Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Manajemen Risiko
1. Pengertian Manajemen Risiko
Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. Hal ini
terkait dengan definisi umum risiko, yaitu pada setiap usaha/kegiatan
selalu terdapat kemungkinan tidak tercapainya suatu tujuan atau selalu
terdapat ketidakpastian atas keputusan apapun yang telah diambil. Suatu
kondisi yang timbul karena ketidakpastian dengan seluruh konsekuensi
tidak menguntungkan yang mungkin terjadi disebut “risiko”.
Konsekuensi tidak menguntungkan mengacu kepada tidak terwujudnya
sasaran usaha, yaitu tepat biaya, tepat waktu, dan tepat mutu hasil
sehingga risiko berhubungan dengan kejadian di masa yang akan datang
dan melibatkan pilihan dan ketidakpastian bahwa pilihan itu akan
dilakukan.1
Manajemen dalam bahasa Arab disebut dengan Idarah, yaitu saran
untuk merealisasikan tujuan umum. Sedangkan menurut Eddie Cade
definisi risiko berbeda-beda, tergantung pada tujuannya. Definisi risiko
yang tepat menurutnya dilihat dari sudut pandang adalah, exposure
terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan
bahwa risiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Risiko bank adalah keterbukaan terhadap
kemungkinan rugi (exposure to the change of loss).
Dilihat dari sisi landasan hukumnya, manajemen risiko merupakan
aplikasi dari prinsip kehati-hatian secara umum dianut perbankan dan
juga merupakan kewajiban karena diamanatkan oleh UU No.7 Tahun
1992 jo. UU No.10 Tahun 1998 jo. UU No.21 Tahun 2008 tentang
1
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Risk Management For Islamic Bank, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2013), h. 63

11
12

perbankan. Manajemen risiko yang efektif oleh bank menghasilkan


tingkat kinerja dan kesehatan yang baik bagi bank yang bersangkutan.
Bagi perbankan termasuk perbankan Islam tantangannya adalah
menemukan sistem dan mekanisme pengelolaan risiko secara Islam yang
tepat dan melaksanakannya secara istiqamah baik kuantitatif maupun
kualitatif untuk menghasilkan manajemen risiko yang efektif.2
2. Poses Manajemen Risiko
Untuk menerapkan proses manajemen risiko, pada tahap awal bank
harus secara tepat mengenal dan memahami serta mengidentifikasi
seluruh risiko, baik yang sudah ada maupun yang mungkin timbul dari
suatu bisnis atau produk baru bank. Selanjutnya, secara bertahap, bank
perlu melakukan pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.
Keseluruhan proses manajemen risiko ini harus meliputi seluruh
departemen atau divisi kerja dalam lembaga sehingga terciptanya budaya
manajemen risiko. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana proses
manajemen risiko dalam mendukung aktivitas yang dilakukan oleh
bank.3
a. Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko dilakukan dengan melakukan analisis paling
tidak terhadap karakteristik risiko yang melekat perusahaan tersebut.
Risiko dari produk dan kegiatan usaha perusahaan. Teknis identifikasi
risiko yang dapat dipakai sebagai berikut :
1) Idenfikasi seluruh risiko secara berkala.
2) Memiliki metode atau sistem untuk melakukan indentifikasi
risiko pada seluruh produk dan aktivitas bisnsi perusahaan.
Proses identifikasi dilakukan dengan menganalisis seluruh
sumber risiko yang paling tidak dilakukan terhadap risiko dari produk

2
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Risk Management For Islamic Bank, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2013), h. 63-65
3
Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman 3 Pilar Kesepakatan Basel
II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia, h. 8
13

