Lapkas Radiologi
Lapkas Radiologi
KEPANITERAAN KLINIK
RADIOLOGI
APPENDISITIS AKUT
Disusun oleh:
Michael Geraldi Lokanta
(01073210125)
Pembimbing:
dr. Brian Lucas, SpRad., B.Med.Sc
PRESENTASI KASUS............................................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................................2
DAFTAR TABEL....................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................................3
BAB 2......................................................................................................................................9
2.1. Definisi.........................................................................................................................9
2.2. Epidemiologi..............................................................................................................10
2.3. Etiologi.......................................................................................................................10
2.4. Faktor Resiko..................................................................................................................11
2.5. Patofisiologi...............................................................................................................11
2.6. Manifestasi klinis.......................................................................................................12
2.7. Komplikasi.................................................................................................................14
2.8. Diagnosis....................................................................................................................15
2.9. Diagnosis banding.....................................................................................................18
2.10. Tatalaksana.............................................................................................................18
BAB 3....................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB 1
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bpk. K
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 57 Tahun
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : -
Pendidikan :-
Alamat: -
No rekam medis : SHLV-00-12-98-XX
Tanggal masuk rumah sakit : 1 Desember 2019
1.2. ANAMNESIS
Pasien Bapak K berusia 57 tahun, datang ke Siloam Hospital Lippo Village dengan keluhan
perut begah seperti terbakar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit disertai adanya nyeri di
ulu hati dengan skala nyeri 6/5. Nyeri tersebut terjadi setelah makan. Pasien mengaku
nyerinya terasa hebat lalu menghilang setelah diberi obat Pethidine. Selain itu pasien juga
mengaku sering bersendawa. Pasien juga mengeluh mual selama 1 hari sebelum masuk
rumah sakit namun tidak muntah. Pasien mengatakan ia susah tidur dan kadang disertai
jantung berdebar. Pasien menyangkal adanya keringat dingin, demam, batuk, sesak napas
maupun nyeri dada. Pasien juga tidak memiliki kesulitan BAB maupun BAK.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit jantung koroner serta hipertensi pada tahun 2015.
Pasien telah menjalani operasi coronary artery bypass graft (CABG) di Singapura pada tahun
2015. Setelah menjalani operasi, pasien rutin mengkonsumsi obat-obatan di antaranya adalah
Plavix (Clopidogrel), Herbesser (Diltiazem), dan Crestor (Rosuvastatin). Namun pada saat
datang ke rumah sakit pada tanggal 1 Desember 2019, obat-obatan tersebut tidak dibawa.
Pasien menyangkal riwayat paru, kencing manis, maupun kolesterol tinggi.
1.2.3. Riwayat keluarga
Pasien memiliki riwayat pengobatan rutin berupa Clopidogrel, Diltiazem, dan Rosuvastatin.
Pasien tidak membawa obat ketika berkunjung ke rumah sakit
Temuan:
● Kista simpleks pada cortex pole atas ginjal kiri diameter +/- 0.61 cm
dan pole bawah ginjal kanan diameter +/- 2.92 cm
1.5. RESUME
Pasien laki-laki berusia 57 tahun datang dengan keluhan perut begah seperti terbakar sejak 1
hari sebelum masuk rumah sakit disertai adanya nyeri di ulu hati dengan skala nyeri 6/5.
Nyeri tersebut terjadi setelah makan. Pasien mengaku nyerinya terasa hebat lalu menghilang
setelah diberi obat Pethidine. Selain itu pasien juga mengaku sering bersendawa. Pasien juga
mengeluh mual selama 1 hari sebelum masuk rumah sakit namun tidak muntah. Pasien
mengatakan ia susah tidur dan kadang disertai jantung berdebar. Pasien mengaku memiliki
riwayat penyakit jantung koroner serta hipertensi pada tahun 2015. Pasien telah menjalani
operasi coronary artery bypass graft (CABG) di Singapura pada tahun 2015. Setelah
menjalani operasi, pasien rutin mengkonsumsi obat-obatan di antaranya adalah Plavix
(Clopidogrel), Herbesser (Diltiazem), dan Crestor (Rosuvastatin). Namun pada saat datang ke
rumah sakit pada tanggal 1 Desember 2019, obat-obatan tersebut tidak dibawa. Pasien
memiliki riwayat pengobatan rutin berupa Clopidogrel, Diltiazem, dan Rosuvastatin. Pasien
tidak membawa obat ketika berkunjung ke rumah sakit. Pemeriksaan fisik menunjukkan
pasien tampak sakit ringan dengan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pasien memiliki
berat badan 76 kg, tinggi badan 160 cm (IMT = 29.69). Pemeriksaan generalis menunjukkan
pasien dalam keadaan normal. Pemeriksaan abdomen menunjukkan adanya nyeri tekan
epigastrik non tender. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya peningkatan
sedimentasi eritrosit, peningkatan kolesterol, peningkatan CK-MB, dan hipernatremia. Selain
itu, ditemukan juga peningkatan protein c-reaktif serta peingkatan hormon procalcitonin.
Pemeriksaan CT scan dengan kontras abdomen (02/12/21) menunjukkan adanya suspek
apendisitis kronik.
Suspek NSTEMI
1.8. TATALAKSANA
1.8.1. Non-medikamentosa:
Admisi rawat inap
Head of bed (HOB) position
Monitor tanda-tanda vital pasien
Cairan maintenance NS 100 mL/8 jam
Rujuk ke dokter Sp.JP atas kecurigaan penyakit jantung
Rujuk ke dokter bedah untuk kemungkinan tatalaksana bedah
1.8.2. Medikamentosa:
Clopidogrel 75 mg
Rosuvastatin 20 mg
Diltiazem 100 mg
Lansoprazole 30 mg
Sucralfate 1g
1.9. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
B. Tanda Klinis
Terdapat beberapa manuver diagnostik untuk menentukan adanya appendisitis, yaitu:
(2,11)
Rovsing’s Sign, positif jika palpasi pada kuadran kiri bawah abdomen
menyebabkan nyeri di kuadran kanan bawah abdomen
Blumberg Sign, positif jika nyeri dirasakan saat pelepasan palpasi pada
daerah abdomen. Tes positif menandakan adanya peritonitis
Psoas Sign, positif jika dokter mengekstensikan sendi panggul kanan dan
menyebabkan rasa nyeri di sepanjang posterolateral punggung dan
panggul. Tes positif menandakan lokasi apendisitis di retrosekal
Obturator Test, positif jika nyeri dirasakan pasien saat dokter melakukan
rotasi internal sendi panggul pasien. Tes positif menandakan lokasi
apendisitis di pelvis
Dunphy’s sign, positif jika nyeri abdomen meningkat Ketika batuk
2.7. Komplikasi
Komplikasi dari apendisitis adalh sebagai berikut : (1,11)
Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Terdapat massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila
Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga abdomen. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam
sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan
leukositosis terutama sel polimorfonuklear (PMN). Perforasi ini dapat menyebabkan
peritonitis.
Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Timbulnya peritonitis umum
terjadi apabila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum. Appendiks menjadi
tempat singgah bakteri dan berkontribusi dalam perkembangan penyakit appendisitis.
2.8. Diagnosis
A. Laboratorium
Tes laboratorium tidak dapat mengidentifikasi apendisitis pada pasien tetapi
berguna dalam menyingkirkan diagnosis banding. Sebagai contoh, pemeriksaan urin
bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih. Walaupun
dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica
urinaria akibat berbatasan dengan apendiks yang inflamasi, pada appendisitis akut
hasil kultur urine tidak akan ditemukan bakteriuria.(2,8)
70% pasien apendistis akut tanpa komplikasi menunjukkan adanya
leukositosis ringan hingga moderat yang berkisar antara 10.000-18.000/mm2.
Leukositosis yang predominan adalah sel polimorfonuklear (neutrofil). Leukositosis
yang > 18.000/mm2 cenderung menandakan adanya komplikasi pada kasus
apendisitis. (8,10)
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat
antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Peningkatan CRP dapat menjadi indikator adanya
apendistis dengan komplikasi. (8)
B.Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu menegakkan diagnosis appendisitis
akut, tetapi bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti obstruksi
ileus, perforasi viskus, ataupun ureterolitiasis. Adanya fecalith yang terlihat pada foto
polos sangat mendukung diagnosis. Meskipun keberadaannya jarang ditemukan di
foto polos.(2,8)
USG cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis appendisitis.
Kelemahannya, efektifitas USG sangat bergantung pada keahlian operator.
Pemeriksaan USG sebagai alat diagnosa apendisitis secara keseluruhan memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 81%.(2) Biasanya USG dilakukan khususnya untuk
melihat keadaan kuadran kanan bawah abdomen atau nyeri pada pelvis dari pasien
anak atau wanita. Temuan USG yang biasanya menandakan apendisitis berupa
adanya peradangan serta penebalan pada dinding appendiks yang menyebabkan
ukuran appendiks membesar dari normalnya (diameter 6 mm), peningkatan
ekogenisitas lemak peri-apendiks, dan adanya cairan bebas. Pasien dengan obesitas,
peritonitis, serta wanita hamil.(6,8)
CT scan menjadi modalitas paling akurat untuk mendiagnosis apendisitis
dengan sensitivitas 94% dan spesifisitas 95%.(2) Temuan CT scan yang biasanya
menandakan apendisitis berupa penebalan dinding apendiks, peningkatan diameter
apendiks > 5 mm, peningkatan densitas pada lemak periapendiks, penebalan
mesoapendiks, dan adanya cairan bebas. Meskipun CT scan lebih akurat, CT scan
lebih mahal daripada USG. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT scan
dihindari pada pasien anak dan Wanita hamil. Selain itu, CT scan dilaksankan
terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk melakukan percutaneous
drainage karena CT scan lebih akurat dalam pemeriksaan radiologi.(6,8)
Meskipun MRI dapat memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam
mendiagnosis apendisitis, MRI merupakan modalitas radiologi yang jauh lebih mahal
serta membutuhkan tenaga kerja yang handal. MRI untuk mendiagnosa apendisitis
biasanya terbatas pada kelompok populasi tertentu, contohnya ibu hamil yang
diamana posisi apendisitis sulit ditentukan dengan USG.(6,10)
C. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mencegah komplikasi appendisitis Perlu penegakan diagnosis yang
tepat dan sedini mungkin. Diagnosis appendisitis ditegakkan berdasarkan penilaian
klinis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penegakan diagnosis juga dapat dibantu dengan menggunakan sistem skoring.(2)
Standar baku emas penegakan diagnosis appendisitis melalui pemeriksaan
histopatologi. Akan tetapi hal tersebut baru dapat dilakukan setelah tindakan
appendektomi. Sistem skoring seperti ALVARADO score RIPASA menjadi pilihan
yang mudah, tidak menghabiskan biaya, serta tidak menyebabkan paparan radiasi.
(12,13)
Skor Alvarado merupakan salah satu sistem skoring yang sering digunakan.
Namun, dikarenakan Rendahya sensitivitas skor Alvarado dalam menskrining
appendisitis pada populasi Asia, terdapat sebuah sistem skor baru yakni skor Raja
Isteri Pengiran Anak Saleha Appendisitis (RIPASA) yang memiliki sistem skoring
lebih banyak bila dibandingkan dengan skor Alvarado.(13)
Dari skor Alvarado, pasien disarankan untuk dilakukan apendektomi jika skor
≥7. Pasien disarankan untuk observasi dan dilakukan evaluasi ulang setiap 4 atau 6
jam Jika skor 5-6. Pasien dapat dipulangkan atau kemungkinan penyakit lain harus
dipikirkan jika skor <5.(12)
2.10. Tatalaksana
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
Penanggulangan konservatif (11)
Antinyeri dapat diberikan jika pasien mengeluhkan nyeri yang hebat,
terutama setelah pemeriksaan abdomen pertama sebelum pemberian terapi
farmakologis.
