Anda di halaman 1dari 21

ORGANISASI DAN LINGKUNGAN

Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pemerintahan Daerah Dalam Pemanfaatan Kebijakan

Desentralisasi Fiskal

Oleh

Nyoman Gita Saraswati Ratmayanti

464871

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan

karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi saya sehingga dapat

menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. DR., Abdulhalim

MBA., Ak., CA. selaku dosen mata kuliah Organisasi Lingkungan, atas ilmu dan wawasannya

yang telah diberikan sehingga dapat menjadi literasi dalam menyelesaikan paper ini.

Judul paper ini adalah “Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pemerintahan Daerah Dalam

Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal”. Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kata

sempurna, oleh karena itu penulis dengan senang hati jika ada yang memberikan kritikan atau

masukan yang membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat bagi paper

ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 06 November 2020

(Nyoman Gita Saraswati Ratmayanti)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..……………………………………………………………….1

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………..8
B. Rumusan Masalah……………………………...………………………10
C. Tujuan Pembahasan…………...……………………………………….10

BAB II PEMBAHASAN
1. Korupsi dan Pemerintahan Desa……………………………………….11
2. Upaya Pencegahan Korupsi dalam Pengelolaan Dana Desa…………..13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan…………………………………………………………….19
B. Sara…….……………………………………………………………....20

DAFTAR PUSTAKA

3
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang berusaha memajukan negaranya

agar dapat lebih baik dari sebelumnya, perbaikan-perbaikan disegala sektor selalu diupayakan

menjadi lebih baik lagi, salah satunya adalah pembangunan daerah dan memaksimalkan sumber

daya yang ada agar dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar. Pemerintah Indonesia melalui

kebijakan-kebijakannya dibuat untuk kepentingan masyarakat dari bawah, menengah, hingga

atas. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata untuk

memajukan masyarakat Indonesia agar lebih baik lagi kedepannya, pembangunan-pembangunan

ini juga diharapkan berdampak positif bagi perekonomian negara, salah satu pembangunan yang

digencarkan adalah pembangunan daerah atau desa. Melalui kebijakan Desentralisasi yang

dibuat oleh pemerintah pusat untuk pemimpin-pemimpin di daerah-daerah diharapkan

pemimpin-pemimpin tersebut membuat kebijakan terkait daerahnya masing-masing dan tentunya

sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing, sehingga kebijakan yang dibuat oleh

pemimpin daerah mengenai daerah yang dipimpinnya lebih tepat sasaran. Desentralisasi itu

sendiri menurut Henry Maddick (1963) adalah penyerahan kekuasaan atau wewenang dari pusat

ke daerah secara hukum untuk menangani bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu. Sementara

menurut Rondinelli (1983) Desentralisasi itu adalah penyerahan perencanaan, pembuatan

keputusan, kewenangan administratif dari pusat ke suatu organisasi wilayah, organisasi semi-

otonom, pemerintah daerah, ataupun organisasi non-pemerintah atau Lembaga Swadaya

Masyarakat.

Desentralisasi dalam penerapan dan implikasinya terdapat komponen utama yaitu

sumber-sumber keuangan untuk melaksanakan fungsinya agar efektif. Secara kesatuan dapat

4
dikatakan sebagai Desentralisasi Fiskal yang berarti pelimpahan kewenangan atau penyerahan

kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah atau desa untuk membuat kebijakan

dengan dukungan anggaran dari pusat. Menurut Saragih (2003:83) Desentralisasi Fiskal adalah

suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahanan yang lebih tinggi kepada

pemerintahanan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah yang sesuai

dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Pada setiap kebijakan

yang dibuat pastilah memiliki tujuan dan sasaran yang akan dicapai dengan kebijakan tersebut,

menurut Robert Simanjuntak (2002) sasaran dari desentralisasi fiscal adalah :

• Untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber-sumber

keuangan daerah.

• Mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah.

• Meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses pembangunan daerah

• Menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap daerah.

• Meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Pada dasarnya setiap kebijakan yang dibuat oleh pelayan publik atau pemerintah pastilah dibuat

dengan tujuan baik dan tentunya dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan

masyarakat dan meningkatkan perekonomian masyarakat maupun ekonomi negara. Namun, pada

penerapannya setiap kebijakan yang dibuat pastilah mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam

penerapannya, kekurangan inilah yang dapat menjadi celah untuk dimanfaatkan oleh oknum-

oknum yang serakah dan tidak bertanggungjawab. Kebijakan Desentralisasi Fiskal yang

mempunyai banyak manfaat tetaplah mempunyai kelemahan dalam penerapannya, menurut Bahl

(2008) kelemahan desentralisasi fiskal, yaitu :

5
• Lemahnya kontrol pemerintah terhadap ekonomi makro.

• Sulitnya menerapkan kebijakan stabilisasi ekonomi

• Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.

• Besarnya biaya yang ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang

didapat.

• Instabilitas Nasional

• Pengeluaran yang lebih besar dari sumber-sumber yang tersedia.

Beberapa kekurangan-kekurangan diataslah yang dapat saja dimanfaatkan oleh kepala daerah

atau kepala desa yang serakah dan tidak memikirkan kepentingan masyarakatnya. Peluang-

peluang ini yang dapat menimbulkan adanya indikasi korupsi anggaran desa di daerah otonom.

Korupsi merupakan tindak pidana penyelewengan yang biasanya berhubungan dengan anggaran

atau dana, sementara korupsi sendiri menurut Klitgaard (2001) adalah sebuah tingkah laku yang

menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan karena keuntungan status atau uang yang

menyangkut pribadi. Jika dilihat dari konteks prilakunya, korupsi merupakan prilaku

menyimpang penjabat publik dari norma-norma yang ada di masyarakat dengan maksut untuk

kepoentingan pribadinya atau demi keuntungan pribadi (Chaeruddin & Fadillah, 20019).

Kemudian pada tahun 2015-2017 ICW melakukan pemantauan mengenai korupsi yang terjadi di

desa, pemantauan tersebut menghasilkan kasus tindak pidana korupsi meningkat di setiap

tahunnya, dimana di tahun 2015 terdapat 17 kasus korupsi, hal ini meningkat di tahun 2016

sebesar 41 kasus dan terjadi lonjakan dua kali lipat di tahun 2017 sebesar 96 kasus, total kasus

dalam kurun waktu 3 tahun tersebut adalah 154 kasus, dimana kasus korupsi anggaran desa

mencapai 127 kasus, sementara lainnya merupakan kasus korupsi non-anggaran desa. Kasus

korupsi tersebut didominasi oleh kepala desa, dimana kepala desa yang terjerat sebanyak 112

6
orang dan meningkat di setiap tahunnya. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi

fiskal yang memiliki tujuan baik masih saja memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat

dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang serakah.

Pemerintah pusat selaku pengawas terkait kebijakan desentralisasi fiskal selalu berupaya

menanggulangi kasus tindak pidana korupsi, KPK sebagai Lembaga indenpenden juga selalu

mengawasi angaran-anggaran yang diberikan ke daerah otonom. Banyak sudah kepala-kepala

daerah yang terkena OTT oleh KPK terkait dana desa. Sebagai masyarakat kuta perlu membantu

pemerintah dalam mengawasi dana desa yang diberikan oleh pusat ke daerah, pemerintah pusat

juga pasti kualahan untuk mengawasi dana-dana tersebut karena banyaknya daerah-daerah

otonom yang diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan sendiri sesuai dengan

karakteristik daerahnya. Sebagai masyarakat yang akan menikmati dana desa tersebut haruslah

bijak dan kritis dalam mengawasi dana desa tersebut, karena dana desa tersebut nantinya juga

akan memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat melalui pembangunan-pembangunan yang

ada maupun berupa bantuan-bantuan.

Pemerintah Indonesia sangat berkomitmen dalam mewujudkan pembangunan daerah

secara merata dan disesuaikan dengan daerahnya, komitmen ini diwujudkan dengan adanya

kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan pembangunan secara lokal-partisipatif

kepada desa, hal ini sering disebut dengan Desentralisasi Fiskal, dimana Pemerintah desa

diberikan kewenangan membuat kebijakan sendiri untuk membangun daerahnya. Pemerintah

Pusat sebagai pemegang kendali Pemerintah daerah maupun Pemerintah desa memberikan

keleluasaan yang dimana diharapkan dengan adanya keleluasaan Pemerintah daerah maupun

Pemerintah desa dalam mengatur daerahnya sendiri dapat menjadi daerah maju dan tentunya

dapat berdampak baik untuk ekonomi daerah maupun nasional.

