Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

a. Definisi
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik
kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insomnia inisial
atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak bisa
mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau bangun
secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).
Insomnia dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan fisik antara lain
peningkatan nafsu makan yang dapat mengakibatkan obesitas, diabetes,
penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan sistem imun, dan penurunan
gairah seksual. Insomnia juga dikaitkan dengan gangguan psikologik
misalnya terjadinya terjadinya depresi, ansietas, dan penurunan daya ingat
karena pada dasarnya tidur berguna untuk resusitasi otak dan konsolidasi
daya ingat (Amir, 2010).

b. Etiologi

Faktor-faktor resiko berikut ini dapat menyebabkan gangguan tidur


insomnia. Berikut ini adalah penjelasan faktor resiko yang mempengaruhi
terjadinya insomnia :
1. Usia
Pada orang-orang usia lanjut dilaporkan lebih sering mengalami
kesulitan memulai dan mempertahankan tidur. Keadaan ini terjadi karena
adanya perubahan yang berhubungan dengan penuaan pada mekanisme
otak yang meregulasi waktu dan durasi tidur tersebut (Nicholi, 1999).
Terdapat pula perbedaan pola tidur diantara orang dengan usia lanjut
dengan orang-orang usia muda. Kebutuhan tidur akan semakin berkurang
dengan bertambahnya usia seseorang. Pada usia 12 tahun kebutuhan tidur
adalah sembilan jam, berkurang menjadi delapan jam pada usia 20 tahun,
lalu tujuh jam pada usia 40 tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun
dan pada usia 80 tahun menjadi hanya enam jam (Prayitno, 2002).
2. Jenis kelamin
Resiko insomnia ditemukan lebih tinggi terjadi pada wanita
daripada laki-laki (Sateia & Nowell, 2004). Hal ini dikatakan
berhubungan secara tidak langsung dengan faktor hormonal, yaitu saat
seseorang mengalami kondisi psikologis dan merasa cemas, gelisah
ataupun saat emosi tidak dapat dikontrol akan dapat menyebabkan
hormon estrogen menurun, hal ini bisa menjadi salah satu faktor
meningkatnya gangguan tidur (Purwanto, 2008).
3. Kondisi medis dan psikitari
Insomnia bisa terjadi karena adanya kondisi medis yang dialami,
seperti penyalahgunaan zat, efek putus zat, kondisi yang menyakitkan
atau tidak menyenangkan dan bisa juga karena adanya kondisi psikiatri,
seperti kecemasan ataupun adanya depresi. Keluhan yang dialami adalah
sulit dalam memulai tidur dan mempertahankan tidur (Kaplan et. al.,
2010).
4. Faktor Lingkungan dan Sosial
Kehidupan sosial dan lingkungan sehari-hari juga dapat
menyebabkan insomnia, seperti pensiunan dan perubahan pola sosial,
kematian dari pasangan hidup, suasana kamar tidur yang tidak nyaman
dan adanya perasaan-perasaan negatif dari lansia itu sendiri (Adiyati,
2010)

c. Tipe-tipe insomnia
Insomnia terdiri atas tiga tipe :
1. Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga insomnia
inisial dimana keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang muda.
Berlangsung selama 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan ia bisa
tertidur juga. Tipe insomnia ini bisa diartikan ketidakmampuan seseorang
untuk tidur.
2. Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat masuk
tidur dengan mudah, tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun dan tertidur
kembali, kejadian ini dapat terjadi berulang kali. Tipe insomnia ini
disebut jaga intermitent insomnia.
3. Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga insomnia
terminal, dimana pada tipe ini dapat tidur dengan mudah dan cukup
nyenyak, tetapi pada saat dini hari sudah terbangun dan tidak dapat tidur
lagi (Erry 2000).

c. Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti
tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal.
Arousal dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS
(ascending reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain yang
berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior
hipotalamus dan thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai
dengan tingginya tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap
situasi spesifik seperti lingkungan tidur.
Data psikofisiologi dan metabolic dari hyperarousal pada pasien insomnia
meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan
variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh
dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada
pasien insomnia dibandingkan pada orang normal.
Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi
gelombang beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang
beta dikaitkan dengan aktivitas gelombang otak selam terjaga. Penurunan
dorongan tidur pada pasien insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas
gelombang delta.
Data neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan
level kortisol dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur,
terutama pada setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia.
Penurunan level melatonin tidak konsisten ditemukan.
Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal tentang
hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak
selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon emission computer
tomography) dan PET ( positron emission tomography). Pada penelitian
PET yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan
aktivitas dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal
frontal selama terjaga, hal inilah yang 7 menyebabkan keluhan-keluhan yang
dirasakan oleh pasien baik pada saat terjaga maupun tidur.
Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi
peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas
metabolik di kortek orbita frontal dan mengelukan kualitas tidur yang
buruk, hal ini juga mendukung hipotesis mengenai hyperarousal. Pada
pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia primer, selama tidur NREM
terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling jelas pada basal
ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan
dengan insomnia primer maupun sekunder.