dan aktivitas perusahaan serta memastikan bahwa risiko dari produk


dan aktivitas.
b. Pengukuran Risiko
Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap selanjutnya
adalah pengukuran risiko, pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar
(tolok ukur) untuk memahami signifikansi dari akibat (kerugian) yang
akan ditimbulkan oleh terwujudnya suatu risiko, baik secara
individual maupun portofolio, terhadap tingkat kesehatan usaha dan
kelangsungan usaha bank. Lebih lanjut pemahaman yang akurat
tentang signifikansi tersebut akan menjadi dasar bagi pengelolaan
risiko yang terarah dan berhasil.4
Metode pengukuran ini dapat bersifat kualitatif, kuantitatif atau
kombinasi antara keduanya. Sedangkan model pengukuran risiko yang
digunakan harus sesuai dengan kebutuhan bank, ukuran, dan
kompleksitas bank, manfaat yang diperoleh, serta peraturan yang
berlaku.
c. Pemantauan Risiko
Sistem dan prosedur pemantauan yang mencangkup pemantauan
terhadap besarnya eksposur risiko, toleransi risiko kepatuhan limit
internal, dan hasil stress testing atau konsistensi pelaksanaan dengan
kebijakan dan prosedur yang ditetapkan. Pemantauan dilakukan oleh
unit pelaksana mauapun oleh SKMR (Satuan Kerja Manajemen
Risiko). Hasil pemantauan disajikan dalam laporan berkala yang
disampaikan kepada manajemen dalam rangka mitigasi risiko dan
tindakan yang diperlukan.5
d. Pengendalian Risiko
Sistem pengendalian risiko yang memadai dengan mengacu
pada kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Proses

4
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Risk Management For Islamic Bank, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2013), h. 133
5
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah, Jateng h: 46-47
14

pengendalian risiko yang diterapkan perusahaan harus sesuai dengan


eksposur risiko atau tingkat risiko yang akan diambil dan toleransi
risiko. Pengendalian risiko dapat dilakukan dengan metode mitigasi
risiko serta penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian.6
3. Tujuan Manajemen Risiko
Tujuan utama dari manajemen risiko adalah untuk memastikan
bahwa seluruh kebijakan risiko dan bisnis bisa diimplementasikan secara
konsisten .
Sedangkan menurut Drs. H. Agus Salim, MA tujuan manajemen
risiko ialah dalam rangka mengelola perusahaan supaya mencegah
perusahaan dari kegagalan mengurangi pengeluaran, menaikkan
keuntungan perusahaan, menekan biaya produksi dan sebagainya.
Adapun saran-saran yang hendak dicapai oleh manajemen risiko
terdiri dari:7
a. Untuk kelangsungan hidup perusahaan (survival)
b. Ketenangan dalam berfikir
c. Memperkecil biaya
d. Menstabilisasi pendapatan perusahaan
e. Memperkecil/meniadakan gangguan dalam berproduksi
f. Mengembangkan pertumbuhan perusahaan
g. Mempunyai tanggung jawab sosial terhadap karyawan.
4. Fungsi Manajemen Risiko

Fungsi manajemen risiko secara umum adalah untuk


mengidentifikasi atau mendiagnosa risiko. Kemudian risiko itu mesti
diukur, dianalisis dan dievaluasi dalam ukuran frekuensi, keparahan dan
variabilitasnya. Selanjutnya keputusan harus diambil seperti memilih dan
menggunakan metode-metode untuk menangani masing-masing risiko
diidentifikasi itu. Sebagian risiko tertentu mungkin perlu dihindarkan,

6
Ibid. h.31
7
Drs. H. Abbas Salim, MA, Asuransi Dan Manajemen Risiko (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005) Cet Ke 2, h. 201
15

sebagian lagi mungkin perlu diatur sendiri, dan yang lainnya mungkin
perlu diasuransikan.8

Adapun fungsi manajemen risiko yaitu :

a. Menetapkan arah dan risk appetite dengan mengkaji ulang secara


berkala dan menyutujui risk exposure limits yang mengikuti
perubahan strategi perusahaan.
b. Menetapkan limit umumnya mencakup pemberian kredit, penempatan
non-kredit, asset liability management, trading dan kegiatan lain
seperti derivtif dan lain-lain.
c. Menetapkan kecukupan prosedur atau prosedur pemeriksaan (audit)
untuk memastikan adanya integrasi pengukuran risiko, kontrol sistem
pelaporan, dan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur yang
berlaku.
d. Menetapkan metodologi untuk mengelola risiko dengan menggunakan
sistem pencatatan dan pelaporan yang terintegrasi dengan sistem
komputerisasi sehingga dapat diukur dan dipantau sumber risiko
utama terhadap organisasi bank.9
5. Risiko
a. Pengertian Risiko
Menurut kamus ekonomi risiko adalah peluang dimana hasil
susungguhnya bisa berbeda dengan hasil yang diharapkan atau
kemungkinan nilai yang hilang atau oleh yang dapat di tukar. Risiko
secara umum seperti disampaikan beberapa penulis antara lain.
Menurut PBI No. 13/25/PBI/2011 tentang manajemen resiko
bagi BUS dan UUS. Resiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya
suatu peristiwa tertentu. Sementara itu resiko kerugian adalah

8
Drs. Herman Darmawi, Manajemen Risiko (Jakarta: Bumi Aksara, 1994) Cet Ke 2 Ed 1,
h. 32-33
9
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Risk Management For Islamic Bank, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2013), h. 83
16

kerugian yang terjadi sebagai konsekuensi langsung atau tidak


langsung dari kejadian resiko.10
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
risiko adalah ketidakpastian atas terjadinya suatu peristiwa yang akan
menimbulkan kerugian.
b. Jenis Jenis Risiko
1) Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau pihak
lain dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian yang
disepakati. Risiko pasar terdiri atas risiko suku bunga, risiko nilai
tukar valuta asing dan komoditas, dan juga risiko harga ekuitas
(equity price risk).
2) Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening
administrasi akibat perubahan harga pasar, antara risiko berupa
perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau
disewakan.
3) Risiko Likuiditas adalah risiko ketidakmampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan
arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
digunakan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan
bank.
4) Risiko Operasional adalah risiko kerugaian yang diakibatkan oleh
proses internal yang kurang memadai, kegagalan proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan atau adanya kejadian
eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5) Risiko Hukum adalah risiko yang timbul akibat tuntuan hukum
dan atau kelemahan aspek yuridis. Risiko ini timbul antara lain
karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya
syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak
sempurna.

10
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah, Jateng. h.31
17

6) Risiko Reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat


kepercayaan para pemangku kepentingan yang bersumber dari
persepsi negatif terhadap bank syariah. Risiko ini timbul antara
lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai
bank syariah yang bersifat negatif, serta adanya strategi
komunikasi bank syariah yang kurang efektif.
7) Risiko Strategis adalah akibat ketidaktepatan dalam pengambilan
adan atau pelaksanaan suatu keputusan strategis serta kegagalan
dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Risiko ini
timbul antara lain karena bank syariah menetapkan strategi yang
kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan analisis
lingkungan strategis yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat
ketidaksesuaian rencana strategis (strategic plan) antarlevel
strategis.
8) Risiko Kepatuhan adalah risiko akibat bank syariah tidak
memenuhi dan atau tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan yang berlaku, serta prinsip syariah.
Risiko kepatuhan dapat bersumber antara lain dari perilaku
setidaknya, yakni perilaku/aktivitas bank yang menyimpang atau
melanggar dari ketentuan atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
9) Risiko Imbal Hasil (rate of return risk) adalah risiko akibat
perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan bank kepada
nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang
diterima bank dari penyaluran dana, yang dapat mempengaruhi
perilaku nasabah dana pihak ketiga bank. Risiko ini timbul antara
lain karena adanya perubahan perilaku nasabah dana pihak ketiga
bank yang disebabkan oleh perubahan ekspektasi tingkat imbal
hasil yang diterima dari bank syariah.
10) Risiko Investasi (equity investment risk) adalah risiko akibat bank
ikut menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai dalam
18

pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing. Risiko ini
timbul apabila bank memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil
kepada nasabah dimana bank ikut menanggung risiko atas
kerugian usaha nasabah yang dibiayai (profit and loss sharing).11
6. Dasar Hukum Manajemen Risiko
Semakin kompleksnya produk dan aktivitas lembaga keuangan
syariah yang tidak lepas dari banyaknya risiko yang dihadapi lembaga
keuangan akan semakin meningkat dan semakin terintegrasi seperti saat
ini. Islam sangat menginginkan umatnya untuk mengantisipasi risiko dan
menganjurkan untuk melaksanakan perencanaan agar lebih baik lagi
dimasa yang akan datang. Sebagaimana yang terlihat didalam Al-Qur’an
surat Al-Hasyr ayat 18