7
A. Latar Belakang

Pemerintahan Indonesia telah menerapkan desentralisasi fiskal sejak era Reformasi,

dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan fiskal ke Pemerintah desa, hal ini untuk

menyelaraskan dengan perkembangan masing-masing daerah atau desa sesuai perkembangan

keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintah daerah, hal ini diatur

dalam Undang-Undang Desa Nomer 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang yang

seluas-luasnya kepada pemerintah desa untuk mengatur dan mengelola desanya dalam rangka

meningkatkan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Desa harus bangkit

dan tumbuh dalam dinamika kehidupan global yang semakin besar tantangannya .

Kebijakan desentralisasi fiscal yang dibuat oleh Pemerintah pusat untuk Pemerintah

Daerah maupun Desa mempunyai sisi positif dan negative, dimana terdapat kelebihan pada

sistem ini adalah sebagian besar kebijakan dan keputusan yang berada didaerah dapat

diputuskan secara langsung tanpa ikut campur tangan dari pemerintah pusat, dimana

pemerintah daerah atau pemerintah desa diberikan keleluasaan untuk mengatur daerah nya

sendiri sesuai kebutuhan daerah atau desa tersebut, akan tetapi pada sistem ini terdapat

kekurangan juga, dimana ada peluang atau celah untuk dimanfaatkan dalam artian ketika

pemerintah daerah atau pemerintah desa memiliki kontrol penuh terhadap daerah

otonominya, maka akan ada indikasi kewenangan-kewenangan yang nantinya hanya

mementingan kelompok tertentu dan digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau

oknum.

Kebijakan jika diartikan dan dilaksanakan sesuai dengan aturan maka kebijakan ini

tentu sangat berpihak kepada rakyat, dimana rakyat diberikan bantuan atau disediakan

8
anggaran untuk pembangunan di wilayahnya, dalam artian kebijakan ini dibuat untuk

memajukan ekonomi dan pembangunan yang ada di desa-desa, Namun dalam prakteknya

masih saja terdapat oknum yang memanfaatkan kebijakan tersebut, dimana banyak terjadi

kasus Pemerintah desa menyunat atau memotong anggaran yang diberikan Pemerintah Pusat

untuk masing-masing desa, sehingga anggaran tersebut sudah tidak utuh lagi ketika

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membangun desanya. Kasus-kasus semacam itu banyak

tersebar di media sosial dan berita-berita televisi tanah air, dimana dana desa dikurangi dari

jumlah total untuk kepentingan pribadi tanpa adanya rasa malu oleh perangkat-perangkat

desa maupun oknum-oknum yang bekerja di Pemerintahan Desa.

Kasus-kasus praktik korupsi yang sudah terjadi seperti contoh saja kasus korupsi yang

dilakukan oleh Syafini Syamsudin sebagai kepala desa Sungai Bemban kabupaten Pontianak

yang dapat dikatagorikan memalsukan laporan pertanggungjawaban Dana Desa agar dapat

mencairkan sebesar 60% dari total keseluruhan anggaran yang telah disiapkan, dimana dana

yang didapat 60% tersebut sebesar Rp. 136.798.003,- dari dana tersebut yang direalisasikan

hanya sebesarb Rp. 45.114.051,- dan yang tidak direalisasikan atau disunat sebesar Rp.

91.683.952,- Syafini Syamsudin terbukti bersalah atas tindakan korupsi yang dilakukannya.

Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi lainnya yang memanfaatkan

kebijakan desentralisasi fiskal untuk kepentingan pribadi. Banyak juga kasus-kasus

penyunatan Dana Desa yang dilakukan oleh perangkat desa atau Pemerintahan Desa dalam

skala kecil sehingga tidak terlalu mencolok dan akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa adanya

tindakan hukum dari apparat hukum maupun Pemerintah Pusat. Celah atau peluang ini akan

selalu ada yang memanfaatkan jika terus dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengawasan

9
lebih dan pencegahan sejak dini yang dilakukan oleh Pemerintah Pusast maupun Pemerintah

Daerah yang memegang kendali kebijakan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa penyebab maraknya tindak pidana korupsi pada kebijakan Desentralisasi Fiskal?

2. Bagaimana upaya pencegahan yang harus dilakukan pemerintah untuk meminimalisir

tindak pidana korupsi?

