Meskipun
demikian, apendektomi umumnya masih direkomendasikan pada sebagian
besar pasien untuk mencegah apendisitis berulang (20-35% dalam 1 tahun).
 Operatif(11)
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas maka segera dilakukan
appendektomi. Terdapat 2 metode apendektomi, yaitu secara laparoskopi dan
secara laparotomi terbuka. Pendekatan laparoskopi secara keseluruhan lebih
disukai daripada laparotomi terbuka. Insisi yang sedikit membuat pasien lebih
puas. Selain itu, pendekatan laparoskopik lebih aman pada pasien dengan
diagnosa yang masih dipertanyakan, pasien lanjut usia dengan kecurigaan
keganasan, serta pasien obesitas. Meskipun demikian, pendekatan
apendektomi laparoskopi lebih terkait dengan peningkatan resiko abses
intraabdomen daripada laparotomi terbuka.
Penundaan tatalaksana apendisitis dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Tatalaksana pasien dengan kasus apendisitis dengan komplikasi
lebih sulit karena tatalaksana optimal masih kontroversial. Beberapa studi
merekomendasikan bila ada abses maka harus dilakukan drainase untuk
mengeluarkannya. Drainase dilakukan dengan bantuan CT scan perkutan
dikuti dengan pemberian cairan intravena dan antibiotik untuk meredakan
peradangan pada abses yang berdiameter >3 cm. Apendektomi dapat
dilaksanakan dengan aman setelah respon inflamasi menurun sekitar 6-12
minggu setelah dilakukan drainase abses untuk mencegah radang usus buntu
berulang (apendektomi interval).
Berikut adalah bagan algoritma diagnosis serta tatalaksana pada pasien
yang datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.(7)

Gambar 1. algoritma diagnosis serta tatalaksana pasien nyeri perut kanan bawah.(7)
2.11. Prognosis
Setelah diagnosis apendisitis yang tepat telah ditentukan dan tidak ada
perforasi, pasien umumnya dapat meninggalkan rumah sakit dalam waktu 24 sampai
48 jam dan dapat kembali beraktivitas seperti biasanya setelah 2 minggu. Namun,
jika perforasi terjadi, tingkat kematian meningkat terutama pada golongan lanjut usia.
Tingkat komplikasi pada lanjut usia bisa mencapai 12 hingga 20% sedangkan tingkat
kematiannya bisa setinggi 30%. Maka dari itu, dokter perlu membuat diagnosis dini
sehingga komplikasi dapat dicegah.(6,10)
BAB 3
ANALISA KASUS
Dokter diharapkan dapat mengidentifikasi pasien apendisitis sedini mungkin dapat
meminimalisir resiko komplikasi. Pasien yang memiliki gejala lebih dari 48 jam cenderung
mengalami perforasi.(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. KL M, SE H. Alterations of digestive function. In: Pathophysiology: The biologic


basis for disease in adults and children. 2019. p. 1341.
2. Kasper, Dennis L. et al. Disorders of the Gastrointestinal System. In: Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGraw-Hill Education; 2017. p. 1985–9.
3. Téoule P, de Laffolie J, Rolle U, Reißfelder C. Acute Appendicitis in Childhood and
Adulthood: An Everyday Clinical Challenge. Dtsch Arztebl Int [Internet]. 2020 Nov 6
[cited 2022 Feb 14];117(45):764. Available from: /pmc/articles/PMC7898047/
4. Dehghan A, Moaddab AH, Mozafarpour S. An unusual localization of trichobezoar in
the appendix. Turkish J Gastroenterol. 2011;22(3):357–8.
5. Hollerman JJ, Bernstein MA, Kottamasu SR, Sirr SA. Acute recurrent appendicitis
with appendicolith. Am J Emerg Med [Internet]. 1988 Nov 1 [cited 2022 Feb
14];6(6):614–7. Available from: https://europepmc.org/article/MED/3052484
6. Dabadie A, Petit P. Appendicitis. Imaging Acute Abdomen Child [Internet]. 2021 Sep
9 [cited 2022 Feb 14];129–41. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/
7. Bhangu A, Søreide K, Di Saverio S, Assarsson JH, Drake FT. Acute appendicitis:
modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. Lancet (London,
England) [Internet]. 2015 Sep 26 [cited 2022 Feb 14];386(10000):1278–87. Available
from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26460662/
8. F. Charles Brunicardi et al. THE APPENDIX. In: Schwartz’s Principles of Surgery.
10th ed. McGraw-Hill Education; 2014. p. 1243–57.
9. Rogers MB, Brower-Sinning R, Firek B, Zhong D, Morowitz MJ. Acute Appendicitis
in Children Is Associated With a Local Expansion of Fusobacteria. Clin Infect Dis
[Internet]. 2016 Jul 1 [cited 2022 Feb 14];63(1):71–8. Available from:
https://academic.oup.com/cid/article/63/1/71/1745387
10. Martin H. Floch. Diseases of the Appendix: Infl ammation, Mucocele, and Tumors.
In: Netter Gastroenterology. 2nd ed. Saunders; 2009. p. 371–2.
11. N. Franklin Adkinson, Jr. et al. GASTROINTESTINAL DISORDERS. In: 58, editor.
CURRENT Medical Diagnosis & Treatment. McGraw-Hill Education; 2019. p. 653–
5.
12. Pisano M, Capponi MG, Ansaloni L. Acute Appendicitis: An Open Issue. Current
Trends in Diagnostic and Therapeutic Options. Microbiol Surg Infect Diagnosis,
Progn Treat. 2014 Jan 1;97–110.
13. Chong C et al. Evaluation of the RIPASA score: a new scoring system for the
diagnosis of acute appendisitis. Brunei Med J. 2010;6(1):17–26.

Anda mungkin juga menyukai