%ٌ %‫ ْف‬%َ‫ ن‬%‫ر‬%ْ %ُ‫ ظ‬%‫ ْن‬%َ‫ ت‬%‫ ْل‬%‫و‬%َ %َ ‫ هَّللا‬%‫ا‬%‫و‬%ُ‫ق‬%َّ‫ت‬%‫ ا‬%‫ا‬%‫ و‬%ُ‫ ن‬%‫ َم‬%‫ آ‬%‫ن‬%َ %‫ ي‬%‫ ِذ‬%َّ‫ل‬%‫ ا‬%‫ ا‬%‫ َه‬%‫ َأ ُّي‬%‫ا‬%‫ي‬
%ْ %‫ َم‬%‫ َّد‬%َ‫ ق‬%‫ ا‬%‫ َم‬%‫س‬
%ۖ %‫ ٍد‬%‫ َغ‬%ِ‫ ل‬%‫ت‬
%‫ َن‬%‫و‬%ُ‫ ل‬%‫ َم‬%‫ ْع‬%َ‫ ت‬%‫ ا‬%‫ َم‬%ِ‫ ب‬%‫ ٌر‬%‫ ي‬%ِ‫ ب‬%‫خ‬%َ %َ ‫ هَّللا‬%‫ ِإ َّن‬%ۚ %َ ‫ هَّللا‬%‫ا‬%‫ و‬%ُ‫ق‬%َّ‫ت‬%‫ ا‬%‫و‬%َ
Artinya: ”Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa
yang kamu kerjakan”. (QS Al-Hasyr 18)
Ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar bertakwa
kepada Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan perintah-
perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukan diri hanya
kepada-Nya saja, tidak sedikit pun terdapat unsur syirik di dalamnya,
melaksanakan ibadat-ibadat yang diwajibkan-Nya dan mengadakan
hubungan baik sesama manusia.12
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang
penerapan manajemen risiko bagi bank umum untuk mengatur agar

11
Ibid. h.37
12
Veithzal Rivai dan Rifki Ismail, Islamic Risk Management For Islamic Bank, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2013), h.74-75.
19

masing-masing bank menerapkan manajemen risiko sebagai upaya


meningkatkan evektivitas prudential banking. Diantaranya yaitu,
a. Pasal 35 UU 21 Tahun 2008 (1) Bank Syariah dan UUS dalam
melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian;
b. Pasal 38 UU 21 Tahun 2008 (1) Bank Syariah dan UUS wajib
menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan
perlindungan nasabah. (2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia;
c. PBI pasal 2 ayat 1 No. 9/1/PBI/2007 Bank wajib melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah
dalam rangka menjaga atau meningkatkan Tingkat Kesehatan
Bank.13

B. Pembiayaan Murabahah
1. Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan atau financing ialah pendanaan yang diberikan oleh
suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah
direncanakan, baik dilakukan sendiri atau lembaga. Dengan kata lain,
pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan.14
Pembiayaan merupakan aktivitas yang penting karena dengan
pembiayaan akan diperoleh sumber pendapatan utama yang menjadi
penunjang kelangsungan usaha BMT. Oleh karena itu pengelolaan
pembiayaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan
menimbulkan permasalahan berakibat berhentinya usaha BMT.
Dengan Pembiayaan BMT akan memperoleh kemanfaatan yaitu
sebagai sumber pembentukan kekayaan dan pendapatan yang dapat
menjamin kelangsungan kegiatan usaha BMT. Termasuk dalam hal ini
13
Ibid. h. 68-69
14
M. Nur. Rianto, Dasar Dasar Pemasaran Bank Syariah, Bandung: Penerbit Alfabeta,
2012, h. 42.
20

memungkinkan BMT untuk mengembangkan usahanya yang lebih besar.


15

2. Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), adalah transaksi
jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak
sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah
harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin). Kedua
belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati
tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Secara sederhana,
murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut
ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, sesorang membeli
barang kemudian menjualnya kembali dengam keuntungan tertentu.
Berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam nominal
rupiah tertentu atau dalam bentuk presentase dari harga pembeliannya,
misalnya 10% atau 20%.16
Murabahah merupakan perjanjian jual beli antara bank dan nasabah
dimana bank syari’ah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah
yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan
margin/keuntungan yang disepakati antara bank syari’ah dan nasabah.
Dalam bank syari’ah akad ini diaplikasikan pada pembiayaan investasi
/barang modal, pembiayaan konsumtif, pembiayaan modal kerja dan
pembiayaan ekspor.17
Dalam fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) No :
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan murabahah, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan murabahah yaitu menjual suatu barang

15
Widiyanto, BMT Praktik dan Kasus, Jakarta: Rajawali Pers, 2016 h.53-54
16
Adhiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,(Jakarta: Rajawali
Pers,2011), h.113
17
Muhammad, Manajemen Dana Bank Syari’ah, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hlm. 311
21

dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli, dan pembeli


membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.18
3. Dasar Hukum Pembiayaan Murabahah
a. Al-Quran
1) Q.S Al-Baqarah : 280

َ ‫َوِإ ْن َكانَ ُذو ُعس َْر ٍة فَنَ ِظ َرةٌ ِإلَ ٰى َم ْي َس َر ٍة ۚ َوَأ ْن ت‬


‫ َخ ْي ٌر لَ ُك ْم ۖ ِإ ْن ُك ْنتُ ْم‬W‫َص َّدقُوا‬
َ‫تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2) Q.S. An-Nisa : 29

ِ َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ً‫اط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرة‬
‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُلُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
ٍ ‫ع َْن تَ َر‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”

Maksud dari ayat ini adalah larangan membunuh diri sendiri


mencakup juga larangan membunuh oang lain, sebab membunuh
orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan. 19

3) QS. Al-Baqarah : 275

... ‫م ال ِّربَا‬Wَ ‫ َوَأ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر‬...


18
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
murabahah
19
Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis (Jakarta: Kencana, 2010), h.42
22

Artinya: "... Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba ..."
b. Al-Hadits

Rasulullah tegaskan:

‫ اَ ْلبَ ْي ُع ِإلَى‬:ُ‫ث فِ ْي ِه َّن ْالبَ َر َكة‬


ٌ َ‫ ثَال‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآلِ ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫َأ َّن النَّب‬
‫ت الَ لِ ْلبَي ِْع (رواه ابن ماجه‬ ِ ‫ َو َخ ْلطُ ْالبُرِّ بِال َّش ِع ْي ِر لِ ْلبَ ْي‬،ُ‫ضة‬
َ ‫ َو ْال ُمقَا َر‬،‫َأ َج ٍل‬
)‫عن صهيب‬
Artinya: Nabi bersabda: “Ada tiga hal yang mengandung
berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut
untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”. (HR
Ibnu Majah dari Suhaib). 20

c. Undang-undang
Berdasarakan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional NO: 04/DSN-
MUI/IV/2000 terdapat beberapa ketentuan mengenai akad Murabahah
sebagai berikut: 21
1. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
a. Bank dan nasabah harus melakukakn akad Murabahah yang
bebas riba.
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat
Islam
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian
barang yang telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama
bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

20
Basaria Nainggolan, Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, h. 46
21
http://dsnmui.or.id diakses pada 26 Oktober 2018 jam 22.03
23

f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah


(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus
keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu
secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati
tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan
akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus
dengan nasabah.
i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli
barang dari pihak ketiga, akad jual beli Murabahah harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
2. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
a. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu
barang atau aset kepada bank.
b. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli
terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan
pedagang.
c. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji
yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut
mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat
kontrak jual beli.
d. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
e. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut,
biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
24

f. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus


ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa
kerugiannya kepada nasabah.
g. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari
uang muka, maka:
1) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut,
ia tinggal membayar sisa harga.
2) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik
bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh
bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak
mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
3. Jaminan dalam Murabahah:
a. Jaminan dalam Murabahah dibolehkan, agar nasabah serius
dengan pesanannya.
b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan
yang dapat dipegang.
4. Utang dalam Murabahah:
a. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
Murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang
dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut.
Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan
keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk
menyelesaikan utangnya kepada bank.
b. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
c. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian,
nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai
kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran
angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
5. Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
25

a. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan


menunda penyelesaian utangnya.
b. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja,
atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
6. Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang
sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan
kesepakatan.
4. Jenis-jenis Pembiayaan Murabahah
Murabahah dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang pesan atau tidak,
ada yang beli atau tidak bank syariah menyediakan barang
dagangannya. Penyediaan barang murabahah ini tidak terpengaruh
atau terikat langsung dengan ada atau tidaknya pesanan atau
pembeli.
2) Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan
melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah
yang memesan barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan
jika ada pesanan pada murabahah ini. Pengadaan barang sangat
tergantung atau terkait langsung dengan pesanan atau pembelian
barang tersebut.22
Dalam murabahah melalui pesanan ini, si penjual boleh
meminta pembayaran hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika
ijab qabul. Hal ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan si
pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli dan memasang
berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, sedangkan si pembeli

22
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press, 2005, h. 37 – 38
26

membatalkannya, hamish ghadiyah-nya ini dapat di gunakan untuk


menutup kerugian si dealer mobil. Bila jumlah hamish ghadiyah-nya
lebih kecil di bandingkan jumlah kerusakan yang harus di tanggung
oleh si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya
bila berlebih si pembeli berhak atas kelebihan itu.
Sehingga proses pengadaan barang dilakukan sebelum
transaksi/akad jual beli murabahah dilakukan. Pengadaan barang
yang dilakukan bank syariah atau BMT ini dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain:
a. Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip murabahah).
b. Memesan kepada pembuat barang/ produsen dengan pembayaran
dilakukan secara keseluruhan setelah akad (prinsip salam).
c. Memesan kepada pembuat barang/ produsen dengan pembayaran
yang dilakukan di depan, selama dalam masa pembuatan, atau
setelah penyerahan barang (prinsip isthisna).
d. Merupakan barang-barang dari persediaan mudharabah atau
musyarakah.23
5. Rukun dan Syarat Pembiayaan Murabahah
Mengenai rukun dan syarat murabahah pada dasarnya sama dengan
jual beli biasa, seperti para pihak yang melakukan akad cakap bertindak
hukum, barang yang diperjual belikan merupakan barang yang halal, ada
secara hakiki, dan dapat diserahterimakan. Namun, untuk sahnya akad
murabahah, para ulama sepakat ada syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi, yaitu:
a. Harga pokok diketahui oleh pembeli kedua jika harga pokok tidak
diketahui maka jual beli murabahah menjadi fasid.
b. Keuntungan diketahui karena keuntuungan merupakan bagian dari
harga.

23
Adhiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan,(Jakarta: Rajawali
Pers,2011), h.115
27

c. Modal merupakan mal misliyyat (benda yang ada perbandingan di


pasaran) seperti benda yang ditakar, benda yang ditimbang, dan
benda yang dihitung atau sesuatu yang nilainya diketahui, misalnya
dinar, dirham, atau perhisan.
d. Murabahah tidak boleh dilkukan terhadap harta riba dan
memunculkan riba karena dinisbahkan pada harga pokok, seperti
seseorang membeli barang yang ditakar atau itimbang dengan jenis
yang sama maka tidak boleh baginya untuk menjual barng tersebut
secara murabahah. Karena murabahah adalah jual beli dengan harga
pokok dan tambahan laba. Sementara itu, tambahan pada harta riba
adalah riba fadhal, bukan laba.
e. Akad jual beli yang pertama dilakukan adalah sah jika akad jual beli
pertama fasid maka murabahah tidak boleh dilakukan.24
Rukun murabahah menurut madzab Hanafi adalah ijab dan qabul,
sedangkan menurut jumhur ulama ada empat rukun yaitu: orang yang
menjual, orang yang membeli, shighat, dan barang yang diakadkan.
Menurut madzab hanafi bahwa ijab adalah menetapkan perbuatan
tertentu yang menunjukan keridhoan yang keluar pertama kali dari
pembicaraan salah satu dari dua orang yang mengadakan akad. Kabul
adalah apa yang diucapkan kedua kali dari pembicaraan salah satu kedua
belah pihak. Jadi yang dianggap adalah awal munculnya dan kedua saja.
Baik yang berasal dari penjual maupun dari pihak pembeli.25
Syarat murabahah adalah sesuai dengan rukun jual murabahah yaitu:
a. Syarat orang yang berakal
Orang yang melakukan jual beli harus memenuhi :
1. Berakal. Menurut jumhur ulama bahwa orang yang melakukan
akad jual beli itu harus telah baligh dan berakal.
2. Yang melakukan akad jual beli adalah orang berbeda.

24
Rozalinda, Fiqih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan
Syariah, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2016, h.84-85
25
Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta : UII Press, 2005, h. 16
28

b. Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul


Menurut para ulama fiqih, syarat ijab kabul adalah:
1. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal
2. Kabul sesuai ijab
3. Ijab dan Kabul itu dilakukan dalam satu majelis
c. Syarat barang yang diperjualbelikan
Syarat barang yang diperjualbelikan yaitu:
1. Barang itu ada atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
2. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
3. Milik seseorang, barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang
tidak boleh dijualbelikan.
4. Boleh diserahkan saat akad berlangsung dan pada waktu yang
disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.26

6. Tujuan dan Manfaat Pembiayaan Murabahah


Pemberian suatu fasilitas pembiayaan mempunyai tujuan tertentu
dan tidak akan terlepas dari misi bank tersebut didirikan. Adapun tujuan
utama dari pemberian suatu pembiayaan antara lain:
a. Mencari keuntungan yaitu untuk memperoleh return ditambah laba
dari pemberian pembiayaan tersebut. Hasil tersebut terutama dalam
bentuk bagi hasil margin yang diterima oleh bank sebagai balas jasa
dan hanya administrasi pembiayaan yang diberikan kepada nasabah.
b. Membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, bank dan investasi
maupun modal kerja.
c. Membantu pemerintah agar semakin banyak pembiayaan yang
diberikan oleh pihak perbankan, mengingat semakin banyak
pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat maka akan
berdampak kepada pertumbuhan di berbagai sektor.27
26
Osmad Muthaher, Akuntansi Perbankan Syari’ah, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012, h. 57-
61
27
Kasmir. Dasar-dasar Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. H.96.
29

Dilihat dari tujuan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pemberian


suatu pembiayaan tidak hanya menguntungkan bagi suatu pihak saja
yaitu pihak yang diberikan pembiayaan, melainkan juga menguntungkan
bagi pihak yang memberikan pembiayaan.
Transaksi murabahah memiliki beberapa manfaat kepada bank
syariah, diantaranya adalah:
a. Adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga yang dibeli dari
penjual dengan harga jual nasabah.
b. Sistem murabahah sangat sederhana sehingga memudahkan
penanganan administrasinya di bank syariah.28
c. Manfaat bagi bank adalah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana
untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.
d. Manfaat bagi nasabah adalah penerima fasilitas adalah merupakan
salah satu cara untuk memperoleh barang tertentu melalui
pembiayaan dari nasabah. Nasabah dapat mengangsur pembayaran
dengan jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama
perjanjian.29
7. Karakteristik Pembiayaan Murabahah
Karakteristik murabahah dalam ekonomi Islam harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Penjual
Karakteristik murabahah yang pertama adalah si penjual harus
memberi tahu kepada pembeli harga pembelian barang dan jumlah
keuntungan yang ditmbahkan pada biaya tersebut.
b. Biaya
Untuk penutupan biaya-biaya dalam murabahah keempat
madzhab (Maliki, Maliki, Hanafi dan Hambali) membolehkan
pembebanan biaya langsung yang harus dibayarkan kepada pihak

28
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Islam: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, 2001, h. 106-107
29
Wansawijaya, Pembiayaan Bank Syariah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, h.
205
30

ketiga tapi tidak boleh pembebanan biaya langsung yang berkaitan


yang hal-hal berguna. Keempat madzhab juga membolehkan
pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan pada pihak
ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan pihak ketiga. Bila pekerjaan
itu harus dilakukan oleh si penjual, madzhab Maliki tidak
membolehkannya, sedangkan ketiga madhab lainnya membolehkan.
Madzhab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya
tidak langsung bila tidak menambah nilai barang dan tidak berkaitan
dengan hal-hal yang tidak berguna.
c. Waktu dan Margin

َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا ال ِّربَا َأضْ َعافًا ُم‬
َ‫ضا َعفَةً ۖ َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan yang berlipat ganda dan bertaqwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan ”
(Q.S Ali Imron: 130)

Banyak orang terjerumus dalam riba disebabkan karena


peminjaman dengan keuntungan yang didasarkan pada waktu
pembayaran. Semakin lama orang yang meminjam maka keuntungan
yang ditetapkan semakin besar. Ini bertentangan dengan islam dan
termasuk jahiliyah yaitu: utang dibayar lebih dari pokoknya karena si
peminjam tidak mampu membayar utanngnya pada waktu
ditetapkan.30

30
Muhamad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Cet 1 ( Jakarta: Gema
Insani, 2001), hlm.41.
31

Anda mungkin juga menyukai