Anda di halaman 1dari 63

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

FAKULTAS TEKNIK - JURUSAN TEKNIK MESIN

DIKTAT KULIAH

ELEKTRONIKA

Disusun oleh :
DR.Ir. Mohammad Hafidz
(Dosen FakultasTeknik , UPN- Veteran)

JAKARTA , Maret 2005

1
Daftar Isi

Bab I. Komponen Elektronika Hal :


1.1. Elemen Rangkaian elektronika 3
1.2. Komponen Pasif 6
1.3. Hukum Ohm dan Kirchoff 7
1.4. Rangkaian arus searah DC 8
1.5. Rangkaian ekivalen Thevenin 12
1.6. Rangkaian ekivalen Norton 13

Bab II. Rangkaian AC


2.1. Besaran Arus Bolak-Balik AC 14
2.2. Rangkaian AC 17
2.3. Rangkaian Resonansi 21
2.4. Gejala Transient 24

Bab III. Semikonduktor


3.1. Bahan penghantar listrik 32
3.2. Susunan atom model Bohr 32
3.3. Ikatan kovalen 34
3.4 Donor dan Aceptor 34
3.5 P-N junction 35
3.6 Dioda 36

BAB IV. Rangkaian Dioda


4.1. Rangkaian penyearah arus 39
4.2. Rangkaian pengali tegangan 44
4.3. Rangkaian pembatas 46
4.4. Rangkaian penekan 47
4.5. Dioda dengan fungsi khusus 47

BAB V. Rangkaian Transistor


5.1. Jenis Transistor 51
5.2. Kurva Transistor 53
5.3. Garis Beban 54
5.4. Tegangan Bias 55
5.5. Rangkaian model AC 57

2
BAB I. KOMPONEN ELEKTRONIKA

1.1. Elemen Rangkaian Elektronika

Elektronika adalah cabang ilmu pengetahuan teknik (engineering) yang


mempelajari komponen dan rangkaian elektronik yang meliputi sifat fisis,
karakteristik, dan kemampuan (performance) serta kegunaannya. Elemen atau
komponen elektronika secara umum dibagi menjadi dua kelompok yaitu komponen
pasif dan komponen aktif. Komponen pasif diantaranya adalah resistor, kapasitor,
induktor dan transformator, sedangkan komponen aktif adalah transistor, FET,
MOSFET dan lain-lain.

1.1.1 Sumber enerji listrik.

Sumber enerji listrik memasok enerji listrik agar supaya suatu rangkaian
elektronika bisa bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan jenis sumber
enerjinya, sumber enerji listrik dapat dibagi dua yaitu sumber tegangan listrik dan
sumber arus listrik.
Tegangan atau arus listrik terdiri dari dua jenis yaitu tegangan/arus searah
(direct current = DC) dan tegangan/arus bolak-balik (alternating current = AC)

a. Tegangan /Arus Searah (Direct Current) :

Sumber tegangan/arus yang menghasilkan tegangan dengan polaritas yang tetap


atau arus dengan arah aliran yang tetap pada suatu rangkain tertutup.
Diagram tegangan /arus searah digambarkan sebagai suatu garis konstan dengan
amplituda tetap sebesar A sebagai fungsi dari waktu t. Didalam kondisi yang
sebenarnya amplituda tegangan tidak selalu lurus tetapi kadang-kadang ber-fluktuasi
sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh fisis dan kimiawi dari sumber dan lingkungan
sekitarnya (tahanan beban, temperatur). Contoh sumber tegangan DC adalah baterry ,
accumulator (aki) dan solar cell.

V(t)

Gambar1.1. Tegangan searah (DC)

3
b. Tegangan/Arus Bolak-Balik (Alternating Current) :

Sumber tegangan/arus yang menghasilkan tegangan dengan polaritas yang


berubah-ubah ( + dan -) atau arus listrik yang berubah arah setiap setengah
periode/cycle. Diagram tegangan/arus bolak-balik digambarkan sebagai suatu
gelombang sinusoidal dengan amplituda A yang merupakan fungsi dari waktu t.
Contoh sumber tegangan AC adalah generator listrik dan sumber listrik PLN .

V(t)

-A

T
Gambar 1.2. Tegangan bolak-balik (AC)

Simbol untuk sumber tegangan listrik searah (DC) dan bolak-balik (AC) adalah
sebagai berikut :

Sumber Tegangan Searah (DC)

Sumber Tegangan Bolak Balik (AC)

Gambar 1.3. Simbol Tegangan/Arus DC dan AC

4
1.1.2. Sumber Tegangan ideal :

Adalah sumber tegangan yang besarannya tetap. Contoh paling ideal adalah
battery dimana tahanan internalnya adalah nol ( Zin = 0).

E RL Gambar 1.4.a.
VRL=12 V
= 12 V

RS

0.1 Ω

E RL VRL<12 V
= 12 V Gambar 1.4.b.

Dari gambar 1.a. jika tahanan internal RS dari sumber tegangan E dianggap nol
maka tegangan drop pada beban RL adalah VRL = 12 Volts, kondisi ini adalah kondisi
yang ideal. Namun dalam kenyataan yang sesungguhnya setiap sumber tegangan
(battery) mempunyai tahanan dalam (internal) yang besarnya sekitar 0.1 Ώ, jika
terjadi demikian maka besarnya tegangan drop di RL < 12 Volts.

a. Misalkan RL = 10 Ώ, maka :

12 Volts
IL   1.188 Ampere
10   0.1 
Tegangan drop di RS = 1.188 A x 0.1 Ώ = 0.1188 Volts.
Jadi tegangan drop di RL  VRL = 12 V - 0.1188 V = 11.88 Volts.

b. Jika RL = 1 KΏ , maka :

12 Volts
IL   0.01199 Ampere
1K  0.1 
Tegangan drop di RS = 0.01199 A x 0.1 Ώ = 0.001199 Volts.
Jadi tegangan drop di RL  VRL = 12 V - 0.001199 V = 11.9988 Volts.

5
Artinya bahwa ; jika tahanan beban makin besar maka tegangan drop di R L makin
mendekati 12 V, atau makin mendekati kondisi yang ideal. Atau kondisi ideal akan
tercapai jika tahanan dalam RS dari battery makin kecil.
Kondisi tersebut berbeda untuk sumber arus. Sumber arus yang ideal harus
mempunyai tahanan dalam yang sebesar mungkin, sehingga arus listrik yang
dihasilkan tidak tergantung pada besarnya tahanan beban RL.

1.2. Komponen Pasif

1.2.1. Tahanan/Hambatan (Resistor) = R

Simbol :
R
I

+ VR -

VR = I x R

Gambar 1.5 .a

Satuan : Ohm ( Ώ )

1 K Ώ = 1 kilo Ohm = 103 Ώ


1 M Ώ = 1 Mega Ohm = 106 Ώ
Didalam rangkaian elektronika resistor/tahanan
berfungsi untuk menghambat atau mengurangi besarnya arus listrik dan juga
memberikan suatu tegangan jatuh ( drop voltage) yang seringkali diperlukan dalam
sistem rangkaian listrik.

1.2.2 Capasitor / Condensator = C

Simbol :
C
I

+ VC -

1
VC 
C  I dt

Gambar 1.5. b

6
Satuan : Farad (F)
1 μ F = 1 mikro Farad = 10-6 F
1 μμ F = 1 p F = 1 pico Farad = 10-12 F
1 n F = 1 nano Farad = 10-9 F
Capasitor berfungsi untuk menyimpan (charge) arus listrik dan juga sekaligus
memberikan /mengeluarkan (discharge) arus listrik pada suatu sistem rangkaian listrik
apabila diperlukan.

1.2.3. Kumparan (Inductor) = L

Simbol :
L

+ VL -

dI
VL  L
dt
Gambar 1.5. c

Satuan : Henry (H)

1 m H = 1 mili Henry = 10-3 H


1 μ H = 1 mikro Henry = 10-6 H.
Induktor berfungsi untuk memberikan suatu efek medan magnetik pada suatu sistem
rangkaian listrik yang seringkali diperlukan untuk menimbulkan suatu kondisi tertentu
pada arus/tegangan listrik yang melaluinya.

1.3. Hukum Ohm dan Kirchoff

1.3.1. Hukum Ohm : selisih tegangan yang diperlukan untuk mengalirkan arus
yang melalui tahanan sama dengan hasil kali arus dan
tahanannya.

R
I

+ -
E

E = I x R

Gambar 1.5. d

7
1.3.2. Hukum Kirchoff I : Jumlah arus cabang yang menuju suatu node (simpul)
sama dengan jumlah arus cabang yang meninggalkan
node.

I1
I2

I3
I4

I1 + I4 = I2 + I3  I1 + I4 - I2 - I3 = 0

Gambar 1.5. e

1.3.3. Hukum Kirchoff II : dalam suatu rangkaian tertutup (loop) jumlah EMF
(electromotive force) sama dengan jumlah tegangan
drop pada tahanan.

