Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

UVEITIS ANTERIOR
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti
Program Pendidikan Klinik Ilmu Kesehatan Mata

Disusun Oleh :
Nestri Prabandani
21712040

Pembimbing :
dr. Toto Agustianto, Sp.M
dr. Sukoto, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDONO MADIUN
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................
2.1. Definisi.............................................................................................................................
2.2. Anatomi Uvea..................................................................................................................
2.3. Klasifikasi........................................................................................................................
2.2. Etiologi...........................................................................................................................
2.5. Patofisiologi....................................................................................................................
2.6. Manifestasi Klinis..........................................................................................................
2.7. Diagnosis........................................................................................................................
2.8. Tatalaksana....................................................................................................................
2.9. Komplikasi.....................................................................................................................
2.10. Prognosis.......................................................................................................................
BAB III. KESIMPULAN............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

2
BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis adalah inflamasi pada uvea, yang meliputi iris, korpus siliare, dan
koroid. Uveitis merupakan penyakit yang berpotensi mengancam penglihatan,
mewakili sekitar 10-20% kasus kebutaan di negara-negara maju. Uveitis dapat
menjadi puncak dari gunung es dan mungkin merupakan tanda dari penyakit
sistemik (Gueudry and Muraine, 2018).

Angka kejadian uveitis diperkirakan sebanyak 14-17 kasus per 100.000


dan 38.000 kasus baru dikonfirmasi tiap tahunnya di Amerika Serikat. Uveitis
dapat mempengaruhi semua usia, walaupun paling umum terjadi pada dekade
ketiga dan keempat (Harthan et al., 2016). Uveitis lebih umum terjadi pada
negara-negara berkembang dibandingkan pada negara maju, karena tingginya
prevalensi infeksi yang dapat mengenai mata, seperti toxoplasmosis dan
tuberkulosis (Riordan-Eva and Augsburger, 2018)

Uveitis anterior adalah tipe uveitis yang terletak pada iris dan pars plikata
dari korpus siliare, dan merupakan salah satu tipe uveitis yang paling sering
terjadi (Jogi, 2009). Uveitis anterior biasanya unilateral dengan gejala mata merah
tanpa sekret, dengan atau tanpa penurunan penglihatan, nyeri tumpul, dan
fotofobia. Tanda umum uveitis anterior meliputi injeksi sirkumkorneal dan
ditemukan flare dan cells pada bilik mata depan (Harthan et al., 2016; Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2017)

Uveitis anterior umumnya tidak terlalu mengancam penglihatan dan tidak


terlalu berbahaya dibandingkan uveitis intermediat dan posterior, terutama jika
diobati segera. Jika tidak diobati dengan segera dan tepat, peradangan akut dapat
berkembang menjadi radang kronis yang kemudian dapat mengancam
penglihatan. Hal ini menekankan pentingnya peran dokter pada layanan primer
dalam mengelola pasien uveitis anterior secara tepat dan efektif untuk mengurangi
risiko berkembangnya komplikasi pada penyakit ini (Harthan et al., 2016).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Uveitis adalah inflamasi pada traktus uvea, meliputi iris, korpus
siliare, atau koroid. Meskipun demikian, sekarang istilah uveitis sekarang
menggambarkan setiap inflamasi yang tidak hanya melibatkan uvea,
namun juga pada struktur lain yang berdekatan dengan uvea (Subardjo,
Agni and Nugroho, 2017). Angka kejadian uveitis diperkirakan secara
umum adalah 14-17/100.000 kasus. Uveitis anterior merupakan kasus
uveitis yang paling sering terjadi yaitu sekitar 30-73% kasus, yang
terbatas pada iris (iritis), atau pada iris dan korpus siliare (iridosiklitis)
(Harthan et al., 2016).
Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan menyumbang
sekitar 10-20% kasus kebutaan di negara-negara maju. Uveitis lebih
banyak ditemukan terjadi di negara-negara berkembang karena tingginya
prevalensi infeksi yang bisa mempengaruhi mata (Riordan-Eva and
Augsburger, 2018).

2.2. Anatomi Uvea


Traktus uvealis merupakan komparteven vaskular utama pada
mata, yang terletak di tengah mata, dan dilindungi oleh kornea dan
sklera. Traktus uvealis melekat erat hanya pada 3 tempat di sklera, yaitu
scleral spur (taji sklera), tempat keluar vena-vena vortikosae, dan nervus
optikus. Traktus uvealis terdiri dari tiga bagian, yaitu iris, korpus siliare,
dan koroid. Traktus uvealis anterior mendapat perdarahan dari arteri
siliaris longus posterior, sedangkan traktus uvealis posterior mendapat
perdarahan dari beberapa arteri siliaris posterior yang masuk ke koroid di
sekitar saraf optik (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017).

