Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN ANTARA

BAB I
PENDAHULUAN

Penataan bangunan dan lingkungan merupakan upaya pengendalian


pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan
bangunan (hunian) dalam lingkungan permukiman yang mencakup
perancangan tata lingkungan, tapak dan kapling agar tercapai kualitas
lingkungan binaan yang layak huni, aman, nyaman, sehat, selaras, menarik
dan lestari serta berkelanjutan.
Penataan bangunan dan lingkungan mencakup penataan bangunan di
lingkungan perumahan dan tempat kerja (household and workplace),
lingkungan komunitas (neighborhood), serta satuan kawasan permukiman
yang menjadi bagian kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Penataan
bangunan dan lingkungan akan memberikan manfaat pada pengaturan dan
pengendalian perwujudan bangunan (hunian) dan lingkungan binaan yang
layak huni sebagaimana diharapkan. Penyelenggaraan penataan bangunan
dan lingkungan mencakup kegiatan pembangunan yang meliputi proses
perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan,
pelestarian, dan pembongkaran bangunan dan lingkungan.
Perkembangan pembangunan yang telah terjadi selama dua dekade
lalu sering dilaksanakan hanya didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan
fungsi kawasan. Kecenderungan yang lebih dominan yaitu mengabaikan
pertimbangan nilai tradisi dan sejarah. Terjadinya pergeseran terhadap nilai-
nilai sosial dan budaya seiring dengan fenomena global yaitu lebih
mengedepankan nilai manfaat ekonomi/finansial. Pergeseran nilai tersebut
menimbulkan dampak perubahan pada tatanan lingkungan binaan seperti
terjadinya perubahan wajah lingkungan permukiman baik dari aspek
lingkungan maupun bangunannya.
Dampak negatif akibat diabaikannya nilai-nilai yang lebih esensial pada
pembangunan seperti tersebut di atas yaitu menurunnya jumlah bangunan
dan kawasan bersejarah di sebagian besar kota-kota di Indonesia dari tahun
ke tahun. Akibatnya, kegiatan pembangunan yang cenderung berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi secara betahap dapat menghilangkan jejak
sejarah yang antara lain berwujud suatu lingkungan binaan.
Dengan ‘hilangnya’ lingkungan permukiman bersejarah berarti lenyap
pula bagian dari sejarah suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan
suatu aset penting bagi daerah yang bersangkutan berupa “jati diri
lingkungan binaan” yang memberikan identitas tersendiri. Sangat
dikhawatirkan, pada suatu saat nanti generasi mendatang tidak akan lagi

I-1
LAPORAN ANTARA

dapat melihat dan mengetahui sejarah suatu daerah yang tercermin dalam
lingkungan binaannya.
Pada umumnya, nilai kesejarahan dari suatu tempat atau daerah
berkaitan erat dengan aspek tradisional yang sudah eksis dan berkembang di
daerah tersebut. Setiap upaya pelestarian terhadap “nilai kesejarahan serta
eksistensi tradisional” pada suatu lingkungan binaan bukan berarti dapat
menghambat pembangunan ekonomi melainkan justru harus dapat saling
bersinergi. Maka aspek pelestarian merupakan hal yang sangat relevan bagi
pengembangan suatu lingkungan binaan.
Di Indonesia, setiap upaya pelestarian (konservasi) sangat selaras
dengan maksud dan tujuan yang tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan
pelestarian (The Burra charter for the conservation of place cultural
significant, 1981, hal 2). Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu
tempat agar makna kultural yang dikandungnya dilindungi dan terpelihara
dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan perlindungan dan
pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan berdasarkan
suatu peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan konservasi dapat
mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, pemugaran dan revitalisasi.
Lebih lanjut Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung pasal 38 mengamanatkan bahwa bangunan
gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya dan
dilaksanakan secara tertib administratif, menjamin kelaikan fungsi bangunan
gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Perlindungan dan pelestarian meliputi kegiatan penetapan dan pemanfaatan
termasuk perawatan dan pemugaran, serta kegiatan pengawasannya yang
dilakukan dengan mengikuti kaidah pelestarian serta memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

1.1. DASAR HUKUM


Dalam penyusunan kegiatan Rencana Tindak Penanganan Permukiman
Tradisional di Kawasan Wasior Kabupaten Teluk Wondama dilakukan dengan
berlandaskan pada :
Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, tentang Penataan
Ruang

I-2
LAPORAN ANTARA

Undang-Undang RI. No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar


Budaya
Undang-Undang RI. No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah nasional
Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 28/2002.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006
tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007
tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
RUTRK (Rencana Umum Tata Ruang Kota) /RIK (Rencana
Induk Kota)
RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota) /RBWK (Rencana
Bagian Wilayah Kota)
RTRK (Rencana Teknik Ruang Kota) / RTK (Rencana Terinci
Kota) / RTBL (Rencana Tata bangunan dan Lingkungan)
Produk pengaturan ruang kota lainnya yang mengikat pada
kawasan yang bersangkutan

1.2. PROFIL KAWASAN KOTA WASIOR


Kata Wasior berasal dari bahasa masyarakat yang tinggal di Pulau yang
berarti “daerah yang mudah terbakar”, karena di daerah Wasior sendiri
dulunya banyak pohon bambu, yang karena gesekan sering terjadi
kebakaran, sehingga orang pulau menjulukinya daerah yang mudah terbakar
(wasior). Penduduk asli Kota Wasior adalah Suku Wondamen, yang berada di
Teluk Wondama.
Sejarah perkembangan Kota Wasior tidak bisa dipisahkan dari sejarah
Injil masuk ke Papua.
1. Pengkabaran Injil Masuk Papua
Pada tahun 1855 Pengkabaran injil Masuk Papua lewat Pulau Mansinam di
Manokwari dan menjadi tonggak penting bagi peradaban umat manusia di
Tanah Papua. Peradaban itu dimulai dengan kedatangan dua penginjil
asal Jerman, yakni Car William Otow dan Johann Gotlob geisller. Mereka
datang ke Neuw Guinea ketika itu, karena terdorong akan panggilan Ilahi
untuk menyelamatkan sesama saudaranya di ujung-ujung belahan bumi.
Panggilan itu timbul dari semangat kerohanian yang hebat di seluruh
Eropa pada abad ke-17 dan abad ke-18.

