Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL KEPERAWATAN HIV-AIDS

SKENARIO 1

Disusun Oleh :

KELOMPOK : 4

Adinda Chofifah Mazaya 1910913220008


Cahya Mustika Putri 1910913220004
Desty Kartika Atni 1910913220009
Gusti Akhmad Riqi Pujianur 1910913210031
Kharin Gutary 1910913220005
Nanda Sylira Putri 1910913220002
Norjehan Rihadatul Aisy 1910913220007
Nur Tias Setianingsih 1910913220001
Siti Kurnia Mayasari 1910913220003
Yoga Maulana Hernowo 1910913210038

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Dosen Tutor : Fitri Ayatul Azlina, S.Kep., Ns., M.Kep


Kelompok :4
Ketua Kelompok : Gusti Akhmad Riqi Pujianur
Anggota Kelompok : Adinda Chofifah Mazaya
Cahya Mustika Putri
Desty Kartika Atni
Gusti Akhmad Riqi Pujianur
Kharin Gutary
Nanda Sylira Putri
Norjehan Rihadatul Aisy
Nur Tias Setianingsih
Siti Kurnia Mayasari
Yoga Maulana Hernowo

Banjarbaru, 25 November 2021


Dosen Tutor

(Fitri Ayatul Azlina, S.Kep., Ns., M.Kep)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan selesai tepat pada waktunya. Kami juga turut mengucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing kami, Ners Fitri Ayatul Azlina, S.Kep., M.Kep. yang telah
memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas tutorial pada Mata Kuliah
Keperawatan HIV/AIDS. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengharap pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun. Harapan kami semoga berbagai
saran dan kritik yang disampaikan bersifat membangun sehingga dapat menjadi bekal
penulis untuk menyempurnakan penulisan selanjutnya. Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan dapat berguna bagi kami maupun
pembaca.

Banjarbaru, 25 November 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ...............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. SKNARIO/LMB (LATAR BELAKANG MASALAH) .................................. 1


B. ANALISA KASUS........................................................................................... 1
1. Langkah 1 Klarifikasi/Identifikasi Masalah ............................................... 1
2. Langkah 2 Membuat Daftar Masalah ......................................................... 1
3. Langkah 3 Menganalisa Masalah ............................................................... 2
4. Langkah 4 Pohon Masalah ......................................................................... 4
5. Langkah 5 Sasaran Belajar ......................................................................... 4
6. Langkah 7 Menganalisis Sasaran Belajar .................................................. 5
C. MASALAH KEPERAWATAN DAN PERENCANAAN............................ 19
D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI ........................................................... 23
E. PERTANYAAN UNTUK KULIAH PAKAR .............................................. 27

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 28

A. Definisi HIV/AIDS ........................................................................................ 28


B. Etiologi HIV/AIDS ........................................................................................ 28
C. Gejala HIV/AIDS .......................................................................................... 28

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 30

A. KESIMPULAN ............................................................................................. 30
B. SARAN .......................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. SKENARIO
Ny R (30 tahun), datang kepoli klinik Kesehatan Ibu dan anak untuk
memeriksakan kehamilannya yang memasuki minggu ke 34. Pada Ny R telah tegak
diagnose HIV sejak 3 bulan yang lalu setelah kematian suaminya karena HIV/AIDS.
Keadaan Ny R secara umum baik, tanda-tanda vital normal, Ny R nampak
murung dan sering menyampaikan sangat menyesalkan perilaku mendiang suaminya
yang menyebabkan dia dan anaknya harus menanggung akibatnya. Keluarga Ny R
belum mau menerima untuk merawat dan bayinya saat setelah melahirkan, Ny. R
kadang merasa dikucilkan oleh masyarakat. Ny R mengatakan kadang merasa putus
asa dengan kondisinya sekarang.
Perawat konselor telah melakukan pendampingan pada Ny R. Merencanakan
memberikan mediasi antara keluarga dan Ny R.

B. ANALISIS KASUS
1. Langkah 1 (Identifikasi Istilah)
Pada langkah 1 ini, kami diminta untuk menemukan istilah atau konsep
yang ada dalam scenario atau latar belakang (LBM). Adapun istilah yang telah
berhasil kami identifikasi dari kasus/latar belakang masalah (LBM) yaitu Perawat
Konselor, kami memutuskan untuk mempunyai satu pengertian tentang istilah
Perawat Konselor, yaitu perawat yang melakukan konseling keperawatan sebagai
usaha memecahkan masalah secara efektif. Kegiatan yang dapat dilakukan antara
lain menyediakan informasi, mendengar secara objektif, memberi dukungan,
memberi asuhan keperawatan dan meyakinkan klien, menolong klien
mengidentifikasi masalah dan faktor-faktor terkait, memandu klien menggali
permasalahan dan memilih pemecahan masalah yang dikerjakan.
2. Langkah 2 (Mengumpulkan Daftar Masalah)
Pada Langkah 2 ini, kami diminta untuk membuat daftar masalah
berdasarkan pokok utama yang dibahas dalam skenario atau latar belakang

1
masalah (LBM). Adapun daftar masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut :
1) Apa pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk test HIV pada ibu
dengan kehamilan 34 minggu?
2) Bagaimana cara perawat mengajak ny. R untuk mau melakukan perawatan?
3) Bagaimana cara ketika si ibu melahirkan tidak menularkan ke bayinya?
4) Apa saja perawatan yang didapat oleh Ny. R selama 3 bulan?
5) Apakah gangguan yang dirasakan Ny. R bisa dilakukan terapi spiritualitas
pada Ny. R?
6) Apa yang melatarbelakangi stigma terhadap Ny. R dan apa tindakan yang
dilakukan terhadap stigma tersebut?
7) Jika anak Ny. R hasilnya positif HIV perawatan apa yang diberikan dan sejak
kapan diberikan?
8) Mediasi seperti apa yang dilakukan oleh perawat?
9) Apa kemungkinan terbesar penyebab Ny. R terkena HIV?
10) Apa saja tahap tindakan perawat konselor terhadap Ny. R dan keluarga?
11) Apakah pengobatan pada bayi positif HIV sama seperti orang dewasa?
Kemudian rute dan sejak kapan diberikan?
12) Apakah ada gangguan lain pada bayi yang dikandung Ny. R selain positif
HIV/AIDS karena gangguan psikologis terhadap Ny.R?
13) Sebagai perawat yang didahulukan apakah kesehatan fisik atau psikologis Ny.
R?
3. Langkah 3 (Menganalisis Masalah)
Pada langkah 3 ini, kami diminta untuk menganalisis masalah berdasarkan
pokok utama yang dibahas dalam skenario atau latar belakang masalah (LBM).
Adapun masalah yang dapat kami analisis adalah sebagai berikut :

1) (Sasaran Belajar)
2) Yang pertama perawat harus memahami kondisi pasien terlebih dahulu.
Kemudian mengajak pasien untuk berbincang sekaligus konseling untuk
memecahkan masalah yang dialami pasien agar tidak tambah parah.

