Paper Halaqoh
Disajikan pada tanggal 2 Juli 2021
Pengasuh:
Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.
Disusun Oleh:
Bayu Setiyawan
Mahasiswi Semester VI
Fakultas Syariah
Halaqoh Ilmiah
Juli 2021
A. Pendahuluan
Alhamdulillah, segala atas rahmat dan kemuliaan yang telah
diberikan oleh Allah SWT, Dialah yang maha memiliki sifat Qadim dan
maha pembuat hukum. Shalawat bermahkotakan salam, senantiasa
tercurahkan kepada manusia pilihan yang pernah diberikan oleh sejarah
sebagai manusia paling ramah di dunia besar, manusia teragung sedunia
sepanjang sejarah manusia manusia dan hanya kepada beliau syafaat
tumpukan. Dia tak lain adalah Nabiyyuna Wahabibuuna Wasyafi’ina
Muhammad Sallaahu alaihi wasallam.
Tak lupa teriring doa dan keselamatan bagi para sahabat dan
dzurriyah beliau yang senantiasa berada di garda terdepan yang dihinggapi
agama Allah dan mengibarkan liwa'i diinillaahi azza wajalla.
Seorang guru dalam mendidik peserta didiknya harus memahami
pengetahuan tentang psikologi belajar. Sehingga guru dapat mengetahui
bagaimana peserta didiknya belajar. Peserta didik yang beragam latar
belakang akan mempengaruhi cara ia belajar dan cara guru mengajar.
Sehingga seorang guru dalam hal ini dituntut dapat menerapkan cara
mengajar sesuai dengan kondisi peserta didiknya. Seorang guru sudah
tentu harus memahami teori-teori belajar. Proses tentang belajar sebagai
proses psikologi, terjadi di dalam diri seseorang dan karena itu sukar
diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya.
Melalui paper ini penulis akan membahas secara detail mengenai
Transfer of Training Dalam Ilmu Jiwa Daya, Ilmu Jiwa Asosiasi Dan Ilmu
Jiwa Berfikir. Penulis juga berharap supaya pembahasan ini bisa
menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya bagi santriwan dan
santriwati Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.
B. Pembahasan
Ilmu jiwa daya dipeloori oleh Saiz dan Wolf teori ini menyatakan
bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya seperti daya berfikir daya
perasaan, daya mengingat, daya mencipta, daya tanggapan, daya kemauan
dan lain sebaginya. Daya tersebut akan dapat berfungsi apabila telah
terbentuk dan berkembang dapat di latih dalam rangka untuk memenuhi
fungsinya.
Implikasi dari teori belajar menurut Ilmu Jiwa Daya ini adalah
belajar hanyalah sebatas melatih semua daya itu. Oleh karena itu, menurut
para ahli Ilmu Jiwa Daya, hasil belajar diperoleh dengan cara melatih
semua daya yang ada dalam diri. Efek teori belajar menurut ilmu Jiwa
daya terhadap ilmu pengetahuan yang didapat hanyalah bersifat hafalan-
hafalan belaka yang biasanya jauh dari pengertian dan pemahaman.
Walaupun demikian, teori belajar ini dapat digunakan untuk menghafal
rumus, dalil, peristiwa sejarah, dan sebagainya.
Ahli-ahli ilmu jiwa daya mengemukakan suatu teori bahwa jiwa
manusia mempunyai daya-daya. Daya-daya ini adalah kekuatan yang
tersedia. Manusia hanya memanfaatkan semua daya itu dengan cara
melatihnya sehingga ketajamannya dirasakan ketika dipergunakan untuk
semua hal. Daya-daya itu misalnya daya mengenal, daya mengingat, daya
berpikir, daya fantasi. (Syaiful Bahri Djamarah, 2003 : 17).
Berdasarkan teori ini dalam belajar harus melatih semua daya yang
dimiliki, misalnya daya ingat dan daya berpikir. Dengan daya-daya yang
dimiliki, seseorang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut pandangan
teori ini ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui belajar hanyalah bersifat
hafalan saja.
A. Teori Konekteonisme
Teori Connectionism ditemukan dan dikembangkan oleh Edward
L. Thorndike berdasarkan eksperimen yang ia lakukan dengan
menggunakan hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berjeruji besi yang
dilengkapi dengan pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel. Peralatan tersebut ditata
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh
makanan yang ada di depan pintu.
Berdasarkan hasil eksperimennya,Thorndike menyimpulkan bahwa
belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Menurut Thorndike,
belajar berproses melalui trial and error (mencoba-coba dan mengalami
kegagalan) dan law of effect yang berarti bahwa segala tingkah laku yang
berakibatkan suatu keadaan yang memuaskan (cocok dengan tuntutan
siatuasi) akan diingat dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Teori Connectionism memandang bahwa organisme (juga manusia)
sebagai mekanismus yang hanya bergerak atau bertindak jika ada
perangsang yang memengaruhi dirinya. Terjadinya otomatisasi dalam
belajar disebabkan adanya law of effect tersebut. Karena adanya law of
effect terjadilah hubungan (connection) atau asosiasi antara tingkah laku
atau reaksi yang dapat mendatangnya sesuatu hasil (effect).
B. Teori Conditioning
Teori Conditioning ini dipelopori oleh Pavlov, seorang ahli
psikologi-refleksologi dari Rusia yang menggunakan anjing dalam
melakukan eksperimen. Seekor anjing dimasukkan ke dalam kamar gelap
yang hanya tersedia satu lubang yang terletak di depan moncongnya
sebagai tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada saat
diadakan percobaan. Dengan demikian, dapat diketahui keluar tidaknya air
liur dari moncong anjing itu pada saat diadakan percobaan.
Pada percobaan-percobaan yang dilakukan terhadap anjing itu,
Pavlov mendapatkan kesimpulan bahwa gerakan-gerakan refleks dapat
dipelajari dan dapat berubah karena mendapat latihan. Terdapat dua
macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned reflex) sebagaimana air
liur anjing yang keluar ketika melihat makanan yang lezat, dan refleks
bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned reflex) sebagaimana air
liur anjing yang keluar karena menerima atau bereaksi dengan warna sinar
tertentu atau terhadap suatu bunyi tertentu. Penganut teori Conditioning ini
memandang bahwa segala tingkah laku manusia tidak lain adalah hasil dari
conditioning, yaitu hasil dari latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan
mereaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu yang dialami di dalam
kehidupannya.lainnya. (Mukmin, Islahul. 2010).
5. Ilmu Jiwa Daya Berfikir
Menurut Al-Kindi mengenai jiwa dan akal, jiwa atau roh tidak
tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia.
Substansinya berasal dari substansi Tuhan dan hubungannya dengan
manusia sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Karena pada
hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda dengan tubuh
dan bahkan bertentangan dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu
birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat keji, tetapi jiwa akan
mengekangnya. (Zaprulkhan, 2014: 27).
Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi
oleh ide-ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi mendefenisikan jiwa
sebagai; “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik
alami yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan”. Defenisi ini
merupakan defenisi yang digagas Aristoteles. Selain menerima defenisi
yang digagas Aristoteles, Al-Kindi juga menyebutkan defenisi yang
ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang
mempunyai kehormatan, kesempurnaan, berkedudukan luhur, dan
substansinya berasal dari substansi Sang Pencipta”. Menurutnya, jiwa ini
merupakan substansi yang bersifat ilahi, rabbani dan berasal dari Cahaya
Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari
dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa
lalunya (Basri, 2013: 41-42).
Menurut Al-Kindi, jiwa manusia itu mempunyai 3 (tiga) daya,
yaitu; (a) daya berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), (b) daya marah (al-
quwwah algadhabiyah), dan (c) daya syahwat (al-quwwah al-
syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Sementara akal terdiri dari
tiga tingkat; (a) Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah), (b) Akal
yang telah keluar dari potensial menjadi aktual (Al-Fi’l), dan (c) Akal yang
telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua.
Sedangkan akal yang bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika
tidak ada kekuatan yang menggerakannya dari luar, yang mempunyai
wujud tersendiri diluar jiwa manusia. Akal tersebut adalah akal yang
selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’l abadan), dan ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (a) merupakan Akal Pertama, (b) selamanya
dalam aktualitas, (c) merupakan species dan genus, (d) membuat akal
potensial menjadi aktual berpikir, dan (e) tidak sama dengan akal potensial
tetapi lain dari padanya (Syam, 2010: 48-49).
Berfikir adalah gejala jiwa yang dapat menetapkan hubungan-
hubungan antara pengetahuan kita. Artinya pada saat kita berfikir, pikiran
kita melakukan tanya jawab dengan pikiran kita untuk dapat meletakkan
hubungan-hubungan antara pengetahuan kita secara cepat. Pertanyaan itu
memberi arah kepada pikiran kita, sedangkan berpikir menggunakan alat
yaitu akal.
Berpikir itu sendiri sebenarnya berkaitan dengan abstraksi-
abstraksi. Dalam arti sempit berpikir sebagai suatu pelacakan atau
pencaharian dari hubungan-hubungan atau sangkut paut. Jadi berpikir
adalah menemukan hubungan-hubungan dan menetapkan sangkut paut.
Menurut aliran ilmu jiwa berpikir, bahwa berpikir merupakan pergaulan
antara pengertian-pengertian.
C. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA