Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang perlu diupayakan dalam
mencapai tujuan organisasi yang efektif. Pengawasan dalam lembaga Zakat dapat di definiskan
sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen dapat tercapai.
Dengan adanya pengawasan dapat mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan,
pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, kegagalan dalam pencapaian tujuan dan
pelaksanaan tugastugas organisasi.
Pengawasan pada umumnya adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan
organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan dengan
rencana yang ditetapkan1. Menurut Manullang pengawasan adalah suatu proses untuk
menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan bila perlu mengoreksi,
dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Sedangkan
Hasibuan berpendapat, pengawasan adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan
kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan
dapat terselenggara2.
Menurut George R. Terry dan Leslie W. Rie dalam bukunya dasar-dasar manajemen,
Controlling adalah untuk mengukur pelaksanaan dengan tujuan-tujuan, menentukan sebab-sebab
penyimpangan-penyimpangan dan mengambil tindakan korektif bila perlu 4. Sedangkan menurut
Horold Koontz dan Cryrill O’Donnel (1988: 490), pengawasan adalah pengukuran, koreksi atas
1
Sondang P Siagian, Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 1989, hal. 60
2
Manulang, Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2014, hal. 77
3
T Handoko, Manajemen, Yogyakarta: FE UGM, 2010, hal. 16
4
G. R. Terry, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Bina Aksara, 2003, hal. 35
1
pelaksanaan kerja dengan maksud untuk mewujudkan kenyataan atau menjamin bahwa tujuan-
tujuan organisasi dan rencana yang disusun dapat/telah dilaksanakan dengan baik5.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan seorang pimpinan untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi kerja
personil dengan menggunakan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Apabila terjadi penyimpangan atau kesalahan dalam pelaksanaan tugas
dapat segera diadakan tindakan perbaikan, sehingga tujuan yang ditetapkan dapat dicapai sesuai
dengan rencana yang ditetapkan.
2. Pengukuran dan pengamatan terhadap jalannya operasi atau tugas. Untuk kegiatan
ini perlu diadakan pencatatan (record) sebagai laporan perkembangan proses
manajemen.
3. Penafsiran dan perbandingan hasil yang dicapai terhadap standar yang diminta.hal
ini dilakukan untuk mengetahui apakah hasil prestasi kerja telah sesuai standar,
sejauh mana terdapat penyimpangan dan apa saja faktor-faktor penyebabnya.
5
Horold Koontz dan Cryrill O’Donnel, Manajemen Jilid I, Jakarta: Erlangga, 1988, hal. 490
2
5. Membandingkan hasil (output) dengan input (masukan). Hasil pengukuran ini akan
memperlihatkan tingkat efisiensi kerja dan produktivitas sumber daya yang ada.
Hasil perbandingan ini dapat digunakan untuk penyusunan rencana yang baru6.
Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria-
kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya; 1) mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, 2)
tepat waktu,3) dengan biaya yang efektif, 4) tepat-akurat, dan 5) dapat diterima oleh yang
bersangkutan.Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan.
Karakteristik-karakteristik pengawasan yang efektif dapat lebih diperinci sebagai berikut :
1. Akurat .Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak akurat
dari sistempengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi
yang keliru atau bahkanmenciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada.
6
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hal. 214-215.
3
pekerjaan dapat mempengaruhi suksesatau kegagalan keseluruhan operasi, dan (2)
informasi pengawasan harus sampai pada seluruhpersonalia yang memerlukannya.
C. Metode Pengawasan
Metoda pengawasan terbagi menjadi dua; metoda pengawasan non kuantitatif dan metoda
pengawasan kuantitatif.
4) evaluasi pelaksanaan,
1) anggaran (budget),
Berdasarkan UU No.23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 34 dan 35 bahwa
yang berhak memberikan pengawasan adalah menteri, gubernur, bupati/walikota, dan juga
7
Handoko, hal. 374
4
masyarakat pada masing-masing wilayah domisili. Menteri yang dimaksud adalah Menteri
Agama Republik Indonesia, dalam hal ini adalah pejabat Kementerian Agama.