2
3) Bayi dengan ibu positif HIV kemungkinan berisiko tertular juga, jadi saat ibu
melahirkan ada beberapa hal yang harus dilakukan agar si bayi tidak terlalu
lama terkena cairan di jalan lahir ibu, karena bayi berisiko karna terkena
cairan dari jalan lahir tersebut.
4) (Sasaran Belajar)
5) Bisa dilakukan terapi spiritualitas, karena terapi spiritualitas juga merupakan
koping positif terhadap klien sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup
klien itu sendiri. Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam
pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui
spiritual approach. Pada penelitian sebelumnya di tahun 2015 disebutkan
bahwa terapi spiritual ini memberi dampak yang signifikan terhadap pasien
HIV yang mengalami depresi. Karena Terapi spiritual yang dilakukan secara
tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas pasien tentang
penyakitnya. American Psychologists Association menyebutkan bahwa dalam
upaya peningkatan koping individu dikala sakit, serta mempercepat proses
penyembuhan selain terapi medis yang diberikan, maka aspek kebutuhan
spiritual perlu diperhatikan (Amal, 2018).
6) (Sasaran Belajar)
7) Bayi yang lahir dari ibu dengan HIV harus mendapat ARV profilaksis
(zidovudine) sejak umur 12 jam selama 6 minggu yang kemudian dilanjutkan
dengan profilaksis kotrimoksazol hingga diagnosis HIV dapat disingkirkan
atau usia 12 bulan; pemeriksaan PCR HIV pada bayi dilakukan pada saat
lahir, usia 1 bulan, 3-4 bulan, dan 18 bulan. Perlu dipantau efek jangka
pendek dan jangka panjang, efek samping termasuk gangguan perkembangan
bayi. Pemberian ASI ibu dengan HIV pada dasarnya dikontraindikasikan.
Namun, apabila susu formula tidak dapat diberikan karena alasan ekonomi,
ASI diberikan secara eksklusif tanpa campuran susu formula (Hartanto,
2019).
8) Mediasi yang perlu dilakukan adalah perawat menjelaskan tentang HIV
secara detail dan mengkomunikasikannya dengan baik, mungkin dengan cara
home care atau meminta keluarga Ny. R dan Ny. R nya ke RS.

3
9) Berdasarkan kasus disebabkan tertular dari mendiang suaminya.
10) (Sasaran Belajar)
11) Sebenarnya tidak ada perbedaan khusus antara pemberian obat pada anak dan
dewasa obatnya pun sama yaitu ARV tetapi pemberiannya saja yang berbeda
kalau pada bayi dalam bentuk sirup atau cairan sampai anak bisa
mengonsumsi sampai anak bisa menelan ARV tablet.
12) (Sasaran Belajar)
13) (Sasaran Belajar)

4. Langkah 4 (Pohon Masalah)

Ibu Hamil dengan HIV

Stigma Masyarakat terhadap Pasien HIV Konsep Penyakit HIV pada Ibu Hamil

Penyebab Stigma Masyarakat terhadap Asuhan Keperawatan terhadap Pasien


Pasien HIV HIV

Penangulangan stigma masyarakat


terhadap pasien HIV

5. Langkah 5 (Sasaran atau Tujuan Belajar)


1. Pertanyaan yang belum terjawab (1, 4, 6, 10, 12, 13)
2. Pohon masalah
3. Pencegahan bayi agar tidak tertular HIV? (Nurtias)
4. Psikologis si Ibu agar tidak membahayakan ibu dan bayi (Yoga)
5. Tindakan pengobatan terhadap pasien HIV yang sedang hamil (Adinda)
6. Perbedaan pasien HIV yang sedang hamil dan tidak (Ns. Alin)

4
6. Langkah 7 (Menganalisis Sasaran Belajar, Menentukan Pertanyaan untuk
Kuliah Pakar)
1. Pertanyaan yang belum terjawab (1, 4, 6, 10, 12, 13)

1) Pemeriksaan lab yang dilakukan untuk ibu hamil usia 34 minggu adalah
CD4 dan CD8 (Dewi Maharani, 2020). Tes yang dilakukan adalah tes
antibodi, antibody antigen, tes serologi, tes elisa, test western blood dan
test PCR, dan EIA (Kemenkes, 2015).
4) Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan
dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta
pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan
untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang
berhubungan dengan AIDS, dan meningkatkan kualitas hidup orang
terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian tujuan tersebut dapat
dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV).
Faktor penyebab penularan yang terpenting adalah jumlah virus dalam
darah sehingga perlu mendeteksi ibu hamil HIV positif dan memberikan
pengobatan ARV seawal mungkin sehingga kemungkinan bayi tertular
HIV menurun. Pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan
terapi terbaik bagi pasien terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) hingga saat ini. Tujuan utama pemberian ARV adalah untuk
menekan jumlah virus (viral load), sehingga akan meningkatkan status
imun pasien HIV dan mengurangi kematian akibat infeksi oportunistik.
(Kemenkes RI, 2011).

6) Yang melatarbelakangi stigma tersebut adalah karna keluarga merasa


penyakit HIV itu akan menularkan langsung ke mereka. Perawat harus
menjelaskan HIV secara detail (Yoga).
10) Langkah-langkah proses konseling HIV/AIDS ada lima tahap, yaitu
sebagai berikut (Saam, 2014):
a. Tahap Pertama (Tahap persiapan)

5
a) Menentukan jadwal, tempat dan kesiapan konselor dan pasien.
b. Tahap Kedua (Membangun hubungan baik dan terapeutik (BHSP))
c. Tahap Ketiga (Definisi dan pemahaman peran konselor dan klien)
a) Menjelaskan peran dan batasan dalam konseling serta
mengklarifikasi tujuan kebutuhan pasien.
d. Tahap Keempat (Proses konseling pada fase eksplorasi dan tindak
lanjut) Melakukan konseling dengan reality therapy dengan sistem
WDEP:
a) W : Wants
Menggali apa yang diinginkan pasien dan apa yang telah mereka
lakukan.
b) D : Direction (Arah)
Mengeksplorasi lebih jauh dengan mendiskusikan secara self-
talk, self-talk yang dimaksud adalah membicarakan mengenai
pikiran dan pandangan klien mengenai situasi hidupnya dan
keinginannya.
c) E : Evaluation
Konselor membantu pasien mengevaluasi perilaku klien selama
ini dan seberapa jauh pasien bertanggungjawab.
d) P : Plan (Rencana)
Pasien merancang rencana untuk kedepannya. Menurut
peraturan menteri kesehatan RI no 74 tahun 2014 apabila dalam
memberikan pelayanan Konseling dan Tes HIV diketahui pasien
terinfeksi HIV, maka Petugas kesehatan atau konselor HIV
wajib menganjurkan atau memberikan pengobatan sesuai
kewenangannya.
e. Tahap Kelima – Menutup atau mengakhiri konseling (Saam, 2014).
12) Pada ibu hamil dengan HIV akan terdapat komplikasi yatu rupture uteri,
bayi cacat, bayi premature, bayi tertular HIV (Maula S., 29014).
13) Berdasarkan kasus didapatkan untuk kondisi fisik Ny. R normal saja,
TTV nya pun normal, dan yang lebih ditekankan adalah kondisi