Sebelum operasi, pasien harus diberikan antibiotik spektrum luas
dengan cakupan efek antimikroba pada bakteri gram negatif dan anaerobik
untuk mengurangi kejadian infeksi pasca operasi. Regimen intravena
praoperasi yang direkomendasikan termasuk cefoxitin atau cefotetan 1-2 g
setiap 8 jam; ampisilin-sulfabaktam 3 g setiap 6 jam; atau ertapenem 1 g
sebagai dosis tunggal.
Sekitar 80-90% pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi yang
diobati dengan antibiotik saja selama 7 hari mengalami perbaikan. Maka dari
itu, manajemen konservatif dengan antibiotik saja dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan apendisitis tanpa perforasi dan kontraindikasi bedah atau
dengan preferensi yang kuat untuk menghindari pembedahan. Meskipun
demikian, apendektomi umumnya masih direkomendasikan pada sebagian
besar pasien untuk mencegah apendisitis berulang (20-35% dalam 1 tahun).
Operatif(11)
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas maka segera dilakukan
appendektomi. Terdapat 2 metode apendektomi, yaitu secara laparoskopi dan
secara laparotomi terbuka. Pendekatan laparoskopi secara keseluruhan lebih
disukai daripada laparotomi terbuka. Insisi yang sedikit membuat pasien lebih
puas. Selain itu, pendekatan laparoskopik lebih aman pada pasien dengan
diagnosa yang masih dipertanyakan, pasien lanjut usia dengan kecurigaan
keganasan, serta pasien obesitas. Meskipun demikian, pendekatan
apendektomi laparoskopi lebih terkait dengan peningkatan resiko abses
intraabdomen daripada laparotomi terbuka.
Penundaan tatalaksana apendisitis dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Tatalaksana pasien dengan kasus apendisitis dengan komplikasi
lebih sulit karena tatalaksana optimal masih kontroversial. Beberapa studi
merekomendasikan bila ada abses maka harus dilakukan drainase untuk
mengeluarkannya. Drainase dilakukan dengan bantuan CT scan perkutan
dikuti dengan pemberian cairan intravena dan antibiotik untuk meredakan
peradangan pada abses yang berdiameter >3 cm. Apendektomi dapat
dilaksanakan dengan aman setelah respon inflamasi menurun sekitar 6-12
minggu setelah dilakukan drainase abses untuk mencegah radang usus buntu
berulang (apendektomi interval).
Berikut adalah bagan algoritma diagnosis serta tatalaksana pada pasien
yang datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.(7)
Gambar 1. algoritma diagnosis serta tatalaksana pasien nyeri perut kanan bawah.(7)
2.11. Prognosis
Setelah diagnosis apendisitis yang tepat telah ditentukan dan tidak ada
perforasi, pasien umumnya dapat meninggalkan rumah sakit dalam waktu 24 sampai
48 jam dan dapat kembali beraktivitas seperti biasanya setelah 2 minggu. Namun,
jika perforasi terjadi, tingkat kematian meningkat terutama pada golongan lanjut usia.
Tingkat komplikasi pada lanjut usia bisa mencapai 12 hingga 20% sedangkan tingkat
kematiannya bisa setinggi 30%. Maka dari itu, dokter perlu membuat diagnosis dini
sehingga komplikasi dapat dicegah.(6,10)
BAB 3
ANALISA KASUS
Dokter diharapkan dapat mengidentifikasi pasien apendisitis sedini mungkin dapat
meminimalisir resiko komplikasi. Pasien yang memiliki gejala lebih dari 48 jam cenderung
mengalami perforasi.(2)
DAFTAR PUSTAKA