C. Tujuan Pembahasan

Pembahasan kali ini memiliki tujuan untuk memberikan atau memperjelas bahwa

kebijakan Desentralisasi Fiskal masih memiliki kelemahan yang dapat dikatagorikan fatal

atau sangat perlu dibenahi lebih lanjut. Pembahasan ini juga memberikan masukan-masukan

dari penulis untuk pemerintah agar semakin lebih ketat lagi dalam menangani kelemahan-

kelemahan yang ada dalam penerapan kebijakan Desentralisasi Fiskal. Masukan-masukan

yang diberikan oleh penulis juga mengadopsi dari jurnal-jurnal yang membahas tindak

pidana korupsi pada dana desa dalam beberapa tahun belakangan, dalam hal ini penulis

menggabungkan pemikiran dan literasi dari jurnal yang ada. Penulis juga berharap

pembahasan kali ini dapat memberikan edukasi bagi masyarakat tentang pentingnya

pengawasan yang perlu dilakukan oleh masyarakat desa itu sendiri atas dana desa yang telah

diberikan oleh pemerintah pusat. Pembahasan kali ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang positif bagi Pemerintah Pusat maupun masyarakat desa terutama yang

terdampak secara langsung akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum di

pemerintahan.

10
PEMBAHASAN

1. Korupsi dan Pemerintahan Desa

Maraknya kasus korupsi di Indonesia sudah menjamur di setiap lini atau di setiap

bagian yang ada di pemerintahan, apalagi mengenai dana desa yang nilainya anggarannya

cukup besar dan cukup lemah dalam pengawasannya, maka dari itu dibutuhkan adanya

penguatan dalam pengawasan dan transparansi mengenai penggunaan dana desa yang

diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah maupun ke desa-desa. Disamping

itu masyarakat juga harus diberikan edukasi dan pemahaman menegenai dana desa yang di

gelontorkan oleh pemerintah pusat untuk pembangunan desa. Masyarakat harus kritis

terhadap kepala desa yang menerima dana desa tersebut sebelum disalurkan untuk

dipergunakan semestinya, karena jika dilihat dari sebelum-sebelumya kebanyakan dana desa

disunat atau dikorupsi oleh kepala desa untuk kepentingan pribadinya, longgarnya

pengawasan membuat kepala desa mempunyai peluang untuk melakukan tindakan korupsi

mengenai dana desa tersebut, akibatnya pembangunan-pembangunan yang seharusnya dapat

dilaksanakan menjadi tersendat dan berhenti ditengah jalan karena dana yang diperlukan

telah habis diambil oleh oknum tersebut. Masyarakat yang seharusnya dapat menikmati

pembangunan yang ada menjadi tidak terpenuhi, desa-desa akan tetap tertinggal dalam hal

pembangunan jika dana desa tidak disalurkan atau dipergunakan dengan baik, anggaran-

anggaran yang telah diberikan oleh pusat akan sia-sia karena tidak dipergunakan semestinya.

Tindakan korupsi yang terjadi sebenarnya bisa dicegah dan bisa berkaca pada kasus-

kasus yang sudah terjadi sebelumnya, kasus-kasus korupsi yang sudah terjadi bisa dijadikan

bahan evaluasi pemerintah pusat untuk kedepannya, apa asaja yang perlu dilakukan dan

11
dicegah agar korupsi-korupsi selanjutnya tidak terjadi, minimal kasus korupsi yang terjadi

dapat dikurangi dan lebih dipersempit peluang yang ada. Ada beberapa aspek yang

mempengaruhi kencederungan terjadi tindakan koruspi, yaitu :