6
psikologis Ny. R sehingga perawat sebaiknya mendahulukan untk
menangani kondisi psikologis klien, karena pada salah satu jurnal apabila
kondisi psikologis pasien tidak segera ditangani maka ditakutkan
terjadinya syok, cemas, stress berlebihan, menyalahkan diri sendiri, dan
kehilangan harapan. Dimana jika stres yang dialami berlarut-larut dalam
intensitas yang tinggi dapat memperberat penyakit fisik dan mental
pasien yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas kerja dan
hubungan interpersonal pasien (Putri, 2021).
2. Pohon masalah
A. Konsep Penyakit HIV Pada Ibu Hamil
a. Penularan HIV
Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut (Hidayati
dkk, 2019):
1. Cairan genital: cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV
memiliki jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk
memungkinkan penularan, terlebih jika disertai IMS lainnya.
Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko dapat
menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal (Hidayati
dkk, 2019).
2. Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi
melalui kontaminasi darah seperti transfusi darah dan
produknya (plasma, trombosit) dan transplantasi organ yang
tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan medis
yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersama pada penasun, tato, dan tindik
tidak steril (Hidayati dkk, 2019).
3. Perinatal: penularan dari ibu ke janin/bayi. Penularan ke janin
terjadi selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi;
sedangkan ke bayi melalui darah atau cairan genital saat
persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi (Hidayati dkk,
2019).

7
b. Pencegahan
Pencegahan pada infeksi HIV pada ibu hamil harus dilakukan
secara rutin karena pada masa kehamilan ibu dengan HIV akan
terlibat langsung dengan layanan kesehatan. Salah satu layanan
kesehatan yang dilakukan yaitu program Antenatal Care (ANC)
sebelum kelahiran. Unit pelayanan kesehatan ibu dan anak adalah
garis depan dalam upaya pencegahan penularan dari ibu (HIV
positif). Pencegahan HIV untuk ibu hamil seharusnya dilakukan
pada trimester pertama atau trimester kedua sehingga bisa
meningkatkan sikap positif ibu HIV. Pada kenyataannya, yang
sering terjadi adalah ibu hamil terdeteksi HIV positif pada usia
kehamilan lanjut (trimester ketiga). Kebanyakan kasus yang
ditemukan dalam rapid assessment ini dapat dikatakan bahwa
seorang ibu mau melakukan tes HIV karena atas anjuran dari
dokter-dokter yang merawat anggota keluarga mereka (suami atau
anak) yang diduga terkena HIV positif, bukan karena layanan VCT
(Romdiyah & Alviana, 2020).
Adapun cara Pencegahan HIV-AIDS lainnya adalah sebagai
berikut (Elisanti, 2018):
1. Pencegahan Penularan Lewat Hubungan Seks.
a) Hubungan seks monogami merupakan hal yang paling
aman jika suami-istri tidak ada yang terinfeksi.
b) Hubungan seks yang ilegal atau di luar nikah
meningkatkan risiko HIV-AIDS.
c) Jangan melakukan hubungan seksual dengan pasangan
yang tidak diketahui kondisi kesehatannya. d. Risiko
berkurang dengan menghindari hubungan seks dengan
kelompok risiko tinggi seperti laki-laki homoseksual atau
biseksual, pemakaian obat secara intra vena (IV), pelacur
atau orang diketahui positif untuk antibodi HIV/AIDS.

8
d) Karena virus terbawa dalam air mani, pemakaian kondom
mengurangi risiko penularan.
2. Pencegahan Penularan Non-Seksual

a) Kelompok risiko tinggi tidak diperbolehkan menjadi donor


darah, donor organ, atau jaringan untuk transplantasi.
b) Pengguaan obat intra vena yang ilegal meningkatkan
risiko, hindari narkotika, psikotropika, zat aditif (NAFZA)
dan mabukmabukan.
c) Pemakaian jarum suntik dan alat lainnya (akupuntur, tato,
tindik, salon) harus dijamin sterilitasnya.
d) Petugas kesehatan yang terlibat dalam pekerjaan
inseminasi artifisial, transfusi darah atau produk darah
harus waspada terhadap risiko infeksi HIV/AIDS.
e) Sperma donor harus menjalani “screening antibody” pada
saat donasi dan di uji ulang setelah 3 bulan. Semen (air
mani) ini harus dibekukan dan tidak boleh di pakai
sebelum hasil test yang ke dua di ketahui.
3. Pencegahan Penularan Perinatal

a) Wanita hamil dengan infeksi HIV/ AIDS menghadapi


peningkatan risiko terkena HIV/ AIDS dibandingkan
dengan mereka yang tidak hamil.
b) Ibu yang darahnya telah diperiksa dan ternyata
mengandung virus HIV, sebaiknya jangan hamil. Karena
akan memindahkan virus HIV/ AIDS pada janinnya. 27
c) Wanita hamil dengan infeksi HIV/AIDS dapat menularkan
infeksi tersebut kepada bayinya yang baru lahir, pada
sekitar 50% kasus.
d) Bayi baru lahir yang mendapat HIV/AIDS menunjukkan
perjalanan penyakit yang parah dan masa hidup yang lebih
singkat dari pada pasien dewasa.

