Anda di halaman 1dari 6

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang pada Pasien

dengan Kanker Kolorektal


Oleh Indah Husnul Hotima, 1706978061, KMB III-C, Mahasiswi FIK UI 2017,
indahhusnul16@gmail.com

Kanker adalah penyakit yang dihasilkan dari pertumbuhan yang tidak


terkendali sel-sel abnormal (White, Duncan, & Baumie, 2013). Salah satu kanker
yang mematikan adalah kanker kolorektal (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2010). Sebagian besar kanker kolorektal disebabkan oleh polip, adanya
pertumbuhan jaringan abnormal dalam usus besar. Faktor risiko kanker kolorektal
yaitu usia lebih dari 50 tahun, riwayat polip, riwayat keluarga dengan kanker
kolorektal, riwayat kolitis ulserativa, dan diet tinggi lemak dan rendah serat
(White, Duncan, & Baumie, 2013). Untuk mengetahui apakah seseorang berisiko
memiliki kanker kolorektal dapat dilakukan dengan cara skrining ataupun
pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang (Black & Hawks, 2014).
A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Abdomen diperiksa secara visual, diantaranya:
a. Kondisi kulit
Apakah pasien ada bekas luka, striae (biasa disebut stretch mark;
berwarna merah muda atau garis merah tipis pada perut), memar, caput
medusa (pola pembuluh darah bengkak berwarna ungu kebiruan
memanjang keluar dari pusar), dan angioma laba-laba (tipis kemerahan).
Abdomen pasien diamati untuk semua massa yang terlihat, gerakan atau
peristaltik yang terlihat, atau penyakit kuning (juga disebut icterus; kulit
yang menguning).
b. Kontur/bentuk abodmen (datar, membulat, cekung, buncit) dan apabila
mengalami penyimpangan dikarenakan distensi, tumor, hernia, atau
operasi sebelumnya.
c. Massa pulsasi abdomen (biasanya terlihat pada pasien yang kurus atau
menunjukkan aneurisma aorta perut).
2. Auskultasi
Auskultasi pertama dimulai dari kuadran kanan atas, kemudian diarahkan
searah jarum jam. Stetoskop ditekan dengan ringan pada abdomen untuk
mendengarkan bising usus (Normal: 5-30/menit). Bunyi usus hiperaktif
biasanya cepat, bernada tinggi, dan keras. Hal ini dapat terjadi karena lapar
atau gastroenteritis. Bunyi usus hipoaktif adalah bunyi usus yang jarang dan
dapat terjadi pada pasien dengan ileus paralitik atau setelah operasi
abdomen. Suara usus dianggap tidak ada jika tidak ada suara yang
auskultasi setelah mendengarkan keempat kuadran selama 2 hingga 5 menit
di setiap kuadran.
3. Perkusi
Perkusi menghasilkan suara yang mengidentifikasi kepadatan organ di
bawah area yang sedang perkusi dan dilakukan oleh HCP. Perkusi
digunakan untuk mendeteksi cairan, udara, dan massa di abdomen dan
untuk mengidentifikasi ukuran dan lokasi organ dalam abdomen (terutama
hati dan limpa). Suara bernada tinggi timpani menunjukkan adanya udara,
dan suara tumpul mengindikasikan cairan atau organ padat.
4. Palpasi
Palpasi ringan pada abdomen menyimpulkan penilaian fisik. Jika pasien
mengalami rasa sakit, daerah itu harus diraba terakhir. Tekan ringan
abdomen tidak lebih dari 0,5 hingga 1,0 inci selama palpasi menggunakan
bantalan jari. Perhatikan ketegangan otot, kekakuan, massa, atau ekspresi
rasa sakit. Palpasi mendalam pada abdomen hanya dilakukan oleh HCP.
Rebound tenderness ditentukan dengan menekan perut beberapa inci dan
dengan cepat melepaskan tekanan. Jika pasien merasakan sakit yang tajam
selama prosedur ini, apendisitis dapat diindikasikan (Williams & Hopper,
2015)
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan yang cukup akurat yang dapat dilakukan dengan colok dubur
biasanya dilakukan satu kali pada pasien dengan usia>50 tahun.
Pemeriksaan colok dubur lebih akurat dalam penetapan stadium lokal lanjut
daripada stadium tumor dini, sehingga nilainya untuk kriteria pemilihan
pasien yang akan mendapat terapi lokal adalah terbatas (Kemenkes RI,
2017).

2. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan untuk menegakkan diagnosa maupun monitoring perkembangan
atau kekambuhan klien. Pemeriksaan yang dilakukan antara lalin:
pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, pemeriksaan tinja (terdapat darah dan
berapa jumlahnya). Setelah itu, untuk menegakkan diagnosa karsinoma
kolorektal dilakukan juga skrining:
a. CEA (Carcinoma Embrionic Antigen)
CEA merupakan pertanda serum terhadap adanya karsinoma kolon dan
rektum. Carcinoma Embrionic Antigen adalah sebuah glikoprotein yang
terdapat pada permukaan glikokaliks sel yang melapisi gastrointestinal
yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan untuk mendeteksi
rekurensi dini dan metastase ke hepar (Kemenkes RI, 2017). Tingginya
level CEA adalah karakteristik dari berbagai kondisi keganasan salah
satunya kanker kolon. CEA digunakan sebagai pemeriksaan praoperasi
sebagai pembanding dengan level setelah operasi (Black & Hawks,
2014).
b. Faecal occult blood test (pemeriksaan darah samar feses)
Dilakukan untuk mendeteksi kanker usus besar pada pasien tanpa gejala
usus yang nyata. Tes ini berbasis guaiac di mana salah satu sisi kertas
guaiac diolesi dengan tinja dan diuji dengan penambahan beberapa tetes
larutan pengembang sejenis reagen peroksida stabil ke sisi berlawanan
dari kertas (Black & Hawks, 2014).
3. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan
dengan:

a. Sigmoidoskopi
Sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid). Tesi ini
dilakukan untuk memeriksa bagian ujung usus besar yang terdiri dari
rektum, kolon sigmoid, dan anus. Indikasi dilakukannya ini yaitu nyeri
abdomen bawah, pruritus anal, dan feses darah. Pemeriksaannya
dilakukan dengan sebuah alat yang disebut bowel scope dengan bentuk
tabung panjang, tipis, namun fleksibel dengan kamera terpasang
diujungnya untuk mengirimkan gambar keadaan usus ke monitor (Black
& Hawks, 2014).
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan secara visual dari seluruh lapisan kolon
dengan menggunakan fiberoptik endoskop yang fleksibel. Prosedur ini
diindikaasikan untuk klien dengan riwayat konstipasi, perdarahan rektal
yang persisten, nyeri abdomen bagian bawah, dan ketika hasil
pemeriksaan barium enema/sigmoidoskopi negatif (Black & Hawks,
2014).
4. Barium Enema dengan Kontras Ganda

Pemeriksaan radiologi untuk memeriksa adanya kelainan di ususs besar


dengan cara memasukkan campuran barium dan udara ke dalam dubur,
sesudahnya diambil foto x-ray. Pemeriksaan ini diperlukan untuk pasien
dengan riwayat perubahan pola defekasi, nyeri abdomen bawah, feses
disertai darah, mucus, atau nanah. Prosedur ini membantu untuk mendeteksi
keberadaan tumor, kanker, diverticula, stenosis, obstruksi, inflamasi, kolitis
ulseratif, dan polip (Black & Hawks, 2014).
5. CT Colonography (Pneumocolon CT)
Keunggulan CT colonography adalah dapat digunakan sebagai skrining
setiap 5 tahun sekali (level of evidence 1C, sesitivitas tinggi di dalam
mendiagnosis KKR), toleransi pasien baik, dapat memberikan informasi
keadaan di luar kolon, dan termasuk untuk menentukan stadium melalui
penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan kelenjar getah bening.
Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat mendiagnosis polip <10 mm,
memerlukan radiasi yang lebih tinggi, tidak dapat menetapkan adanya
metastasis pada kelenjar getah bening apabila kelenjar getah bening tidak
mengalami pembesaran, jumlah spesialis radiologi yang berkompeten masih
terbatas, modalitas CT scan dengan software yang mumpuni masih terbatas,
jika persiapan pasien kurang baik, maka hasilnya sulit diinterpretasi,
permintaan CT scan abdomen dengan diagnosis klinis yang belum terarah
ke keganasan kolorektal akan membuat protocol CT scan abdomen tidak
dikhususkan pada CT colonography, dan tidak dapat dilakukan biopsi atau
polipektomi (Kemenkes RI, 2017).
Dengan adanya pemeriksaan fisik dan penunjang lebih dini dapat
meminimalkan angka kejadian kanker kolorektal yang dapat menyebabkan
gangguan organ bahkan kematian pada penderitanya.

Daftar Pustaka

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah: Manajemen


klinis untuk hasil yang diharapkan, 8 ed. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans:
Guidelines for individualizing client care across the life span, 8th Ed.
Philadelphia: F. A. Davis Company.

Kemenkes RI. (2017). Pedoman nasional pelayanan kedokteran kanker


kolorektal. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Medical-
Surgical Nursing (Twelfth ed., Vol. 1). (H. Surrena, Penyunt.) Wolters
Kluwer : Lippincott williams & wilkins.

White, L., Duncan, G., & Baumie, W. (2013). Medical surgical nursing: An
integrated approach, 3th Ed. USA: Delmar Cengage Learning.

Williams, L. S., & Hopper, P. (2015). Understanding medical surgical nursing,


5th Ed. Philadelphia: F. A. Davis Company.

Anda mungkin juga menyukai