4
Gambar 1. Uvea (Riordan-Eva and Augsburger, 2018)
2.2.1. Iris
Iris adalah bagian paling anterior dari traktus uvealis,
berupa permukaan pipih dengan apertura bulat, yang
memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang. Iris
berarti pelangi dan disebut demikian karena warna iris berbeda-
beda sesuai etnik (ras) manusia (Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2017; Subardjo, Agni and Nugroho,
2017)
Secara histologis, iris terdiri dari 3 lapisan yaitu lamina
anterior, stroma iris, dan lamina posterior. Lamina anterior
terdiri dari fibroblast, melanosit, serta kolagen, dan merupakan
struktur yang melipat membentuk rigi serta kripta. Stroma iris
merupakan lapisan bagian tengah yang berasal dari mesoderm
yang mengandung fibroblast, melanosit, kolagen, dan otot
sfingter. Lamina posterior mengandung epitel pigmen dan otot
dilator (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017).

5
Gambar 2. Histologi Iris (Jogi, 2009)
Iris berfungsi untuk mengatur banyaknya cahaya yang
masuk ke dalam mata dengan mengubah apertura pupil.
Pergerakan iris mengakibatkan berubah-ubahnya ukuran pupil.
Saat midriasis, iris tampak mengandung banyak rigid an lipatan,
sedangkan saat miosis, permukaan anterior iris lebih rata. Suplai
perdarahan iris berasal dari arteri circulus major iris. Persarafan
sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares
(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017; Riordan-Eva
and Augsburger, 2018).
2.2.2. Korpus Siliare
Korpus siliare berbentuk segitiga pada potongan melintang,
menjembatani kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior.
Korpus siliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak,
pars plikata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4
mm). Pars plana merupakan zona berpigmen halus dan relatif
avaskular dan meluas dari orra serata sampai ke prosesus siliaris.
Pars plikata berakhir pada orra serata, mempunyai banyak
vaskularisasi, dan terdiri dari kurang lebih 70 lipatan radial yang
disebut sebagai prosesus siliaris (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2017; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

6
Gambar 3. Korpus siliare (Riordan-Eva and Augsburger,
2018)
Epitel korpus siliare terdiri dari satu lapis epitel tidak
berpigmen yang merupakan perluasan retina sensoris ke anterior,
dan satu lapis epitel berpigmen yang merupakan perluasan lapisan
epitel pigmen retina. Kedua jenis epitel ini memiliki banyak
mitokondria sehingga mempunyai aktivitas metabolik tinggi,
yang berperan penting dalam sekresi aktif humor akuos (Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2017; Riordan-Eva and
Augsburger, 2018).
Otot siliaris berasal dari mesoderm yang tersusun 3 lapisan
serabut, yaitu serabut longitudinal, radial, dan sirkular. Serabut
sirkular berfungsi untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat
zonula. Otot-otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa
sehingga lensa dapat memiliki berbagai fokus, baik untuk objek
jarak dekat maupun jarak jauh dalam lapangan pandang. Serabut
longitudinal menyisip ke dalam anyaman trabekula dan melekat
pada scleral spur yang akan menyebabkan tarikan scleral spur
dan menjadikan terbukanya kanalis schlemm dan meningkatkan
aliran humor akuos (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2017; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

7
Pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi korpus
siliare berasal dari arteri circulus major iris. Suplai saraf korpus
siliare melalui nervus siliare (Riordan-Eva and Augsburger,
2018).
2.2.3. Koroid
Koroid merupakan bagian paling posterior dari traktus
uvealis, berasal dari mesoderm, yang memberikan nutrisi ke epitel
pigmen retina dan separuh bagian luar lapisan sensoris retina.
Rata-rata tebal koroid adalah 0,25 mm di bagian posterior dan
semakin tipis di anterior (0,1 mm). Koroid tersusun atas 3 lapisan,
yaitu lamina fusca (lamina suprakoroid), lamina basalis koroidalis
(membrana Bruch), dan lapisan koriokapilaris. Perdarahan koroid
berasal dari arteri siliaris longus, arteri siliaris posterior brevis,
dan arteri siliaris anterior (Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2017; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

Gambar 4. Struktur Koroid (Jogi, 2009)

2.3. Klasifikasi
Uveitis diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu
berdasarkan anatomis, klinis, dan patologi.
2.3.1. Anatomi
a. Uveitis Anterior
Uveitis anterior adalah inflamasi uvea yang terjadi pada iris
dan pars plikata dari korpus siliare (Jogi, 2009)

8
- Iritis : Inflamasi yang dominan terjadi pada iris
- Iridosiklitis : Iris dan pars plikata dari korpus siliare
terlibat secara bersamaan
- Siklitis : Inflamasi yang dominan terjadi pada pars plikata
korpus siliare
b. Uveitis Intermediat
Uveitis intermediat adalah inflamasi uvea pada pars plana
korpus siliare, bagian perifer dari retina, dan badan vitreus.
Disebut juga “pars planitis” (Jogi, 2009; Subardjo, Agni and
Nugroho, 2017).
c. Uveitis Posterior
Uveitis posterior adalah inflamasi uvea yang terjadi pada
koroid. Terdapat hubungan dengan retina yang berdekatan
sehingga kadang disebut dengan “chorioretinitis” (Jogi, 2009)
d. Panuveitis
Panuveitis adalah inflamasi pada seluruh traktus uvealis.
Panuveitis merupakan yang paling umum di antara uveitis
kronis (Jogi, 2009).

