Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)


2.1.1. Definisi IVA
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) merupakan metode yang
digunakan untuk deteksi dini kanker servik yang murah dengan
menggunakan asam asetat 3-5%, yang alatnya menggunakan
spekulum dan mengamati /melihat leher rahim yang telah dipulas
dengan asam asetat atau asam cuka 3-5%, tergolong sederhana dan
memilikI keakuratan 90% (Tambunan, 2016).
Menurut Suyami (2017), IVA adalah metode yang sesuai
untuk dilakukan karena teknik yang digunakan lebih
mudah/sederhana, biaya rendah/murah, hasil pemeriksaan langsung
diketahui, dapat segera diterapi (see and treat) serta dapat
mendeteksi lesi tingkat pra kanker (high-grade precanceraus).
2.1.2. Tujuan Pemeriksaan IVA
Tujuannya adalah untuk melihat adanya sel -sel pada servik
yang mengalami displasia,tidak lazim/abnormal sebagai salah satu
metode skrining kanker mulut rahim, tidak direkomendasikan pada
wanita pasca menopause, karena daerah zona transisional seringkali
terletak di kanalis servikalis dan tidak tampak dengan pemeriksaan
inspekulo serta akibat adanya perubahan fisiologis sehingga lesi
serviks sulit diamati (Tambunan, 2016). Menurut Silfia (2017),
pemeriksaan IVA Untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari
penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus yang
ditemukan. Untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada leher
rahim.
2.1.3. Syarat Melakukan Pemeriksaan IVA
Syarat tersebut antara lain perempuan yang sudah pernah
melakukan hubungan seksual, perempuan yang sudah mempunyai

7
8

anak, tidak sedang haid, tidak sedang hamil, tidak melakukan


hubungan seksual 1 hari sebelum melakukan pemeriksaan IVA.
Pada umur 35-50 tahun minimal 1 kali sudah pernah melakukan
pemeriksaan IVA, pemeriksaan IVA dilakukan setiap 3 tahun dan
dapat diulang setiap 5 tahun (Butar, 2014).
2.1.4. Sasaran IVA
Sasaran pemeriksaan IVA adalah dianjurkan bagi semua
perempuan PUS berusia antara 30 sampai dengan 50 tahun, yang
memiliki faktor resiko seperti resiko tinggi IMS akan dapat
meningkatkan nilai prediktif positif dari IVA. Karena angka
penyakit lebih tinggi pada kelompok usia tersebut, maka lebih besar
kemungkinan untuk mendeteksi lesi pra-kanker, sehingga
meningkatkan efektifitas biaya dari program pengujian dan
mengurangi kemungkinan pengobatan yang tidak perlu (Kemenkes
RI, 2015).
2.1.5. Tahapan Pemeriksan IVA
Menurut Tambunan (2016), deteksi dini kanker serviks
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah dilatih dengan
pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam asetat
yang sudah di encerkan, berarti melihat leher rahim dengan mata
telanjang untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam
asetat 3-5%. Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan
batas yang tegas menjadi putih (acetowhite), yang mengindikasikan
bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker .Tes IVA
dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat
menstruasi, dan saat asuhan nifas atau paska keguguran.
Pemeriksaan IVA juga dapat dilakukan pada perempuan yang
dicurigai atau diketahui memiliki ISR/IMS atau HIV/AIDS.
Alat dan Bahan untuk pemeriksaan IVA menurut Kemenkes
RI (2015) :
9

