Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

TAFSIR SURAH Al isra ayat 78


Disusun untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah Qiraah
Dosen Pengampu:

NOR ZAKIAH M.Ag

Oleh :

Ahmad busyairi

Ahmad suhaimi

norrahim

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI

PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

TAHUN 2020/2023
B. Rumusan Masalah

1.apa kandungan surah al isra ayat 78?

2.apa saja tafsir dari al isra ayat 78?

3.asbabun nuzul dari surah al isra ayat 78?

4.mengapa disebut surah al isra?

C.Tujuan Pembelajaran

1.untuk mengetahui kandungan surah al isra ayat 78

2.untuk mengetahui tafsir dari surah al isra ayat 78

3untuk mengetahui asbabun nuzul dari surah al isra ayat 78

4.Untuk mengetahui mengapa disebut surah alisra


BAB II

PEMBAHASAN

A.Kandungan Surah Al Isra Ayat 78

‫ق ٱلَّ ْي ِل َوقُرْ َءانَ ْٱلفَجْ ِر ۖ ِإ َّن قُرْ َءانَ ْٱلفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُودًا‬ َّ ‫َأقِ ِم ٱل‬
ِ ُ‫صلَ ٰوةَ لِ ُدل‬
ِ ‫وك ٱل َّش ْم‬
ِ ‫س ِإلَ ٰى َغ َس‬

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (malaikat).

Dikutip dari Waktu Shalat Perspektif Syar'i yang ditulis Tamhid Amri dari Tim Falakiyyah
Pondok Pesantren Al-Basyariah, ayat ini mengingatkan kewajiban tiap muslim. Kewajiban
tersebut adalah menunaikan sholat lima waktu sehari semalam.

"Ketika itu penyampaian Nabi Muhammad SAW baru bersifat lisan dan waktu-waktu
pelaksanaannya pun belum tercantum dalam Al Quran, hingga akhirnya turunlah ayat
tersebut," tulis Tamhid mengambil dari Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran karya M Quraish Shihab.

Terkait sholat subuh yang disaksikan malaikat, Nabi SAW dalam haditsnya telah
mengingatkan keutamaan pada sholat paling awal ini,

ً‫ْح َألتَوْ هُ َما َولَوْ َح ْب َوا‬


ِ ‫َولَوْ يَ ْعلَ ُمونَ َما في ال َعتَ َم ِة َوالصُّ ب‬

Artinya: "Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada shalat Isya' dan shalat
Shubuh, tentu mereka akan mendatanginya sambil merangkak." (HR Bukhari).
Nabi Muhammad SAW dalam hadits juga telah mengingatkan umatnya yang malas sholat
subuh,

ً‫ َألتَوْ هُ َما َولَوْ َحبْوا‬W‫ َولَوْ َي ْعلَ ُمونَ َما فِي ِه َما‬، ‫صالَ ِة الفَجْ ِر َوال ِعشَا ِء‬
َ ‫صالَةٌ ْأثقَ َل َعلَى ال ُمنَافِقِينَ ِم ْن‬ َ ‫لَي‬
َ ‫ْس‬

Artinya: "Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain dari shalat Shubuh dan
shalat 'Isya'. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada pada kedua shalat tersebut,
tentu mereka akan mendatanginya walau sambil merangkak." (HR Bukhari).

B.Tafsir Surah Al Isra Ayat 78

Dalam Islam, pergerakan matahari berfungsi sebagai petunjuk masuknya waktu salat. Salat
merupakan kewajiban bagi umat Islam yang hendaknya dijalankan dengan penuh khusyu’
dan sungguh-sungguh. Oleh karenanya, mengetahui kapan masuknya waktu salat bagi umat
Islam merupakan suatu keniscayaan. Peran matahari sebagai petunjuk masuknya waktu
salat telah terlukiskan salah satunya dalam firman-Nya Q.S. Al-Isra ayat 78:

‫ق الَّ ْي ِل َوقُرْ ٰانَ ْالفَجْ ۗ ِر اِ َّن قُرْ ٰانَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُوْ دًا‬
ِ ‫س اِ ٰلى َغ َس‬ ِ ْ‫اَقِ ِم الص َّٰلوةَ لِ ُدلُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬

Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula
salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Q.S. Al-Isra’ [17]: 78)

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menuturkan para ulama ahli takwil berbeda pendapat
(ikhtilaf al-ulama) dalam menentukan waktu salat di atas. Sebagian ulama mengatakan
waktu itu adalah ketika tenggelamnya matahari, yaitu waktu salat maghrib. al-Tabari
menukil riwayat dari Yunus, dari Ibn Wahab, ia berkata bahwa Ibn Zaid mengatakan,

‫ وتَدلُك الشمس للغروب‬،‫ هي الـمغرب حين يغسق اللـيـل‬:‫ قال‬،‫حين تريد الشمس تغرب إلـى أن يغسق اللـيـل‬
“Ketika matahari hendak tergelincir hingga gelapnya malam (senja). Ia berkata: Bahwa itu
waktu magrib (ketika malam tiba) dan itu menunjukkan bahwa matahari telah terbenam
(memasuki waktu magrib)”

Selain itu, pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Zaid bahwa makna
duluk al-syamsi ialah terbenamnya matahari (ghurubiha).

Berbeda dengan penafsiran al-Tabari, Muhammad Sayyid Tantawi dalam Tafsir al-Wasith
menjelaskan,

‫ مروى عن جمع من الصحابة والتابعين منهم عمر بن‬W،‫وتفسير دلوك الشمس هذا بمعنى ميلها وزوالها عن كبد السماء‬
‫ ومجاهد‬،‫ والحسن‬،‫ وابن عباس‬،‫ وأنس‬،‫ وابنه عبد هللا‬،‫الخطاب‬

“Adapun tafsir redaksi duluk al-syamsi ialah condong atau tergelincirnya matahari dari
tengah-tengah langit sebagaimana diriwayatakan dari mayoritas sahabat dan tabi’in. Di
antaranya Umar bin Khattab, putranya, Abdullah, Anas, Ibn Abbas, al-Hasan, dan Mujahid”.

Tidak puas dengan itu, Tantawi kembali melontarkan pendapat sebagian ulama,

‫ وقد‬،‫ هي صالة الظهر‬،‫ الصالة التي أمر بها ابتداء من هذا الوقت‬:‫ وقالوا‬،‫ والقول األول عليه الجمهور‬:‫قال بعض العلماء‬
‫ ثم خرجوا حين‬.‫ طعم عندي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وأصحابه‬:‫ ما روى عن جابر أنه قال‬:‫أيدوا هذا القول بوجوه منها‬
‫ فقال صلى هللا عليه وسلم هذا حين دلكت الشمس‬W،‫زالت الشمس‬

“Jumhur ulama berpendapat bahwa salat yang diperintahkan di awal waktu (ibtida’ min
hadza al-waqt) adalah salat zuhur. Mereka mendukung ucapan ini dengan beberapa
argumen, antara lain apa yang diriwayatkan dari Jabir bahwa dia berkata: Rasulullah saw
dan para sahabat makan bersamaku. Kemudian mereka keluar ketika matahari tergelincir,
bersabdalah Nabi saw, “ini sudah memasuki waktu tergelincirnya matahari”.

Rasulullah juga saw bersabda,


ُّ ‫صلَّـى بِـ َي‬
‫الظهْر‬ ْ َ‫س ِحينَ َزال‬
َ َ‫ت ف‬ ِ ‫أتانِـي َجب َْراِئيـ ُل َعلَـ ْي ِه السَّال ُم لِدُولُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬

“Jibril mendatangiku (Nabi Muhammad saw) ketika matahari tergelincir, kemudian Jibril
salat zuhur bersamaku” (H.R. al-Nasa’I dan al-Hakim)

al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menengahi dengan mengemukakan bahwa terkait makna li
duluki al-syamsi, para ulama dan ahli bahasa (ahl al-lughah wa al-mufassirin) membagi dua
pemaknaan. Pertama, bahwa kata duluk bermakna ghurub (terbenam) sebagaimana
diriwayatkan oleh para sahabat dan dinukil oleh al-Wahidi dalam Tafsir al-Basith dari Ali
berkata bahwa duluk al-syamsi ghurubuha (tergelincirnya matahari adalah terbenam).