Gambar 5. Klasifikasi anatomis uveitis (Riordan-Eva and Augsburger,


2018)
2.3.2. Klinis
a. Uveitis Akut
Uveitis akut terjadi apabila awitan gejala timbul tiba-tiba dan
berlangsung dengan durasi ≤ 3 bulan (Mehta and Thulasidas,
2021).

9
b. Uveitis Kronis
Uveitis kronis terjadi apabila awitan gejala timbul perlahan
dan berlangsung lebih dari 3 bulan dengan relaps dalam < 3
bulan setelah berhenti pengobatan (Mehta and Thulasidas,
2021).
c. Uveitis Rekuren
Jenis uveitis dengan episode berulang dipisahkan oleh periode
tidak aktif tanpa pengobatan ≥ 3 bulan (Mehta and Thulasidas,
2021).
2.3.3. Patologi
a. Uveitis Granulomatosa
Uveitis granulomatis bersifat infektif. Onset inflamasi terjadi
secara perlahan, kronis, dengan gambaran klinis minimal
(Jogi, 2009).
b. Uveitis Non Granulomatosa
Uveitis non granulomatosa biasanya disebabkan karena reaksi
alergi atau imun. Onset inflamasi akut dan durasi singkat
(Jogi, 2009).

10
Gambar 6. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa
(Riordan-Eva and Augsburger, 2018)

2.2. Etiologi
2.2.1. Infeksi Eksogen
Infeksi eksogen terjadi karena trauma pada mata, seperti luka
tusuk, benda asing, atau ulkus kornea yang dapat menyebabkan
uveitis anterior. Infeksi eksogen menyebabkan iridosiklitis
purulen akut dan panoftalmitis (Jogi, 2009).
2.4.2. Infeksi Endogen
Infeksi endogen disebabkan karena adanya organisme yang
bersarang di beberapa organ tubuh lain yang mencapai mata
melalui aliran darah (Jogi, 2009).
 Bakteri
- Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksius yang menular
melalui udara yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis biasanya menginfeksi paru-
paru. Uveitis merupakan manifestasi okular yang paling
sering pada TB dan dapat ditemukan pada pasien TB aktif
serta pasien dengan atau tanpa gejala sistemik TB.
Temuan yang khas pada pasien uveitis tuberkulosis adalah
mutton fat keratic precipitate, nodul busacca, dan sinekia
posterior (Harthan et al., 2016).
- Sifilis
Sifilis merupakan infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri spirocheta yaitu Treponema
pallidum. Uveitis dapat muncul pada semua tahap sifilis.
Sekitar 10% kasus sifilis sekunder disertai dengan uveitis
dan paling sering terjadi pada tahap tersier. Uveitis
anterior pada pasien sifilis dapat unilateral atau bilateral,
granulomatosa atau non granulomatosa dengan atau tanpa

11
nodul iris, dilatasi pembuluh darah iris, dan iris atrofi
(Harthan et al., 2016)

- Leptospirosis
Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi
spirochaeta leptospira. Uveitis bisa timbul dalam bentuk
apapun namun khasnya pada leptospirosis adalah difus,
sering disertai hipopion dan vaskulitis retina (Riordan-Eva
and Augsburger, 2018).
 Virus
- Herpes simplex virus (HSV)
Uveitis anterior yang disebabkan karena HSV biasanya
unilateral, granulomatosa atau non granulomatosa, dengan
peningkatan tekanan intraokular karena trabekulitis
(Harthan et al., 2016).
- Varicella-zooster virus (VZV)
Uveitis karena VZV dan HZ terjadi sekitar 20% kasus dan
biasanya terjadi selama 1-3 minggu setelah manifestasi
klinis awal (Harthan et al., 2016).
- Cytomegalovirus (CMV)
Uveitis karena CMV identik dengan HSV dan VZV, yaitu
terjadi unilateral, granulomatosa atau non granulomatosa,
disertai dengan peningkatan TIO, dan dapat menjadi
kronis atau rekuren (Harthan et al., 2016).
 Protozoa
- Cysticercosis
Cysticercosis merupakan penyebab yang jarang ditemui
pada morbiditas okular berat. Ocular cysticercosis
disebabkan oleh karena tertelannya telur Taenia solium
atau oleh karena peristalsis terbalik pada kasus obstruksi
usus yang disebabkan oleh cacing pita dewasa. Larva