a. Spekulum vagina
b. Lampu
c. Larutan asam asetat 3-5%
1. Dapat digunakan asam cuka 25% yang dijual di pasaran
kemudian diencerkan menjadi 5% dengan perbandingan 1:4
(1 bagian asam cuka dicampur dengan 4 bagian
air).Contohnya: 10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 40
ml air akan menghasilkan 50 ml asam asetat 5 %. Atau 20 ml
asam cuka 25 % dicampur dengan 80 ml air akan
menghasilkan 100 ml asam asetat 5%.
2. Jika akan menggunakan asam asetat 3%, asam cuka 25 %
diencerkan dengan air dengan perbandingkan 1:7 (1 bagian
asam cuka dicampur 7 bagian air).Contohnya : 10 ml asam
cuka 25% dicampur dengan 70 ml air akan menghasilkan 80
ml asam asetat 3%.
3. Campur asam asetat dengan baik
4. Buat asam asetat sesuai keperluan hari itu. Asam asetat
jangan disimpan untuk beberapa hari.
d. Kapas lidi/swab.
e. Sarung tangan.
f. Larutan klorin untuk dekontaminasi peralatan.
Tekhnik skrining sesuai dengan metode IVA menurut
Kemenkes RI (2015) :
a. Memastikan identitas, memeriksa status dan kelengkapan
informed consent.
b. Klien diminta untuk menanggalkan pakaiannya dari pinggang
hingga lutut dan menggunakan kain yang sudah disediakan.
c. Klien diposisikan dalam posisi Litotomi.
d. Tutup area pinggang hingga lutut klien dengan kain.
e. Gunakan sarung tangan.
f. Bersihkan area genitalia eksterna dengan air DTT.
10

g. Masukkan spekulum dan tampakkan serviks hingga jelas terlihat.


h. Bersihkan serviks dari cairan, darah dan sekret dengan kapas lidi
bersih.
i. Periksa serviks sesuai langkah-langkah berikut :
1. Terdapat kecurigaan kankeratau tidak :Jika ya, klien dirujuk,
pemeriksaan IVA tidak dilanjutkan. Jika pemeriksaan adalah
dokter ahli obstetri dan ginekologi, lakukan biopsi.
2. Jika tidak dicurigai kanker, identifikasi Sambungan Skuamo
kolumnar (SSK).
3. Jika SSK tidak tampak, maka : dilakukan pemeriksaan mata
telanjang tanpa asam asetat, lalu beri kesimpulan sementara,
misalnya hasil negatif namun SSK tidak tampak. Klien
disarankan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya lebih
cepat atau pap smear maksimal 6 bulan lagi.
4. Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan mengoleskan kapas
lidi yang sudah dicelupkan ke dalam asam asetat 3-5% ke
seluruh permukaan serviks.
5. Tunggu hasil IVA selama 1 menit, perhatikan apakah ada
bercak putih (acetowhite epithelium) atau tidak.
6. Jika tidak (IVA negatif), jelaskan kepada klien kapan harus
kembali untuk mengulangi pemeriksan IVA.
7. Jika ada (IVA positif), tentukan metode tata laksana yang
akan dilakukan.
j. Keluarkan spekulum
k. Buang sarung tangan, kapas, dan bahan sekali pakai lainnya ke
dalam container (tempat sampah) yang tahan bocor, sedangkan
untuk alat-alat yang dapat digunakan kembali, rendam dalam
larutan klorin 0,5% selama 10 menit untuk dekontaminasi.
l. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada klien, kapan harus melakukan
pemeriksaan lagi serta rencana tata laksana jika diperlukan.
11

2.1.6. Kesimpulan Pemeriksaan IVA


Menurut Tambunan (2016), ada beberapa kategori yang dapat
dipergunakan untuk pemeriksaan IVA yaitu sebagai berikut:
a. IVA Negatif = Serviks normal.
b. IVA Radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau
kelainanjinak lainnya (polip serviks).
c. IVA Positif = Ditemukan bercak putih (aceto white epithelium).
Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker
serviks dengan metode IVA
2.1.7. Kelebihan Pemeriksaan IVA
Menurut Tambunan (2016), pemeriksaan IVA memiliki
beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan pemeriksaan yang
sudah ada yaitu :
a. Lebih mudah dan murah.
b. Peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana.
c. Hasil pemeriksaan dapat segera diperoleh sehingga tidak
memerlukan kunjungan ulang.
d. Cakupannya lebih luas.
e. Pada tahap penapisan tidak dibutuhkan tenaga skinner untuk
memeriksa sediaan sitologi.
2.1.8. Frekwensi Pemeriksaan IVA
Kanker serviks biasanya berkembang perlahan dari lesi
prakanker sehingga skrining yang tidak sering pun masih dapat
memiliki dampak pada morbiditas dan mortalitas. Skrining yang
dilakukan tiap 3 tahun memiliki dampak yang sebanding dengan
skrining setiap tahun. Bahkan skrining yang dilakukan sekali dalam
10 tahun atau sekali seumur hidup memiliki dampak yang cukup
signifikan. Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila
hasilnya positif adalah 6 bulan, dan bila hasilnya negatif adalah 3-5
tahun (Kemenkes RI, 2015).
12

2.2. Kanker Serviks


2.2.1. Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks atau kanker serviks adalah kanker pada leher
rahim yaitu area bagian bawah rahim yang menghubungkan rahim
dengan vagina. Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi
abnormal dan membelah secara tidak terkendali. Kanker serviks
adalah salah satu jenis keganasan atau neoplasma yang lokasinya
didaerah servik, daerah leher rahim dan mulut rahim (Tambunan,
2016).
Kanker serviks adalah kanker primer yang terjadi pada
jaringan leher rahim (serviks) sementara lesi prakanker adalah
kelainan pada epitel serviks akibat terjadinya perubahan sel-sel
epitel, namun kelainannya belum menembus lapisan basal
(membrane basalis). Kanker serviks (Kanker leher rahim) adalah
tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (bagian
terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina
(Pandiangan, 2014).
2.2.2. Anatomi Serviks Uteri
Serviks uteri merupakan bagian dari sistem reproduksi wanita,
bagian terendah dari rahim (uterus) yang menonjol ke vagina
bagian atas. Rahim (uterus) adalah suatu organ berongga yang
berbentuk buah pir yang terletak pada perut bagian bawah (Butar,
2014).
2.2.3. Etiologi Kanker Serviks
Faktor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi
human papiloma virus (HPV). HPV adalah DNA virus yang
menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa.
Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara
seksual. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56, dan 58 sering
ditemukan pada kanker dan lesi prakanker. Lebih dari 90% kanker
serviks ini adalah jenis skuamosa yang mengandung DNA virus
13

Human Papiloma Virus dan 50% kanker serviks berhubungan


dengan Human Papiloma Virus tipe 16 (Butar, 2016).
2.2.4. Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kanker serviks
menurut Tambunan (2016).antara lain :
a. HPV (Human Papilloma Virus)
Merupakan penyebab terbanyak kejadian kanker serviks,
dengan 40 tipe yang menyerang genital dengan 13 tipe
merupakan tipe onkogenik. Setiap wanita berisiko terkena infeksi
HPV onkogenik yang dapat menyebabkan kanker serviks (tipe 16
dan 18). HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktifitas
seksual dan beberapa sumber transmisi tidak tergantung dari
adanya penetrasi, tetapi juga melalui sentuhan kulit di wilayah
genital tersebut (skin to skin genital contact). Dengan demikian
setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki resiko untuk
terkena kanker serviks.
b. Merokok
Tembakau merusak sistem kekebalan dan memengaruhi
kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.
Zat nikotin serta racun lain yang masuk ke dalam darah melalui
asap rokok mampu meningkatkan kemungkinan terjadinya
kondisi cervical neoplasia (tumbuhnya sel-sel abnormal pada
leher rahim) sebagai kondisi awal berkembangnya kanker
serviks.
c. Berganti-ganti pasangan seksual.
HPV dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang
berarti berkaitan dengan jumlah partner seksual. Semakin banyak
partner seksual yang dimiliki seorang wanita maka semakin
meningkat pula resiko terkena kanker serviks.
d. Suami/pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual
pertama pada usia 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah
14

menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks. Lelaki


yang pernah menikah dengan wanita penderita kanker serviks
dapat menjadi perantara karena bisa menularkan penyakit kanker
serviks kepada istri atau pasangan seksualnya.
e. Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk
mencegah keguguran.
f. Gangguan sistem kekebalan
Penurunan kekebalan tubuh dapat mengakselerasi
(mempercepat) pertumbuhan sel kanker.
g. Pemakaian pil KB
Pemakaian kontrasepsi pil dalam jangka waktu lama yakni
5 tahun atau lebih dapat meningkatkan resiko kanker serviks dua
kali lipat lebih besar.
h. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun
Hal ini karena Human Papilloma Virus (HPV) bisa ikut
tertularkan seiring bersamaan dengan penyebab penyakit
kelamin lainnya saat terjadi hubungan kelamin.
2.2.5. Tanda dan Gejala Kanker Serviks
Menurut Tambunan (2016), pada tahap lesi prakanker
umumnya tidak menimbulkan gejala. Pada stadium lanjut gejala
yang dapat ditemui yaitu ;
a. Keputihan yang cukup banyak, makin lama akan disertai bau
busuk.
b. Perdarahan pervaginam abnormal diluar saat menstruasi (sebagai
akibat invasi dan erosi seluler lapisan epitel serviks), misalnya
perdarahan yang dialami segera setelah melakukan hubungan
suami istri, perdarahan spontan saat berdefekasi, perubahan
menstruasi (lebih lama atau lebih banyak), keluar darah setelah
menopause.
15

c. Adanya keluhan nyeri antara lain nyeri panggul, nyeri saat


menstruasi, nyeri saat berhubungan suami istri, nyeri saat
berkemih.
2.2.6. Pencegahan Kanker Serviks
Menurut Tambunan (2016), untuk mencegah kanker serviks
dapat dilakukan dengan cara ;
a. Mencegah terjadinya infeksi HPV.
b. Melakukan pemeriksaan pap smear secara teratur.
c. Vaksinasi HPV
Pencegahan terhadap masuknya virus sangatlah penting untuk
mencegah terjadinya kanker serviks/serviks. Saat ini ada vaksin
yang digunakan untuk mencegah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV) yang berfungsi untuk merangsang antibodi respon kekebalan
tubuh untuk membunuh virus HPV sehingga virus tidak dapat
masuk ke serviks. Melakukan vaksinasi HPV sebaiknya pada
wanita sebelum aktif melakukan kontak seksual. Namun pada
wanita yang telah aktif secara seksual juga bisa diberikan vaksinasi,
namun keamanan serta manfaatnya lebih sedikit atau kurang
efektif. Vaksin ini tidak melindungi pada wanita yang sudah
terpapar virus HPV dan tidak 100% dapat mencegah semua kasus
kanker serviks. Sekitar 30% dari kanker serviks tidak dapat dicegah
oleh vaksin, sehingga penting bagi seorang wanita untuk dapat
melakukan tindakan pencegahan yang lain terhadap kanker serviks
yaitu melakukan skrining melalui deteksi dini kanker servik secara
rutin (Tambunan, 2016).
2.2.7. Deteksi Dini Kanker Serviks
Menurut Tambunan (2016), kanker serviks dapat dikenali
pada tahap prakanker, salah satunya dengan melakukan
pemeriksaan skrining tanpa menunggu munculnya keluhan terlebih
dahulu. Ada beberapa metode yang dikenal untuk melakukan
skrining kanker serviks/serviks. Tujuan skrining untuk menemukan
16

lesi prakanker. Deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan


berbagai metode diantaranya adalah :
a. IVA test, adalah Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat.
Yaitu pemeriksaan dengan cara mengamati dengan
menggunakan spekulum, melihat leher rahim yang telah dipulas
dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%).
b. Pemeriksaan Sitologi (Pap smear) merupakan suatu prosedur
pemeriksaan sederhana melalui pemeriksaan sitopatologi yaitu
dokter menggunakan pengerik atau sikat untuk mengambil
sampel sel–sel serviks. Tujuannya adalah untuk menemukan
perubahan morfologis dari sel-sel epitel leher rahim yang
ditemukan pada keadaan prakanker dan kanker.
c. Thin Prep, metode ini lebih akurat dibandingkan Pap Smear,
metode ini memeriksa serviks atau leher rahim.
d. Kolposkopi, metode ini dilakukan jika semua hasil test metode
sebelumnya menunjukkan adanya infeksi atau kejanggalan.

