Anda di halaman 1dari 92

ANTOLOGI

CERPEN
AL HAMIDIYAH

Ekstrakulikuler Jurnalistik
Al Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Daftar Isi

Prakata Kepala Sekolah Al Hamidiyah .................................................................................................3


Prakata Wakil Kepala Sekolah MA Al Hamidiyah ................................................................................5
Prakata Wakil Kepala Sekolah Mts Al Hamidiyah ................................................................................6
Cerpen..................................................................................................................................................7

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 2


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Cerpen

OTAK ATIK TAKDIR

NAJWA ZAKKIYAH

MA Kelas X

“Takdir itu semu. Tak ada yang pernah tau. Berjalan di atas lika-liku. Hanya bertompang pada ragu.
Karena Tuhan ingin kamu menunggu. Sampai semesta beritahu, inilah titik terakhirmu.”

Nagarai Simpang Tanjuan Nan Ampek, adalah tempat yang sudah banyak orang kenal. Dengan
keindahan alamnya, terutama danau kembar. Siapa yang tak tau danau kembar yang berlokasi di
Sumatra Barat. Tempat yang sudah menjadi kujungan favorit warga lokal maupun para turis turis.

Tapi jarang orang tau tentang adat istiadat yang sampai sekarang masih terjalan. Laghouk.
Selama 20 tahun aku hidup di sini, aku sangat tak menyetujui tentang adat ini. Laghouk merupakan
salah satu dari Palangkahan atau ramalan pada masyarakat Minangkabau. Laghouk digunakan di
dalam mengukur dan mencari keserasian pasangan yang akan menikah.

Mengapa aku tak setuju? Bukan karena ‘tak mau meneruskan adat dari nenek moyang kami, tapi
bukankah ramalan tersebut belum tentu benar? Lalu bagaimana jika ada pasangan yang sudah saling
cinta, lalu mereka di paksa untuk berpisah kemudian kedua orang tua mereka menjodohkan kepada
orang lain yang mereka pikir sudah baik secara ramalan. Bukankah tidak adil dan kita dilarang untuk
mempercayai ramalan?

Mereka merelakan semuanya demi tradisi tersebut. Ayolah ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.
Mengapa memaksaan? Bukannkah kita juga punya hak untuk memilih?. Itulah yang aku rasakan
sekarang. Mengurung diri di kamar, menutup telinga atas semua takdir.

“ Nak ayolah keluar, tamu sudah menunggu”

“ Ndak mau mak, awak ndak mau dijodohin”

“ Tapi nak, apak kau sudah mempersiapkan semuanya. Ini yang terbaik untukmu”

“ Ambo cuma mau sama Ajo Fardin mak”

Tangisan yang tak mau berhenti, rasanya sakit ketika harus mencintai orang lain ketika di hatimu
ada nama telah kau jaga. Tiba tiba pintu di ketuk, tapi dengan suara orang yang berbeda.j

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 3


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Wa, ini Ajo Fardin, ayok keluar, ada yang ambo ingin bicarakan” Suara itu, adalah suara yang berapa
hari lalu berkata bahwa semuanya sudah berakhir. Dia menyudahi semuanya, menyudahi kisah cinta
ini dengan begitu saja. Aku menurut, turun dari ranjang, mengelap air mata. Ku buka pintu kamarku.

Ajo Fardin datang dengan kemeja hitam, dia terlihat sangat tampan hari ini, sama seperti
biasanya. Tersenyum selebar bulan sabit. Kemudian dia memelukku dengan lembut.

“ Wa, Ajo bukan Tuhan bisa mengatur takdir kamu, Ajo bingung harus apa waktu tau kamu di
jodohin.” Ujarnya membelai rambutku.

“ Ajo juga belum punya uang sendiri buat ngelamar kamu-” ucapnya terjeda.

“ Tapi Ajo minta waktu buat kuliah dan cari duit dulu. Biar Ajo bisa ngehidupin kamu, izinin Ajo Fardin
kuliah dulu di Jakarta ya Wa.” Aku terdiam di pelukkannya.

“Ajo sudah minta izin sama Apak kamu, Ajo janji kalau Ajo udah sukses di Jakarta Ajo langsung balik
ke sini buat ngelamar kamu Wa” Aku terkejut, tak bisa berkata kata. Lalu perjodohanku bagaimana?.
Tiba-tiba amak datang lalu bilang.

“ Fardin udah minta izin ke apak kau untunk menikahimu, tapi dengan syarat dia bisa menghidupimu”

Lega, Tuhan terimakasih banyak, juga semesta aku ingin tau apa yang sedang kau siapkan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 4


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Beranjak Dewasa

Najwatul Zakyyah

Kita beranjak dewasa. Jauh terburu seharusnya. Bagai bintang yang jatuh. Jauh terburu waktu. Mati
lebih cepat.

. -Nadin Amizah-

Tentang beranjak dewasa, yang berakhir dengan mati lebih cepat. Begitu kata Nadin Amizah.
Entahlah ketika beranjak dewasa tak pernah terbisebit di benakku tentang kata bahagia. Yang ada
hanyalah ketakutan ketika setiap bait lagu bahagia itu dinyanyikan. ‘Panjang umurnya, panjang
umurnya’. Hanya ada bulu kudukku yang berdiri tiba-tiba.

Bukan tentang seberapa mahalnya hadiah yang mereka berikan. Bukan tentang seberapa
banyaknya kata ucapan. Tapi semua ini tentang waktu. Waktu, yang tak pernah ku harapkan untuk
berakhir. Akan kutatap satu persatu wajah mereka, dengan angan-angan bisa bertemu di tahun
beranjak dewasa yang akan datang.

Di sinilah aku sekarang, di samping tumpukkan tanah coklat kebasahan. Bunga melati segar
bertaburan di atasnya. Kutatap papan kayu kokoh yang masih sedia menancap di atas tanah. Nama
yang masih terlihat jelas, nama yang s’lalu ku sebutkan sebelum beranjak ke alam mimpi. Saya datang
setelah lama tak mengunjungi.

Hujan sepertinya mendukung kehadiranku, ia dengan perlahan pamit menumpahkan airnya.


Meninggalkanku sendiri, benar benar sendirian. Dia Farah Sastra Azya, rumahku untuk berpulang. Dia
tau segalanya tentangku. Semenjak abi pergi meninggalkan uma, saya sendirian. Ingin menumpahkan
pada uma, tapi saya tau bebannya lebih dari saya. Tapi dia pergi lebih dulu. Tuhan sangat sayang dia.

“ Sore Farah.” Bukaku dengan santai.

“ Farah, maaf ya saya sudah lama tak kesini. Uma lagi sakit, jadi saya harus jaga rawat uma.” Helaan
napas berat saya keluarkan. Mengeluarkan semua hal yang tak ingin saya pendam sendirian.

“ Farah Sastra Azya, selamat beranjak dewasa ya sayang. Selamat 18 tahun Farah cantik.”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 5


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“ Tak terasa ya Far, sudah 2 tahun kamu ninggalin saya. Sudah 2 tahun tidak ada pundak yang jadi
tempat saya menumpahkan semuanya.”

“ Saya sendirian Far, saya seperti hilang arah. Tidak ada rumah untuk saya berpulang.” Berat, sangat
berat ketika harus mengucapkan ini semua. Bermonolog sendirian di atas tanah, berharap akan
kehadirannya.

“ Farah, saya sudah lulus, saya sudah pakai toga. Saya sudah dapat universitas impian saya. Saya
masuk UI Far, Universitas impian kita dulu.” Suara bergetar yang tak bisa kutahan. Menahan agar tak
ada tangisan.

“ Seharusnya ada kamu di wisuda itu Far, seharusnya kita foto pakai toga yang sama Far.” Saya kalah,
air mata akhirnya mengalir bebas tanpa aba-aba.

“ Maaf ya Far, saya ga nepatin janji untuk ga gampang putus asa. Saya ga sekeren kamu Far.” Kuseka
pelan air mata yang mengalir di pipi.

“HUH! Oiya Far, ingat tidak? Waktu itu kamu minta dihadiahkan bunga lily sama Ifnuh ketika usiamu
18 tahun. Dan Far ini saya bawakan lily untuk kamu.”

“ Tapi maaf ya Far, Ifnuh belum bisa datang. Dia lagi sibuk ngurus perpegian untuk ke Kairo. Iya Far,
Ifnu dapet beasiswa ke Kairo.” Tuhan saya butuh pelukan.

Saya benar benar sudah mengeluarkan semua butiran air mata tanpa bisa dihentikan. Ingin rasanya
memeluknya kembali.

“ Maaf ya Far, saya terlalu banyak mengeluh. Saya kira ini sampai sini dulu. Sampai jumpa Farah, saya
janji akan sering datang ke sini kalau tidak sibuk sama dunia. Sekali lagi selmat beranjak dewasa Farah
Sastra Azya”

Saya tinggalkan ia bersama bunga lily. Saya harap ia bahagia di sana. Lega ketika semua yang lama
tertahan di hati akhirnya tersampaikan. Tentang beranjak dewasa, saya tak terlalu percaya. Cukup
berharap saja, agar saya bisa merasakan dengan orang-orang tersayang. Tuhan terimakasih ya masih
memberi kesempatan untuk saya menikmati hasil karya-Mu.

Untuk akhir,

Jika aku pergi lebih dulu, jangan lupakan aku


Ini lagu untukmu, ungkapan terima kasihku.-Tulus

Jangan lupakan aku ya, beri aku tempat dalam hidupmu. Dan terimakasih ya sudah mau menerimaku
jadi salah satu bagain dari kisah hidupmu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 6


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Goresan Hati
Aufiya Rumi

“Jangan salahkan orang yang telah mengecewakanmu, dan jangan terlalu berharap pada manusia.
Karena berharap kepada manusia adalah salah satu seni untuk menyakiti diri sendiri.”

Kini aku mengetahui, bahwa tak ada seorang pun yang peduli padaku selain diriku sendiri. Tak
ada seorang pun yang sayang padaku melebihi diriku sendiri. Hatiku telah lelah, lelah menaruh
harapan pada orang lain. Kali ini kekecewaan itu datang lagi, kekecewaan itu terus datang setiap kali
aku sudah bisa percaya kepada orang lain, dan selalu orang yang kuberi kepercayaan lah yang telah
membuat hatiku terluka. Mungkin ini salah satu teguran Allah untuk membuatku tetap berada di
dekatnya, dan cukup menaruh harapan padanya, pada sang pencipta.

Kejadian ini terjadi seminggu yang lalu, temanku yang aku percaya telah menggores hatiku.
Aku tak menyalahkan dirinya, ini salahku sendiri karena menaruh harapan padanya. Siang itu seusai
jam pelajaran pertama aku pergi menuju kantin sekolah. Perut yang lapar ini sudah tak sabar ingin
menyantap makan siang.

Gina, temanku yang aku percaya ikut jalan bersisian denganku menuju kantin. Ia bercerita
bahwa betapa ngantuknya ia tadi mendengarkan penjelasan dari guru sejarah. Memang pelajaran
sejarah adalah pelajaran yang paling membosankan buat gina. Ia selalu mengeluh tentang betapa
panjang lebarnya sang guru bercerita.

“Ly, kamu kok bengong gitu? mikirin apa sih?”

“Nggak kok, lagi mikirin mau jajan apaan. Hehee”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 7


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Owh, okee”

Setibanya di kantin, aku dan Gina berjalan menuju meja yang kosong di pojok kantin. Aku dan
Gina bergantian menjaga meja sementara salah satu dari kami mengantri mengambil makan siang.
Gina berjalan duluan mengambil makan siang nya.

Setelah Gina kembali kini giliran aku yang mengambil makan siangku. Antriannya lumayan
panjang sehingga aku perlu menunggu sambil berdiri di belakang orang-orang yang ikut mengantri.
Jam pelajaran berikutnya adalah Informatika, aku berniat akan mengambil laptop setelah makan
siang bersama dengan yang lain seperti biasa.

Setelah aku kembali dari antrian yang panjang, di meja kami telah duduk beberapa teman
sekelas, tampaknya mereka sedang mengobrolkan hal yang seru. Aku pun duduk disebelah Gina dan
temanku yang lain.

kringggg. Bel sekolah berbunyi, pertanda waktu makan siang telah habis. Gina pergi entah
kemana dari lima belas menit yang lalu. Aku beranjak berdiri dan hendak menuju keluar kantin, tetapi
ada sesuatu yang ganjil, aku melihat semua teman-temanku telah mengambil laptop mereka masing-
masing. Aku pun memutuskan untuk bertanya kepada mereka.

“Kapan kalian ambil laptopnya?”

“Loh, kamu belum ambil laptop Ly?” tanya salah satu temanku.

“Belum”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 8


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Temanku menatapku saja, dari raut wajah bisa terbaca bahwa dia mengira aku telah
mengambil laptopku. Dan tentu saja mereka sedikit terkejut setelah tahu bahwa aku belum
mengambilnya. Tiba-tiba dari ujung sorot mataku aku melihat Gina berjalan menuju kelas.

“Gin, kamu udah ngambil laptop?”

“Udah, lah emangnya kamu belum?” 

“Belum, kupikir bakal bareng-bareng kayak biasa.”

“...”

“Temenin yuk, jalan yang kayak biasa di tutup.”

“Ya kan emang ditutup karena ada perbaikan.”

“Tapi kalo lewat jalan satunya banyak anak cowok. Aku nggak berani sendiri.”

“Ya emang ada cowok. Apa susahnya coba tinggal lewat doang.”

“T-tapi–”

“Gin, yuk masuk udah bel dari tadi.” sahut salah satu temanku yang lain.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 9


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Gina lantas pergi berjalan meninggalkanku, teman-teman yang lain pun pergi begitu saja. Tak
ada seorang pun yang peduli padaku, termasuk Gina. Mukaku memerah, kesal mendengar perkataan
dari Gina dan sikapnya itu. Lantas aku berjalan pergi sambil menahan hatiku yang sesak menahan
tangis. Aku tak mau menangis di depan mereka, karena mereka akan menganggapku lemah dan
cengeng.

Aku memberanikan diri berjalan melewati jalan itu, aku beruntung karena para cowok disana
telah masuk ke kelas masing-masing sehingga jalanan itu lenggang. Aku berjalan dalam diam, saking
kesalnya aku sampai aku tak bisa berkata-kata. Aku berusaha mati-matian menahan emosiku agar
tetap terlihat normal. Walaupun rasanya sakit sekali menahan perasaan itu.

Setelah aku berhasil mengambil laptopku, aku menangis dalam diam, hanya air mataku yang
menetes membasahi pipiku tanpa keluar satu kata patah pun. Sebenarnya Gina tahu kalau aku
memiliki trauma terhadap laki-laki. Tetapi dia dengan santainya tidak peduli padaku. Aku menyesal
pada diriku sendiri karena telah menaruh harapan kepadanya.

Aku masuk ke kelas dengan raut wajah yang kembali normal. Sebelum ke kelas aku sempat ke
kamar mandi untuk mengelap wajah yang sembab karena menangis. Aku menatap Gina yang sedang
fokus bersama teman-teman yang lain menatap layar laptop mereka. Aku tak peduli apa yang mereka
lakukan. Aku berjalan ke bangkuku dan duduk disana. Mulai sekarang aku akan berhenti berharap
kepadanya.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 10


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

SEPATU AJAIB

ATHALAH NAKILAYA

“ Aku harus ikhlas melakukan segala sesuatu untuk kebaikan.”

Hujan sangat deras siang itu. Untung saja Arivia membawa payung. Sebenarnya, ibu yang
memaksanya membawa payung ketika akan berangkat sekolah. Dengan banyak alasan Arivia
menolak membawanya. Dari warnanya yang sudah usang, kaitnya yang sukar dibuka, sampai berat
membawanya. Akhirnya Arivia membawanya dan bersyukur payung itu berguna juga ketika hujan
datang. Kalau tidak, ia sudah melipat wajahnya sepanjang perjalanan pulang.

Tinggal satu tikungan lagi Arivia sampai di depan rumahnya. Tiba-tiba ia melihat seorang kakek
duduk meringkuk kedinginan. Bajunya basah kuyup dan wajahnya pucat pasi.

        "Kakek," kata Arivia memanggil kakek itu. Mata kakek itu terbuka dan tubuhnya bergerak pelan.

        "Kakek kok hujan-hujanan? Nanti Kakek sakit," kata Arivia sambil memayungi kakek itu.

        "Kakek sedang menunggu cucu kakek. Tiba-tiba saja hujan turun dengan deras. Kakek lupa
membawa payung," kata kakek itu dengan gemetar.

        "Rumah saya dekat dari sini. Mari menunggu di rumah saya saja, Kek," kata Arivia sambil
menggandeng kakek itu.

        Rumah Arivia tampak kosong karena ibu belum pulang dari kantor. Arivia segera mengambil
handuk dan memberikan kaos kering kepada kakek.

        "Terima kasih, Nak. Tetapi Kakek harus segera pergi," kata kakek itu berjalan menuju pintu.
"Sebagai ucapan terima kasih Kakek, terimalah sepatu ini. Jika kamu memakai sepatu ini, langkahmu
akan terasa ringan dan cepat. "

    

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 11


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Arivia menerima sepatu itu. Ketika sedang mengamati sepatu warna putih itu, tiba-tiba saja kakek
tersebut sudah tidak tampak di depan rumahnya.

  Arivia memakai sepatu pemberian kakek itu, terasa pas di kakinya. Ia berjalan menuju ke
kamarnya. Langkahnya terasa ringan dan segera ia sampai di kamarnya. Kemudian ia berjalan ke
dapur dan mengambil sapu. Ia coba menyapu rumah dengan sepatu itu. Dengan cepat pekerjaannya
selesai.

        Arivia melepas sepatunya dan menaruhnya di rak sepatu sambil berpikir “ aku harus ikhlas
melakukan segala sesuatu untuk kebaikan.” Meski hanya untuk meringankan pekerjaan ibu di rumah.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 12


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

ANTRIAN PANJANG
“Terkadang dalam hidup kita memerlukan rasa empati. Peduli dan menyayangi sesama.”

Mengantri sudah menjadi ciri khas dari sebuah pondok pesantren. Mandi, makan, saat
berbelanja, itu semua kita lewati dengan antrian. Tapi banyak cerita di setiap antrian,d ari yang suka
nyelak, ceritain tentang cowoknya, gibahin temen dan masih banyak lagi.

Malam itu, aku dan Hana sedang mengantri untuk mengambil makan malam. Antriannya
sangat panjang karena kebetulan hari ini hari Kamis yang di mana adalah hari yang si sunahkan untuk
berbuka puasa, orang orang berombong-rombong mengantri mengambil makanan untuk buka puasa.
Tapi tumben tumbenan ramai orang makan malam, kenapa ya?. Ternyata lauk malam ini ayam kecap
manis. Pantesan banyak orang yang makan, aroma ayamnya saja sudah tercium saat kamin sedang
dzikir selepas magrib.

“ Hana, aku laper bangetttt,” ujarku sambil memegangi perut.

“ Sabar ya Wa, ini antriannya panjang bangetttt.”

Disela sela perbincangan kami, tiba-tiba ada orang dengan sangat tidak sopannya berdiri
menyelak depan Hana. Dia Afanya, temanku. Dia dikenal memang kurang sopan kepada orang, baik
yang lebih tua ataupun kepada yang lebih muda. Berkali-kali di ingatkan tetapi ia sangat keras kepala.