9
e) Saat memberikan “counselling‟ untuk kontrasepsi, selain
kebutuhan akan bentuk kontrasepsi yang mempunyai
efektivitas tinggi, seperti kontrasepsi oral, atau sterilisasi,
wanita yang menderita infeksi diberi informasi bahwa
pemakaian kondom mengurangi risiko penularan kepada
pasang.
c. Pengobatan HIV Pada Ibu Hamil
Umumnya pengobatan yang diberikan pada perempuan
terinfeksi HIV yang hamil adalah sama seperti pengobatan pada
perempuan dewasa yang tidak hamil. Namun pedoman pengobatan
untuk perempuan hamil adalah sedikit berbeda dengan pedoman
untuk orang dewasa lain (Green, 2016). Apabila seorang wanita
hamil ditemukan terinfeksi HIV, terapi ARV dapat langsung
diberikan tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur
kehamilan, selama seumur hidup tanpa terputus. Pemberian ARV
untuk menurunkan angka transmisi vertikal paling efektif dimulai
sejak awal kehamilan. Pemberian ARV maternal sebelum trimester
ketiga akan menurunkan risiko transmisi hingga kurang dari 5 dari
1000 kelahiran. Pemberian ARV saat persalinan atau beberapa jam
setelah melahirkan, dapat menurunkan transmisi hingga 50%. Perlu
ditekankan kepatuhan konsumsi ARV untuk menekan angka virus
dan meminimalkan transmisi perinatal. Regimen terapi ARV pada
wanita hamil pada dasarnya mirip dengan pasien tidak hamil.
Wanita yang telah mengonsumsi ARV sebelum kehamilan
disarankan melanjutkan regimennya (hindari stavudine, didanosin,
ritonavir dosis penuh) (Lie, 2019). Namun, obat yang diberikan
tergantung kepada masa kehamilan dan kondisi kehamilan saat
didiagnosis infeksi HIV (Green, 2016).
Untuk inisiasi ARV di Indonesia digunakan regimen sebagai
berikut (Lie, 2019):„
1) TDF + 3 TC (atau FTC) + EFV „

10
2) TDF + 3 TC (atau FTC) + NVP „
3) AZT + 3 TC + EFV „
4) AZT + 3 TC + NVP
Pilihan obat ARV yang tersedia di Indonesia adalah (Lie, 2019):
1) Tenofovir (TDF) 300 mg „
2) Lamivudin (3TC) 150 mg „
3) Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg „
4) Efavirenz (EFV) 200 mg dan 600 mg „
5) Nevirapine (NVP) 200 mg „
Kombinasi dosis tetap (KDT) (Lie, 2019): „
1) TDF+FTC 300 mg/200 mg „
2) TDF+3TC+EFV 300 mg/150 mg/600 mg
d. Pemeriksaan Penunjang pada Ibu Hamil dengan HIV
Sejak tahun 2006, CDC telah menganjurkan pemeriksaan
HIV pada semua ibu hamil, diulang pada trimester 3 pada wanita
berisiko tinggi dan tinggal di daerah berprevalensi tinggi. Ibu hamil
risiko tinggi adalah pengguna narkoba injeksi, prostitusi, dengan
pasangan seksual yang diduga atau diketahui terinfeksi HIV,
berganti-ganti pasangan seksual, adanya komorbiditas dengan
infeksi menular seksual (IMS) lain. Skrining HIV pada kunjungan
prenatal pertama meningkatkan kemungkinan terdiagnosisnya
infeksi HIV, sedangkan pemeriksaan HIV pada trimester 3
meningkatkan kemungkinan teridentifikasinya infeksi HIV baru.
Pemeriksaan HIV juga harus diikuti dengan skrining infeksi
menular seksual dan hepatitis pada semua ibu hamil (Lie, 2019).
Pemeriksaan yang dianjurkan untuk skrining awal adalah
immunoassay antigen/ antibodi generasi ke-4 walaupun beberapa
laboratorium masih menggunakan generasi ke-3 yang kurang
sensitif. Pemeriksaan generasi ke-4 diketahui dapat mendeteksi
antigen p24 serta antibodi IgG dan IgM HIV-1/2. Antibodi dapat
dideteksi pada kebanyakan pasien dalam 1 bulan infeksi, sehingga

11
pemeriksaan antibodi tidak dapat mengeksklusi infeksi awal. Jika
pemeriksaan awal reaktif, dilanjutkan dengan pemeriksaan
diferensiasi antibody immunoassay HIV-1/HIV2. Pemeriksaan
dilanjutkan dengan tes asam nukleat HIV-1 apabila tes diferensiasi
antibodi HIV-1 negatif atau indeterminate dengan hasil antibodi
HIV-2 negatif (Lie, 2019).
Di Indonesia, pemeriksaan yang dianjurkan adalah tes cepat,
tes EIA (Enzyme Immunoassay) atau ELISA, dan Western Blot.
Tes ELISA memerlukan tenaga lebih, waktu lebih lama, peralatan
lebih banyak, dan tenaga berpengalaman. Kemampuan tes cepat
dan ELISA kurang lebih sama (Lie, 2019).
B. Stigma Masyarakat Terhadap Pasien HIV
Salah satu hambatan paling besar dalam pencegahan dan
penanggulangan Human Imunnodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Indonesia adalah masih tingginya
stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Stigma berasal dari pikiran seorang individu atau masyarakat yang
memercayai bahwa penyakit AIDS merupakan akibat dari perilaku
amoral yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Stigma terhadap
ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang
berlebihan, dan pengalaman negatif terhadap ODHA. Banyak yang
beranggapan bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS layak
mendapatkan hukuman akibat perbuatannya sendiri. Mereka juga
beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap penularan HIV/AIDS. Hal inilah yang menyebabkan orang
dengan infeksi HIV menerima perlakuan yang tidak adil, diskriminasi,
dan stigma karena penyakit yang diderita. Stigma terhadap ODHA
adalah suatu sifat yang menghubungkan seseorang yang terinfeksi HIV
dengan nilai-nilai negatif yang diberikan oleh mereka (masyarakat).
Stigma membuat ODHA diperlakukan secara berbeda dengan orang
lain. Diskriminasi terkait HIV adalah suatu tindakan yang tidak adil

12
pada seseorang yang secara nyata atau diduga mengidap HIV (Harahap,
Fatma Sylvana Dewi. 2020).

Stigma dapat terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman


masyarakat tentang HIV/AIDS secara benar dan lengkap. Kurangnya
pengetahuan seseorang merupakan salah satu faktor munculnya stigma
terhadap ODHA. Semakin kurangnya pengetahuan seseorang tentang
HIV/AIDS semakin besar stigma yang diberikan terhadap ODHA.
Masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS
memiliki stigma sedang terhadap ODHA. Pengetahuan sesorang akan
mempengaruhi sikap dan pandangannya tersebut (Harahap, Fatma
Sylvana Dewi. 2020).

Sikap harus terus waspada masyarakat tersebut mempengaruhi


munculnya stigma berat terhadap ODHA. Stigma masyarakat yaitu
sikap negatif terhadap ODHA. Sikap negatif terhadap ODHA membuat
ODHA takut untuk membuka statusnya. Padahal orang yang sakit
seharusnya membutuhkan kasih sayang dan dukungan. Sikap negatif
tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat yang kurang tentang
HIV/AIDS (Harahap, Fatma Sylvana Dewi. 2020).

Persepsi negatif akan memunculkan stigma yang berat terhadap


ODHA. Stigma dari masyarakat tersebut membuat ODHA sangat takut
dan tertekan jika ada yang mengetahui statusnya sehingga ODHA tidak
ada yang mau membuka statusnya untuk masyarakat dan bahkan untuk
keluarganya sendiri. ODHA berusaha menutupi statusnya bahkan tidak
mau berobat karena takut jika ada yang tahu tentang statusnya. Stigma
membuat ODHA stress dan bahkan depresi sehingga menyebabkan
CD4 menurun dan dapat menurunkan kualitas hidup ODHA (Harahap,
Fatma Sylvana Dewi. 2020).

C. Penyebab Stigma Masyarakat Terhadap Pasien HIV

13
Beberapa faktor yang mempengaruhi stigma terhadap HIV/AIDS
yakni HIV/AIDS adalah penyakit yang mengancam jiwa, orang-orang
takut terinfeksi HIV, penyakit dihubungkan dengan perilaku yang telah
terstigma dalam masyarakat, ODHA sering dianggap sebagai yang
bertanggung jawab bila ada terinfeksi, nilai-nilai moral atau agama
membuat orang yakin bahwa HIV/AIDS sebagai hasil dari pelanggaran
moral. Banyak dari ODHA ini yang kemudian kehilangan
pekerjaannya,terisolasi dari keluarga dan komunitasnya,tertolak oleh
layanan kesehatan yang mengetahui status HIV mereka. Stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA dapat dicehaj dengan cara memberi
seperti pengetahuan, persepsi, pendidikan, informasi tentang HIV/AIDS
(Febrianti, 2017).
D. Penanggulangan Stigma Masyarakat Terhadap Pasien HIV
Munculnya stigma dan diskriminasi dapat karena kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Akibatnya, masyarakat yang mendapatkan
informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam
mekanisme penularan HIV/AIDS. Perilaku pada ODHA tidak hanya
melanggar hak asasi manusia, melainkan juga sama sekali tidak
membantu pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Pengetahuan
tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi sikap seseorang terhadap
penderita HIV/AIDS. Pemberian informasi lengkap, baik melalui
penyuluhan, konseling maupun sosialisasi tentang HIV/AIDS kepada
masyarakat berperan penting untuk mengurangi stigma. Seseorang
dengan pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV maka stigma yang
diterima akan rendah bahkan tidak ada, jika pengetahuan seseorang
tentang HIV cukup maka stigma dimasyarakat tinggi. Stigma terhadap
ODHA muncul karena kurangnya pengetahuan seseorang tentang
HIV/AIDS dari penularan HIV/AIDS dan sikap negatif yang
dipengaruhi epidemik HIV/AIDS (Simorangkir, 2021).

14
Keterpaparan informasi merupakan salah satu faktor dari luar
yang berhubungan dengan stigma terhadap ODHA. Informasi yang
tidak benar memiliki andil dalam membentuk stigma pada
masyarakat. Sebagian besar masyarakat mendapatkan informasi terkait
HIV dan AIDS dari internet. Informasi yang beredar di dunia maya
tidak semua dapat dikonfirmasi kebenarannya, sehingga
kemungkinannya cukup besar bagi masyarakat untuk memperoleh
informasi yang salah terkait HIV dan AIDS sehingga angka stigma
masih cukup tinggi. Teknologi informasi yang semakin maju membuat
generasi baru juga semakin cepat menangkap informasi apapun. Hal
ini dapat menjadi sebuah ancaman, namun juga dapat menjadi
sebuah peluang jika dikelola dengan baik untuk meningkatkan
pengetahuan yang baik dan benar terkait HIV dan AIDS.
Pemanfaatan media sosial, blog, maupun website untuk melakukan
promosi kesehatan perlu dilakukan dengan lebih dinamis dan menarik
sehingga masyarakat akan dengan mudah menerimanya. Hal tersebut
juga dapat dilakukan dengan langsung melibatkan masyarakat untuk
menerima informasi dan menyebarkan sendiri informasi yang mereka
dapatkan melalui akun media sosial yang mereka miliki (Tianingrum,
2018).

3. Pencegahan bayi agar tidak tertular HIV? (Nurtias)


Sesuai dengan program PPIA, untuk pencegahan penularan HIV dari
ibu hamil kepada anaknya adalah dengan melakukan pelayanan ANC yang
terpadu, lalu melaksanakan skrining/diagnosis dan tatalaksana IMS,
HIV,TB dan malaria pada ibu hamil. Lalu jika ibu sudah terdeteksi
mengidap HIV, maka akan dilakukan pemberian ARV sesuai kriteria
eligible ARV sejak kehamilan berusia 14 minggu, selama persalinan dan
dilanjutkan dengan 6 minggu kepada bayi. Pengobatan ini cukup efektif
asalkan bayi tidak diberikan ASI, karena obat tersebut tidak dapata
mencegah transimisi melalui ASI. Lalu dilakukan perencanaan persalinan

15
yang aman. Lalu melakukan konseling menyusui/pemberian makanan untuk
bayi karena akan berdampak pada pengobatan si bayi (Inka Kartika, 2018).
Jadi bisa dengan persalinan aman bagi ibu dengan HIV, dimana
persalinan aman ini dimaksudkan untuk menurunkan risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi, serta risiko terhadap ibu, tim penolong (medis/non-medis)
dan pasien lainnya. Persalinan melalui bedah sesar berisiko lebih kecil untuk
penularan terhadap bayi, namun menambah risiko lainnya untuk ibu. Risiko
penularan pada persalinan per vaginam dapat diperkecil dan cukup aman
bila ibu mendapat pengobatan ARV selama setidaknya enam bulan dan/atau
viral load kurang dari 1000 kopi/mm3 pada minggu ke 36. Strategi PPIA
menyarankan operasi sesar elektif untuk menurunkan risiko penularan.
Metode persalinan operasi sesar atau per vaginam memiliki keuntungan dan
kerugian masing-masing. Persalinan per vaginam memiliki keuntungan
mudah dilakukan di fasilitas kesehatan dengan sarana terbatas, pemulihan
masa persalinan lebih singkat, dan biaya lebih murah. Namun ini diikuti
dengan risiko penularan pada bayi yang relatif tinggi (10–20%), kecuali ibu
telah meminum ARV teratur selama minimal 6 bulan, atau diketahui kadar
viral load < 1000 kopi/mm3 pada saat aterm. Persalinan dengan operasi
sesar memiliki keuntungan berupa risiko penularan HIV ke bayi yang
rendah (2-4%), dan mengurangi risiko penularan sebesar 50–66%.
Sedangkan kerugiannya adalah risiko bagi ibu yang lebih tinggi, lama
perawatan dan pemulihan lebih lama, risiko
pembedahan/anestesi/komplikasi yang lebih tinggi, dan biaya lebih mahal.
(hidayati dkk, 2019).
4. Psikologis si Ibu agar tidak membahayakan ibu dan bayi (Yoga)
Stres secara nyata dapat membahayakan kehamilan manusia. Stres
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan endokrin dengan secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan janin. Stres psikososial akan
mengakibatkan stres psikobiologik. Stimulus atau rangsangan psikososial
merupakan gangguan fungsional atau faal organ tubuh namun bila
berkelanjutan akan menyebabkan kelainan pada organ itu sendiri. Respon

