Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PERPAJAKAN

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Dosen Pengampu : Yeni Vera., SE

Disusun Oleh Kelompok 10 :


1. Aninda Desi Nur F. (042110237)
2. Krisna Meyrizal H. (042110248)
3. Nitalia (042110261)
4. Noviana Rismaniyah (042110034)
5. Rakha Yuma Rasendria (042110267)

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat taufik
hidayah dan inayahnya kami dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Yeni Vera., SE selaku
dosen pengajar perpajakan, semua teman-teman kelas manajemen IV F, serta
teman kelompok 10 yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya, kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Lamongan, 8 Februari 2023

Kelompok 10

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... I


DAFTAR ISI ................................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Manfaat ................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Dasar Hukum, Asas, dan Pengertian ..................................................................... 3
B. Nilai Jual Objek Pajak........................................................................................... 3
C. Objek dan Subjek Pajak ........................................................................................ 4
D. Tarif Pajak……………………………………………………………………..…...8
E. Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak……………………………………..8
F. Tahun Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang ………………..9
G. SPOP, SPPT, dan SKP……………………………………………………………10
H. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan……………………………………………13
I. Keberatan dan Banding…………………………………………………………….14
J. Pengurangan Pajak, dan Pengurangan Denda Administrasi……………………….16
K. Pejabat, sanksi…………………………………………………………………….20
L. Perdesaan dan Perkotaan………………………………………………………….22
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 25
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 26

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bumi yang kita pijak ini sebenarnya merupakan hak kita tetapi kita memiiki
kewajiban tersendiri pula untuk membayar atas apa yang telah kita gunakan dipermukaan
Bumi seperti bangunan, sawah, ladang dan lainnya. Sejak diberlakukannya peraturan
perundang-undangan pendaerahan PBB, Pengelolaan PBB bukan lagi jadi wewenang
Kantor Pelayanan Pajak tetapi berpindah tangan ke pemerintahan Kota/Kabupaten, jadi
SPPT PBB yang kita terima akan berbeda baik bentuk, warna dan tarif pajak serta
susunannya karena menyesuaikan dengan peraturan dan ketentuan perundangan yang
ditetapkan di wilayah Kabupaten/Kota. Jadi jangan pernah heran jika kita memiliki
banyak property dan tersebar dibeberapa kota dan kita akan menerima SPT yang
bermacam warna pula, karena ini bersifat regional. Sebenernya peraturan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Kota/Kabupaten tentang PBB umumnya mengadopsi dari peruturan
perundangan yang telah ada (UU No 12 tahun 1985 sebagaiman telah diubah dengan UU
No 12 Tahun 1994) tetapi karena kondisi, kebutuhan dan kemampuan setiap daerah
berbeda maka biasanya tiap pemerintah kota/ kabupaten akan membuat peraturan tentang
PBB sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Pembayaran PBB ini sebenarnya wajib bagi masyarakat yang memanfaatkan dan
menggunakan lahan di bumi dan bangunan, dimana besarnya pembayaran akan
tergantung kepada berapa banyak asset yang dimiliki serta berapa besar objek yang tidak
kena pajak di daerah masing-masing. Penduduk Indonesia yang masih sangat minim
pengetahuan mengenai PBB ini terkadang sering menunggak pembayaran Pajak ini
sehingga ini akan berdampak negative pula pada perkembangan ekonomi Indonesia
nantinya, oleh karena itu sebagai masyarakat yang baik kita harus mau mebayar pajak ini
guna kepentingan bersama

B. Rumusan Masalah
1. Apa dasar hukum, asas, dan pengertian dari PBB?
2. Apa pengertian dari NJOP?
3. Apa yang dimaksud dengan subjek dan tarif pajak?
4. Bagaimana dasar pengenaan pajak, dan cara menghitung pajak?
5. Apa itu tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang?
6. Bagaimana tata cara pembayaran dan penagihan?

1
7. Keberatan dan banding itu seperti apa?
8. Pengurangan pajak dan pengurangan denda administrasi itu seperti apa?
9. Pejabat dan sanksi apa itu?
10. Bagaimana PBB di perdesaan dan perkotaan?

C. Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah agar pembaca dapat menambah wawasan mengenai
PBB atau Pajak Bumi dan Bangunan, mengenai segala seluk beluk yang berhubungan
dengan PBB

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang No.12 Tahun
1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994.
Asas
Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan.
2. Adanya kepastian hukum.
3. Mudah dimengerti dan adil.
4. Menghindari pajak berganda.
Pengertian-pengertian
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi
meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta lant
wilayah Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a) Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan, Jalan tol, Kolam
renang, Pagar mewah, Tempat olahraga, Galangan kapal, dermaga, Taman mewah,
Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, Fasilitas lain yang
memberikan manfaat.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib
Pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib
Pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang)
berdasarkan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak) Wajib Pajak.

B. Nilai Jual Objek Pajak


Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual
Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau
nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

3
Yang dimaksud dengan:
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan
objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan
telah diketahui harga jualnya.
2. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi:
1) Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan
2) Objek Pajak Sektor Perkebunan.
3) Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan
Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri.
4) Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
5) Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas bumi.
6) Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi.
7) Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Selain Pertambangan Energi Panas
Bumi dan Galian C.
8) Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.
9) Objek Pajak Sektor Pertambangan yang Dikelola Berdasarkan Kontrak Karya atau
Kontrak Kerja Sama.
10) Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan Laut., Objek Pajak Usaha Bidang Perikanan
Darat.
11) Objek Pajak yang Bersifat Khusus.

C. Objek Pajak
1) Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
2) Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi
dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Dalam menentukan klasifikasi
bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

4
a. Letak, Peruntukan, Pemanfaatan, dan kondisi lingkungan dll.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Bahan yang digunakan, Rekayasa, Letak, Kondisi lingkungan dll.
3) Pengecualian Objek Pajak
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek
pajak yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari
keuntungan, antara lain:
1. Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara.
2. Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit.
3. Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren.
4. Di bidang sosial, contoh: panti asuhan.
5. Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak.
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
4) Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yang
dimaksud dengan objek pajak adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai atau digunakan
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya
merupakan pendapatan daerah yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas
yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, wajar
Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran
Pajak Bumi dan Bangunan.
Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau bukan yang digunakan
oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
5) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk
masing-masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi-tingginya Rp12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai

5
beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang
nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa
dikurangi NJOPTKP.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat gubernur/
bupati/Wali Kota (Pemerintah Daerah) setempat. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh
berikut ini:
a. Seorang Wajib Pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dengan nilai
Rp4.000.000,00 dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah
Rp.6.000.000,00, karena NJOP berada dibawah batas NJOPTKP (Rp.6.000.000,00)
maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Seorang Wajib pajak mempunyai objek pajak berupa bumi dan bangunan di Desa A
dan Desa B dengan nilai sebagai berikut:
Desa A :
NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00
Desa B :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
dan NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp. 10.000.000,00.
Dengan data tersebut diatas, maka NJOP untuk perhitunagan PBBnya sebagai berikut :
Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai
paling besar, yaitu desa A, maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah :
NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00
NJOPTKP Rp. 10.000.000,00
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 12.000.000,00
Kemudian untuk desa B :
NJOP untuk perhitunagn PBB :
NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00
NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00
NJOPTKP Rp. 0,00
NJOP untuk perhitungan PBB Rp. 18.000.000,00

6
Subjek Pajak
1) Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda
pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.
2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. I yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi Wajib Pajak.
3) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Direktur
Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no. 1
sebagai Wajib Pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek
Wajib Pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas Wajib Pajaknya.
Untuk lebih jelas diberikan contoh berikut ini:
a. Subjek Pajak X memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan
milik Y bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan
karena perjanjian, maka X yang memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau
bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
b. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka
orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek pajak tersebut
ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
c. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak,
sedangkan untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau
badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib
Pajak. Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh Dirjen Pajak bukan merupakan
bukti pemilikan hak.
4) Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no. 3 dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib
Pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5) Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam no. 4 disetujui, maka
Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana
dalam no. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan
dimaksud.
6) Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.

7
7) Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dalam no. 4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan,
maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui. Apabila Direktur Jenderal
Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur
dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan
sebagai Wajib Pajak.

D. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh
persen).
E. Dasar Pengenaan Pajak
1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan
mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Wali Kota (Pemerintah Daerah)
setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali.
Namun demikian, untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan
mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan
setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Wali Kota
(Pemerintah Daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud
(assessment value) adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak,
yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.
Contoh:
a. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase misalnya 20%,
maka besarnya = 20% x Rp2.000.000,00 = Rp400.000,00.
b. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Persentase misalnya 40%,
maka besarnya 40% x Rp2.000.000.000,00 Rp800.000.000,00.