“ Afanya, a’laiki bitthaburi.” Tegur Hana padanya, yang artinya ‘Afanya ngatri dong’

“ Nggak mau ah, lama laper orang nungguin antrian sepanjang antri sembako.” ketusnya pada
Hana.

“ Memangnya kamu nggak mikirin perasaan orag lain di belakang mu? Mereka juga laper kali nggak
kamu doang, dasar egois.” Ujarku dan tak direspon sama sekali olehnya. Kemudian, ustadzah Ifah
datang karena mendengar kegaduhan dari arah kami.

“ Kenapa nih ribut-ribut? ” Tanya Ustadzah Ifah.

“ Ini ustadzah, Afanya nggak mau ngantri, dia nggak mikirin perasaan orang lain yang udah ngatri
panjang-panjang dengan perut yang sudah berkeruyuk minta diisi.” Adu Hana pada Ustadzah Ifah.

“ Afanya, ngatri dong sayang, ustadzah tau kamu laper, tapi orang-orang lain di belakang kamu juga
laper. Jangan egois sayang, dosa Allah nggak suka. ”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 13


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“ Emang nihh Afanya huuu” Kata Hana dengan ledekkan di akhir. Tapi yang di ledek malah pergi
dengan raut wajah yang kesal. Tak mendegarkan nasehat dari ustadzah Ifah.

“ Udahlh Wa, Na kalian lanjut antri aja entar abis lauknya, jangan dilanenin orang kayak gitu.”

“ SIAP USTADZAHHH”

Nah ga boleh ya kalian nyelak-nyelak temen-temen. Dosa, Allah nggak suka. Ayo coba untuk sabar
dan mengantri dengan ikhlas.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 14


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Gilang, Galen dan kisahnya


Sitaresmi Nabilah 9B

Gilang hanya bisa bersandar. Mengingat - ingat apapun yang telah terjadi saat itu. Sembari meratapi
tubuh berlapiskan selimut disampingnya, saudaranya yang sekarang tinggal di kegelapan dan rasa
dingin yang selamanya. Mengingat - ingat waktu yang sekarang hanyalah sejarah. Mengingat - ingat,
terus mengingat.
        .    .    .    .    .    .    .    .   
Seminggu ini, angin bertiup kencang hingga ke ujung ruangan mereka. Angin dingin yang dibawa oleh
gumpalan kapas dilangit, yang tentunya ditemani oleh air matanya. bahkan selimut andalan Galen
yang sudah menemani selama bertahun - tahun, tidak banyak membantu. Bulan ini memang musim
hujan. Hingga kota yang sepanas depok, berubah menjadi sedingin kutub utara. Dan tentu saja, flu
dan kawan - kawan akan menyerang di saat penjagaan lemah. Setidaknya satu atau dua orang akan
pulang dikarenakan sakit. Terlebih di tempat seperti ini, asrama. Yang mana kontak sesama terjadi 24
jam non stop. 
Tahun ini, penyakit flu memang sedikit menggila. Tidak akan ada yang pernah membayangkan
(kecuali orang overthinking) jika setengah asrama akan menghilang seperti hembusan angin. Karena
panas yang tinggi dan batuk, tentunya. Tapi apapun itu, entah gempa, tsunami, meteor, atau badai
pasir sekalipun. Es krim. Tetap. Nomor. SATU.
“Woi, Lang. Udah nelpon belum?” Galen berlari menghampiri Gilang sembari membawa es krim.
“Belom, lagi bedering nih.”
“Yodah nebeng.”
Akhirnya dengan wajah pasrah, karena kehilangan privasi, Gilang pun menyalakan loudspeaker di
gadget yang digunakannya, bertepatan dengan diangkatnya telepon. Selang beberapa menit, setelah
berbasa - basi. Orang Tua Gilang dan Galen mengatakan kabar yang tidak pernah diduga oleh
siapapun, bahkan jin yang lewat akan kehilangan nyali mendengarnya.
“Dek Gilang, dan Galen. Tau ngak kabar terbarunya?,” suara dalam gadget berbunyi.
“Ngak mah, emang kenapa?”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 15


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Jaga kesehatan, soalnya rumah sakit sama klinik penuh. Pada sakit - sakitan. Malah ada yang
meninggal, katanya kurang perawatan dan oksigen. Gejalanya awalnya itu flu, batuk parah, panas
tinggi, terus kejang. Bahkan ada yang meninggal!.” Ibu Gilang dan Galen bercakap bertubi - tubi.
Sepertinya senjata tentara militer kalah cepatnya.
“Iya mak, Gilang sama Galen bakal jaga kesehatan.”
TUUUuuuuut…..
Telepon dimatikan. Tenggat waktu di wartel sudah habis, tidak ada yang membawa uang receh lebih,
apalagi Galen yang baru jajan es krim. Mana belinya pakai recehan Gilang lagi.
            .    .    .    .    .    .    .

Brak!. Pintu ditutup tepat di depan wajah Galen. 


“Kalian akan berada disini sampai sembuh atau diberikan izin perpulangan.” Pembina asrama
berbicara dengan tenang, walau dengan wajah yang terkesan nyolot.
Jadilah kehidupan Gilang dan Galen di dalam ruangan yang terkesan VVIP dengan atas nama
“Karantina”.
Hari yang tadinya ceria, menjadi biasa saja, suram, tambah suram,  tambah suram,  tambah suram, 
tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram, 
tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram, 
tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram,  tambah suram, 
tambah suram,  tambah suram,  tambah suram, (sepertinya keyboard penulis bermasalah).
Ekhm. Tambah suram. Galen menderita panas tinggi, Gilang mulai terbatuk - batuk. Apa yang
diharapkan dari izin perpulangan?. Wali kelas Gilang dan Galen sudah memberikan surat izin, tapi
hujan badai telah melanda selama berhari - hari. Jalanan banjir dimana - mana. Pemerintah bisa saja
mengirimkan perahu karet atau helikopter apapun itu, tapi hujan. Langit tidak mendukung sama
sekali. Seolah marah atas perlakuan para petinggi Indonesia. Rakyat tak bersalah termakan
imbasnya.  Presiden RI juga meninggal karena penyakit ini. Ganas sekali. Ditetapkan sebagai pandemi,
Wakil presiden sedang stand by, memberikan bantuan sebisa mungkin.
Pada malam - malam yang ramai dengan raungan langit. Gilang dan Galen tidak pernah berhenti
berdoa untuk orang tua mereka. Dan untuk semua.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 16


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Langit tak memperdulikan raungan para insan. Sama - sama menangis manusia dan awan. Kegelapan
menutup kalbu mereka. Satu sama lain tidak peduli. Egois. Demi bertahan hidup. Namun harmonis
tetap ada pada tempat ini. Hingga sunyi. Tidak ada lagi awan, langit kembali tersenyum. Tapi tidak
untuk insan. Sungguh hati yang malang. Jalan - jalan masih berupa lautan. Baiklah, mereka sudah
berupaya sekeras mungkin. Memang sudah takdir, pikir Galen.
        .    .    .    .    .    .    .    .    .
Tersenyum pahit, Gilang sudah mengingat semua. Setiap seluk beluk kehidupannya, dan Galen. Kisah
yang akan tetap hidup. Walau banyak juga yang sudah hilang. Selama masih ada yang membaca.
Maka saat ini hanya kegelapan yang menunggunya. Namun kali ini semua menjadi hangat. Mengingat
pernah ada kisah yang manis, pernah hidup. Perlahan, senyuman pahit itu memudar, terlelap dalam
mimpi. Nestapa yang abadi.
Tidak semua hal itu suram, kawan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 17


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

AROMA ITU AKU MERINDUKANNYA

NAILA KHAIRANI X IPS 2

Hari itu langit menumpahkan semua air nya dan tak mengizinkan aku untuk bangun dari kasur empuk
ku. ”hoammm” ini sudah ke tiga kalinya aku menguap. Malam ini akan ada acara keluarga di rumah
ku senang bercampur sedih perasaan ku kali ini, aku senang karena akan bertemu sapa setelah sekian
lama dengan sepupu ku tapi... Orang itu tidak ada lagi malam ini. “rainaaaaa turunn sekaranggg kamu
belummm makannnn!” teriak ibu dari arah lantai bawah, aku pun bergegas turun ke ruang makan.
“Ibu apa malam ini akan banyak yang datang?” tanya ku di sela sela makan. “iya nak, hampir semua
sepupu mu akan datang ke rumah malam ini” jawab ibu. “kamu kenapa murung seperti itu muka nya,
bukankah harus nya senang karna rumah kita akan ramai malam ini?”....

“iya ibuu,...aku merindukan kakek” jawabku sambil memegang segelas air. Ibu tidak menjawab, ia
hanya mengusap kepala ku dan pergi ke kamar. Kakek ku telah pergi meninggalkan kami semua 3
bulan yang lalu, kakek menderita sakit jantung selama bertahun tahun, aku sangat dekat dengan
kakek... apalagi aku selalu membantu kakek memasak di dapur, iyaa kakek ku seorang juru masak di
kapal tapi karna penyakit nya yang semakin parah jadi ia berhenti dari pekerjaan nya. Kakek tinggal di
rumah ku, setiap hari jika ayah dan ibu bekerja aku selalu di temani kakek bermain... bahkan kakek
sering membacakan dongeng untuk ku sebelum tidur, walau terkadang dongeng yang dibacakan pasti
pak tani dan seekor Kancil.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, setelah selesai ber siap siap aku pun turun ke ruang tamu
berniat menyambut saudara saudara ku. Tapi.. tiba tiba suasana hati ku berubah ketika mencium
aroma itu... aroma rempah dan kaldu daging dari soto betawi merupakan sajian yang tak pernah
terlupakan untuk kakek masak. Soto betawi adalah masakan favorit kakek, aku juga selalu membantu
kakek memasak nya, walau hanyaa sekedar menuang bumbu bumbu ke dalam kuah.

Soto betawi merupakan salah satu warisan kuliner nusantara yang patut dijaga keberadaannya. Soto
ini merupkan soto yang berasal dari Kota Jakarta. Soto betawi merupakan soto santan dengan isian
daging sapi beserta jeroan dan organ hewan lainnya. Banyak orang yang menggemari jenis soto ini.
Penggemarnya tidak hanya orang di Jakarta, namun juga masyarakat lain di berbagai daerah di
Indonesia. Soto Betawi memiliki sensasi rasa gurih unik yang pastinya berbeda dengan soto lainnya.

Aku pun turun ke dapur dan melihat ibu sedang mengaduk kuah soto dalam sebuah panci besar.
Ternyata ibu ku yang sedang memasak nya. Paman dan bibiku telah datang kami semua berkumpul
berbincang bincang bersama dan makan soto betawi itu bersama sama. Kami semua merindukanmu
kakek.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 18


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Athala Nakilaya

10 IPA 1

Kupiah Meukuetob

Mimpi Avia cukup sederhana, ia ingin menggunakan baju adat Aceh di hari pernikahannya nanti.
Sejak SMA ia sudah memutuskan akan menggunakannya ketika menikah kelak. Hal tersebut
dikarenakan, ia pernah mengikuti kegiatan fashion show di sekolahnya dan ia sangat takjub dengan
baju adat tersebut. Kini usianya menginjak 25 tahun dan masih mendambak-dambakan baju adat
tersebut.

Sayangnya Avia adalah gadis keturunan sunda dan belum memiliki pacar yang serius. Sempat ia diejek
oleh Rani, temannya, karena ia memimpikan bisa menikah dengan orang Aceh.

“Bukan apa-apa nih, Avia. Tapi, temen kantor kamu nggak ada orang Aceh, temen-temen kita juga
nggak ada orang Aceh, dan kamu sekarang tinggal di Bandung. Gimana bisa nikah sama orang Aceh
buat pake baju pengantinnya coba?” Rani berusaha menyadarkan Via.

“Tenang aja, nggak ada yang nggak mungkin. Liat aja nanti” ujar Avia menenangkan diri.

Selang waktu berjalan, Avia berkenalan dengan seorang lelaki di coffee shop. Seperti di FTV, mereka
bertabrakan secara tidak sengaja lalu saling mengenal satu sama lain. Lelaki itu bernama Firman
dengan hidung mancung dan alis yang cukup tebal. Sungguh kriteria Avia.

Beberapa bulan mereka berteman, dan Avia baru tahu bahwa Firman adalah keturunan Aceh yang
sedang bekerja di Bandung. Ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Firman ketika mereka makan
malam bersama.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 19


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Kamu orang Aceh? Bukannya namamu Firman Aliansyah?”

“Iya, tapi nama depanku sebenernya Teuku Firman Aliansyah”

“Oh okee.. Kamu berhutang cerita kepadaku, gimana rasanya jadi keturunan Aceh? Ceritain dong
budaya dan tradisinya di sana”

Firman pun menceritakan segala hal tentang Aceh. Budaya islam yang ketat antara lelaki dan
perempuan, kesenian yang unik seperti tarian jaroe aceh, dan berbagai macam lainnya. Avia
mendengarkan dengan antusias, karena ia memang selalu ingin belajar budaya Aceh tersebut.

Tiba-tiba, ketika mereka sedang asyik berbincang. Suara musik romantis melantun, suasana cafe
mendadak dipenuhi oleh cinta. Firman tersenyum melihat Avia yang ada di depannya. Lantas ia
mengeluarkan sesuatu di kantongnya, lalu menyodorkan sebuah cincin kepada Avia.

“Avia, aku nggak bakal mengulang, jadi dengarkan baik-baik. Kurasa pertemuan kita memang
ditakdirkan. Aku sudah nggak perlu cari orang lain lagi, yang aku mau cuma bareng-bareng sama
kamu. Mau nggak menjalani hidup bareng aku?”

Banyak para pengunjung yang merasa ikut terharu menyaksikan lamaran tersebut. Avia pun sempat
tak berkutik beberapa detik mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Hingga akhirnya, ia pun
mengangguk penuh haru.

Hari itu pun tiba, akhirnya Avia mengenakan baju pengantin adat Aceh. Baju kurung berwarna kuning
keemasan yang dipadukan dengan songket. Pakaian menambah kemewahan dengan ditambah
aksesoris taloe ike pieng (ikat pinggang), simplah (kalung khas Aceh), serta riasan kepala yang
menggantung bunga melati.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 20


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Avia pun takjub ketika melihat Firman menggunakan baju pengantin pria. Ketampanan Firman naik
seribu kali lipat ketika menggunakan baju dan celana hitam yang dipadukan dengan songket bermotif
saluran daun. Tak ketinggalan dengan kupiah meukuetob yang membuat Firman tambah gagah.

Hari itu adalah hari terspesial di hidup Avia. Kini, ia bisa belajar budaya Aceh bersama suaminya.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 21


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

JAS HUJAN
Aulia izzatunnisa
“Terkadang diam itu lebih baik dibandingkan banyak berbicara.”

Waktu menunjukan pukul 00.12 am tidak ada orang sama sekali di jalan. Gadis manis
berkerdudung hitam ini baru saja pulang dari dinasnya. Suasana makin terasa tidak nyaman dengan
adanya suara rintikan hujan disertai angin sepoi sepoi yang menusuk tulang. Entah mengapa gadis itu
justru lebih memilih jalan tikus dibanding jalan yang biasa ia lewati , mungkin lebih cepat sampai
pikirnya.

Belum lama ia berjalan di jalan tikus tersebut , tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia menangkap
sosok yang memakai jas hujan berwarna hitam sedang membawa kantung plastik berukuran cukup
besar , "apa yang ia lakukan pada tengah malam seperti ini?" Ucap gadis itu dalam hati. Ia hanya bisa
terus berjalan dengan menundukan pandangannya , berharap orang itu bukanlah sesuatu yang
berbahaya. Sangat rawan jika seorang perempuan sepertinya masih berkeliaran di tengah malam
apalagi ditempat itu tidak ada orang lain selain dirinya dan sosok ber jas hujan tersebut.

Tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk saling berpapasan antara satu sama lain , terlebih
lagi dengan jalan tikus yang hanya bisa digunakan untuk satu arah srek , "ah saya minta maaf" ujar
lelaki tersebut saat dirasa barang yang ia bawa tak sengaja menyenggol lengan gadis itu sedang sang
gadis hanya bisa mendundukan diri bermaksud berkata tidak apa apa , belum jauh mereka berpisah
gadis tersebut baru menyadari bahwa lengannya terdapat bercak berwarna merah , hanya sedikit tapi
itu cukup membuat gadis itu merasa keheranan "apa yang ada didalamnya?"

Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai di tempat tinggalnya , sesampainya di rumah ia langsung
melemparkan tubuhnya di atas sofa dan tak lama kemudian mata nya langsung tertutup begitu saja ,
mungkin hari ini merupakan hari yang sangat melelahkan untuknya.

Waktu berjalan dengan cepat , seperti hari hari sebelumnya shenna alias gadis itu menjalankan
pekerjaannya seperti biasa , berangkat ke tempat kerja dan duduk didepan layar PC selama berjam
jam , sesampainya di tempat kerja ia mendapati semua teman kerjanya yang menatap ngeri kearah tv
"apalagi ini" benaknya.

"Shenna! Bukankah ini daerah kawasan tempat tinggalmu?" Sejenak Shenna menatap layar tv
memperhatikan berita yang sedang disiarkan kriminal yang terlepas dari sel penjara kira kira
begitulah judul dari berita tersebut , pikirannya langsung tertuju pada sosok ber jas hujan hitam
kemarin tapi ia langsung menepisnya , mungkin saja itu hanya lelaki dewasa yang baru pulanh dari
kerjanya seperti yang ia sendiri lakukan.

"Jika ada sesuatu kau bisa menginformasikan padaku , kebetulan aku mempunyai teman yang
bekerja di kepolisian ,

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 22


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

mungkin aku bisa membantu" , "hm,tentu"ujar shenna singkat

Waktu demi waktu pun berlalu shenna kembali pulang kerumahnya seperti biasa , tapi kali ini
tanpa jalan tikus itu , sesampainya dirumah , tidak seperti kemarin kali ini ia berniat untuk bersih
bersih terlebih dahulu , mungkin karena belum terlalu larut seperti hari sebelumnya tok tok.. belum
lama ia sampai shenna langsung mendapat ketokan pintu yang entah dari siapa

"Maaf telah mengganggu waktu anda , saya dari pihak kepolisian ditugaskan untuk berpatroli
disekitar sini , mungkin akhir akhir ini anda sudah mendengar berita tentang kriminal yang terlepas
dari sel , apa saya boleh bertanya sesuatu?" Sejenak shenna terdiam "ya , silahkan" "baik , apa pernah
anda melihat seseorang yang mencurigakan? Ah atau mungkin ada seseorang yang anda curigai?"
Lagi lagi shenna terdiam pikirannya lagi lagi tertuju pada sosok berjas hitam yang ia temui kemarin ,
tapi shenna terlalu malas untuk menjelaskan semuanya , mungkin saja ia akan dijadikan saksi atau
apalah itu , dan akhirnyania menjawab "kurasa tidak , saya tidak pernah bertemu siapa pun" , sang
polisi hanya menatap shenna kemudian mengangguk atas jawaban yang shenna beri "baik ,
terimakasih atas informasinya , saya pamit dulu" "ah iya silahkan"

Kejadian yang berlangsung tidak lama itu akhirnya berakhir , keesokan harinya , seperti biasa
Shenna kembali masuk kerja dan seperti kemarin semua orang tertuju pada berita yang ditayangkan
oleh tv , mungkin ada perkembangan dari pihak kepolisian sang pelaku sudah

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 23


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

tertangkap oleh pihak kepolisian judul nya terpampang jelas di layar tv. Foto sang pelaku terlihat
jelas di layar televisi. Shenna merasa heran dengan wajah sang pelaku , terasa tak asing baginya.
Setelah ia teliti kembali, ia pun menyadari bahwa osok yang ada dilayar adalah sosok polisi yang baru
kemarin datang kerumahnya.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 24


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

SHAFIRA AYU PUTRI RAHMAN


XI IPA

Jangan Lihat dari Belakang, Lihatlah dari Depan

Siang itu Viktor dan Budi duduk di sebuah taman. Tak selang beberapa lama lewatlah seorang
perempuan berhijab panjang. Keduanya melihat ke arah wanita tersebut. Dan tentu saja keduanya
memiliki niat untuk mengikuti perempuan tersebut.