E=12 V IL RL VRL

E = VRL  E - VRL = 0

Gambar 1.5. f

1.4. Rangkaian Arus Searah

1.4.1. Rangkaian Serial :

E  VR1  VR 2  VR3  I R1  I R2  I R3
 I ( R1  R2  R3 )

E
 R1  R2  R3  RS  Rseri
I

8
R1 R2 R3

RS

RS = R1 + R2 + R3

Gambar 1.6. a. Rangkaian seri


1.4.2. Rangkaian paralel :

I1 I2 I3

E R1 VR1 R2 VR2 R3 VR3

E RP

Gambar 1.6.b. Rangkaian Paralel

I  I1  I 2  I3 , E  VR1  VR 2  VR3
VR1 V V E E E
=  R 2  R3   
R1 R2 R3 R1 R2 R3

1 1 1  E
= E     
 R1 R2 R3  R paralel

9
1 1 1 1
Jadi   
Rparalel R1 R2 R3

1
R paralel  R p 
1 1 1
 
R1 R2 R3

1.4.3. Rangkaian Seri-Paralel

I
R1

E R3

R2

Gambar 1.6. c. Rangkaian Seri-Paralel


RS = R1 + R2
1 1 1 RS R3 ( R1  R2 ) R3
  , Rp  
Rp RS R3 RS  R3 R1  R2  R3

E ( R1  R2  R3 )
I 
( R1  R2 ) R3

1.4.4. Metode Rangkaian Tertutup (Loop).

Rangkaian seri-paralel seperti gambar diatas dibagi dalam dua rangkaian tertutup
(loop) , yaitu loop 1 yang mengalir arus I1 dan loop 2 yang mengalir arus I2.

R1

E I1 I2 R3

R2

Gambar 1.7. Metode Loop

10
Loop 1 : E = (I1 - I2) (R1 + R2) ...... (I)

Loop 2 : 0 = (I2 - I1) (R1 + R2) + I2 R3 ....... (II)


Pers. (I) : I1 (R1 + R2 ) - I2 (R1 + R2 ) = E
Pers. (II) : - I1 (R1 + R2) + I2 (R1 + R2 + R3) = 0

a) Penyelesaian pers. Aljabar :

(I) : E = (I1 - I2 ) (R1 + R2)


R1  R2
(II) : I 2  I1
R 1  R2  R3

( R1  R2 )( R1  R2 )
E  I1 ( R1  R2 )  I1
R1  R2  R3

 ( R1  R2 ) 2 
= I1  ( R1  R2 )  
 R1  R2  R3 
 ( R  R2  R3 )( R1  R2 )  ( R1  R2 ) 2 
= I1 1 
 R1  R2  R3 
 ( R  R2 ) R3  E ( R1  R2  R3 )
= I1  1   I1 
 R1  R2  R3  ( R1  R2 ) R3

b) Penyelesaian dengan metode matriks :

Pers. (I) : E = I1 (R1 + R2) - I2 (R1 + R2)

Pers.(II) : 0 = - I1 (R1 + R2 ) + I2 ( R1 + R2 + R3)

Pers. Matriks :

E   ( R 1  R2 )  ( R1  R2 )   I1 
 0    ( R  R ) ( R  R  R )   I 
   1 2 1 2 3   2

untuk mencari besaran I1 dan I2 , dilakukan dengan cara Sarrus :

E  ( R1  R2 )
0 ( R1  R2  R3 ) E ( R1  R2  R3 )
I1  
 ( R1  R2 ) R3

( R1  R2 ) E
 ( R1  R2 ) 0 E ( R1  R2 )
I2  
 ( R1  R2  R3 )

11
R1  R2  ( R1  R2 )
dimana determinan Δ =
 ( R1  R2 ) R1  R2  R3

1.5. Rangkaian Ekivalen THEVENIN

Rangkaian ekivalen Thevenin bertujuan untuk menyederhanakan rangkaian listrik


multi-loop menjadi hanya satu loop untuk memudahkan perhitungan rangkaian.

RTH a
a

R1

R2 RL ETH RL
E Rangk. ekivalen

b b

(a) (b)
Gambar 1.8. Rangkaian ekivalen Thevenin
Rangkaian pada Gbr.(a) merupakan rangkaian dengan dua loop arus, dengan
metoda Thevenin dapat disederhanakan menjadi rangkaian satu loop seperti pada
Gbr.(b), dimana :
RTH : tahanan ekivalen Thevenin yang dilihat dari kutub a – b, jika sumber
tegangan E dihubung singkat (short circuit).
ETH : tegangan ekivalen Thevenin yang diukur dari kutub a – b, jika
tahanan beban RL dibuka (open circuit).

Contoh :

RTH a
a

R1 = 1 KΩ

= 2 KΩ
R2 RL ETH RL
= 2 KΩ =6V = 1 KΩ
E = 1 KΩ
Rangk. ekivalen
= 12 V

b b

Gambar 1.8. a
R1 R 2 2 K x 2 K
RTH = R1 // R2 =   1 K
R1  R2 4 K
R2 2 K
ETH = 12 V  12 V  6V
R1  R2 4 K

12
1.6. Rangkaian ekivalen NORTON

Rangkaian ekivalen Thevenin adalah merupakan rangkaian dengan sumber


tegangan, sedangkan rangkaian ekivalen Norton adalah rangkaian dengan sumber
arus. Untuk menggambarkan rangkaian ekivalen Norton dapat ditransformasi
langsung dari rangkaian ekivalen Thevenin.

RTH
IN RN

ETH

Gambar 1.9. Rangkaian Ekivalen Norton


E
I N  TH , RN  RTH
RTH

Contoh : dari rangkaian ekivalen Thevenin diatas maka dapat ditentukan


rangkaian ekivalen Norton dengan nilai komponen sebagai berikut :

6 Volts
IN   6 m A , sedangkan RN  1 k .
1 k

RTH
=1 kΩ
IN RN

= 6 mA = 1 kΩ
ETH
=6V

Gambar 1.9.a

13
BAB II. RANGKAIAN ARUS BOLAK-BALIK

2.1. Besaran arus bolak-balik :

2.1.1 Harga rata-rata :

T
1
Vaverage  Vav 
T 
0
v(t ) dt

v(t )  Vm sin  t

T
1
Vav 
T 
0
Vm sin  t dt

 cos  t 
T

  
Vm
=
T
0

=
Vm
 cos  T  cos 0  0
T
Vav = 0

2.1.2 Harga effektif (harga RMS = root mean square) :

T
1 2
T 0
VRMS  v (t ) dt

T
1
=
T0 (Vm sin  t ) 2 dt

2 T
Vm
2 T 0
= (1  cos 2  t ) dt

1  1 
= Vm
2T 
t  sin 2  t 
 2  0

 
= Vm
1
T  0   1 sin 2  T  1 sin 0 
2T  2 2 
T 1 1 V
= Vm  Vm  Vm  m  0.707 Vm
2T 2 2 2

14
V(t)

Im
IRMS
IAV
t

T
Gambar 2.1. Tegangan Sinusoidal

Contoh lain :
i(t)

+ Im

t
T/2 T

- Im

Gambar 2.2. a Tegangan Pulsa segi-empat

T
1
T 0
I av  i(t ) dt  0

T
1 2
T 0
I RMS  i (t ) dt  I m

i(t)

Im
Y-Axis

0 T/2 T X-Axis

Gambar 2.2. b. Tegangan half-wave sinusiodal

15
T
1 I
I av 
T0 i(t ) dt  m

T
1 2 I
I RMS  
T0
i (t ) dt  m
2

2.1.3. Daya (Power) :

a) Daya rata-rata :

V(t) i(t)
R

Gambar 2.3.
T
1
T 0
p AV (t )  v(t ) i(t ) dt

v(t )  Vm sin  t
V
i(t )  m sin  t
R

T
1 Vm
Pav (t ) 
T (
0
Vm sin  t x
R
sin  t ) dt

T 2
1 Vm
=
T 
0
R
sin 2  t dt
2 T 2
Vm Vm T
=
TR 
0
sin 2  t dt 
TR 2
2
V 
2
1 V
=  m x  RMS [Watts]
 2 R R

b) Enerji :
T
E = 
0
p(t ) dt

T
= 
0
v(t ) i (t ) dt

16
T 2 2 2
Vm V V
= 
0
R
sin 2  t dt  m T  RMS T
2R R
[Watt . detik]

2.2. Rangkaian AC

2.2.1. Rangkaian RL

e(t) L
i(t)

Gambar 2.4. Rangkaian RL

XL =  L

Impedansi : Z = R + j XL = R + j  L

= r ( cos  + j sin  )
= r ej
(sumbu -imajiner)

jωL Z = R + jωL

r
Φ

R (sumbu -real)

Z = r  

e j  = sin  + j cos 
r  R 2  ( L) 2 , Z  R 2  ( L) 2 e j 

 L 
  tan 1  
 R 

17
Contoh : R= 10 Ώ, L = 10 mH
e(t) = A sin 2 π 1000 t

Maka Z = R + j  L = 10 + j 2π 1000 x 10 x 10-3


= 10 + j 62.8 Ώ

r  R 2  (L)2  (10)2  (62.8)2  63.59

 L 
 = tan -1   = tan (62.8/10) = 80.9 .
-1 0

 R 

d
e(t )  R i(t )  L i(t )
dt
e(t )  Em sin  t  Em e j  t
i(t )  I m sin ( t   )  I m e j ( t   )
maka :
Em e j t  R I m e j ( t   )  j L I m e j ( t   )

j jt
= Im ( R  j L) e e
= Im R 2  (L) 2 e j  e j  e j t

j (   )
Em  I m R 2  ( L) 2 e

2.2.2. Rangkaian RC

e(t) C
i(t)