16
stres fisiologis, psikologis dan perilaku berinteraksi dengan fisiologi ibu dan
janin selama kehamilan sangat relevan mempengaruh mekanisme mulainya
persalinan. Kondisi stres pada ibu hamil membawa dampak buruk terhadap
janinnya. Kondisi stres memicu perubahan fisiologik, peningkatan kadar
hormonal dan resistensi terhadap aliran darah arteri yang dapat menggangu
aliran darah normal ke plasenta. Stres pada ibu hamil dapat meningkatkan
komplikasi persalinan (Sofia dkk, 2019).
5. Tindakan pengobatan terhadap pasien HIV yang sedang hamil (Adinda)
Bagi wanita dengan viral load < 50 kopi/mL tanpa kontraindikasi
obstetrik, disarankan persalinan per vaginam. Bagi wanita dengan viral load
> 400 kopi/mL, disarankan persalinan dengan seksio sesarea. Untuk wanita
dengan viral load 50 – 399 kopi/mL pada usia gestasi 36 minggu seksio
sesarea dapat dipertimbangkan sesuai perkiraan viral load, lama terapi,
faktor obstetrik, dan pertimbangan pasien. Bagi wanita dengan riwayat
seksio sesarea dan viral load kurang dari 50 kopi/mL, dapat dicoba
persalinan per vaginam (Lie, H. 2019).
Umumnya pengobatan yang diberikan pada perempuan terinfeksi HIV
yang hamil adalah sama seperti pengobatan pada perempuan dewasa yang
tidak hamil. Namun pedoman pengobatan untuk perempuan hamil adalah
sedikit berbeda dengan pedoman untuk orang dewasa lain. Pedoman saat ini
mengusulkan agar ART diberikan pada semua Odha dengan penyakit berat,
atau dengan penyakit sedang dan jumlah CD4 di bawah 350, atau dengan
jumlah CD4 di bawah 200. WHO mengusulkan agar semua perempuan
hamil dengan CD4 di bawah 350 diberi ART, tanpa memperhatikan tanda
klinis. Obat yang diberikan akan tergantung kepada waktu dalam masa
kehamilan infeksi HIV didiagnosis (Green, 2016).
Apabila seorang wanita hamil ditemukan terinfeksi HIV, terapi ARV
dapat langsung diberikan tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur
kehamilan, selama seumur hidup tanpa terputus. Regimen terapi ARV pada
wanita hamil pada dasarnya mirip dengan pasien tidak hamil (Lie, H. 2019).
6. Perbedaan pasien HIV yang sedang hamil dan tidak (Ns. Alin)

17
Untuk gejala tidak jauh berbeda dengan hiv pada umumnya, seperti demam,
lemas, kemerahan di kulit, pusing, limfadenopati, faringitis, mialgia, mual,
dan diare. Pada ibu hamil dengan HIV pemeriksaan ANC tetap meliputi
anamnesis lengkap dan terarah serta 10 T (Timbang berat badan dan ukur
tinggi badan, pemeriksaan Tekanan darah, Tetapkan status gizi, Tinggi
fundus uteri, Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin, Tetanus
Toksoid, Tablet zat besi, Tes laboratorium, Tatalaksana kasus dan Temu
wicara). Apabila seorang wanita hamil ditemukan terinfeksi HIV, terapi
ARV dapat langsung diberikan tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan
umur kehamilan. Untuk pemberian ARV sendiri pada ibu hamil digunakan
untuk menurunkan angka transmisi vertikal paling efektif yang dimana
pemberiannya dimulai sejak awal kehamilan. Pemberian ARV maternal
sebelum trimester ketiga akan menurunkan risiko transmisi hingga kurang
dari 5 dari 1000 kelahiran. Pemberian ARV saat persalinan atau beberapa
jam setelah melahirkan, dapat menurunkan transmisi hingga 50%. Perlu
ditekankan kepatuhan konsumsi ARV untuk menekan angka virus dan
meminimalkan transmisi perinatal. Jenis persalinan yang disarankan pada
wanita hamil dengan infeksi HIV dipengaruhi adanya kontraindikasi
obstetrik dan viral load pada usia gestasi 36 minggu (Lie, H. 2019).

18
C. MASALAH KEPERAWATAN DAN PERENCANAAN
Analisis Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DO : - Gelisah Ansietas (00146)
- Nampak murung - Menyesal
- Merasa dikucilkan - Ancaman pada status
oleh masyarakat terkini
DS : - Krisis situasi
- Menyampaikan
sangat menyesalkan
perilaku mendiang
suaminya yang
menyebabkan dia dan
anaknya harus
menangggung
akibatnya
- Ny. R mengatakan
kadang merasa putus
asa dengan
kondisinya sekarang.
DO : - - Putus asa Risiko bunuh diri
DS : - Isolasi social (00150)
- Kurang dukungan
- Ny. R mengatakan
sosial
kadang merasa putus
asa dengan
kondisinya sekarang.
- Ny.R mngatakan
kadang merasa
dikucilkan oleh
masyarakat.
DO : - - Situasi penyerta Pelemahan koping
yang memengaruhi keluarga (00074)
DS :
individu pendukung
Keluarga Ny. R - Kurang informasi
belum mau yang didapat
individu pendukung

19
menerima untuk
merawat bayinya
saat melahirkan

Asuhan Keperawatan
Masalah Luaran (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
Ansietas NOC : Tingkat Kecemasan NIC : Peningkatan Koping (5230)
(1216) 1. Bantu pasien dalam
Setelah diberikan mengidentifikasi tujuan jangka
pendampingan kepada Ny.R pendek dan angka panjang
selama 5 x 24 jam
2. Berikan penilaian dan diskusikan
diaharapkan :
respon alternatif terhadap situasi
1. Persepsi diri yang negatif
[yang ada]
terhadap penerimaan
orang lain yang awalnya 3. Berikan suasana penerimaan
berat (1) menjadi ringan
(4) 4. Dukung sikap [pasein] terkait
dengan harapan realistis sebagai
2. Tidak nyaman selama upaya untuk mengatasi
menghadapi sosial yang ketidakberdayaan
awalnya berat (1)
ditingkatkan ringan (4) 5. Dukung aktivitas-aktivitas sosial
dan komunitas [agar bisa dilakukan]
3. Gangguan dengan
hubungan yang awalnya 6. Kenali latar belang budaya/spiritual
sedang (3) menjadi tidak pasien
ada (5) 7. Dukung keluarga untuk
memverbalisasikan perasaan
mengenai sakitnya anggota
keluarga
8. Dukung keterlibatan keluarga,
dengan cara yang tepat
Risiko bunuh diri NOC Tingkat depresi NIC : Konseling (5240)
(1208) - Tunjukan empati, kehangatan dan
Setelah dilakukan kelembutan.
intervensi keperawatan, - Tetapkan lama hubungan