12
Cysticercus cellolase adalah jenis cacing pita yang paling
sering menginvasi mata manusia. Larva ini dapat
mencapai ruang subretina, dan menyebabkan retinitis akut
dengan edema retina dan eksudat subretina, atau ke
rongga vitreus, tempat solex yang tertanam membentuk
sebuah kista translusen dengan bintik putih padat
(Riordan-Eva and Augsburger, 2018).
- Onchocerciasis
Onchocerciasis disebabkan oleh infeksi cacing parasite
Onchocera volvulus, dan disebut juga sebagai “river
blindness”. Temuan yang mungkin didapatkan adalah
tampak keratitis numularis dan keratitis sklerosis pada
kornea. Mikrofilaria yang berenang aktif pada bilik mata
depan tampak sebagai benang-benang silver. Mikrofilaria
yang mati dapat menyebabkan reaksi inflamasi yang intes
dan uveitis derajat berat, vitritis, dan retinitis (Riordan-
Eva and Augsburger, 2018).
2.4.3. Reaksi Autoimun
HLA-B27 seronegative spondyloarthropaties adalah
kelompok penyakit inflamasi dengan faktor rheumatoid negatif
dan berhubungan dengan HLA-B27, yaitu major
histocompatibility complex (MHC) kelas I. HLA-B27
seronegative spondyloarthropaties merupakan etiologi non
infeksi uveitis anterior akut atau rekuren yang paling umum
(50%), meliputi ankylosing spondylitis, reactive arthritis
syndrome, psoriatic arthritis (Harthan et al., 2016).
Juvenile idiopatic arthritis (JIA) merupakan tipe arthritis
yang paling umum pada anak dan remaja dan dapat
bermanifestasi sebagai iridosiklitis nongranulomatosa bilateral
kronis. Anak perempuan 4-5 kali lebih sering daripada anak laki-
laki. Tanda kardinal dari uveitis JIA adalah ditemukan sel dan

13
flare pada bilik mata depan, keratic precipitate ukuran kecil
sampai sedang dengan atau tanpa flek fibrin pada endotel,
pembentukan sinekia posterior, yang sering berlanjut menjadi
seklusio pupil, dan katarak (Harthan et al., 2016; Riordan-Eva
and Augsburger, 2018).
Lens-induced uveitis adalah penyakit autoimun terhadap
antigen lensa. Hal ini terjadi ketika lensa menjadi katarak
hipermatur dan kapsul lensa membocorkan material lensa ke bilik
mata depan dan belakang. Material ini kemudian memicu reaksi
inflamasi yang dicirikan oleh akumulasi sel plasma, fagosit
mononuclear, dan beberapa sel polimorfonuklear. Lens-induced
uveitis juga dapat terjadi setelah trauma lensa atau setelah operasi
katarak dengan retensi bahan lensa (Harthan et al., 2016;
Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

Gambar 6. Etiologi Uveitis Anterior (Riordan-Eva and Augsburger,


2018)

14
2.5. Patofisiologi
Korpus siliare berfungsi untuk memproduksi humor akuos yang
memberi nutrisi lensa dan kornea. Radang pada iris dan korpus siliare
akan merusak blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan
protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan
slit lamp, hal ini akan tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak brown (Efek Tyndall). Dengan adanya peradangan pada iris
dan korpus siliare, maka timbul hiperemi yang aktif, dilatasi pembuluh
darah, produksi humor akuos bertambah, sehingga dapat menyebabkan
glaukoma sekunder. Selain oleh humor akuos, dinding pembuluh darah
dapat juga dilalui oleh leukosit, eritrosit, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose bilik mata bertambah dan mengakibatkan
glaukoma (American Academy of Ophtalmology, 2011).
Humor akuos dengan material lainnya ini, bermigrasi dari bilik
mata belakang melalui celah antar lensa, iris, dan pupil ke bilik mata
depan. Di BMD, karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka
suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan
bergerak ke atas. Di daerah kornea yang tidak mengandung pembuluh
darah, suhu turun dan berat jenis bertambah, sehingga disini cairan akan
bergerak ke bawah. Di sisi lain, sel-sel radang dan fibrin dapat melekat
pada endotel kornea, membentuk keratic precipitates yang dari depan
tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin
besar. Sel-sel radang dan fibrin juga dapat menyumbat sudut BMD
sehingga aliran humor akuos terhambat dan terjadi glaukoma sekunder
(American Academy of Ophtalmology, 2011).
Pada proses peradangan akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam BMD yang disebut dengan hipopion atau migrasi eritrosit
ke dalam BMD yang dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang
juga dapat terjadi pada perifer pupil yang disebut dengan Koeppe nodules,

15
dan bila akumulasi sel-sel radang terdapat di permukaan iris disebut
dengan Busacca nodules (American Academy of Ophtalmology, 2011).
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan
antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sebagai
sinekia posterior, atau perlekatan antara iris dengan endotel kornea yang
disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat, dapat terbentuk bekuan
fibrin besar atau hipopion di BMD. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian perifer pupil yang disebut dengan seklusio pupil. Perlekatan-
perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabecular meshwork
oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran humor akuos dari bilik mata
belakang ke bilik mata depan sehingga humor akuos tertumpuk di bilik
mata belakang dan mendorong iris ke depan sehingga tampak sebagai iris
bombans dan menyebabkan sudut bilik mata depan menyempit sehingga
timbul glaukoma sekunder (American Academy of Ophtalmology, 2011).
Pupil juga dapat diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan
organisasi jaringan dan terjadi oklusio pupil. Peradangan badan siliar
dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa dan mengakibatkan katarak
(American Academy of Ophtalmology, 2011).