2.3. Faktor-faktor yang Mempngaruhi Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam


Asetat (IVA) pada WUS (Wanita Usia Subur)
Adapun faktor yang mempengaruhi wanita yang sudah menikah
melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) menurut
Notoatmodjo (2012) dan Tambunan (2016) adalah faktor predisposisi
(pendidikan, pengetahuan dan sikap), pemungkin (akses informasi dan
jarak fasilitas kesehatan) dan penguat (peran kader, penyuluhan dan
dukungan suami). penjelasannya sebagai berikut:
2.3.1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakanya untuk mempengaruhi orang lain baik individu,
kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo, 2012).
Pendidikan merupakan proses perubahan perilaku menuju kepada
17

kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia. Pendidikan


merupakan hasil prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia,
dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya.
Semakin tinggi pendidikannya diharapkan seseorang dapat
memiliki wawasan pemikiran yang lebih luas, walaupun faktor
eksternal lain tetap memberikan pengaruh. Tingkat pendidikan yang
didapatkan seseorang dapat mempengaruhi perilaku hidup sehat
seseorang. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi
perilaku kesehatan seseorang dalam upaya pencegahan suatu
penyakit termasuk pelaksanaan deteksi dini kanker serviks
(Kemenkes RI, 2015).
Pendidikan merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan
kebudayaan sebagai satu kesatuan. Cara pendidikan dapat
dilakukan secara formal maupun tidak formal untuk memberi
pengertian dan mengubah perilaku. Tingkat pendidikan seseorang
mempunyai hubungan dalam memberikan respon terhadap sesuatu
yang datang dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi dalam menghadapi ide-ide baru akan (Tambunan,
2016).
2.3.2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia atau
hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui penginderaan
yang dimilikinya. Pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan
pengetahuan hal ini sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang
(Over Behavior). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan,
biasanya pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman yang
berasal dari berbagai macam sumber (Notoatmodjo, 2012).
18

Proses perubahan pengetahuan melalui enam tingkatan yaitu


sebagai berikut:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya/ recall, mengamati sesuatu obyek.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut dengan benar.
c. Aplikasi (Aplikation)
Aplikasi yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (Analysis)
Analisis yaitu suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek kedalam komponen-komonen, tetapi masih dalam
stuktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau bagianbagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengetahuan yang
cukup mengenai bahaya dari kanker servik dapat membantu
meningkatkan kesadaran seseorang untuk melaksanakan deteksi
dini kanker servik. Makin rendah pengetahuan seseorang tentang
kanker servik maka makin besar pula dampak yang akan terjadi
baik terhadap dirinya sendiri maupun keluarganya. Sebaliknya
pengetahuan yang baik tentang kanker servik akan
meminimalkan seseorang terkena dampak negatifnya.
19

2.3.3. Sikap
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap terbentuk dengan
adanya interaksi yang dialami individu. Interaksi ini mengandung
arti yang lebih mendalam sehingga terjadi hubungan yang saling
mempengaruhi antar individu, juga dengan lingkungan fisik
maupun dengan lingkungan psikologis di sekitarnya Sikap dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Sikap positif, yaitu sikap yang menunjukan atau
memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta
menunjukkan norma-norma yang berlaku dimana individu itu
berada.
b. Sikap negatif, yaitu sikap yang menunjukan atau
memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap
norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.
2.3.4. Akses Informasi
Akses informasi dan fasilitas kesehatan pada hakekatnya
mendukung atau memungkinkan terwujudnya pelaksnaan deteksi
dini kanker servik, faktor ini di sebut faktor pendukung. Akses
informasi mengenai kesehatan reproduksi terutama kesehatan
reproduksi wanita misalnya melakukan pemeriksaan IVA saat ini
dapat diperoleh dari majalah, leaflet, poster, televisi, buku
kesehatan dan lainnya (Tambunan, 2016).
2.3.5. Jarak Fasilitas Kesehatan
Pengertian fasilitas kesehatan maksudnya ialah segala wahana
dan prasarana yang bisa menunjang kepada kesehatan kita, baik
kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. Menurut Peraturan
Presiden RI no 12 tahun 2013 fasilitas kesehatan adalah fasilitas
kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, kuratif maupun
rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,pemerintah daerah dan
20