8
c. Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani Wajib
Pajak di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan,
khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase
untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:
1) Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek Pajak Perkebunan.
b. Objek Pajak Kehutanan.
c. Objek Pajak lainnya, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi
dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk:
a. Objek Pajak Pertambangan.
b. Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Cara Menghitung Pajak
Besarnya pajak tentang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan NJKP
Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak × NJKP
= 0,5% × [Persentase NJKP × (NJOP - NJOPTKP)
Contoh :
Wajb Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya
Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00, maka besarnya
pajak yang terutang adalah:
= 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 - Rp2.000.000,00)
= Rp8.000,00.

F. Tahun Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang


1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu satu tahun
takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari.
Contoh:
a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2010 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal
10 Januari 2010 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan
keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2010, yaitu keadaan sebelum bangunan
tersebut terbakar.

9
b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2010 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di
atasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2010 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah
tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2010
tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2010. Sedangkan
bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2011.
3) Tempat pajak yang terutang :
a) Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
b) Untuk daerah lainnya, di wilayah kabupaten atau kota. Tempat pajak yang
terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau.

G. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak


Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
1) Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan
mengisi SPOP. Dalam rangka pendataan, Wajib Pajak akan diberikan SPOP untuk
diisi dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak yang pernah
dikenakan IPEDA tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia
menerima SPOP, maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
2) SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu, serta ditandatangani
dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek
pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP
oleh subjek pajak. Yang dimaksud dengan jelas dan benar adalah :
Jelas dimaksudkan agar penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib
Pajak sendiri. Benar berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya, seperti luas tanah dan/atau bangunan, tahun dan harga perolehan dan
seterusnya sesuai dengan kolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP).
3) Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya. SPPT
diterbitkan atas dasar SPOP, tetapi untuk membantu Wajib Pajak SPPT dapat
diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Direktorat Jenderal
Pajak.
4) Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal
sebagai berikut:

10
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya, walaupun sudah ditegur
secara tertulis juga tidak menyampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam
Surat Teguran itu, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) secara jabatan. Apabila berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain yang ada
pada Direktorat Jenderal Pajak ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari
jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP yang disampaikan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKP secara jabatan.
5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf
(a) adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung
dari pokok pajak.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak yang tidak SPOP, dikenakan
sanksi sebagai tambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar 25% dari pokok pajak.
Menyampaikan SKP ini berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak
memuat penetapan objek pajak dan besarnya pajak yang terutang beserta denda
administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak.
Contoh :
Wajib Pajak A tidak menyampaikan SPOP.
Berdasarkan data yang ada, direktur Jenderal Pajak mengeluarkan SKPKB yang berisi :
a. Objek Pajak dengan luas dan nilai jual
b. Luas objek pajak menurut SPOP
c. Pokok pajak Rp. 2.000.000,00
d. Sanksi Administrasi :
25% × Rp. 2.000.000,00 Rp. 500.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP Rp. 2.500.000,00
1) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam no. 4 huruf
(b) adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Sanksi administrasi dikenakan terhadap Wajib Pajak yang mengisi SPOP tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

11
Contoh :
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp. 2.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang
seharusnya terutang Rp. 2.500.000,00
Selisih Rp. 500.000,00
Denda administrasi 25% × Rp. 500.000,00 Rp. 125.000,00
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB Rp. 625.000,00
Untuk lebih memperjelas uraian dimuka, berikut diberikan bagan mengenai sistem
pengenaan PBB dan bagaimana SPOP, SPPT, dan SKP dikeluarkan.