2.6. Manifestasi Klinis


Uveitis anterior biasanya unilateral dengan onset akut. Gejala
uveitis anterior adalah mata merah tanpa sekret, dengan atau tanpa
penurunan ketajaman penglihatan, nyeri, dan fotofobia. Nyeri pada
uveitis anterior bersifat tumpul, bertambah pada penekanan kelopak
mata, dan dapat menjalar ke pelipis. Nyeri hebat dapat berhubungan
dengan peningkatan tekanan intraokular. Pada kasus uveitis kronis,
pasien mungkin tidak memiliki keluhan nyeri, sehingga keluhan utama
adalah gangguan penglihatan (Harthan et al., 2016; Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2017; Riordan-Eva and Augsburger, 2018)
Tanda umum uveitis anterior meliputi injeksi sirkumkorneal dan
flare dan cells pada bilik mata depan. Injeksi sirkumkorneal disebabkan
karena dilatasi pembuluh darah episklera akibat inflamasi pada korpus

16
siliare. Pasien mungkin juga dapat mengalami injeksi difus atau injeksi
bentuk campuran. Flare dan cells pada humor akuos disebabkan karena
sel-sel inflamasi dan protein pada bilik mata depan (Gambar 8). Jika
cells cukup padat, dapat terbentuk hipopion, yang merupakan kumpulan
sel-sel inflamasi yang berkumpul di bilik mata depan bagian inferior
(Gambar 9) (Harthan et al., 2016).

Gambar 8. Flare dan cells (Agrawal et al., 2010); Gambar 9. Hipopion


dan injeksi campuran pada uveitis anterior (Bajoria and Biswas, 2018)
Selain ditemukan flare dan cells pada BMD, juga sering terlihat
deposit selular pada endotel kornea pada pasien dengan inflamasi aktif,
yang dikenal sebagai keratic precipitates (KP). Keratic precipitates (KP)
dapat berukuran besar yang disebut dengan “mutton fat” atau
granulomatosa, berukuran kecil dan non granulomatosa, atau stellate.
Keratic precipitates granulomatosa atau non granulomatosa biasanya
terletak inferior di daerah berbentuk baji yang dikenal sebagai Arlt’s
triangle. Stellate keratic precipitates biasanya terdistribusi merata di
seluruh endotel kornea dan mungkin terlihat pada uveitis karena HSV,
VZV, CMV, toxoplasmosis, fuchs heterochromic iridocyclitis, dan
sarcoidosis (Harthan et al., 2016; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

17
Gambar 10. Granulomatous keratic precipitates pada endotel kornea
inferior di Arlt’s triangle (Riordan-Eva and Augsburger, 2018)
Miosis dapat terjadi karena spasme dari sfingter iris atau distensi
pembulub darah iris. Iris nodules merupakan indikator dari inflamasi
granulomatosa dan dapat terlihat dalam tiga bentuk, yaitu Busacca
nodules (di dalam stroma iris) dan Koeppe’s nodules (margin iris), dan
Berlin nodules (di sudut bilik mata depan). Busacca nodules umum
terlihat pada uveitis anterior granulomatosa, sedangkan Koeppe’s
nodules terlihat pada uveitis anterior granulomatosa dan non
granulomatosa (Gambar 11 dan Gambar 12). Dengan inflamasi kronis
dan iskemia, atrofi iris dapat berkembang (Gambar 13). Terkadang dapat
ditemukan sinekia posterior, yaitu perlekatan antara iris dan lensa
(Gambar 14) (Harthan et al., 2016; Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2017; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

Gambar 11. Busacca ndoules; Gambar 12. Koeppe’s nodules; Gambar


13. Atrofi Iris (Bajoria and Biswas, 2018)

Gambar 14. Sinekia posterior dan iris nodules: A. Koeppe’s nodules; B.


Busacca nodules; dan C. Berlin nodules (American Academy of
Ophtalmology, 2011)

18
Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengalami perubahan pada
tekanan intraokular. Tekanan intraokular biasanya menurun yang
disebabkan karena rendahnya produksi humor akuos akibat peradangan
korpus siliar. Tekanan intraokular dapat meningkat jika aliran humor
akuos terhambat melalui trabecular meshwork yang disebabkan ketika
sel-sel inflamasi dan pigmen menyumbat trabecular meshwork.
Komplikasi yang lebih parah ketika TIO meningkat karena peripheral
anterior synechiae (PAS) mengobstruksi trabecular meshwork atau jika
sinekia posterior membentuk blok pupil (Harthan et al., 2016).

2.7. Diagnosis
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap penting untuk penegakkan
diagnosis uveitis anterior. Anamnesis terkait riwayat penyakit
sekarang dalam hal onset dan progresivitas gejala, perjalanan
penyakit, riwayat pengobatan terutama obat tetes yang
mengandung kortikosteroid harus dipastikan. Riwayat penyakit
mata juga perlu ditanyakan untuk memastikan ada tidaknya
serangan uveitis berulang sebelumnya dan respon terhadap
pengobatan, serta riwayat trauma atau operasi pada mata (Bajoria
and Biswas, 2018)
Berbagai penyakit sistemik dapat menyebabkan uveitis.
Riwayat nyeri dan bengkak pada sendi yang mengarah ke artritis,
gejala sistem saraf pusat, dan gejala pada traktus gastrointestinal
perlu ditanyakan. Selain itu, riwayat penyakit kulit baru-baru ini
juga perlu diketahui (Agrawal et al., 2010).
2.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.

19
2.5.
2.6.
2.7.
2.7.1.
2.7.2. Pemeriksaan Okular
Injeksi sirkumkorneal merupakan tanda utama pada uveitis
anterior. Biasanya injeksi berlokasi pada area perilimbal. Nodul
konjungtiva juga perlu dievaluasi yang mungkin ada pada
penyakit sarcoidosis. Edema kornea perlu dicari, meliputi skar
atau lesi aktif. Keratic precipitates juga tidak boleh terlewat.
Ukuran dan lokasi distribusi dari KP harus diperhatikan (Bajoria
and Biswas, 2018; Mehta and Thulasidas, 2021).
Saat memeriksa bilik mata depan, lihat kedalaman BMD,
cari flare dan cells untuk mengklasifikasikan grade uveitis. Jika
ada hipopion, catat tipe, warna, dan luasnya. Cari juga ada atau
tidaknya eksudat/fibrin/hifema (Bajoria). Pigmen dan opasitas
pada kapsul anterior lensa juga perlu dicari dengan hati-hati.
Pembentukan katarak merupakan komplikasi umum pada kasus
uveitis kronis dan penggunaan jangka panjang terapi
kortikosteroid.
Pemeriksaan pupil harus dilakukan sebelum diberikan tetes
midriatikum. Ukuran, bentuk, dan refleks pupil perlu diperiksa
dan dicatat secara hati-hatil. Pupil pada uveitis anterior biasanya
miosis karena iritasi sfingter iris oleh toksin dan sel-sel inflamasi
serta berbentuk ireguler karena pembentukan sinekia anterior atau
posterior. Refleks pupil mungkin menurun karena edema dan
hiperemis pada iris. Pemeriksa perlu mencari adanya iris nodules,
seperti Koeppe’s nodules, Busacca nodules, dan Berlin nodules,
serta atrofi iris (Bajoria and Biswas, 2018).
Pemeriksaan visus perlu dilakukan, biasanya pada pasien
uveitis ditemukan penurunan ketajaman penglihatan. Tekanan

20
intraokular pada uveitis dapat meningkat atau menurun (Bajoria
and Biswas, 2018; Mehta and Thulasidas, 2021).

Gambar 14. The Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN)


Working Group Grading Scheme of Anterior Chamber Flare
(Bajoria and Biswas, 2018)

Gambar 14. The Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN)


Working Group Grading Scheme of Anterior Chamber Cells
(Bajoria and Biswas, 2018)
2.3.
2.3.
2.3.
2.3.
2.3.
2.3.
2.3.
2.3.1.
2.3.2.
2.7.3. Pemeriksaan Sistemik

21
Sekitar 26% dari kasus anterior uveitis berhubungan
dengan penyakit sistemik. Oleh karena itu, pemeriksaan sistemik
yang menyeluruh perlu dilakukan, seperti swan neck deformity
yang umum ditemukan pada rheumatoid arthritis, perubahan
postur tubuh pada ankylosing spondylitis, pada wajah juga perlu
dicari ada tidaknya skar yang disebabkan oleh herpes zoster
ophtalmicus atau VZV (Bajoria and Biswas, 2018; Mehta and
Thulasidas, 2021).
2.7.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak perlu dilakukan
pada pasien dengan uveitis ringan dan riwayat trauma atau
operasi mata, atau pada pasien dengan bukti yang jelas ke arah
infeksi virus. Pemeriksaan laboratorium cenderung ditunda pada
pasien usia muda hingga paruh baya, sehat, dan asimptomatik
dengan episode pertama iritis atau iridosiklitis akut ringan sampai
berat, unilateral, nongranulomatosa yang segera berespon
terhadap pengobatan kortikosteroid topikal dan agen
siklopegik/midriatikum. Pasien dengan uveitis anterior berat,
berulang, granulomatosa, atau uveitis intermediat, posterior, atau
panuveitis, serta pasien yang gagal respon terhadap terapi uveitis
standar harus dilakukan pemeriksaan laboratorium (Riordan-Eva
and Augsburger, 2018).
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan
leukositosis pada uveitis yang disebabkan karena infeksi. Laju
endap darah (LED) dapat meningkat sebagai indikator non
spesifik dari penyakit sistemik. Uji mantoux merupakan tes non
spesifik yang dapat mengindikasikan adanya paparan sebelumnya
terhadap bacilli tuberkel. Pemeriksaan venereal disease research
laboratory test (VDRL) dan treponema pallidum
hemagglutination test (TPHA) dapat dilakukan pada pasien sifilis.
Pemeriksaan human leukocyte antigen (HLA) B27 dapat

22
dilakukan pada pasien uveitis anterior dengan serangan berulang.
Pemeriksaan rontgen thoraks juga dapat melihat adanya
tuberculosis. Sacroiliac joint x-ray dapat dilakukan pada pasien
ankylosing spondylitis (Agrawal et al., 2010).
Pemeriksaan B-scan ultrasonograpy, fluorescein
angiography, dan optical coherence tomography (OCT)
terkadang perlu dilakukan untuk menilai segmen posterior mata
(Agrawal et al., 2010).