d. Manifestasi Klinis
Gejala insomnia pada umumnya berupa kesulitan untuk memulai tidur,
sulit mengatur waktu tidur, bangun tidur terlalu awal, dan kualitas tidur yang
buruk (Horsley et al, 2016). Menurut Kozier & Erb (2008) gejala insomnia
diantaranya:
1. Sulit untuk memulai tidur
Seseorang yang mengalami insomnia akan sulit untuk memulai tidur
walaupun sudah merasa lelah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Sulis (2015) menyebutkan bahwa keluhan yang paling sering dikeluhkan
oleh pasien adalah kesulitan untuk memulai tidur.
2. Sering terbangun saat tengah malam
Keadaan insomnia sering mengalami terbangun dimalam hari, sehingga
tidurnya selalu terjaga.
3. Sulit kembali tertidur
Setelah terbangun dimalam hari, biasanya penderita insomnia akan sulit
untuk tertidur kembali.
4. Bangun terlalu pagi
Penderita insomnia akan bangun terlalu pagi karena tidurnya terjaga.
5. Tidak merasa puas akan tidur
Pada saat bangun di pagi hari biasanya penderita insomnia tidak merasa
puas dengan tidurnya, mereka akan merasakan letih karena tidurnya
selalu terjaga.
6. Mengantuk di siang hari
Mengantuk di siang hari disebabkan karena kurang tidur di malam hari.
7. Sulit untuk berkonsentrasi
Penderita insomnia akan sulit untuk berkonsentrasi saat siang hari karena
mereka merasa lemas dan mengantuk.

e. Komplikasi
Menurut Munir (2015) insomnia dapat menimbulkan gangguan untuk
melakukan aktvitas sepanjang hari, melemahkan energi dan mood, kesehatan,
serta kualitas hidup, dan menyebabkan rasa frustasi bagi yang mengalaminya.
Jika insomnia terjadi dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan baik mental maupun fisik (Mayo Clinic, 2013 cit
Sulistyowati, 2014).

f. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan insomnia terdiri dari terapi non-farmakologis dan
terapi farmakologis. Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Terapi non-farmakologis
a) Teknik deconditioning : pada teknik ini pasien diminta untuk
menggunakan tempat tidurnya hanya untuk tidur dan bukan untuk hal-
hal lainnya, bila pasien tidak tertidur dalam 5 menit, maka mereka
diminta untuk bangun dan melakukan hal lain. Terkadang, berganti
tempat atau ruangan tidur berguna bagi pasien (Sadock B. & Sadock
V., 2014).
b) Edukasi tentang sleep hygiene menurut Ebert Michael H. (2008)
dengan menggunakan terapi kontrol stimulus, yaitu :
1) Menjaga waktu tidur dan terbangun agar konstan, bahkan saat hari
libur.
2) Saat sudah di tempat tidur hentikanlah kegiatan menonton tv,
membaca buku atau bekerja.
3) Hindari tidur siang.
4) Berolahraga secara rutin (3-4 kali per minggu), namun hindari
berolahraga di sore hari bila mengganggu waktu tidur nantinya.
5) Hentikan atau kurangi mengkonsumsi alkohol, kafein, rokok dan
substansi lain yang dapat mengganggu tidur.
6) Sebelum tidur lakukan aktifitas yang dapat menenangkan.
7) Aturlah agar ruangan tempat tidur terasa nyaman dan tenang.
c) Terapi kognitif : pasien insomnia sering memiliki pemikiran dan
kepercayaan yang negatif tentang konsekuensi dari kondisi mereka.
Membantu pasien dalam menangani pemikiran dan kepercayaan
mereka yang tidak tepat adalah tujuan dasar dari terapi ini. Hal ini
juga dapat menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan
insomnia (Pigeon, 2010).
d) Terapi pembatasan tidur (retriksi) : terapi ini didasarkan pada prinsip
bahwa membatasi waktu yang dihabiskan di tempat tidur dapat
membantu memperbaiki kualitas tidur nantinya (McCurry et. al.,
2007). 2.1.6.2 Terapi Farmakologis Terdapat dua penggolongan obat
untuk pasien-pasien insomnia, yaitu benzodiazepine dan non-
benzodiazepine. Dimana golongan benzodiazepine adalah nitrazepam
dengan dosis anjuran 5 – 10 mg/malam, flurazepam 15 – 20
mg/malam dan estazolam 1 – 2 mg/malam. Sedangkan, zolpidem
dengan dosis anjuran 10 – 20 mg/malam merupakan golongan non-
benzodiazepam. Pada orang-orang usia lanjut, dosis yang diberikan
harus lebih kecil dan peningkatan untuk dosis harus dilakukan secara
perlahan untuk menghindari terjadinya oversedation dan intoksikasi
(Maslim, 2007).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, no.
RM, diagnosa medis)
2. Riwayat Kesehatan (Keluhan utama, Riwayat penyakit sebelum,
Riwayat penyakit dahulu, Riwayat penyakit keluarga)
3. Pola Kesehatan Fungsional:
a) Pemeliharaan Kesehatan
b) Nutrisi Metabolik
c) Eliminasi
d) Pola Persepsi Kognitif
e) Pola Istirahat
1) Pola tidur (jam berapa berangkat tidur, bangun tidur,
lamanya tidur)
2) Kebiasaan menjelang tidur (buang air kecil, membaca buku,
dll)
3) Gangguan tidur yang sering dialami dan cara mengatasinya
4) Kebiasaan tidur siang
5) Lingkungan tidur (bising, gelap, dingin, dll)
6) Status emosi dan mental
7) Manifestasi fisik dan perilaku yang timbul sebagai akibat
gangguan istirahat dan tidur, yaitu:
a) penampilan wajah (area gelap disekitar mata, bengkak pada
kelopak mata, konjungtiva kemerahan, mata terlihat
cekung, dll)
b) Perilaku yang terkait dengan gangguan istirahat dan tidur
(mudah tersinggung, sering menguap, kurang )
c) Kelelahan (tampak lelah, letih, lesu, dll)
f) Konsep Diri
g) Pola Peran dan Hubungan
h) Pola Reproduksi
i) Pola Pertahanan Diri dan Koping
j) Keyakinan dan Nilai
4. Pemeriksaan Fisik (Kesadaran umum, BB, TD, N, S, RR) dan
antropometri