SPOP hanya diberikan dalam hal :


1. Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap.
2. Objek pajak telah terdaftar, tetapi data belum lengkap.
3. NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi
4. Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek
pajak.
Berikut ini diberikan beberapa bagan yang menggambarkan SPOP

12
H. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Apabila SPPT diterima oleh Wajib Pajak tanggal 1 April 2010, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 30 September 2010.
2) Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Apabila SKP diterima oleh Wajib Pajak tanggal 1 Maret 2010, maka jatuh tempo
pengembaliannya adalah tanggal 31 Maret 2010.
3) Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Menurut ketentuan ini, pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2% (dua persen) setiap bulan dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh:
SPPT Tahun Pajak 2010 diterima oleh Wajib Pajak pada tanggal 1 Maret 2010 dengan
pajak yang terutang sebesar Rp500.000,00. Oleh Wajib Pajak baru dibayar pada tanggal 1
September 2010. Maka terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan denda administrasi
sebesar 2% yakni:
2% x Rp500.000,00 = Rp10.000,00.
Pajak terutang yang harus dibayar pada tanggal 1 September 2010 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp500.000,00+ Rp10.000,00 Rp510.000,00.
Bila Wajib Pajak tersebut baru membayar utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2010,
maka terhadap Wajib Pajak tersebut dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni:
4% x Rp500.000,00 = Rp20.000,00.
Pajak terutang yang harus dibayar pada tanggal 10 Oktober 2010 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp500.000,00+ Rp20.000,00 Rp520.000,00

13
4) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam no. 3 di atas, ditambah dengan
utang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak
(STP) yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Menurut ketentuan ini denda administrasi dan
pokok pajak seperti dalam no. 3 di atas, ditagih dengan menggunakan STP yang
harus dilunasi dalam waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
5) Pajak yang terutang dapat dibayar di bank, kantor pos dan giro, dan tempat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
6) Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan.
7) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat
Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak.
8) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya
dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Dalam hal tagihan pajak yang terutang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan,
penagihannya dilakukan dengan surat paksa yang saat ini berdasarkan UU No. 19 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Agar lebih mudah dipahami, berikut diberikan bagan tata cara pembayaran dan penagihan.

I. Keberatan dan Banding


Keberatan
1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu surat
keberatan tersendiri untuk setiap Tahun Pajak.

14
2) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP dalam hal:
a. Wajib Pajak menganggap luas objek bumi dan/atau bangunan, klasifikasi atau Nilai
Jual Objek bumi dan/atau bangunan yang tercantum dalam SPPT/SKP tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya
b. Terdapat perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundang undangan
antara wajib pajak dengan fiskus
3) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan
menyatakan alasan secara jelas.
4) harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
atau SKP oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila
ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak
karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta Wajib
Pajak untuk melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu.
5) Tanda terima Surat Keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau
sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi
kepentingan Wajib Pajak.
6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur
Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar
pengenaan pajak.
7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
8) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan.
9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan
tambahan atau penjelasan tertulis.
10) Keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa:
a. Tidak dapat diterima, Menolak, Menerima seluruhnya atau sebagian, dan
Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

15
11) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam
surat ketetapan pajak, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan
ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
12) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bagi Wajib Pajak
yaitu apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan,
Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti
keberatan tersebut diterima.
Banding
Ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan tentang banding
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam buku ini dapat
dilihat pada bab 2.

J. Pengurangan Pajak
Pengurangan diberikan atas pajak (PBB) terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP.
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada
hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya
seperti:
a) Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang
hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi.
b) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
orang pribadi yang berpenghasilan rendah dan nilai jualnya meningkat akibat
adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan.
c) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan,
sehingga kewajiban PBBnya sulit dipenuhi.

16
d) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-nya sulit
dipenuhi.
e) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.
f) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang
tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
g) Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh
lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan
pertimbangan kondisi objek pajak serta penghasilan Wajib Pajak..
2. Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana
alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian bencana
alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung Meletus, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan sebab-sebab lain yang luar biasa adalah
kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, dan hama tanaman. Dalam hal ini dapat
diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
3. Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan. Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima
persen) dari besarnya pajak terutang.
Cara Mengajukan Permohonan
1) Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau
SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan dimohonkan.
2) Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung:
a. Sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP.
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
3) Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau
perseorangan.
4) Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus dilampiri:
a. Fotokopi SPPT/SKP dari Tahun Pajak yang diajukan permohonan
pengurangannya.
b. Fotokopi tanda anggota Veteran, bagi anggota Veteran.

17
5) Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum
SPPT diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk Tahun Pajak yang
bersangkutan melalui:
a. Pemerintah Daerah setempat dan Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia,
bagi anggota Veteran.
6) Permohonan pengurangan pajak terutang untuk Wajib Pajak Badan harus dilampiri
dengan:
a. Fotokopi SPPT/SKP dari Tahun Pajak yang diajukan permohonan
pengurangannya.
b. Fotokopi SPT PPh Tahun Pajak terakhir beserta lampirannya.
c. Laporan Keuangan.
7) Permohonan pengurangan pajak terutang dalam hal objek pajak yang terkena
bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa dilampiri Surat Keterangan dari
Pemerintah Daerah setempat atau instansi terkait.
8) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang apabila
telah melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang sama.
9) Permohonan dapat disampaikan secara langsung atau dikirim melalui pos.
10) Tanggal tanda terima Surat Permohonan tersebut diatur sebagai berikut:
a. Apabila disampaikan secara langsung maka tanggal tanda terima adalah pada
saat surat permohonan tersebut secara lengkap diterima oleh Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Apabila dikirimkan melalui pos atau sarana pengiriman lainnya maka tanggal
tanda terima adalah pada saat surat permohonan tersebut secara lengkap
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, bukan pada tanggal
pengiriman surat permohonan.
Keputusan Pengurangan
1. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan/atau SKP, atas
nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan
pajak terutang yang lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan/
atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan
pengurangan pajak terutang yang tidak lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3. Keputusan pengurangan dapat berupa:

18
a) Mengabulkan seluruhnya, Mengabulkan sebagian, dan Menolak.
4. Keputusan atas permohonan pengurangan pajak harus diterbitkan selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan Wajib Pajak.
Jangka waktu sebagaimana tersebut terhitung sejak:
a) Tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat Permohonan
disampaikan secara langsung.
b) Tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirimkan melalui pos
(biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
5. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan keputusan belum diterbitkan, maka
permohonan pengurangan pajak dianggap dikabulkan.
6. Keputusan pengurangan berlaku untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
Pengurangan Denda Administrasi
Atas permintaan Wajib Pajak, Dirjen Pajak dapat mengurangkan denda administrasi
karena hal-hal tertentu. Ketentuan ini memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk
meminta pengurangan denda administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur
Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruhnya denda administrasi tersebut.

K. Pejabat
1) Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan
objek pajak adalah:
a. Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah..
b. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2) Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak adalah:
a. Kepala Kelurahan atau Kepala Desa.
b. Pejabat Dinas Tata Kota.
c. Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan.
d. Pejabat Agraria.
e. Pejabat Balai Harta Peninggalan.
f. Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak.
Kewajiban Pejabat:
1. Yang berkaitan langsung dengan objek pajak, wajib:
a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan
keadaan objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang

19
wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya.
b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal
Pajak.
2. Yang berhubungan dengan objek pajak:
Wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak
yang berwenang.
Sanksi
Bagi Wajib Pajak
1) Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah
pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima
persen) dihitung dari pokok pajak. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak
yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak, ditagih
dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan
Pajak adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh
lima persen) dari selisih pajak yang terutang.
2) Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang
dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3) Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan tidak benar.
4.) Karena kesengajaannya sehingga menimbulkan kerugian pada negara dalam hal:
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak.
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan yang tidak benar.
c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar.

20
d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya.
e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
Untuk sebab kealpaan:
Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-
tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang. Kealpaan berarti tidak sengaja, lalai,
kurang hati-hati sehingga perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara.
Untuk sebab kesengajaan:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-
tingginya 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana ini akan dilipatkan dua, apabila
seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu)
tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarkan denda. Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak
pidana perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan tindak pidana sebelum lewat 1
(satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang
dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda, dikenakan pidana lebih berat ialah dua kali lipat
dari ancaman pidana.
Bagi Pejabat
Sanksi Umum
Apabila tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah diuraikan di muka dikenakan
sanksi menurut peraturan perundangan yang berlaku, antara lain:
Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
Staatsblad 1860 No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Sanksi Khusus
Bagi pejabat yang tugas pekerjaanya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan
objek pajak ataupun pihak lainnya yang :
a. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan dokumen yang diperlukan.
b. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Catatan
Tindak pidana yang telah diuraikan dimuka tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10
tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Penyimpangan terhadap
ketentuan Pasal 78 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dimaksudkan untuk
menyesuaikan dengan kewajiban menyimpan dokumen perpajakan yang lamanya 10
tahun.

21
Agar lebih mudah dipahami, berikut diberikan bagan tentang sanksi.

L. PBB Perdesaan dan Perkotaan


Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tanggal 15 September 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, wewenang untuk memungut Pajak Bumi dan
Bangunan sektor perdesaan dan perkotaan diserahkan ke pemerintah kabupaten atau kota.
Penyerahan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pedesaan dan perkotaan
kepada pemerintah kabupaten/kota dimulai 1 Januari 2011 dan paling lambat 1 Januari
2014. PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan atau bangunan yang
dimi- liki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. Se- dangkan untuk sektor usaha perkebunan, perhutanan, pertambangan,
dan usaha tertentu lainnya masih dipungut oleh pemerintah pusat.
Objek Pajak
Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah bumi dan atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1) jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut;
2) jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga,
taman mewah, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
menara.

22
Sedangkan yang tidak dikenakan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
1. digunakan oleh pemerintah dan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
2. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
3. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
4. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani
suatu hak;
5. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik; dan
6. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan de-
ngan Peraturan Menteri Keuangan.
Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nya-
ta mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Cara Menghitung PBB
PBB Pedesaan dan Perkotaan dihitung dengan cara: PBB PP tarif x (NJOP-NJOPTKP)
Tarif PBB
Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga
persen). Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara
wajar. Bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, NJOP ditentukan melalui perban-
dingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP
pengganti.
Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan:
1) Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, yaitu suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan
objek pajak lain sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama serta telah
diketahui harga jualnya.

23
2) Nilai perolehan baru, yaitu suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan
berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
3) Nilai jual pengganti, yaitu suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu ob-
jek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
4) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada dasarnya ditetapkan setiap 3 tahun
sekali. Untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan
kenaikan NJOP yang cukup besar, NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Penetapan
besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. NJOPTKP ditentukan oleh masing-masing pemerin- tah
kabupaten/kota dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Mekanisme PBB Perdesaan dan Perkotaan
PBB PP dikenakan setiap tahun. PBB terutang dihitung menurut keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari. Tempat PBB terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi
letak objek pajak. Pendataan terhadap objek PBB dilakukan dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). SPOP harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap
serta ditan- datangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut UU No 12 tahun 1985 tentang PBB dan telah diubah dengan UU No 12
tahun 1994 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan
terhadap Bumi dan atau Bangunan. Dimana yang tergolong bumi yaitu bumi, sawah,
ladang, empang, perairan dan lain sebagainya. Sedangkan yang tergolong bangunan yaitu
berupa tanah atau bangunan yang dilekatkan secara tetap di atas bumi dimana dapat
dirasakan manfaatnya.
Yang menjadi objek dari PBB ini yaitu bumi dan bangunan itu sendiri seperti yang
termuat diatas. Namun tidak semua yang ada di bumi ini menjadi objek dari pengenann
PBB, diantaranya segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama seperti dalam
bidang ibadah, sosial, pemakaman yang digunakan secara bersama, tempat peninggalan
purbakala (museum), tanah atau bangunan yang digunakan diplomatik negara, tanah atau
bangunan yang digunakan untuk hutan lindung, hutan suaka alam, serta tanah atau
bangunan yang dipergunakan oleh organisasi internasional yang dibawah kekuasaan
Menteri Keuangan.Yang menjadi subjek dari PBB itu sendiri yaitu orang-orang memiliki
tanah atau bangunan yang dirasakan manfaatnya seperti dijadikan tempat tinggal, tempat
usaha dan atau tempat yang diusahakan, maka untuk mereka ini wajib untuk menyetorkan
PBB kepada pemerintah.
Dalam PBB ini adanya pndaftaran dan pendataan dari PBB tersebut. Pendaftaran
objek PBB dilakukan oleh subjek pajak dengan cara mengambil dan mengisi formulir
SPOP secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani dan dikembalikan ke Kantor
Pelayanan Pajak yang bersangkutan dengan melampirkan syara-syarat tertentu sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan dalam pendataan PBB, pendataan
dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir SPOP dan
dilakukan sekurang-kurangnya untuk satu wilayah administrasi desa/kelurahan. Pada saat
akan melakukan pembayaran tentu harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah
termuat dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai PBB tersebut, dimana dasar
dari pengenaan PBB yaitu NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), NJKP (Nilai Jual Kena Pajak)
dan NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak).

25
Daftar Pustaka

Mardiasmo. 2019. Perpajakan Edisi 2019. Bulaksumur: Penerbit Andi

26

Anda mungkin juga menyukai