A. Dorongan Internal Kepala Desa

Prilakun koruptif yang dilakukan oleh kepala desa tidak jauh dari

terhimpitnya masalah ekonomi. Pada dasarnya tuntutan ekonomi itu tergantung

masing-masing individu dalam mengatur pengeluaran dan pendapatan yang

diterimanya, terutama gaji yang diterima apakah sudah mampu mengcover

pengeluaran yang terjadi atau belum, jika pendapatan yang diterima tidak

mencukupi kebutuhan hidupnya maka kepala desa akan mencari pendapatan dari

anggaran-anggaran yang ada, bisa disebut terpaksa melakukan tidak korupsi

karena terhimpit kebutuhan yang banyak. Selain kebutuhan ekonomi yang

membuat kepala desa melakukan tindakan korupsi ada juga karena memiliki sifat

tamak dan rakus, sehingga yang dipikirkan adalah bagaimana caranya

memperkaya diri, rendahnya integritas dan moralitas yang dimiliki kepala desa

semakin mendorong kelapa desa melakukan tindakan korupsi

B. Lingkungan

Seperti yang dikatakan oleh Suwarno dalam (Nurdjana, 2010) korupsi

yang ada di desa dikarenakan factor lingkungan yang sejalan dengan situasi dan

kondisi yang ada di desa. Faktor lingkungan yang ada terutama keluarga sangat

berpengaruh pada tindakan korupsi, setidaknya ada sekitar 97,27% kasus korupsi

yang terjadi di kepala desa dan itu melibatkan istri (Istimora, 2018), sehingga

prilaku korupsi yang melibatkan keluarga seperti menjustifikasi bahwa keluarga

12
yang bersangkutan menyetui salah satu anggota keluarganya melakukan tindakan

korupsi yang sebenarnya itu merupakan tindakan yang tidak terpuji dan

memalukan.

Beberapa aspek-aspek diatas merupakan hal yang dapat mendorong terjadinya

tindakan korupsi di tingkat kepala desa. Kurangnya komitmen dan integritas menjadi pemicu

kepala desa melakukan tindakan korupsi, padahal kepala desa diharapkan menjadi

perwakilan desa yang dapat memajukan desa agar lebih sejahtera dan makmur. Para kepala

desa yang melakukan tidakan korupsi sebenarnya tidak tahan melihat anggaran yang begitu

besar yang di gelontorkan oleh pemerintah pusat, sehingga prilaku koruptif muncul tanpa

memikirkan bahwa dana tersebut bukanlah hak pribadinya melaikan hal masyarakat nya yang

dipergunakan untuk pembangunan di desa nya. Prilaku-prilaku koruptif ini sebenarnya dapat

ditanggulangi dan dicegah sedini mungkin.

2. Upaya Pencegahan Korupsi dalam Pengelolaan Dana Desa

a. Mengenali Berbagai Modus Korupsi

Pada ahkir tahun 2019 sudah ada sekita 900 kepala desa bermasalah dengan

hukum diakrenakan terkait dengan dana desa. Sebagai diantaranya terpaksa menghadapi

juruji besi akibat dari penyalah gunaan dana desa. Dari data di atas dapat dikatakan

bahwa penayalahgunaan dana desa akibat korupsi adalah hal yang paling banyak terjadi.

Modus korupsi ini sebenarnya memiliki pola yang sama seperti pengadaan barang dan

jasa yang tidak sesuai alias fiktif, markup angaran, tidak melibatkan masayarakt dalam

musyawrah desa dan penyelewangan dana desa untuk kepentingan yang pribadi adalah

beberapa pola yang banyak dilakukan. Lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh

13
pemerintah pusat adalah salah satu dari peyebabnya penyelewangan banyak terjadi di

dana desa.

Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) melakukan penelitian

mengenai modus korupsi dana desa. Peneliti ICW Egi Primayoga memaparkan hasil

penelitiannya, ada 12 modus korupsi dana desa yang disimpukan ICW berdasar

penelitiannya. Modus itu antara lain:

1. Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika

pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa.

2. Mempertanggung jawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa

padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat

jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa.

3. Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak

dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi

hingga untuk membayar biaya S2.

4. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau

kabupaten. Ini juga banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak

boleh ragu untuk melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling

dirugikan.

5. Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus

perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan untuk

pelesiran saja.

6. Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa. Jika modus

ini lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya

14
melaporkan kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap

mencicipi uang haram itu.

7. Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara

fisik tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun.

8. Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas

desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut

pendapatan dari sektor pajak ini.

9. Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi.

Lagi-lagi ewuh pakewuh menjadi salah satu penghambat kasus seperti ini

sehingga seringkali terjadi pembiaran.

10. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan

perangkat desa. Publik harus tahu alokasi pendanaan dana desa agar kasus ini

tidak perlu terjadi.

11. Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa.

Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai

larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar.

12. Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.

Berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga

desa dan berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan

aktif monitor setiap langkah yang dilakukan dengan pembelanjaan dana desa.