Pejabat Kementerian Agama yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam bidang
perzakatan adalah pejabat yang berada pada Direktorat Pemberdayaan Zakat, seperti Direktur
Pemberdayaan Zakat, para Kasubdit atau Kasi, atau orang-orang Kementerian Agama yang
memiliki spesialisasi dan pengalaman dalam bidang zakat
Yang dimaksud dengan masyarakat, antara lain adalah tokoh agama, tokoh masyarakat,
akademisi, atau professional yang mengatahui fikih zakat, dan peraturan pengelolaan zakat di
Indonesia.
Pengawasan dilakukan terhadap kinerja BAZNAS dan LAZ secara internal oleh
pengawas internal pada masing-masing lembaga. Sedangkan secara eksternal oleh pemerintah
dan masyarakat. Ruang lingkup pengawasan meliputi keuangan, kinerja BAZNAS atau LAZ,
pelaksanaan peraturan perundangan dan prinsip-prinsip syariah. Komisi pengawasan dapat
meminta bantuan akuntan publik untuk membantu kerja pengawas. Kegiatan pengawasan
dilakukan terhadap rancangan program kerja, pelaksanaan program kerja pada tahun berjalan dan
tahun buku berakhir.
Hasil pengawasan disampaikan kepada badan pelaksana, dan dewan Pembina untuk
dibahas tindak lanjutnya, sebagai bahan pertimbangan atau bahan prnjatuhan sanksi apabila
ditemukan unsur pelanggaran.
1. Akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan
LAZ; dan
5
Undang-undang telah mengatur tentang pengawasan lembaga pengelola zakat, dengan
menunjuk menteri, gubernur, bupati/walikota menjadi pengawas. Lalu seberapa efektifkah
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga pengelola zakat.
Apabila melihat tugas utama yang telah diemban oleh masing-masing pimpinan, maka
rasa pesimis akan muncul terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Dimungkin
pengawasan yang akan terjadi adalah pengawasan yang pasif, hanya menunggu laporan, atau ada
kejadian, baru ada tindakan pengawasan, bukan pengawasan aktif, yang senantiasa mengikuti
perkembangan pengelolaan di BAZNAS dan LAZ, hal tersebut dikarenakan sudah memiliki
tugas pokok masing-masing. Sehingga pengelolaan yang hanya part time, mengandalkan sisa
waktu masih akan terjadi dalam pengelolaan zakat.
Sebagaimana tertuang dalam bab VII pasal 36 bahwa, sanki memiliki keterkaitan dengan
beberapa pasal sebelumnya, yakni pasal 19, 23 (ayat 1), pasal 28 (ayat 2 dan 3) dan pasal 29
(ayat 3). Adapun pelanggaran ayng dilakukan akan dikenai sanksi administrative berupa:
a. Peringatan tertulis
6
c. Pencabutan izin
Apabila baru pertama kali tidak memberikan laporan, maka sanksinya adalah peringatan
tertulis. Apabila tidak memberikan laporan yang kedua kalinya, maka sanksinya adalah
penghentian sementara operasional pengelolaan lembaga tersebut. Dan apabila masih juga tidak
memberikan laporan untuk yang ketiga kali, maka sanksinya adalah pencabutan izin
Pada pasal 23 ayat 1 juga dinyatakan bahwa “BAZNAS dan LAZ wajib memberikan bukti
setoran zakat kepada setiap muzakki”. Artinya setlap muzakki yang sudah menyetorkan zakatnya
wajib mendapatkan bukti setoran, baik diminta ataupun tidak. Hal ini akan meruaot bukti resmi
penerimaan zakat. Jika hal inl tidak dilakukan LPZ, berarti sudah melanggar aturan yang
ditetapkan Undang-Undang No. 23 tahun 2011.