20
selama 3 x 24 jam, konseling
diharapkan : - Sediakan privasi dan berikan
- Perasaan depresi dari jaminan kerahasiaan.
skala 2 (cukup berat), - Sediakan informasi yang actual
menjadi 3 (sedang). dan yang sesuai dengan
- Perasaan tidak berharga kebutuhan.
dari skala 3 (sedang), - Bantu pasien untuk
menjadi skala 4(ringan) mengidentifikasi dan mengatasi
- Keputusasaan juga masalah yang dapat menyebabkan
berubah dar skala distress.
2(cukup berat), menjadi - Gunakan Teknik refleksi dan
skala 3 (sedang). klasifikasi untuk memfasilitasi
ekspresi yang menjadi perhatian.
- Identifikasi adanya perbedaan
antara pandangan pasien terhadap
situasi dengan pandangan dari tim
kesehatan.

NIC : Terapi keluarga (7150)


- Tentukan pola komunikasi dengan
keluarga
- Identifikasi bagaimana cara
keluarga menyelesaikan masalah
- Tentukan apakah penganiayaan
terjadi dalam keluarga
- Identifikasi gangguan khusus
terkait dengan harapan pasien
- Bantu keluarga untuk
bekomunikasi lebih efektif
- Fasilitasi diskusi keluarga

21
- Bantu anggota keluarga
mengklarifikasi apa yang mereka
butuhkan dan harapan satu sama
lain.

Pelemahan koping NOC: Koping Keluarga NIC: Peningkatan Koping (5230)


keluarga (00074) (2600) - Gunakan pendekatan yang tenang
Setelah dilakukan dan memberikan jaminan
intervensi keperawatan, - Berikan suasana penerimaan
selama 3 x 24 jam, - Sediakan informasi actual
diharapkan : mengenai diagnosis, penanganan
- Menghadapi masalah dan prognosis
keluarga dari skala 1 - Dukung keterlibatan keluarga,
(tidak pernah dengan cara yang tepat
menunjukkan) NIC: Dukungan Keluarga (7140)
menjadi skala 4 - Dengarkan kekhawatiran,
(sering perasaan dan pertanyaan dari
menunjukkan) keluarga
- Mengelola masalah - Tingkatkan hubungan saling
keluarga dari skala 1 percaya dengan keluarga
(tidak pernah - Terima nilai yang dianut keluarga
menunjukkan) dengan sikap yang tidak
menjadi skala 4 menghakimi
(sering - Jawab semua pertanyaan dari
menunjukkan) keluarga atau bantu untuk
mendapatkan jawaban
- Advokasi pasien, jika diperlukan

22
D. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No. Diagnosa Implementasi


1. Ansietas a. Membantu pasien untuk
mengidentifikasi tujuan jangka
pendek dan panjang dari perawatan.
b. Membantu pasien dalam menilai dan
mendiskusikan respon alternatif dari
situasi yang mungkin terjadi.
c. Membantu pasien menerima
keadaan.
d. Mendukung harapan realistis pasien.
e. Mendukung aktivitas sosial dan
komunitas pasien.
f. Mengetahui latar belakang budaya
dan spiritual pasien.
g. Membantu keluarga untuk
mengungkapkan perasaan.
h. Membantu melibatkan anggota
keluarga dengan cara yang tepat.
2. Risiko bunuh diri a. Membantu pasien merasa nyaman
dan mengetahui lama hubungan
konseling.
b. Memberikan privasi dan jaminan
kerahasiaan pada pasien.
c. Memberikan informasi sesuai
kebutuhan pasien.
d. Membantu pasien mengidentifikasi
dan mengatasi masalah yang
menyebabkan distress.
e. Memfasilitasi pasien dengan teknik

23
refleksi dan klasifikasi.
f. Mengidentifikasi adanya
perbedaan sudut pandang pasien
dengan tim kesehatan.
g. Mengetahui pola komunikasi dan
mengidentifikasi cara keluarga
pasien menyelesaikan masalah.
h. Mengetahui apakah pernah terjadi
penganiayaan.
i. Mengetahui apakah ada gangguan
khusus pada harapan pasien.
j. Membantu dan memfasilitasi
keluarga dalam
berkomunikasi/berdiskusi.
k. Membantu kebutuhan dan harapan
anggota keluarga.
3. Pelemahan koping keluarga a. Melakukan pendekatan dan
memberikan suasana yang nyaman
pada pasien.
b. Memberikan informasi mengenai
diagnosis, penanganan dan
prognosis kepada pasien.
c. Mendukung keterlibatan keluarga
pasien dengan cara yang tepat.
d. Menjawab kekhawatiran dan
pertanyaan dari keluarga pasien.
e. Meningkatkan hubungan saling
percaya.
f. Menerima nilai yang dianut
keluarga dan tidak menghakimi.
g. Membantu keluarga mendapat

24
jawaban yang dibutuhkan.
h. Mengadvokasi pasien.

No. Diagnosa Evaluasi


1. Ansietas a. Pasien mengetahui tujuan jangka
pendek dan panjang dari perawatan.
b. Pasien dapat mengetahui respon
alternatif dari situasi yang mungkin
terjadi.
c. Pasien dapat menerima keadaan.
d. Pasien memiliki harapan yang
realistis.
e. Pasien memiliki aktivitas sosial dan
komunitas.
f. Mendapat gambaran jelas mengenai
budaya dan spiritualitas pasien.
g. Keluarga dapat mengungkapkan
perasaan.
h. Anggota keluarga terlibat dengan
cara yang tepat.
2. Risiko bunuh diri a. Pasien merasa nyaman dan
mengetahui lama hubungan
konseling.
b. Pasien mendapat privasi dan
jaminan kerahasiaan.
c. Pasien mendapat informasi sesuai
kebutuhan.
d. Pasien dapat mengatasi masalah
yang menyebabkan distress.
e. Pasien mendapat manfaat dengan

25
teknik refleksi dan klasifikasi.
f. Mendapat kejelasan mengenai
perbedaan sudut pandang pasien
dengan tim kesehatan.
g. Mendapat kejelasan pola
komunikasi dan cara keluarga
pasien menyelesaikan masalah.
h. Mendapat kejelasana apabila
pernah terjadi penganiayaan.
i. Mendapat kejelasan mengenai
gangguan harapan pada pasien.
j. Keluarga dapat
berkomunikasi/berdiskusi dengan
baik.
k. Kebutuhan dan harapan anggota
keluarga terpenuhi.
3. Pelemahan koping keluarga a. Pasien mendapat suasana yang
nyaman.
b. Pasien mendapat informasi
mengenai diagnosis, penanganan
dan prognosis.
c. Keluarga pasien terlibat dalam
perawatan.
d. Keluarga pasien mendapat jawaban
yang dibutuhkan.
e. Pasien merasa aman dan percaya.
f. Keluarga tidak merasa terhakimi
dengan nilai yang dianut.
g. Pasien mendapat keputusan yang
sesuai.