15
b. Peningkatan Capacity Bulding ( Perangkat Desa)

1. Strata Pendidikan

Dalam hal strata pendidikan sudah bisa dilihat perbedaan yang cukup

signifikan yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang

persyaratan untuk menjadi kepala desa dan perangkat desa. Untuk menjadi kepala

desa hanya cukup dengan berijazah SMP dan untuk menjadi perangkat desa harus

berijazah SMA. Hal ini tentunya sudah berbanding terbalik karena di mana yang

mempunyai strata pendidikan lebih tinggi maka dialah yang memimpin,

dikhawatirkan ini akan berdampak kepada manejemen kepemimpinan karena tidak

akan bisa dipungkiri para perangkat desa yang mempunyai strata pendidikan di atas

akan mempunyai sikap pandang enteng kepada kepala desa karena pendidikan yang

di bawah. Pada saat ini kepala desa tidak hanya bermodalkan dari seorang tokoh desa

akan tetapi harus mempunyai kecerdasan intelektual dalam pegelolaan anggaraan

desa.

2. Diklat

Kepala desa dan perangkatnya mempunyai tugas berat dalam menjalankan

roda pemerintahan di tingkat desa. Saat ini desa-desa dituntut mampu mengelola

anggaran pemerintah yang nilainya cukup besar mencapai Rp 1 milyar lebih setiap

tahunnya. Sehingga Kapala Desa dan perangkatnya mesti lebih meningkatkan

kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan berbagai kegiatan pelatihan ataupun

bimbingan teknis (Bimtek), Termasuk kegiatan peningkatan SDM aparatur desa yang

16
diselenggarakan bagi perangkat desa belum lama ini dinilai sangat membantu dalam

peningkatan kapasitas dan kemampuan perangkat desa

c. Penguatan Kapasitas Pendamping Desa Upaya pencegahan korupsi dapat

dilakukan dengan cara :

1. Mendampingi Desa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan

terhadap pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa;

2. Mendampingi Desa dalam melaksanakan pengelolaan pelayanan sosial dasar,

pengembangan usaha ekonomi Desa, pendayagunaan sumber daya alam dan

teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana Desa, dan pemberdayaan

masyarakat Desa;

3. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Pemerintahan Desa, lembaga

kemasyarakatan Desa dalam hal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat

Desa;

4. Melakukan pengorganisasian di dalam kelompok-kelompok masyarakat Desa;

5. Melakukan peningkatan kapasitas bagi Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

dan mendorong terciptanya kader-kader pembanguna Desa yang baru;

6. Mendampingi Desa dalam pembangunan kawasan perdesaan secara partisipatif;

dan

7. Melakukan koordinasi pendampingan di tingkat kecamatan dan memfasilitasi

laporan pelaksanaan pendampingan oleh Camat kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten atau Kota

17
d. Mengurangi Campur Tangan Dari Pemerintah Daerah.

Kepala desa selaku penanggung jawab yang ada di desa mengemban tugas yang

cukup berat dalam hal untuk mensejahterakan masyarakat desanya, ini tentunya tidak

lepas dari peran pemerintah daerah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah

ketika pemerintah daerah dalam hal ini bupati pada saat mengadakan kunjungan kerja ke

desa yang demi kepentingan politiknya tidak jarang menyuruh kepala desa untuk

membuat berbagai macam kegiatan yang tidak sesuai dengan program dari desanya.

Kepala desa selaku bawahan tidak mampu menolak perintah dari pemerintah daerah,

yang harusnya dilakukan oleh kepala desa itu sendiri adalah dengan menolak karena

bernuansa politik dan menguntungkan pribadi dari kepala daerah itu sendiri yang

sesugguhnya untuk kepentingan politik.

18
PENUTUP

A. Simpulan

Potensi korupsi dalam pengelolaan dana desa akan sangat berdampak kepada

pemerintahan desa itu sendiri dalam hal pembuatan RAB yang tidak sesuai dengan

kesepakatan yang telah dibuat. Kepala desa selaku penanggung jawab atas pembiayaan

pembangunan dana desa yang sesungguhnya berasal dari dana lain atau dana fiktif,

meminjam sementara dana desa untuk keperluan pribadi yang berujung tidak

dikembalikannya dana desa tersebut. Pemotongan dana desa oleh oknum tertentu, membuat

pengularan dana fiktif , markup pembayaran gaji perangkat desa, pembayaran alat ATK yang

tidak sesuai dengan harga sesungguhnya, memungut dana pajak desa yang tidak dimasukan