Serupa dengan pasal 28, dinyatakan bahwa “pendistribusian dan pendayagunaan infak,
sedekah dan dana sosial keagamaan lamnya, harus dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan
sesuai dengan peruntukan ikrar sipemberi” (ayat 2). “Dan harus dicatat dalam pembukuan
tersendiri” (ayat 3). Artinya dana zakat dipandang berbeda dengan infak, sedekah dan dana sosial
keagamaan lainnya.8
8
Kementrian Agama RI, Direktorat Jendral BMI dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Pedoman Pengawasan LPZ,
Jakarta, 2012, hal.26
7
Selain sanksi administrasi, UU Pengelolaan Zakat juga memberikan sanksi pidana bagi
pengelola zakat, apabila melakukan pelanggaran pidana. Pasal 39 menyebutkan:‛Setiap orang
yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan
ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Adapun bunyi pasal 25yang
dimaksud dalam pasal 39 adalah:‛ Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan
syariat Islam”.
Sanksi pidana juga diterapkan bagi setiap orang yang melakukan tindakan memiliki,
menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau
dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya. Adapun sanksinya sebagai mana
bunyi pasal 40 adalah:‛ Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sanksi pidana ini terkait dengan penyelewengan dana zakat, tanpa didistribusikan kepada
mustahik.
Sedangkan sanksi pidana yang terakhir adalah sebagaimana yang tertera dalam pasal 41,
yang berbunyi: ‛Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 38
berbunyi:‛ Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan
pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang‛.
Pasal 38 ini merupakan hal yang baru dalam pengelolaan zakat. Inti dari pada pasal 38
adalah setiap lembaga yang melakukan pengelolaan zakat harus mendapat izin tertulis terlebih
dahulu dari BAZNAS. Tujuan dari pasal ini adalah agar lembaga pengelola zakat terdata
sehingga dapat dibina dan diawasi. Selain itu apabila lembaga pengelola zakat melakukan hal-hal
yang melanggar, akan dengan mudah dimintai pertanggungan jawab.9
Semua keterangan diatas menjadi bagian dari kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
oleh Lembaga Pengelola Zakat, baik BAZNAS ataupun LAZ. Kewajibankewajiban ini tentunya
9
H. Ahmad Furqon,Lc,M.A , Manajemen Zakat, hal. 102-103
8
harus dan bahkan wajlb dilakukan, tanpa ada pengecualian. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
ada saja lembaga yang lupa, lalai ataupun salah dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban
tersebut. Bagi lembaga yang tidak memenuhi salah satu dari beberapa aturan dan kewajiban yang
sudah ditetapkan Undanq-Undanq no. 23 tahun 2011, tentunya akan mendapat sanksi.
Aturan umum yang berlaku untuk tahap awal adalah berupa peringatan tertulis. Peringatan
tersebut tentunya disesuaikan dengan tingkatan pelanggarannya. Artinya, jika pelanggaran yang
dilakukan masih bisa diakomodir atau ditoleran, maka cukup dengan peringatan tertulis.
Peringatan tertulis untuk pelanggaran yang masih bisa ditolerir berlaku sampai tiga kali
peringatan. Setelah itu baru dilakukan tindakan tegas.
Diantara bentuk tindakan tegas yang dapat dilakukan antara lain pencabutan pengukuhan
untuk selanjutnya, pemerintah dapat membentuk kembali BAZNAS dengan susunan pengurus
yang baru. Artinya pengurus yang lama tidak dapat menjalankan tugasnya secara baik, terutama
terkait dengan kewajiban-kewajiban yang harus mereka lakukan. Karena harus dilakukan
pengukuhan ulang dengan susunan pengurus baru yang memillki komitmen dan kinerja yang
lebih baik dalam mengemban amanat yang diberikan.10
10
Kemenag, Direktorat Jendral dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Pedoman Pengawasan LPZ, Jakarta, 2012, hal.
27
9