Pendapat kedua datang dari mayoritas sahabat dan tabi’in bahwa duluk al-syamsi huwa
zawaluha ‘an kabdi al-sama (duluk al-syamsi adalah tergelincirnya matahari dari tengah-
tengah langit).

Lain halnya dengan al-Razi, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menuturkan bahwa ayat
tersebut dapat menunjukkan perintah menegakkan salat lima waktu secara umum. Al-
Zamakhsyari menuturkan,

‫ وإن كان الغروب فقد خرجت منها الظهر والعصر‬،‫فإن كان الدلوك الزوال فاآلية جامعة للصلوات الخمس‬

“Apabila yang dimaksud al-duluk ialah tergelincirnya matahari, maka menunjukkan bahwa
ayat tersebut mencakup kewajiban menegakkan salat lima waktu. Namun apabila yang
dimaksud adalah tenggelamnya matahari, maka meniadakan salat zuhur dan ‘asar)”.

Matahari sebagai Penunjuk Masuknya Waktu Salat

Dari berbagai penafsiran di atas, tulisan ini tidak dalam posisi menghukumi apakah makna
duluk al-syamsi dalam surah al-Isra Ayat 78 adalah waktu tergelincirnya matahari ataupun
terbenamnya matahari. Akan tetapi, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa matahari
berperan utama dalam menentukan masuknya waktu salat sebagaimana dinyatakan oleh
para mufasir di atas.

Jauh sebelum era modern sekarang ini, para orang tua dulu memfungsikan matahari sebagai
petunjuk masuknya waktu salat. Bayang-bayang matahari digunakan sebagai acuan mereka
dalam menentukan masuknya waktu salat dan berbagai penentuan waktu ibadah lainnya.

Zainuddin dalam Posisi Matahari Dalam Menentukan Waktu Salat Menurut Dalil Syar’i
menyebutkan secara astronomis, yang menjadi parameter untuk menentukan waktu salat
baik awal maupun akhir waktunya adalah letak posisi matahari dalam perjalanan semu di
sekitar Ekliptika. Dia menambahkan bahwa awal waktu salat Zuhur, misalnya adalah pada
saat posisi matahari berada di titik 0o derajat atau berada tepat di garis meridian langit.
Begitu pula waktu Asar dimulai ketika posisi matahari berada di titik 51o derajat, terhitung
dari garis meridian langit, dan waktu salat lainnya.

Ilmuwan muslim terdahulu sudah canggih dalam menentukan kapan waktu awal dan akhir
salat. Nasīr al-Dīn Abū Jaʿfar Muhammad ibn Muhammad al-Tūsī (1201–1274 M), seorang
ilmuwan muslim sekaligus Astronom asal Persia, misalnya, ia menuliskan maha karya
Astronominya yang berjudul al-Tadhkira al-Nasīriyya fī ilm al-Hayʾa (“Memoir on the Science
of Astronomy”).

Ilmuwan muslim lainnya, sebut saja Al Biruni dalam kitabnya yang berjudul, Kitāb Tahdīd
Nihāyāt al-Amākin li-Tashīh Masāfāt al-Masākin yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, berjudul “The Book on the Determination of the Coordinates of Positions for the
Correction of Distances between Cities”. Ia mengulas panjang lebar tentang topik-topik
geografi-matematis, penentuan garis lintang, kemiringan ekliptika, pengukuran waktu,
gerhana bulan, perbedaan membujur, dan metode penentuan kiblat, serta arah salat bagi
umat Islam.

Karya-karya para ulama cum ilmuwan muslim di atas menunjukkan betapa peran matahari
sangatlah sentral untuk menentukan kapan masuknya waktu salat. Betapa luar biasanya
kemanfaatan ciptaan Allah Swt tak terkecuali matahari salah satunya dalam menentukan
arah kiblat dan penanda masuknya waktu salat. Semoga kita senantiasa mensyukurinya dan
dapat menjalankan ibadah salat lima waktu secara istikamah dan khusyu. Wallahu a’lam.

C.Asbabun Nuzul Surah Al Isra Ayat 78

Anda mungkin juga menyukai