atau masyarakat. Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan


khususnya puskesmas disebabkan oleh faktor jarak tempat
puskemas yang terlalu jauh dengan tempat tinggal masyarakat, tarif
yang tinggi, pelayanan yang kurang memuaskan. Untuk pemeriksan
IVA di puskesmas saat ini tidak dipunggut biaya jadi alasan untuk
tidak melakukan pemeriksaan IVA di Puskesmas dikarenakan biaya
tinggi sudah tidak ada lagi (Tambunan, 2016).
2.3.6. Peran Kader Kesehatan
Menurut Depkes RI (2017), kader adalah anggota masyarakat
yangdipilih untuk menangani masalah kesehatan, baik perseorangan
maupun masyarakat, serta untuk bekerja dalam hubungan yang
amat dekat dengan tempat pelayanan kesehatan dasar. Kader
mempunyai peran mengontrol kesehatan bayi dan balita serta
kesehatan ibu. Selain itu, kader kesehatan juga mempuyai tugas
untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai
masalah kesehatan yang terjadi. Kader berasal dari masyarakat dan
bila kader memberikan penyuluhan kesehatan seperti pentingnya
deteksi dini kanker serviks melalui pemeriksaan IVA, masyarakat
akan lebih mudah diarahkan. Sehingga wanita usia subur yang
sudah menikah mendapat informasi yang benar untuk datang ke
Puskesmas melakukan pemeriksaan IVA.
2.3.7. Penyuluhan Kesehatan
Menurut UU Kesehatan No 23 Tahun 1992, untuk
mewujudkan derajatkesehatan yang optimal bagi masyarakat,
diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan,
promotif, penyembuhan (kuratif), danpemulihan kesehatan
(rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang dilaksanakan antara lain melalui kegiatan
penyuluhan kesehatan. Penyuluhan kesehatan diselenggarakan guna
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan
masyarakat untuk hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya
21

kesehatan. Materi penyuluhan berisi tentang pengertian kanker


serviks, etiologi, patofisiologi, prognosis, bahaya, dan pencegahan
yang tepat. Penyuluhan kesehatan ini bisa dilakukan oleh petugas
kesehatan maupun kader kesehatan yang sudah terlatih.
2.3.8. Dukungan Suami/ Keluarga
Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa faktor dukungan
suami dapat pula memengaruhi perilaku seseorang, terutama dalam
memutuskan sesuatu untuk kelangsungan hidupnya. Suami sebagai
panutan dari keluarga sangat penting dalam memberi motivasi dan
dorongan untuk melakukan suatu kegiatan. Pengertian dan
pemahaman yang baik serta benar dari suami akan memberikan
motivasi bagi individu (istri) untuk ikut serta dalam melakukan
deteksi dini kanker servik. Dukungan suami/keluarga merupakan
salah satu hal yang harus mendapat perhatian dalam pelaksanaan
deteksi dini kanker serviks. Kemenkes RI (2015) menjelaskan
bahwa sangat perlun partisipasi suami/keluarga untuk mendukung
keberhasilan upaya deteksi dini kanker serviks untuk menurunkan
angka kematian yang disebabkan oleh kanker serviks.
Kaplan dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga,
termasuk suami memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:
a. Dukungan emosional
Suami sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-
aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang
diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian,
mendengarkan dan didengarkan.
b. Dukungan informasional
Suami berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator
(penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang
pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan
mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini
22

adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena


informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti
yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini
adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi.
c. Dukungan penilaian
Suami bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing
dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan
validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan
support, penghargaan, perhatian
d. Dukungan instrumental
Suami merupakan seorang memberikan pertolongan atau bantuan
secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya
menyediakan fasilitas yang diperlukan, peralatan, meminjamkan
uang, sarana pendukung lain dan termasuk di dalamnya
memberikan peluang waktu.
23

2.4. Kerangka Teori


Kerangka teori dalam penelitian ini diadopsi dari modifikasi teori
Notoatmodjo (2012) dan Tambunan (2016). terdapat 3 faktor yang
berhubungan dengan pemeriksaan IVA, yaitu faktor predisposisi
(pendidikan, pengetahuan dan sikap), pemungkin (akses informasi dan jarak
fasilitas kesehatan) dan penguat (peran kader, penyuluhan dan dukungan
suami). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini :

Bagan 2.1
Kerangka Teori

Fakto Predisposisi :
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap

Fakto Pemungkin :
1. Akses informasi
Pemeriksaan IVA
2. Jarak fasilitas
kesehatan

Fakto Penguat :
1. Peran kader
2. Penyuluhan
3. Dukungan suami

Sumber : Notoatmodjo (2012) dan Tambunan (2016)

Anda mungkin juga menyukai