Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 2 ILMU NEGARA

NAMA: Silvi Qurotaeni


NIM : 045073463

Pertanyaan

1. Apa bentuk Negara menurut tripartite berdasarkan ajaran negara klasik tradisional dan
bagaimana bentuk negara menurut Plato dan bentuk negara yang bagaimana yang ideal
menurut Plato, jelaskan alasannya!
2. Ada banyak sarjana yang membuat klasifikasi negara. Jelaskan klasifikasi negara menurut
Harold J. Laski ? Bagaimana pula klasifikasi negara hukum Kemakmuran.

Jawaban
1. a. Klasifikasi negara klasik tradisional atau tripartite lambat laun tidak mungkin lagi diterapkan
dan dipertahankan untuk zaman modern. Sebagai contoh, adalah negara Inggris, jika memakai
istilah Aristoteles bentuk negara Inggris bukanlah monarki. Sementara itu, kalau menurut
pengertian sekarang negara Inggris disebut dengan istilah monarki, dan memang demikianlah
keadaannya. Hal ini karena kepala negaranya diangkat berdasarkan sistem pewarisan bukan
monarki menurut pengertian Aristoteles. Kiranya klasifikasi klasik tradisional sudah tidak dapat
dipertahankan lagi untuk masa sekarang. Hal ini karena sudah tidak ada lagi pemerintahan yang
demikian itu.
Di dalam perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum peristilahan di dalam
ilmu negara pun sering mengalami perubahan pengertian. Seperti disebutkan di atas
pengertian monarki pada zaman Yunani Kuno berbeda dengan pengertian monarki pada
zaman modern ini. Jika pada zaman Aristoteles monarki diartikan sebagai pemerintahan
yang dipegang oleh satu orang tunggal dan untuk kepentingan umum (Soehino 1980:
26) maka pada zaman modern ini telah terjadi pergeseran. Monarki dalam konteks saat
ini ialah negara dimana kepala negaranya itu ditunjuk atau diangkat berdasarkan sistem
atau stelsel pewarisan. Pengertian monarki menurut Leon Duguit ini tentunya berbeda
dengan pengertian monarki pada zaman Yunani Kuno (Sochino 1980: 172). Namun
demikian, ke semuanya itu masih penting di dunia ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
negara (Sochino 1980: 173).

b. Selain Plato dan Aristoteles terdapat sarjana lain yang mengklasifikasikan negara
berdasar pendekatan klasik tradisional, yakni Polybios. Mengikuti ajaran Aristoteles,
Polybios mengklasifikasikan negara ke dalam beberapa bentuk. Ajaran Polybios tentang
bentuk-bentuk negara dikenal dengan nama cycles theory. Polybios menguraikan proses
pertumbuhan dan musnahnya lenyapnya bentuk negara secara psikologis. Teorinya
tentang perkembangan bentuk negara didasarkan atas asas sebab dan akibat (Kansil dan
Kansil, 2007: 196). Menurutnya bentuk negara yang satu merupakan akibat dari bentuk
negara yang lain yang telah mendahuluinya. Bentuk negara terakhir kemudian akan
menjadi sebab dari bentuk negara yang berikutnya. Disini terdapat hubungan kausal
(sebab akibat) antara bentuk yang satu dengan bentuk yang lainnya. Perubahan bentuk-
bentuk negara ini menjelma menjadi suatu cycles (lingkaran). Sesudah melalui fase
tertentu perubahan akan kembali lagi kepada bentuk yang semula (Soehino 1980: 38).
- munculnya negara-negara buruk merupakan ekses dari negara baik. Ekses itu sangat
dipengaruhi oleh siapa dan seperti penyelenggaraan pemerintahan dalam satu negara
itu. Negara yang baik atau ideal ini kemudian mengalami pemerosotan sehingga
berubah menjadi negara buruk.
2. Tentang klasifikasi bentuk negara, Harold J. Laski mengatakan bahwa yang menjadi
inti soal dalam organisasi negara adalah hubungan antara rakyat dengan undang- undang.
Maksudnya adalah dalam negara itu rakyat memiliki wewenang ikut campur dalam pembuatan
undang-undang ataukah tidak. Keikutsertaan rakyat dalam pembuatan undang-undang dipakai
oleh Laski untuk mengklasifikasikan negara. Berdasarkan kriteria ini Laski mengklasifikasikan
bentuk negara menjadi negara demokrasi dan autokrasi. Suatu negara disebut demokrasi
apabila rakyat memiliki wewenang ikut campur dalam pembuatan undang-undang. Sementara
itu, negara disebut autokrasi apabila rakyat tidak memiliki wewenang ikut campur dalam
pembuatan undang-undang (Sochino 1980: 214).
Klasifikasi negara Laski ini dalam kenyataannya bersifat ideal. Hal ini karena bentuk
negara demokrasi murni atau autokrasi murni sangat sulit ditemukan dalam praktik
negara-negara saat ini. Dalam demokrasi murni misalnya harus meminta pendapat
rakyat seluruhnya mengenai segala soal, terutama dalam pengaturannya. Demikian pula
autokrasi murni, negara harus merencanakan serta melaksanakan sendiri semua
undang-undang yang akan dibentuk. Dalam kenyataan organisasi negara yang tampak
adalah dalam bentuk campuran. Disini terjadi kombinasi antara autokrasi dan
demokrasi. Hanya saja memang harus diakui dalam penerapannya demokrasi lebih
menonjol dibandingkan autokrasi atau sebaliknya penerapan autokrasi lebih tegas
dibandingkan demokrasi. Dalam kenyataannya tiada satu kedua bentuk organisasi
negara tersebut berada dalam bentuknya yang semurni-murninya (Sochino 1980: 214).
Sedangkan negara hukum Kemakmuran pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari
negara hukum materiil. Konsep negara hukum kesejahteraan mengemuka dan menjadi
arus utama yang dianut negara-negara modern sejak terjadinya great depression pada
era 1940-an. Amerika Serikat menjadi salah satu pioneer negara kesejahteraan melalui
kebijakan new deal yang dijalankan oleh Presiden Roosevelt (Mochtar, 2009: 4). Pada
konsep negura kemakmuran atau wohlfaartstaats negara mengabdi sepenuhnya kepada
masyarakat. Dalam negara kemakmuran negara adalah alat satu-satunya untuk
menyelenggarakan kemakmuran rakyat. Negara aktif dalam menyelenggarakan
kemakmuran warganya untuk kepentingan seluruh rakyat dan negara. Jadi, tugas negara
adalah semata-mata menyelenggarakan kemakmuran rakyat yang semaksimal mungkin
(Wahjono, 1977: 22).
Perkembangan dalam praktik negara hukum di negara-negara Barat telah mengubah
asas legalitas yang semula diartikan sebagai pemerintahan berdasar atas undang-
undang (wetmatigheid van het bestuur) menjadi pemerintahan berdasar atas hukum
(rechtmatigheid van het bestuur). Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran nilai
dalam masyarakat, rakyat tidak lagi terlalu konfrontatif terhadap kekuasaan penguasa,
melainkan sudah berubah dan menganggap pemerintah sebagai partner untuk
mencapai tujuannya, yaitu kemakmuran (Wahjono, 1977: 151). Negara kesejahteraan
dianggap sebagai kompromi antara ideologi sosialistis dan liberal. Perkembangan negara
kesejahteraan menyebabkan bahwa hal-hal yang dulu merupakan inisiatif swasta,
sekarang diambil alih oleh pemerintah, demi keadilan sosial yang lebih baik dan untuk
mencegah pengangguran dan stabilisasi dalam menghadapi konjungtur ekonomi
(Rahardjo, 2009: 20).
Dalam konsepsi negara kesejahteraan kemakmuran ini, negara dituntut untuk
memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi
oleh rakyat banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak
dihilangkan. Perkembangan inilah yang memberikan legislasi bagi negara intervensionis
pada abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam
berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan
bersama dalam (Asshiddiqie, 1994: 222).

Sumber Referensi :
HKUM4209/MODUL 4 4.15 – 4.16
HKUM4209 /MODUL 4 4.46 – 4.47

Anda mungkin juga menyukai