Anda di halaman 1dari 13

MANDIRI PBL SKENARIO 4

BLOK KARDIOVASKULAR
FK YARSI
2021

Disusun oleh :
Nama : SYIFA FADLILAH
NPM : 1102020098
Kelompok : A11

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
JL. LETJEND SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH
JAKARTA 10510
TELP. 62.21.4244574 FAX. 62.21.42
1. Memahami dan menjelaskan mekanisme sistem koagulasi
a. Teori koagulasi lama
Dideskripsikan oleh Paul Morawitz tahun 1905, menggunakan empat (4) faktor
koagulasi dalam skemanya. Keberadaan kalsium dan tromboplastin, maka
protrombin diubah menjadi trombin. Trombin akan mengubah fibrinogen menjadi
fibrin, yang menyebabkan pembentukan sumbatan fibrin.

b. Teori koagulasi kaskade/waterfall

 Jalur intrinsik
Jalur intrinsik melibatkan kaskade reaksi protease yang dimulai oleh
faktor yang terdapat di dalam darah. Jika terjadi persentuhan dengan
permukaan bermuatan negatif seperti kaca atau membran trombosit yang
teraktivasi, protein plasma yang disebut FXII (Faktor Hagemen) berubah
menjadi FXIIa (tambahan “a” menunjukkan bentuk FXII yang teraktivasi).
Molekul tertentu yang disebut High Molecular Weight Kininogen
(HMWK), merupakan hasilan trombosit yang terkespresi di membran
trombosit akan membantu FXII dan berperan sebagai kofaktor, tetapi
pengubahan FXII menjadi FXIIa oleh HMWK terjadi dengan lambat.
Setelah sejumlah kecil FXIIa terkumpul, protease ini akan mengubah
prekalikrein menjadi kalikrein. Kalikrein yang terhasilkan akan
mempercepat perubahan FXII menjadi FXIIa. FXIIa (bersama HMWK)
juga memecah FXI menjadi FXIa, kemudian FIXa memecah FIX menjadi
IXa. FIXa dan dua hasilan kaskade lainnya, yaitu FXa dan trombin
memecah FVIII menjadi FVIIIa. Akhirnya FIXa dan FVIIIa bersama ion
kalsium (yang mungkin kebanyakan berasal dari trombosit yang
teraktivasi) serta fosfolipid bermuatan negatif (penyusun utama membran
sel) membentuk kompleks trimolekul yang disebut tenase. Tenase
kemudian mengubah FX menjadi FXa.
FXa akan mengikat kofaktor FVa membentuk kompleks
protrombinase. Kompleks ini mengubah proenzim protrombin menjadi
enzim trombin. Trombin mengubah fibrinogen membentuk fibrin
monomer yang akan segera berpolimerasi menjadi bentuk bekuan fibrin.
Dalam analisis laboratorik klinik, faktor intrinsik dinilai memakai
activated partial thromboplastin time (PTT).
 Jalur ekstrinsik
Jalur ini diawali pembentukan kompleks antara faktor jaringan di
permukaan sel dan FVIIa yang terdapat di luar terkait pembuluh darah.
Jika
terjadi cedera di endotel, FVII akan bersentuhan dengan faktor jaringan.
Faktor jaringan tersebut akan mengaktivasi FVII menjadi FVIIa secara non
proteolitik. Pengikatan FVIIa faktor jaringan membentuk kompleks enzim
yang mengaktifkan FX menjadi FXa. Kompleks FVIIa/faktor jaringan
memiliki fungsi mirip dengan kompleks tenase, mengubah FX menjadi
FXa. Bahan ini yang akan mengikat kofaktor FV dan terikat di permukaan
membran dengan adanya ion kalsium, membentuk kompleks
protrombinase. Kompleks protrombinase mengubah protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan
membentuk sumbatan fibrin. Dalam analisis laboratorik, jalur ekstrinsik
diperiksa dengan protrombin time (PT). Tanpa memandang FXa yang
terbentuk di jalur intrinsik maupun ekstrinsik, kaskade akan berlanjut di
jalur bersama.
 Jalur bersama
Jalur bersama dimulai dengan aktivasi FX melalui jalur intrinsik,
ekstrinsik, maupun keduanya. FXa merupakan protease pertama di jalur
bersama. FXa dengan adanya FV, ion kalsium dan fosfolipid mengubah
protrombin menjadi bentuk aktif, yaitu trombin. Fungsi utama trombin
adalah mengkatalisis protealitis fibrinogen yang larut dalam plasma
menjadi fibrin monomer yang melarut juga. Fibrin monomer kemudian
berpolimerisasi menjadi fibrin polimer yang akan menahan sel darah.
Trombin juga mengaktifkan FXIII yang akan diubah menjadi FXIIIa dan
memperantarai ikatan silang fibrin polimer membentuk fibrin yang stabil
dan bersifat kurang larut. Trombin dapat mengkatalisis pembentukan
kofaktor FVa dan FVIIIa, sehingga terjadi pembesaran koagulasi. Jalur
bersama melibatkan FX, FV, dan FII (trombin), yang dipantau
menggunakan PT dan aPTT.
2. Memahami dan menjelaskan deep vein trombosis
2.1 Definisi
DVT terjadi akibat adanya bentuk bekuan darah (trombi) pada vena dalam yang
sering ditemukan pada vena di tungkai bawah (seperti vena pada betis, vena
femoral atau vena pollitea) atau vena pada rongga pelvis.
2.2 Etiologi
DVT adalah penyakit yang dapat terjadi akibat 3 faktor, yaitu gangguan aliran
darah (stasis vena), kerusakan pembuluh darah, atau kondisi di mana darah mudah
menggumpal (hiperkoagulabilitas). Segala kondisi atau kejadian yang dapat
mengakibatkan terjadinya 1 dari ketiga faktor tersebut, berisiko menimbulkan
DVT. Timbulnya 2 atau 3 faktor sekaligus, makin meningkatkan risiko timbulnya
DVT. Beberapa kondisi tersebut, antara lain:
a. Stasis vena
Stasis vena adalah kondisi terganggu atau melambatnya aliran darah pada
vena, yang dapat disebabkan oleh:
 Vaskulitis.
 Pemasangan kateter vena sentral (CVC).
 Obat-obatan kemoterapi.
 Pengguna NAPZA jenis suntik.
 Sepsis.
b. Kerusakan pembuluh darah
Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan kerusakan pembuluh darah
adalah:
 Vaskulitis.
 Pemasangan kateter vena sentral (CVC).
 Obat-obatan kemoterapi.
 Pengguna NAPZA jenis suntik.
 Sepsis.
c. Hiperkoagulabilitas
Hiperkoagulabilitas merupakan suatu kondisi di mana darah lebih mudah
untuk menggumpal atau membeku. Kondisi ini dapat diakibatkan kelainan
genetik yang diturunkan atau didapat. Berikut ini merupakan penyebab
hiperkoagulabilitas akibat kelainan genetik, antara lain:
 Kekurangan protein pengencer darah alami, seperti protein S
(defisiensi protein S), protein C (defisiensi protein C), antithrombin
III (defisiensi ATIII).
 Factor V Leiden.
 Mutasi gen prothrombin.
 Kadar homosistein tinggi (hyperhomocysteinemia).
 Meningkatnya kadar fibrinogen atau disfungsi fibrinogen
(disfibrinogenemia).
 Kelebihan faktor pembekuan VIII, IX dan XI.
 Kelainan sistem fibrinolisis, sepeti hipoplasminogenemia,
displasminogenemia dan meningkatnya kadar plasminogen
activator inhibitor (PAI-1).
Hiperkoagulabilitas yang terjadi karena disebabkan oleh suatu kondisi
yang didapat, seperti:
 Kanker.
 Obesitas.
 Kehamilan.
 Konsumsi terapi pengganti hormon.
 Konsumsi pil KB.
 Sindrom antifosfolipid.
 Sindrom nefrotik (terlalu banyak protein dalam urine).
 Penggunaan obat untuk mengatasi kanker, seperti thalidomide.
 Diabetes.
 Lupus.
Selain itu, ada pula faktor risiko yang menyebabkan deep vein thrombosis
(DVT) atau trombosis vena dalam yaitu:
 Apabila ada riwayat keluarga yang mengidap penyakit ini.
 Merupakan pengidap lain seperti gagal jantung dan kanker.
 Usia dan berat badan.
 Tubuh yang tidak fit.
 Tubuh yang tidak bergerak dalam jangka waktu cukup lama,
misalnya saat operasi yang berlangsung 60 hingga 90 menit di area
perut, pinggul, tungkai.
 Orang yang melakukan perjalanan jauh dan tidak banyak bergerak.
 Pengobatan kemoterapi dan radioterapi.
 Memiliki penyakit-penyakit seperti jantung, paru-paru, dan
hepatitis.
 Memiliki penyakit yang disebabkan oleh peradangan, seperti
rheumatoid arthritis.
 Kondisi genetik, seperti thrombophilia dan sindrom Hughes.
 Kehamilan.
 Penggunaan pil kontrasepsi.
 Terapi sulih.
 Pengidap obesitas.
 Lansia yang tidak banyak bergerak.
 Perokok.
 Dehidrasi.
d. Faktor resiko
 Duduk dalam waktu yang terlalu lama, seperti saat mengemudi
atau sedang naik pesawat terbang. Ketika kaki kita berada dalam
posisi diam untuk waktu yang cukup lama, otototot kaki kita tidak
berkontraksi sehingga mekanisme pompa otot tidak berjalan
dengan baik.
 Memiliki riwayat gangguan penggumpalan darah. Ada beberapa
orang yang memiliki faktor genetic yang menyebabkan darah dapat
menggumpal dengan mudah.
 Bed Rest dalam keadaan lama, misalnya rawat inap di rumah sakit
dalam waktu lama atau dalam kondisi paralisis.
 Cedera atau pembedahan Cedera terhadap pembuluh darah vena
atau pembedahan dapat memperlambat aliran darah dan
meningkatkan resiko terbentuknya gumpalan darah. Penggunaan
anestesia selama pembedahan mengakibatkan pembuluh vena
mengalami dilatasi sehingga meningkatkan resiko terkumpulnya
darah dan terbentuk trombus.
 Kehamilan Kehamilan menyebabkan peningkatan tekanan di dalam
pembuluh vena daerah kaki dan pelvis. Wanita-wanita yang
memiliki riwayat keturunan gangguan penjendalan darah memiliki
resiko terbentuknya trombus.
 Kanker Beberapa penyakit kanker dapat meningkatkan resiko
terjadinya trombus dan beberapa pengelolaan kanker juga
meningkatkan resiko terbentuknya trombus
 Inflamatory bowel sydnrome
 Gagal jantung Penderita gagal jantung juga memiliki resiko TVD
yang meningkat dikarenakan darah tidak terpompa secara efektif
seperti jantung yang normal
 Pil KB dan terapi pengganti hormon
 Pacemaker dan kateter di dalam vena
 Memiliki riwayat TVD atau emboli pulmonal
 Memiliki berat badan yang berlebih atau obesitas
 Merokok
 Usia tua (di atas 60 tahun)
 Memiliki tinggi badan yang tinggi
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi umum DVT terbagi menjadi
a. Venous thromboembolism (VTE), yang terjadi pada pembuluh balik
b. Arterial thrombosis yang terjadi pada pembuluh nadi
2.4 Patofisiologi
Menurut konsep Virchow’s Triad, terdapat tiga faktor yang berperan yaitu
stasis vena, kerusakan atau disfungsi endotel pembuluh darah, dan
hiperkoagulabilitas
Stasis vena akan :
1. Mengganggu aliran laminar dan membuat trombosit melekat pada endotel
2. Menunda inhibitor faktor pembekuan yang memungkinkan pembentukan
thrombus
3. Meningkatkan aktivasi sel endotel, memengaruhi pembentukan trombosis
lokal, perlekatan leukosit serta berbagai efek sel endotel lain.
Beberapa faktor yang menyebabkan aliran vena melambat dan menginduksi
terjadinya stasis adalah imobilisasi (bed rest lama setelah operasi, duduk didalam
mobil atau pesawat terbang dalam perjalanan yang lama), gagal jantung, dan lain-
lainnya.
Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor prokoagulasi
dalam jumlah yang lebih besar dan efektor antikoagulan dalam jumlah yang lebih
kecil (misalnya trombomodulin dan heparan sulfat). Penyebab kerusakan endotel
yang jelas adalah trauma langsung pada pembulu darah ( seperti fraktur atau
cidera jaringan lunak) dan infus intervena atau zat-zat yang mengiritasi seperti
kalsium klorida, kemoterapi, antibiotik dosis tinggi.
Penyebab hiperkoagulabilitas darah terbagi atas penyebab primer (genetik)
dan penyebab sekunder (didapat). Hiperkoagulabilitas darah tergantung dari
interaksi antara berbagai macam variabel, termasuk endotel pembuluh darah,
faktor-faktor pembekuan darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit,
komposissi, dan sifat-sifat aliran darah. Keadaan hiperkoagulasi timbul akibat
perubahan salah satu variabel ini kelainan hematologis, keganasan, trauma, terapi
estrogen, atau pembedahan yang dapat menyebabkan kelainan koagulasi.
Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas
bawah. Dengan meningkatkan resisten di aliran vena, pengosongan vena akan
terganggu, meningkatkan volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat
melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi
atau inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah
diekstremitas. Trombos akan menjadi sangat terorganisir dan melekat pada
dinding pembulu darah apabila trombos semakin matang . sebagai akibatnya,
resiko embolis menjadi lebih besar pada awal fase-fase trombosis, namun
demikian ujung bekuan dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase
terorganisasi.
Histopatologi Trombosis
2.5 Manifestasi klinis
Pada beberapa kasus, DVT dapat terjadi tanpa menunjukkan gejala berupa:
 Tungkai terasa hangat.
 Nyeri yang semakin memburuk saat menekuk kaki.
 Bengkak pada salah satu tungkai, terutama di betis.
 Kram yang biasanya bermula di betis, terutama di malam hari.
 Perubahan warna kaki menjadi pucat, merah, atau lebih gelap.
2.6 Diagnosis (USG Dopler dan Angiografi)
Diagnosis
a. Anamnesis
Dari riwayat penyakit yang dapat di gali, TVD biasanya terlihat jelas pada
ekstremitas bawah. TVD pada ekstremitas bawah ini seringkali terlihat
pertama kali sebagai msa penuh yang mengganggu pada insersi otot betis
bawah. Pemsaan ini lama kelamaan disertai msa panas dan pembengkakan.
Pembengkakan disertai rasa nyeri. Rasa nyeri bertambah bila dipakai untuk
aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat.
b. Pemeriksaan fisik
Akan dijumpai kelemahan mungkin fimbul sepanjang aliran vena yang
terlibat. Disamping itu biasanya juga didapatkan adanya peningkatan turgor
jaringan lunak yang terkena dan distensi vena superficial. Dijumpai adanya
rasa penuh yang mengganggu pada insersi otot beris bawah. Gejala klinis yang
bisa timbul pada TVD adalah tumor, dolor, kalor, rubor dan fungsiolesa
c. Pemeriksaan penujang
 D-dimer
Merupakan produk degradasi cross-linked fibrin yang terbentuk segera
setelah pembekuan fibrin trombin yang dihasilkan oleh degradasi oleh
plasmin. Kadar D-dimer dapat diukur dengan menggunakan jenis
assay:
1) Enzim linked immunosorbent assay (ELISA),
2) Uji lateks aglutinasi,
3) Sel darah merah uji aglutinasi darah utuh (simpliRED). Tes
D-dimer sangat sensitif 95%, akan tetapi nilai spesifisitasnya
kurang untuk VTE.
 Ultrasonografi vena
Merupakan pemeriksaan penunjang pilihan selain non invasif, aman,
tersedia dan murah. Ada tiga jenis ultrasonografi vena yaitu : 1. USG
kompresi (B-mode), 2. USG duplex (B-mode dan Doppler), 3.
Doppler. USG B-mode dengan atau tanpa warna Duplex memiliki
sensitifitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT bagian
proksimal dan 73% pada betis.
 Venografi kontras
Diagnosis pasti DVT hanya dapat ditegakkan dengan venografi,
dimana sensitifitas dan spesifisitasnya mencapai 100%. Kelemahan
venografi ini adalah tindakan invansif dan mempunyai efek samping
flebitis dan pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak
digunakan sebagai alat bantu utama dalam mendiagnois DVT.
 Flestimografi impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume
darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada trombosis vena
femoralis dan iliaka dibandingkan vena di betis. Pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan DVT sampai saat ini sering digunakan
berupa pemeriksaan D-dimer dan USG vena. Bila D-dimer negatif,
maka diagnosa DVT tersingkirkan. Jika D-dimer positip, maka
diindikasi untuk dilakukan USG vena, bila hasil USG vena negatif
maka diagnosa DVT tersingkirkan, akan tetapi bila USG vena positip
maka diagnosa DVT ditegakkan
 Magnetic resnonance imaging (MRI)
Cara ini sangat sensitif untuk mendiagnosis DVT di daerah pelvis,
DVT di daerah betis dan DVT didaerah extremitas atas. Cara ini baik
juga untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya pada pasien
yang DVT. MRI merupakan test pilihan untuk mendiagnosis DVT di
daerah vena iliaka atau vena cava inferior pada saat computed
tomography venography merupakan kontraindikasi atau diperkirakan
secara teknik mengalami kesulitan. Tidak ada radiasi ion tetapi mahal,
dan memerlukan ahli radiologi untuk interpretasinya
 Algoritme untuk diagnosis DVT
Langkah pertama adalah melakukan pretest probability
assessment dengan menggunakan Wells score. Jika skornya ≤ 1 (DVT
unlikely), lakukan pemeriksaan D-dimer. Jika hasilnya negatif maka
DVT dapat disingkirkan. Jika hasilnya positif dilakukan venous
ultrasound. Jika hasil venous ultrasound negatif maka DVT juga data
disingkirkan. Diagnosis DVT hanya dibuat apabila hasil venous
ultrasoundnya positif.
Jika skor Wells > 1 (DVT likely) maka pemeriksaan
selanjutnya adalah venous ultrasound. Jika hasil ultrasoundnya positif
maka diagnosis DVT dapat ditegakkan. Bila hasil ultrasound negatif
maka dilakukan pemeriksaan D-dimer, apabila D-dimer negatif berarti
DVT dapat disingkirkan tetapi apabila hasilnya positif lakukan
pemeriksaan ulang ultrasound 6 – 8 hari lagi atau lakukan venography.
Algoritme ini tidak digunakan pada kehamilan, sebab pada kondisi ini
biasanya D-dimer tinggi.
 Platelet scintigratphi
Pemeriksaan ini menggunakan htdium oxine labeting dan bermantaat
untuk diagnosis TVD seda untuk evaluasi elek pemberian terapi
antikoagulan.
Diagnosis Banding
a. Plebitis tanpa trombosis
b. Tromboplebitissuperfisial
c. lnsufisiensi vena tanpa trombosis akut
d. Ruptur kista Baker
e. Hematom
f. Selulitis
g. Limpangitis
h. Limpedema
i. Edema perifer oleh karena penyakitjantung koogestif, penyakit hati, gagal
ginjal atau sindroma nefrotik.
2.7 Tatalaksana
a. Non-farmakologi
Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insidens posttrombosis
syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi,
eritema, dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena
pasien dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi
kaki, dan dipasang compression stocking dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada
bedrest, tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya
emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang
mengalami DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru.
Penggunaan compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3
minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-
trombosis syndrome. Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien
dengan gejala berat dan mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.
b. Farmakologi
Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi
berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT
yang diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin
adalah:
 Meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor
pembekuan
 melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena
dilanjutkan dengan infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin
(protrombin time /PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa sebelum
memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65
tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer
disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding
tendency).
Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Pada terapi awal risiko
perdarahan kurang lebih 7%, tergantung dosis, usia, penggunaan bersama
antitrombotik atau trombolitik lain. Heparin dapat dihentikan setelah empat
sampai lima hari pemberian kombinasi dengan warfarin jika International
Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.
Dosis
 Enoxaparin dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg
sekali sehari.
 Dalteparin untuk pencegahan DVT. Pada penelitian klinis, dalteparin
diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis
terbagi dua kali sehari).
 inzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT.
 Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat
faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan, bioavailabilitasnya 100%,
dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam setelah pemberian. Dapat
digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis 5
mg (BB 100 kg) subkutan, sekali sehari.
 Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian
warfarin segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya
memerlukan satu minggu atau lebih. Untuk pasien yang mempunyai
kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal ginjal), heparin intravena
dapat digunakan sebagai tindakan pertama. Dosis standar warfarin 5
mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh hari. Untuk DVT
tanpa komplikasi, terapi warfarin direkomendasikan tiga sampai enam
bulan. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak,
trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini. Pada pasien dengan
faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin III,
protein C atau S, activated protein C resistance, atau dengan lupus
antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat
diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup.
 Obat-obat trombolitik : streptokinase, recombinant tissue plasminogen
activator (rt-PA), dan urokinase. Terapi trombolitik bertujuan
memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan
patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat
diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed
thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat
menurunkan risiko rekurensi dan postthrombotic syndrome (PTS).
Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi
risiko perdarahan juga tinggi.
2.8 Komplikasi
Orang dengan DVT berisiko mengalami emboli paru, yaitu penyumbatan
pembuluh darah arteri di paru-paru akibat gumpalan darah yang lepas dari
tungkai. Gejala tidak akan terasa atau terlihat jika gumpalan darahnya kecil.
Namun jika gumpalan darahnya berukuran besar, penderita bisa merasakan nyeri
dada dan sulit bernapas, bahkan bisa mengalami gagal jantung.
DVT jangka panjang juga bisa menyebabkan sindrom pasca thrombosis (PTS),
yaitu kondisi ketika DVT mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah vena
sehingga aliran darah di daerah tersebut menjadi buruk. Keadaan ini
mengakibatkan perubahan warna kulit dan luka pada tungkai.
2.9 Pencegahan
 Bila ingin menjalani operasi dan pasien rutin mengonsumsi pil KB atau
terapi pengganti hormon, perlu menghentikan obat tersebut 4 minggu
sebelum operasi. Tergantung dari faktor risiko lainnya, dokter juga dapat
memberikan obat antikoagulan atau stoking kompresi untuk mencegah
DVT akibat prosedur operasi.
 Bila melakukan perjalanan panjang yang mengharuskan duduk dalam
waktu lama, dapat lakukan gerakan kaki sederhana seperti menekuk
punggung kaki ke atas, atau sesekali bangun dari tempat duduk untuk jalan
(bila memungkinkan), serta banyak minum air putih untuk mencegah
dehidrasi.
 Berhenti merokok.
 Makan makanan dengan gizi seimbang.
 Olahraga teratur.
 Mempertahankan berat badan ideal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jayanegara AP. Diagnosis dan tatalaksana deep vein thrombosis. CDK
2016:244:43(9):652-7
2. Goldhaber S. 2010. Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the
American College of Cardiology, 56:1-7
3. Hirsh J, Lee A. 2002. How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood, 99:
3102-3110
4. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S. 2009. Thrombosis and antithrombotic in women.
Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88
5. Bates S, Ginsberg G. 2004. Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med,
351:268-77
6. Arif dan Kurniawan. 2013. Hemostasis Berlandaskan Sel Hidup (In Vivo). Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Labpratory. 19(3): 204-210.

Anda mungkin juga menyukai