I-3
LAPORAN ANTARA

Dengan semangat pewartaan pada 26 April 1852, kedua Utusan Injil


Papua ini berangkat dengan menumpang Kapal Motor (KM) Abel Tasman
dari Pelabuhan Rotterdam Belanda menuju Papua lewat Tanah Batavia.
Akibat transportasi minim, mereka harus bersabar hingga 21 April 1854,
untuk bertolak menuju Papua. Selain mendapat bantuan bahan makanan,
mereka juga mendengar cerita-cerita mengerikan dan menakutkan
tentang Papua. Mulai dari kisah suku pemakan manusia, serta kebiasaan
memenggal kepala. Namun justru dari cerita itu, Ottow dan Geisller
semakin tertantang untuk segera tiba di tujuan.
Akhirnya Minggu 5 Februari 1855, pukul 06.00 waktu setempat, mereka
tiba di Pulau Mansinam, Teluk Doreh, Manokwari. Mengawali tugas
pewartaan di Pulau Mansinam, Ottow dan Geisller berlutut lalu
memanjatkan doa sambil mengucapkan kalimat : “Dengan nama Tuhan
Kami menginjak tanah ini.” Kalimat tersebut lalu dikenal dengan sebutan
doa sulung rasul Irian Barat.
Bekal yang dipelajari di Belanda ternyata tidak sesuai dengan keadaan
yang ditemui di Mansinam. Penduduk setempat tidak membutuhkan hasil
pertukangan. Semua kebutuhan hidupnya dipenuhi sendiri. Puncaknya,
Geisller sakit keras hingga harus berobat di Ternate. Dua tahun menetap
bersama, Ottow memutuskan untuk berpindah ke daratan tanah besar
dan menetap di sebuah kampung yang kemudian dikenal dengan nama
Kwami. Di sana, ia memulai dengan pelayanan sekaligus berkebun,
memelihara ternak seperti itik dan sapi. Baik Ottow dan Geisller pernah
berkeluh kesah tentang kedegilan penduduk setempat. Setelah 14 tahun
bekerja, pengaruhnya terhadap masyarakat setempat tak cukup banyak.
Sempat tercatat, dua orang perempuan Papua pertama yang dibaptis oleh
Johann Gottlob Geisller pada 1 Januari 1865 atau 10 tahun setelah
mendarat di Mansinam bersama Carl William Ottow. Setelah itu sampai 25
tahun pertama sejak tahun 1855 – 1880, orang Papua yang dibaptis
hanya 22 orang, sedangkan periode tahun 1881 – 1900, kerja mereka
mengalami sedikit kemajuan setelah membaptis 209 orang Papua.
2. Pengkabaran Injil
 Pengkabaran Injil kemudian berkembang ke wilayah Windesi, Pulau
Roswar dan Pulau Room dan kemudian pada Tahun 1925 pengkabaran
injil masuk ke Wasior ke daerah Miei (Kota Wasior) dan Mendirikan
Sekolah
 Dari sekolah ini banyak lulusan tersebar di Provinsi Papua , makanya
Daerah Wasior menyebutnya Sasar Wondama yang artinya cahaya
dari Wondama, karena sekolah pertama kali ada di daerah ini.

I-4
LAPORAN ANTARA

 Pada Tahun 1954, di bentuk pemerintahan setingkat Kecamatan


/distrik yang pada waktu itu bernama Kepala Pemerintahan Setempat
(KPS) yang lokasinya di Wasior Kota
 Pada tahun 2002 berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2002
Wasior menjadi Ibukota Kabupaten Teluk Wondama yang merupakan
pemekaran Kabupaten Manokwari.

Gambar 1.1
Sejarah Pengkabaran Injil Sampai Ke Kota Wasior

Gambar 1.2
Stadia Perkembangan Kota Wasior

I-5
LAPORAN ANTARA

1.3. MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN PENYUSUNAN RENCANA


TINDAK PENANGANAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
TRADISIONAL
Maksud dari kegiatan Rencana Tindak Penanganan Permukiman
Tradisional di Kawasan Wasior Kabupaten Teluk Wondama ini adalah
meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan
penataan lingkungan permukiman tradisional dan pemberdayaan komunitas
perumahan terutama dalam penataan lingkungan permukiman tradisional.
Tujuan disusunnya Rencana Tindak Penanganan Permukiman
Tradisional di Kawasan Wasior Kabupaten Teluk Wondama adalah
terwujudnya penataan bangunan dan lingkungan di kawasan tersebut dengan
baik.
Sasaran dari kegiatan Rencana Tindak Penanganan Permukiman
Tradisional di Kawasan Wasior Kabupaten Teluk Wondama ini adalah :
Tersusunnya masukan rencana dan program pembangunan
fisik bagi Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dalam penanganan tata
bangunan dan lingkungan kawasan permukiman tradisional.
Tersusunnya masukan teknis bagi Pemerintah Kabupaten
Teluk Wondama dalam bentuk rincian pengendalian perwujudan
bangunan dan lingkungan kawasan permukiman tradisional.
Tersusunnya master plan pembangunan permukiman
tradisional Kawasan Wasior.
Teridentifikasinya bangunan-bangunan serta arsitektur
tradisional sebagai kekayaan cagar budaya.
Tersusunnya DED lokasi fisik percontohan pada kawasan
permukiman tradisional Wasior.
Tersusunnya rencana investasi selama lima tahun ke depan
bagi Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dalam mengarahkan peran
serta seluruh pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, masyarakat
lokal, investor) dalam mewujudkan lingkungan yang dikehendaki

I-6
LAPORAN ANTARA

1.4. METODE PENYUSUNAN RENCANA TINDAK PENANGANAN


LINGKUNGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL
Rencana tindak penanganan lingkungan permukiman tradisional ini
disusun sebagai hasil analisis dari :
Studi-Studi Literatur dari berbagai jenis sumber baik dengan lingkup :
a. Studi Kebijakan (seperti misalnya kajian Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Petunjuk / Pedoman Teknis, Standar, dan lain-lain yang
terkait dengan kegiatan penanganan)
b. Studi Perbandingan (seperti misalnya kajian kasus-kasus sejenis di
Luar Negeri maupun di instansi-instansi lain di dalam negeri)
c. Kajian Teoritis (seperti misalnya kajian sumber-sumber literatur yang
bersifat text book, hasil-hasil seminar / prosiding, dan sebagainya)
Lingkup materi Kegiatan pekerjaan penyusunan Rencana Tindak
Penanganan Lingkungan Permukiman Tradisional di Kawasan Wasior
Kabupaten Teluk Wondama ini, meliputi :
Penyusunan Rencana Tindak Penanganan Lingkungan Permukiman
Tradisional pada kawasan terpilih di Kabupaten Teluk Wondama,
khususnya di Kawasan Wasior
Penyusunan program pembangunan dan Investasi kawasan, yang
disepakati oleh pemerintah Kabupaten Teluk Wondama
Penyusunan Detail Engineering Design (DED), untuk kegiatan fisik
penanganan permukiman tradisional/bersejarah.
Review dokumen-dokumen pengaturan terkait (RTRW, RDTR dll).
Menyiapkan format-format pendataan secara lengkap dan dapat
mengakomodir permasalahan lapangan.
Melakukan kajian dan evaluasi terhadap literatur.
Melakukan kajian dan evaluasi terhadap Permukiman
Tradisional/bersejarah yang ada saat ini (eksisting), termasuk
pengelolaannya saat ini.
Melakukan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif dari sumber
data primer maupun sekunder sebagai bahan analisis.
Melakukan analisis data baik dari aspek kuantitatif maupun aspek
kualitatif yang dapat dipakai sebagai bahan untuk merumuskan
masalah sebagai dasar penyusunan Rencana Tindak Penanganan
Lingkungan Permukiman Tradisional.
Perumusan Potensi dan Masalah, berdasarkan analisa di lapangan perlu
dirumuskan potensi dan masalah yang pemecahannya dapat didekati
dengan analisis SWOT.
Menetapkan kawasan percontohan yang akan dibuatkan rencana detail
teknisnya (DED).

I-7
LAPORAN ANTARA

Menyusun Rencana Tindak Penanganan Permukiman


Tradisional/bersejarah yang sekurang-kurangnya terdiri dari:
1) Rencana dan Program Permukiman
Tradisional/bersejarah di Kabupaten Teluk Wondama. Meliputi:
- Kebutuhan prasarana dan sarana penunjang permukiman
tradisional yang disyaratkan (berdasarkan justifikasi tertentu).
- Peta rencana tindak Permukiman Tradisional/bersejarah di
Kabupaten Teluk Wondama
2) Ketentuan dan Pedoman Pengendalian Rencana
(development guidelines) Untuk mengendalikan berbagai rencana,
program maupun kelembagaan serta tanggung jawab semua
pemangku kepentingan terkait pelaksanaan Rencana Tindak
Penanganan Lingkungan Permukiman Tradisional.
- Menyusun Program Investasi Pembangunan Permukiman
Tradisional/bersejarah untuk lima tahun kedepan.
- Menyusun DED kawasan percontohan Permukiman
Tradisional/bersejarah di Kabupaten Teluk Wondama.
Sedangkan batasan Kegiatan pekerjaan penyusunan Rencana Tindak
Penanganan Lingkungan Permukiman Tradisional di Kawasan Wasior
Kabupaten Teluk Wondama ini, meliputi :
1. Program Bangunan dan Lingkungan
2. DED (rancangan)
3. Rancangan Investasi
4. Pengendalian
5. Adanya komitmen kepala daerah untuk implementasi program
pembangunan dan investasi.
6. Sudah tertuang dalam RPIJM.
7. Memiliki RTRK
8. Memiliki RTRW kab/kota

1.5. PEMAHAMAN RENCANA TINDAK REVITALISASI LINGKUNGAN


PERMUKIMAN TRADISIONAL
Kegiatan rencana tindak penanganan lingkungan permukiman
tradisional merupakan suatu upaya peningkatan kualitas lingkungan
permukiman yang memiliki khasanah budaya tertentu yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai unsur pengggerak ekonomi masyarakat yang pola
penanganannya :
a. Berazaskan Tridaya (daya usaha, daya lingkungan dan daya manusia)
sebagai satu kesatuan upaya dalam setiap kegiatan penanganan
b. Menggunakan pendekatan revitalisasi permukiman dan pola pembangunan
bertumpu pada masyarakat (PBPM) yang bersifat bottom Up.
I-8
LAPORAN ANTARA

c. Mengacu pada kebijakan yang ada khususnya kebijakan perumahan dan


permukiman, penataan ruang, penyelenggaraan bangunan gedung, serta
kebijakan-kebijakan lainnya yang berkenaan dengan upaya pemberdayaan
dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan.
Secara umum, kegiatan penanganan ini diarahkan untuk bersifat :
a. Komprehensif, Melingkupi kegiatan-kegiatan yang bersifat fisik maupun
non fisik yang melingkupi aspek-aspek daya usaha, daya lingkungan, dan
daya manusia.
b. Partisipatif, Dilakukan dengan upaya melibatkan berbagai pelaku
kegiatan khususnya swasta dan masyarakat setempat baik dalam hal
pendanaan, perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasannya.
c. Terencana, Dilakukan dengan landasan visi, misi, strategi, dan skenario
pentahapan penanganan yang jelas, yang didukung oleh uraian aspek
pendanaan, pelaku dan penanggung jawab kegiatan, dan aspek-aspek
perancanaan lainnya yang tertuang dalam panduan rencana jangka
menengah yang dibangun dari suatu konsensus/komitmen bersama antar
pihak-pihak yang berkepentingan (khususnya antara Pemerintah Daerah,
Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Pusat) dimana dokumen
perencanaannya diarahkan untuk memiliki kekuatan hukum yang jelas
untuk dapat diaplikasikan.
d. Berkelanjutan, Dilakukan dengan mempertimbangkan kesinambungan
kegiatan penanganan.

Pada prinsipnya, kegiatan rencana tindak revitalisasi lingkungan


permukiman tradisional merupakan tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten/Kota sedangkan Pemerintah Pusat berperan sebagai pembina dan
pendorong bagi Pemerintah daerah. Adapun bantuan Pemerintah Pusat
(dalam hal ini Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman
Depkimpraswil) untuk kegiatan penanganan ini akan lebih bersifat stimulan
yang diwujudkan dalam bentuk pembinaan teknis, bantuan teknis, dan
pekerjaan fisik khusus untuk fasilitas-fasilitas umum. Selanjutnya,
penanggung jawab teknis dan pembiayaan kegiatan penanganan secara
bertahap akan diambil alih oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan
masyarakat/swasta dengan sumber pendanaan dari APBD .
Diakui bahwa program-program pembangunan yang dilakukan
pemerintah selama ini lebih terfokus pada pengembangan aset publik (karena
berbagai pertimbangan dan keterbatasan khususnya pendanaan). Disisi lain,
disadari juga bahwa kegiatan penanganan lingkungan permukiman tradisional
yang menyangkut isu besar pelestarian identitas / khasanah budaya bangsa
akan sulit mencapai sasarannya tanpa tersentuhnya aset-aset pribadi / aset-
aset masyarakat setempat sebagai pelaku budaya yang sesungguhnya. Untuk
I-9
LAPORAN ANTARA

itu, para perencana dan pelaku kegiatan penanganan lainnya, disarankan


untuk menggali, mendorong dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat
setempat untuk terlibat secara intensif dalam kegiatan penanganan (baik
dalam hal pendanaan, perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasannya)
khususnya dalam hal penanganan aset-aset yang bersifat pribadi. Dengan
pola pelibatan masyarakat yang baik, tidak tertutup kemungkinan kegiatan
penanganan ini menyentuh aset-aset pribadi dari anggota masyarakat yang
bersangkutan. Hasil temuan dilapangan menunjukkan bahwa hal-hal seperti
ini dapat terlaksana dengan didasarkan atas suatu kesepakatan dari seluruh
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penanganan tersebut.

1.6. KRITERIA LOKASI


1.6.1. Kriteria Umum
1.6.1.1. Kriteria Fisik
Secara umum ada dua jenis kriteria fisik yaitu :
1) Merupakan suatu kawasan perumahan dan permukiman
2) Memiliki luas kawasan studi sebesar ± 50 Ha dan luas kawasan
perencanaan /perancangan sebesar ± 20 Ha atau satu Kampung dalam
wilayah terpilih.
1.6.1.2. Kriteria Non Fisik
Sedangkan kriteria atau batasan non fisik dapat di bedakan menjadi 3
jenis, yaitu :
1) Memiliki tingkat keamanan wilayah yang tinggi
2) Masyarakatnya memiliki hubungan yang harmonis dengan pemerintah
3) Masyarakatnya memiliki keterbukaan dalam hal :
a. Menyikapi kunjungan masyarakat luar
b. Menyikapi uluran program penanganan yang diajukan pemerintah
c. Menyikapi kehadiran teknologi atau metoda non lokal tertentu yang
memberikan manfaat dalam rangka memperkuat tatanan sosial budaya
masyarakat setempat

1.6.2. Kriteria khusus


Memiliki signifikansi budaya tertentu yang dapat dilihat dari beberapa
aspek berikut ini (salah satu, sebagian, atau keseluruhan terurai aspek-aspek
dibawah ini) :
 Aspek arsitektur bangunan dan lingkungan
 Aspek pranata sosial (seperti misalnya eksistensi kelembagaan adat, ritual
adat, dan identitas sosial lokal lainnya)
 Aspek kesenian

I-10
LAPORAN ANTARA

1.7. ALUR PELAKSANAAN RENCANA TINDAK PENANGANAN


LINGKUNGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL
Berikut adalah diagram yang memberikan uraian singkat alur
pelaksanaan kegiatan rencana tindak revitalisasi lingkungan permukiman
tradisional, yang dapat ditelusuri uraian rincinya dalam penjelasan tiap-tiap
bab seperti yang ada dalam diagram.

I-11
LAPORAN ANTARA

Gambar 1.3
Alur Pelaksaan Kegiatan

TA H A P P E N A N G A N A N
TA H A P
P RA
PE NA NGA NA N

SELEKSI
LOKASI PENY US UNAN PELA KS ANAA N
M ONIT ORING
PENANGANAN PENY US UNAN PROGRA M PROGRA M
DA N
RT RP T INDAK T AHUNAN T INDA K T AHUNAN
EVALUAS I

BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI

1.8. PENDEKATAN PENYUSUNAN RENCANA TINDAK PENANGANAN


LINGKUNGAN PERMUKIMAN TRADISIONAL
1.8.1. Batasan Kegiatan
Sebagaimana disebutkan dalam KAK, batasan pekerjaan penyusunan
Rencana Tindak Penanganan Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah
ini terdiri dari 3 (tiga) kegiatan utama yaitu :
1. Penyusunan Rencana Tindak Penanganan Lingkungan Permukiman
Tradisional/Bersejarah pada kawasan terpilih di Kabupaten Teluk
Wondama;
2. Penyusunan program pembangunan dan Investasi kawasan, yang
disepakati oleh Pemerintah abupaten Teluk Wondama;
3. Penyusunan Detail Engineering Design (DED), untuk kegiatan fisik
penanganan permukiman tradisional/bersejarah.

1.8.2. Pengertian Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah


Pengertian tentang lingkungan permukiman tradisional/bersejarah
dalam konteks pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
1. Kawasan/lingkungan bangunan bersejarah, yang dapat diartikan
sebagai kawasan yang memiliki kaitan dengan sesuatu kehidupan masa
lalu lebih dari 50 tahun, yang dapat berupa bangunan-bangunan,
permukiman atau fasilitas umum lainnya yang digunakan secara kolektif.
2. Kriteria Lokasi Permukiman Tradisional/Bersejarah yaitu :
 Lingkungan permukiman yang memiliki/terdiri dari bangunan-bangunan
tradisional (kedaerahan), bersejarah, perdagangan, kelompok industri
rumah tangga yang mempunyai ciri khas tertentu;
 Secara sosial-budaya perlu untuk di review (pernah "hidup dan
dikenal");

I-12
LAPORAN ANTARA

 Secara ekonomi, pernah dan punya potensi untuk dikembangkan;


 Lingkungan permukiman dan bangunan yang bercirikan heritage
(pusaka).
3. Nilai kesejarahan dari suatu tempat/daerah berkaitan erat dengan
aspek tradisional yang sudah eksis dan berkembang di daerah tersebut.
Setiap upaya pelestarian terhadap "nilai kesejarahan serta eksistensi
tradisional" pada suatu lingkungan binaan dapat menjadi aset penting
bagi daerah yang bersangkutan berupa "jati diri lingkungan binaan"
yang memberikan identitas tersendiri.
Dengan demikian, pengertian tersebut sangat terkait dengan upaya
pelestarian (konservasi) dan artefak bersejarah yang dapat dikalsifikasikan
dalam Benda Cagar Budaya.

1.8.3. Konsep Pelestarian (Konservasi)


Kajian teoritis menyebutkan bahwa “sasaran pelestarian” meliputi
kegiatan perlindungan dan penataan dengan mengembalikan wajah obyek
pelestarian, memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk
menunjang kehidupan masa kini, serta mengarahkan perkembangan masa
kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam
obyek pelestarian, selain juga untuk menampilkan sejarah pertumbuhan
kota / lingkungan dalam wujud tiga dimensi. Pelestarian merupakan proses
pengelolaan suatu tempat, agar makna kultural yang dikandungnya bisa
dipelihara dengan baik.
Dalam dunia arsitektur dikenal istilah meng-konservasi yang kalau
diartikan secara umum berarti “melestarikan”. Konteks melestarikan disini
selalu ada keterkaitannya dengan sejarah dan warisan/peninggalan masa lalu.
Adapun obyek konservasi (Shankland,1985), dapat dibedakan sebagai
berikut :
1. Desa dan Kota kecil bersejarah
2. Kawasan bersejarah di lingkungan kota besar
3. Kota bersejarah
4. Kelompok bangunan bersejarah, tapak, istana dan artefak lainnya
Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung dari semua
kegiatan pelestarian (The Burra charter for the conservation of place cultural
significant, 1981, hal. 2). Konservasi adalah segenap proses pengelolaan
suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya dilindungi dan
terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan
perlindungan dan pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan
konservasi dapat mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, pemugaran

I-13
LAPORAN ANTARA

dan revitalisasi, yang kemudian dapat dipahami sebagai metoda & teknis
pelestarian meliputi :
1. Preservasi adalah pelestarian suatu tempat sama seperti keadaan
aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya mencegah penghancuran;
2. Restorasi / Rehabilitasi adalah segala upaya mengembalikan suatu
benda atau lingkungan Cagar Budaya ke dalam keadaan semula dengan
menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula
tanpa menggunakan bahan baru;
3. Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan suatu tempat semirip
mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan lama
maupun bahan baru, sesuai informasi kesejarahan yang diketahui;
4. Adaptasi / Revitalisasi adalah mengubah tempat agar dapat
digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai tanpa menuntut perubahan
drastis dan mendukung tujuan konservasi;
5. Anastilosis adalah upaya tertentu untuk memperkuat konstruksi Benda
Cagar Budaya dalam rangka penyelamatan Benda Cagar Budaya
dimaksud;
6. Demolisi upaya pembongkaran atau perombakan suatu bangunan atau
Benda Cagar Budaya yang sudah dianggap rusak dan membahayakan
dengan pertimbangan dari aspek keselamatan dan keamanan dengan
melalui penelitian terlebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap
Kriteria konservasi menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a) Estetika; estetis dan arsitektonis bentuk, struktur, tata ruang, ornamen.
b) Kejamakan; mewakili satu jenis spesifik.
c) Kelangkaan
d) Peranan sejarah; lokasi, peristiwa, ikatan simbolik dengan peristiwa
sejarah penting.
e) Memperkuat kawasan sejarah di dekatnya; makna keberadaan bangunan
terhadap kualitas dan citra lingkungan sekitar.
f) Keistimewaan; tertinggi, tertua, terpanjang, dan lain-lain.

1.8.4. Cakupan Kegiatan Pelestarian


Beberapa jenis kegiatan yang termasuk dalam cakupan kegiatan
pelestarian adalah sebagai berikut :
1. Gentrifikasi yaitu upaya peningkatan vitalitas suatu kawasan kota
melalui upaya peningkatan kualitas bangunan dan lingkungannya tanpa
menimbulkan perubahan yang berarti terhadap struktur fisik kawasan
tersebut. Gentrifikasi ini bertujuan untuk memperbaiki nilai ekonomis
suatu kawasan kota dengan mengandalkan pada kekuatan pasar dengan
cara memanfaatkan berbagai sarana dan prasarana yang ada, dan

I-14
LAPORAN ANTARA

meningkatkan kualitas serta kemampuan tanpa harus melakukan


pembongkaran.
2. Rehabilitasi yaitu upaya mengembalikan kondisi suatu bangunan atau
unsur-unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan,
kemunduran, degradasi, sehingga dapat berfungsi kembali sebagaimana
semestinya.
3. Preservasi yaitu upaya untuk memelihara dan melestarikan monumen,
bangunan, atau lingkungan, pada kondisi yang ada, dan mencegah
terjadinya proses kerusakan. Metode ini diterapkan untuk melindungi
gedung-gedung, monumen-monumen, dan atau lingkungan yang memiliki
nilai historis atau nilai arsitektur yang baik.
4. Konservasi yaitu upaya untuk melestarikan, melindungi, serta
memanfaatkan sumber daya suatu tempat, seperti gedung-gedung tua
yang memiliki nilai historis atau kultural, benda cagar budaya dan
sebagainya. Metode ini sebenarnya juga merupakan preservasi, tetapi
dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk
menampung dan memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti
kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru melalui usaha
penyesuaian, sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan
eksistensinya. Konservasi suatu tempat merupakan suatu proses daur
ulang dari sumber daya tempat tersebut.
5. Renovasi yaitu upaya untuk mengubah sebagian atau beberapa bagian
bangunan tua, terutama bagian dalam (interior) dengan tujuan agar
bangunan tersebut dapat diadaptasikan untuk menampung fungsi dan
kegunaan baru yang diberikan pada bangunan tersebut, atau masih
memiliki fungsi yang sama tetapi dengan persyaratan-persyaratan baru.
6. Restorasi yaitu upaya untuk mengembalikan kondisi suatu tempat pada
kondisi asalnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan yang
munculnya kemudian, serta memasang atau mengadakan kembali unsur-
unsur semula yang telah hilang tanpa menambah unsur-unsur baru.
7. Rekonstruksi yaitu upaya untuk mengembalikan kondisi atau
membangun kembali suatu tempat sedekat mungkin dengan wujudnya
semula yang telah diketahui. Proses ini pada umumnya dilakukan untuk
mengadakan kembali tempat-tempat yang telah sangat rusak atau
bahkan telah hampir punah sama sekali.
8. Replantasi yaitu menanam kembali tumbuh-tumbuhan jenis yang sama
sebagai pengganti tumbuhan yang telah mati pada tempat yang sama.
9. Refactasi yaitu mengukir dan atau melukis bagian-bagian yang rusak
sesuai dengan bentuk dan warna aslinya.

I-15
LAPORAN ANTARA

1.8.5. Kriteria Warisan Budaya


Berdasarkan diskusi dari beberapa arsitek dan disiplin ilmu lainnya
didapat hasil kesepakatan tentang kriteria yang dapat dimasukkan dalam
menentukan bentuk warisan budaya, sebagai berikut :
1. Secara nasional/internasional adalah :
a. Segala sesuatu yang mempunyai nilai penting (sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya);
b. Masterpiece (adiluhung);
c. Segala sesuatu yang mengandung keunikan atau kelengkapan;
d. Merupakan contoh terkemuka dari bangunan arsitektur, pemukiman
tradisional, teknologi, lansekap, kategori klaster (merupakan
beberapa tinggalan);
e. Merupakan budaya serupa, border (serumpun Melayu), merupakan
kebudayaan bersinambungan dalam rentang masa tertentu ( series).
2. Secara regional (provinsi) adalah :
a. Nilai penting (sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya);
b. Masterpiece regional;
c. Memiliki nilai atau kekhususan atau istimewa tingkat regional;
d. Merupakan contoh terkemuka dari bangunan arsitektur, pemukiman
tradisional, teknologi, lansekap atau gabungannya, merupakan
kawasan klaster, budaya serupa, border (serumpun etnis);
e. Kebudayaan berkesinambungan dalam rentang masa tertentu
(series);
f. Merupakan gabungan antara cultural dan natural;
g. Merupakan suatu peristiwa penting tingkat provinsi;
h. Memiliki ciri khusus budaya masyarakat propinsi.
3. Secara lokal (Kabupaten atau Kota) adalah :
A. Memiliki nilai budaya lokal;
B. Puncak budaya lokal;
C. Corak lokal;
D. Potensi arkeologi lokal;
E. Kepemilikan perorangan atau kelompok (LSM) dan didaftarkan
kepemilikannya.

1.8.6. Tinjauan Perundang-Undangan Tentang Pelestarian


Di Indonesia, setiap upaya pelestarian (konservasi) sangat selaras
dengan maksud dan tujuan yang tersurat dan tersirat dalam :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 tentang
pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya memberi penjabaran, kejelasan, dan pedoman
I-16
LAPORAN ANTARA

mengenai pengaturan : penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan,


penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan,
pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan
upaya pelestarian benda cagar budaya. Batasan pengertian dalam
peraturan perundangan tersebut meliputi :
a. Benda Cagar Budaya adalah :
i. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa
kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya,
yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau
mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-
kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
ii. Benda-benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung
benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi
pengamanannya.
c. Benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya adalah benda bukan
kekayaan alam yang mempunyai nilai ekonomi/intrinsik tinggi yang
tersembunyi atau terpendam di bawah permukaan tanah dan di bawah
perairan di wilayah Republik Indonesia
2. Undang-undang RI. Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung pasal 38 mengamanatkan bahwa bangunan gedung dan
lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang
tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya
dan dilaksanakan secara tertib administratif, menjamin kelaikan fungsi
bangunan gedung dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Perlindungan dan pelestarian meliputi kegiatan penetapan dan
pemanfaatan termasuk perawatan dan pemugaran, serta kegiatan
pengawasannya yang dilakukan dengan mengikuti kaidah pelestarian serta
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

1.8.7. Tinjauan Penataan Permukiman Tradisional/Bersejarah Dalam


RPIJM
Kegiatan Penataan Permukiman Tradisional/Bersejarah termasuk dalam
bagian dari Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,
Direktorat Pentaan Bangunan dan Lingkungan. Dalam RPIJM PU/Cipta Karya,
kegiatan Penataan Permukiman Tradisional termasuk dalam Program
I-17
LAPORAN ANTARA

Penataan Bangunan Gedung dan Lingkungan, dengan sub kegiatan


Pembangunan Prasarana dan Sarana Penataan Lingkungan Permukiman
Tradisional, sebagaimana tertuang dalam Pedoman Umum Penyusunan
RPIJM Kabupaten/Kota - Buku 3 Panduan Penataan Bangunan dan
Lingkungan dengan arahan sebagai berikut :
1. Sasaran Kegiatan adalah tertatanya kembali lingkungan permukiman
tradisional/bersejarah sehingga mampu memberikan dukungan
peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat
yang berada di dalamnya dalam rangka melestarikan budaya lokal
sebagai aset nasional.
2. Bentuk dan Pelaksanaan Kegiatan
a. Pelaksanaan kegiatan di kawasan yang merupakan kawasan strategis
dan telah disusun RTRP-nya;
b. Merupakan lokasi permukiman Tradisional dan atau Bersejarah;
c. Kabupaten atau Kota yang sedang berupaya melakukan penataan dan
perbaikan kawasan lingkungan permukiman tradisionil dan bersejarah;
d. Lokasi dapat berada atau tidak berada pada peruntukan perumahan
dalam RUTR/RDTR Kabupaten atau Kota, Dalam hal tidak ada
peruntukan perumahan perlu dilakukan review terhadap rencana tata
ruang atau rencana turunannya;
e. Masyarakat cukup kooperatif dan dapat menerima masukan,
perubahan sepanjang tidak mengganggu tradisi dan budaya setempat;
f. Dukungan dari Pemerintah Kabupaten dan atau Kota;
g. Pelaksanaan fisik dilakukan setelah disusun Rencana Tindak Revitalisasi
Permukiman yang disusun bersama masyarakat;
h. Bentuk kegiatan berupa :
1. Gerbang/Gapura;
2. Balai karya;
3. Balai pertemuan;
4. Jalan Lingkungan/Jalan Setapak;
5. Gorong-gorong;
6. Saluran Lingkungan/Drainase;
7. MCK Umum;
8. Terminal Air/Hidran Umum/PS Air Bersih sederhana;
9. Sarana persampahan;
10. Sarana penunjang ruang terbuka hijau;
11. Talud;
12. Sumur gali/bor;
13. Dermaga;
14. Sarana dan prasarana lainnya yang terkait yang dihasilkan melalui
kesepakatan bersama masyarakat;
I-18
LAPORAN ANTARA

3. Keluaran/Produk Kegiatan adalah adalah tersedianya prasarana dan


sarana dasar mendukung penataan kembali lingkungan permukiman
tradisional/bersejarah sehingga mampu mendorong masyarakat dalam
peningkatan kemampuan perekonomian dan kesejahteraanya.
Arahan dalam RPIJM dalam memberikan Profil Kondisi Pembangunan Sarana
dan Sarana Lingkungan Permukiman Tradisional/Bersejarah disusun dalam bentuk
tabulasi sebagai berikut
Luas Jumlah Potensi / Kebutuhan Dukungan
Nama
No. Lingkungan Penduduk Karakter Infrastruktur Pemda
Lokasi
(Ha) (jiwa) Lokasi *) **) ***)
1.
2.
3.
*) : diisi berdasarkan potensi / karakter lokasi :
a. Lingkungan permukiman dan bangunan tradisional (kedaerahan),
bersejarah, perdagangan, kelompok industri rumah tangga yang
mempunyai ciri khas tertentu;
b. Lingkungan permukiman yang secara sosial-budaya perlu untuk
dihidupkan kembali (dahulu pernah “hidup” dan “dikenal”);
c. Lingkungan yang secara ekonomi pernah dan punya potensi untuk
dikembangkan;
d. Lingkungan permukiman dan bangunan yang bercirikan heritage
(pustaka).
**) : diisi jenis infrastruktur yang akan diperlukan dalam mendukung
pengembangan dan peningkatan kualitas kawasan
***) : diisi dukungan yang akan disediakan Pemerintah Kabupaten/Kota,
seperti APBD, Tim Teknis, dll

1.8.8. Tinjauan Penataan Lingkungan


Ada beberapa definisisi yang di bahas dalan tinjauan penataan
lingkungan permukiman tradisional/bersejarah
1) Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah angka prosentase
berdasarkan perbandingan antara selumh luas lantai dasar bangunan
dengan luas lahah/tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai dengan rencana wilayah.
2) Koefisien Lantai Bangunan (KLB) adalah angka perbandingan antara
jumlah seluruh Iuas lantai seluruh bangunan terhadap luas tanah
perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana
wilayah
3) Elevasi / Peiil Bangunan adalah Ketinggian maksimum lantai dasar
bangunan dari muka jalan ditentukan untuk pengendalian keselamatan
I-19
LAPORAN ANTARA

bangunan, seperti dari bahaya banjir, dan pengendalian bentuk estetika


bangunan secara keseluruhan/ kesatuan lingkungan, serta aspek
aksesibilitas
4) Garis Sempadan Bangunan (GSB) merupakan Sempadan yang
memBatasi jarak terdekat hangunan terhadap tepi jalan, dihitung dari
batas terluar riool sampai batas terIuar muka bangunan, yang berfungsi
sebagai pembatas ruang.
5) Ketinggian Bangunan merupakan batas maksimum ketinggian yang
dapat dicapai suatu bangunan yang dinyatakan dalam lapis/tingkat
bangunan atau dalam satuan ketinggian (M').
6) Rencana Tapak adalah arahan tata letak bangunan
7) Infill adalah pembangunan baru dengan fungsi lain atau sebagai
penunjang pada bangunan atau lingkungan yang bersangkutan
8) Jalan adalah jalur yang direncanakan atau digunakan untuk lalu lintas
kendaraan an orang
9) Jalan Arteri adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien
10) Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien
11) Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan
ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi
12) Jalan Lingkungan Perumahan adalah jalan yang ada dalam satuan
permukiman atau lingkungan permukiman
13) Jalan Lingkungan Permukiman I adalah jalan di dalam lingkungan
permukiman yang dipergunakan untuk segala maam kendaraan roda 4
(empat)
14) Jalan Lingkungan Permukiman II (setapak kolektor) adalah jalan
di dalam lingkungan permukiman yang dipergunakan untuk menampung
arus manusia dari jalan setapak menuju suatu fasilitas lingkungan
15) Jalan Lingkungan Permukiman III (jalan setapak) adalah jalan
yang dipergunakan untuk pejalan kaki
16) Bahu Jalan adalah bagian dari jalan yang terletak pada tepi kiri atau
kanan jalan dan berfungsi sebagai lajur lalu lintas darurat, tempat
berhenti sementara, ruang bebas samping, penyangga kestabilan badan
jalan, jalur sepeda

I-20
LAPORAN ANTARA

17) Ruang Terbuka adalah suatu wadah yang dapat menampung kegiatan
aktivitas tertentu dari warga lingkungan tersebut baik secara individu
atau secara kelompok
18) Ruang Terbuka Aktif adalah ruang terbuka yang mengandung unsur-
unsur kegiatan didalamnya
19) Ruang Terbuka Pasif adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak
mengandung kegiatan-kegiatan manusia antara lain berupa penghijauan
/ taman sebagai sumber pengudaraan lingkungan, penghijauan sebagai
jarak terhadap rel kereta api dan lain-lain
20) Hunian tidak bertingkat adalah bangunan rumah yang bagian
huniannya berada langsung di atas permukaan tanah, berupa rumah
tunggal, rumah kopel, rumah deret dan rumah inti. Bangunan rumah
dapat bertingkat dengan kepemilikan dan dihuni pihak yang sama.
21) Rumah Inti adalah unit rumah dengan satu ruang serbaguna yang
selanjutnya dapat dikembangkan oleh penghuni

1.8.9. Konsep TRIDAYA


Pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia selama ini
diselenggarakan dengan pendekatan konsep TRIBINA. Konsep ini
melandaskan upaya pembangunan pada proses penyadaran serta
pemampuan masyarakat, agar dapat secara mandiri memenuhi kebtuhannya
akan perumahan yang layak dan terjangkau. Dengan berjalannya waktu serta
mengantisipasi berbagai perkembangan sosial yang terjadi, konsep TRIBINA
mengalami penyesuaian dari pembinaan dan pendorongan menjadi
pemberdayaan (pemampuan) yang dikenal sebagai pendekatan konsep
TRIDAYA.
Hal ini disebabkan karena kata bina lebih diartikan sebagai obyek
pembinaan (top-down) dari pemerintah, sedang kata daya lebih kepada
prakarsa dan potensi yang tumbuh dari masyarakat. Sehingga, masyarakat
yang difasilitasi oleh pemerintah, yang diperankan oleh fasilitator atau
konsultan pembangunan, adalah mereka yang menerima manfaat langsung
atau yang terkena dampak dari proyek pemerintah.
Konsep TRIDAYA, memiliki 3 (tiga) komponen yaitu :
1. Daya manusia, dilaksanakan proses penyadaran untuk menumbuhkan
pengertian, pengetahuan, kepedulian dan rasa memiliki dari peserta
proyek atau kelompok binaan terhadap permasalahan yang dihadapi.
Mereka difasilitasi untuk mendapatkan akses ke sumber daya
pembangunan yang tidak mereka miliki.
2. Daya usaha, penerima manfaat proyek diberi bekal pengetahuan dan
keterampilan usaha yang dapat membantu upaya-upaya peningkatan
pendapatan.
I-21
LAPORAN ANTARA

3. Daya lingkungan komunitas yang terkena dampak proyek diajak


untuk mengenali sumber permasalahan yang dihadapi dengan melakukan
survei kampung sendiri atau self-assessment survey. Hasil survey
dipaparkan dalam acara rembug warga. Dari hasil rembug warga
kemudian diputuskan prioritas pembangunan komponen prasarana dan
sarana lingkungan, yang hasilnya berupa Rencana Tindak Revitalisasi
Permukiman (RTRP). Melalui proses penyadaran (diseminasi dan
sosialisasi, rembug warga, dan fasilitasi), pengorganisasian dan
pengelolaan komunitas (lembaga akar rumput), serta pendampingan,
maka hasil pembangunan diharapkan dapat lebih efektif dan
berkelanjutan.
Landasan pemikiran dari konsep TRIDAYA tersebut antara lain :
1) Mempunyai asumsi dasar bahwa masyarakat perlu didorong untuk bisa
mengenali permasalahan yang dihadapi sehingga mampu menolong diri
dan keluarganya.
2) Kegiatannya diorientasikan dengan meletakkan dasar / landasan, sehingga
upaya yang dilakukan sebagai pendorong dapat terstimulasi dan bergulir
lanjut dengan karsa masyarakat sendiri sehingga berkelanjutan.
3) Menemukenali bahwa masalah perumahan dan permukiman tidak berdiri
sendiri tetapi terkait juga dengan masalah sosial (terkait persoalan
masyarakat) dan masalah ekonomi (dapat menggerakkan roda usaha
ekonomi). Dalam penanganan penyelenggaraan perumahan dan
permukiman diperlukan sentuhan menyeluruh (pandangan dan
penanganan secara holistik) dan terdesentralisasi, karena kawasan
mempunyai karakteristik yang sangat lokal (mempunyai nilai-nilai sosial-
budaya dan tradisi yang berbeda) terutama dalam pemecahan
permasalahan yang ada.

1.9. SISTEMATIKA PENYUSUNAN LAPORAN ANTARA


Sistematika pembahasan yang digunakan dalam laporan antara ini
ialah sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Bagian ini akan menguraikan latar belakang disusunya Laporan
pendahuluan, dasar hukum yang melandasi penyusunan rencana
tindak penanganan lingkungan permukiman tradisional, maksud,
tujuan dan sasaran penyusunan rencana tindak penanganan
lingkungan permukiman tradisional, metode penyusunan rencana
tindak, penjelasan mengenai pemahaman rencana tindak revitalisasi
lingkungan permukiman tradisional, kriteria pemilihan lokasi,
penjelasan mengenai alur pelaksanaan rencana tindak serta

I-22
LAPORAN ANTARA

pendekatan penyusunan rencana tindak penanganan lingkungan


permukiman tradisional.
BAB 2 TINJAUAN KEBIJAKAN KABUPATEN
Bab ini berisikan uraian tentang pendekatan terhadap kebijakan
sebagai bahan acuan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pada bagian
ini, akan dijelaskan kebijakan kebijakan yang berhubungan dengan
kegiatan rencna tindak penanganan lingkungan permukiman
tradisonal di kabupaten Teluk Wondama.
BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH
Bab ini berisikan gambaran atau deskripsi wilayah kabupaten atau
Distrik Wasior dengan memuat beberapa aspek wilayah tersebut,
antara lain Geografis dan administratif wilayah, kondisi fisik dasar,
kondisi kependudukan serta potensi kawasan.
BAB 4 ANALISA PENANGANAN KAMPUNG TERPILIH
Bab ini manyajikan indikator penanganan lingkungan permukiman
tradisional di Kawasan Wasior, analisa fisik dasar, analisa fungsional
permukiman, analisa potensi kependudukan, analisa potensi
masalah, analisa komponen penanganan serta konsep rencana
tindak penanganan lingkungan permukiman tradisional Kabupaten
Teluk Wondama.
BAB 5 PENYUSUNAN PROGRAM RENCANA TINDAK
Bab ini manyajikan metode penyusunan program tndak tahunan
yang meliputi persiapan, perumusan rancangan, finalisasi program
rancangan serta usulan produk rancangan rencana tindak
penanganan lingkungan permukiman tradisional Kabupaten Teluk
Wondama.

I-23

Anda mungkin juga menyukai