Viktor merasa perempuan itu memiliki wajah yang mirip sekali dengan Budi, sahabatnya. Matanya
lebar, alisnya tebal dan berkacamata seperti Budi. Mungkin perempuan inilah yang dicari Budi selama
ini. Annisa, adik kembar Budi yang selama ini terpisah.

Tujuh belas tahun yang lalu seorang ibu melahirkan sepasang anak kembar. Semua bersuka cita
dalam perwujudan syukur kepada Allah. Walaupun sebelum kelahiran tersebut ibu muda ini harus
melewati beberapa episode kehidupan. Suaminya mengalami kecelakaan ketika usia kandungannya
masih tujuh bulan. Luapan air mata telah ditumpahkan di setiap sajadah panjang yang ia hamparkan.
Ia tak perlu berkeluh kesah kepada manusia. Cukuplah kepada Allah Sang Pencipta. Doa langit selalu
ia panjatkan untuk suaminya yang telah berpulang juga untuk dua janin yang ada dalam
kandungannya. Ia tahu bahwa ini adalah episode takdir kehidupan yang harus diterima dengan ikhlas.

Budi dan Viktor mengikuti arah perempuan tersebut berjalan. Ternyata ia berhenti pada sebuah toko
buku. Keduanya pun mengikutinya hingga masuk ke dalam. Namun sayangnya tak menemukan
perempuan yang diikutinya.
Mereka pun mencari hingga ke lantai dua dalam toko buku tersebut,  ternyata memang benar wanita
yang diikutinya tersebut ada di lantai dua.Namun sayangnya keduanya tak memiliki keberanian untuk
menegur sang perempuan. Sehingga mereka hanya mampu mendengarnya dari belakang. Hingga
kemudian Viktor memiliki keberanian untuk menyapa perempuan tersebut.

Perempuan tersebut melihat ke arah Budi dan Viktor. Tak lama ia pun menitikkan air mata. Hanya
melihat sekilas, ia dapat mengerti bahwa Budi adalah saudara kembarnya yang selama ini dicari.
Ikatan saudara kembar sangat kuat. Ia yakin bahwa suatu saat Allah akan mempertemukannya
dengan saudara kembarnya. Kini doa sepertiga malam-nya telah dikabulkan Allah.

“Kak Budi?” Terbata-bata perempuan tersebut memanggil nama Budi. Budi pun mengangguk. Isak
tangis pun mengiringi pertemuan mereka. Mereka berdua kini sebatang kara. Ibu mereka telah
meninggal dunia dua tahun yang lalu saat covid melanda. Budi yang diasuh oleh keluarga ibunya
sangat senang dapat bertemu dengan adik kembarnya yang diasuh oleh keluarga ayahnya. Kini

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 25


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

mereka dapat bersatu kembali melewati hari. Percayalah tak ada takdir yang sempurna. Namun,
takdir akan terasa sempurna dengan keikhlasan hati yang besar.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 26


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Masakan Ibu

Muhammad Zidan Algifari

Mts 8D

Kakak dan Adik di sedang bercengkrama. Mereka berusaha tidur siang tapi belum tidur juga. Kakak
duduk bersandar di tembok. Dia membaca buku. Adik memegang robot kesayangannya. Dia gerak-
gerak terus. Telentang, tengkurap, duduk, hadap kanan dan kiri bergantian.

"Lapar ta, Dek?" tanya Kakak.

"Iya. Banget."

"Makan sana."

"Males. Masakan Ibu rasanya aneh."

"Hush. Gak boleh mencela makanan."

"Aku kan gak bilang gak enak, Kak. Cuma aneh."

"Sama aja itu."

"Masakan ibu tadi namanya apa, Kak?"

"Gak tahu. Susah nyebutnya." jawab Kakak sambil meletakkan buku.

Kakak turun dari tempat tidur. Adik bertanya, Kakak diam saja. Adik mengambil robotnya satu lagi.
Adik memainkan kedua robotnya.

Kakak berjalan keluar kamar. Dia berjalan perlahan ke kamar sebelah. Ibu sudah pulas tidur. Kakak
menutup kamar Ibu pelan-pelan. Lalu Kakak berjalan ke dapur.

Kakak mengambil dua telur di atas meja. Dia meletakkan penggorengan kecil diatas kompor. Minyak
goreng dituangkan sedikit di wajan. Kakak menggoreng telur mata sapi. Sambil menunggu matang,
Kakak mengambil dua piring. Masing-masing piring diisi dengan nasi.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 27


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Telur ceplok pertama sudah matang. Kakak mengangkatnya. Telur ceplok kedua dimasak. Telor
ceplok matang diletakkan piring. Telur ceplok dan nasi diberi kecap banyak. Adik tiba-tiba masuk ke
dapur. Kakak meletakkan jari telunjuk kanan ke bibirnya. Adik mendekati Kakak.

Adik melihat telur ceplok kecap dengan wajah bahagia. Kakak memberi isyarat agar Adik tidak ribut.
Adik menggerak-gerakkan tangannya. Telur ceplok kecap adalah makanan kesukaan Adik. Dia tak
sabar ingin segera memegang piring telur ceplok kecap. Kakak mencegahnya. Adik menurut.

Telur ceplok kedua sudah matang. Kakak langsung meletakkan ke piring satunya. Kakak mengambil
dua sendok. Dia memberikan sendok pada Adik. Lalu diambil kedua piring tersebut. Kakak memberi
isyarat Adik untuk mengikutinya.

Mereka berdua berjalan kembali ke kamar. Begitu masuk kamar, adik duduk di lantai. Kakak
memberikan piring telur ceplok kecap pada Adik. Piring satunya diletakkan di lantai. Kakak menutup
pintu kamar.

Mereka berdua makan dengan lahap. Tak perlu waktu lama, kedua piring sudah bersih. Semua
makanan tandas.

"Alhamdulillah. Terima kasih ya, Kak" kata Adik sambil bersandar ke Kakak.

"Enak, Dek?" tanya Kakak.

"Banget. Aku kangen sop sama ayam kecap."

"Kakak pengen makan sayur asem sama tempe goreng. Sama ikan asin juga."

"Huaaa enak. Semoga besok ibu masak yang biasa-biasa aja. Gak aneh-aneh"

"Aamiin." Kakak tersenyum sambil menepuk pelan punggung Adik.

"Kak, kenapa sih pas pandemi gini Ibu masaknya aneh-aneh?"

"Yah, Ibu kan lagi belajar masak, Dek. Kalau rasanya aneh ya wajar, lah. Berarti percobaan gagal
hehe."

"Ibu gak perlu belajar masak aneh-aneh. Dimasakin sayur sop tiap hari loh aku seneng."

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 28


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

"Kan Ibu yang pengen belajar masak. Mau gimana lagi."

"Iya juga, ya." Adik manggut-manggut.

Kakak mengambil piring kotor dan membawa ke dapur. Adik mengikutinya. Kakak mencuci peralatan
bekas makan mereka. Adik duduk di kursi melihat Kakaknya. Selesai semua. Kakak mengajak Adik
kembali ke kamar.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 29


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Rachel Putri Kalila

8A

Putri Janeeta dan Putri Syaura

Satu hari disebuah kerajaan besar lahirlah seorang putri cantik yang bernama putri natasha. Berwajah
amat cantik serta lucu. Putri Janeeta lahir dari pasangan raja chris serta ratu belle. Seluruh orang
amat bahagia waktu kelahiran putri yang sudah dinanti-nantikan itu. Pas dihari kelahiran putri
Janeeta, didepan pintu gerbang istana ada seorang bayi kecil yang tergeletak tidak berdaya.
Selanjutnya dikarenakan pihak istana tidak tega untuk menyingkirkannya, bayi tersebut lantas diasuh
oleh pihak istana serta dinamakan putri Syaura.
Dua tahun sudah berlalu, putri Janeeta serta putri Syaura sudah beralih jadi putri-putri yang lucu,
mereka sudah jadi layaknya saudara kandung sendidri. Raja serta ratu lalu suka lihat keakraban
mereka, walau mereka belum memberitahukan bahwa putri Syaura tidaklah anak kandung mereka.

Waktu menginjak umur 12 tahun, putri Janeeta tampak lebih cantik dari pada putri Syaura. Serta juga
putri Janeeta lebih serupa ratu Belle. Putri Syaura yang saat itu mengerti bahwa putri Janeeta lebih
cantik darinya serta lebih serupa pada sang ratu, memiliki kemauan tidak baik pada putri Janeeta.

Satu hari putri Syaura yang sudah beniat jahat pada putri Janeeta coba bikin wajah putri Janeeta jadi
jelek rupa dengan menyiramkan air panas pada putri Janeeta. Tetapi sebelum saat pernah ia coba
melakukannyaa, kemauan jahatnya sudah diketahui oleh ratu Belle
Selanjutnya sang ratu menceritakan kenapa ia tidak serupa dengan ratu Belle. Putri Syaura
selanjutnya mengerti serta kembali jadi baik pada putri Janeeta. Serta saat ini mereka jadi putri-putri
yang sangat dikagumi dinegeri tersebut.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 30


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Selaksa Rasa di Pondok Pesantren

Rachel Kalyla

Pada bulan Februari tepatnya pada tanggal 25 aku pergi ke pondok pesantren yang berada di
Jombang, Jawa timur. Dan saat sampai pondok pesantren aku berpamitan kepada ibuku, sebenanya
aku ke pondok pesantren hanya kemauan ibuku, bukan aku.

“Mungkin ibuku hanya ingin yang terbaik untukku” Ucapku dalam hati

Saat sudah berpamitan aku pun langsung memasuki asrama dan melihat daftar nama, ternyata aku
berada di kamar hafshoh 3 bersama teman yang lainnya. Aku segera memindahkan barang-barangku
dan memasuki kamar yang aku tuju. Dan saat nnya berkenalan dengan teman teman sekamar.

Ada gadis seumuran ku yang mengahampiriku lalu ia bertanya “ siapa nama mu?” Ucapnya. “Nama
Ku Vio, siapa namamu?” Kataku sambil bejabat tangan. “Namaku Rania, Salam kenal ya Vio semoga
kita berteman baik” Ucap Rania sambal tersenyum.

Lalu adzan shalat zuhur berkumandang, dan ada pengumuman untuk shalat berjamaah. Aku dan
Rania segera berwudhu dan shalat, dan dilanjut dengan makan siang, dapurnya sangat luas, cukup
untuk ratusan santri.

“waww.. luas ya dapurnya” ucapku. “iyaaa luas ya” kata Rania. Aku hanya makan berdua dengan
Rania karena aku belum berkenalan dengan yang lainnya. Saat selesai makan siang aku Kembali ke
kamar dan lanjut merapihkan barang barang. Setelah aku merapihkan barang aku berkenalan dengan
teman sekamar ku, mereka sangat menyenangkan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 31


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Sehabis shalat isya kami pergi ke kelas untuk kajian islam sampai jam 9 malam, untuk kajian islam hari
ini hanya perkenalan dengan teman teman dan guru. Kami segera pulang ke asrama dan melakukan
bersih bersih.

Dan keesokan harinya

Aku bersiap siap untuk kesekolah setelah shalat shubuh berjamaah, aku mengantri mandi, bersiap
siap dan makan, dan pergi ke sekolah.

Setelah pulang aku dan teman lainnya shalat zuhur berjamaah.

Dan seperti itulah kehidupanku di pesantren Ar-Razaq walaupun sederhana aku sangat senang disitu,
selain belajar hidup sederhana, aku belajar hidup mandiri. Aku sangat senang berada di Pondok
Pesantren Ar-Razaq. Itula kenangan yang tak terlupakan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 32


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

R. J Couple
Aufiya

Pagi hari di sekolah, kegaduhan terjadi di kelas IX A. Semua murid sedang menentukan siapa
yang akan menjadi pemeran utama dalam drama Romeo dan Juliet.

“Udah Alyn aja yang jadi julietnya, dia cocok buat jadi peran utama wanita.” Ucap Lily kepada
teman-teman yang lain.

“Iya gpp, nanti yang jadi romeonya Asta, kalian berdua cocok.” Ucap Gavin.

Teman-teman yang lain menyetujui pendapat tersebut, maka di putuskanlah kedua pemeran
utama nya adalah Asta sebagai Romeo dan Alyn sebagai Juliet.

“Tapi aku belum pernah main jadi peran utama, gimana kalo jadi berantakan?” Ucap Alyn.

“Gpp lyn, coba dulu aja, nanti aku bantu asalkan kamunya percaya diri.”

Di lain hari

Alyn berusaha sebaik mungkin dalam mendalami peran yang ia mainkan, dibantu oleh Lily dan
teman-temannya yang lain. Hari demi hari telah terlewati, hingga tiba saatnya H-1 sebelum
pementasan drama.

“Oii, ada yang tau ngga Alyn kemana? tadi dia bilang mau ke toilet tapi belum balik-balik
sampai sekarang?” Tanya Lily kepada teman-temannya.

“Gatau ly, aku juga ngga liat Alyn dari tadi.”

“Coba aku cari ly, kali aja nanti ketemu.” Jawab Asta

“Oke, thanks As, tolong cari sampai ketemu ya, soalnya gladi nya udah mau dimulai.”

“Iya.”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 33


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Asta lalu keluar dari kelas dan jalan menuju taman belakang sekolah, biasanya aku suka lihat
Alyn di taman belakang. Gumam Asta dalam hati, sesampainya di taman belakang, ternyata
dugaan Asta benar dan Alyn sedang duduk termenung di bangku taman.

“Lyn? kamu kenapa disini? dicariin sama Lliy tuh dari tadi.”

“Aku ragu As, aku takut nanti pas udah tampil malah jadi berantakan gara-gara aku, kasian
yang lain.”

“Kamu kenapa mikir begitu? bukannya selama ini kamu udah berusaha sebaik mungkin?”
Jawab Asta.
“Iya..” ucap Alyn singkat.

“Buat hasilnya kita lihat nanti aja, yang penting kan udah mau coba dan berusaha sebaik
mungkin.”

“Oke, makasi ya Asta udah memotivasi aku.” Ucap lyn berterima kasih.

“Iya sama-sama, yaudah yuk ayo gladi, udah di tungguin sama yang lain.”

Akhirnya Asta dan Alyn berjalan kembali ke kelas mereka untuk melaksanakan gladi bersama
yang lain. Hari itu Alyn mulai belajar untuk tetap optimis dan percaya diri ketika tampil.

Hari H+1, drama kelas IX A sudah selesai dilaksanakan kemarin, kini mereka sedang
merayakan keberhasilan drama mereka yang mendapatkan juara 1. Alyn dan Asta diberi gelar
sebagai couple drama terbaik. Teman-teman menjuluki mereka sebagai R. J Couple. Mulai saat
itu, drama pentas seni sekolah menjadi tradisi setiap tahun, dan siapapun berhak
menampilkan bermacam-macam drama yang berbeda.

Bagaimana bisa dunia mencintai dan mau mengenal orang yang tidak mengenal dan percaya
akan dirinya sendiri.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 34


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Persahabatan

Hafizhah Anis Nizhmi

Apa yang kamu ketahui tentang persahabatan? Saat ini aku kelas 1 SMA, setiap hari aku
menghabiskan waktu bersama dengan ketiga sahabatku yaitu Fariz, Irsyad dan Lala. Kami berempat
sudah bersahabat dari kecil.

Apa arti persahabatan sesungguhnya? Ikatan tentang rasa berteman dan saling peduli satu sama lain.
Begitu pula dengan kami. Pada suatu hari kami berempat membuat sebuah janji persahabatan yang
ditulis dan kemudian masukan kedalam botol. Perjanjian tersebut dikubur di bawah pohon dan akan
dibuka saat kami semua menerima hasil ujian kelulusan.

Waktu yang kita tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari kita berempat menerima hasil ujian dan kami
semua dinyatakan lulus. Setelah menerima pengumuman, kami berempat serentak menuju pohon
yang menjadi tempat untuk mengubur botol. Kamu semua menggali hingga menemukan botol
tersebut.

Saat botol sudah ditemukan, kami semua bergegas membaca tulisan yang dulu sempat kami tulis. Di
dalam kertas tersebut berisikan tulisan "Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya"

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 35


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Keesokan harinya, kami semua saling perpisah. Karena masing-masing akan melanjutkan pendidikan
di sekolah yang berbeda. Kami pun saling bertangisan. Kesedihan menyelimuti hati. Namun, tak apa,
kami masih bisa saling komunikasi.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 36


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

17 YANG ANEH
Sitaresmi

Aku bangun dari tidurku, kemarin hari yang melelahkan. Alarm berbunyi terdengar terngiang - ngiang
di samping kepalaku. Dengan kesal aku mematikan jam digital tersebut dan melihat tanggal yang
terpapar. 
    “Tanggal 17?, tunggu bulan apa sekarang?.” Gumamku.
Aku pun membuka kalender yang terletak tepat di samping jam digital dan melihat pada header
kalender. “AGUSTUS” terpampang besar - besar di tempat judul. Aku membaca lagi tahunya, “2022”.
Wajahku melongo, aku melihat ke sekitar dan mendapati  bahwa,
    SALAH BACA TANGGAL ATAU TIME TRAVEL???”.
   Seingatku aku masih tertidur di kasur ku kemarin tepatnya tanggal 16 Agustus 2017, IYA 2017. Dan
sekarang aku ada di kasurku, tempat yang sama, hanya saja berbeda tanggal dan tahun??. Sambil
menggunakan sandal tidur milikku, aku melangkah keluar hendak mencari penjelasan tentang apa
yang terjadi, dan mungkin mengambil sedikit makanan untuk dikunyah, “memang tak bisa menolak
perut lapar.” aku berbicara pelan dan menuju ke dapur.
    Di dapur aku melihat kakakku Seno, sedang menyiapkan makanan untuk sarapan.
    “Kak, liat hp aku nggak?.” Aku bertanya. “Aku mau ngesearch bentar.”
    “Hooh, tuh di meja. Emang mau ngapain mending siap - siap lomba kek, mandi, atau bantu bapak -
bapak nyiapin buat lomba.” Kakakku menimpali.
    “Mang ngapa serah aku lah. Oh iya sekarang tahun berapa deh?.” aku menatapnya sambil
membuka password layar hp.
    “Mabok genjer ye, sekarang tahun 2022 lah.” Kakakku menjawab dengan datar sambil memasak.
Ku Perhatikan dengan seksama layar hp ku, mencari kabar - kabar yang ada di internet, takut
menanyai kakakku dan menganggap aku mabuk genjer. Lagi.

......................

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 37


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Siangnya lomba 17 - an yang selalu dilaksanakan setiap tahun (aku tidak tahu apakah tahun 2018 -
2021 ada perayaan HUT RI) terlaksana dengan lancar, orang - orang ramai bersorakan menyemangati
temannya atau sekedar memanas - manasi perlombaan itu. Aku yang melihat sekeliling merasa aneh,
wajah familiar yang dulu tahun 2017 aku kenal telah berubah menjadi, ya agak tua. satu atau dua
orang menyapa ku dan bertanya tentang wajahku yang tampak tidak menua, aku hanya menjawab
sekilas, mengucapkan sedikit kalimat dan pergi. 
Hari sudah menjelang sore, aku yang kelelahan memutuskan untuk hanya tidur dirumah. Berharap
bahwa rotasi waktu yang aneh ini hanyalah mimpi. Dengan langkah gontai aku pun berjalan ke kasur,
merebahkan diri dan tidur terlelap tanpa mengganti baju yang berkeringat di sekitar tubuhku.

.............

“JAS MERAH, JANGAN SEKALI - KALI MENINGGALKAN SEJARAH.” Begitulah kata pak Soekarno,
presiden RI yang pertama. Tapi masalahnya bagaimana pula aku bisa lupa sejarah, sebab aku sedang
mengalami itu sekarang ini, pak Soekarno membacakan teks proklamasi yang aku ingat setiap
kalimatnya. Secara singkat, aku terbangun di atas bidang tanah yang kecil berukuran 2 x 2 dan
dihimpit oleh 2 buah rumah kumuh, yang retak dindingnya, banyak sarang laba - laba, dan sepertinya
tidak ada penghuninya. Aku terbangun karena mendengar suara teks proklamasi yang kencang
dibacakan, dan membawa aku pada titik yang sekarang ini.
Aku was - was dengan kejadian aneh ini, pertama - tama aku terbangun di tahun 2022, kemudian
sekarang di tahun 1945. 
“Aneh!!!.” makiku dalam hati.

    “IRINA!, KAMU DENGAR IBU TIDAK?, COBA JELASKAN MAKNA TEKS PROKLAMASI!.” Aku terbangun
mendengar teriakan bu Lus, guru PKN di sekolah.
Aku terdiam sebentar mengelap ilerku yang mengalir dari mulutku hingga ke pipi, dan kebingungan.
“Asem emang, emang aja ngak asem.”, pikirku dalam benak. Sepertinya lomba 17 agustus kemarin
(tahun:2017) membuatku terlalu lelah. dan cara berbicara bu Lus macam pendongeng, sehingga aku

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 38


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

terkantuk - kantuk dan tertidur. “Yahh, toh ngak masalah yang penting jangan tidur pas jam pelajaran
lagi” aku berbicara pada temanku, “ntar mimpinya aneh - aneh.” Aku dan kawanku pun cekikikan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 39


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

In a little day
Sitaresmi

Sore itu semburat api menyala dengan terang menerangi asrama tempatku tinggal. Malam ini adalah
jadwal terakhir bagi ujian kajian islam. Dan kebetulan, ini adalah pelajaran termudah, bahkan kucing
arab saja bisa mengerjakannya dalam hitungan detik. Hari berjalan membosankan, hanya dipenuhi
belajar, sedikit canda tawa dan jenaka, lalu kembali belajar. Hingga pada akhirnya ujian dimulai. Ujian
tashrif terdiri dari menghafal beberapa bab, memahami sighat atau perubahan kata, dan memahami
bina, yang aku lupa apa maknanya. Selesailah ujian bagai jentikan jari.

“Lelah aku.” Aku berbicara sendiri dengan nada menggerutu.


Satu - satunya hal yang membantuku mengusir rasa bosan ini adalah membaca novel. Namun bukan
sekedar membaca novel, aku melompat ke dalam cerita tersebut, mendengarkan kisahnya sebagai
desiran angin, merasakan belaiannya seperti lautan. Selalu aku menanti pada malam hari, sebelum
tidur, setelah membaca Al - Furqon. Membuka lembaran demi lembaran. Menikmati setiap frasanya.
Dan pada akhirnya menikmati selimut pada penjagaan sang malam. Bangun pagi hari, dan
membersihkan raga. Menghadap dan bersungkur di hadapan yang maha memiliki, dan menjemput
waktu fajar.
Sekarang hari sabtu.
Hari sabtu di tempatku merupakan hari ekskul, tak terkecuali pramuka, yang, sudah menjadi
kewajiban setiap anak santri ditempat ini. Belajar disiplin, mandiri, namun tetap rapi (yang sepertinya
tidak bisa dilakukan oleh warga Indonesia mengingat seringnya kita membuang sampah
sembarangan) dan banyak lagi. Setelah berdiri di tengah lapangan (yang mengingatkanku pada arena
gladiator) selama kurang lebih satu jam, akhirnya waktu yang dinanti telah tiba. Tidak, bukan waktu
istirahat. Namun waktu ekskul pilihan. Jurnalistik. Dengan pengajarnya yang baik hati.
“Oke, waktunya menulis.” Ori berbicara dalam benaknya sendiri.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 40


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 41


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Nazma Aulia

8a

Pesantrenku

Pertama kali aku mendatangi pesantren seolah ada rasa ragu, gugup dan takut. Dan ketika
awal aku masuk kita saling berkenalan ternyata pesantren tak seburuk yang aku pikirkan. Aku
jadi senang ketika mulai mempunyai banyak teman, kami menghabiskan kehidupan sehari hari
bersama teman, dan kami belajar seperti biasa dengan nyaman.

Hari ini adalah lebih baik daripada hari kemarin, begitu prinsipku. Memperbaiki diri ibarat

Melewati tantangan dan hambatan yang melintang. Aku ingin selalu menjadi orang yang lebih

baik dengan banyak berbuat kebaikan.

Life is so short without spare kindness to everyone.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 42


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Home

Tiara

Suatu hari di Pesantren Mandala…

Hari ini, tepatnya tanggal 24 bulan Desember adalah hari yang sangat berat bagi Rendra Valaska,
ketua kelas dari kelas 8A.

Kenapa?

Hey, ia sangat lelah mengurus teman-temannya di kelas yang sangat ribut akibat berita yang datang
mendadak.

Berita apa?

Berita tentang kepulangan akhir semester 1.

“Please… Jangan ribut!” Tegur Rendra.

“Gimana gak ribut Ren? Kita baru dikasih tau tentang kepulangan hari ini sedangkan besok udah
pulang?? Aku saja belum membereskan barang-barangku” Jelas Jeano kesal.

“Aku setuju dengan Jeano!” Sahut Jendra yang merupakan saudara kembar Jeano.

“Seharusnya kalian itu senang karena besok kita akan pulang! Bawalah barang seperlunya!” Balas
Rendra.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 43


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Sudahlah, bel pulang udah bunyi. Ayok ke asrama” Ajak Rendra beranjak dari duduknya.

“Wuu…! Karenamu, Rendra jadi kesal!” Omel Jeano ke kembarannya.

“Kau yang memulai, Jean!” Balas Jendra tak mau kalah.

“JEANO! JENDRA! TINGGAL KALIAN YANG BERADA DI KELAS! CEPAT KELUAR ATAU AKU TUTUP
PINTUNYA!!” Teriak Rendra dari luar kelas.

Jeano dan Jendra yang mendengarnya pun segera lari keluar kelas.

__

Jam menunjukkan pukul 13.05.

Rendra sedang berbaring di kasurnya yang nyaman.

“Ren, kamu kenapa? Kok keliatan capek banget?” Tanya Reizel.

Reizel adalah teman sekamar Rendra.

Di Pesantren Mandala, satu kamar itu berisi enam orang santri.

Rendra sekamar dengan Jeano, Jendra, Reizel, dan kedua teman lainnya.

“Besok pulang, Rei…” Jawab Rendra pelan.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 44


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Bagus dong. Aku udah siap malah” Ujar Reizel antusias.

“Are you not happy?” Tanya salah satu teman sekamarnya yang bernama Geo.

Rendra tidak menjawab. Ia hanya menghela nafas pelan.

“Mau cerita ada masalah apa?” Tanya salah satu teman sekamarnya lagi yang bernama Haikal.

Melihat semua teman sekamarnya duduk di atas lantai kamar, Rendra pun turun dari kasurnya. Ia lalu
duduk di antara si kembar.

“What the problem?” Tanya Jendra.

“Aku senang. Sangat. Kita akan pulang ke rumah setelah sekian lama. Tapi… Aku juga sedih karena
kita akan berpisah” Jelas Rendra.

Jeano, Jendra, Haikal, Reizel, dan Geo yang mendengar ucapan Rendra tersebut pun tertawa.

“Kenapa kalian tertawa?!” Tanya Rendra melotot.

“Ren! Kita tidak akan pernah berpisah!” Ujar Reizel masih tertawa.

“Ren, dalam keadaan apapun kita tidak akan pernah berpisah” Timpal Haikal.

“Hah?” Bingung Rendra.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 45


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Ren, walau kita berjauh-jauhan, kita tak akan pernah terpisahkan. Kita akan tetap bersama.
Lagipula… Setelah liburan nanti kita akan kembali lagi” Ujar Jeano lembut.

“Walaupun kita akan berbeda kamar nanti” Ujar Geo.

“Kita akan tetap bersahabat dan tetap bersama” Lanjut Haikal.

“Disetiap pertemuan pasti ada perpisahan” Ujar Reizel.

“Kalian…” Rendra tak bisa membendung air matanya lagi. Air matanya telah keluar.

“Kita akan terus bersama…” Jendra memeluk Rendra. Disusul oleh temannya yang lain.

Besok… Besok mereka akan pulang ke rumah masih-masing.

__

Hari ini hari perpulangan.

Rendra sudah dijenput oleh kedua orangtuanya.

Ia sedang berpamitan dengan sehabatnya.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 46


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Jangan menangis heh bocah” Ujar Jeano terkekeh.

“Besok… Hari itu akan datang saat kita kembali ke Pesantren ini, Ren” Ucap Haikal.

“Kita akan bertemu lagi” Kata Reizel tersenyum.

“Kami akan merindukanmu dan kau akan merindukan kami” Ujar Geo.

“Kita sahabat. Selamanya” Ujar Jendra.

Baiklah Rendra tidak akan sedih.

Sekerang adalah waktunya ia pulang, berpisah dengan teman-temannya.

Home. Itulah tujuan Rendra sekarang.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 47


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Amelia Nurjannah

XI IPA

Jangan Malu menjadi Orang Miskin

Aku anak seorang pemulung dan pekerja buruh. Ayahku buruh pabrik dan ibuku sering bekerja
mengumpulkan barang bekas, untuk menambah biaya sekolah dan kehidupan aku dan adik-adikku.
Namun, aku bahagia dan selalu bersyukur. Aku memiliki kedua orang tua yang baik dan penyayang.
Banyak anak yang belum tentu seberuntung aku. Tidak punya ayah maupun ibu. Walau aku selalu
tidak percaya diri dengan keadaan kami, aku tetap berjuang dan belajar sebaik mungkin agar menjadi
anak yang membanggakan orang tua.
Dan aku menjual kue di sekolah. Kue apa saja yang dibuat ibu aku jual di kelas ke teman-temanku.
Walau tidak banyak, cukup buat ditabung membayar uang sekolah. Kadang pisang goreng, bakwan,
dan lapis.
Aku tidak malu, aku membawanya dengan plastik besar, setiap istirahat aku menawarkannya ke
kawan-kawan. Aku heran melihat teman-teman yang hidup berkecukupan, tapi tidak rajin belajar dan
bersyukur. Ternyata benar kesungguhan dan pantang menyerah membuat siapa saja menjadi
bahagia.
Kini aku duduk di bangku mahasiswa untuk meneruskan beasiswa aku ke jenjang magister. Penggalan
kisah diriku tadi adalah kisah waktu aku duduk di SD. Walau kini ayahku telah tiada, tapi semua
pengorbanan ayahku tidak akan aku sia-siakan. Kini aku telah bekerja di sebuah perusahaan.
Gajiku cukup untuk membiayai ibu dan adik-adikku sekolah. Aku sangat bersyukur karena selama ini
banyak kemudahan yang Allah berikan padaku. Sekali lagi, aku ingin katakan jangan malu menjadi
orang miskin. Tapi, malu apabila diri kita tidak mampu menjadi orang yang tidak berguna.
Walau aku telah sukses, aku tetap meyakini kalau aku adalah anak miskin seorang pemulung yang
tetap bersyukur dan belajar terus-menerus agar menjadi orang yang sukses.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 48


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Shafira Ayu Putri Rahman


XI IPA

Pada Bulan Januari, tanggal 25 di sekolahku akan libur dan liburku akan berakhir tepat pada tanggal 5
Februari. Untuk itu kami sekeluarga akan berlibur.
Aku memilih berlibur di Pantai Clara. Di sepanjang perjalanan, diiringi dengan nyanyian lagu yang
riang. Betapa senang aku ketika sampai melihat ombak di pantai.
Dengan pesona yang indah dan menawan, kami sekeluarga mengabadikan momen foto bersama. Tak
terasa waktu cepat berlalu begitu sangat cepat.
Ketika beranjak sore aku sekelurga pulang ke rumah. Aku ingin kembali lagi ke sini esok, ujarku dalam
hati, karena aku sungguh tak rela meninggalkan tempat indah ini.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 49


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

KHALISA YANG MENCARI AYAHNYA

Rachel Kalyla

Khalisa adalah anak dari 3 bersaudara, ia adalah anak sulung dan Khalisa memiliki adik Bernama
Mutia dan Kirana, Khalisa hanya tinggal Bersama ibu nya sebab ayah nya sudah meninggalkan dia dan
ibunya sejak Khalisa berumur 2 tahun.

Ibu nya menikah lagi saat khalisa berumur 5 tahun dan mengandung Mutia saat pernikahan ibunya
sudah 5 bulan lamanya, dan ibunya baru mengandung mutia. Diumur nya yang ke-15 tahun ini ia
ingin mencari ayahnya yang sudah meninggalkan ia dan ibunya, Khalisa dan ibunya pernah terjadi
kecelakaan yang menyebabkan khalisa lupa ingatan dan membuat ia lupa dengan wajah ayahnya
sendiri, ia ingin mencari dengan modal data data yang disimpan oleh ibunya yaitu Alamat, nama
lengkap, dan alamat orang orang terdekatnya, ia mulai dari mencari alamatnya yang lumayan jauh
dari rumahnya kira kira 10 KM, tapi di saat sudah sampai di alamat tersebut ternyata ayahnya sudah
pindah 3 bulan yang lalu.

Ia tidak putus asa, ia tanya kepada bu rini, orang yang sekarang tinggal di rumah yang dulu ayah nya
tempati, namun ternyata bu rini tidak mengetahui ayahnya tinggal dimana.

Akhirnya ia ke alamat orang terdekat ayahnya yaitu nenek nya yang dari ayahnya, awalnya khalisa
tidak mengetahui kalo ia mempunyai nenek dari ayah nya itu. Saat melihat alamat rumah nenek nya
ternyata sangat jauh dan beda pulau. Khalisa bertekad untuk mengumpulkan uang jajan nya untuk
menyusuli neneknya yang di pulau Kalimantan itu.

Saat sudah ke kumpul Khalisa membeli tiket dan berangkat pada esok harinya, ia sudah menyiapkan
baju nya.

KEESOKAN HARINYA..

Khalisa berangkat sendiri tanpa dampingan dari ibunya, saat sudah sampai di pulau Kalimantan,
Khalisa tanpa basa-basi ia langsung menuju alamat rumah neneknya itu, lalu saat sudah sampai
dirumah nenek nya itu ia mengetuk pintu dengan mengucapkan

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 50


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Assalamualaikum, nenek” Khalisa salam sambal mengetuk pintu

“Waalaikummussalam, iya siapa ya?” ucap nenek

“saya khalisa cucu nenek, anak dari ayah ali yaitu anak nenek disini saya bertujuan untuk mencari
ayah apakah ada ayah di dalam?” Khalisa berbicara sambil bergetar

“HAH??!! CUCU KU KAMU APA KABAR NENEK KANGEN SEKALI, KAMU KESINI DENGAN SIAPA NAK?”
ucap nenek sambal terkaget kaget sambal memeluk erat

“Sendiri nek, apakah ada ayah didalam?”

“ada cu, di dalam kamu masuk aja”

Lalu Khalisa melihat dan memeluk erat ayahnya karena akhirnya ia bisa melihat ayah nya sebab ia
sudah lama tidak bertemu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 51


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

KEHIDUPAN PESANTREN

Muhammad Zidan Al Gifari

Hari sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. “Teeett. . . teeett. . .”, terdengar
suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Seorang anak laki-laki yang menuntut ilmu
disebuah pondok Pesantren dengan tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya, yaitu mencuci
pakaiannya disebuah kolam yang letaknya tidak jauh dari asrama tempat dia tinggal.

“Yusuf . . . ! Lekas kamu selesaikan pekerjaanmu itu !”, terdengar seruan ketua asrama
memanggilnya. “Iya kak, tanggung nih, tinggal satu helai/baju lagi”, sambil memperlihatkan baju yang
dicucinya. Yusuf nama panggilan anak itu, yang usianya mulai remaja.

“Setelah selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti sajalah”, gumamnya
dalam hati. Yusuf masuk lewat pintu belakang asrama, dengan meletakkan handuk dibahunya dan
ditangannya membawa perkakas mandi. Tak dihiraukannya pandangan geram ketua asrama yang
sedang menunggu di pintu depan, siap untuk mengunci pintu.

Setelah selesai mandi, Yusuf kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang seragam dan
mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama. Dibiarkannya kancing bajunya yang
belum terpasang. Tiba-tiba dia bertemu dengan kak Taufan. Dengan ekspresi geram, seakan kak
Taufan ingin menyampaikan sesuatu kepada Yusuf. “Setelah magrib kamu berdiri di mushala!”, kata
kak Taufan ketua asrama yang bawel itu.

“Hah, kenapa kak ?” sahut Yusuf protes.

“Salahmu sendiri, sering terlambat !, teman-temanmu sudah selesai mengerjakan pekerjaannya,


cuma kamu yang selalu terlambat dibanding mereka!” Yusuf terdiam, tak berani menjawab. Yah,
begitulah hari-harinya di Pesantren, selalu diimpit waktu, sering terlambat, dan disanksi adalah tiga
hal yang tidak dapat dipisahkan olehnya.

Keesokan harinya, di kelas, Yusuf tampak mengantuk sekali, namun selalu ditahannya, sebab dia
duduk paling depan. Tidur dihadapan Ustadz yang sedang mengajar tentu penghinaan, dan dia tidak
ingin menerima ganjaran karena melakukan penghinaan tersebut.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 52


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Tak ayal, begitu waktu pulang tiba, Yusuf langsung berlari ke asrama dan langsung menjatuhkan
tubuhnya yang kurus itu ke kasur. Meskipun menurut teman-temannya kasur tersebut sangat bau,
tapi dia tidak pernah merasakannya, baginya kasur itu adalah surga.

Adzan berkumandang, mengalun merdu. Waktu zuhur telah tiba. Namun didalam hati, Yusuf berpikir,
“Ah, iqamatnya masih lama, paling tidak 20 menit lagi, waktu yang lumayan cukup untuk memuaskan
kantukku.”

Tiba-tiba kak Taufan menghampiri Yusuf yang sedang rebahan tampak mengantuk sekali. Ditatapnya
Yusuf yang lagi tiduran.

“Yusuf, cepat bangun, sudah iqamat !”, sayup-sayup terdengar kak Taufan membangunkan. Yusuf
yang dari tadi terjaga dari tidur tidak merasa panik, sebab hanya perlu meraih sajadah, dan berlari
menuju kolam untuk berwudhu, lalu masuk ke mushala. Asrama tersebut letaknya tidak jauh dari
mushala, sehingga hanya dalam beberapa menit dia sudah mengangkat takbir tanpa masbuk.

Namun, karena tidur terlalu pulas, dia tidak tahu apa-apa lagi, suara kak Taufan tidak dapat dia
dengar. Merasa Yusuf akan bangun, kak Taufan kemudian pergi, padahal Yusuf sedang tidur dengan
pulas nya.

“Assalamu’alaikum warahmatullah. . .”, pertanda shalat sudah selesai, Yusuf sadar bahwa suara dari
pengeras suara tersebut adalah suara pertama yang didengarnya saat dia bangun dari tidur siang.
Dan sesuatu yang pertama dilihatnya adalah wajah kak Imam, staf keamanan yang sedang kontrol.
Yusuf langsung bangkit dari tempat tidur, dilihatnya jam dinding yang tergantung diatas pintu. “Oh,
tidak! Aku tidak shalat zuhur berjamaah” bisiknya dalam hati.

Kak Imam akhirnya mengetahui hal tersebut, kemudian menghampiri Yusuf dan bertanya, “Kenapa
saat shalat zuhur tadi kamu tidak terlihat dimushala? apakah kamu tidak ikut shalat berjama’ah?“

“Maaf kak, tadi saya ketiduran.” Yusuf tertunduk malu.

“Kali ini kamu kakak maafkan, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu akan diberi sanksi, kamu
mengerti ?”, kak Imam memperingatkan.

“Mengerti kak.” Yusuf mengangguk.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 53


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Sekarang, cepatlah kamu shalat.” Tegas kak Imam.

“Baik kak, maafkan saya ya kak”,

“Berdo’a dan minta ampunlah kepada Allah bukan kepada kakak, ayo cepetan shalat sana, nanti
keburu ashar lho.”

“Iya kak.” Yusuf bergegas ke kolam untuk berwudhu dan berlari menuju mushala.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 54


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Najwatul Zakyyah

10 IPA 1

Laki Laki Berkacamata

Tentang hati, yang sudah lama tertutup, namun dengan mudahnya ia ketuk.

Dan parahnya lagi saya persilahkan masuk.

Tentang hati. Entah sudah seberapa banyak beton yang saya timbun, agar tak ada yang berani
masuk walau hanya sekedar bertamu. Entah sudah seberapa panjang rantai yang saya ikat, agar tak
ada yang berani mendekat. Tapi, itu semua sia-sia. Runtuh tak bersisa, hanya karena seulas
senyuman, yang bahkan bukan untuk saya. Dia, si laki-laki berkacamata, yang diamnya seribu bahasa.
Dia hanya duduk, tapi rasanya duniaku seperti diaduk. Dia hanya tertawa, tapi hatiku seperti dibawa
samapai ke rawa-rawa.

Minggu itu, tanggal 24 Agustus. Untuk pertama kalinya, saya berinteraksi dengan dia. Tiba-tiba
dan tak diberi aba-aba.

“Hey, wa!” Suara berat namun halus masuk dengan cepat ke dalam telinga. Aku menoleh, mencari
sumber suara, dan hanya ada dia. Dia beneran yang manggil saya? Saya tak percaya.

“Kamu manggil saya?”

“Iya kamu, Najwa” Dia menyebut nama saya, saya kira dia tak kenal saya. Bahkan sepertinya dia tak
pernah tau saya hidup.

“Oh iya, ada apa?” Gugup. Saya tak bohong, saya hampir gemetar.

“Tolong beri ini ke Ayas ya, tadi saya cari dia tapi tak ketemu” Sebuah susu stawberry dengan satu
buah coklat panjang. Retak. Hati saya retak. Ia sedang jatuh cinta, dengan teman sebangku ku.

“ Oo-oh, iya iya nanti saya kasih dia, ini aja?” Sakit, tapi bahagia karena itu untuk kali pertama saya
berbincang dengannya. Jika tau begini, saya lebih memilih menghidari garis interaksi.

“Terimakasih ya” Ucapnya dengan mata yang hampir tenggelam. Setelahnya dia pergi, meninggalkan
saya yang patah hati.

Untuk akhir,

Manalah kutahu datang hari ini


Hari di mana ku melihat dia

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 55


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Yang tak aku bidik, yang tak aku cari


Duga benih patah hati lagi, tahu begini

Itu yang kupilih


(Jika bisa kuhindari garis interaksi)
Itu yang kupilih- TULUS (interaksi)

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 56


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

UMAR SI BOCAH PENYELAMAT DUNIA BAWAH

Umar &Agsa

Pada dahulu kala hidup seorang bocah yang memiliki teman Bernama Asep. Umar suka main game
dan belajar menulis. Umar kebanyakan menulis cerpen tentang game yang dimainkan nya. Walau
begitu dia tidak terlalu lincah dalam mengetik, suatu hari setelah ia selesai mengetik cerpen barunya
umar lalu ia diperintahkan untuk membeli sabun cair dan shampo. Tidak sengaja dia melihat lelaki
muda berambut merah. Ketika ingin pulang lelaki muda tersebut menghampiri Umar. Dia berkata
“Umar kamu adalah orang terpilih’’ . Umar seketika bingung dengan perkataan lelaki muda tersebut,
lelaki muda itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai pesulap merah. Umar pun kaget karena
dia bertemu dengan pesulap yang masyur itu. Setelah itu dia mengajak umar untuk menemuinya di
rumah pesulap jingga esok hari. Malam misterius dia lewatkan dengan kejadian-kejadian aneh,
seperti pisau melayang di dapur dan laptop yang tiba-tiba menyala sendiri, pagi setelah kejadian itu
umar bersiap-siap untuk bertemu pesulap jingga dan pesulap merah, dia melewati hutan yang rimba
dan jalan setapak. Umar sudah sampai, dia disambut oleh kedua pesulap itu. Kedua pesulap itu
mengatakan bahwasanya Umar adalah penyelamat dunia bawah. Umar diam seribu kata, dia heran,
dunia di benaknya hanyalah sebuah cerita dongeng. Pesulap jingga bertanya “Mengapa kau tidak
berbicara apa-apa? Kau adalah seseorang yang kami tunggu, berbahagialah karena kau terpilih”.
Umar menjawab pertanyaan pesulap jingga. “Aku tidak mempercayai dunia bawah, tidak ada bukti
yang dapat membuatku percaya akan dunia bawah”. Kedua pesulap itu tertawa terbahak-bahak
seperti orang yang tersedak. “Lalu bumi berongga yang tidak dapat di jelajahi karena dalam, oksigen
tidak akan bisa masuk mengapa menghasilkan suara suara seperti lalu lalang kendaraan seperti di
film-film sains fiksi?” ujar pesulap merah. Umar gagap menjawab pertanyaan kedua pesulap tersebut.
Dia pun pada akhirnya bersedia “Aku memang dulu adalah seorang yang keras kepala, tidak mau
menerima sesuatu yang berbeda dengaku walau itu benar, tetapi aku akan berjanji pada diriku untuk
tidak membuat lagi cidera dan memperbaiki tangan kiri”. Umar berusaha dan percaya pada dirinya
dia pun akhirnya menjadi sang penyelamat dunia bawah.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 57


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Indahnya hidup di Pesantren


Shafira Ayu Putri Rahman
XI IPA

Seperti biasanya, Akila bangun pagi-pagi sekali. Karena ia jengkel dengan temannya yang suka
membangunkannya tiap pagi. pagi itu jam 4 tepat ia dibangunkan oleh temannya Zizi,
memang kehidupan di pesantren tidak mudah dijalani bagi anak yang masih bergantung
kepada orang tuannya, oleh karena Akila yang sejak duduk di bangku kelas 1 SMK ini, telah
terbiasa tinggal sendirian tanpa ditemani kedua orang tuanya, ia pun menjadi anak yang
mandiri, tetapi yang ada dipikirannya hanyalah ibunya yang setiap hari berkerja jauh darinya.

Entah apa yang sedang dilakukan ibunya. Semenjak ayahnya meninggal ketika usia Akila 16
tahun, ia tak henti-hentinya terpikirkan "apa yang harus aku lakukan?" itu yang dipikirkan
Akila, karena keadaan keuangan keluarganya mulai merosot sejak ditinggal oleh ayahnya.          

Akila kini duduk di kelas 3 SMK dan sebentar lagi ia akan menghadapi ujian nasional. Tak
terbayangkan lagi betapa pusingnya ia memikirkan bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya
sendirian. Akila memang siswa yang aktif disekolahnya, dia sangat aktif dalam satu eskul
kesenian, sejak SMP pun Akila sangat senang terhadap yang namanya seni oleh sebab itu
iapun mengikuti eskul tersebut. Keaktifannya di eskul tersebut mulai timbul sejak ia duduk di
kelas 2 SMK, dan semakin hari ia pun bertambah aktif dan sampai akhirnya ia dipercayai
menjadi seorang ketua pelaksana sebuah acara yang tidak bisa dibilang biasa. Pikirannya
mulai terombang-ambing karena ia masih tak mampu mengendalikan masalah yang ia anggap
datang bertubi-tubi tanpa henti menghampirinya.

Waktu pun berlalu, dan sepertinya aman-aman saja tetapi 2 minggu sebelum acaranya
dimulai ia mendapatkan masalah yang ia sendiri tidak dapat mengatasinya karena saking
besarnya masalah tersebut. Bertambah pusinglah pikirannya karena harus bagaimana lagi ia
menjalankan amanat yang diemban kepadanya. "Lebih baik rasanya bunuh diri itu terasa lebih
enak" sempat terlintas dipikirannya kalimat seperti itu. Tetapi ketika ia belajar seperti
biasanya pas pelajaran kewirausahaan ia mendapatkan banyak sekali motivasi - motivasi dari
gurunya tersebut. Ia pun akhirnya menjadi lebih bersemangat kembali.         

Pagi itu mentari belum menampakkan cahayanya, tetapi Akila harus bangun pagi-pagi sekali
karena seperti biasa, ia bukanlah seorang anak yang diam di rumah orangtuanya, tetapi ia
tinggal disebuah pesantren yang tentu saja setiap waktu ia harus menuntut ilmu. setelah ia
bangun pagi ia langsung mengambil air wudlu lalu sholat shubuh berjama'ah seperti biasanya,
kebiasaan para santri yang sulit untuk diubah adalah kebiasaan tidurnya bisa dimana saja. Bisa
di tempat-tempat yang tidak terduga, setelah solat biasanya para santri berdzikir dipimpin
oleh imam, yah karena sudah menjadi kebiasaan para santri akhirnya yang tadinya semua

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 58


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

santri berdzikir bersama imam, kini yang berdzikir hanyalah imam seorang, selebihnya
tertidur. Ada yang sambil duduk lah bahkan ada yang sampai sambil berbaring, masyaAllah....
Innalillahi. kebiasaan ini memang identik dengan para santri karena tak dapat dipungkiri orang
yang hidup dipesantren biasanya jam tidurnya berkurang karena begitu banyaknya aktifitas
yang harus para santri kerjakan setiap waktunya.         

Saking sudah mendarah dagingnya budaya tidur ini, beberapa santri bahkan bisa tertidur
ketika sedang mandi, teman Akila yang bernama Ayu pernah mengalaminya. Jadi ketika Akila
hendak mandi ia ketuk pintu kamar mandinya "siapa didalam?" tanya nya, tak ada yang
menjawab sampai Akila menanyakan siapa didalam 3 kali tetapi tetap saja tidak ada yang
menjawab akhirnya ia pun mengintipnya, eh ternyata Ayu sudah tertidur sambil memegang
gayungnya sendiri, dia tidur terduduk di lantai kamar mandi, astagfirullah... Memang
kebiasaan tersebut susah hilangnya tetapi tak ada salahnya untuk dihilangkan sedikit demi
sedikit agar tidak terjadi hal yang sama seperti itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 59


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Candy Azahra Bilbina

“Yusuf . . . ! Lekas kamu selesaikan pekerjaanmu itu !”, terdengar seruan ketua asrama
memanggilnya. “Iya kak, tanggung nih, tinggal satu helai/baju lagi”, sambil memperlihatkan
baju yang dicucinya. Yusuf nama panggilan anak itu, yang usianya mulai remaja.

“Setelah selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti sajalah”,
gumamnya dalam hati. Yusuf masuk lewat pintu belakang asrama, dengan meletakkan handuk
dibahunya dan ditangannya membawa perkakas mandi. Tak dihiraukannya pandangan geram
ketua asrama yang sedang menunggu di pintu depan, siap untuk mengunci pintu.

Setelah selesai mandi, Yusuf kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang
seragam dan mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama. Dibiarkannya
kancing bajunya yang belum terpasang. Tiba-tiba dia bertemu dengan kak Taufan. Dengan
ekspresi geram, seakan kak Taufan ingin menyampaikan sesuatu kepada Yusuf. “Setelah
magrib kamu berdiri di mushala!”, kata kak Taufan ketua asrama yang bawel itu.

“Hah, kenapa kak ?” sahut Yusuf protes.


“Salahmu sendiri, sering terlambat !, teman-temanmu sudah selesai mengerjakan
pekerjaannya, cuma kamu yang selalu terlambat dibanding mereka!” Yusuf terdiam, tak
berani menjawab. Yah, begitulah hari-harinya di Pesantren, selalu diimpit waktu, sering
terlambat, dan disanksi adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan olehnya.

Keesokan harinya, di kelas, Yusuf tampak mengantuk sekali, namun selalu ditahannya, sebab
dia duduk paling depan. Tidur dihadapan Ustadz yang sedang mengajar tentu penghinaan, dan
dia tidak ingin menerima ganjaran karena melakukan penghinaan tersebut.

Tak ayal, begitu waktu pulang tiba, Yusuf langsung berlari ke asrama dan langsung
menjatuhkan tubuhnya yang kurus itu ke kasur. Meskipun menurut teman-temannya kasur
tersebut sangat bau, tapi dia tidak pernah merasakannya, baginya kasur itu adalah surga.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 60


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Adzan berkumandang, mengalun merdu. Waktu zuhur telah tiba. Namun didalam hati, Yusuf
berpikir, “Ah, iqamatnya masih lama, paling tidak 20 menit lagi, waktu yang lumayan cukup
untuk memuaskan kantukku.”

Tiba-tiba kak Taufan menghampiri Yusuf yang sedang rebahan tampak mengantuk sekali.
Ditatapnya Yusuf yang lagi tiduran.
“Yusuf, cepat bangun, sudah iqamat !”, sayup-sayup terdengar kak Taufan membangunkan.
Yusuf yang dari tadi terjaga dari tidur tidak merasa panik, sebab hanya perlu meraih sajadah,
dan berlari menuju kolam untuk berwudhu, lalu masuk ke mushala. Asrama tersebut letaknya
tidak jauh dari mushala, sehingga hanya dalam beberapa menit dia sudah mengangkat takbir
tanpa masbuk.

Namun, karena tidur terlalu pulas, dia tidak tahu apa-apa lagi, suara kak Taufan tidak dapat
dia dengar. Merasa Yusuf akan bangun, kak Taufan kemudian pergi, padahal Yusuf sedang
tidur dengan pulas nya.
“Assalamu’alaikum warahmatullah. . .”, pertanda shalat sudah selesai, Yusuf sadar bahwa
suara dari pengeras suara tersebut adalah suara pertama yang didengarnya saat dia bangun
dari tidur siang. Dan sesuatu yang pertama dilihatnya adalah wajah kak Imam, staf keamanan
yang sedang kontrol. Yusuf langsung bangkit dari tempat tidur, dilihatnya jam dinding yang
tergantung diatas pintu. “Oh, tidak! Aku tidak shalat zuhur berjamaah” bisiknya dalam hati.

Kak Imam akhirnya mengetahui hal tersebut, kemudian menghampiri Yusuf dan bertanya,
“Kenapa saat shalat zuhur tadi kamu tidak terlihat dimushala? apakah kamu tidak ikut shalat
berjama’ah?“
“Maaf kak, tadi saya ketiduran.” Yusuf tertunduk malu.
“Kali ini kamu kakak maafkan, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu akan diberi sanksi,
kamu mengerti ?”, kak Imam memperingatkan.
“Mengerti kak.” Yusuf mengangguk.
“Sekarang, cepatlah kamu shalat.” Tegas kak Imam.
“Baik kak, maafkan saya ya kak”,
“Berdo’a dan minta ampunlah kepada Allah bukan kepada kakak, ayo cepetan shalat sana,
nanti keburu ashar lho.”

“Iya kak.” Yusuf bergegas ke kolam untuk berwudhu dan berlari menuju mushala.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 61


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 62


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Two years ago


Aulia Izzatunnisa

Casa,seorang santriwati yang kini menginjak bangku sekolah menengah pertama dikelas 10,tapi kali
ini berbeda,kehidupannya yang semula berjalan seperti biasa kini ia harus hidup dilingkungan yang
menurutnya sangat asing,yaitu pesantren.

Perasaan sedih,panik,takut,semua menjadi satu,apa yang akan terjadi selanjutnya?apa ia akan


memiliki teman banyak atau sebaliknya ia pun tak tau,walau beribu kali merengek pada orang tuanya
itu takan berguna,keputusan sudan bulat,casa akan disekolahkan dipesantren.
Sejak pertama kali masuk kedalam asrama,ia mendapat culture shock dimana semua orang
mendadak menyapanya dengan penuh antusias yang dipikirannya 'aduh kenapa sangat ramai?' Satu
persatu anak perempuan seumurannya itu menghampirinya mulai bertanya tentang nama,sekolah
asal,umur,tempat tinggal dan,aduh kenapa bertanya status?bahkan ia tak pernah dekat dengan
lawan jenis

"Hei,artinya kau baru merasakan dipondok ya?" Casa tersenyum tanggung sembari menahan
canggung "bisa dibilang seperti itu.." perempuan itu membalas dengan senyuman yang sangat lebar
"tidak mengapa,by the way,namaku ara,kau bisa panggil aku kalau kau butuh sesuatu dan..ekhem
karena saat SMP aku bersekolah disini juga..jika kau ingin melihat sekitar,tentu aku bisa menjadi tour
guide! VIP untuk casa" casa mengangguk dengan senyum menyatakan 'dengan senang hati' jangan
salah,cerita ini hanyalah cerita 2 tahun lalu dan lihatlah,kekhawatiran itu berubah menjadi sebuah
piala medali dan berbagai prestasi lainnya yang casa cetak,rasa ingin menolak berubah menjadi rasa
syukur karena dengan ia disekolahkan disini ia bisa mendapat sesuatu yang ia tak dapat saat diluar
dan tentunya mendapat teman banyak yang sangat menyayanginya terutama ara,yang hingga kini
masih disampingnya untuk selalu mensupport.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 63


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Nuansa Warna Di Pesantren


Amelia Nurjannah

Hari sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. “Teeett. . . teeett. . .”,
terdengar suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Seorang anak perempuan
yang menuntut ilmu disebuah pondok Pesantren dengan tergesa-gesa menyelesaikan
pekerjaannya, yaitu mencuci pakaiannya disebuah kolam yang letaknya tidak jauh dari asrama
tempat dia tinggal.
“Rina . . . ! Lekas kamu selesaikan pekerjaanmu itu !”, terdengar seruan ketua asrama
memanggilnya. “Iya kak, tanggung nih, tinggal satu helai/baju lagi”, sambil memperlihatkan
baju yang dicucinya. Rina nama panggilan anak itu, yang usianya mulai remaja. “Setelah
selesai mencuci pakaian, aku mandi dulu, menjemur pakaiannya nanti sajalah”, gumamnya
dalam hati. Rina masuk lewat pintu belakang asrama, dengan meletakkan handuk dibahunya
dan ditangannya membawa perkakas mandi. Tak dihiraukannya pandangan geram ketua
asrama yang sedang menunggu di pintu depan, siap untuk mengunci pintu.
Setelah selesai mandi, Rina kemudian menutup pintu belakang, lalu segera memasang
seragam dan mengambil kitab. Dengan tergesa-gesa dia berlari keluar asrama. Tanpa
menggunakan kerudungnya. Tiba-tiba dia bertemu dengan kak Intan. Dengan ekspresi geram,
seakan kak Intan ingin menyampaikan sesuatu kepada Rina. “Setelah magrib kamu berdiri di
mushala!”, kata kak Rina ketua asrama yang bawel itu.
“Hah, kenapa kak ?” sahut Rina protes “Salahmu sendiri, sering terlambat !, teman-temanmu
sudah selesai mengerjakan pekerjaannya, cuma kamu yang selalu terlambat dibanding
mereka!” Rina terdiam, tak berani menjawab. Yah, begitulah hari-harinya di Pesantren, selalu
diimpit waktu, sering terlambat, dan disanksi adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan
olehnya. Keesokan harinya, di kelas, Rina tampak mengantuk sekali, namun selalu ditahannya,
sebab dia duduk paling depan. Tidur dihadapan Ustadz yang sedang mengajar tentu
penghinaan, dan dia tidak ingin menerima ganjaran karena melakukan penghinaan tersebut.
Tak ayal, begitu waktu pulang tiba, Rina langsung berlari ke asrama dan langsung
menjatuhkan tubuhnya yang kurus itu ke kasur. Meskipun menurut teman-temannya kasur
tersebut sangat bau, tapi dia tidak pernah merasakannya, baginya kasur itu adalah surga.
Adzan berkumandang, mengalun merdu. Waktu zuhur telah tiba. Namun didalam hati, Rina
berpikir, “Ah, iqamatnya masih lama, paling tidak 20 menit lagi, waktu yang lumayan cukup
untuk memuaskan kantukku.” Tiba-tiba kak Intan menghampiri Rina yang sedang rebahan
tampak mengantuk sekali. Ditatapnya Rina yang lagi tiduran.“Rina, cepat bangun, sudah
iqamat !”, sayup-sayup terdengar kak Intan membangunkan. Rina yang dari tadi terjaga dari
tidur tidak merasa panik, sebab hanya perlu meraih sajadah dan memakai mungkena, dan
berlari menuju kolam untuk berwudhu, lalu masuk ke mushala. Asrama tersebut letaknya
tidak jauh dari mushala, sehingga hanya dalam beberapa menit dia sudah mengangkat takbir
tanpa masbuk.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 64


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Namun, karena tidur terlalu pulas, dia tidak tahu apa-apa lagi, suara kak Intan tidak dapat dia
dengar. Merasa Intan akan bangun, kak Intan kemudian pergi, padahal Intan sedang tidur
dengan pulas nya. “Assalamu’alaikum warahmatullah. . .”, pertanda shalat sudah selesai, Intan
sadar bahwa suara dari pengeras suara tersebut adalah suara pertama yang didengarnya saat
dia bangun dari tidur siang. Dan sesuatu yang pertama dilihatnya adalah wajah kak Novi, staf
keamanan yang sedang kontrol. Rina langsung bangkit dari tempat tidur, dilihatnya jam
dinding yang tergantung diatas pintu. “Oh, tidak! Aku tidak shalat zuhur berjamaah” bisiknya
dalam hati. Kak Novi akhirnya mengetahui hal tersebut, kemudian menghampiri Rina dan
bertanya, “Kenapa saat shalat zuhur tadi kamu tidak terlihat dimushala? apakah kamu tidak
ikut shalat berjama’ah?“ “Maaf kak, tadi saya ketiduran.” Rina tertunduk malu. “Kali ini kamu
kakak maafkan, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu akan diberi sanksi, kamu
mengerti ?”, kak Imam memperingatkan. “Mengerti kak.” Yusuf mengangguk. “Sekarang,
cepatlah kamu shalat.” Tegas kak Novi. “Baik kak, maafkan saya ya kak”, “Berdo’a dan minta
ampunlah kepada Allah bukan kepada kakak, ayo cepetan shalat sana, nanti keburu ashar
lho.” “Iya kak.” Rina bergegas ke kolam untuk berwudhu dan berlari menuju mushala.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 65


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Hari Minggu
Hilya wasthaniya
Kelas 9B

Setiap hari Minggu, Asrama putri alhamidiyah selalu mengadakan bersih-bersih asrama. Yaya

merupakan ketua kamar A 3 mulai mengajak teman kamarnya untuk bersih-bersih. 

Yaya adalah anak perempuan yang baik dan rajin. Dalam akademik dia cukup pintar, namun dia

sangat jago dalam hal olahraga. Dia hobi bermain basket. Tidak hanya itu, di kelas Yaya terkenal sosok

yang suka bersih-bersih. 

Hari Minggu menjadi rutinitas wajib Yaya untuk mengajak temannya untuk bersih-bersih. Namun

Minggu kali ini Yaya terlihat sedikit agak berbeda, dia sedikit tegas kepada teman-temannya yang

tidak ingin ikut bersih-bersih.

"Hari ini pembina akan masuk ke kamar. Jika pembina melihat ada ruang kelas yang tidak bersih,

maka jam menelpon akan ditunda. Kalau kalian ingin cepat menelpon orang tua, ikut bantu bersih-

bersih jangan ada yang hanya duduk saja" Ucap Yaya

Semua temannya mengikuti apa kata Yaya karena ingin cepat pulang. Setelah selesai bersih-bersih

tiba saatnya Pembina datang untuk melihat masing-masing kelas. Saat tidak dikamar A3 Pembina

cukup takjub karena ruang kelasnya sangat bersih.

Sebagai apresiasi karena telah membuat ruang kelas menjadi bersih, Pembina mengizinkan anak A3

pulang . Semua anak-anak berteriak senang, dan mereka bergegas menelpon orang tua.

Riak -Riak Kehidupan Pesantren

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 66


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Melina Gustiani
“Salah satu hal yang paling disyukuri adalah berada di lingkungan yang baik dengan orang-
orang baik di sekitarmu.”
Seperti biasanya, azis bangun pagi-pagi sekali. Karena ia jengkel dengan temannya yang suka
membangunkannya tiap pagi. pagi itu jam 4 tepat ia dibangunkan oleh temannya kirman,
memang kehidupan di pesantren tidak mudah dijalani bagi anak yang masih bergantung
kepada orang tuannya, oleh karena azis yang sejak duduk di bangku kelas 1 SMK ini, telah
terbiasa tinggal sendirian tanpa ditemani kedua orang tuanya, ia pun menjadi anak yang
mandiri, tetapi yang ada dipikirannya hanyalah ibunya yang setiap hari berkerja jauh darinya.
Entah apa yang sedang dilakukan ibunya. Semenjak ayahnya meninggal ketika usia azis 16
tahun, azis tak henti-hentinya terpikirkan "apa yang harus aku lakukan?" itu yang dipikirkan
azis, karena keadaan keuangan keluarganya mulai merosot sejak ditinggal oleh ayahnya.
Azis kini duduk di kelas 3 SMK dan sebentar lagi ia akan menghadapi ujian nasional. Tak
terbayangkan lagi betapa pusingnya ia memikirkan bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya
sendirian. Azis memang siswa yang aktif disekolahnya, dia sangat aktif dalam satu eskul
kesenian, sejak SMP pun azis sangat senang terhadap yang namanya seni oleh sebab itu iapun
mengikuti eskul tersebut. Keaktifannya di eskul tersebut mulai timbul sejak ia duduk di kelas 2
SMK, dan semakin hari ia pun bertambah aktif dan sampai akhirnya ia dipercayai menjadi
seorang ketua pelaksana sebuah acara yang tidak bisa dibilang biasa. Pikirannya mulai
terombang-ambing karena ia masih tak mampu mengendalikan masalah yang ia anggap
datang bertubi-tubi tanpa henti menghampirinya. Waktu pun berlalu, dan sepertinya aman-
aman saja tetapi 2 minggu sebelum acaranya dimulai ia mendapatkan masalah yang ia sendiri
tidak dapat mengatasinya karena saking besarnya masalah tersebut. Bertambah pusinglah
pikirannya karena harus bagaimana lagi ia menjalankan amanat yang diemban kepadanya.
"Lebih baik rasanya bunuh diri itu terasa lebih enak" sempat terlintas dipikirannya kalimat
seperti itu. Tetapi ketika ia belajar seperti biasanya pas pelajaran kewirausahaan ia
mendapatkan banyak sekali motivasi - motivasi dari gurunya tersebut. Ia pun akhirnya
menjadi lebih bersemangat kembali. pagi itu mentari belum menampakkan cahayanya,
tetapi azis harus bangun pagi-pagi sekali karena seperti biasa, ia bukanlah seorang anak yang
diam di rumah orangtuanya, tetapi ia tinggal disebuah pesantren yang tentu saja setiap waktu
ia harus menuntut ilmu. setelah ia bangun pagi ia langsung mengambil air wudlu lalu sholat
shubuh berjama'ah seperti biasanya, kebiasaan para santri yang sulit untuk diubah adalah
kebiasaan tidurnya bisa dimana saja. Bisa di tempat-tempat yang tidak terduga, setelah solat
biasanya para santri berdzikir dipimpin oleh imam, yah karena sudah menjadi kebiasaan para
santri akhirnya yang tadinya semua santri berdzikir bersama imam, kini yang berdzikir
hanyalah imam seorang, selebihnya tertidur. Ada yang sambil duduk lah bahkan ada yang
sampai sambil berbaring, masyaAllah.... Innalillahi. kebiasaan ini memang identik dengan para
santri karena tak dapat dipungkiri orang yang hidup dipesantren biasanya jam tidurnya
berkurang karena begitu banyaknya aktifitas yang harus para santri kerjakan setiap waktunya.
Saking sudah mendarah dagingnya budaya tidur ini, beberapa santri bahkan bisa tertidur

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 67


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

ketika sedang mandi, teman azis yang bernama aji pernah mengalaminya. Jadi ketika azis
hendak mandi ia ketuk pintu kamar mandinya "siapa didalam?" tanya azis, tak ada yang
menjawab sampai azis menanyakan siapa didalam 3 kali tetapi tetap saja tidak ada yang
menjawab akhirnya ia pun mengintipnya, eh ternyata aji sudah tertidur sambil memegang
gayungnya sendiri, dia tidur terduduk di lantai kamar mandi, astagfirullah... Memang
kebiasaan tersebut susah hilannya tetapi tak ada salahnya untuk dihilangkan sedikit demi
sedikit agar tidak terjadi hal yang sama seperti itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 68


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Setenang Awan
NAOMI KHALISA FAIZAH NUR
X IPA 1

“Awan selalu terlihat tenang. Begitulah seharusnya manusia menangani setiap masalah yang
terjadi. Tenang dan damai dalam setiap gelombang kehidupan.

Seorang santri Bernama Aisyah, dia berumur 15 tahun, seorang anak tunggal yang
memulai kehidupan di zona baru yaitu pesantren. Mungkin ini adalah pengalaman pertama
dia dalam kehidupan pesantren, jadi banyak hal yang membuat dia culture shock. Aisyah
adalah anak yang sangat baik, sabar dan sangat amat ramah, akan tetapi dia sangat susah
berbaur dengan lingkungan.

Pada saat hari pertama Aisyah masuk pesantren dia bertemu dengan teman barunya. Dia
mengajak teman barunya berkenalan. Teman barunya yaitu Bernama Cika. Cika
adalah seorang gadis yang berasal dari Jambi. Saat Aisyah mengjak berkenalan, Cika
menyambutnya dengan ramah dan setelah itu mereka berkenalan mereka menjadi dekat.

Hal yang membuat aisyah kaget adalah, Ketika teman temannya yang meminjam barang
teman yang lain, ngantri kamar mandi untuk mandi, kesiangan ke sekolah karna kesiangan
mandi, barang hilang di laundry, pelajaran pelajaran yang sebelumnya tidak pernah ia pelajari,
kehilangan sabun, makan di satu tempat beramai-ramai, dan masi banyak hal yang membuat
dia kaget.

Ada pula yang membuat Aisyah tidak nyaman, mungkin karna dia tidak pernah hidup
dengan banyak orang yang bukan keluarga, dan teman teman yang mengusik dia, entah salah
dia apa tetapi sering kali ada saja orang yang menyindir Aisyah, tetapi dengan begitu kita
dapat mengenal sifat sifat orang.

Dan semakin lama Aisyah sudah mulai terbiasa dan sudah mulai bisa menangani masalah
yang dia dapati dan hal yang membuat dia tidak nyaman. Aisyah ingin seperti awan yang
terlihat tenang. Begitupula dirinya dalam menghadapi setiap gelombang kehidupan.

        Aku diberi gelar santri

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 69


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Chelse Joya K

 
Saat aku memutuskan untuk menjadi santriwati–bukan siswi, begitu berat rasanya. Aku melepas
masa SMP yang penuh cerita. Aku memilih keluar dari zona nyaman, hidup mandiri, dan jauh dari
orang tua. Aku santriwati sudah bukan seorang siswi lagi.
Setahun kehidupan di SMP negeri harus aku lepaskan. Perasaan menyesal tentu saja ada. Aku harus
mengikhlaskan rencana hidupku sebagai manusia awam 10 tahun kedepan..Saat di pondok, aku mulai
mendapat teman, lingkungan dan hari-hari penuh kejutan yang tak pernah terlintas di pikiranku. Kini
aku menjalani hari-hari seperti santriwati pada umumnya. Tak mudah memang. Aku harus bangun
pada jam di mana kebanyakan orang masih terlelap dalam mimpinya. Bergelayut dalam dinginnya
angin malam untuk menaruh harapan demi harapan dalam doaku. Aku harus bertaruh dengan rasa
kantuk yang menyerang di saat jam masuk kelas.

Jadwal kegiatan belajar dan progam tahfiz beruntun, kegiatan tarbiah, taklim bahkan pelajaran umum
sudah menungguku. Itulah taruhan keputusanku.
Aku sesekali mengeluh pada Rabb-ku. Aku merasa lelah. Aku butuh istirahat. Pikiranku tak karuanAku
menjadi malas-malasan untuk menimba ilmu agama pada ustaz dan ustazah. Mereka senantiasa
sabar dalam mendidik dan membangun akhlak kami. Namun, aku kembali sadar ketika melihat
santriwati lain yang bersemangat serta bersungguh-sungguh mencari ilmu agama.Terkadang, aku
masih sering melihat ke belakang. Masa-masa di luar sana aku rindukan. Ah, rasanya aku ingin sekali
kembali ke masa itu. Aku iri melihat teman-teman sebayaku di luar sana. Mereka bahagia menjalani
hidup sebagai remaja. Namun, demi masa depan yang lebih baik lagi, aku berusaha bertahan.

Aku melihat ada secercah harapan berharga untuk orang tuaku. Ada balasan berlipat-lipat untuk
perjuanganku. Ada surga yang sedang disiapkan, bahkan aku berada di antara orang-orang yang
berlomba-lomba dalam hal kebaikan.Sekarang aku sadar, betapa beruntungnya diriku berada di
tengah-tengah mereka. Aku bersyukur sampai sekarang masih diberi teman-teman yang sudah
seperti saudara sendiri. Kami saudara tak sedarah, tetapi setidaknya kami saudara seiman, bahkan

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 70


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

saudara dengan satu tujuan. Meski kami dari tempat, lingkungan yang berbeda, tetapi tujuan kami
sama, yaitu mendapatkan gelar hafidzahallah.Kami makan senampan. Kami saling bercerita sampai
tengah malam meski entah apa yang kami ceritakan. Kami bergantian menginap di ranjang teman.
Kami mengambil antrean mandi sama-sama, tetapi masih betah nongkrong di ranjang. Bahkan
terkadang kami dihukum sama-sama karena pelanggaran lugho (bahasa).

Kini, gelarku santriwati, bukan siswi. Dan aku bangga menjadi santriwati.
Dan kuharap kisahku menjadi saksi bisu pengalaman berhargaku selama menjadi santriwati.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 71


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Rania Malika

Hikmah Kehidupan Pesantren

VIII B MTs

Saat pertama kali aku datang ke tempat itu rasa nya sangat menyedihkan, meninggalkan semua hal
yang ku cintai. Aku tidak suka tempat ini, seharus nya aku tidak ada di sini. Mungkin itu pikir ku saat
pertama kali menginjak pesantren. Sekarang aku sudah 2 tahun berada disini. Begitu banyak
kenangan yang ku lalui di tempat ini. Banyak mengenal orang-orang dengan sifat yang beragam, ini
salah satu hal yang aku dapatkan saat di pesantren. Sekarang aku senang berada di tempat ini.
Banyak sekali hal yang dapat aku ambil hikmahnya disini. Dari pagi sampai bertemu pagi lagi tak
terhingga setiap detik nya memiliki kenangan indah disini. Belajar, mengaji, berbincang, makan
bersama dan lain lain nya. Itu yang ku jalani sehari hari nya. Terkadang rindu dengan orang rumah
begitu berat, sedang apa mereka disana ?. Itu hal yang selalu ku tanyakan. Aku rindu ayah, mamah,
dan adik. Tapi tak mengapa di tempat ini aku akan membawa bekal untuk mereka sehingga saat aku
pulang mereka bangga memiliki anak dan kaka seperti ku.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 72


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Santri Pilihan Bunda

Mayra Keisha Handanis 9B

Adalah Adam, seorang remaja tanggung yang mempunyai beribu pertanyaan itu. Jangan tanya
tentang alasan ia mondok. Karena alasannya hanyalah satu, menemukan tempat tinggal murah
meriah di kota. Pesantren, menurutnya, lebih baik daripada harus ngekos di kos kapsul. Bahkan
kos yang ukurannya 2×1 meter persegi itu lebih mahal daripada pesantren.

Tapi tatkala ia bermukim di pesantren ini, beribu pertanyaan merangsek di otaknya. Tepat ketika
malam mulai menggelarkan tirainya dan bintang menyemai di sana, sebuah pemandangan tak
wajar menyentil matanya.

“Dasar kurang kerjaan. Kenapa pula berdesak-desakan demi sisa air minum Mbah Kiai?” cacinya.

Mendengar pernyataan bodoh itu, Panji menepuk jidatnya dan langsung tertawa.

“Kau ini santri bukan ha, Dam? Sisa air minum itu kan banyak barokahnya,” tukasnya.

“Barokah apaan? Banyak penyakit lah iya.”

“Adam, Adam. Masa kau nggak percaya dengan barokah? Santri jenis apa kau ini?”

“Eh, Ji, ini tahun 2020. Modern sedikit napa? Takhayul kok masih disembah-sembah.”

“Bodo ah.”

Barokah adalah hal  kesekian kalinya yang Adam dengar. Semenjak ia menjejakkan kakinya, Adam
sadar bahwa kehidupan di pesantren benar-benar tak bisa dilogika. Ia masih ingat ketika malam
pertama, dimana telinganya mendengar hal tak logis dari sang Kiai: “Jangan biarkan dirimu
mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia.”

Adam pun merenung. Ia tatap halaman pesantren yang lengang. Tidak ada sama sekali yang
melangkahkan kakinya di atas paving. Mungkin karena rinai gerimis yang kian manis menghasut
para santri, sehingga tidak ada yang mau keluar dan memilih tidur berbantal lengan di kamar. Atau
mungkin karena angin lembut yang meniup kanopi gazebo sehingga tak ada yang mau bersenda

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 73


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

gurau di sana. Entahlah Adam tak tahu. Ia hanya bingung merenungi perkataan orang tua yang
menurutnya hanya pintar bercakap itu.

Malam ini hanya secangkir kopi yang menemaninya. Secangkir kopi yang dinikmati berdua dengan
makhluk tak jelas bernama Panji. Secangkir berdua bukan romatis, tapi karena keadaan yang
memaksanya melakukan ini. Akhir bulan memang selalu mengenaskan.

“Jadi kita nggak usah cari uang, gitu? Ya nggak mungkin lah,” pungkas Adam tepat setelah
pengajian Mbah Yai selesai.

“Mungkin aja lah. Liat aja Mbah Kiai! Beliau nggak pernah terlihat bekerja tapi beliau malah punya
mobil BMW,” kilah Panji.

“Eleh, paling itu hanya kebetulan.”

“Eh, Dam, mana mungkin kebetulan terjadi berkali-kali. Kau tahu? Bahkan Mbah Kiai pernah
menolak pemberian mobil dari orang.”

Diam. Hanya itu yang dapat Adam lakukan waktu itu.

Dan sekarang, lagi-lagi Adam duduk termenung di gazebo pondok. Kakinya menjuntai, sedang
pandangannya erat menatap rembulan. Bundaran cahaya di tengah langit kelam itu, menyadarkan
Adam bahwa ia sudah setahun bermukim di pesantren ini. Sengau sang pungguk turut
membisikkan pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Pernah Adam bertanya pada
semua santri tentang apa yang menjadikan mereka betah di sini, tapi jawabannya selalu
mainstream. Mereka hanya menjawab karena ngajinya bagus atau karena temannya banyak. Sama
sekali tidak ada jawaban yang bisa memuaskan Adam.

“Pak Kiai pasti menyembunyikan sesuatu!” tukasnya.

Malam kian menggelayut. Butiran embun kian menjamah, memeluk setiap makhluk. Kesejukan
berbalut kedinginan menidurkan semua orang dalam peluknya. Jenuh pun kian menguap,
membuat mata Adam terpejam. Lelaki itu duduk bersandar tiang dengan pikiran yang masih
mengawang.

Jam terus berputar, menenggelamkan manusia bersama lelahnya. Sayangnya permukaan tiang
yang tak rata membuat kepala Adam tergeser dengan sendirinya. Pemuda itu pun terbangun.
Matanya mengerjap. Ia masih mengantuk. Namun sebuah pemandangan yang aneh menyempil di
sudut matanya. Sang Kiai tengah berjalan sendirian. Adam pun bangun, ia hendak mengawasi
gerak-gerik si tua itu.

Adam pun bergegas. Ia bersembunyi di tugu. Kepalanya menyembul, berusaha melihat apa yang
dilakukan oleh kiainya. Sungguh aneh melihat orang yang sesepuh beliau dengan jam segini, masih
berkeliaran di area pondok, sendirian pula. Bukan hanya berdiri, tetapi juga seperti merapal sebuh
mantra, entah apa itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 74


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Oh, jadi yang membuat para santri itu betah karena Pak Kiai melakukan sesuatu yang aneh?”
Otak Adam menyimpulkan sekenanya.

Merasa telah menemukan jawaban yang ia cari, Adam pun meninggalkan orang sepuh yang ia
anggap cuma mahir dalam bercakap. Pemuda itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia tak perlu
memikirkan jawaban dari pertanyaannya lagi.

***

“Tumben. Biasanya kalau setelah ngaji subuh, kau tidur, eh sekarang malah cengar-cengir kaya
keledai mau kawin aja,” timpal Panji dengan mulut yang masih suka menguap.

“Terserah apa kata kau, yang penting aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku,” tandas
Adam tak berselera.

“Pertanyaan yang kau lontarkan kepada santri-santri sepuh itu?”

Adam hanya mengangguk. Badannya bersimpuh pada tembok ndalem.

“Lalu jawabannya apa?”

“Mbah Kiai menggunakan jampi-jampi,” bisik Adam.

Mendengar jawaban seperti itu, kantuk yang semula masih menggelayuti Panji, mendadak
menghilang. Matanya seketika membelalak. Bunyi kuap mulutnya berubah menjadi raungan
kemarahan. Hendak tangannya meninju bibir si Adam, tapi urung.

“Berani-beraninya kau bilang Mbah Kiai seperti itu?” nada bicara Panji meningkat.

“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Orang tua itu memutari pondok sambil membaca
mantra.”

Panji tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri lalu mengangkat Adam dengan cara
mencengkram kerahnya. “Bilang sekali lagi, kusobek mulutmu!” raungnya.

Santri-santri yang terkantuk-kantuk mendadak melek. Sontak mereka bangun dan mengerumuni
Panji. Beberapa pengurus langsung keluar dan melerai Adam serta Panji. Naas, tak hanya pengurus
serta santri, sang pengasuh pun turut keluar dari ndalem. Teriakan Panji nampaknya membahana
di seluruh lingkungan pesantren.

Tak ayal. Seperti mengetahui seluk-beluk perkara, sang Kiai pun langsung mendekat. Para santri
pun beringsut mengundurkan diri sembari menundukkan kepala, memberikan jalan bagi sang
guru. Melihat sang Kiai, Panji pun langsung bersimpuh. Emosi yang tadi begitu membara, musnah
begitu saja.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 75


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Dengan lembut, mbah Kiai mengangkat tubuh Panji supaya berdiri. Setelah itu beliau
membawanya masuk ke ndalem seorang diri.
“Biarkan aku berbicara dengan Panji. Kalian bisa istirahat,” dawuh beliau ketika lurah pondok
hendak ikut masuk ke ndalem.

Tanpa meminta sebuah alasan, si lurah pondok langsung mengangguk dan mbah Kiai pun menutup
pintu.

Panji langsung bersimpuh. Pandangannya sempurna tertunduk. Pemuda itu sama sekali tak berani
menatap gurunya yang berada tepat di depannya.

“Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Adam bicarakan. Kamu tahu kenapa kamu yang saya
ajak masuk ke ndalem?”
Panji menggeleng, “Mboten, Kiai,” celetuknya.

“Tidak seharusnya kau lawan ketidaktahuan dengan kekerasan.”

“Tapi, Kiai, dia sudah menghina jenengan.”

“Bukan menghina, tapi dia tidak tahu apa yang saya sedang ia lakukan. Bukankah kebaikan tak
selalu dibalas air susu? Biarkan dia mempelajari lebih dalam lagi. Bukankah Nabi Ibrahim juga perlu
waktu untuk menemukan kebenaran?”

“Leres, Kiai.”

“Sekarang beristirahatlah! Minta maaflah kepada Adam!”

Panji pun beringsut mundur, baru setelah sampai di ambang pintu, ia berdiri lalu keluar. Ternyata
tepat di daun pintu, Adam tengah berdiri. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Panji.

“Maafkan aku, Dam. Tidak seharusnya aku membentak orang yang sedang belajar.” Panji
mengulurkan tangannya.

Adam pun menerimanya. Tatapannya kosong. Otaknya dipenuhi oleh banyak pikiran. Melalui daun
pintu yang terbuka sedikit, ia sempat mendengar semua percakapan mbah Kiai dengan Panji tadi.
Sontak hal itu membuatnya bingung, tak mengerti. Ada sesuatu yang mengalir jernih di
sanubarinya. Sikap Pak Kiai yang bijaksana dan selalu mengumandangkan zikir.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 76


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Kehidupan di Pondok Pesantren


Tisya Aulia Putri

Perjuangan merupakan segala sesuatu yang dilakukan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang
indah dan untuk meraih sesuatu yang di impikan demi kemuliaan dan kebaikan. Dalam melakukan
perjuangan begitu banyak hambatan yang akan dilaluinya,semakin kita kuat menjalanin hambatan ini
semakin kuat kita menjalankan tujuan yang kita impikan.  

Dan perjuangan inilah kunci pertama yang kita punya. Termasuk Asri, Asri memiliki perjuangan yang
begitu besar untuk mencapai impian yang ingin Asri raih dan ingin semua itu terwujud satu demi
persatu. Perjuangan besar dari awal Asri duduki masa SMP saya hingga saat ini. 

Telah Asri niatkan  dalam diri Asri, dalam menjalankan perjuangan itu sangat lah berat, dan begitu
banyak hambatan yang akan dilaluinya. Asri mempunyai tekad yang teguh agar perjuangan dan
impian yang Asri impikan akan tercapai. Begitu banyak hambatan yang Asri lalui saat itu.

Pada pertengahan Sekolah Dasar ( SD ) Asri telah memiliki tekad yang kuat untuk meraih impian Asri
dan ingin mewujudkan impian  orang tua Asri. Saat itu orang tua saya ingin anak-anak nya untuk
bersekolah di Pondok Pesantren. 

Dan saat itu Asri berfikir, "bagaimana dengan aku yang tak bisa jauh dari orang tua?" tapi mereka
ingin anak-anaknya masuk dan belajar didalam Pondok Pesantren hingga lulus. Dan langkah awal Asri
yang bisa Asri pelajari saat itu niat dalam diri saya bahwa saya "Bisa". 

Asri bisa mewujudkan apa yang diimpikan kedua orang tua Asri. Awal mula perjuangan Asri di mulai
setalah Lulus SD dan Awal menduduki bangku SMP. Dimana semua orang ingin masuk di sekolah
SMP yang mereka impikan saat itu pupus lah sudah impian SMP yang Asri impikan untuk masuk ke
sekolah smp. 

Saat itu pertama kali Asri harus berpisah sementara dengan kedua orang tua Asri. Dan awal
kehidupan baru yang akan Asri jalankan demi impian. Awal kehidupan di Pondok Pesantren.

Dalam pikiran Asri "Pondok Pesantren itu tidak menyenangkan, dibanding kehidupan di rumah.
Pondok Pesantren itu banyak peraturan, tidak bebas seperti dirumah. Dan apalagi bakal jauh dari
orang tua dalam waktu yang sangat amat lama, dan harus siap menahan rindu dengan orang rumah,
nanti kalau masuk pondok air nya gak seperti dirumah?!, makan gak enak?!". Dalam perjuangan Asri
saat di Pondok Pesantren itu membuat Asri menyadari dari pelajaran  kehidupan.

Di dalam Pondok Pesantren itu harus membiasakan diri kita dengan jadwal belajar dan kegiatan yang
super padat banget, seperti tidak ada waktu untuk beristirahat. Karena jadwal keseharian kita saja
terjadwal. Bangun tidur jam tiga pagi, dan itu dilakukan untuk shalat Tahajud dan mengaji sambil

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 77


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

menunggu waktu shalat subuh dan seseorang yang hidup di Pondok Pesantren akan merasakan
benar-benar yang namanya penegakkan aturan, dan setiap aturan yang dilanggarnya akan ada
hukumannya. 

Di dalam podok Asri harus mempelajari 2 bahasa asing yaitu, Inggris dan Arab, ini adalah Bahasa
sehari-hari santri yang digunakan dalam Pondok. Pertemanan pasti nya semakin banyak dan
mempunyai teman dari berbagai daerah dan negara. Tidur bareng dengan teman-teman yang sama-
sama berjuang yang jauh dari kedua orang tuanya. 

Tak seperti dirumah tidur yang hanya sendiri. Kini hidup di Pondok Pesantren itu adalah kebersamaan
dalam segala sesuatu, maupun itu suka dan duka, dalam kehidupan di Pondok tidak ada yang
namanya perbedaan, semua sama jika di pondok,dari anak penjabat,kiyai, dan petinggi-petinggi
pondok semua disamakan dalam kehidupan sehari-hari di pondok dan peraturan dalam Pondok
Pesantren. Semua kebiasaan Manja kini menjadi Mandiri dan kini berubah sejak Asri di Pondok
Pesantren ini adalah perjuangan yang Asri lakukan.

Asri adalah seorang anak yang manja, tak bisa jauh dari kedua orang tua, hidup serba enak, tapi
semenjak Asri masuk Pondok Pesantren Asri banyak belajar dari kehidupan  berjuang untuk
mewujudkan impian kedua orang tua Asri dan impian Asri yang besar. 

Perjuangan di Pondok begitu banyak proses yang dilakukannya seperti, Ikhlas, ikhlas menjalankan
kehidupan sehari-hari di dalam pondok. Sabar, sabar menjalankan peraturan yang ada dalam Pondok.
Dan saat itu kamu mempelajari pengetahuan kehidupan pondok dan mempelajari dari arti
perjuangan.

Dan ketika seseorang tidak kuat untuk menjalankan kehidupan di dalam pondok, kini Asri harus bisa
menjalakan kehidupan di dalam pondok. Karena memang sangat berbeda kehidupan dirumah dan
dipondok. Ketika Asri tumbuh menjadi seorang yang berguna untuk semua orang dan pindah kota.
Kenangan perjuangan semasa di pondok akan selalu ada di dalam hati dan jiwa pikiran Asri. 

Memang kehidupan didalam Pondok Pesantren memang banyak yang bilang bahwa Pondok itu keras,
tak mudah dan begitu banyak peraturan yang harus di jalankan. Dan Asri perlahan sadar dan paham
bahwa semua hal itu justru membentuk diriku menjadi pribadi yang kuat. Inilah jalan perjuangan Asri
saat itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 78


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

KEHIDUPAN PESANTREN
Hafidzah Anis
Seperti biasanya, azis bangun pagi-pagi sekali. Karena ia jengkel dengan temannya yang suka
membangunkannya tiap pagi. pagi itu jam 4 tepat ia dibangunkan oleh temannya kirman,
memang kehidupan di pesantren tidak mudah dijalani bagi anak yang masih bergantung
kepada orang tuannya, oleh karena azis yang sejak duduk di bangku kelas 1 SMK ini, telah
terbiasa tinggal sendirian tanpa ditemani kedua orang tuanya, ia pun menjadi anak yang
mandiri, tetapi yang ada dipikirannya hanyalah ibunya yang setiap hari berkerja jauh darinya.
Entah apa yang sedang dilakukan ibunya. Semenjak ayahnya meninggal ketika usia azis 16
tahun, azis tak henti-hentinya terpikirkan "apa yang harus aku lakukan?" itu yang dipikirkan
azis, karena keadaan keuangan keluarganya mulai merosot sejak ditinggal oleh ayahnya.
Azis kini duduk di kelas 3 SMK dan sebentar lagi ia akan menghadapi ujian nasional. Tak
terbayangkan lagi betapa pusingnya ia memikirkan bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya
sendirian. Azis memang siswa yang aktif disekolahnya, dia sangat aktif dalam satu eskul
kesenian, sejak SMP pun azis sangat senang terhadap yang namanya seni oleh sebab itu iapun
mengikuti eskul tersebut. Keaktifannya di eskul tersebut mulai timbul sejak ia duduk di kelas 2
SMK, dan semakin hari ia pun bertambah aktif dan sampai akhirnya ia dipercayai menjadi
seorang ketua pelaksana sebuah acara yang tidak bisa dibilang biasa. Pikirannya mulai
terombang-ambing karena ia masih tak mampu mengendalikan masalah yang ia anggap
datang bertubi-tubi tanpa henti menghampirinya. Waktu pun berlalu, dan sepertinya aman-
aman saja tetapi 2 minggu sebelum acaranya dimulai ia mendapatkan masalah yang ia sendiri
tidak dapat mengatasinya karena saking besarnya masalah tersebut. Bertambah pusinglah
pikirannya karena harus bagaimana lagi ia menjalankan amanat yang diemban kepadanya.
"Lebih baik rasanya bunuh diri itu terasa lebih enak" sempat terlintas dipikirannya kalimat
seperti itu. Tetapi ketika ia belajar seperti biasanya pas pelajaran kewirausahaan ia
mendapatkan banyak sekali motivasi - motivasi dari gurunya tersebut. Ia pun akhirnya
menjadi lebih bersemangat kembali. pagi itu mentari belum menampakkan cahayanya,
tetapi azis harus bangun pagi-pagi sekali karena seperti biasa, ia bukanlah seorang anak yang
diam di rumah orangtuanya, tetapi ia tinggal disebuah pesantren yang tentu saja setiap waktu
ia harus menuntut ilmu. setelah ia bangun pagi ia langsung mengambil air wudlu lalu sholat
shubuh berjama'ah seperti biasanya, kebiasaan para santri yang sulit untuk diubah adalah
kebiasaan tidurnya bisa dimana saja. Bisa di tempat-tempat yang tidak terduga, setelah solat
biasanya para santri berdzikir dipimpin oleh imam, yah karena sudah menjadi kebiasaan para
santri akhirnya yang tadinya semua santri berdzikir bersama imam, kini yang berdzikir

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 79


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

hanyalah imam seorang, selebihnya tertidur. Ada yang sambil duduk lah bahkan ada yang
sampai sambil berbaring, masyaAllah.... Innalillahi. kebiasaan ini memang identik dengan para
santri karena tak dapat dipungkiri orang yang hidup dipesantren biasanya jam tidurnya
berkurang karena begitu banyaknya aktifitas yang harus para santri kerjakan setiap waktunya.
Saking sudah mendarah dagingnya budaya tidur ini, beberapa santri bahkan bisa tertidur
ketika sedang mandi, teman azis yang bernama aji pernah mengalaminya. Jadi ketika azis
hendak mandi ia ketuk pintu kamar mandinya "siapa didalam?" tanya azis, tak ada yang
menjawab sampai azis menanyakan siapa didalam 3 kali tetapi tetap saja tidak ada yang
menjawab akhirnya ia pun mengintipnya, eh ternyata aji sudah tertidur sambil memegang
gayungnya sendiri, dia tidur terduduk di lantai kamar mandi, astagfirullah... Memang
kebiasaan tersebut susah hilannya tetapi tak ada salahnya untuk dihilangkan sedikit demi
sedikit agar tidak terjadi hal yang sama seperti itu.

Najwa Ameera 9A

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 80


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Bunga Paling Berharga

Makale merupakan seorang siswa yang tinggal di desa yang kekeringan. Sebab, hujan jarang
turun di desa itu. Tak mengherankan jika tumbuhan sangat sulit ditemukan di desa tempat
Makale tinggal.
Suatu hari, sebelum berakhirnya pelajaran, Bu Mala memberi seluruh siswanya masing-
masing sebuah buku tulis. Buku tulis itu memiliki halaman-halaman berwarna putih dan
bersampul merah.
“Buku tulis itu untuk kalian. Kalian boleh menulis apa saja di dalamnya,” kata Bu Mala.
“Saya mau menuliskan catatan harian di buku ini,” kata Nola.
“Saya mau menggambar wajah setiap orang yang saya temui,” kata Wendi yang hobi
menggambar.
“Saya mau membuat herbarium,” kata Makale.
Mendengar hal tersebut, Bu Mala memandang Makale dengan penuh rasa heran.
“Kamu mau membuat herbarium?” tanya Bu Mala kepada Makale.
“Ya. Seorang pelancong pernah menunjukkan buku herbariumnya ke saya. Herbarium itu
sangat indah,” jawab Makakale.
“Tetapi, untuk membuat herbarium kamu akan membutuhkan banyak daun. Tahukah kamu?”
tanya Bu Mala.
Makale menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Atau bunga...”
“Di mana kamu akan mencarinya?” tanya teman-teman Makale.
Makale memandang keluar jendela. Tak satu pun tanaman yang ia temui.
“Saya akan mendapatkannya,” kata Makale sambil tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, buku tulis pemberian Bu Mala telah diisi berbagai cerita, gambar,
dan foto oleh beberapa siswa. Namun tidak demikian dengan buku tulis Makale, hanya
lembaran kosong tanpa isi.
Suatu hari, ada sebuah awan hitam di atas desa tempat Makale tinggal. Tak berselang lama,
hujan pun turun membasahi tanah dengan derasnya. Perlahan, benih-benih tumbuhan yang
terkubur di dalam tanah tandus desa itu pun tumbuh. Sepetak kebun terbentuk. Bunga-bunga
merah kecil memenuhi petak kebun itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 81


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Makale pun senang. Ia memetik sekuntum bunga berwarna merah. Kemudian, ia


menempelkannya ke buku tulis kosong pemberian Bu Mala. Di hari berikutnya, bunga-bunga
lainnya telah layu karena terbakar matahari.Di dalam kelas, Makale berseru dengan gembira.
“Saya sudah membuat herbarium saya, Bu Mala.”
Bu Mala membuka buku tulis milik Makale. Hanya ada satu bunga di dalamnya. Namun, bunga
itu paling berharga di dunia karena hanya mekar sehari dalam setahun.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 82


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Menuai Rasa di Pesantren

Athala

Tidak seperti biasanya, hari ini begitu ramai. Banyak orang tua yang mengantarkan anaknya
untuk mondok di Pesantren tempatku menimba ilmu Agama.

Mereka seperti janjian, menenteng tas besar. Seperti biasa, sebagian anak enggan untuk
membawanya.
Dari sudut pesantren, aku memperhatikan. Sudut tempat aku memantau keadaan Pondok,
seperti penjaga benteng yang siap memberikan kode, ketika musuh sudah datang.
Aku tinggal di lantai 3, paling pojok, dan sendirian di Kamar, tidak seperti teman yang lain.
Bukan karena ku tidak punya teman, tetapi kata orang kamar ini angker, tapi engak
menurutku.
Atau, mungkin itu hanya alibi mereka, karena di sini sinyal HP tidak ada. Aku sendiri heran,
diantara bangunan lain yang ada di Pondok, bangunan ini paling tinggi.
Lucu, tapi aneh. Jika diibaraktkan bangunan ini sebuah tabel, maka hanya kolom yang sejajar
dengan kamarku saja yang tidak masuk sinyal.
Makanya, satu baris dengan kamarku, semuanya kosong, tidak ada penghuninya. Hanya untuk
mengakses jejaring sosial atau menerima pesan WhatsApp, aku harus keluar kamar dan
bergeser ke kamar sebelah.
Semua santri melek teknologi, hampir 50% anak di sini memiliki akun youtube, ada yang
hanya sekedar reaploader atau membuat konten kreatif sendiri.
Tidak ada aturan khusus untuk mengakses internet, selama bukan jam pelajaran dan tidak
mengganggu pelajaran di Pondok, kami diperbolehkan.
Tidak ada pelajaran TKI yang mendalam, tetapi banyak anak santri yang jago membuat
aplikasi, ya walau sebagian besar hanya memodifikasi code pemrograman, tetapi untuk anak
setingkat SMP seperti aku itu luar biasa.
Semua santri belajar melalui youtube, makanya tidak heran jika ada santri yang berjualan
kartu perdana hanya untuk kuota internet saja.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 83


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Bahkan tidak sedikit kegiatan di sini, mendapatkan banyak inspirasi dari internet, tujuannya
agar para santri tidak bosan untuk belajar.
Besok adalah tugasku memperkenalkan fasilitas ruangan dan tata tertib pesantren kepada
calon santri, makannya aku ingin memberikan sedikit sentuhan yang berbeda, yaitu dengan
mencari joke-joke lucu dari internet, agar mereka tidak bosan.
Yang paling utama, ketika pertama kali calon santri masuk ke pesantren, aku harus
menjelaskan tentang kehidupan santri di sini, biar mereka tidak kaget, seperti aku dulu.
Pesantren ini mengajar dari jenjang SMP dan SMA. Peraturan yang lucu adalah santri jatuh
cinta dilarang di sini, intinya kita harus fokus belajar  agar bisa menjadi orang yang hebat
kelak.
Jadi intinya, jangan takut menjadi santri, karena yang aku rasakan adalah aku bisa mandiri di
sini, walau jauh dari orang tua, tetapi tetap semangat belajar.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 84


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Haniyyah Lahfah Irawan

8B

Oyen Si Kucing Setia

Kasih sayang tak hanya kepada manusia saja, tetapi juga pada hewan-hewan di sekitar kita.”
Maulana adalah seorang penyayang binatang. Ia memelihara seekor kucing kampung berwarna
oranye yang ia beri nama Oyen. Setiap hari Maulana selalu mengurus Oyen dengan penuh kasih
sayang, mulai dari memberi makan dan minum sampai mengajak main bersama.

Kucing oranye tersebut awalnya merupakan seekor kucing liar yang terlantar di jalan, hingga Maulana
menemukannya dan merawatnya dengan baik.
Ketika ia menemukan Oyen, kondisi kucing itu sangatlah memprihatinkan dengan tubuh kurus kering.

Setelah lebih dari satu tahun bersama Maulana, kini badan Oyen sudah berisi dan tampil kuat.

Setiap hari setelah pulang sekolah, Oyen selalu duduk di teras rumah menyambut kedatangan
Maulana.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 85


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Aku Mengerti Pada Akhirnya

NAILA KHAIRANI X IPS 2

Ini kisah seorang gadis cantik yang tanpa ia duga kehidupan di usia 15 ini hidup nya benar
benar berubah. “RAINNNNNNN!!!! Sudah siap belum?” itu teriakan mama dari arah garasi mobil. “iya
ma sebentar lagi, tas nya berat banget inii”. Mulai hari ini aku akan menjalani kehidupan yang
berbeda dari sebelumnya, yang biasanya aku hidup berdua dengan mama. Mama ku single parent
sejak usia ku 11 tahun, kami berdua sudah menjalani hari hari yang di penuhi dengan tawa, sedih
bahkan kami sering bertengkar. Ketika masuk ke jenjang sma mama takut akan pergaulan sekolah
sekolah di Jakarta aku pun di sekolah kan di pesantren daerah bandung. Awalnya aku tidak setuju,
sangat tidak setuju, kehidupan macam apa itu. Tapi setelah melihat wajah mama, aku merasa tidak
tega. Besar keinginan mama menyekolahkanku di pesantren. “sudah siap?” tanya mama sambil
memasukkan tas ku ke dalam mobil. “hmm sudahh” jawab ku dengan malas. “ayo dong kamu harus
semangat sebentar lagi bertemu dengan teman baru kan”. Perjalanan Jakarta-Bandung menggunakan
mobil ditempuh sekitar 2 jam. Kami pun sampai di pesantren ini. “ayo kita turun” ajak mama ketika
mobil kami sudah terparkir. Ini hal yang aku benci, perpisahan dengan mama. Mama memelukku
seraya berkata di telinga ku “jaga diri baik baik, anak mama sudah dewasa sekarang, jadilah anak
yang baik, jangan kecewakan mama, mama sayang kamu rain”. Di pelukkan itu... aku menahan tangis,
dada ku terasa sesak sekarang. Aku pun mencium tangan mama lalu mengambil tas ku dan masuk ke
dalam gerbang asrama putri dengan harap rasa sesak ini menghilang. Hari pertama disini aku
mendapatkan teman nama nya nova dia dari bogor. kami selalu pergi kemana mana bersama. Dari
mulai makan, mandi, solat, berangkat sekolah aku lakukan bersama nova. Sampai aku berteman
dengan teman dari kamar lain... namanya wani. Jujur aku tidak terlalu bisa bermain dengannya. Karna
sikap nya yang menurutku tidak baik. Ia sering bercanda kelewatan, berkata kasar, bahkan sering
marah marah tidak jelas. Tapi pada suatu hari... aku melihat dia menangis, jujur aku kaget, orang yang
kasar seperti dia ternyata juga bisa menangis. Aku pun menghampirinya dan menanyakan apa yang
terjadi dan ia menceritakan semua nya padaku. “ayah dan ibu ku bertengkar lagi dan kakak ku
sekarang pergi entah kemana, ayah dan ibu ku sering bertengkar dari dulu rain.. bahkan aku sering

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 86


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

menangis ketika aku di rumah karna melihat mereka.” Aku merasa kasihan mendengar cerita wani.
Aku merasa mungkin semua yang ia lakukan ketika disini adalah sebuah perasaan bebas yang ia
keluar kan, walaupun terkadang salah. Pada akhirnya aku mengerti semua orang mempunyai sifat
yang berbeda beda karna sesuatu yang buruk selalu bersanding dengan sesuatu yang baik dan aku
yakin dia punya sisi baik itu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 87


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Kesandaran

Khatrunnada Salsabila Zega

“Terkadang kita lupa akan semua hal yang terjadi di kehidupan. Kita selalu memfokuskan diri kepada
hal yang terlihat dimata saja tanpa mempertanyakan keadaan dan hati Nurani kita sendiri”

Saya akan menceritakan seseorang yang bernama Anika. Ia sedang kesusahan dalam memilih jenjang
kehidupan perkuliahan nanti.

“Anika kamu sudah mendengar perkataan pak Wadi tadi?” tanya salah satu teman sekelas Anika, Rila.

“Mengenai jurusan yang kita akan pilihkan?”

Rila pun mengangguk semangat dan berkata, “Iya aku sih sudah punya pilihan jurusan yaitu hukum.
Karena aku ingin menjadi jaksa seperti ayahku. Klau kamu ada pikiran untuk masuk jurusan tidak?”

“Sebenarnya aku sih tidak ada pemikiran mau mana sampai saat ini. Tapi mamaku ingin sekali aku
menjadi dokter. Sepertinya dokter menjadi pilihanku.” Jawab Anika terlihat tidak peduli.

“Enggak boleh gitu dong kan itu masa depan kamu. Pastinya kamu dong yang harus memilih cita
citamu sendiri.”

Mendengar perkataan Rila, Anika tersadar dan memutuskan untuk berdiskusi dengan orangtua di
rumah. Sore pun telah datang semua murid pulang ke rumah masing-masing. Suara ketukan pintu
terdengar disebuah rumah.

“Assalamualaikum, aku pulang” kata Anika sambal menaruh sepatu di rakkedok

“Waalaikumussalam” terdengar suara wanita di ruangan lain. Anika pun langsung menuju dapur dan
menemui orang tersebut. Harum makanan tercium di hidung Ketika ia memasuki ruangan dapur. Ibu
Anika sedang memasak makanan sore. Anika menghampiri sang ibu dan mencium telapak tangan
ibundanya.

“Gimana tadi kamu sekolah? Ada yang susah?” tanya sang ibu sambal menatap muka Anika yang
terlihat ragu. Sang ibu memberhentikan kegiatan memasaknya dan mengajak anaknya untuk duduk di
ruang tamu.

Keheningan yang hanya terdengar di ruangan tersebut. Tidak ada satu orang pun yang mengucapkan
sepatah kata. Anika memberanikan diri dan berkata,

“Ibu sebenarnya tadi di sekolah ada seorang guru yang menanyakan tentang jurusan ketika kita sudah
kuliah. Dan sejujurnya aku masih belum menemukan minta jurusanku apa.”

“Kenapa kamu enggak mengikuti kata ibu aja ikut kedokteran. Kalau kamu jadi dokter kan enak bisa
di gaji mahal.”

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 88


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“Tapi aku tidak ada keinginan untuk masuk kedokteran. Aku tahu ibu ingin aku memilih masa depan
yang baik. Tapi aku mohon bu, untuk kali ini saja. Percayakan aku memilih jurusan. Insyallah aku tidak
akan mengecewakan ibu.”

Setelah mengatakan hal tersebut. Rasanya semua beban yang ada di dalam hati Anika hilang begitu
saja. Namun masih terasa gelisa akan respon ibunya yang masih belum menjawab.

“Kalau itu yang kamu mau, ibu akan perbolehkan. Tapi kalau kamu ingin bertanya tanya soal
pendapat ibu dengan senang hati memberikan saran. Karena ibu tahu anak ibu pasti bisa”

Anika langsung memeluk ibunya dan menagis terharu akan perkataan ibu nya yang mau mengikuti
pendapatnya. Senyuman mengembang terdapat di wajah keduanya. Malam itu suasana rumah
menjadi lebih tenang.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 89


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Beranjak Dewasa

Najwatul Zakyyah

Kita beranjak dewasa. Jauh terburu seharusnya. Bagai bintang yang jatuh. Jauh terburu waktu. Mati
lebih cepat. Mati lebih cepat. -Nadin Amizah

Tentang beranjak dewasa, yang berakhir dengan mati lebih cepat. Begitu kata Nadin Amizah.
Entahlah ketika beranjak dewasa tak pernah terbisebit di benakku tentang kata bahagia. Yang ada
hanyalah ketakutan ketika setiap bait lagu bahagia itu dinyanyikan. ‘Panjang umurnya, panjang
umurnya’. Hanya ada bulu kudukku yang berdiri tiba-tiba.

Bukan tentang seberapa mahalnya hadiah yang mereka berikan. Bukan tentang seberapa
banyaknya kata ucapan. Tapi semua ini tentang waktu. Waktu, yang tak pernah ku harapkan untuk
berakhir. Akan kutatap satu persatu wajah mereka, dengan angan-angan bisa bertemu di tahun
beranjak dewasa yang akan datang.

Di sinilah aku sekarang, di samping tumpukkan tanah coklat kebasahan. Dengan bunga melati segar
bertaburan di atasnya. Kutatap papan kayu kokoh yang masih sedia menancap di atas tanah. Nama
yang masih terlihat jelas, nama yang s’lalu ku sebutkan sebelum beranjak ke alam mimpi. Saya datang
setelah lama tak mengunjungi.

Hujan sepertinya mendukung kehadiranku, ia dengan perlahan pamit menumpahkan airnya.


Meninggalkanku sendiri, benar benar sendirian. Dia Farah Sastra Azya, rumahku untuk berpulang. Dia
tau segalanya tentangku. Semenjak abi pergi meninggalkan uma, saya sendirian. Ingin menumpahkan
pada uma, tapi saya tau bebannya lebih dari saya. Tapi dia pergi lebih dulu. Tuhan sangat sayang dia.

“ Sore Farah.” Bukaku dengan santai.

“ Farah, maaf ya saya sudah lama tak kesini. Uma lagi sakit, jadi saya harus jaga rawat uma.” Helaan
napas berat saya keluarkan. Mengeluarkan semua hal yang tak ingin saya pendam sendirian.

“ Farah Sastra Azya, selamat beranjak dewasa ya sayang. Selamat 18 tahun Farah cantik.”

“ Tak terasa ya Far, sudah 2 tahun kamu ninggalin saya. Sudah 2 tahun tidak ada pundak yang jadi
tempat saya menumpahkan semuanya.”

“ Saya sendirian Far, saya seperti hilang arah. Tidak ada rumah untuk saya berpulang.” Berat, sangat
berat ketika harus mengucapkan ini semua. Bermonolog sendirian di atas tanah, berharap akan
kehadirannya.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 90


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

“ Farah, saya sudah lulus, saya sudah pakai toga. Saya sudah dapat universitas impian saya. Saya
masuk UI Far, Universitas impian kita dulu.” Suara bergetar yang tak bisa kutahan. Menahan agar tak
ada tangisan.

“ Seharusnya ada kamu di wisuda itu Far, seharusnya kita foto pakai toga yang sama Far.” Saya kalah,
air mata akhirnya mengalir bebas tanpa aba-aba.

“ Maaf ya Far, saya ga nepatin janji untuk ga gampang putus asa. Saya ga sekeren kamu Far.” Kuseka
pelan air mata yang mengalir di pipi.

“HUH! Oiya Far, ingat tidak? Waktu itu kamu minta dihadiahkan bunga lily sama Ifnuh ketika usiamu
18 tahun. Dan Far ini saya bawakan lily untuk kamu.”

“ Tapi maaf ya Far, Ifnuh belum bisa datang. Dia lagi sibuk ngurus perpegian untuk ke Kairo. Iya Far,
Ifnu dapet beasiswa ke Kairo.” Tuhan saya butuh pelukan.

Saya benar benar sudah mengeluarkan semua butiran air mata tanpa bisa dihentikan. Ingin rasanya
memeluknya kembali.

“ Maaf ya Far, saya terlalu banyak mengeluh. Saya kira ini sampai sini dulu. Sampai jumpa Farah, saya
janji akan sering datang ke sini kalau tidak sibuk sama dunia. Sekali lagi selmat beranjak dewasa Farah
Sastra Azya”

Saya tinggalkan ia bersama bunga lily. Saya harap ia bahagia di sana. Lega ketika semua yang lama
tertahan di hati akhirnya tersampaikan. Tentang beranjak dewasa, saya tak terlalu percaya. Cukup
berharap saja, agar saya bisa merasakan dengan orang-orang tersayang. Tuhan terimakasih ya masih
memberi kesempatan untuk saya menikmati hasil karya-Mu.

Untuk akhir,

Jika aku pergi lebih dulu, jangan lupakan aku


Ini lagu untukmu, ungkapan terima kasihku.-Tulus

Jangan luapakan aku ya, beri aku tempat dalam hidupmu. Dan terimakasih ya sudah mau
menerimaku jadi salah satu bagain dari kisah hidupmu.

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 91


Jurnalistik Al
Hamidiyah
● CERPEN PILIHAN AL HAMIDIYAH ●

Antologi Jurnalistik Al Hamidiyah 92


Jurnalistik Al
Hamidiyah

Anda mungkin juga menyukai