26
E. PERTANYAAN UNTUK KULIAH PAKAR
Tidak ada

27
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi HIV/AIDS
HIV atau Human Immunodeficiensy Virus adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune
Deficiency Sindrom merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh retrovirus yaitu HIV yang
menyebabkan penurunan sistem kekebalan tubuh secara simtomatis atau
asimtomatis.(Noviana, 2016)

B. Etiologi HIV/AIDS
AIDS disebabkan oleh masuknya HIV kedalam tubuh. HIV merupakan
virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia. HIV merupakan retrovirus yang
termasuk dalam famili lentivirus. Retnovirus merupakan virus yang memiliki
enzim (protein) yang dapat mengubah RNA, materi genetiknya, menjadi DNA.
Kelompok ini disebut retrovirus karena virus ini membalik urutan normal yaitu
DNA diubah (diterjemahkan) menjadi RNA.

C. Gejala HIV/AIDS
Pada awalnya, seseorang yang terkena virus HIV umumnya tidak
menunjukkan gejala yang khas (asimtomatik). Penderita hanya mengalami demam
selama 3-6 minggu, tergantung dari daya tahan tubuh saat mendapatkan kontak
virus HIV tersebut. Setelah kondisi mulai membaik, orang yang terkena virus HIV
akan tetap sehat dalam beberapa tahun. Namun demikian, perlahan-lahan
kekebalan tubuhnya mulai menurun sehingga jatuh sakit karena serangan demam
yang berulang. (Rimbi, 2014).

10 Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala
yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :

Gejala mayor :

28
a. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan.
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
e. Demensia/HIV ensafalopati.

Gejala minor :
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.
c. Adanya herpes zostermulti segmental dan herpes zoster berulang.
d. Kandidias orofaringiel.
e. Herpes simpleks kronis progresif.
f. Limfadenopati generalisata.
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
h. Retinitis virus sitomegalo. (Noviana, 2016)

29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
HIV atau Human Immunodeficiensy Virus adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS atau Acquired Immune
Deficiency Sindrom merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh masuknya HIV kedalam tubuh.
Pada awalnya, seseorang yang terkena virus HIV umumnya tidak menunjukkan
gejala yang khas (asimtomatik). Penderita hanya mengalami demam selama 3-6
minggu. Setelah kondisi mulai membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap
sehat dalam beberapa tahun.
Cara penularan HIV dapat melalui alur cairan genital, kontaminasi darah,
dan perinatal. Pencegahan pada infeksi HIV pada ibu hamil harus dilakukan
secara rutin karena pada masa kehamilan ibu dengan HIV akan terlibat langsung
dengan layanan kesehatan. Salah satu layanan kesehatan yang dilakukan yaitu
program Antenatal Care (ANC) sebelum kelahiran. pengobatan yang diberikan
pada perempuan terinfeksi HIV yang hamil adalah sama seperti pengobatan pada
perempuan dewasa yang tidak hamil. Namun pedoman pengobatan untuk
perempuan hamil adalah sedikit berbeda dengan pedoman untuk orang dewasa
lain.

B. SARAN
Saran yang bisa diberikan adalah wanita yang belum hamil sebaiknya
melakukan pemeriksaan dini untuk mendeteksi dirinya terbebas dari penyakit HIV
dan pada ibu hamil juga sebaiknya selalu melakukan pengecekan rutin pada
kehamilannya dalam rangka mengantisipasi diri.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amal, A. I., & Khofsoh, E. (2018). Potret Kebutuhan Spiritual Pasien HIV/AIDS.
Unissula Nursing Conference Call For Paper & National Conference.Vol. 1,
No. 1, Pp. 70-74.
Dewi, V. O. C., Maharani, S. A., & Diana, A. P. (2020). Laporan Kasus
Penatalaksanaan Kehamilan Dengan Infeksi Hiv Di Rsud Ir. Soekarno.
Elisanti, A. D. (2018). HIV-AIDS, Ibu Hamil dan Pencegahan Pada Janin. Jakarta:
Deepublish.
Febrianti, 2017. Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Stigma Terhadap Orang
Dengan Hiv dan Aids (ODHA). Journal Endurance. Vol. 2 (2), 158-167.
Green, Chris W. (2016). HIV Kehamilan Dan Kesehatan Perempuan. Jakarta: Spiritia
Hartanto Dan Marianto. 2019. Continuing Medical Education : Infeksi Human
Immunode¬Ciency Virus (HIV) Dalam Kehamilan. Vol. 46 (5), 346-351.
Harahap, Fatma Sylvana Dewi. (2020). Stigma Masyarakat terhadap Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) Di Kabupaten Aceh Utara. Journal of Health Promotion.
Vol. 3 (1).
Hidayati, A. N., dkk. 2019. Manajemen HIV/AIDS: Terkini, Komprehensif, dan
Multidisiplin. Surabaya: Airlangga University Press.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV Dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta: 2011.
Lie, H. (2019). Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) Dalam Kehamilan.
Cermin Dunia Kedokteran, Vol. 46 (5), 346-351.
Noviana N. (2016). Konsep HIV/AIDS Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta
Timur: CV. Trans Info Media.
Putri, A. P., AM, A. I., & Padua, M. R. (2021). Penerimaan Diri Wanita Hamil Dengan
HIV Positif. Riset Informasi Kesehatan, Vol. 10 (1), 80-88.
Rimbi, N. (2014). Buku Cerdik penyakit-penyakit Menular (1st ed.). Yogyakarta: Saufa.
Romdiyah, R., & Alviana, F. (2020). Analisis Faktor Sikap Pada Perilaku Pencegahan
Penularan Hiv/Aids Pada Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan, Vol. 10 (1), 43-47.
Saam, Zulfan (2014). Psikologi Konseling. Jakarta: Rajawali Pers.

31
Simorangkir, T. L., Sianturi, S. R., & Supardi, S. (2021). Hubungan Antara
Karakteristik, Tingkat Pengetahuan Dan Stigma Pada Penderita
HIV/AIDS. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, Vol. 12 (2), 208-214.
Sofia, Rizka Dan Iskandar. (2019). Hubungan Stresor Psikososial Pada Kehamilan
Dengan Komplikasi Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Lapang Aceh Utara.
Jurnal Averrous. Vol. 5. (1).
Tianingrum, N. A. (2018). Pengaruh Keterpaparan Informasi Terhadap Stigma HIV &
AIDS Pada Pelajar SMA. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 6 (1), 51-59.

32

Anda mungkin juga menyukai