kedalam pembukan desa. Mengingat banyaknya potensi desa yang belum di optimalkan

secara baik, maka melalui undang- undang desa sebesar 1 milyar - 1,5 miliyar, pemerintah

desa dan masyarakat desa mempunyai peluang dalam mengelola sumber daya alam dan

sumber daya manusia masyrakat desa. Pengelolaan secara transparan, akuntabel, dan

partisipatif adalah bagian dari upaya penecagahan korupsi. Terdapat beberapa upaya- upaya

yang dilakukan bisa mencegah korupsi di desa dengan menggunakan mengenali modus

korupsi, peningkatan sdm, dan penguatan kapasitas pendampingan desa.

19
B. Saran

Bagi penulis selanjutnya, secara garis besar paper diatas dalam pembuatannya

membahas secara berimbang, dalam artian tidak terlalu luas juga tidak terlalu spesifik,

diharapkan kepada penulis selanjutnya, jika ingin melanjutkan pembahasan ini agar lebih

spesifik dan mendetail lebih dalam, sehingga pembahasan selanjutnya mengenai Pencegahan

Tindak Pidana Korupsi pada Dana Desa terkait Kebijakan Desentralisasi Fiskal dapat lebih

mendalam, literasi yang menjadi acuan dapat lebih diperbanyak lagi dan tentunya literasi

yang terupdate, kemudian dalam penulisan harap lebih diperhatikan tata bahasa nya sehingga

pembaca akan lebih mudah memahami isi pembahasan yang dibahas.

Bagi pembaca diharapkan pada saat membaca pembahasan pada paper ini

menyandingkan berita-berita terupdate, sehingga informasi yang sampai akan semakin jelas,

dikarenakan pada pembahasan kali ini menggunakan data atau literasi beberapa tahun

kebelakang yang tentunya pada saat itu hingga setidaknya sampai pada saat paper ini dibuat

kebijakan desentralisasi fiskal masih memiliki beberapa kelemahan yang sudah dibahas.

Pembaca diharapkan update berita terbaru mengenai penanganan tindak pidana korupsi pada

dana desa yang ada di kebijakan desentralisasi fiskal, karena bisa saja pencegahan-

pencegahan yang ditunjukan oleh penulis pada saat ini sudah direalisasikan atau sudah

diwujudkan.

Paper ini sendiri masih belum sempurna dalam penulisannya, sehingga harap jadi

maklum jika ada salah kata atau typo yang terkadang lepas dari pengamatan penulis. Mohon

maaf jika pembahasan kali ini ada yang tidak sesuai dengan yang diharapka pembaca, jika

ada kritikan dan masukan dengan senang hati penulis akan menerima untuk dipertimbangkan,

agar nantinya paper ini menjadi lebih bermanfaat bagi pembaca

20
DAFTAR PUSTAKA

Aryadji. Ini Dia 12 Modus Korupsi Dana Desa Versi ICW. http://www.berdesa.com/12-

modus-korupsi-dana-desa-versi-icw/. ( Diakses pada tanggal 27 oktober 2020).

Setyawati, S., Suparmini., & Dyah Respati Suryo, S. (2013). Pelestarian Lingkungan

Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No. 1.

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-

Undang Republik Indonesia. Sekretariat Negara. Jakarta.

Riza M. Irfansyah. Tingkatkan Kapasitas Perangkat Desa Lewat Pelatihan Dan Bimtek.

http://fokus-jabar.com/2016/06/16/tingkatkan-kapasitas-perangkat-desa-lewat-pelatihan-dan-

bimtek/ ( diakses pada tanggal 27 oktober 2020.)

Istimora, D. (2018). 97,27 Persen Korupsi Dana Desa Oleh Kades dan Istri. Retrieved from

http://m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/337543/97,27_persen_korupsi_dana_desa_oleh_k

ades_dan_istri.html ( diakses tanggal 27 oktober 2020)

Kristendo Sumolang, Tanggung Jawab Kepala Desa Terhadap Keuangan Desa Ditinjau

Dari Undang Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa Yang Berimplikasi Tindak Pidana

Korupsi, Lex Crimen Vol. VI/ No. 1/Jan-Feb/2017. Hlm 36

Nurdjana, I. (2010). Sistem Hukum Pidana dan Budaya Laten Korupsi: “Perspektif

Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai