Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

IKTERIK NEONATORUM

Disusun Oleh :
Dominika Impai (P07220120010)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR


PRODI DIII-KEPERAWATAN SAMARINDA
TAHUN 2022
IKTERIK NEONATORUM

A. Pengertian
Ikterus neonatorum fadalah penyakit kuning yang ditunjukkan dengan perubahan warna
kekuningan pada kulit, konjungtiva, dan sklera akibat peningkatan bilirubin plasma pada
bayi baru lahir. Kondisi ini biasanya terjadi setelah hari kedua atau ketiga setelah bayi
lahir, puncaknya antara hari ke 4 sampai hari ke 5 pada neonatus aterm dan hari ke 7 pada
neonatus preterm, dan hilang dalam 2 minggu. Ikterus neonatorum fisiologis tidak pernah
terjadi dalam 24 jam pertama dan lebih dari 2 minggu. Ikterik pada kondisi ini meluas
secara sefalokaudal ke arah dada, perut dan ekstremitas. Ikterus neonatorum seringkali
tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka kelopak
mata. Ikterus fisiologis biasanya terjadi setelah.Ikterus neonatorum fisiologis terjadi
akibat peningkatan produksi bilirubin indirek/tak terkonjugasi, sekunder akibat kerusakan
eritrosit yang dipercepat, penurunan kapasitas ekskresi hati akibat rendahnya kadar
ligandin dalam hepatosit, dan rendahnya aktivitas enzim konjugasi bilirubin uridine
diphosphate glucuronyl transferase (UDPGT).[1-3],Penegakan diagnosis ikterus
neonatorum fisiologis dengan cara memeriksa kadar bilirubin. Kadar bilirubin indirek
(larut dalam lemak/tak terkonjugasi) tidak melewati 12 mg/dl pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5 mg/dl per hari. Kadar bilirubin direk/terkonjugasi kurang dari 1 mg/dl serta
tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu seperti
inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, atau penyakit metabolik seperti Crigler-
Najjar syndrome.[4-5]

B. Etiologi
Penyebab ikterik neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, secara garis besar etiologi ikterik neonatus (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
a. Penurunan berat badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang menyusui
ASI, >15% pada bayi cukup bulan)
b. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik
c. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
d. Usia kurang dari 7 hari
e. Keterlambatan pengeluaran feses (mekonium)
C. Klasifikasi
Menurut Ridha (2014) ikterik neonatus dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
Ikterik fisiologis atau ikterik patologis :
a. Ikterik fisiologis
Ikterik fisiologis yaitu warna kuning yang timbul pada hari kedua atau ketiga dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari kesepuluh.
Ikterik fisiologis tidak mempunyai dasar patologis potensi kern ikterus. Bayi tampak
biasa, minum baik, berat badan naik biasa, kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan
tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari keempat
belas, kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% perhari.

b. Ikterik patologis
Ikterik ini mempunyai dasar patologis, ikterik timbul dalam 24 jam pertama kehidupan:
serum total lebih dari 12 mg/dl. Terjadi peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau lebih
dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum serum melebihi 10 mg% pada bayi kurang
bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan, ikterik yang 10 disertai dengan
proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan sepsis).
Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin serum 1 mg/dl per-jam atau
lebih 5 mg/dl perhari. Ikterik menetap sesudah bayi umur 10 hari (bayi cukup bulan)
dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
Adapun beberapa keadaan yang menimbulkan ikterik patologis:
1) Penyakit hemolitik, isoantibody karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan anak
seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2) Kelainan dalam sel darah merah pada defisiensi G-PD (Glukosa-6 Phostat
Dehidrokiknase), talesemia dan lain-lain.
3) Hemolisis: Hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4) Infeksi: Septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit,karena
toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan sebagainya.
5) Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.
6) Obat-obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti
solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan sebagainya.
7) Pirau enterohepatic yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit hiscprung,
stenosis, pilorik, meconium ileus dan sebagainya

D. Manifestasi Klinis
Menurut PPNI (2017) adapun gejala dan tanda mayor pada ikterik neonatus
yaitu:
a. Profil darah abnormal (hemolisis, bilirubin serum total >2mg/dL, bilirubin serum total
pada rentang risiko tinggi menurut usia pada normogram spesifik waktu)
b. Membran mukosa kuning
c. Kulit kuning
d. Sklera kuning

Sedangkan menurut Arief & Weni (2009) tanda dan gejala ikterik neonatus
sebagai berikut:
a. Ikterus fisiologis
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus yang cukup
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% per hari
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
5) Ikterus menghilang pada minggu pertama, selambat-lambatnya 10 hari
pertama setelah lahir
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

b. Ikterus patologis
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama
2) Kadar bilirubin serum melebihi 10 mg% pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5
mg% pada neonatus kurang bulan
3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
E. Pathway
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standard adalah pemeriksaan bilirubin. Kadar
bilirubin indirek (larut dalam lemak/tak terkonjugasi) tidak melewati 12 mg/dl pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan, dan kecepatan
peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari. Kadar bilirubin direk (larut
dalam air/terkonjugasi) kurang dari 1 mg/dl.Pemeriksaan laboratorium lainnya
direkomendasikan untuk mengidentifikasi penyakit hemolitik sebagai penyebab
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi, misalnya golongan darah neonatus, tes Coombs,
complete blood cell (CBC), hitung retikulosit, apus darah, dan G6PD. Pada pasien
dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi, serum aminotransferase harus dilakukan untuk
bukti cedera hepatoseluler, kadar gamma-glutamyl transferase (GGTP) untuk bukti
penyakit hepatobilier dan waktu protrombin serta albumin serum untuk mengevaluasi
fungsi sintesis hati. Studi pencitraan seperti ultrasonografi dan tes tambahan seperti titer
Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex virus, dan Sifilis (TORCH),
kultur urin, kultur virus, titer serologis, asam amino, dan fenotipe a-antitripsin dapat
ditambahkan tergantung pada dugaan diagnosis hiperbilirubinemia terkonjugasi.
G. Penatalaksanaan
Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi hiperbilirubinemia yaitu:
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital.
Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi
dapat dipercepat.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas.
c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah
dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin dengan
cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi
tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan
pasca transfusi tukar.

Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik :


1) Fototerapi
Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urin dengan
oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
Langkah-langkah pelaksanaan fototerapi yaitu :
a) Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus kena sinar.
b) Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya.
c) Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm
d) Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali.
e) Mengukur suhu setiap 6 jam sekali.
f) Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya
sekali dalam 24 jam.
g) Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita yang
mengalami hemolisis.
2) Fenoforbital
Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam
empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk
mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
3) Transfusi Tukar
Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg%.
Langkah penatalaksanaan saat transfusi tukar adalah sebagai berikut :
a. Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum transfusi tukar.
b. Siapkan neonatus dikamar khusus.
c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus.
d. Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka pakaian ada daerah
perut.
e. Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap.
f. Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat jumlah darah yang keluar
dan masuk.
g. Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat.
h. Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12 jam.
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :
1) Bilirubin Indirek
Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet
ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis ini
tidak larut dalam air.

2) Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat. Hal
ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan
dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo,
2012)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Hiperbilirubinemia


1. Pengkajian
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
a. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan
lebih sering diderita oleh bayi laki-laki.
b. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu,
tampak lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi,
refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang
sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral
maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan
melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat
gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh
atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu
menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk
gestasi (SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra
uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti
bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi
pria daripada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang
dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya
hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia
dan asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin,
neonatus dengan APGAR score rendah juga
memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin.
d. Pemeriksaan fisik
1) Kepala-leher.
Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.
2) Dada
Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan
terlihat pergerakan dada yang abnormal.
3) Perut
Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan
oleh gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik.
4) Ekstremitas Kelemahan pada otot.
5) Kulit
Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah
kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada
daerah kepala serta badan bagian atas digolongkan ke grade
dua. Kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas,
bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade empat jika
kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah
serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila
kuning terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan
bawah, tungkai, tangan dan kaki.
6) Pemeriksaan neurologis
Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah
mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan
kejang-kejang dan penurunan kesadaran.
7) Urogenital
Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang
sudah fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan.
e. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum
Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira
6 mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas
10 mg/dl yang berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin
pada bayi prematur mencapai puncaknya 10-12 mg/dl,
antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih
dari 14 mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada
bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2
sampai 3 hari dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan
kadar bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl,
sedangkan pada bayi dengan prematur bilirubin indirek
munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai 9
hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15
mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin
lebih dari 5 mg/dl perhari.
2) Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong
empedu
3) Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu
membedakan hepatitis dan atresia biliary.
(Surasmi, dkk, 2003; Lynn & Sowden, 2009; Widagdo,
2012)
f. Data penunjang
1) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal =
<2mg/dl).
2) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan
darah tepi.
3) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi.
4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD.
5) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi
tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.
6) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan
kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif
protein (CPR).
2. Kemungkinan diagnosa keperawatan
a. Ikterus Neonatus
b. Hipertermi b.d suhu lingkungan tinggi dan efek fototerapi.
c. Risiko infeksi b.d proses invasif.
d. Risiko kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake
cairan, efek fototerapi dan diare.
e. Risiko kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan diare.
f. Risiko cedera b.d peningkatan kadar bilirubin dan
proses fototerapi.
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan dapat ditegakkan jika data-data yang telah ada
dianalisa. Kegiatan pendokumentasian diagnosa keperawatan sebagai
berikut:
1. Analisa data
Dalam analisa data mencakup data pasien, masalah dan penyebabnya.
(Format terlampir) Data pasien terdiri atas data subjektif yaitu data yang
didapat dari perkataan orangtua bayi, biasanya apa yang dikeluhkan dan
objektif yaitu data yang diperoleh perawat berdasarkan dari hasil
pengamatan dan pemeriksaan fisik.
2. Menegakkan diagnosa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosa adalah PES
(problem+etiologi+sympton) dan menggunakan istilah diagnosa
keperawatan yang dibuat dari daftar SDKI.SLKI,SIKI (format terlampr).
D. Intervensi
Rencana keperawatan terdiri dalam beberapa komponen sebagai berikut:
1. Diagnosa yang diprioritaskan
2. Tujuan dan kriteria hasil
3. Intervensi
Intervensi keperawatan mengacu pada SDKI,SLKI,SIKI.
(Format terlampir)

Intervensi pada bayi untuk diagnosis ikterus neonatus berhubungan dengan


prematuritas yaitu fototerapi neonatus, beberapa tindakan seperti meninjau faktor
risiko terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi, seperti prematuritas,
inkompatibilitas ABO, dan sepsis perlu dikaji pada kasus hiperbilirubinemia
untuk mengetahui penyebab pasti terjadinya hiperbilirubinemia apakah
disebabkan oleh kelainan golongan darah, infeksi atau prematur pada
bayi.Intervensi selanjutnya yaitu tutup mata bayi saat dilakukan fototerapi untuk
mencegah terjadinya cedera pada mata, ubah posisi bayi setiap 4jam yang tujuan
nya agar efek sinar fototerapi dapat menyebar merata di tubuh.Intervensi monitor
tanda vital diantaranya monitor nadi, suhu, dan frekuensi nafas, kemudian
monitor warna kulit dan kelembaban.
E. Implementasi
Implementasi keperawatan terdiri dalam beberapa komponen:
1. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan.
2. Diagnosa keperawatan.
3. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan.
4. Tanda tangan perawat pelaksana. (Format terlampir.
F. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terdiri dalam beberapa komponen:
1.Tanggal dan waktu dilakukan evaluasi keperawatan.
2.Diagnosa keperawatan.
3.Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan dalam bentuk pendekatan SOAP.
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang
sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perencanaan (Asmadi, 2008).Evaluasi adalah aktivitas yang
direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan profesional kesehatan
menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan atau hasil dan keefektifan rencana
asuhan keperawatan. Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan atau diubah (Kozier et al., 2010). Berdasarkan kriteria hasil dalam
perencanaan keperawatan diatas adalah
sebagai berikut:
a. Kadar bilirubin tidak menyimpang dari rentang normal (<10 mg/dl)
b. Warna kulit normal (tidak ikterik)
c. Membran mukosa normal (tidak ikterik)
d. Refleks mengisap baik
e. Mata bersih (tidak Ikterik)
f. Berat badan tidak menyimpang dari rentang normal
g. Eleminasi usus dan urin baik (warna urin dan feses tidak pucat)
H. DAFTAR PUSTAKA
Rulina Suradi dan Debby Letupeirissa. Air Susu Ibu dan Ikterus. 2013.
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-ikterus
Debra H. Pan and Yolanda Rivas. Jaundice: Newborn to Age 2 Months. 2017.
https://pedsinreview.aappublications.org/content/38/11/499
Daniel L. Preud’Homme. Neonatal Jaundice. 2012. https://gi.org/topics/neonatal-
jaundice/
20. Meredith L. Porter, And Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn.
2002.
Gusni, S,R. 2016. Perbedaan Kejadian Ikterus Neonatorum Antara Bayi
Prematur Dan Bayi Cukup Bulan Pada Bayi Dengan BBLR Di RS PKU
Muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Herdman. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi & Klasifikasi Edisi 10.
Jakarta. ECG

Anda mungkin juga menyukai