B. Diagnosa Keperawatan
1. Insomnia berhubungan dengan kendala lingkungan.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kendala lingkungan.
3. Ansietas berhubungan dengan stresor.
C. Rencana / Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA
KEPERAWATAN
NOC DAN INDIKATOR URAIAN AKTIVITAS RENCANA
NO DITEGAKKAN /
SERTA SKOR AWAL DAN SKOR TARGET TINDAKAN (NIC)
KODE DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Insomnia Tujuan: NIC : Peningkatan Tidur
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 8
1. Tentukan pola tidur atau aktivitas pasien
jam kunjungan insomnia teratasi.
2. Perkirakan tidur / siklus bangun pasien
didalam perawatan perencanaan
Kriteria Hasil:
3. Monitor atau catat pola tidur pasien dan
1. Tidur (0004)
jumlah jam tidur
Kode Indikator s.a s.t
4. Anjurkan pasien untuk memantau pola tidur
000401 Jam tidur 3 5
5. Sesuaikan lingkungan untuk meningkatkan
000403 Pola tidur 3 5
tidur
000404 Kualitas tidur 4 5
6. Dorong pasien untuk menetapkan rutinitas
000421 Kesulitan 3 5
tidur untuk memfasilitasi perpindahan dari
memulai tidur
terjaga menuju tidur
000409 Tidur yang tidak 4 5 7. Bantu menigkatkan jumlah jam tidur jika
tepat diperlukan
Keterangan : 8. Anjurkan untuk tidur siang di siang hari
1 = sangat terganggu jika di indikasikan untuk memenuhi
2 = banyak terganggu kebutuhan tidur
3 = cukup terganggu
4 = sedikit terganggu
5 = tidak terganggu
2. Status Kenyamanan : Lingkungan (2009)
Kode Indikator S.A S.T
200903 Lingkungan yang 3 5
kondusif untuk
tidur
200906 Kebersihan 3 5
lingkungan
200910 Privasi 3 5
200915 Lingkungan yang 4 5
damai
Keterangan :
1 = sangat terganggu
2 = banyak terganggu
3 = cukup terganggu
4 = sedikit terganggu
5 = tidak terganggu
DAFTAR PUSTAKA

Syarif, H. (2016).Gambaran Gangguan Pola Tidur. Jakarta:EGC


Hidayat, A.A. (2016). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika
Lanywati E. (2010). Insomia Gangguan Sulit Tidur. Yogyakarta: Kanisius
Tarwoto & Wartonah.(2012). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperwatan.Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.
Riyadi, S. Widuri, R.(2015). Kebutuhan Dasar Manusia Aktivitas Istirahat
Diagnosis NANDA. Yogyakarta: Gosjen Publishing.
Potter, Patricia A.(2006). Buku Ajat fundamental: Konsep,Proses, dan Praktik.
Edisi 4 volume 4. Jakarta: EGC
Bulecheck M G, Butcher K H, Dochter J M, Wagner C M. 2016. Nursing
Interventions Classification. Edisi Keeenam. Indonesia: ELSEVIER
Moorhead S, Jhonson M, Maas M L, Swanson E E. 2016. Nursing Outcomes
Classification. Edisi Kelima. Indonesia: ELSEVIER
Heather, dkk. NANDA-1 Diagnosa Keperawatan DEFINISI DAN Klasifikasi
2018-2018. Edisi 11. Indonesia: EGC

Anda mungkin juga menyukai