Gambar 2.5. Rangkaian RC


1
XC 
C

1
Impedansi : Z  R  j XC  R  j
C
= r ( cos  - j sin  )
= r e j (-)

18
Z = r  -

e j(- ) = sin  - j cos 


R Sumbu - real

- j 1/ωC
Z = R - j 1/ωC

sumbu - imajiner

1 2 1 2
r  R2  ( ) , Z  R2  ( ) e j
C C

1 
 1 
  tan 1  C   tan 1  
 R   CR 
 
Contoh :
R = 25 Ώ , C = 4 μ F
e(t) = A sin 2π 5000 t

maka : Z = R - j 1/C = 25 - j 1/ (2π 5 x 103 x 4 x 10-6 )


= 25 - j 7.95 Ώ

2
 1 
r  R2     25  7.95  26.23
2 2

 C 

 1  1
 = tan 1    tan
1
 tan 1 (1.59)  57.830
 CR  2 5000 x 4 x10 x 25
6

1
C
e(t )  R i(t )  i(t ) dt

e(t )  Em sin  t  Em e j  t
j ( t   )
i(t )  I m sin ( t   )  I m e
maka :
j t j ( t   ) Im j ( t   )
Em e  R Im e  e
j C
1 j jt
= Im ( R  j )e e
C

19
1 2 j (  ) j  j t
= Im R2  ( ) e e e
C
1 2 j (   )
Em  I m R2  ( ) e
C

2.2.3. Rangkaian RLC :


L
R

e(t) C
i(t)

Gambar 2.6. Rangkaian RLC


1  1 
Impedansi : Z  R  j L  j  R  j  L  
C  C 
2 2
 1   1  j
r R   L 
2
 Z  R   L 
2
 e
 C   C 

(sumbu -imajiner)

Z = R + j(ωL-1/ωC)
j(ωL -1/ωC)

r
Φ

R (sumbu -real)

 L  1 
  tan 
1 C 
R 
 

Contoh : R = 100 Ώ, C = 50 μ F dan L = 20 m H


e(t) = 10 sin 2π 1000 t
maka :
 1   1 
Z = R  j   L    100  j  2 103 20 x103  
6 
  C   2 103
x 50 x10 
= 100 + j ( 40π - 10/π) = 100 + j 122.4 Ώ

20
(impedansi Z bersifat induktif karena L > 1/C)

2
 1 
r R 2   L   = 1002  122.42  158
 C 
 L  1 
1 
  tan  C  = tan-1 (122.4/100) = 50.750 .
R 
 

2.3. Rangkaian Resonansi

2.3.1. Resonansi seri :

L
R

e(t) C
i(t)

Gambar 2.7. Rangkaian resonansi RLC seri

Suatu rangkaian RLC seri dikatakan berada pada kondisi resonansi apabila
impedansi Z bersifat resistif dan besarannya minimum, sedangkan arus i(t)
maksimum dan sefasa dengan tegangan e(t).

1  1 
Z  R  j L  j  R  j  L   = R + jX
C  C 

kondisi resonansi terjadi apabila X = 0 , sehingga Z = R.

1 1
X  L   0   L 
C C

1 1
2     
LC LC
1
2 f 
LC
1
Frekuensi Re sonansi : f r  [ Hz]
2  LC

21
XL
Z XL=ωL

R
ωo
ω

XC=1/
ωC

XC

2.3.2. Resonansi paralel

e(t) Y G jBc -jBL

Gambar 2.8. Rangkaian resonansi RLC paralel


1 1
Admitansi : Y   G  jB
Z R  jX

 1 
Y  G  j   C    G  jB
  L 
dimana : B = BC - BL

BC =  C , BL = 1/L

Rangkaian resonansi paralel akan beresonansi jika B = 0

1 1
B  L   0   L 
C C

22
1 1
2     
LC LC
1
2 f 
LC
1
Frekuensi Re sonansi : f r  [ Hz]
2  LC

BC
Y BC=ωC

G=1/R
ωo
0 ω

BL=1/ωL

BL

Resonansi seri Resonansi paralel

Z low Z high
I max I min
Resistif Resistif

2.3.3. Quality Factor :

Faktor kualitas dari rangkaian RLC didefinisikan sebagai :

Enerji tersimpan maksimum ( max imum stored energy )


Q  2
Enerji dipancarkan / cycle (energy dissipated per cycle )

L
1) Rangkaian RL seri : Q 
R

23
1
2) Rangkaian RC seri : Q 
CR

o L 1
3) Rangkaian RLC seri : Q  
R o C R

2.3.4. Band-Width (BW)

Pada rangkaian RLC seri , pada fo atau o arus Io maksimum. Titik


dimana arus I = 0.707 Io atau half-power (I2 R/2) terjadi pada 1 - 2 .
Lebar frekuensi 1 - 2 disebut dengan band-width (BW).

Io =1 Po

0.707 Po/2

BW
f
ω1 ωo ω2
Gambar 2.9. Kurva spektrum band-width
Quality factor dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara frekuensi resonansi
dan band-width.
o fo fo
Qo   
2  1 f 2  f1 BW

2.4. Gejala Transient

2.4.1. Rangkaian RC

Jika switch (S) ditutup , maka :

1
E  VR  VC  R i(t ) 
C  i(t ) dt d . ........ (1)
dt

24
d i(t ) i(t ) d i(t ) i(t )  1 
0  R     D   i(t )
dt C dt RC  RC 

VR
S R

E i(t) C VC

Gambar 2.10. a. Rangkaian RC

solusi dari persamaan differensial diatas adalah :

t

i(t )  A e RC
........ (2)

untuk mencari besaran konstanta A , dilakukan dengan menentukan kondisi awal,


dari pers (1) , pada t = 0  E = R i(0)  i(0) = E/R

dari pers(2) , pada t = 0  i(0) = A. e 0 = A

jadi i(0) = A = E/R

sehingga pers. (2) menjadi :

t
E 
i(t )  e RC
........ (3)
R

i(t) v(t)
E/R E/R
t VC
E 
i (t )  e RC
R

VR
t t

Gambar 2.10. b Kurva transient i(t) dan v(t)

25
t t
E RC 
VR  R i(t )  R e  E e RC
R
1  
t

 RC 
C 
VC  i (t ) dt  E 1  e
 
 

Kondisi switch S ke posisi 1 (charging) , tegangan VC pada t =  akan


mencapai kondisi steady-state, VC = E.
Setelah switch S pindah keposisi 2 (dis-charging) maka arus yang tersimpan
didalam kapasitor C akan dikeluarkan lagi (discharging) :

1  1 
C
i(t ) dt  R i(t )  0  D   i (t )  0
 RC 

t

solusinya adalah : i(t )  B e RC
........ (4)

VR

1 S R

2
E i(t) C VC

Gambar 2.10. c

E E
pada t = 0 , maka akan terjadi arus balik sehingga i(0)   , sehingga B  
R R
t
E 
sehingga pers. (4) menjadi : i(t )   e RC
R
t

V R  R i(t )   E e Rc

t
1 

C 
VC  i (t ) dt  E e RC

26
i(t)
E/R

t
E 
i (t )  e RC
R

- E/R t
E 
i(t )   e RC
R
Gambar 2.10. d

2.4.2. Rangkaian RL

d i(t )
R i(t )  L  E
dt
R d i(t ) E  R E
i(t )      D   i(t ) 
L dt L  L L

VR
S R

i(t) L VL
E

Gambar 1.11. a. Rangkaian RL


R
 t
Solusi : i(t )  A e L
 B , maka :

 R 
R
R  R
 t 
 A e L  B  E
t
A.    e L   
 L L   L

R E E
jadi : B    jadi B
L L R

27
R
 t E
 i(t )  A e L

R

E
untuk t =   i () 
R
E E
t = 0  i(0)  0  A    A  
R R

E  
R
 t
jadi : i (t )  1  e L 
R  

i(t)

E/R

t
0
Gambar 1.11. b. Kurva transient RL

pada t = t1 switch S dipindah ke posisi 2, sehingga terjadi proses discharging.

d i(t )  R
L  R i(t )  0     D   i(t )  0
dt  L
VR

1 S R

2
E i(t) L VL

Gambar 1.11. c.
R
 t
solusinya : i (t )  C e L

pada t = t1 , initial current it1 = E/R , sehingga C = E/R

28
R
E L t
jadi : i (t )  e
R
i(t)

E/R

t
t=0 t=t1
Gambar 1.11. d . Kurva transient i(t)

2.4.3. Rangkaian RLC


L
S R

E i(t) C

Gambar 1.12 . a. Rangkaian RLC


d i(t ) 1
C 
R i(t )  L  i(t ) dt  E
dt

d 2 i(t ) d i(t ) 1
L 2
 R  i(t )  0
dt dt C

 2 R 1 
atau : D  D   i(t )  0
 L LC 

akar dari pers. Karakteristik diatas adalah :

2
R R 4
    
L L LC
D1 
2

2
R R 4
    
L L LC
D2 
2

29
2
R  R  4
ambil    ,     
2L  2L  LC

sehingga D1 =  +  dan D2 =  - 

 bisa positip, nol, atau negatip.

2
 R  1
a)  positip ,    , disebut kondisi Over-Damped (O.D.)
2 L LC
akar D1 dan D2 real dan tidak sama

 D  (    ) D  (   ) i (t )  0

solusi : i (t )  C1 e (   ) t  C2 e (   ) t

atau : i (t )  e  t C1 e  t  C2 e   t 
2
 R  1
b)  = 0 ,    , disebut kondisi Critically-Damped (C.D.)
2 L LC

akar D1 dan D2 sama dan real.

D   D   i (t )  0
solusi : i (t )  e  t ( C1  C2 t )

2
 R  1
c)  negatip ,    , disebut kondisi Under-Damped (U.D.)
2 L LC

akar D1 dan D2 complex-conjugate,

2
R 1  R 
  ,     
2L LC  2L 

 D  (   j ) D  (  j  ) i (t )  0

i (t )  e  t C1 cos  t  C2 sin  t 

30
i(t)

C.D.

O.D.

U.D.

Gambar 1.12 .b. Kurva transient rangkaian RLC

31
BAB III. BAHAN SEMIKONDUKTOR

3.1. Bahan penghantar listrik.

a. Konduktor : bahan yang dapat dengan mudah menghantarkan/


mengalirkan arus listrik, artinya elektron mudah berpindah. Dinyatakan dengan
nilai conductivity antara 103 - 108 [Siemens/cm] . Contoh : Perak (silver),
tembaga (copper), aluminium, platinum dan bismuth.

b. Insulator : bahan yang tidak dapat menghantarkan/mengalirkan arus


listrik, artinya elektron tidak mudah berpindah tempat. Dinyatakan dengan nilai
resistivity antara 108 - 1018 [ohm – cm]. Contoh : Glass, Nickel Oxide,
Diamond, Sulfur dan Fused Quartz, kayu, karet dan plastik.

c. Semikonduktor : bahan yang dapat menyalurkan/mengalirkan arus listrik


(elektron) dengan jumlah/besaran yang dapat diatur. Contoh : Silikon dan
Germanium.

Diagram berikut menunjukkan nilai resistivity dan conductivity dari bahan konduktor,
insulator dan semikonduktor.

Gambar 3.1. Bahan penghantar listrik

3.2. Susunan Atom Model Bohr

Struktur atom berdasarkan model atom Bohr berbentuk inti atom bermuatan
positip (proton) dan elektron yang bermuatan negatip yang berada pada orbit-orbit
yang mengelilingi inti.
Jumlah elektron maksimum pada tiap orbit adalah : 2 n2
Orbit 1  n = 1 , jmlh elektron maks. = 2 x 12 = 2 buah
2  n = 2, -“- = 2 x 22 = 8 buah
3  n = 3, -“ - = 2 x 32 = 18 buah

........... dst.

32
Contoh :

a. Atom Silikon (Si) dengan nomor atom 14 , artinya :


- memiliki proton (+) sebanyak 14 buah
- memiliki elektron (-) sebanyak 14 buah

orbit 1  mempunyai elektron sebanyak 2 buah ( penuh)


2  - “ - sebanyak 8 buah (penuh)
3  - “- sebanyak 4 buah (tidak penuh)
orbit terluar hanya terisi 4 buah elektron, disebut sebagai elektron valensi (jumlah
4 menunjukkan nomor valensi).

Atom Germanium (Ge) :


No. atom 32, valensi IV

Atom Silikon (Si)


No. atom 14, valensi IV

Gambar 3.2. Struktur atom Ge dan Si

b. Atom Germanium (Ge) mempunyai nomor atom 32, artinya :


- memiliki proton (+) sebanyak 32 buah
- memiliki elektron (-) sebanyak 32 buah

orbit 1  mempunyai elektron sebanyak 2 buah ( penuh)


2  - “ - sebanyak 8 buah (penuh)
3  - “- sebanyak 18 buah (penuh)
4  - “- sebanyak 4 buah (tidak penuh)
orbit terluar hanya terisi 4 buah elektron, disebut sebagai elektron valensi (jumlah
4 menunjukkan nomor valensi).

33
3.3. Ikatan Kovalen (Covalent Bond)

Kristal Silikon atau Germanium membentuk suatu ikatan yang kuat yang
disebut dengan ikatan kovalen antar atom-atomnya. Elektron-elektron valensi yang
berada di orbit terluar sebanyak 4 buah membentuk lengan-lengan ikatan dengan
atom tetangganya.

Gambar 3.3. ikatan kovalen

3.4. Donor dan Aceptor

Silikon didoping dgn


Arsenic (As), valensi IV,
menjadi bahan
semikonduktor tipe- n
(kelebihan 1 elektron)

Silikon di doping dgn Boron


(B) , valensi III, menjadi
bahan semikonduktor tipe –p
(kekurangan 1 elektron)

Gambar 3.4. Struktur atom donor dan aceptor

34
a. Jika atom Silikon (valensi IV) di-doping dengan atom lain dengan valensi V (
misalnya As, Ti, P, Sb) maka campuran ini akan kelebihan 1 elektron yang disebut
dengan elektron konduksi ( free – electron). Atom yang bervalensi V tersebut
dinamakan atom donor, karena menghasilkan 1 elektron konduksi bermuatan negatip.
Bahan yang dihasilkan disebut dengan bahan semikonduktor tipe-n.

b. Jika atom Silikon (valensi IV) di-doping dengan atom lain dengan valensi III (
misalnya B, Al, Ga, In ) maka campuran ini akan kekurangan 1 elektron yang
disebut dengan hole (lubang) dan bermuatan positip. Atom yang bervalensi III
tersebut dinamakan atom aceptor, karena menghasilkan 1 hole bermuatan positip.
Bahan yang dihasilkan disebut dengan bahan semikonduktor tipe-p.

3.5. P-N junction

Jika bahan tipe-p dan tipe-n disambungkan secara ohmic, maka pada bidang
sambungan akan terbentuk suatu daerah yang disebut “ depletion region”, yaitu suatu
area dimana terjadi diffusi elektron bebas (free-electron) dari bahan tipe-n ke bahan
tipe –p, sehingga menimbulkan ion-positip pada sisi tipe-n dan ion negatip pada sisi
tipe –p. Akibat adanya ion-ion tersebut maka akan terbentuk suatu potensial – barrier
(Vd ) yang besarnya sekitar 0.7 volts untuk bahan Si dan 0.3 volts untuk bahan Ge.

Gambar 3.5. p-n junction


3.5.1. Kondisi Forward - Bias

Gambar 3.6. Kondisi forward-bias

Bagian tipe-p dihubungkan dengan kutub positip (+) sedangkan bagian tipe –n
dihubungkan dengan kutub negatip (-). Arus listrik mudah mengalir pada kondisi
forward bias karena tegangan battery akan mendorong elektron bebas dan hole

35
mengalir ke arah junction. Jika elektron bebas bergerak ke arah junction ion positip
akan terbentuk pada bagian kanan kristal, ion positip ini akan menarik elektron
kedalam kristal dari rangkaian luar, dengan cara demikian maka elektron bebas akan
meninggalkan terminal negatip sumber tegangan dan mengalir kebagian kanan kristal.

Peristiwa yang terjadi pada elektron dapat disimpulkan sebagai berikut :


1) Sesudah meninggalkan kutub negatip battery, maka elektron akan memasuki
bagian kanan kristal.
2) Elektron akan bergerak memasuki bahan tipe –n sebagai elektron bebas.
3) Pada bagian sambungan (junction) elektron akan melakukan rekombinasi dengan
hole dan menjadi elektron valensi.
4) Elektron tersebut akan bergerak menuju bahan tipe-p sebagai elektron valensi.
5) Sesudah meninggalkan bagian kiri kristal maka elektron akan masuk ke kutub
positip battery.

3.5.2. Kondisi Reversed - Bias

Gambar 3.7. Kondisi reversed-bias

Kutub negatip(-) battery dihubungkan dengan bahan tipe-p sedangkan kutub positip
(+) battery dihubungkan dengan bahan tipe-n. Kutub negatip bettery menarik hole dan
kutub positip menarik elektron bebas, akibatnya hole dan elektron bebas berada jauh
dari junction, sehingga depletion layer menjadi lebar. Semakin lebar depletion layer
maka akan semakin besar perbedaan potensial. Depletion layer berhenti membesar
apabila perbedaan potensial junction sama dengan tegangan reverse bias. Pada
kondisi ini maka lektron dan hole berhenti bergerak sehingga arus sama dengan nol.

3.6. Dioda

3.6.1. Rangkaian ekivalen

Pada rangkaian elektronika p-n junction adalah merupakan komponen dioda, dengan
simbol sebagai berikut :

36
Sebuah dioda dapat digambarkan dengan suatu
rangkaian ekivalen yaitu sebuah tahanan dalam Rd
sebesar ~ 0.2 Ohm yang terhubung secara seri
dengan sebuah sumber tegangan DC sebesar 0.7 V
(Si) atau 0.3 V (Ge)

Vb = 0.7 Volts
Rd = 0.2 Ω

Gambar 3.8. Rangkaian ekivalen dioda.

Jika VS = 12 V dan R = 1 KΏ , maka secara


ideal arus yang mengalir pada saat dioda
mengalirkan arus (conduct) adalah :
12 V
I  = 12 m Ampere.
1 K

Tetapi karena adanya tahanan internal Rd = 0.2 Ώ dan tegangan depletion layer Vd =
0.7 Volts, maka :
12 V  0.7 V
I  11.3 m Ampere.
1 K  0.2 

3.6.2. Kurva Dioda.

Dioda adalah komponen non-linier, dibawah tegangan 0.7 Volts dioda mempunyai
arus yang sangat kecil, tetapi diatas tegangan deplesi 0.7 V arus akan menaik secara
tajam. Sifar ini sangat berbeda dengan sifat resisitor pada umumnya. Hal ini
disebabkan karena dioda mempunyai potensial barier atau tegangan deplesi Vd.

Gambar 3.9. Kurva dioda

Diatas tegangan lutut (knee) , arus dioda bertambah secara mencolok, ini berarti
sedikit saja kenaikan tegangan dioda akan menyebabkan pertambahan arus yang
besar. Bagian kanan sumbu tegak adalah daerah forward (forward region) dan bagian
kiri adalah daerah reverse (reverse region). Apabila tegangan reverse mencapai
tegangan jatuh (breakdown voltage) maka arus reverse akan melonjak naik.

37
3.6.2. Garis Beban (Load Line)

Arus yang melalui dioda dinyatakan


dengan rumus :
V V
I  S
RS

Gambar 3.10. Kurva garis beban dioda

Karena rangkaian diatas adalah seri maka arus yang mengalir pada semua komponen
sama. Jika VS = 2 volts, R = 100 Ώ, dan jika dimisalkan tegangan deplesi dioda
V= 0 volts, maka :
2V  0 V
I   20 mA
100 

Plotting pada titik ini dihasilkan titik saturasi (jenuh) yaitu kondisi arus I maksimum
yang terjadi pada saat V = 0 volts.
Sebaliknya apabila arus I = 0 Ampere, maka yang terjadi adalah kondisi cut-off (mati)
dan itu terjadi pada saat V =VS = 2 volts. Yang digambarkan dengan titik potong
pada sumbu horisontal. Apabila kedua titik ekstrim tersebut (titik saturasi dan titik
cut-off) dihubungkan maka akan membentuk garis lurus yang disebut dengan garis
beban (load line). Titk potong antara garis beban dengan kurva dioda adalah titik Q
yang disebut dengan titik kerja dioda (operating point).

38
BAB IV. RANGKAIAN DIODA

4.1. Rangkaian Penyearah Arus

Penyearah arus berfungsi untuk merubah tegangan/arus bolak-balik (AC)


menjadi tegangan/arus searah (DC), dengan menggunakan rangkaian dioda.

4.1.1. Transformator.

Umumnya tegangan AC yang akan dirubah menjadi DC diturunkan lebih dulu


dari tegangan tinggi/menengah ketegangan yang lebih rendah. Peralatan yang
berfungsi untuk menurunkan atau menaikkan tegangan adalah transformator (trafo).

Gambar 4.1. Transformator


Sebuah trafo terdiri dari bagian lilitan primer dan lilitan sekunder. Jumlah lilitan
primer adalah N1 sedangkan lilitan sekunder adalah N2 . Diagram sebuah trafo
seperti nampak pada gambar diatas.

V2 N2

V1 N1

Daya (power) pada lilitan primer dan sekunder adalah sama, karena dianggap tidak
ada kehilangan daya selama proses transformasi tegangan, sehingga :

P1  P2
atau :
V1 I1  V2 I 2
sehingga :
I1 V N N2
 2  2    I1  I2
I2 V1 N1 N1

atau :

N1
I2  I1
N2

39
4.1.2. Penyearah setengah gelombang

Gambar 4.2. Penyearah setengah gelombang

Sebuah dioda (tipe 1N 4001) dipasangkan dibagian rangkaian sekunder dari


transformator T. Dioda D akan mengalirkan arus (conduct) hanya apabila tegangan
anoda lebih positip dari tegangan katoda. Sehingga apabila pada trafo T dimasukkan
tegangan bolak balik dari jala-jala PLN 120 volts , 60 Hz, maka tegangan output pada
beban RL adalah merupakan tegangan setengah gelombang (half-wave) positip,
sedangkan setengah gelombang negatip-nya tidak dilewatkan.

Contoh : Tegangan jala-jala PLN 120 volts adalah tegangan efektif (RMS).

120volts
maka tegangan puncak(peak) : V1(peak) = = 170 volts.
0.707

karena N1 : N2 = 5 : 1 , maka tegangan sekunder adalah :

170 volts
V2 (peak) = = 34 volts.
5

Jika diperhitungkan adanya tegangan deplesi dioda Vd = 0.7 volts, maka


tegangan pada beban RL adalah V2 – Vd = 34 volts – 0.7 volts = 33. 3 volts.

Periode gelombang half-wave ini adalah :

T = 1/f = 1/60 Hz = 0.0167 detik = 16.7 mili-detik.

Apabila dipasangkan DC-voltmeter ke tahanan beban RL maka akan terukur


tegangan sebesar Vp /π , atau dapat dituliskan :

V2( peak)
VDC   0.318 V2( peak) = 0.318 x 33.3 volts = 10.58 volts.

40
4.1.3. Penyearah gelombang penuh.

Gambar 4.3. Penyearah gelombang penuh

Agar supaya didapatkan bentuk tegangan output berbentuk gelombang penuh (full-
wave) maka ditambahkan satu buah dioda lagi pada rangkaian sekundernya seperti
pada gambar diatas. Trafo yang digunakan juga harus trafo dengan center tap (CT).
Sehingga pada swing positip maka dioda bagian atas yang conduct(ON) dan pada saat
swing negatip dioda bagian bawah yang conduct(ON). Sehingga terjadi aliran yang
bolak-balik (positip –negatip) pada tahanan beban RL . Tegangan output yang
dihasilkan pada tahanan beban RL adalah tegangan sinus-full wave seperti nampak
pada gambar.

Contoh : Tegangan peak pada lilitan primer adalah :

120volts
V1( peak)   170 volts.
0.707

Tegangan peak pada lilitan sekunder adalah :

170 volts
V2( peak)   34 volts.,
5
Karena adanya ground dari CT , maka setiap separuh bagian dari trafo hanya
mendapatkan tegangan separuhnya yaitu 34 V/2 = 17 volts.
Tegangan pada beban RL = 17 V – 0.7 V = 16.3 volts.

16.3 volts
Arus pada output (beban) =  16.3 m Ampere.
1 k

Untuk mengukur tegangan DC maka dipasangkan DC-voltmeter pada tahanan beban


RL , maka akan terukur tegangan sebesar :

41
2 V( peak)
VDC   0.318 x 2 x 16.3 volts  10.36 volts.

Periode gelombang dari jala-jala =


1 1
T1    0.0167 det ik  16.7 mili  det ik .
f 60 Hz
Periode gelombang full-wave :
16.7 m det ik
T2   8.33 m det ik .
2
1 1
atau frekuensi tegangan beban : f 2    120 Hz.
T2 8.33 m det ik

4.1.4. Penyearah Jembatan Wheatstone

Gambar 4.4. Penyearah Jembatan Wheatstone

Bentuk lain dari penyearah gelombang penuh (full-wave rectifier) adalah dengan
menggunakan rangkaian dioda jembatan Wheatstone. Pada rangkaian ini tidak
diperlukan trafo dengan center-tap, sehingga tegangan output-pun tidak separuh dari
tegangan sekunder.

Arus yang mengalir pada rangkaian ini adalah sebagai berikut :

a. Swing positip : arus mengalir dari bagian atas trafo  dioda D3  tahanan
beban RL  dioda D2  ke bagaian bawah trafo.
b. Swing negatip : arus mengalir dari bagian bawah trafo  dioda D4 
tahanan beban RL  dioda D1  ke bagian atas trafo.

Contoh :
170 volts
Tegangan peak pada lilitan sekunder :  34 volts.
5
Karena dalam satu cycle (swing) arus melewati dua buah dioda maka tegangan yang
dirasakan pada beban RL adalah :
V2(peak) - 2x Vd = 34 volts – 2(0.7 volts) = 32.6 volts.

32.6 volts
Arus beban : I p   32.6 mili  Ampere.
1 k

42
Tegangan yang muncul dari tahanan beban RL masih merupakan tegangan “ full-
wave”, untuk menjadikannya betul-betul tegangan/arus yang searah maka perlu
dilakukan perataan dengan menggunakan rangkaian filter. Filter yang umumnya
digunakan adalah filter RC, yang dipasangkan setelah rangkaian jembatan.

Gambar 4.5. Penyearah Jembatan dengan filter.

Dengan memasangkan sebuah kapasitor C paralel dengan tahanan beban RL maka


akan terjadi proses charging pada saat tegangan naik dan dis-charging pada saat
tegangan turun, sehingga efek yang terjadi adalah proses “pengisian” lekuk-lekuk
dari bentuk gelombang full-wave, yang digambarkan pada diagram berikut ini.

Gambar 4.6. Tegangan ripple


Proses perataan atau pem-filter-an tidak selalu menghasilkan bentuk tegangan yang
betul-betul rata, umumnya masih terjadi lekuk-lekuk kecil yang disebut dengan ripple
voltage. Besarnya tegangan ripple ini tergantung pada besaran frekuensi dan nilai
capasitor yang digunakan.

I
Vripple  [volts]
f xC
dimana :
Vripple = tegangan ripple peak to peak.

43
I = Arus beban DC [Ampere]
f = frekuensi ripple [Hertz]
C = kapasitansi [Farad]

Untuk mengurangi besarnya tegangan ripple maka digunakan beberapa stage filter
(multistage RC filter) seperti berikut ini :
R R

PENYEARAH
FULL-WAVE C C C RL

Gambar 4.7. Penyearah dengan multistage RC - filter

4.2. Rangkaian Pengali Tegangan

4.2.1. Half-wave voltage doubler

Gambar 4.8. Rangkaian halfwave voltage doubler

Voltage doubler adalah rangkaian yang berfungsi untuk melipat dua kalikan
tegangan input. Rangkaian voltage –doubler yang lengkap adalah seperti yang
tercantum pada gambar (d). Namun untuk menjelaskannya dimulai dari gambar
(a) . Pada gambar (a) sumber tegangan AC memberikan input pada rangkaian
dioda dan kapasitor.

a. Pada swing negatip (-) arus mengalir melalui rangkaian dioda D1 yang
forward-bias dan mengisi kapasitor C1 . Arus ini tidak dapat melewati
dioda D2 karena reverse-bias. Jika dimisalkan tegangan peak dari
sumber AC adalah Vp maka tegangan yang mengisi C1 juga adalah
sebesar Vp dengan polaritas tegangan seperti pada gambar (b).

44
b. Pada swing positip (+) arus mengalir melalui C1 dan masuk ke dioda D2
yang forward bias terus masuk ke kapasitor C2, sedangkan D1 reversed-
bias. Tegangan yang mengisi C2 besarnya adalah 2 Vp ( 1 Vp dari
sumber + 1 Vp dari isi kapasitor C1). Jadi tegangan yang mengisi
kapasitor C2 setelah satu cycle ( swing + dan swing - ) adalah 2 Vp.

Secara lebih jelas tegangan 2 Vp yang didapat pada C2 di tampung pada


tahanan beban RL , seperti nampak pada gambar (d). Karena tegangan 2 Vp
didapat setelah swing positip dari tegangan input maka rangkaian ini disebut
dengan Half-wave voltage doubler.

4.2.2. Full-wave voltage doubler

Cara kerja rangkaian adalah sebagai berikut :

a. Pada swing positip , arus mengalir dari bagian atas sumber melalui
dioda D1 mengisi kapasitor C1 dengan tegangan sebesar Vp.
b. Pada swing negatip, arus mengalir mengisi kapasitor C2 dan melalui
dioda D2 dengan tegangan sebesar Vp.

Setelah satu cycle (swing + dan swing -) tegangan yang dirasakan pada
kedua kapasitor seri C1 dan C2 adalah sebesar 2 Vp dan tegangan ini bisa
didapat pada tahanan beban RL.

Gambar 4.9. Rangkaian fullwave voltage doubler

4.2.3. Voltage Tripler dan Voltage Quadrupler

Gambar 4.10. Rangkaian voltage tripler dan quadrupler

45
Sama dengan yang terjadi pada voltage doubler dengan proses yang berlanjut
dapat juga dibentuk rangkaian voltage tripler (pengkali tiga) pada gambar (a)
dan voltage quadrupler (pengali empat) pada gambar (b).
Dengan menambahkan capasitor C3 dan dioda D3 maka rangkaian voltage
doubler akan berkembang menjadi rangkaian voltage tripler. Tegangan 3 Vp
diambil pada titik C1 sampai dengan C3, seperti nampak pada gambar (a).
Demikian juga dengan menambahkan capasitor C4 dan dioda D4 maka akan
terbentuk rangkaian voltage quadrupler, dimana tegangan 4 Vp pada titik C2
sampai dengan C4 , seperti nampak pada gambar (b).

4.3. Rangkaian pembatas (Limiter)

Gambar 4.11. Rangkaian Limiter

Limiter adalah rangkaian elektronik yang berfungsi sebagai pembatas tegangan. Cara
kerja rangkaian limiter seperti pada gambar (a) adalah sebagai berikut :
a. Pada swing positip : arus mengalir melalui titik atas dari sumber melalui R
dan masuk ke dioda yang forward bias. Karena arus di short circuit oleh
dioda maka tegangan drop di tahanan beban RL = 0 , tegangan output = 0.
b. Pada swing negatip : arus mengalir melalui titik bawah dari sumber
langsung masuk ke tahanan beban RL dan tidak melalui dioda , karena
dioda open circuit (reversed bias). Sehingga tegangan output negatip yang
terpotong muncul di tahanan RL sebesar - Vp.

Apabila dioda dibalik maka tegangan output yang muncul adalah tegangan positip
yang terpotong sebesar Vp . Jika pada dioda dipasangkan secara seri sebuah
tegangan DC sebesar V maka tegangan output yang terpotong pada bagian positip
adalah sebesar V + 0.7 volts, dimana 0.7 volts adalah tegangan deplesi dioda (Vd).
Apabila diinginkan pemotongan terjadi pada swing positip dan negatip maka
dipasangkan dua buah dioda yang masing-masing dihubungkan secara seri dengan
tegangan yang diperlukan sebesar V. Hasil pemotongan yang terjadi juga adalah
sebesar V ± 0.7 volts , seperti nampak pada gambar berikut ini :

Gambar 4.11. a.

46
4.4. Rangkaian Penekan (Clamper)

Rangkaian clamper atau penekan berfungsi untuk menurunkan/menaikkan level


tegangan AC pada level DC tertentu atau dengan kata lain menambahkan tegangan
DC pada tegangan AC.

Gambar 4.12. Rangkaian clamper

Terdapat dua jenis clamper, yaitu clamper positip dan clamper negatip.
Pada gambar diatas adalah rangkaian positip clamper , yang cara kerjanya sebagai
berikut :
a. Pada swing negatip : dioda ON , capasitor C terisi dengan tegangan sebesar
Vp seperti nampak pada gambar (b).
b. Pada swing positip : dioda OFF , tegangan yang ada pada capasitor dan
sumber tegangan adalah sebesar 2 Vp . Karena time constant RLC dibuat jauh
lebih besar dari periode gelombang T maka pada saat dioda OFF kapasitor C
masih tetap terisi penuh.
Dengan demikian maka tegangan ouput yang terjadi pada beban R L adalah tegangan
sebesar 2 Vp , namun karena adanya tegangan deplesi dioda sebesar 0.7 volts, maka
hasil clamping yang terjadi tidak betul-betul sempurna karena adanya slack negatip
sebesar 0.7 volts tersebut.
Clamper negatip terjadi kalau dioda dirubah arahnya kearah sebaliknya dari
clamper positip diatas.

4.5. Dioda dengan fungsi Khusus

4.5.1. Dioda Zener

Dioda Zener disebut juga breakdown diode , adalah jenis dioda yang daerah
kerjanya pada daerah breakdown. Daerah breakdown adalah kondisi dimana
tegangan dioda tetap pada suatu nilai tertentu (VZ) walaupun arusnya ber-ubah-
ubah.
Simbol dioda zener seperti digambarkan pada gambar berikut (a) atau (b).

47
Gambar 4.13. Dioda Zener dan kurva karakteristiknya

Kurva dioda zener digambarkan pada gambar (c). Terdapat tiga daerah operasi
dioda zener, yaitu daerah forward, leakage dan breakdown. Daerah forward adalah
mulai dari titik nol ke kanan , pada daerah ini dioda mulai conduct pada tegangan
0.7 volts (Si) dan arus akan naik secara signifikan. Daerah leakage mulai dari titik
nol kekiri sampai dengan tegangan breakdown (VZ), sedangkan daerah breakdown
adalah daerah dimana tegangan dioda konstan pada tegangan V Z , walaupun
arusnya berubah-ubah. Daerah perubahan arus dalam kurva dinyatakan pada – IZT
samapai dengan - IZM.
Dioda Zener disebut juga sebagai voltage-regulator diode, karena dapat
mempertahankan tegangan pada suatu nilai konstan walaupun terjadi perubahan
arus.
Pada gambar berikut ini (a) dioda zener dihubungkan secara seri dengan
tegangan DC : ES dan resistor RS. Maka arus yang mengalir pada resistor
adalah :

VS  VZ
IS 
RS

Pada gambar berikut (b) tegangan ES dapat ubah dari 20 s.d. 40 V, sedangkan
VZ = 10 volts. RS = 820 Ohm.
20 V  10 V
a. Jika ES = 20 V  maka I S   12.2 m A
820 
40 V  10 V
b. Jika ES = 40 V  maka I S   36.6 m A
820 

RS RS = 820Ω

IS
ES VZ ES VZ = 10 V Vout
20 – 40 V

48
Dengan demikian untuk mempertahankan tegangan VZ yang konstant maka arus
IS yang berubah-ubah.

Contoh pengunaan dioda Zener sebagai voltage regulator adalah pada rangkaian
berikut ini :
Pada rangkaian (a) , arus yang mengalir pada resistor 270 Ώ adalah :

18 V  10 V
I  29.6 m A. , karena tegangan beban RL adalah 10 volts,
270 
10 V
maka arus beban I L   10 mA
1 K
dengan demikian arus yang mengalir melalui dioda zener adalah :
IZ = I - IL = 29.6 mA - 10 mA = 19.6 mA

Gambar 4.14. Voltage regulator

Aplikasi dari rangkaian voltage regulator digambarkan pada diagram (b). Sebuah
DC power supply yang menghasilkan tegangan sebesar 18 volts dihubungkan
dengan rangkaian pada gambar (a) yang akan menghasilkan tegangan DC yang
sudah regulated sebesar 10 volts.
Pengembangan lebih lanjut dari rangkaian voltage regulator adalah voltage
regulator bertingkat seperti pada rangkaian berikut ini .

Gambar 4.15. Voltage regulator bertingkat.


Dioda zener 20 V bertindak sebagai pre-regulator untuk mendrive dioda zener
yang kedua (10 V). Dengan konfigurasi ini diharapkan akan didapat hasil regulasi
tegangan yang lebih baik pada tahanan beban RL. = 2 KΏ.

4.5.2. LED (light emitting diode)

Light emitting diode adalah salah satu komponen Opto-electronics yang


merupakan gabungan antara teknologi optic dan electronics. LED adalah
merupakan komponen p-n junction , yang digambarkan dengan sebuah dioda yang

49
memancarkan cahaya. Pada kondisi forward bias electron bebas pada LED akan
melewati sambungan (junction) dan jatuh ke hole. Karena electron jatuh dari
level energi yang tinggi ke level energi yang rendah maka ia akan melepaskan
energinya. Energi yang dilepaskan adalah energi cahaya.
RS

ED LED

Gambar 4.16. Rangkaian LED

Bahan semikonduktor yang digunakan untuk pembuatan LED adalah gallium


(Ga), Arsenic (As) dan phosphor (P) , yang dapat menghasilkan cahaya dengan
warna merah, hijau, kuning , biru dan orange serta infra-red.
LED yang menghasilkan cahaya tampak banyak digunakan dalam peralatan
instrumen, calculator , toys dan sebagainya.

4.5.3. PD (Photo-diode)

Photo-diode adalah merupakan komponen opto-electronics yang bekerja


kebalikan dari LED. PD juga merupakan suatu p-n juction, pada kondisi reversed-
bias , jika diberikan enerji cahaya pada sambungannya maka energi ini akan dapat
mengusir electron valensi dari orbitnya dan menghasilkan elektron bebas.
Semakin banyak enerji cahaya diberikan pada p-n junction maka akan semakin
banyak elektron bebas yang dihasilkan sehingga akan menghasilkan arus reverse
yang makin besar pula.
RS

ED PD

Gambar 4.17. Rangkaian Photo-dioda

50
BAB V. RANGKAIAN TRANSISTOR

5.1. Jenis Transistor

Transistor merupakan komponen elektronika aktif yang banyak digunakan


dalam berbagai jenis rangkaian seperti amplifier, osilator, dan sebagainya.
Transisitor memiliki tiga bagian bahan doping semikonduktor, yaitu emitter , base
dan collector, yang digambarkan sebagai berikut :

COLLECTOR

P
p

BASE B
N n

P
E

EMITTER

Gambar 5.1. Transistor pnp

Pada gambar (a) diatas junction p-n-p membentuk sebuah transistor dengan
simbol seperti pada gambar (b) , yang masing-masing bahan dinamakan :
a. bagian bawah , bahan tipe-p disebut emitter (E)
b. bagian tengah , bahan tipe-n disebut base (B)
c. bagian atas, bahan tipe -p disebut collector (C)
Konfigurasi transistor yang lain adalah jenis n-p-n yang dalam bentuk simbolnya
tanda panahnya mengarah ke emitter.

COLLECTOR

N
n

BASE B
P p

N
E

EMITTER

Gambar 5.2. Transistor npn

51
Agar supaya suatu transistor dapat bekerja sesuai dengan fungsinya maka perlu
diberikan sumber tegangan bias yang memberikan tegangan DC pada terminal base-
emitter dan emitter – collector. Konfigurasi tegangan bias untuk bentuk common-
emitter dari suatu amplifier (penguat) adalah seperti gambar berikut ini :
RC

RB +
Ic
VCE VCC
+
VBB Ib VBE -
-

Gambar 5.3. Konfigurasi Common-Emitter (CE)

Tegangan VBB memberikan tegangan bias untuk sambungan base-emitter sedangkan


VCC memberikan tegangan bias untuk sambungan collector-emitter.

Rumus-rumus untuk rangkaian amplifier diatas adalah :

VBB  VBE
Arus base : IB 
RB
V  VCE
Arus collector : I C  CC
RC
Tegangan collector-emitter : VCE  VC  VE  VCC  I C RC
Tegangan collector-base : VCB  VC  VB
Tegangan base-emitter : VBE  VB  VE
Arus emitter : I E  I C  I B
I
DC current gain (penguatan arus DC) :  DC  C
IB
Contoh : Konfigurasi common-emitter (CE) berikut ini .
RC = 3.6 kΩ

β=100
RB = 470 kΩ +

VCE VCC
+ 15 V
VBB VBE -
15 V -

Jika diasumsikan VBE = 0.7 volts (untuk bahan Si)

52
maka berdasarkan rumus diatas , dapat dihitung besaran arus dan tegangannya
sebagai berikut :

15V  0.7 V
IB   30.4  A
470 k
IC  100 x 30.4  A  3.04 m A

VCE  15 V  (3.04 m A) (3.6 k)  4.06 V

5.2. Kurva Transistor

Dengan mem-variasikan tegangan VBB dan VCC maka akan didapat seperangkat
nilai arus IC , I B dan tegangan VCE. Selanjutnya dengan mem-plot data-data hasil
perhitungan atau pengukuran diatas maka akan didapatkan kurva sebagai berikut .

IB

VCE

Gambar 5.4. Kurva karakteristik transistor

Jika VCE = 0, dioda collector tidak akan reversed bias, sehingga arus collector
tidak nol . Untuk VCE antara 0 - 1 volts, arus collector akan naik secara tajam dan
kemudian hampir konstan. Diatas 0.7 volts, maka nilai eksak VCE tidaklah terlalu
penting karena walaupun sedikit saja diberikan tegangan revesed bias, sudah cukup
untuk mengumpulkan elektron dari base ke collector.
Jika VCE lebih besar dari 40 volts, maka dioda collector akan jatuh (breakdown) dan
transistor tidak dapat bekerja secara normal. Kurva diatas adalah bentuk tipical untuk
transistor tipe 2N 3904 jenis low-power transisitor.
Terdapat tiga daerah operasi transistor , yaitu active region, yaitu daerah
tegangan VCE antara 1 s.d. 40 volts. Breakdown region , yaitu daerah tegangan VCE
diatas 40 volts, sedangkan saturation region adalah daerah tegangan VCE antara 0 s.d
1 volts.

53
5.3. Garis Beban (Load Line).

Garis beban transistor di definisikan sebagai tempat kedudukan dari titik-titik


kerja transistor pada suatu konfigurasi rangkaian. Titik potong garis beban dengan :
a. Sumbu tegak (IC) disebut dengan titik jenuh (saturation), terjadi pada saat
VCE = 0  VCC - IC RC = 0  IC = VCC / RC.

b. Sumbu datar (VCE), disebut dengan titik mati (cut –off), terjadi pada saat
IC = 0  VCE = VCC .

Gambar 5.5. Garis beban (load-line)

Contoh :

VCE

Dari rangkaian amplifer transistor diatas dapat dihitung besaran arus dan tegangannya
sebagai berikut :

15V  0.7 V
1. I B   28.6  A
500 k 
2. Jika diasumsikan DC = 100  IC = 100 x 28.6 μ A = 2.86 m A

3. VCE = 15 V - (2.86 mA) (3 kΏ) = 6.42 Volts.

Jadi titik kerja transistor adalah titik Q , dimana VCE = 6.42 V , IC = 2.86 mA.

Titik potong garis beban :

54
VCC 15 V
a. Titik saturasi :   5 mA
RC 3 k
b. Titik cut-off : VCE = VCC = 15 volts.

5.4. Tegangan Bias

Pada uraian sebelumnya nampak bahwa untuk suatu rangkaian amplifier dengan
konfigurasi common-emitter (CE) diperlukan dua buah tegangan DC, yaitu VBB dan
VCC .
Metoda pemberian tegangan bias transistor yang banyak digunakan adalah Voltage-
divider bias (VDB). Voltage-divider adalah pembagi tegangan , yaitu berupa
komponen resistor R1 dan R2 pada rangkaian base. Resistor R1 dan R2 membagi
tegangan VBB untuk memberikan tegangan bias pada sambungan base-emitter yang
tertera pada gambar (a). Gambar (a) dapat di rekonfigurasi menjadi gambar (b),
selanjutnya gambar (b) dapat di-rekonfigurasi kembali menjadi gambar (c), yaitu
dengan mengabungkan dan menjadikan satu VBB dengan VCC . Dengan konfigurasi
tegangan bias - pembagi tegangan, rangkaian dapat disederhanakan dengan hanya
menggunakan satu tegangan bias saja , yaitu VCC.

(c)
Gambar 5.6. Modifikasi bias-emitter menjadi voltage-divider bias.

55
R1 dan R2 berfungsi sebagai pembagi tegangan dari tegangan VCC untuk
memberikan tegangan reversed-bias pada sambungan collector-base dan tegangan
forward-bias pada sambungan base-emitter. Sedangkan tahanan RC dan RE
memberikan tegangan forward-bias pada sambungan collector-emitter.

Untuk menghitung besaran arus dan tegangan DC dari rangkain diatas digunakan
rumus-rumus sebagai berikut :
VCC
1. Arus pembagi : I 
R1  R2
2. Tegangan base : VB  I x RB
3. Tegangan emitter : VE  VB  VBE
V
4. Arus emitter : I E  E ≈ IC
RE
5. Tegangan collector : VC  VCC  I C RC
6. Tegangan collector –emitter : VCE VC  VE

Contoh :

10V
I  0.82 m A
10 K  2.2 K

VB  I R2  0.82 mA x 2.2 k  1.8 V

VE  VB  VE  1.8 V  0.7 V  1.1 V

VE 1.1 V
IE    1.1 m A = IC
RE 1k

VC  10 V  (1.1mA x 3.6 k)  6.04 V

VCE  6.04V  1.1 V  4.94 V

Dari hasil perhitungan parameter DC rangkaian amplifier diatas maka dapat


ditentukan titik kerja Q : IC = IE = 1.1 m A, VCE = 4. 94 V.
Untuk menggambarkan garis beban, lebih dulu ditentukan titik saturasi dan titik
potongnya sebai berikut :

VCC 10 V
a. Titik saturasi : I SAT    2.7 m A
RC 3.6 k 
b. Titik cut-off : VCUT OFF  VCC  10 V

56
5.5. Rangkaian Model AC

Rangkaian amplifier transistor berfungsi untuk memperkuat sinyal AC agar


didapatkan tegangan AC yang lebih besar pada rangkaian outputnya. Agar supaya
rangkaian transistor dapat berfungsi dengan baik maka harus ditambahkan beberapa
komponen pada bagian input dan output serta pada sistem biasingnya.
Penambahan tersebut adalah penambahan capasitor input (Ci) dan capasitor
output (Co) serta capasitor by-pass (Ce).

R1 RC
Co

RG Ci VCC

RL

e(t)
R2 RE CE

Gambar 5.7. Rangkaian amplifier model AC

- Kapasitor Ci berfungsi sebagai kapasitor coupling input untuk masuknya sinyal AC


dari sinyal generator e(t) dan sekaligus memblokir arus DC agar tidak masuk
kerangkaian input.
- Kapasitor Co berfungsi sebagai kapasitor coupling output untuk meneruskan sinyal
AC ke tahanan beban RL dan sekaligus memblokir arus DC agar tidak masuk
kerangkaian output.
- Kapasitor CE berfungsi sebagai kapasitor by-pass yang berfungsi memby-pass arus
AC agar tidak melewati tahanan RE , agar supaya titik kerja transisitor tidak berubah-
ubah.

57
10 kΩ 3.6 kΩ
Co

600Ω Ci 10 V
Vc
β=100

Vb 10 kΩ VOUT
Ve
e(t) VIN
1 mV 2.2 kΩ 1 kΩ CE

Gambar 5.7.a.

Untuk menganalisa rangkaian model AC dari rangkaian berikut dilakukan dengan


dua tahap :
1. Analisa Rangkaian DC , untuk menentukan titik kerja dan garis beban
2. Analisa Rangkaian AC, untuk menentukan faktor penguatan sinyal
generator AC.

a. Analisa rangkaian DC :

1. Hilangkan/lepas sumber sinyal AC.


2. Buka semua kapasitor
3. Analisa rangkaian ekivalen DC

Gambar 5.8. Rangkaian ekivalen DC


b. Analisa rangkaian AC :

1. Dari rangkaian original, hilangkan semua sumber DC


2. Semua kapasitor di short-circuit
3. Analisa rangkaian ekivalen AC

58
(a) (b)
Gambar 5.9. Rangkaian ekivalen AC

Tegangan input AC pada sambungan base-emitter adalah :

1.8 k
VB ( AC )  1mV x  0.75 mV
1.8 k  600

Tahanan DC (RDC) dan tahanan AC (RAC) dioda emitter.

DC
B

DE
VBE IE
E

(a) (b)
Gambar 5.10. Dioda colector dan emitter

Sebuah transistor jenis npn pada gambar 5.16 (a) dapat di-analogikan sebagai sebuah
rangkaian dengan 2 buah dioda base-collector sebagai dioda collector (DC) dan
sebuah dioda base-emitter sebagai dioda emitter (DE) seperti pada gambar 5.16 (b).

Pada saat transistor bekerja normal, dioda collector reversed-bias dan dioda emitter
forward-bias . Pada kondisi forward bias :

- Tahanan DC dioda emitter adalah :

VBE
RDC 
IE
- Tahanan AC dioda emitter adalah :

 VBE
RAC 
I E

59
Untuk perhitungan praktis besarnya tahanan AC dioda emtter dapat
dihitung dengan rumus empirik sebagai berikut :

25 mV
RAC  = rde
IE

Model rangkaian ekivalen AC untuk Amplifier CE (common-emitter)

Pad rangkaian ekivalen ini tahanan RG dan R1//R2 bertindak sebagai voltage-divider
sehingga teganagn input pada sambungan base-emitter lebih kecil darai tegangan VG.
Tahanan AC dilihat pada rangkaian base-emitter didefinisikan sebagai impedansi
input base , dirumuskan :

vb
Z in (base)  dimana : vb= teg. base AC peak-to-peak
ib
ib = arus base AC peak-to-peak

C
RG
ib B

RC // RL
E
VG R1//R2 Vb
Zin(base)

Gambar 5.11. Rangkaian ekivalen AC


Untuk menganalisa rangkaian diatas dapat digunakan model-model rangkaian
ekivalen, yaitu model-T atau model – π.

a. Model - T

RG ic
ib

ie RC // RL
VG R1//R2 rde

Gambar 5.12. Rangkaian ekivalen model - T


Transistor T diekivalenkan dengan sebuah T-junction yang terdiri dari sebuah
sumber arus ic terhubung seri dengan tahanan AC dioda emitter rde . Pada rangkaian
ini tahanan AC base vb terletak pada tahanan paralel R1//R2. Sehingga kita dapat
merumuskan arus emitter AC sebagai berikut :

60
vb
ie 
rde
tegangan AC collector adalah : vc  ic rc
dimana :
rc : tahanan collector AC
ic : arus collector AC
b. Model - π

Pada model – π , transistor di ekivalenkan dengan sebuah sumber arus ic yang


terhubung paralel dengan tahanan emitter dengan nilai  rde . Rangkaian ekivalen
model –π ini dapat diturunkan dari model-T .
Impedansi input jika dilihat pada rangkaian base adalah :
v
Z in (base)  b , diketahui juga bahwa vb  ie rde , maka
ib
i r i
Z in (base0  e de , karena e   , maka Zin(base)   rde
ib ib

RG

VG R1//R2 βrde ic RC // RL

Gambar 5.13. Rangkaian ekivalen model - π

Contoh :

Rangkaian pada Gambar 5.7. a. , setelah dilakukan analisa rangkaian DC dan AC


didapat parameter rangkaian sebagai berikut :

a. Besaran DC :

VCC 10V
1. I    0.819 mA
R1  R2 12.2 k
2. VB  I x R2  0.819 mA x 2.2 k  1.8 volts
3. VE  VB  VBE  1.8V  0.7 V  1.1 volts
V 1.1 V
4. I E  E   1.1 mA
RE 1 k
5. VC  VCC  IC RC  10 V  (1.1mA)(3.6 k)  6.04 volts
6. VCE  VC  VE  6.04 V  1.1V  4.94 V

61
b. Besaran AC :

1. Tahanan emitter AC :
25 mV 25 mV
rde    22.7 
IE 1.1mA
2. Tahanan collector AC :
rc  Rc // RL  3.6 k // 10 k  2.65 k

3. Impedansi input (base) ;


Zin(base)   rde  100 x 22.7   2.27 k

4. Impedansi input amplifier :


Zin  R1 // R2 //  rde  10 k // 2.2 k // 2.27k  1k

c. Penguatan Tegangan AC :

ig Rg=600Ω

vb

Vg = 1 mV ic rc=2.65 kΩ
Zin=1 kΩ

1mV
1) Arus generator : ig   0.625  A
600  1k

vb  ig x 1k  0.625  A x 1k  0.625 mV

Zin
vb  vg
Rg  Z in
vg
ig   vb  ig x Zin
Rg  Z in

vb 0.625 mV
2) Arus base AC : ib    0.275  A
Zin (base) 2.27 k

Jika   100 ,    ic  ib   100 x 0.275  A  27.5  A

62
3) Tegangan collector AC :
vc  ic rc  27.5  A x 2.65 k  72.9 mV

RG ic
600Ω ib

ie RC // RL
VG R1//R2 rde 2.65 kΩ
1.8 kΩ 22.7 Ω
1 mV

vb 0.625 mV
ie    27.5  A
rde 22.7 

vc  ie rc  27.5  A x 2.65 k   72.9 mV

4) Penguatan Tegangan (A) :

Vout 72.9 mV
A   117
Vin 0.625 mV

Daftar Literatur :

1. Albert Paul Malvino Ph.D. “ Electronics Principles” , 5th. Ed.


Macmillan/McGraw-Hill, New York, 1993.
2. S.M. Sze “ Semiconductor Devices, Physics and Technology”, John
Willey & Sons, New York, 1985.

63

Anda mungkin juga menyukai