2.8. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana uveitis adalah untuk mengontrol inflamasi
secara efektif, mengurangi nyeri dan fotofobia, mengembalikan fungsi
penglihatan, sekaligus untuk mengurangi risiko kebutaan dari komplikasi
struktural dan fungsional, seperti katarak, glaukoma, dan sinekia
posterior. Umumnya, tatalaksana medikamentosa uveitis anterior non
infeksius meliputi siklopegik atau midriatikum topikal, kortikosteroid
topikal atau sistemik, dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID) topikal atau sistemik (Agrawal et al., 2010; American
Academy of Ophtalmology, 2011).
Agen siklopegik atau midriatikum topikal memberikan keuntungan
karena dapat melepaskan atau mencegah pembentukan sinekia posterior
yang akan menjaga pupil tetap mobile. Agen siklopegik juga dapat
memberikan rasa nyaman dengan mengurangi spasme m. ciliaris dan m.
sphincter pupillae yang terjadi pada uveitis anterior akut. Selain itu, agen
siklopegik dapat menstabilkan blood-aqueous barrier dan membantu
mencegah kebocoran protein (flare) lebih lanjut. Agen
midriatikum/siklopegik short acting topikal yang biasanya lebih dipilih,
seperti atropine 0.5%, 1%, 2%, homatropine 2%, 5%, cyclopentolate
0.5%, 1%, 2% atau injeksi subkonjungtiva midrikain (adrenalin, atropine,
dan prokain) (Agrawal et al., 2010; Subardjo, Agni and Nugroho, 2017).
Kortikosteroid adalah drug of choice dalam terapi uveitis anterior.
Steroid bekerja dengan memodifikasi dan menurunkan respon inflamasi

23
pada mata. Steroid menghambat kedua jalur siklooksigenasi dari respon
inflamasi. Obat tetes steroid diberikan dengan interval waktu mulai dari
satu kali sehari sampai setiap jam. Steroid juga dapat diberikan dalam
sediaan salep mata untuk penggunaan pada malam hari atau jika bahan
pengawet dalam tetes mata tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien. Pilihan steroid topikal harus berdasarkan keparahan dari uveitis.
Pada kasus uveitis anterior berat, steroid kuat seperti prednisolone
acetate lebih dipilih, sedangkan pada kasus uveitis anterior ringan steroid
topikal yang lebih lemah seperti bethametasone atau dexamethasone
dapat dipakai. Komplikasi steroid topikal yang perlu diwaspadai adalah
glaukoma dan katarak (Agrawal et al., 2010; American Academy of
Ophtalmology, 2011).
Jika dengan pemberian steroid topikal tidak memadai, injeksi
kortikosteroid periokular atau steroid sistemik harus dipertimbangkan.
Terdapat 2 macam injeksi kortikosteroid, yaitu injeksi subtenon anterior
yang digunakan untuk uveitis anterior yang parah atau resisten, dan
injeksi subtenon posterior yang digunakan untuk uveitis intermediat atau
alternatif dari terapi sistemik pada uveitis posterior. Triamcinolo
acetonide (40 mg) dan methylprednisolone acetate (40-80 mg)
merupakan agen yang paling umum digunakan untuk injeksi
kortikosteroid (American Academy of Ophtalmology, 2011; Subardjo,
Agni and Nugroho, 2017).
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk uveitis kronis yang
mengancam penglihatan saat steroid topikal tidak cukup memadai atau
ketika pasien juga memiliki penyakit sistemik yang membutuhkan terapi.
Prednisone adalah pilihan steroid sistemik yang paling sering digunakan
dengan dosis 1-2 mg/kg/hari, yang secara gradual di tappering-off tiap 1
sampai 2 minggu sampai tanda inflamasi sudah tenang (American
Academy of Ophtalmology, 2011).
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) bekerja dengan
menghambat cyclooxygenase (COX) 1 dan 2 atau COX 2 saja dan

24
menurunkan sintesis prostaglandin yang memediasi inflamasi. Obat
NSAID yang biasanya digunakan meliputi indomethacin, flurbiprofen,
dan sodium diklofenak. Akan tetapi, bila hanya digunakan sendiri,
efikasinya dalam mengobati inflamasi intraokular akut belum diketahui
(Agrawal et al., 2010).
Monitor respon pengobatan meliputi ketajaman penglihatan dan
grading dari flare dan cells di BMD. Pasien biasanya dijadwalkan untuk
kontrol setelah 1 minggu pengobatan dengan kortikosteroid. Jika tanda
inflamasi sudah berkurang dan pasien menunjukkan tanda-tanda
perbaikan, dosis steroid mulai di tappering-off. Uveitis anterior kronis
mungkin membutuhkan penggunaan steroid topikal dosis rendah jangka
panjang. Ketika pasien tersebut merupakan steroid responder (individu
yang mengalami peningkatan TIO setelah penggunaan steroid),
disarankan pengobatan bersamaan dengan beta-blocker kecuali terdapat
kontraindikasi. Ketika kondisi pasien sudah stabil, kontrol dapat
dilakukan tiap 1-6 bulan (Agrawal et al., 2010).
Pada kasus uveitis anterior infeksius, diberikan pengobatan
sistemik sesuai dengan etiologi nya dikombinasikan dengan steroid
topikal. Pasien dengan uveitis anterior karena herpes harus diberikan
antivirus oral, yaitu asiklovir 400 mg (800 mg untuk herpes zoster) 5 kali
sehari, valasiklovir 500 mg (1000 mg untuk herpes zoster) 3 kali sehari,
atau famsiklovir 500 mg 3 kali sehari merupakan dosis yang secara
efektif dapat mengobati pasien dengan infeksi herpes aktif dan inflamasi
okular (Harthan et al., 2016). Manajemen multidisiplin diperlukan pada
kasus uveitis anterior bakterial, terutama karena tidak ada protokol
terapeutik yang ditentukan, terutama dalam kasus uveitis tuberkulosis
(Gueudry and Muraine, 2018).

2.9. Komplikasi
Komplikasi segmen posterior mungkin terjadi, terutama
keterlibatan diskus optikus atau edema makula. Terjadinya hipertensi
okular kronis dan kemudian glaukoma merupakan komplikasi utama

25
uveitis anterior. Katarak, didorong oleh pengobatan kortikosteroid lokal
atau sistemik jangka panjang, sering mempersulit uveitis anterior karena
peradangan kronis dan adanya sinekia posterior (Gueudry and Muraine,
2018; Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

2.10.Prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis dari uveitis tergantung pada
keparahan, lokasi, dan penyebab inflamasi. Secara umum, inflamasi yang
berat membutuhkan waktu pengobatan yang lebih lama dan sangat
mungkin untuk menimbulkan kerusakan intraokular dan kebutaan
dibandingkan inflamasi ringan atau sedang. Selain itu, uveitis anterior
memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan uveitis intermediat,
posterior, atau panuveitis (Riordan-Eva and Augsburger, 2018).

26
BAB III

KESIMPULAN

Uveitis anterior merupakan tipe uveitis yang paling sering terjadi dan
disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Gejala uveitis meliputi mata merah
tanpa sekret, dengan atau tanpa penurunan penglihatan, nyeri tumpul, dan
fotofobia. Injeksi sirkumkorneal dan adanya flare dan cells pada bilik mata depan
merupakan tanda umum uveitis anterior. Uveitis anterior dapat mengancam
penglihatan dan menyumbang sekitar 10-20% kasus kebutaan sehingga penyakit
ini perlu didiagnosis dan diobati secara tepat dan cepat oleh dokter. Dengan
memahami diagnosis dan etiologi yang mendasari, memungkinkan dokter pada
layanan primer dapat secara efektif mengelola penyakit. Diagnosis uveitis yang
tepat didasatkan pada anamnesis yang lengkap, memahami penyakit sistemik yang
mungkin berkaitan dengan uveitis anterior, pemeriksaan mata dan fisik yang teliti,
serta melakukan pemeriksaan laboratorium yang kemungkinan sesuai dengan
dugaan penyebab yang mendasari. Setelah diagnosis dibuat, pendekatan terapi
dapat ditargetkan atau dapat memutuskan untuk merujuk pada dokter spesialis
mata. Jika diagnosis dan terapi dilakukan secara tepat dan cepat, uveitis anterior
dapat diobati tanpa sekuel jangka panjang dan jika ada komplikasi, dapat diatasi
jika dideteksi segera.

27
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, R. V. et al. (2010) ‘Current approach in diagnosis and management of


anterior uveitis’, Indian Journal of Ophthalmology, 58(1), pp. 11–19. doi:
10.4103/0301-4738.58468.
American Academy of Ophtalmology (2011) Intraocular Inflammation and
Uveitis, Basic and Clinical Science Course. Singapore: American Academy
of Ophtalmology. doi: 10.1111/j.1442-9071.2008.01751.x.
Bajoria, S. K. and Biswas, J. (2018) ‘Recent approach in diagnosis and
management of anterior uveitis’, Journal of Clinical Ophthalmology and
Research, 6(3), pp. 36–41. doi: 10.4103/jcor.jcor.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2017) Buku Ajar Oftalmologi. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Gueudry, J. and Muraine, M. (2018) ‘Anterior uveitis’, Journal Francais
d’Ophtalmologie, 41(1), pp. e11–e21. doi: 10.1016/j.jfo.2017.11.003.
Harthan, J. S. et al. (2016) ‘Diagnosis and treatment of anterior uveitis:
Optometric management’, Clinical Optometry, 8, pp. 23–35. doi:
10.2147/OPTO.S72079.
Jogi, R. (2009) Basic Ophthalmology. 4th editio, Jaypee. 4th editio. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical.
Mehta, B. and Thulasidas, M. (2021) ‘Clinical approach to a case of anterior
uveitis - A non-systematic review’, The Pan-American Journal of
Ophthalmology, 3(1), p. 13. doi: 10.4103/pajo.pajo_81_21.
Riordan-Eva, P. and Augsburger, J. J. (2018) Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. 19th editi, Mc Graw Hill Education LANGE. 19th editi.
United States: Mc Graw Hill Education.
Subardjo, Agni, A. N. and Nugroho, A. (2017) Ilmu Kesehatan Mata. 2nd ed,
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Gadjah Mada. 2nd ed.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

28

Anda mungkin juga menyukai